Strategi pengembangan agroindustri mete di kabupaten Wonogiri JURNAL. JURNAL

(1)

STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI METE

DI KABUPATEN WONOGIRI

Helda Andi Kuncoro 1, Suprapti Supardi 2, Mohamad Harisudin 3

Agribusiness Department, Postgraduate Program of Sebelas Maret University

heldakuncoro89@gmail.com

ABSTRACT

This research has the aim to understand how much revenue, cost, and income of the

Mete’s industrial enterpreneurs in Wonogiri Regency; understanding internal factor and

external factor which may interupting the development of small medium enterprise;

understanding the alternative strategy which may applied in development Mete’s small medium enterprise; and also to understand the priority strategy which is the most effective to

applied in developing the Mete’s small medium enterprise.

According to the results, the average revenue of Mete’s industrial enterpreneurs in 30

days of productions is Rp. 45.981.538. Average cost which lost is Rp. 42.610.613. And the income in one production process is Rp. 3.370.865, so the Mete’s industrial works in Wonogiri

Regency has the prospect to be developed by the government there. Alternative strategies can be applied in developing agro-industry Mete in Wonogiri is Increase the production and quality of the local mete, equipment, to maintain consumer confidence with increasing demand, Increased capital policy and supervision of raw materials for agro-industries mete, Improving the quality and quantity of human resources through the government's development activities in order to maximal potential. The priority strategy which may applied in developing the agro-industrial Mete’s factory in Wonogiri Regency according to the matrix

analysis of the QSP is to improve the productions and the quality of the local Mete’s; equipment; and also to keep the trust of the consumers as in a row as the demand’s

improvements.

Keywords : QSP Matrix analysis, Strategy, Wonogiri’s mete

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki banyak produk pangan yang diangkat dari jenis pangan lokal dan diolah secara tradisional. Dengan berkembangnya produk lokal maka jumlah dan jenis produk pangan menjadi semakin banyak jumlahnya (Soleh, 2003 : 6).

Kabupaten Wonogiri sebagai salah satu daerah yang memiliki berbagai industri pengolahan pangan khususnyaa mete. Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonogiri (2008 : 7 ) keberadaan industri pengolahan mete

memiliki potensi sebagai penopang

perekonomian daerah dan penyerapan

tenaga kerja. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1. Komoditas Tanaman Tahunan di Kabupaten Wonogiri, 2013.

No Komoditas

TBM

Luas Areal

TM TT/TR

Produksi (Ton) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. KELAPA DLM KOPI ROBUSTA KOPI ARABICA CENGKEH KAPOK LADA JAMBU METE KAKAO KELAPA DERES PANILI JANGGELAN MELINJO CABE JAMU JARAK PAGAR KARET :Swadaya 2.663 42 12 722 - 17 3.289 390 3 4 - 216 10 296 40 11.172 102 93 3394 464 66 12.921 757 124 7 1.348 1.376 351 210 - 1.970 12 15 533 638 1 4.305 92 30 3 - 91 - - - 7.865 24 35 960 57 29 10.983 350 316 1 5.331 468 460,1 47 - Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan, 2013


(2)

Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Perkebunan sebagai bagian integral dari sektor pertanian merupakan sub sektor yang mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Peranannya terlihat nyata dalam penerimaan devisa negara melalui ekspor, penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku berbagai industri dalam negeri, perolehan nilai tambah dan daya saing serta optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan (Herdhiansyah, 2012 : 201)

Tanaman jambu mete menghasilkan komoditas ekspor yang memiliki nilai jual yang cukup tinggi dan relatif stabil dibanding komoditas ekspor Indonesia lainnya. Selain gelondong dan kacang mete tanaman tersebut menghasilkan pula minyak laka dan produk lain yang diolah dari buah semu (Karmawati, 2008 : 201).

Di suatu klaster industri kecil yang terdiri dari unit usaha inti dan unit usaha penunjang, unit usaha inti merupakan gerbong penghela klaster. Oleh karena itu

mengembangkan usaha inti sehingga

mempunyai keunggulan kompetitif

diharapkan dapat mengembangkan klaster secara keseluruhan (Widjajani, 2008 : 26)

Potensi IKM di Indonesia sebenarnya sangat besar. Hanya saja, potensi yang besar itu belum termaksimalkan. Salah satu kelemahan dari sektor industri yang

mengelompok (clustered) adalah

bahwamereka cenderung hanya menikmati keuntungan-keuntungan akibat lokasi yangsama (external economies). Mereka belum maksimal memanfaatkan jaringan untuk bekerjasama (joint action) guna memecahkan permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi (Maridjan, 2005:4)

Kualitas menjadi kata kunci dalam industri kecil mete. Pengembangan industri

kecil mete di Kabupaten Wonogiri

memerlukan sinergi dari Pemerintah, APMI, pengusaha mete. Strategi pengembangan akan berpengaruh besar dalam menjaga kelangsungan hidup dan mengatasi kendala-kendala yang ada pada usaha industri mete. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan menganalisis pendapatan dan strategi efektif yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengembangkan industri kecil mete.

TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui besarnya penerimaan, biaya dan pendapatan pengusaha mete di Kabupaten Wonogiri.

2. Mengetahui faktor internal dan eksternal

yang dapat mempengaruhi

pengembangan industri kecil mete di Kabupaten Wonogiri.

3. Mengetahui alternatif strategi yang dapat

diterapkan dalam mengembangkan

industri kecil mete di Kabupaten Wonogiri.

4. Mengetahui prioritas strategi yang paling

efektif diterapkan dalam

mengembangkan industri kecil mete di Kabupaten Wonogiri.


(3)

METODE PENELITIAN A.Metode Dasar Penelitian

Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis yaitu metode yang memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang dan pada masalah-masalah yang aktual. Data yang

dikumpulkan mula-mula disusun,

dijelaskan dan kemudian dianalisis (Surakhmad, 1994 : 139).

Dalam penelitian ini, karena jumlah populasi responden agroindustri mete di Kabupaten Wonogiri relatif kecil dan

mudah dijangkau, maka penulis

menggunakan metode sensus yaitu

dengan mengumpulkan data semua

responden dan diselidiki satu persatu.

B. Metode Penentuan Sampel

1. Metode Penentuan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Wonogiri. Penentuan lokasi kecamatan dan kelurahan dilakukan secara purposive sampling (sengaja), yaitu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian (Singarimbun dan Effendi, 1995 : 155).

Tabel 2. Jumlah Industri Kecil Mete di Kabupaten Wonogiri

No. Kecamatan Unit Usaha

1. Jatisrono 55

2. Ngadirojo 30

3. Jatiroto 15

Sumber : Dinas Perindustrian Koperasi dan UKM Kabupaten Wonogiri, 2013 2. Metode Penentuan Responden

a. Penentuan Responden Untuk

Analisis Usaha (Penerimaan, Biaya dan Pendapatan)

Penelitian yang menggunakan seluruh anggota responden atau sensus. Penggunaan metode ini berlaku jika jumlah responden relatif kecil (mudah dijangkau).

b. Penentuan Informan Untuk

Perumusan Strategi

1) Penentuan Faktor-Faktor Kunci Strategis

Faktor strategis adalah faktor-faktor yang dijadikan

sebagai komponen dalam

melakukan perumusan strategi. (Bungin, 2003 : 45).

Kriterianya yaitu orang

yang mengetahui tentang

agroindustri mete,

berpengalaman, mengetahui kondisi sekitar, dan lain sebagainya. Informan kunci yang dipilih dalam penelitian ini

adalah pemerintah daerah

Kabupaten Wonogiri yaitu dari

Dinas Kehutanan dan

Perkebunan Kabupaten Wonogiri sebagai pemangku kepentingan

komoditas perkebunan di

Kabupaten Wonogiri.

2) Informan untuk mendapatkan informasi pendukung.


(4)

a) Penyedia bahan baku

b) Pedagang mete

c) Konsumen mete

3) Penentuan Bobot dan Nilai Daya Tarik dalam Matriks QSP

Responden yang bertindak dalam menentukan bobot dalam faktor strategi eksternal dan faktor strategi internal adalah Pemerintah Daerah yaitu Dinas Perindustrian, Koperasi dan UMKM, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Asosiasi Petani Mete Indonesia, dan pengusaha industri mete di Kabupaten Wonogiri.

Responden yang digunakan dalam penentuan nilai daya tarik dalam matrik QSP adalah dari

Dinas Kehutanan dan

Perkebunan Kabupaten Wonogiri yaitu kepala Bidang Perkebunan selaku pejabat yang menangani

komoditas perkebunan di

Kabupaten Wonogiri C. Metode Analisis Data

1. Analisis Usaha a. Biaya Produksi

Nilai total biaya pada usaha industri kecil mete adalah penjumlahan dari nilai total biaya tetap (TFC) dan nilai biaya variabel (TVC) yang digunakan dalam kegiatan produksi mete.

Secara matematis menurut Gasperz (1999 : 86), dapat ditulis sebagai berikut:

TC = TFC + TVC Dimana :

TC = biaya total usaha industri kecil mete (Rupiah)

TFC = total biaya tetap usaha industri kecil mete (Rupiah) TVC = total biaya variabel usaha industri kecil mete (Rupiah) b. Penerimaan Usaha

Menurut Soekartawi (1995 : 54), penerimaan adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual dan biasanya produksi berhubungan negatif dengan harga, artinya harga akan turun ketika produksi berlebihan. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:

TR = Q x P dimana :

TR = penerimaan total Q = jumlah produk yang dihasilkan

P = harga

c. Pendapatan Usaha

Pendapatan (Pd) adalah selisih antara penerimaan yang diperoleh dari usaha produksi dengan semua biaya yang benar-benar dikeluarkan dalam usaha

agroindustri mete. Secara

matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :


(5)

Pd = TR – TC

2. Analisis Faktor Internal dan Faktor Eksternal

Untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dari faktor internal serta peluang dan ancaman dari faktor eksternal dalam mengembangkan industri kecil mete di Kecamatan Jatisrono, Jatiroto dan Ngadirojo Kabupaten Wonogiri.

3. Alternatif Strategi

Untuk merumuskan alternatif strategi pengembangan industri kecil

mete di Kecamatan Wonogiri

Kabupaten Wonogiri digunakan

analisis Matriks SWOT. Tabel 3. Matriks SWOT

Strenght (S) Menentukan 5-10 faktor-faktor kekuatan internal Weakness (W) Menentukan 5-10 faktor-faktor kelemahan internal Opportunities (O) Menentukan 5-10 faktor-faktor peluang eksternal Strategi S-O Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang Strategi W-O Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang Threats (T) Menentukan 5-10 faktor-faktor ancaman eksternal Strategi S-T Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman Strategi W-T Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman

Sumber : Rangkuti, 2006

Penentuan bobot ditentukan dengan Metode Eckenrode yaitu dengan melakukan perubahan urutan menjadi nilai, dimana:

a. Urutan 1 dengan tingkat (nilai) yang tertinggi

b. Urutan 2 dengan tingkat (nilai) dibawahnya

Misalkan kita akan menentukan altematif keputusan dengan beberapa kriteriakeputusan (misal jumlahnya t kriteria), maka:

a.

Urutan 1 mempunyai nilai: k- 1

b.

Urutan 2 mempunyai nilai: k-2

c.

dst

Dengan demikian, nilai : jumlah kriteria –

urutan

Formula penentuan bobot :

Untuk e = 1,2,... ... k

dimana : ƛej =nilai tujuan keƛoleh ekspert

ke j

n = jumlah ekspert (Syamsul, 2003 : 103)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Agroindustri Mete

1. Identitas Responden

Adapun identitas responden pada usaha agroindustri mete di Kabupaten Wonogiri dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Identitas Responden Pengusaha Agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri

No Identitas Responden Rata-Rata

1. 2. 3. 4. 5. Umur (tahun)

Lama pendidikan formal (tahun) Lama mengusahakan industri mete (tahun) Jumlah anggota keluarga (orang) Jumlah tanggungan keluarga (orang)

48 12 23 5 4

Sumber : Analisis Data Primer (2014)

2. Kegiatan Agroindustri Mete

Tahapan proses produksi

pembuatan mete di Kabupaten

Wonogiri dapat digambarkan dalam skema berikut ini:

n j=1

∑ ƛej We =

n j=1

∑ ƛej

k e=1


(6)

Gambar 1. Alur Pengolahan Mete Pada Agroindustri Mete Kabupaten Wonogiri

3. Biaya, Penerimaan dan Keuntungan a. Biaya Total

Besarnya biaya yang

dikeluarkan dalam usaha

agroindustri mete di Kabupaten Wonogiri dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rata-rata Biaya yang

Dikeluarkan Pengusaha dalam Melakukan Produksi Mete Selama 1 Bulan

No Uraian Biaya (Rp) Persentase (%) 1.

2.

Biaya Tetap Pajak Tanah Biaya Variabel Gelondong Mete Tepung Bahan Bakar (Arang) Plastik

Transportasi Listrik Tenaga Kerja Luar

2.593 38.649.500 16.950 80.895 105.570 92.755 78.010 2.315.400

0,01 90,7 0,04 0,19 0,25 0,22 0,18 5,43 Jumlah 41.341.673 100

Sumber : Analisis Data Primer (2014) b. Penerimaan

Penerimaan dari usaha

agroindustri mete dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 5. Rata-Rata Penerimaan Usaha Agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri

No Jenis Penerimaan Fisik(kg) Harga (Rp) Rata-rata (Rp)

1. 2.

Mete Ose Kulit Mete

568 1.704

80.000 300

45.470.900 511.538

Jumlah 45.981.538

Sumber : Analisis Data Primer (2014) c. Pendapatan

Pendapatan usaha

agroindustri mete di Kabupaten Wonogiri dapat dilihat dari Tabel 14.

Tabel 6. Rata-rata Pendapatan Usaha Agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri

No Uraian Rata-rata (Rp) 1. Penerimaan 45.981.538 2. Biaya Total 41.341.673

Pendapatan 4.639.865

Sumber : Analisis Data Primer (2014)

B. Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri

Analisis strategi bertujuan untuk menentukan arah tindakan alternatif terbaik dalam rangka mencapai misi dan tujuannya. Strategi, tujuan dan misi ditambah informasi audit eksternal dan internal untuk memunculkan dan mengevaluasi berbagai strategi alternatif (David, 2004 : 320).

1. Analisis Faktor Internal dan Eksternal

a. Analisis Faktor Internal

Analisis faktor internal untuk agroindustri mete di Kabupaten Wonogiri.

1) Komitmen Kebijakan 2) Sumber Daya Manusia 3) Fasilitasi Pemerintah 4) Penyuluhan

METE GELONDONG

Kacip mete

Kulit Mete Luar

Menghilangkan kulit ari dengan dipanggang

Pengupasan Kulit Ari

Kacang Mete Kacang mete (masih

terdapat kulit ari) Penjemuran Gelondong Mete

Pencukilan

Pengemasan Mete Penjemuran Mete


(7)

5) Koordinasi antar sektoral b. Analisis Faktor Eksternal

faktor-faktor kunci yang menjadi peluang dan ancaman dalam pengembangan agroindustri mete.

1) Kondisi Perekonomian 2) Sosial dan Budaya 3) Pemasok

4) Konsumen

2. Identifikasi Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman

Tabel 7. Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman dalam Pengembangan Agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri

Faktor Internal Kekuatan Kelemahan

Komitmen Kebijakan - Adanya program Indikasi

Geografis mete Kabupaten Wonogiri

-Sumber Daya Manusia - - Kekurangan tenaga

pegawai, SDM

pemerintah

Fasilitasi Pemerintah - Bantuan peralatan - Akses permodalan dari

pemerintah terbatas

Penyuluhan - Penyuluhan tentang

limbah mete

- Terbentuknya Asosiasi

Petani mete

-Koordinasi Antar

Sektoral

- Infrastruktur sudah baik - Belum adanya

Pengawasan bahan baku

Faktor Eksternal Peluang Ancaman

Kondisi Perekonomian

- - Kenaikan harga BBM

Sosial dan Budaya - Kepercayaan terhadap

mete dari Wonogiri

- Kesenjangan sosial

Teknologi - Ketersediaan teknologi

Kacip mete, oven

- Perkembangan teknologi

pengolahan mete.

-Pemasok - Kualitas Bahan baku mete

lokal lebih baik

- Kualitas bahan baku

mete luar

Konsumen - Permintaan mete

meningkat


(8)

3. Alternatif Strategi

Strategi mencerminkan

pengetahuan perusahaan mengenai

bagaimana, kapan dan dimana

perusahaan akan bersaing, dengan siapa sebaiknya bersaing dan untuk

tujuan apa perusahaan harus

bersaing. (Pearce and Robinson, 2008 : 26).

Tabel 8. Alternatif Strategi Matriks SWOT Pengembangan Agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri

Kekuatan-S

1.Adanya program Indikasi Geografis mete Kab. Wonogiri

2.Bantuan peralatan 3.Adanya program

penyuluhan limbah mete 4.Terbentuknya asosiasi

petani mete

5.Infrastruktur sudah baik

Kelemahan-W

1. Kekurangan tenaga pegawai, SDM pemerintah. 2. Akses permodalan

pemerintah terbatas 3. Belum adanya

Pengawasan Bahan Baku

Peluang-O

1.Kepercayaan terhadap mete dari Wonogiri

2.Ketersediaan teknologi Kacip mete, oven 3.Perkembangan

teknologi pengolahan mete. 4.Kualitas bahan baku

mete lokal lebih baik 5.Permintaan mete

meningkat

Strategi S-O

1.Meningkatkan produksi

dan kualitas bahan baku mete lokal, peralatan, untuk menjaga

kepercayaan konsumen seiring meningkatnya permintaan. (S1,S2,S5 ,O2,O4,O5).

2.Mengoptimalkan teknologi dan organisasi yang telah ada agar produksi mete berjalan optimal.

(S1,S2,S3,S4,S5,O1,O3,O4,O 5,).

Strategi W-O

1. Peningkatan kebijakan

modal dan pengawasan bahan baku untuk agroindustri mete

(W1,W2, W3,O1,O4,O5) 2. Peningkatan

pengembangan sumber daya manusia pemerintah secara maksimal dalam mendukung

pengembangan agroindustri mete (W1,W3,O2,O3,O4,05)

Ancaman-T

1.Kesenjangan sosial 2.Kenaikan harga BBM 3.Kualitas bahan baku

mete luar jelek

Strategi S-T

1. Mengoptimalkan fungsi organisasi untuk menjaga kualitas dan meningkatkan informasi yang menunjang agroindustri mete

(S3,S4,S5 ,T2,T3).

2. Meningkatkan pengawasan akan bahan baku, biaya produksi dan menjaga kepercayaan konsumen

(S4,S5,T1,T2,T3).

Strategi W-T

1. Meningkatkan kualitas

dan jumlah sumber daya manusia pemerintah melalui kegiatan pembinaan untuk memaksimalkan potensi agroindustri mete

(W3,W4,W5,T3).

2. Memperbaiki jalinan kerja sama antara Dishutbun dan Disperindakop dalam rangka menjaga

keharmonisan (W1,W2,W3,T1,T2,T3). Sumber : Analisis Data Primer (2014)


(9)

4. Prioritas Strategi

QSPM adalah alat yang

direkomendasikan bagi para ahli strategi untuk melakukan evaluasi pilihan strategi alternatif secara objektif, berdasarkan key success factors internal-eksternal yang telah diidentifikasikan sebelumnya(Umar, 2002 : 76).

Penetapan prioritas strategi dari hasil analisis SWOT dengan matriks QSPM adalah sebagai berikut :

Tabel 9. Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) Pengembangan Agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri.

Alternatif Strategi

FAKTOR-FAKTOR KUNCI Bobot I II III

AS TAS AS TAS AS TAS

Faktor Kunci Internal

Adanya program IG mete Kab.

Wonogiri 0,1651 4 0,6604 3 0,4953 2 0,3302

Bantuan peralatan 0,1538 4 0,6154 3 0,4615 2 0,3077

Adanya program penyuluhan

limbah mete 0,1013 1 0,1013 4 0,4053 2 0,2026

Terbentuknya Asosiasi Petani Mete 0,1144 3 0,3433 2 0,2289 4 0,4578

Infrastruktur sudah baik 0,1051 3 0,3152 1 0,1051 2 0,2101

Kekurangan tenaga pegawai, SDM

pemerintah 0,0957 2 0,1914 3 0,2871 1 0,0957

Akses permodalan pemerintah

terbatas 0,1407 1 0,1407 2 0,2814 3 0,4221

Belum adanya Pengawasan bahan

baku 0,1238 4 0,4953 3 0,3715 2 0,2477

Total Bobot 1,0000

Faktor Kunci Eksternal

Kepercayaan terhadap mete dari

Wonogiri 0.090 4 0,6447 1 0,1612 3 0,4835

Ketersediaan teknologi Kacip

mete, oven 0.076 4 0,5201 3 0,3901 2 0,2601

Perkembangan teknologi

pengolahan mete 0.083 1 0,1044 4 0,4176 2 0,2088

Kualitas bahan baku mete lokal

lebih baik 0.124 4 0,6447 3 0,4835 2 0,3223

Permintaan mete meningkat 0.117 3 0,3846 2 0,2564 1 0,1282

Kenaikan harga BBM 0.110 3 0,4835 4 0,6447 2 0,3223

Kesenjangan sosial 0.131 1 0,0733 3 0,2198 2 0,1465

Kualitas bahan baku mete luar

jelek 0.048 2 0,1612 3 0,2418 1 0,0806

Total Bobot 1,000

Jumlah Total Nilai Daya Tarik

5,8795 5,4510 4,2263


(10)

a. Meningkatkan produksi dan kualitas bahan baku mete lokal, peralatan,

untuk menjaga kepercayaan

konsumen seiring meningkatnya permintaan. (5, 8795).

Ketersediaan bahan baku menjadi salah satu kendala dalam proses produksi karena keterbatasan bahan baku yaitu gelondong mete. Ketersediaan bahan baku gelondong mete terbatas sehingga harga bahan baku gelondong mete cukup mahal. Pengusaha harus tetap berproduksi untuk melangsungkan usahanya. Oleh karena itu, pengusaha membeli gelondong mete dari pedagang pengumpul gelondong mete yang berasal dari dalam kota Wonogiri maupun dari NTT. Kualitas gelondong mete berbeda pada saat sedang

musim dan pada saat tidak

musimnya. Kualitas gelondong mete di Kabupaten Wonogiri (lokal) dengan luar Kabupaten Wonogiri yaitu gelondong mete dari Sumbawa juga berbeda, baik dari segi bentuk dan rasanya. Gelondong mete dari Sumbawa lebih besar tetapi rasanya tidak begitu enak, sedangkan mete dari Kabupaten Wonogiri bentuknya tidak terlalu besar tetapi rasanya enak dan banyak yang menyukainya.

Dinas Kehutanan dan

Perkebunan terus berupaya

meningkatkan produksi mete lokal wonogiri dengan kegiatan optimasi

lahan dengan pemberian bibit mete lokal, pupuk organik bagi petani mete mengingat pohon mete lokal di Wonogiri berumur tua sehingga produktivitasnya menurun. Upaya lain adalah dengan pengadaan peralatan untuk agroindustri mete berupa alat kacip mete, oven, lantai jemur. Perkembangan teknologi pengolahan mete membuat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonogiri bekerjasama dengan Balai Alat Mesin Perkebunan Provinsi Jawa Tengah berupaya terus berinovasi. Inovasi peralatan pengolahan mete salah satunya dengan perubahan teknologi kacip mete. Kacip mete yang dibuat

tersebut mampu mengacip 3

gelondong mete sekaligus dengan cepat tanpa memecah kacang mete

didalamnya. Kacip mete pada

agroindustri Wonogiri kebanyakan masih tradisional sehingga dengan perbaruan peralatan pengolahan diharapkan dapat meningkatkan efisien waktu dan biaya produksi. Dalam upaya melindungi kualitas bahan baku mete lokal, Dinas

Kehutanan dan Perkebunan

Kabupaten Wonogiri dalam rencana tahun 2015 melakukan indikasi geografis mete yang berkerjasama dengan UII dan Dirjen HAKI Jawa Tengah. Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan tempat, wilayah tertentu atau daerah


(11)

asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, yang memberikan ciri, karakteristik, reputasi atau kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Tanda yang digunakan sebagai indikasi geografs dapat berupa etiket atau label yang

dilekatkan pada barang yang

dihasilkan. Tanda tersebut dapat berupa nama tempat, daerah, atau wilayah, kata, gambar, huruf, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut. Indikasi geografis dapat memberikan manfaat memperjelas identifikasi produk dan menetapkan standar produksi dan proses, menjamin kualitas produk indikasi geografis sebagai produk asli sehingga

memberikan kepercayaan pada

konsumen.

b. Peningkatan kebijakan modal dan

pengawasan bahan baku untuk

agroindustri mete (5, 4510).

Dalam agroindustri mete tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa dukungan modal dengan kata lain suatu usaha agar dapat diwujudkan perlu dukungan modal yang cukup

tetapi bila permodalan yang

mendukungnya tidak mencukupi, maka dalam pelaksanaannya akan mengalami kesulitan bahkan mungkin mengalami kegagalan. Salah satu

kendala yang dihadapi para

pengusaha dalam menjalankan usaha agroindustri mete di Kabupaten Wonogiri yaitu permodalan. Pelaku agroindustri mete menggunakan

modal sendiri untuk memulai

usahanya. Dalam agroindustri mete dibutuhkan modal yang relatif besar, alternatif memeperoleh modal adalah dengan meminjam kepada bank untuk modal maupun menambah modal usaha sendiri. Bunga yang diberikan oleh bank cukup tinggi sehingga pengusaha mete menanggung biaya pengembalian modal beserta bunga yang cukup besar pula. Hal ini sangat

menyulitkan apabila akan

berkecimpung dalam usaha

agroindustri mete. Untuk

meningkatkan akses permodalan Dinas Disperindagkop Kabupaten Wonogiri berupaya mempermudah akses agroindustri mete memperoleh pinjaman. Upaya tersebut dapat dilihat dengan mempermudah ijin pendirian koperasi mete di Kabupaten Wonogiri. Koperasi mete tersebut bergerak dalam simpan pinjam sehingga memberikan akses bagi

pelaku industri mete dalam

memperoleh pinjaman untuk

usahanya ataupun untuk mendirikan usaha agroindustri mete. Namun demikian hingga sekarang ini jumlah koperasi mete di Kabupaten Wonogiri masih sedikit sehingga tidak semua


(12)

agroindustri mete mendapatkan modal dari koperasi mete tersebut.

Dalam agroindustri mete, bahan baku merupakan faktor yang penting karena sebagian besar biaya produksi adalah bahan baku. Bahan baku mete sebagian besar diperoleh dari NTT dan sebagian kecil dari mete lokal Wonogiri. Bahan baku mete dari NTT tidak terawasi dengan baik. Kriteria gelondong mete yang baik memiliki kadar air kurang dari 5%, sedangkan bahan baku mete dari NTT melebihi 5 % sehingga harus dijemur 2-3 hari terlebih dahulu. Hingga sekarang ini

belum pengawasan dari

Disperindagkop terkait bahan baku karena kekurangan pegawai. Asosiasi Petani Mete juga memiliki peran dalam pengawasan bahan baku mete.

Perbaikan kebijakan sangat

diperlukan untuk pengembangan agroindustri mete mengingat masih adanya keluhan dari pihak pengusaha dan konsumen. Selama ini, kebijakan untuk pengembangan agroindustri di

Kabupaten Wonogiri Kabupaten

Wonogiri belum optimal. Diharapkan ada peran dan kerjasama dari Disperindagkop dan APMI dalam mengawasi bahan baku mete.

c. Meningkatkan kualitas dan jumlah sumber daya manusia pemerintah melalui kegiatan pembinaan untuk memaksimalkan potensi agroindustri mete (4, 2263).

Kualitas dan jumlah sumber daya manusia pemerintah kurang

memadai untuk mendukung

pengembangan agroindustri mete di

Kabupaten Wonogiri. Dalam

meningkatkan agroindustri mete diperlukan banyak hal dari segi bahan baku hingga sarana prasarana. Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Disperindagkop terus berupaya

melindungi dan meningkatkan

agroindustri mete agar semakin kuat. Disisi lain, jumlah dan kualitas tenaga

kerja tidak mencukupi untuk

menyentuh semua agroindustri mete sehingga perkembangan agroindustri mete belum teroptimalkan. Dengan kondisi tersebut, pemerintah daerah Provinsi Jawa Tengah diharapkan dapat memberikan pelatihan dan

pembinaan untuk meningkatkan

kualitas SDM pegawai pemerintahan. Perlunya perekrutan staff baru yang berkualitas dan difokuskan terhadap industri mete di mengingat pengembangan yang belum maksimal selama ini. Pembinaan rutin terhadap sumberdaya manusia pemerintah sangat juga diperlukan sehingga dapat meningkatkan kualitas.

Strategi terbaik yang dapat

diterapkan dalam mengembangkan

agroindustri mete di Kabupaten Wonogiri adalah Meningkatkan produksi dan kualitas bahan baku mete lokal, peralatan, untuk menjaga kepercayaan


(13)

konsumen seiring meningkatnya permintaan dengan nilai TAS (Total Atractive Score) sebesar 5,8795.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Penerimaan rata-rata yang diperoleh pengusaha Mete selama 30 hari proses produksi sebesar Rp 45.981.538. Biaya total rata-rata yang dikeluarkan pengusaha sebesar Rp 41.341.673. Pendapatan rata-rata yang diterima oleh pengusaha Mete dalam satu kali proses produksi yaitu Rp 4.639.865 sehingga usaha Mete di Kabupaten Wonogiri memiliki prospek untuk dikembangkan oleh pemerintah Kabupaten Wonogiri. 2. Alternatif strategi yang dapat diterapkan

dalam mengembangkan agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri adalah :

a. Meningkatkan produksi dan kualitas bahan baku mete lokal, peralatan,

untuk menjaga kepercayaan

konsumen seiring meningkatnya permintaan.

b. Peningkatan kebijakan modal dan

pengawasan bahan baku untuk

agroindustri mete.

c. Meningkatkan kualitas dan jumlah sumber daya manusia pemerintah melalui kegiatan pembinaan untuk memaksimalkan potensi.

3. Prioritas strategi yang dapat diterapkan dalam mengembangkan agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri berdasarkan analisis matriks QSP adalah Meningkatkan

produksi dan kualitas bahan baku mete

lokal, peralatan, untuk menjaga

kepercayaan konsumen seiring

meningkatnya permintaan (5,8795). DAFTAR PUSTAKA

Bungin, B. 2003.Analisis Data Penelitian Kualitatif.Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

David, F R. 2004. Manajemen Strategis Konsep-Konsep.PT. Indeks Kelompok Gramedia. Jakarta

Dinas Perindustrian Koperasi dan UKM. 2011.

Kelompok Industri Kecil, Jumlah Unit Usaha dan Jumlah Tenaga Kerja di Kabupaten Wonogiri. Disperinkop dan UKM.Wonogiri

Gasperz, V. 2000. Ekonomi Manajerial Pembuatan Keputusan Bisnis. PT. Gramedia. Jakarta.

Herdhiansyah. 2012. Strategi Pengembangan Potensi Wilayah Agroindustri Perkebunan Unggulan. Jurnal Teknik Industri, Vol. 13, No. 2, Agustus 2012: 201–209

Karmawati, 2008. Perkembangan Jambu Mete dan Strategi Pengendalian Hama Utamanya. Jurnal Perspektif Vol. 7 No. 2 / Desember 2008.

Maridjan .2005. Mengembangkan Industri Kecil Menengah melalui Pendekatan Kluster. Jurnal INSAN Vol 7 No 3, Desember 2005

Pearce, A.J dan Robinson, B.R.

2008.Manajemen Strategis Edisi 10. Salemba Empat. Jakarta

Singarimbun, M dan Effendi, S. 1995. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta Soekartawi. 1993. Analisis Usahatani.

UI-Press. Jakarta

Soleh, M. 2003. Perbaikan Mutu dan Keamanan Pangan Produk Olahan Hasil Industri Kecil Melalui Analisa Bahaya dan Penentuan Titik Kendali


(14)

Dalam Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian Vol 6 Januari 2003. Departemen Pertanian Badan

Penelitian dan Pengembangan

Pertanian (BPTP). Jawa Timur

Surakhmad, W. 1994.Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik. CV Tarsito. Bandung

Syamsul, M. 2003. Teknik – teknik Kuantitatif untuk Manajemen.PT. Gamedia Widiasarana Indonesia. Jakarta

Umar, H. 2002. Strategic Management in Action.PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Widjajani, 2008. Keunggulan Kompetitif Industri Kecil di Klaster Industri Kecil Tradisional dengan Pendekatan Berbasis Sumberdaya. Jurnal Teknik Industri Vol 10, 1 Juni 2008.


(1)

4. Prioritas Strategi

QSPM adalah alat yang direkomendasikan bagi para ahli strategi untuk melakukan evaluasi pilihan strategi alternatif secara objektif, berdasarkan key success factors internal-eksternal yang telah diidentifikasikan sebelumnya(Umar, 2002 : 76).

Penetapan prioritas strategi dari hasil analisis SWOT dengan matriks QSPM adalah sebagai berikut :

Tabel 9. Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) Pengembangan Agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri.

Alternatif Strategi

FAKTOR-FAKTOR KUNCI Bobot I II III

AS TAS AS TAS AS TAS Faktor Kunci Internal

Adanya program IG mete Kab.

Wonogiri 0,1651 4 0,6604 3 0,4953 2 0,3302 Bantuan peralatan 0,1538 4 0,6154 3 0,4615 2 0,3077 Adanya program penyuluhan

limbah mete 0,1013 1 0,1013 4 0,4053 2 0,2026 Terbentuknya Asosiasi Petani Mete 0,1144 3 0,3433 2 0,2289 4 0,4578 Infrastruktur sudah baik 0,1051 3 0,3152 1 0,1051 2 0,2101 Kekurangan tenaga pegawai, SDM

pemerintah 0,0957 2 0,1914 3 0,2871 1 0,0957 Akses permodalan pemerintah

terbatas 0,1407 1 0,1407 2 0,2814 3 0,4221 Belum adanya Pengawasan bahan

baku 0,1238 4 0,4953 3 0,3715 2 0,2477

Total Bobot 1,0000

Faktor Kunci Eksternal

Kepercayaan terhadap mete dari

Wonogiri 0.090 4 0,6447 1 0,1612 3 0,4835 Ketersediaan teknologi Kacip

mete, oven 0.076 4 0,5201 3 0,3901 2 0,2601 Perkembangan teknologi

pengolahan mete 0.083 1 0,1044 4 0,4176 2 0,2088 Kualitas bahan baku mete lokal

lebih baik 0.124 4 0,6447 3 0,4835 2 0,3223 Permintaan mete meningkat 0.117 3 0,3846 2 0,2564 1 0,1282 Kenaikan harga BBM 0.110 3 0,4835 4 0,6447 2 0,3223 Kesenjangan sosial 0.131 1 0,0733 3 0,2198 2 0,1465 Kualitas bahan baku mete luar

jelek 0.048 2 0,1612 3 0,2418 1 0,0806

Total Bobot 1,000

Jumlah Total Nilai Daya Tarik

5,8795 5,4510 4,2263 Sumber : Analisis Data Primer (2014)


(2)

a. Meningkatkan produksi dan kualitas bahan baku mete lokal, peralatan, untuk menjaga kepercayaan konsumen seiring meningkatnya permintaan. (5, 8795).

Ketersediaan bahan baku menjadi salah satu kendala dalam proses produksi karena keterbatasan bahan baku yaitu gelondong mete. Ketersediaan bahan baku gelondong mete terbatas sehingga harga bahan baku gelondong mete cukup mahal. Pengusaha harus tetap berproduksi untuk melangsungkan usahanya. Oleh karena itu, pengusaha membeli gelondong mete dari pedagang pengumpul gelondong mete yang berasal dari dalam kota Wonogiri maupun dari NTT. Kualitas gelondong mete berbeda pada saat sedang musim dan pada saat tidak musimnya. Kualitas gelondong mete di Kabupaten Wonogiri (lokal) dengan luar Kabupaten Wonogiri yaitu gelondong mete dari Sumbawa juga berbeda, baik dari segi bentuk dan rasanya. Gelondong mete dari Sumbawa lebih besar tetapi rasanya tidak begitu enak, sedangkan mete dari Kabupaten Wonogiri bentuknya tidak terlalu besar tetapi rasanya enak dan banyak yang menyukainya.

Dinas Kehutanan dan Perkebunan terus berupaya meningkatkan produksi mete lokal wonogiri dengan kegiatan optimasi

lahan dengan pemberian bibit mete lokal, pupuk organik bagi petani mete mengingat pohon mete lokal di Wonogiri berumur tua sehingga produktivitasnya menurun. Upaya lain adalah dengan pengadaan peralatan untuk agroindustri mete berupa alat kacip mete, oven, lantai jemur. Perkembangan teknologi pengolahan mete membuat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonogiri bekerjasama dengan Balai Alat Mesin Perkebunan Provinsi Jawa Tengah berupaya terus berinovasi. Inovasi peralatan pengolahan mete salah satunya dengan perubahan teknologi kacip mete. Kacip mete yang dibuat tersebut mampu mengacip 3 gelondong mete sekaligus dengan cepat tanpa memecah kacang mete didalamnya. Kacip mete pada agroindustri Wonogiri kebanyakan masih tradisional sehingga dengan perbaruan peralatan pengolahan diharapkan dapat meningkatkan efisien waktu dan biaya produksi. Dalam upaya melindungi kualitas bahan baku mete lokal, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonogiri dalam rencana tahun 2015 melakukan indikasi geografis mete yang berkerjasama dengan UII dan Dirjen HAKI Jawa Tengah. Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan tempat, wilayah tertentu atau daerah


(3)

asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, yang memberikan ciri, karakteristik, reputasi atau kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Tanda yang digunakan sebagai indikasi geografs dapat berupa etiket atau label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Tanda tersebut dapat berupa nama tempat, daerah, atau wilayah, kata, gambar, huruf, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut. Indikasi geografis dapat memberikan manfaat memperjelas identifikasi produk dan menetapkan standar produksi dan proses, menjamin kualitas produk indikasi geografis sebagai produk asli sehingga memberikan kepercayaan pada konsumen.

b. Peningkatan kebijakan modal dan pengawasan bahan baku untuk agroindustri mete (5, 4510).

Dalam agroindustri mete tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa dukungan modal dengan kata lain suatu usaha agar dapat diwujudkan perlu dukungan modal yang cukup tetapi bila permodalan yang mendukungnya tidak mencukupi, maka dalam pelaksanaannya akan mengalami kesulitan bahkan mungkin mengalami kegagalan. Salah satu kendala yang dihadapi para

pengusaha dalam menjalankan usaha agroindustri mete di Kabupaten Wonogiri yaitu permodalan. Pelaku agroindustri mete menggunakan modal sendiri untuk memulai usahanya. Dalam agroindustri mete dibutuhkan modal yang relatif besar, alternatif memeperoleh modal adalah dengan meminjam kepada bank untuk modal maupun menambah modal usaha sendiri. Bunga yang diberikan oleh bank cukup tinggi sehingga pengusaha mete menanggung biaya pengembalian modal beserta bunga yang cukup besar pula. Hal ini sangat menyulitkan apabila akan berkecimpung dalam usaha agroindustri mete. Untuk meningkatkan akses permodalan Dinas Disperindagkop Kabupaten Wonogiri berupaya mempermudah akses agroindustri mete memperoleh pinjaman. Upaya tersebut dapat dilihat dengan mempermudah ijin pendirian koperasi mete di Kabupaten Wonogiri. Koperasi mete tersebut bergerak dalam simpan pinjam sehingga memberikan akses bagi pelaku industri mete dalam memperoleh pinjaman untuk usahanya ataupun untuk mendirikan usaha agroindustri mete. Namun demikian hingga sekarang ini jumlah koperasi mete di Kabupaten Wonogiri masih sedikit sehingga tidak semua


(4)

agroindustri mete mendapatkan modal dari koperasi mete tersebut.

Dalam agroindustri mete, bahan baku merupakan faktor yang penting karena sebagian besar biaya produksi adalah bahan baku. Bahan baku mete sebagian besar diperoleh dari NTT dan sebagian kecil dari mete lokal Wonogiri. Bahan baku mete dari NTT tidak terawasi dengan baik. Kriteria gelondong mete yang baik memiliki kadar air kurang dari 5%, sedangkan bahan baku mete dari NTT melebihi 5 % sehingga harus dijemur 2-3 hari terlebih dahulu. Hingga sekarang ini

belum pengawasan dari

Disperindagkop terkait bahan baku karena kekurangan pegawai. Asosiasi Petani Mete juga memiliki peran dalam pengawasan bahan baku mete. Perbaikan kebijakan sangat diperlukan untuk pengembangan agroindustri mete mengingat masih adanya keluhan dari pihak pengusaha dan konsumen. Selama ini, kebijakan untuk pengembangan agroindustri di Kabupaten Wonogiri Kabupaten Wonogiri belum optimal. Diharapkan ada peran dan kerjasama dari Disperindagkop dan APMI dalam mengawasi bahan baku mete.

c. Meningkatkan kualitas dan jumlah sumber daya manusia pemerintah melalui kegiatan pembinaan untuk memaksimalkan potensi agroindustri mete (4, 2263).

Kualitas dan jumlah sumber daya manusia pemerintah kurang memadai untuk mendukung pengembangan agroindustri mete di Kabupaten Wonogiri. Dalam meningkatkan agroindustri mete diperlukan banyak hal dari segi bahan baku hingga sarana prasarana. Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Disperindagkop terus berupaya melindungi dan meningkatkan agroindustri mete agar semakin kuat. Disisi lain, jumlah dan kualitas tenaga kerja tidak mencukupi untuk menyentuh semua agroindustri mete sehingga perkembangan agroindustri mete belum teroptimalkan. Dengan kondisi tersebut, pemerintah daerah Provinsi Jawa Tengah diharapkan dapat memberikan pelatihan dan pembinaan untuk meningkatkan kualitas SDM pegawai pemerintahan. Perlunya perekrutan staff baru yang berkualitas dan difokuskan terhadap industri mete di mengingat pengembangan yang belum maksimal selama ini. Pembinaan rutin terhadap sumberdaya manusia pemerintah sangat juga diperlukan sehingga dapat meningkatkan kualitas.

Strategi terbaik yang dapat diterapkan dalam mengembangkan agroindustri mete di Kabupaten Wonogiri adalah Meningkatkan produksi dan kualitas bahan baku mete lokal, peralatan, untuk menjaga kepercayaan


(5)

konsumen seiring meningkatnya permintaan dengan nilai TAS (Total Atractive Score) sebesar 5,8795.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Penerimaan rata-rata yang diperoleh pengusaha Mete selama 30 hari proses produksi sebesar Rp 45.981.538. Biaya total rata-rata yang dikeluarkan pengusaha sebesar Rp 41.341.673. Pendapatan rata-rata yang diterima oleh pengusaha Mete dalam satu kali proses produksi yaitu Rp 4.639.865 sehingga usaha Mete di Kabupaten Wonogiri memiliki prospek untuk dikembangkan oleh pemerintah Kabupaten Wonogiri. 2. Alternatif strategi yang dapat diterapkan

dalam mengembangkan agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri adalah :

a. Meningkatkan produksi dan kualitas bahan baku mete lokal, peralatan, untuk menjaga kepercayaan konsumen seiring meningkatnya permintaan.

b. Peningkatan kebijakan modal dan pengawasan bahan baku untuk agroindustri mete.

c. Meningkatkan kualitas dan jumlah sumber daya manusia pemerintah melalui kegiatan pembinaan untuk memaksimalkan potensi.

3. Prioritas strategi yang dapat diterapkan dalam mengembangkan agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri berdasarkan analisis matriks QSP adalah Meningkatkan

produksi dan kualitas bahan baku mete lokal, peralatan, untuk menjaga kepercayaan konsumen seiring meningkatnya permintaan (5,8795).

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, B. 2003.Analisis Data Penelitian Kualitatif.Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

David, F R. 2004. Manajemen Strategis Konsep-Konsep.PT. Indeks Kelompok Gramedia. Jakarta

Dinas Perindustrian Koperasi dan UKM. 2011.

Kelompok Industri Kecil, Jumlah Unit Usaha dan Jumlah Tenaga Kerja di Kabupaten Wonogiri. Disperinkop dan UKM.Wonogiri

Gasperz, V. 2000. Ekonomi Manajerial Pembuatan Keputusan Bisnis. PT. Gramedia. Jakarta.

Herdhiansyah. 2012. Strategi Pengembangan Potensi Wilayah Agroindustri Perkebunan Unggulan. Jurnal Teknik Industri, Vol. 13, No. 2, Agustus 2012: 201–209

Karmawati, 2008. Perkembangan Jambu Mete dan Strategi Pengendalian Hama Utamanya. Jurnal Perspektif Vol. 7 No. 2 / Desember 2008.

Maridjan .2005. Mengembangkan Industri Kecil Menengah melalui Pendekatan Kluster. Jurnal INSAN Vol 7 No 3, Desember 2005

Pearce, A.J dan Robinson, B.R. 2008.Manajemen Strategis Edisi 10. Salemba Empat. Jakarta

Singarimbun, M dan Effendi, S. 1995. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta Soekartawi. 1993. Analisis Usahatani.

UI-Press. Jakarta

Soleh, M. 2003. Perbaikan Mutu dan Keamanan Pangan Produk Olahan Hasil Industri Kecil Melalui Analisa Bahaya dan Penentuan Titik Kendali


(6)

Dalam Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian Vol 6 Januari 2003. Departemen Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (BPTP). Jawa Timur

Surakhmad, W. 1994.Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik. CV Tarsito. Bandung

Syamsul, M. 2003. Teknik – teknik Kuantitatif untuk Manajemen.PT. Gamedia Widiasarana Indonesia. Jakarta

Umar, H. 2002. Strategic Management in Action.PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Widjajani, 2008. Keunggulan Kompetitif Industri Kecil di Klaster Industri Kecil Tradisional dengan Pendekatan Berbasis Sumberdaya. Jurnal Teknik Industri Vol 10, 1 Juni 2008.