EFEK ANTIFUNGI PERASAN KULIT JERUK PURUT (Citrus hystrix) TERHADAP PERTUMBUHAN Trichophyton mentagrophytes SECARA in vitro
commit to user
EFEK ANTIFUNGI PERASAN KULIT JERUK PURUT (Citrus hystrix)
TERHADAP PERTUMBUHAN Trichophyton mentagrophytes
SECARA in vitro
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
ESTI RAHMAWATI SURYANINGRUM G0007064
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2011
(2)
commit to user
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul : Efek Antifungi Perasan Kulit Jeruk Purut (Citrus
hystrix) terhadap Pertumbuhan Trichophyton mentagrophytes
Secara In Vitro
Esti Rahmawati Suryaningrum, G0007064, Tahun 2011 Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada hari Senin , tanggal 17 Januari 2011
Pembimbing Utama
Murkati, dr., M. Kes, Sp.ParK (...) NIP : 19501224 197603 2 001
Pembimbing Pendamping
Yulia Sari, S.Si., M.Si (...) NIP : 19800715 200812 2 001
Penguji Utama
Ruben Dharmawan, dr., Ir., Ph.D (...) NIP : 19511120 198601 1 001
Penguji Pendamping
Sulistyo Santosa, dr (...) NIP : 19451129 197612 1 001
Surakarta, Januari 2011
Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS
Muthmainah, dr., M.Kes. Prof.Dr. A.A. Subijanto, dr., MS.
(3)
commit to user
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, Januari 2011
Esti Rahmawati Suryaningrum NIM : G0007064
(4)
commit to user
ABSTRAK
Esti Rahmawati Suryaningrum, G0007064, 2011. Efek Antifungi Perasan Kulit Jeruk Purut (Citrus hystrix) terhadap Pertumbuhan Trichophyton mentagrophytes
Secara in vitro. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya efek antifungi perasan kulit jeruk purut (Citrus hystrix) terhadap pertumbuhan Trichophyton mentagrophytes secara in vitro.
Metode : Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium kuasi dengan teknik
random sampling. Subyek penelitian menggunakan biakan Trichophyton mentagrophytes pada Sabouraud Dextrose Agar plate. Penelitian menggunakan 6 kelompok perlakuan, yaitu akuades sebagai kontrol negatif, perasan kulit jeruk purut dengan konsentrasi 70%, 80%, 90% dan 100%, serta flukonazol 25 µg sebagai kontrol positif. Hasil diameter zona hambatan yang dihasilkan dianalisis menggunakan uji Kruskal Wallis dan uji Mann Whitney dengan a = 0,05.
Hasil : Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan adanya perbedaan diameter zona hambat pada semua kelompok perlakuan. Dari hasil uji Mann Whitney didapat kesimpulan adanya perbedaan diameter zona hambat antara semua kelompok pasangan kelompok, kecuali antara kelompok perasan kulit jeruk purut konsentrasi 90% dengan kelompok perasan kulit jeruk purut konsentrasi 100%. Simpulan : Perasan kulit jeruk purut (Citrus hystrix) mempunyai efek antifungi terhadap pertumbuhan Trichophyton mentagrophytes secara in vitro.
Kata kunci : Efek Antifungi, Perasan Kulit Jeruk Purut, Trichophyton mentagrophytes
(5)
commit to user
ABSTRACT
Esti Rahmawati Suryaningrum, G0007064, 2011. In Vitro Antifungal Effect of Leather Lime Juice (Citrus Hystrix) on The Growth of Trichophyton mentagrophytes.Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.
Objective : The aim of this research was to know in vitro antifungal effect of leather lime juice (Citrus hystrix) on the growth of Trichophyton mentagrophytes.
Methods : This research is a laboratorium experimental kuasi with random sampling technique. The subject of this research was Trichophyton mentagrophytes on Sabouraud Dextrose Agar plate. This research used 6 treatment groups, there were aquades as negative control, leather lime juice with concentration 70%, 80%, 90% and 100%, and also flukonazol 25 µg as positive control. The inhibition zone diameter that resulted was analyzed by Kruskal Wallis test and then continued with Mann Whitney test at a = 0,05
Results : The result of Kruskal Wallis test showed that there was inhibition zone diameter difference in all groups. The result of Mann Whitney test showed that there was inhibition zone diameter difference between all pair groups, except between leather lime juice concentration 90% group and leather lime juice concentracion 100% group.
Conclusion : Leather lime juice (Citrus hystrix) has in vitro antifungal effect on the growth of Trichophyton mentagrophytes.
(6)
commit to user
PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan karunia yang dilimpahkanNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efek Antifungi Perasan Kulit Jeruk Purut (Citrus hystrix) terhadap Pertumbuhan
Trichophyton mentagrophtes secara in vitro”.
Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan bantuan dari semua pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya skripsi ini, yaitu: Berkat segala bimbingan dan bantuan, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yaitu :
1. Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr., MS, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
3. Murkati, dr., M. Kes, Sp.ParK, selaku Pembimbing Utama yang telah menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan dan saran bagi penulis. 4. Yulia Sari, S.Si., M.Si, selaku Pembimbing Pendamping yang telah
memberikan bimbingan, saran dan motivasi bagi penulis.
5. Ruben Dharmawan, dr., Ir., Ph.D, selaku Penguji Utama yang telah memberikan saran, nasehat, dan melengkapi kekurangan penulisan skripsi ini. 6. Sulistyo Santosa, dr, selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan
saran, nasehat, dan melengkapi kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
7. Bagian skripsi Fakultas Kedokteran UNS, yang telah berkenan memberikan informasi dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
8. Dosen dan Staf Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran UNS.
9. Bapak Jatmiko dan Ibu Yuli yang membantu penelitian penulis di Laboratorium Mikrobiologi Universitas Setia Budi Surakarta.
10.Bapak, Ibu, Mbak Dhian yang telah memberikan banyak dukungan, doa dan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
11.Teman teman penulis: Tya, Brigitta, Priska, Galuh, Joice, Andreas, Charina, Anggi, Monika, Tiur, Fatna, Andra, Rani, Senda, Endah, dan teman teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas bantuan, dorongan semangat, motivasi, dukungan doa, dan saran yang telah diberikan. 12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu
dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Sehingga saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Tuhan memberkati.
(7)
commit to user
DAFTAR ISI
hal.
PRAKATA ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 4
BAB II LANDASAN TEORI ... 5
A. Tinjauan Pustaka ... 5
B. Kerangka Pemikiran ... 22
C. Hipotesis ... 23
BAB III METODE PENELITIAN ... 24
A. Jenis Penelitian ... 24
B. Lokasi Penelitian ... 24
C. Subjek Penelitian ... 24
D. Teknik Sampling ... 24
E. Identifikasi Variabel Penelitian………. 24
F. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 25
G. Rancangan Penelitian ………... 28
H. Alat dan Bahan Penelitian ... 30
I. Cara Kerja ... 31
J. Analisis Data……... ... 39
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 41
A. Data Hasil Penelitian ... 41
B. Analisis Data ... 44
BAB V PEMBAHASAN ... 47
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 51
A. Simpulan ... 51
B. Saran ... 51
DAFTAR PUSTAKA ... 52 LAMPIRAN
(8)
commit to user
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Rerata Diameter Zona Hambat Tricophyton mentagrophytes pada Uji Pendahuluan ... 41 Tabel 2 Rerata Diameter Zona Hambat Tricophyton mentagrophytes Dari
Tiga Kali Perasan... 42 Tabel 3 Ringkasan Hasil Uji Mann Whitney ... 45
(9)
commit to user
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran ... 22 Gambar 2. Skema Uji Pendahuluan ... 28 Gambar 3. Skema Uji Penelitian ... 29 Gambar 4. Diagram Rerata Diameter Zona Hambat Masing-Masing
Kelompok Perlakuan Pada Uji Pendahuluan ... 42 Gambar 5. Diagram Rerata Diameter Zona Hambat Masing-Masing
(10)
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Trichophyton mentagrophytes pada Uji Pendahuluan
Lampiran 2. Tabel Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Trichophyton mentagrophytes Perasan I
Lampiran 3. Tabel Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Trichophyton mentagrophytes Perasan II
Lampiran 4. Tabel Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Trichophyton mentagrophytes Perasan III
Lampiran 5. Hasil Uji Normalitas Kolmogorof Smirnof dan Uji homogenitas
Levene Test
Lampiran 6. Hasil Uji Non Parametrik Kruskal Wallis
Lampiran 7. Hasil Uji Mann Whitney
Lampiran 8. Tabel Chi-square
Lampiran 9. Foto Hasil Penelitian
(11)
commit to user
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Infeksi jamur superfisialis (mikosis superfisialis) pada kulit termasuk penyakit yang paling sering dijumpai di dunia. Angka insidensi pada tahun 1998 yang tercatat melalui Rumah Sakit Pendidikan Kedokteran di Indonesia sangat bervariasi, dimulai dari persentase terendah sebesar 4,8 persen (Surabaya) hingga persentase tertinggi sebesar 82,6 persen (Surakarta) dari seluruh kasus infeksi jamur superfisialis (Adiguna, 2001).
Perkembangan infeksi jamur di Indonesia terutama karena udara lembab dan tingkat kesehatan yang kurang, baik karena lingkungan padat penduduk atau sosial ekonomi yang rendah (Isselbacher et al., 1999). Pada
penyakit kulit karena infeksi jamur superfisial, seseorang terkena penyakit tersebut oleh karena kontak langsung dengan jamur tersebut, atau benda-benda yang sudah terkontaminasi oleh jamur, atau pun kontak langsung dengan penderita (Nasution, 2005).
Dermatofitosis merupakan salah satu jenis mikosis superfisialis. Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, kuku yang disebabkan golongan jamur dermatofita (Djuanda, 2000). Salah satu golongan jamur dermatofita adalah Trichophyton mentagrophytes.
Golongan jamur dermatofita mempunyai sifat mencernakan keratin. Salah satu sifat keratofilik masih banyak sifat yang sama di antara dermatofita,
(12)
commit to user
misalnya sifat faali, taksonomis, antigenic, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit (Djuanda, 2000).
Selain itu, terjadinya infeksi berulang sangat mengganggu penderita baik dari segi psikososial dan ekonomi (Nurjanti, 2006).
Obat antifungi mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan jamur dengan diikuti kecepatan pengelupasan kulit (Isselbacher
et al., 1999). Akan tetapi pemakaian obat antifungi masih banyak kendalanya,
diantaranya biaya obat yang mahal dan tidak semua daerah tersedia, serta resistensi terhadap obat akibat pemakaian yang tidak adekuat seperti pengobatan dosis tinggi waktu singkat, intermitten, dan dosis rendah jangka lama (Hapson dan Rahmawati, 2008).
Pemilihan obat alternatif antifungi dari herbal ini karena beberapa alasan. Pertama, obat-obat alamiah ini lebih aman dan diyakini kurang memberikan efek samping jika dibanding obat-obat farmasetik, kalaupun ada efek samping munculnya lambat (Herman, 2001). Juga untuk mengatasi fungi yang telah resisten terhadap beberapa obat farmasetik.
Pemanfaatan bahan tumbuh-tumbuhan untuk tujuan pengobatan penyakit kulit akibat jamur dikenal juga oleh nenek moyang kita, umumnya pemakaiannya berdasarkan pengalaman. Oleh karena itu, penilaian dan pengkajian khasiatnya secara ilmiah perlu dilakukan baik secara in vitro
maupun in vivo (Sundari dan Winarno, 2001).
Salah satu tanaman tradisional yang diharapkan dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis adalah kulit jeruk purut. Kandungan utama kulit jeruk adalah pektin dan minyak atsiri. Kandungan pektin dalam kulit jeruk
(13)
commit to user
berkisar 15-25% dari berat kering. Sedangkan kandungan minyak atsiri dalam kulit buah jeruk sekitar 70-92% (Prabasari, 2009). Daun, kulit dan buah jeruk purut juga mengandung senyawa minyak atsiri, tetapi kadar minyak atsiri yang paling tinggi terdapat pada bagian kulit buah (Mardiyati, 2008). Komponen utama dalam minyak atsiri kulit jeruk purut yang berfungsi sebagai antifungi adalah senyawa limonene (29,2%) dan β-pinene (30,6%).
Selain minyak atsiri, kulit jeruk purut juga mengandung senyawa saponin dan metabolit sekunder seperti flavonoid, kumarin, dan steroid triterpenoid. Saponin dan flavonoid merupakan golongan terbesar dari fenol. Jawetz (1992) menyatakan bahwa fenol dan persenyawaan dari fenolik merupakan unsur antikuman yang kuat pada konsentrasi yang biasa digunakan (larutan air 1 – 2%). Fenol dan derivatnya dapat menimbulkan denaturasi protein. Saponin diketahui memiliki sifat antimikroba, sedangkan flavonoid mampu merusak membran mikroba (Volk dan Wheeler, 1988).
Berdasarkan uraian di atas penulis melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana efek antifungi perasan kulit jeruk purut (Citrus hystrix)
terhadap pertumbuhan Trichophyton mentagrophytes secara in vitro.
B. Perumusan Masalah
Apakah perasan kulit jeruk purut (Citrus hystrix) mempunyai efek
antifungi dan berapa konsentrasi optimalnya terhadap pertumbuhan
(14)
commit to user
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Mengetahui adanya efek antifungi perasan kulit jeruk purut (Citrus
hystrix) terhadap pertumbuhan Trichophyton mentagrophytes secara in
vitro.
2. Tujuan Khusus
Mengetahui konsentrasi optimal perasan kulit jeruk purut (Citrus
hystrix) terhadap pertumbuhan Trichophyton mentagrophytes secara in
vitro.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Memiliki data bahwa perasan kulit jeruk purut (Citrus hystrix)
memiliki efek antifungi terhadap pertumbuhan Trichophyton
mentagrophytes secara in vitro
2. Manfaat Aplikatif
Sebagai informasi kepada peneliti selanjutnya untuk dilakukan uji pra klinik perasan kulit jeruk purut (Citrus hystrix) terhadap pertumbuhan
Trichophyton mentagrophytes yang terbukti sebagai kandidat antifungi
(15)
commit to user
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Jeruk Purut (Citrus hystrix)
a. Klasifikasi Tanaman Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Sapindales Family : Rutaceae Genus :Citrus Spesies : Citrus hystrix
(Dalimartha, 2005) b. Nama daerah
Sumatera: unte mukur, unte pangir (Batak), lemau purut, lemau sarakan (Lampung), lemao puruik (Minangkabau), dema kafalo (Nias). Jawa: limau purut, jeruk wangi, jeruk purut (Sunda, Jawa). Bali: jeruk linglang, jeruk purut. Flores: mude matang busur, mude nelu. Sulawesi: ahusi lepea (Seram), lemo puru (Bragi.s). Maluku: Munte kereng
(16)
commit to user
(Alf'uru), usi ela (Amhoh), lemo jobatai, wama faleela (Halmahera) (Dalimartha, 2005).
c. Morfologi Tanaman
Pohonnya rendah atau perdu, namun bila dibiarkan tumbuh alami dapat mencapai ketinggian 12 m. Batang yang tua berbentuk hijau tua, berbentuk bulat, polos, atau berbintik-bintik. Tata letak tajuk tanaman tidak beraturan dan cabang-cabangnya rapat. Dahan dan ranting-rantingnya bersudut tajam, berwarna hijau tua, berbintik-bintik, dan berduri di ketiak daun. Duri-durinya pendek, kaku, hitam, ujungnya coklat, dan panjangnya 0,2 cm – 1,0 cm. Letak daun jeruk purut terpencar atau silih berganti dan bertangkai agak panjang serta bersayap lebar. Bentuk daun terbagi dua (Bernard T., 2005) bulat telur, ujungnya tumpul, berbau sedap, mengkilap, dan berwarna hijau kekuning-kuningan. Tanaman jeruk purut berbunga majemuk (Rukmana, 2003). Bernard T. (2005) menyebutkan daun jeruk purut memiliki panjang 8-12 cm dan lebar 3-5 cm. Bunganya terletak di ketiak daun atau di ujung tangkai, tajuk bunga berjumlah 4-5 lembar, dan benang sari berjumlah 24 – 30 helai. Buah jeruk purut berbentuk bulat sampai bundar, ukurannya kecil, kulit buah tidak rata, rasanya asam dan berbau sedap (Rukmana, 2003).
d. Kandungan Kimia Jeruk Purut
Jeruk purut memiliki rasa agak asin dan pahit. Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam jeruk purut diantaranya daun minyak atsiri 1,0-1,5%, steroid triterpenoid, minyak atsiri dengan kandungan
(17)
commit to user
sitrat 2,0-2,5% (Hariana, 2007), senyawa metabolit sekunder yaitu kumarin, flavonoid, steroid, fenolik dan minyak atsiri (Setiawan, 2000).
Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan bioaktivitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan tersebut dari gangguan hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri ataupun lingkungannya (Lenny, 2006).
Kulit buah jeruk purut mengandung saponin dan tanin 1 % (Hariana, 2007). Berdasarkan uji fitokimia yang dilakukan pada kulit buah jeruk purut banyak terdapat senyawa golongan kumarin, juga adanya senyawa lain yaitu flavonoid dan steroid. Flavonoid yang terdapat pada jeruk purut antara lain narirutin, naringin, hesperidin, neohesperidin, nobiletin, dan tangeretin (Ogawa K, et al., 2001).
Daunnya mengandung vitamin E dengan konsentrasi 398,3 mg/kg (Ling SL dan Mohamed S., 2001). Senyawa kumarin yang berasal dari buah jeruk purut juga telah dilaporkan oleh Murakami (1999). Senyawa utama yang terkandung dalam minyak kulit buah adalah β -pinene (30,6%), limonene (29,2%) dan sabinene (22,6%).
Sedangkan α-terpeneol (15.8%), β-pinene (15.1 %) dan limonene
(9.1 %) adalah senyawa utama dalam minyak buah (Ibrahim,et al.,
1996).
e. Khasiat dan Penggunaan
Jeruk purut merupakan buah yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, dan memiliki banyak kegunaan. Baik daun maupun buahnya banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Bagian daun
(18)
commit to user
biasanya digunakan untuk mengatasi badan letih dan lelah setelah sakit berat dan juga untuk penyedap masakan. Sedangkan kulit buah jeruk purut digunakan sebagai obat bisul, panas dalam, radang kulit, radang payudara, kulit bersisik dan kulit mengelupas (Dalimartha, 2000). Buah jeruk purut juga sering digunakan untuk mengatasi influenza, badan terasa lelah, dan mewangikan rambut (Dalimartha, 2005). Selain itu kulit buah jeruk purut digunakan untuk penyedap masakan, pembuatan kue, sebagai manisan (Setiadi dan Parmin, 2004), dan sebagai stimulan (Dalimartha, 2005). Efek farmakologik jeruk purut diantaranya anti-spasmodik dan antiseptik (Hariana, 2007). f. Kandungan Antifungi pada Kulit Jeruk Purut (Citrus hystrix)
Kulit jeruk nipis mengandung minyak atsiri, saponin, kumarin, flavonoid, dan steroid triterpenoid, yang masing-masing mempunyai efek sebagai antifungi.
1) Minyak atsiri
senyawa golongan ini terdiri atas senyawa monoterpena, sedangkan stearoptena adalah senyawa hidrokarbon teroksigenasi umumnya berwujud padat. Stearoptena ini umumnya terdiri atas senyawa turunan oksigen dari terpena (Agusta, 2002).
Manfaat minyak atsiri secara umum terhadap tumbuhan itu sendiri adalah Ditinjau dari segi fisika, minyak atsiri mengandung dua golongan senyawa, yaitu oleoptena dan stearoptena. Oleoptena dalah bagian hidrokarbon dalam minyak atsiri dan berwujud cair. Umumnya sebagai alat pertahanan diri agar tidak dimakan hewan
(19)
commit to user
(hama). Namun sebaliknya, minyak atsiri juga berfungsi sebagai penarik serangga untuk membantu proses penyerbukan (Agusta, 2000). Untuk pengobatan manusia sebagai antibakteri dan antifungi, serta penolak nyamuk (Agusta, 2002).
Minyak atsiri jeruk purut mengandung kandungan kimia β -pinene dan limonene. Senyawa β-pinene telah terbukti mempunyai efek antifungi dengan cara menghambat sintesis DNA, RNA, dinding polisakarida dan ergosterol membran sel (Xia Z, 1999). Sedangkan, hasil penelitian Hassanzadeh, et al. (2009)
membuktikan bahwa senyawa limonene mempunyai kemampuan
untuk menghambat pertumbuhan jamur Candida albicans dan
Aspergillusniger.
2) Saponin
Saponin mengandung gugus gula terutama glukosa, galaktosa, xylosa, rhamnosa atau methilpentosa yang berikatan dengan suatu aglikon hidrofobik (sapogenin) berupa triterpenoid, steroid atau steroid alkaloid. Aglikon dapat mengandung satu atau lebih ikatan C-C tak jenuh. Rantai oligosakarida umumnya terikat pada posisi C3 (monodesmosidic), tetapi beberapa saponin mempunyai gugus gula tambahan pada C26 atau C28 (bidesmosidic). Struktur saponin
yang sangat kompleks terjadi akibat bervariasinya struktur aglikon, sifat dasar rantai dan posisi penempelan gugus gula pada aglikon (Faure, 2002).
(20)
commit to user
Saponin diketahui mempunyai efek sebagai antimikroba, antifungi dan melindungi tanaman dari serangan serangga. Saponin mempunyai tingkat toksisitas yang tinggi melawan fungi. Aktivitas fungisida terhadap Trichoderma viride telah digunakan sebagai
metode untuk mengindetifikasikan saponin. Mekanisme kerja saponin sebagai antifungi berhubungan dengan interaksi saponin dengan membran sterol (Morrissey, 1999).
3) Kumarin
Kumarin adalah suatu metabolit dari tumbuhan yang sering dijumpai sebagai glikosidal. Kumarin mungkin juga berupa senyawa jadian yang terbentuk karena hidrolisis asam glikosil-o-hidroksi sinamat secara enzimatik dan kemudian segera terjadi siklikasi menjadi lakton, tepatnya lakton asam-o-hidroksisinamat. Hampir semua kumarin alam mempunyai oksigen (hidroksil atau alkosil) pada C-7. Pada posisi lain dapat pula teroksigenasi dan sering pula terdapat rantai samping alkil (Robinson, 1991).
Aktivitas antifungi dan anti bakteri pada senyawa kumarin telah dibuktikan pada percobaan Wardakhan dan Nadia (2007). Pada percobaan ini dibuktikan bahwa kumarin mempunyai aktivitas antibakteri pada bakteri gram negatif (Escherichia coli
dan Pseudomonas aeruginosa), dan gram positif (Bacillus subtilis
dan Bacillus cereus) dan juga aktivitas antifungi terhadap Candida
albicans.
(21)
commit to user
Flavonoid terdapat pada hampir seluruh tanaman tingkat tinggi sebagai metabolit sekunder dengan fungsi proteksi yang tinggi dalam melindungi jaringan tanaman dari kerusakan akibat radiasi ultraviolet, melindungi tanaman dari infeksi, serta berperan penting pada fotosintesis, transfer energi, respirasi, dan biosintesis komponen toksik (Middleton, 2000). Senyawa ini merupakan zat warna merah, biru, ungu atau kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan.
Malik, dkk (2007) telah melakukan uji aktivitas antijamur senyawa flavonoid secara in vitro menggunakan tiga jenis biakan jamur Candida albicans, Epidermophyton flocosum dan
Microsporum gypseum dengan metode difusi agar menggunakan
cakram kertas. Dari penelitian tersebut didapatkan kesimpulan bahwa flavonoid juga mempunyai efek antifungi.
5) Steroid (Steroid Triterpenoid)
Terpena merupakan suatu golongan hidrokarbon yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan dan terutama terkandung pada getah dan vakuola selnya. Pada tumbuhan, senyawa-senyawa golongan terpena dan modifikasinya, terpenoid, merupakan metabolit sekunder. Terpena dan terpenoid menyusun banyak minyak atsiri yang dihasilkan oleh tumbuhan (Lenny, 2006).
Salah satu tipe terpenoid adalah triterpenoid. Triterpenoid, contohnya lanosterol, merupakan bahan dasar bagi senyawa-senyawa steroid. Steroid merupakan senyawa-senyawa bioaktif yang
(22)
commit to user
bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Triterpenoid memiliki atom C30. Senyawa ini tersebar luas dalam damar, gabus dan kutin tumbuhan (Lenny, 2006).
Tumbuhan yang mengandung senyawa Triterpenoid mempunyai
nilai ekologi karena senyawa ini bekerja sebagai anti fungi, insektisida, anti pemangsa, anti bakteri dan anti virus (Robinson,1991).
2. Trichophyton mentagrophytes
a. Klasifikasi
Kingdom : Fungi
Divisi : Eumycophyta
Kelas : Deuteromycetes
Bangsa : Melanconiales
Suku : Moniliaceae
Genus : Trichophyton
Spesies : Trichophyton mentagrophytes
(Ananthanarayan dan Paniker, 2000) b. Morfologi
Divisi ini memiliki ciri hifa bersekat, reproduksi dengan cara aseksual menggunakan konidiospora, sedangkan reproduksi seksual belum diketahui sehingga jamur kelas ini disebut jamur imferfekti. Pada biakan Trichophyton mentagrophytes membentuk koloni dan
konidia yang khas, koloninya dapat berbentuk seperti kapas sampai granular, memiliki kelompok mikronidia yang terbentuk sferis
(23)
commit to user
menyerupai buah anggur, terdapat mikronidia yang menyerupai kapas tapi jarang ditemukan (Jawetz et al., 2004).
Makronidia berbentuk panjang seperti pensil, sedangkan mikronidia lecil, berdinding tipis, dan berbentuk lonjong dan terletak pada konidiofora yang pendek dan tersusun secara satu persatu atau berkelompok pada sisi hifa (Srisasi, 2003). Genus Trichophtyon memiliki dinding tipis, makronidia halus dan mikronidia banyak (Talaro K dan Talaro A, 1999). Trichophyton mentagrophytes bisa
tumbuh baik pada media Sabouraud Dextrose Agar pada suhu kamar
(Jawetz et al., 2004).
c. Habitat
Jamur Trichophyton adalah dermatofita yang habitatnya di tanah, manusia, dan hewan. Terutama pada daerrah yang beriklim tropis dan basah. Berdasarkan afinitasnya, genus Trichophyton dibagi menjadi geofilik (hidup di tanah), antropofilik (hidup pada tubuh manusia), dan zoofilik (hidup pada hewan). Sedangkan Trichophyton mentagrophytes
adalah jamur antropofilik dan zoofilik (Jawetz et al., 2004).
d. Patogenesis
Infeksi Trichophyton menyebabkan timbulnya bercak melingkar dan berbatas tegas yang tertutup dengan sisik atau gelembung kecil atau dikenal dengan istilah ring worm atau tinea. Trichophyton paling
sering menyebabkan Tinea capitis, Tinea favosa, Tinea corporis, Tinea imbrikata, Tinea kruris, Tinea manus dan pedis, Tinea unguinum.
(24)
commit to user
1) Tinea kapitis
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh spesies dermatofita. Dermatofitosis ini umumnya menyerang anak prapubertas. Jamur menyerang stratum korneum dan masuk ke folikel rambut yang selanjutnya akan menyerang bagian luar atau sampai ke bagian dalam rambut, bergantung pada spesiesnya (Daili, dkk., 2005). Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerah-merahan, alopesia dan kadang kadang terjadi gambaran klinis yang lebih berat, yang disebut kerion (Djuanda, 2000)
Di dalam klinik, tinea kapitis dapat dilihat sebagai 3 bentuk yang jelas (Madani, 2000):
a) Grey patch ringworm
Grey patch ringworm merupakan tinea kapitis yang
biasanya disebabkan oleh genus microsporium dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit mulai dengan papul merah yang kecil di sekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak, yang menjadi pucat dan bersisik.
Keluhan penderita adalah rasa gatal. Warna rambut menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi Semua rambut di daerah tersebut terserang oleh jamur sehingga terbentuk alopesia setempat. Tempat-tempat ini terlihat sebagai grey patch. Pada
(25)
commit to user
hijau kekuning-kuningan pada rambut yang sakit melampaui batas-batas grey patch tersebut.
b) Kerion
Kerion merupakan reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan serbukan sel radang yang padat disekitarnya. Bila penyebabnya Microsporium canis dan Microsporium gypseum,
pembentukan kerion ini lebih sering dilihat. Terlihat agak kurang bila penyebabnya Tricophyton tonsurans, dan sedikit
sekali bila penyebabnya adalah Trichophyton violaceum.
Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan parut yang berakibat alopesia yang menetap. Parut yang menonjol kadang-kadang dapat terbentuk.
c) Black dot ringworm
Black dot ringworm terutama disebabkan oleh
Trichophyton tonsurans dan Trichophyton violaceum. Rambut
yang terkena infeksi patah, tepat pada muara folikel, dan yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora. Ujung rambut yang hitam di dalam folikel rambut ini memberikan gambaran khas yaitu black dot.
2) Tinea kruris
Tinea kruris lebih sering terjadi pada laki-laki dan jarang pada wanita. Tepi eritematosa yang berskuama pelan-pelan menjalar ke bawah paha bagian dalam, dan meluas ke arah belakang ke daerah
(26)
commit to user
perineum dan gluteus. Penyebabnya biasanya adalah
Epidermophyton flocossum, kadang-kadang dapat juga disebabkan
oleh Trichophyton rubrum (Madani, 2000).
Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya. Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan (Madani, 2000).
3) Tinea korporis
Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin). Menurut Madani (2000) penyebab
tersering penyakit ini adalah Trichophyton rubrum dan
Trichophyton mentagrophytes.
Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang kadang dengan daerah vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi pada umumnya merupakan bercak terpisah satu dengan yang lain (Brown dan Burns, 2005).
Pada kasus dermatofitosis dengan gambaran klinis tidak khas, diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan kulit dengan larutan KOH 10-20 % (Daili et al., 2005).
(27)
commit to user
4) Tinea imbrikata
Tinea imbrikata merupakan bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton concentrium. Tinea imbrikata mulai
dengan bentuk papul berwarna coklat, yang perlahan-lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran skuama yang konsentris (Daili et al., 2005).
5) Tinea favosa
Tinea favosa adalah infeksi jamur kronis, terutama oleh
Trichophyton schoenleini, Trichophyton violaceum dan
Microsporum gypseum. Penyakit ini biasanya dimulai di kepala
sebagai titik kecil di bawah kulit yang berwarna merah kuning dan berkembang menjadi krusta berbentuk cawan (skutula) dengan berbagai ukuran. Tinea favosa pada kulit dapat dilihat sebagai kelainan kulit papulovesikel dan papuloskuamosa, disertai kelainan kulit berbentuk cawan yang khas yang kemudian menjadi jaringan parut. Biasanya dapat tercium bau tikus (mousy odor) pada para
penderita favus. Kadang kadang penyakit ini dapat menyerupai dermatitis seboroika (Daili et al., 2005).
6) Tinea manus dan pedis
Tinea pedis disebut juga Athlete’s foot atau “Ring worm of the
foot”. Penyakit ini sering menyerang orang-orang dewasa yang
(28)
pekerja-commit to user
pekerja di sawah atau orang-orang yang setiap hari harus memakai sepatu yang tertutup seperti anggota tentara. Keluhan subjektif bervariasi mulai dari tanpa keluhan sampai rasa gatal yang hebat dan nyeri bila ada infeksi sekunder (Madani, 2000). Ada 3 bentuk Tinea pedis:
a) Bentuk intertriginosa
Keluhan yang tampak berupa maserasi, skuamasi serta erosi, di celah-celah jari terutama jari IV dan jari V. Hal ini terjadi disebabkan kelembaban di celah-ceIah jari tersebut membuat jamur-jamur hidup lebih subur. Bila menahun dapat terjadi fisura yang nyeri bila kena sentuh. Bila terjadi infeksi dapat menimbulkan selulitis atau erisipelas disertai gejala-gejala umum.
b) Bentuk hiperkeratosis
Disini lebih jelas tampak ialah terjadi penebalan kulit disertai sisik terutama ditelapak kaki, tepi kaki dan punggung kaki. Bila hiperkeratosisnya hebat dapat terjadi fisura-fisura yang dalam pada bagian lateral telapak kaki.
c) Bentuk vesikuler subakut
Kelainan-kelainan yang timbul dimulai pada daerah sekitar antar jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. Tampak ada vesikel dan bula yang terletak agak dalam di bawah kulit, diserta perasaan gatal yang hebat. Bila vesikel-vesikel ini pecah akan meninggalkan skuama melingkar yang
(29)
commit to user
disebut collorette. Bila terjadi infeksi akan memperhebat dan
memperberat keadaan sehingga dapat terjadi erisipelas.
Semua bentuk yang terdapat pada Tinea pedis, dapat terjadi pada Tinea manus, yaitu dermatofitosis yang menyerang tangan. Penyebab utamanya ialah Trichophyton rubrum, Trichophyton
mentagrophytes, dan Epidermofiton floccosum.
7) Tinea unguium (Onikomikosis)
Penyakit ini dapat dibedakan dalam 3 bentuk tergantung jamur penyebab dan permulaan dari dekstruksi kuku. Subinguinal proksimal bila dimulai dari pangkal kuku, Subinguinal distal bila di mulai dari tepi ujung dan leukonikia trikofita bila di mulai dari bawah kuku. Permukaan kuku tampak suram tidak mengkilat lagi, rapuh dan disertai oleh subungual hiperkeratosis. Dibawah kuku tampak adanya detritus yang banyak mengandung elemen jamur (Madani, 2000).
Onikomikosis ini merupakan penyakit jamur yang kronik sekali, penderita minta pertolongan dokter setelah menderita penyakit ini setelah beberapa lama, karena penyakit ini tidak memberikan keluhan subjektif, tidak gatal, dan tidak sakit. Kadang-kadang penderita baru datang berobat setelah seluruh kukunya sudah terkena penyakit. Penyebab utama adalah Trichophyton rubrum
(30)
commit to user
3. Flukonazol a. Pengertian
Flukonazol adalah antifungi derivat trazol yang digunakan untuk pengobatan infeksi jamur baik superfisialis maupun sistemik. Bersifat larut dalam air dan alkohol serta di bawah nama dagang Difulcan atau Trican (Tjay dan Rahardja, 2002)
b. Farmakodinamika
Flukonazol adalah inhibitor terhadap enzim yang bergantung pada sitokrom P-450, 14-demethylase sehingga menghambat biosintesis ergosterol. Pengurangan ergosterol, yang merupakan sterol utama yang terdapat di dalam membran sel jamur, dan akumulasi sterol-sterol yang mengalami metilase menyebabkan terjadinya perubahan sejumlah fungsi sel yang berhubungan dengan membran (Mertesacker, 2006) c. Farmakokinetik
Flukonazol diserap sempurna melalui saluran cerna tanpa dipengaruhi oleh adanya makanan atau keasaman lambung. Obat ini tersebar rata ke dalam cairan tubuh juga dalam sputum dan saliva. Kadarnya dalam cairan cerebrosponal 50%-90% kadar plasma. Ikatan dengan protein plasma 11%-12%. Kadar puncak 4-8 µg dicapai setelah beberapa kali pemberian 100 mg. Metabolisme di hepar mencapai 11%. Waktu paruh eliminasi 25 jam sedangkan ekskresi melalui ginjal mencapai melebihi 90% klirens ginjal (Katzung, 1998).
(31)
commit to user
d. Indikasi dan Kontraindikasi
Obat antifungi ini selain dapat digunakan untuk mengobati kandidiasis mikosa dan kandidiosis kutan juga efektif untuk perawatan berbagai jenis gangguan dermatosis dan pytyriasis versikolor yang dapat diberikan secara oral dan parenteral (Mertesacker, 2006).
Kontraindikasi obat ini, yaitu pada penderita yang hipersensitif terhadap flukonazol atau antifungi lain golongan azol dan yang mempunyai resiko aritmia jantung (Katzung, 1998).
e. Dosis dan cara pemberian
Flukonazol tersedia untuk pemakaian peroral dalam kapsul yang mengandung 50 mg dan 150 mg. Dosis yang disarankan 100-400 mg perhari. Dosis untuk infeksi kulit yang resisten atau pada indikasi profilaksis yaitu 150-300 mg per minggu. Pada infeksi sistemik atau berat digunakan dosis 50-600 mg perhari dan untuk infeksi yang darurat seperti meningitis karena jamur diberikan dosis 800 mg perhari. Dosis untuk anak-anak yaitu 6-12 mg/kg/hari (Tjay dan Rahardja, 2002; Katzung, 1998).
(32)
commit to user
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Perasan kulit jeruk purut mengandung minyak atsiri, saponin, flavonoid, kumarin, dan
steroid triterpenoid
Kerusakan membran sel
Trichophyton mentagrophytes
Variabel luar terkendali - Umur jamur - Jumlah sampel
- Kuman
kontaminan - Suhu inkubasi
Terjadi hambatan pertumbuhan
Trichophyton mentagrophytes
Mendenaturasi protein membran sel Trichophyton
(33)
commit to user
C. Hipotesis
Perasan kulit jeruk purut (Citrus hystrix) mempunyai efek antifungi
(34)
commit to user
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium kuasi. B. Subjek Penelitian
Biakan Trichophyton mentagrophytes yang diperoleh dari Laboratorium
Mikrobiologi Universitas Setia Budi Surakarta C. Lokasi Penelitian
Laboratorium Mikrobiologi Universitas Setia Budi Surakarta D. Teknik Sampling
Pengambilan sampel untuk pembuatan media subkultur dilakukan secara random, yaitu dengan mengambil koloni jamur Trichophyton mentagrophytes
dalam Saboraud Dextrose Agar Slant
E. Identifikasi Variabel
1. Variabel bebas : a. konsentrasi perasan kulit jeruk purut b. flukonazol 25 µg
2. Variabel tergantung : zona hambatan 3. Variabel luar yang terkendali : a. Umur jamur
b. Jumlah koloni Trichophyton
mentagrophytes
c. Kuman kontaminan d. Suhu inkubasi
(35)
commit to user
F. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Variabel bebas :
a. Konsentrasi perasan kulit jeruk purut
Air perasan berwujud larutan dalam air dan mengandung seluruh komponen senyawa dalam tumbuhan segarnya. Jumlah air perasan sebanding dengan material awal, dan hanya bahan yang tidak terlarut yang tetap tinggal (Nopianti, 2008 cit Voigt, 1995).
Perasan kulit jeruk purut didapatkan dengan cara melumatkan kulit jeruk purut dan menyaringnya dua kali. Penyaringan pertama dilakukan dengan saringan plastik yang dilapisi kain, kemudian penyaringan berikutnya dengan kertas saring untuk mendapatkan hasil perasan air yang bagus dan tanpa endapan. Air hasil saringan dianggap konsentrasi 100%. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala interval.
Konsentrasi perasan kulit jeruk purut yang digunakan dalam uji pendahuluan adalah konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%. Hal ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Hidayah dan Subakir (2010) mengenai efektifitas air perasan buah jeruk purut pada konsentrasi 25% terhadap pertumbuhan Malassezia sp. Berdasarkan
hasil uji pendahuluan, maka pada uji penelitian menggunakan konsentrasi perasan kulit jeruk purut 70%, 80%, 90%, dan 100%. Uji penelitian diulang sebanyak 3 kali dengan perasan kulit jeruk purut yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk memperkecil penyimpangan kualitas perasan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.
(36)
commit to user
b. Flukonazol 25 µg
Flukonazol adalah obat antifungi derivat triazol yang digunakan sebagai kontrol positif. Flukonazol dengan merek dagang diflucan yang mengandung 50 mg flukonazol. Flukonazol yang digunakan sebesar 25 µg karena sudah terbukti sebagai obat antifungi. Skala ukuran variabel ini adalah nominal.
2. Variabel tergantung :
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah zona hambatan. Zona hambatan merupakan daerah lingkaran jernih melingkar yang terbentuk karena efek antifungi terhadap pertumbuhan jamur Trichophyton
mentagrophytes. Diameter diukur dalam milimeter menggunakan
penggaris. Zona hambatan yang sesungguhnya adalah rerata dari jumlah diameter terbesar dan diameter terkecil zona hambatan. Skala ukuran variabel ini adalah rasio.
3. Variabel luar terkendali a. Umur Jamur
Umur jamur dapat dikendalikan dengan subkultur Trichophyton
mentagrophytes yang berumur 5 hari pada Sabouraud Dextrose Agar.
b. Jumlah Koloni Trichophyton mentagrophytes
Penanaman jamur menggunakan standar Mc. Farland. Standar Mc
Farland ini dipakai agar diperoleh jumlah koloni jamur yang seragam
sebelum ditanam pada Saboraud Dextrose Agar. 0,5 standar Mr
(37)
commit to user
c. Kuman kontaminan
Kuman kontaminan adalah tumbuhnya kuman lain yang dapat terkontaminasi pada Sabouraud Dextrose Agar. Tumbuhnya kuman ini
dapat dikendalikan dengan memberi kloramfenikol (Mansjoer et al,
2000). Setiap 1000 ml Sabouraud Dextrose Agar cair memerlukan 400
mg kloramfenikol (Bridson, 1998). d. Suhu inkubasi
Suhu yang dipakai untuk inkubasi jamur. Jamur diinkubasi pada suhu kamar selama 4 hari.
(38)
commit to user
G. Rancangan Penelitian 1. Uji Pendahuluan
Gambar 2. Skema Uji Pendahuluan Biakan Trichophyton mentagrophytes
diinokulasikan pada media Sabouroud Dextrosa Agar (5 cawan Petri)
Dibuat 4 sumuran dengan diameter 6 mm pada setiap cawan untuk pemberian perlakuan
Kontrol (-) Akuades Perasan kulit jeruk purut
dengan konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%
Diinkubasikan selama 4 hari pada suhu kamar
Diameter zona hambat diukur Kontrol (+)
Flukonazol 25 µg
(39)
commit to user
2. Uji Penelitian
Gambar 3. Skema Uji Penelitian
Catatan: Uji penelitian diulang sebanyak 3 kali dengan perasan kulit jeruk purut yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk memperkecil penyimpangan kualitas perasan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.
Dibuat 5 sumuran dengan diameter 6 mm pada setiap cawan untuk pemberian perlakuan
Kontrol (-) Akuades Perasan kulit jeruk purut
dengan konsentrasi 70%, 80%, 90%, dan 100%.
Masing-masing diulang 5 kali
Diinkubasikan selama 4 hari pada suhu kamar
Diameter zona hambat diukur Kontrol (+)
Flukonazol 25 µg
Biakan Trichophyton mentagrophytes
diinokulasikan pada media Sabouroud Dextrosa Agar (7 cawan Petri)
Uji Kruskal Wallis
Uji Mann Whitney
(40)
commit to user
H. Alat dan Bahan 1. Alat Penelitian
a. Cawan Petri dengan diameter 10 cm b. Oshe kolong
c. Tabung reaksi d. Beaker glass
e. Alat pembuat sumuran berdiameter 6 mm f. Pipet
g. Mikropipet h. Penggaris
i. 0,5 standar Mc Farland j. Autoklaf
k. Lampu spiritus l. Kertas saring m. Saringan plastik n. Blender
2. Bahan Penelitian
a. Biakan Trichophyton mentagrophytes
b. Sabouroud Dextrose Agar (SDA)
c. Perasan kulit jeruk purut d. Akuades
e. Diflucan yang mengandung 50 mg flukonazol 1 kapsul f. Alkohol 96%
(41)
commit to user
h. Kloramfenikol I. Cara Kerja
1. Uji Pendahuluan a. Tahap Persiapan
1) Perasan Kulit Jeruk Purut
Mencuci bersih jeruk purut terlebih dahulu dengan menggunakan air mengalir, tujuannya untuk menghilangkan kotoran yang menempel. Kemudian merendamnya di dalam alkohol 96% agar jeruk purut lebih steril dan bebas dari kontaminasi. Mengupas jeruk purut untuk diambil bagian kulitnya saja. Selanjutnya melumatkan 100 gram irisan kulit jeruk purut tersebut menggunakan blender dengan dicampur 100 ml akuades. Hasil dari proses pelumatan kemudian diperas dan disaring dua kali. Penyaringan pertama dilakukan dengan saringan plastik yang dilapisi kain, kemudian penyaringan berikutnya dengan kertas saring untuk mendapatkan hasil perasan air yang bagus dan tanpa endapan. Air hasil saringan dianggap konsentrasi 100%.
2) Pembiakan Trichophyton mentagrophytes
Biakan jamur diperoleh dari laboratorium Mikrobiologi Universitas Setia Budi Surakarta. Trichophyton mentagrophytes
yang diperoleh merupakan biakan subkultur 5 hari dalam
(42)
commit to user
b. Tahap Uji Pendahuluan
1) Persiapan preparat obat flukonazol 25 µg
Preparat flukonazol yang dipakai adalah Diflucan. Satu kapsul Diflucan mengandung 50 mg flukonazol. Satu kapsul flukonazol 50 mg dilarutkan dengan 100 ml akuades. Pengenceran ini adalah pengenceran pertama.
ó 50 mg dlm 100 ml ó 0,5 mg/ 1 ml ó 500 µg/ 1 ml
Kemudian dengan rumus : N1· V1 = N2· V2 500 · V1 = 25 · 100
V1 = 5 ml
Jadi, untuk mendapatkan kadar flukonazol 25 µg, 5 ml dari hasil pengenceran pertama dilarutkan ke dalam 100 ml akuades (V2).
Zona sensitivitas flukonazol 25 µg berdasarkan standar yang ada adalah sebagai berikut:
Flukonazol : ≥ 19 mm = sensitif
: 13 – 18 mm = intermediate
: ≤ 12 = resisten
(Barry & Brown, 1996)
2) Pembuatan Sabouraud Dextrose Agar
Menyiapkan Sabouraud Dextrose Agar bubuk 10 gram
kemudian menambahkannya dengan akuades 150 ml, lalu V1 = Volume yang tersedia N1 = Kadar flukonazol awal
V2 = Volume yang akan
digunakan
(43)
commit to user
memanaskan sambil mengaduk sampai tercampur homogen. Menambahkan kloramfenikol pada media cair untuk mencegah tumbuhnya kuman kontaminan. Setiap 1000 ml Sabouraud
Dextrose Agar cair memerlukan 400 mg kloramfenikol, maka:
Kloramfenikol yang diperlukan untuk 150 ml Sabouraud Dextrose
Agar = 150 ml x 400mg = 60 mg
1000 ml
Setiap 250 mg kloramfenikol dilarutkan dalam 10 ml NaCl 0,9%. Maka:
NaCl 0,9% yang diperlukan = 60 mg x 10 ml = 2,4 ml 250 mg
(Bridson, 1998)
Jadi memerlukan 60 mg kloramfenikol untuk melarutkan dalam 2,4 ml NaCl 0,9%.
Kemudian setelah itu mensterilkan media cair yang telah ditambah larutan kloramfenikol dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit bersama dengan peralatan penelitian lain yang dibutuhkan. Menuangkan Sabouraud Dextrosa Agar cair dalam 5
cawan Petri yang telah disterilkan dan membiarkan sampai dingin. 3) Pembuatan suspensi dan inokulum Trichophyton mentagrophytes
Mengambil biakan Trichophyton mentagrophytes dengan
menggunakan oshe steril kemudian memasukkan ke dalam larutan NaCl 0,9% sampai mencapai kekeruhan yang ekivalen dengan 0,5 standart Mc Farland. Menginokulasikan sampel cair Trichophyton
(44)
commit to user
mentagrophytes sebanyak 0,2 ml ke dalam tiap-tiap cawan Petri
yang berisi Sabouraud Dextrose Agar. Menggoyang agar untuk
meratakan sampel Trichophyton mentagrophytes.
4) Pengenceran perasan kulit jeruk purut
Mengencerkan hasil perasan kulit jeruk purut yang telah disiapkan saat tahap persiapan uji pendahuluan. Perasan diencerkan dengan akuades sehingga diperoleh konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%. Penentuan konsentrasi tersebut berdasar dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Hidayah dan Subakir (2010) mengenai efektifitas air perasan buah jeruk purut 25% terhadap pertumbuhan Malassezia sp. Pembuatan perasan konsentrasi 20%,
40%, 60%, 80%, dan 100% tersebut berasal dari pengenceran air perasan konsentrasi 100%. Adapun cara pengencerannya menurut Ahmad (1996) sebagai berikut:
- Perasan konsentrasi 20% berasal dari 20 ml (perasan konsentrasi 100%) + akuades 100ml.
- Perasan konsentrasi 40% berasal dari 40 ml (perasan konsentrasi 100%) + akuades 100ml.
- Perasan konsentrasi 60% berasal dari 60 ml (perasan konsentrasi 100%) + akuades 100ml.
- Perasan konsentrasi 80% berasal dari 80 ml (perasan konsentrasi 100%) + akuades 100ml.
- Perasan konsentrasi 100% merupakan perasan asli yang tidak perlu diencerkan
(45)
commit to user
5) Memberi perlakuan ke dalam 5 cawan Petri dengan perasan kulit jeruk purut, akuades, flukonazol 25 µg
Langkah pertama dalam tahap ini adalah membuat 4 sumuran berdiameter 6 mm pada masing cawan Petri. Pada masing-masing sumuran diisi 0,05 ml akuades sebagai kontrol negatif, 0,05 ml flukonazol 25 µg sebagai kontrol positif, dan 0,05 ml perasan kulit jeruk purut dengan konsentrasi berbeda-beda, yaitu 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%.
Selanjutnya diinkubasi pada suhu kamar selama 4 hari. Setelah diinkubasi, dilakukan pengukur diamater daerah yang bening (zona hambatan) dengan menggunakan penggaris melewati pusat sumuran.
2. Uji Penelitian a. Tahap Persiapan
1) Perasan Kulit Jeruk Purut
Mencuci bersih jeruk purut terlebih dahulu dengan menggunakan air mengalir, tujuannya untuk menghilangkan kotoran yang menempel. Kemudian merendamnya di dalam alkohol 96% agar jeruk purut lebih steril dan bebas dari kontaminasi. Mengupas jeruk purut untuk diambil bagian kulitnya saja. Selanjutnya melumatkan 100 gram irisan kulit jeruk purut tersebut menggunakan blender dengan dicampur 100 ml akuades. Hasil dari proses pelumatan kemudian diperas dan disaring dua kali. Penyaringan pertama dilakukan dengan saringan plastik yang
(46)
commit to user
dilapisi kain, kemudian penyaringan berikutnya dengan kertas saring untuk mendapatkan hasil perasan air yang bagus dan tanpa endapan. Air hasil saringan dianggap konsentrasi 100%.
2) Pembiakan Trichophyton mentagrophytes
Memperoleh biakan jamur diperoleh dari laboratorium Mikrobiologi Universitas Setia Budi Surakarta. Trichophyton
mentagrophytes yang diperoleh merupakan biakan subkultur 5 hari
dalam Sabouraud Dextrosa AgarSlant.
b. Tahap Uji Penelitian
1) Penentuan besar ulangan
Dihitung dengan rumus Federer (n-1) (t-1) > 15
Keterangan n : besar ulangan
t : jumlah kelompok perlakuan
Karena pada penelitian ini menggunakan 6 kelompok perlakuan, maka :
(n-1) (t-1) > 15 (n-1) (6-1) > 15 5n > 20
n > 4
Jadi, untuk setiap kelompok, jumlah pengulangan harus lebih dari 4. Dalam penelitian ini menggunakan 5 kali ulangan dalam setiap kelompok.
(47)
commit to user
2) Pembuatan Sabouraud Dextrose Agar
Menyiapan Sabouraud Dextrose Agar bubuk 13 gram dan
menambahkan akuades 200 ml, lalu memanaskan sambil
mengaduk sampai tercampur homogen. Menambahkan
kloramfenikol pada media cair untuk mencegah tumbuhnya kuman kontaminan. Setiap 1000 ml Sabouraud Dextrose Agar cair
memerlukan 400 mg kloramfenikol, maka:
Kloramfenikol yang diperlukan untuk 150 ml Sabouraud Dextrose
Agar = 200 ml x 400mg = 80 mg
1000 ml
Setiap 250 mg kloramfenikol dilarutkan dalam 10 ml NaCl 0,9%, Maka:
NaCl 0,9% yang diperlukan = 80 mg x 10 ml = 3,2 ml 250 mg
(Bridson, 1998)
Jadi diperlukan 80 mg kloramfenikol dilarutkan dalam 3,2 ml NaCl 0,9%.
Kemudian mensterilkan media cair yang telah ditambah larutan kloramfenikol dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit bersama dengan peralatan penelitian lain yang dibutuhkan. Menuangkan Sabouraud Dextrosa Agar cair dalam 5 cawan Petri
(48)
commit to user
3) Pembuatan suspensi dan inokulum Trichophyton mentagrophytes
Memperoleh biakan jamur dari Laboratorium Mikrobiologi Universitas Setia Budi Surakarta. Trichophyton mentagrophytes
yang diperoleh merupakan biakan sub kultur 5 hari dalam
Sabouraud Dextrose Agar miring. Mengambil biakan dengan
menggunakan oshe steril kemudian memasukkan ke dalam larutan NaCl 0,9% sampai mencapai kekeruhan yang ekivalen dengan 0,5 standart Mc Farland. Menginokulasikan sampel cair Trichophyton
mentagrophytes sebanyak 0,2 ml ke dalam tiap-tiap cawan petri
yang berisi Sabouraud Dextrose Agar. Menggoyang agar untuk
meratakan sampel Trichophyton mentagrophytes.
4) Pengenceran perasan kulit jeruk purut
Mengencerkan hasil perasan kulit jeruk purut yang telah disiapkan pada saat tahap persiapan uji pendahuluan sehingga diperoleh konsentrasi 70%, 80%, 90% dan 100%.
5) Memberi perlakuan ke dalam 7 cawan Petri dengan perasan kulit jeruk purut, akuades dan flukonazol 25 µg
Langkah pertama dalam tahap ini adalah membuat 5 sumuran berdiameter 6 mm pada masing cawan Petri. Pada masing-masing sumuran diisi 0,05 ml akuades sebagai kontrol negatif, 0,05 ml flukonazol 25 µg sebagai kontrol positif, dan 0,05 ml perasan kulit jeruk purut dengan konsentrasi 70%, 80%, 90%, 100%.
Selanjutnya diiinkubasi pada suhu kamar selama 4 hari. Setelah diinkubasi, dilakukan pengukuran diamater daerah yang bening
(49)
commit to user
(zona hambatan) dengan menggunakan penggaris melewati pusat sumuran.
Mengulang tahap penelitian poin a dan b dengan perasan kulit jeruk purut yang berbeda. Pengulangan perasan dilakukan sebanyak 3 kali.
J. Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan uji statistik non parametrik, yaitu uji Kruskal Wallis dilanjutkan dengan Mann Whitney. Uji Kruskal Wallis
adalah uji untuk menentukan apakah terdapat perbedaan antar kelompok yang diuji (α = 0,05).
Hipotesis:
H0 : Tidak ada perbedaan antar kelompok perlakuan H1 : Ada perbedaan antar kelompok perlakuan. Pengambilan keputusan:
Jika probabilitas > 0.05 maka H0 diterima Jika probabilitas < 0.05 maka H0 ditolak
Uji Mann Whitney digunakan untuk membandingkan rerata diameter zona
hambatan antar kelompok sehingga dapat diketahui kelompok mana yang berbeda secara signifikan atau tidak dengan kelompok lain (α = 0,05).
Hipotesis:
H0 : Tidak ada perbedaan antara kelompok yang dibandingkan. H1 : Ada perbedaan antara kelompok yang dibandingkan.
(50)
commit to user
Pengambilan keputusan:
Jika probabilitas > 0.05 maka H0 diterima Jika probabilitas < 0.05 maka H0 ditolak
Data diolah dengan menggunakan Statistical Producy and Service Solution
(51)
commit to user
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
Dari uji pendahuluan yang dilakukan sebelum uji penelitian, diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 1. Rerata Diameter Zona Hambat Trichophtyon mentagrophytes pada Uji Pendahuluan
Perlakuan Rerata Diameter
Zona Hambat (mm)* Akuades (kontrol
negatif)
6 Flukonazol 25 µg
(kontrol positif)
37,2 Perasan kulit jeruk
purut 20%
14 Perasan kulit jeruk
purut 40%
15 Perasan kulit jeruk
purut 60%
13 Perasan kulit jeruk
purut 80%
22,5 Perasan kulit jeruk
purut 100%
19
Sumber data : Primer, Desember 2010
Keterangan: * Pengukuran diameter zona hambat termasuk diameter sumuran 6 mm
Data selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran 1. Dari Tabel 1 di atas dapat dibuat grafik yang menggambarkan rerata diameter zona hambatan pada masing-masing perlakuan.
(52)
commit to user
Gambar 4. Diagram Rerata Diameter Zona Hambat (mm) Masing-Masing Kelompok Perlakuan pada Uji Pendahuluan
Pada uji penelitian, konsentrasi perasan kulit jeruk purut yang digunakan adalah 70%, 80%, 90%, dan 100%. Dilakukan pengulangan percobaan sebanyak 3 kali dengan perasan kulit jeruk purut yang berbeda. Hasil masing-masing penelitian dapat dilihat pada lampiran 2, 3, dan 4. Adapun rerata hasil penelitian eksperimental laboratorium efek antifungi perasan kulit jeruk purut (Citrus hystrix) terhadap pertumbuhan Trichophyton mentagrophytes secara in
vitro pada Sabouraud Dextrose Agar adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Rerata Diameter Zona Hambat Trichophyton mentagrophytes Dari Tiga Kali Perasan
Diameter Zona Hambat (mm)
Akuades Rerata Perasan Kulit Jeruk Purut* Flukonazol 25 µg
70% 80% 90% 100%
Perasan I 6 13,4 20 21,8 21,4 26,4
Perasan II 6 13,2 18,6 22,2 21 25
Perasan III 6 12,4 20 21 23 25
Rerata 6 13 19,5 21,7 21,8 25,5
Sumber data : Primer, Desember 2010
*Keterangan: Pengukuran diameter zona hambat termasuk diameter sumuran 6 mm 6
14 15 13
22,5 19 37,2 0 5 10 15 20 25 30 35 40
Akuades Perasan Kulit Jeruk Purut 20% Perasan Kulit Jeruk Purut 40% Perasan Kulit Jeruk Purut 60% Perasan Kulit Jeruk Purut 80% Perasan Kulit Jeruk Purut 100% Flukonazol 25ug Kelompok Perlakuan D ia m e te r Z o n a H a m b a t (m m )
(53)
commit to user
Dari tabel 2 di atas dapat dibuat diagram yang menggambarkan zona hambatan perasan kulit jeruk purut (Citrus hystrix) terhadap Trichophyton
mentagrophytes secara in vitro pada masing-masing kelompok perlakuan.
Gambar 5. Diagram Rerata Diameter Zona Hambat (mm) Masing-Masing Kelompok Perlakuan pada Uji Penelitian
Pada diagram di atas dapat dilihat adanya perbedaan rata-rata diameter zona hambatan pada masing-masing kelompok perlakuan. Semakin tinggi konsentrasi perasan yang digunakan, semakin besar zona hambatan yang terbentuk. Kelompok perlakuan dengan menggunakan akuades (kontrol negatif) tidak menunjukkan adanya zona hambatan. Sedangkan kelompok perlakuan dengan flukonazol 25 µg (kontrol positif) menunjukkan rata-rata diameter zona hambatan 25,5 mm terhadap Tricophyton mentagrophytes.
6
13
19,5 21,7 21,8
25,5 0 5 10 15 20 25 30
Akuades Perasan Kulit Jeruk Purut 70% Perasan Kulit Jeruk Purut 80% Perasan Kulit Jeruk Purut 90% Perasan Kulit Jeruk Purut 100% Flukonazol 25ug Kelompok Perlakuan D ia m e te r Z o n a H a m b a t (m m )
(54)
commit to user
B. Analisis Data
Uji normalitas data dilakukan dengan menggunakan uji
Kolmogorov-Smirnov (lampiran 5). Didapatkan nilai signifikansi diatas 0.05 yang
menunjukkan bahwa data terdistribusi normal. Setelah itu, homogenitas data diuji menggunakan Levene Test (lampiran 5), didapatkan nilai signifikansi
dibawah 0.05, maka data dinyatakan tidak homogen. Data terdistribusi normal tetapi tidak homogen, maka syarat untuk uji one way ANOVA tidak terpenuhi.
Sehingga digunakan uji homolognya, yaitu uji Kruskal Wallis yang kemudian
dilanjutkan dengan uji Mann Whitney. Data diolah dengan program Statistical
Product and Service Solution (SPSS) 16.0 for Windows.
1. Uji Kruskal Wallis
Dari hasil yang diperoleh, terdapat perbedaan antara keenam kelompok perlakuan. Dari uji statistik Kruskal Wallis (lampiran 6) dengan tingkat
kemaknaan (α) 0.05, diperoleh nilai t hitung 16.222 dan nilai t tabel (lampiran 8) 11.070. Maka diketahui bahwa nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel yang menunjukkan hipotesis nihil (H0) ditolak dan hipotesis alternatif (H1) diterima. Jadi, terdapat perbedaan diameter zona hambatan antara keenam kelompok perlakuan dengan nilai probabilitas 0.006, lebih kecil dari 0.05.
2. Uji Mann Whitney
Uji Mann Whitney digunakan untuk membandingkan seberapa jauh
perbedaan rerata diameter zona hambatan antar kelompok perlakuan. Berikut adalah ringkasan hasil Uji Mann Whitney dari lampiran 6:
(55)
commit to user
Tabel 3.Ringkasan Hasil Uji Mann Whitney
Kelompok Nilai P Tingkat
Kemaknaan
Akuades Flukonazol 25 µg 0.034 Bermakna
Perasan kulit jeruk purut 70%
0.037 Bermakna
Perasan kulit jeruk purut 80%
0.034 Bermakna
Perasan kulit jeruk purut 90%
0.037 Bermakna
Perasan kulit jeruk purut 100%
0.037 Bermakna
Flukonazol 25 µg Perasan kulit jeruk purut 70%
0.046 Bermakna
Perasan kulit jeruk purut 80%
0.046 Bermakna
Perasan kulit jeruk purut 90%
0.046 Bermakna
Perasan kulit jeruk purut 100%
0.046 Bermakna
Perasan Kulit Jeruk purut 70%
Perasan kulit jeruk purut 80%
0.046 Bermakna
Perasan kulit jeruk purut 90%
0.050 Bermakna
Perasan kulit jeruk purut 100%
0.050 Bermakna
Perasan Kulit Jeruk purut 80%
Perasan kulit jeruk purut 90%
0.046 Bermakna
Perasan Kulit Jeruk purut 80%
Perasan kulit jeruk purut 100%
0.046 Bermakna
Perasan Kulit Jeruk purut 90%
Perasan kulit jeruk purut 100%
1.000 Tidak
Bermakna
Sesuai hasil uji Mann Whitney di atas, dapat diketahui bahwa :
a. Terdapat perbedaan antara diameter zona hambat kelompok akuades (kontrol negatif) dengan flukonazol 25 µg (kontrol positif). Antara akuades dengan perasan kulit jeruk purut pada seluruh tingkat konsentrasi (70%, 80%, 90%, dan 100%) juga terdapat perbedaan diameter zona hambat.
(56)
commit to user
b. Terdapat perbedaan antara diameter zona hambat kelompok flukonazol 25 µg (kontrol positif) dengan perasan kulit jeruk purut pada seluruh tingkat konsentrasi (70%, 80%, 90%, dan 100%).
c. Didalam kelompok perasan kulit jeruk purut sendiri, terdapat perbedaan antara diameter zona hambat konsentrasi 70% dengan konsentrasi 80%, 90% dan 100%; serta antara diameter zona hambat konsentrasi 80% dengan konsentrasi 90% dan 100%. Akan tetapi tidak terdapat perbedaan antara diameter zona hambat konsentrasi 90% dengan konsentrasi 100%.
(57)
commit to user
BAB V PEMBAHASAN
Sebelum dilakukan penelitian, dilakukan uji pendahuluan terlebih dahulu. Uji pendahuluan digunakan untuk menentukan konsentrasi perasan kulit jeruk purut yang akan digunakan dalam penelitian. Uji pendahuluan dimulai dengan konsentrasi perasan kulit jeruk purut 20% karena mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Hidayah dan Subakir (2010) mengenai efektifitas air perasan buah jeruk purut 20% terhadap pertumbuhan Malassezia sp. Penelitian tersebut
bertujuan untuk mengetahui efektivitas air perasan jeruk purut 25% dibandingkan ketokonazol 2% terhadap pertumbuhan Malassezia sp. pada ketombe.
Sampel dari penelitian tersebut adalah biakan (+) Malassezia sp. pada
SabouraudDextrose Agar olive oil. Biakan (+) Malassezia sp. tersebut diencerkan
sesuai dengan standar McFarland 0,5 dan diambil 0,1 cc untuk ditanamkan pada
Sabouraud Dextrose Agar olive oil dengan air perasan jeruk purut 25% dan
Sabouraud Dextrose Agar olive oil dengan ketokonazol 2%. Media dimasukkan
ke dalam inkubator pada suhu 37°C selama 24-48 jam, kemudian diamati pertumbuhan Malassezia sp.
Berdasarkan hasil penelitian, dari 30 cawan biakan (+) Malassezia sp.
pada Sabouraud Dextrose Agar olive oil dengan air perasan jeruk purut 25%, 21
cawan dinyatakan pertumbuhan Malassezia sp. (+) dan 9 cawan dinyatakan
pertumbuhan Malassezia sp. (-). Sedangkan dari 30 cawan biakan (+) Malassezia
(58)
commit to user
dinyatakan pertumbuhan Malassezia sp. (+) dan 28 cawan dinyatakan
pertumbuhan Malassezia sp. (-).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi perasan jeruk purut sebesar 25% sudah mampu memberikan efek sebagai antifungi. Atas dasar tersebut, maka perasan kulit jeruk purut dalam penelitian ini digunakan konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%.
Uji pendahuluan juga melibatkan flukonazol 25 µg sebagai kontrol positif untuk memperkirakan konsentrasi perasan kulit jeruk purut yang mampu menyamai diameter zona hambatan yang dihasilkan kontrol positif. Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini adalah flukonazol 25 µg karena sudah terbukti sebagai obat antifungi. Flukonazol merupakan derivat triazol yang efektif untuk perawatan berbagai jenis gangguan dermatofitosis (Mertesacker, 2006).
Dari hasil uji pendahuluan, didapatkan hasil bahwa perasan kulit jeruk purut memiliki zona hambatan maksimal pada konsentrasi 80%, yaitu sebesar 22,5 mm. Atas dasar tersebut, konsentrasi perasan kulit jeruk purut yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 70%, 80%, 90%, dan 100%. Akan tetapi pada konsentrasi maksimal 80%, perasan jeruk purut tetap tidak mampu menyamai diameter zona hambatan yang dihasilkan oleh flukonazol 25 µg yaitu sebesar 37,2 mm.
Pada tahap uji penelitian, dilakukan dilakukan 3 kali penelitian dengan menggunakan perasan jeruk purut yang berbeda. Kemudian dari ketiga hasil tersebut diambil rata-rata yang menunjukkan hasil akhir dari penelitian. Hal ini dilakukan untuk memperkecil penyimpangan kualitas perasan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.
(59)
commit to user
Kelompok perlakuan dengan flukonazol 25 µg (kontrol positif) memiliki perbedaan yang signifikan terhadap perasan kulit jeruk purut pada seluruh tingkat konsentrasi (70%, 80%, 90%, dan 100%). Akan tetapi zona hambatan yang terbentuk pada semua kelompok perlakuan lebih kecil dibandingkan dengan zona hambatan flukonazol 25 µg. Dilihat dari rerata hasil penelitian pada tabel 2, perasan kulit jeruk purut konsentrasi 70% menghasilkan zona hambatan sebesar 13 mm, konsentrasi 80% menghasilkan zona hambatan 19,5 mm, konsentrasi 90% dengan zona hambatan 21,7 mm, dan konsentrasi 100% menghasilkan zona hambatan sebesar 21,8 mm. Sedangkan flukonazol 25 µg mampu menghasilkan diameter zona hambatan sebesar 25,5 mm. Hal ini menunjukkan bahwa efek antifungi perasan kulit jeruk purut konsentrasi 70%, 80%, 90% dan 100% lebih kecil dibandingkan flukonazol 25 µg.
Terdapat perbedaan yang signifikan antara perasan kulit jeruk purut konsentrasi 70% dengan konsentrasi 80%, 90% dan 100%; serta antara konsentrasi 80% dengan konsentrasi 90% dan 100%. Akan tetapi pada kelompok perlakuan perasan kulit jeruk purut konsentrasi 90% terdapat perbedaan yang tidak signifikan terhadap konsentrasi 100%. Zona hambatan yang terbentuk pada konsentrasi 90% sebesar 21,7 mm, sama dengan zona hambatan yang terbentuk pada konsentrasi 100% yaitu sebesar 21,8 mm. Sehingga kedua kelompok perlakuan menunjukkan daya hambat yang setara terhadap Tricophyton
mentagrophytes.
Zona hambatan yang terbentuk pada semua kelompok perlakuan perasan kulit jeruk purut menunjukkan bahwa terdapat efek antifungi pada kelompok perlakuan tersebut. Terdapat perbedaan zona hambatan yang terbentuk pada
(60)
commit to user
masing-masing konsentrasi. Semakin tinggi konsentrasi perasan yang digunakan, semakin besar zona hambatan yang terbentuk.
Zona hambatan dapat terbentuk pada perlakuan dengan perasan kulit jeruk purut karena di dalam perasan tersebut mengandung berbagai senyawa, seperti minyak atsiri, saponin, flavonoid, kumarin, dan steroid triterpenoid. Senyawa senyawa inilah yang memberikan efek antifungi terhadap jamur Trichophyton
(61)
commit to user
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa perasan kulit jeruk purut (Citrus hystrix) mempunyai efek antifungi dan pada
konsentrasi 100% memiliki daya hambat optimal dalam pertumbuhan
Trichophyton mentagrophytes secara in vitro.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengisolasi senyawa aktif yang terkandung dalam perasan kulit jeruk purut (Citrus hystrix) yang paling
berpengaruh dapat menghambat pertumbuhan jamur Trichophyton
(1)
commit to user
b. Terdapat perbedaan antara diameter zona hambat kelompok flukonazol 25 µg (kontrol positif) dengan perasan kulit jeruk purut pada seluruh tingkat konsentrasi (70%, 80%, 90%, dan 100%).
c. Didalam kelompok perasan kulit jeruk purut sendiri, terdapat perbedaan antara diameter zona hambat konsentrasi 70% dengan konsentrasi 80%, 90% dan 100%; serta antara diameter zona hambat konsentrasi 80% dengan konsentrasi 90% dan 100%. Akan tetapi tidak terdapat perbedaan antara diameter zona hambat konsentrasi 90% dengan konsentrasi 100%.
(2)
commit to user
BAB V PEMBAHASAN
Sebelum dilakukan penelitian, dilakukan uji pendahuluan terlebih dahulu. Uji pendahuluan digunakan untuk menentukan konsentrasi perasan kulit jeruk purut yang akan digunakan dalam penelitian. Uji pendahuluan dimulai dengan konsentrasi perasan kulit jeruk purut 20% karena mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Hidayah dan Subakir (2010) mengenai efektifitas air perasan buah jeruk purut 20% terhadap pertumbuhan Malassezia sp. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui efektivitas air perasan jeruk purut 25% dibandingkan ketokonazol 2% terhadap pertumbuhan Malassezia sp. pada ketombe.
Sampel dari penelitian tersebut adalah biakan (+) Malassezia sp. pada
SabouraudDextrose Agarolive oil. Biakan (+) Malassezia sp. tersebut diencerkan
sesuai dengan standar McFarland 0,5 dan diambil 0,1 cc untuk ditanamkan pada
Sabouraud Dextrose Agar olive oil dengan air perasan jeruk purut 25% dan
Sabouraud Dextrose Agar olive oil dengan ketokonazol 2%. Media dimasukkan
ke dalam inkubator pada suhu 37°C selama 24-48 jam, kemudian diamati pertumbuhan Malassezia sp.
Berdasarkan hasil penelitian, dari 30 cawan biakan (+) Malassezia sp.
pada Sabouraud Dextrose Agar olive oil dengan air perasan jeruk purut 25%, 21 cawan dinyatakan pertumbuhan Malassezia sp. (+) dan 9 cawan dinyatakan pertumbuhan Malassezia sp. (-). Sedangkan dari 30 cawan biakan (+) Malassezia sp. pada Sabouraud Dextrose Agar olive oil dengan ketokonazol 2%, 2 cawan
(3)
commit to user
dinyatakan pertumbuhan Malassezia sp. (+) dan 28 cawan dinyatakan
pertumbuhan Malassezia sp. (-).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi perasan jeruk purut sebesar 25% sudah mampu memberikan efek sebagai antifungi. Atas dasar tersebut, maka perasan kulit jeruk purut dalam penelitian ini digunakan konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%.
Uji pendahuluan juga melibatkan flukonazol 25 µg sebagai kontrol positif untuk memperkirakan konsentrasi perasan kulit jeruk purut yang mampu menyamai diameter zona hambatan yang dihasilkan kontrol positif. Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini adalah flukonazol 25 µg karena sudah terbukti sebagai obat antifungi. Flukonazol merupakan derivat triazol yang efektif untuk perawatan berbagai jenis gangguan dermatofitosis (Mertesacker, 2006).
Dari hasil uji pendahuluan, didapatkan hasil bahwa perasan kulit jeruk purut memiliki zona hambatan maksimal pada konsentrasi 80%, yaitu sebesar 22,5 mm. Atas dasar tersebut, konsentrasi perasan kulit jeruk purut yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 70%, 80%, 90%, dan 100%. Akan tetapi pada konsentrasi maksimal 80%, perasan jeruk purut tetap tidak mampu menyamai diameter zona hambatan yang dihasilkan oleh flukonazol 25 µg yaitu sebesar 37,2 mm.
Pada tahap uji penelitian, dilakukan dilakukan 3 kali penelitian dengan menggunakan perasan jeruk purut yang berbeda. Kemudian dari ketiga hasil tersebut diambil rata-rata yang menunjukkan hasil akhir dari penelitian. Hal ini dilakukan untuk memperkecil penyimpangan kualitas perasan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.
(4)
commit to user
Kelompok perlakuan dengan flukonazol 25 µg (kontrol positif) memiliki perbedaan yang signifikan terhadap perasan kulit jeruk purut pada seluruh tingkat konsentrasi (70%, 80%, 90%, dan 100%). Akan tetapi zona hambatan yang terbentuk pada semua kelompok perlakuan lebih kecil dibandingkan dengan zona hambatan flukonazol 25 µg. Dilihat dari rerata hasil penelitian pada tabel 2, perasan kulit jeruk purut konsentrasi 70% menghasilkan zona hambatan sebesar 13 mm, konsentrasi 80% menghasilkan zona hambatan 19,5 mm, konsentrasi 90% dengan zona hambatan 21,7 mm, dan konsentrasi 100% menghasilkan zona hambatan sebesar 21,8 mm. Sedangkan flukonazol 25 µg mampu menghasilkan diameter zona hambatan sebesar 25,5 mm. Hal ini menunjukkan bahwa efek antifungi perasan kulit jeruk purut konsentrasi 70%, 80%, 90% dan 100% lebih kecil dibandingkan flukonazol 25 µg.
Terdapat perbedaan yang signifikan antara perasan kulit jeruk purut konsentrasi 70% dengan konsentrasi 80%, 90% dan 100%; serta antara konsentrasi 80% dengan konsentrasi 90% dan 100%. Akan tetapi pada kelompok perlakuan perasan kulit jeruk purut konsentrasi 90% terdapat perbedaan yang tidak signifikan terhadap konsentrasi 100%. Zona hambatan yang terbentuk pada konsentrasi 90% sebesar 21,7 mm, sama dengan zona hambatan yang terbentuk pada konsentrasi 100% yaitu sebesar 21,8 mm. Sehingga kedua kelompok
perlakuan menunjukkan daya hambat yang setara terhadap Tricophyton
mentagrophytes.
Zona hambatan yang terbentuk pada semua kelompok perlakuan perasan kulit jeruk purut menunjukkan bahwa terdapat efek antifungi pada kelompok perlakuan tersebut. Terdapat perbedaan zona hambatan yang terbentuk pada
(5)
commit to user
masing-masing konsentrasi. Semakin tinggi konsentrasi perasan yang digunakan, semakin besar zona hambatan yang terbentuk.
Zona hambatan dapat terbentuk pada perlakuan dengan perasan kulit jeruk purut karena di dalam perasan tersebut mengandung berbagai senyawa, seperti minyak atsiri, saponin, flavonoid, kumarin, dan steroid triterpenoid. Senyawa senyawa inilah yang memberikan efek antifungi terhadap jamur Trichophyton mentagrophytes.
(6)
commit to user
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa perasan kulit jeruk purut (Citrus hystrix) mempunyai efek antifungi dan pada konsentrasi 100% memiliki daya hambat optimal dalam pertumbuhan
Trichophyton mentagrophytes secara in vitro.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengisolasi senyawa aktif yang terkandung dalam perasan kulit jeruk purut (Citrus hystrix) yang paling
berpengaruh dapat menghambat pertumbuhan jamur Trichophyton