bab vi pembelajaran berdasarkan masalah

(1)

Bab VI

PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH

6.1 Latar Belakang Masalah

Pada saat kegiatan pembelajaran matematika berlangsung siswa seringkali mengalami kesulitan dalam menerapkan ketrampilan yang mereka dapatkan di sekolah ke dalam kehidupan nyata sehari-hari, hal ini dikarenakan ketrampilan yang diberikan dalam pembelajaran lebih banyak diterima dalam konteks sekolah daripada konteks kehidupan nyata. (Nur dan Wikandari,1998:39). Sementara itu Semiawan dalam Wulandari (2002:1) menyatakan pendapatnya, meskipun para siswa mendapatkan nilai-nilai yang tinggi dalam sejumlah mata pelajaran, namun mereka tampak kurang mampu menerapkan perolehannya, baik berupa pengetahuan, ketrampilan, maupun sikap ke dalam situasi lain. Para siswa memang memiliki sejumlah pengetahuan, namun banyak pengetahuan itu tidak bermakna dalam kehidupan sehari-hari dan cepat terlupakan.

Salah satu faktor penyebab yang mempengaruhi hal tersebut adalah berkaitan erat dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan sekolah masih berjalan konvensional dan banyak di dominasi guru. Guru cenderung memindahkan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa sehingga konsep, prinsip dan aturan-aturan terkesan saling terisolasi dan kurang bermakna. Banyak pihak merasa tidak puas lagi dengan model pembelajaran konvensional. (Sinaga, 1999:1).

Untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran matematika, guru dituntut mencari dan menemukan suatu cara yang dapat menumbuhkan ketrampilan-ketrampilan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya guru diharapkan dapat mengembangkan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuam mengembangkan,


(2)

menemukan, menyelidiki dan mengungkapkan ide siswa sendiri.(Abbas, 2000:3). Dengan kata lain seorang guru diharapkan mampu meningkatkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah

siswa dalam matematika.

Leitze dan Mau dalam Abbas (2000:4) mengatakan : guru dapat menggunakan kegiatan pemecahan masalah untuk beberapa tujuan, seperti meningkatkan ketrampilan berpikir kritis, ketrampilan mengorganisasikan data, ketrampilan berkomunikasi dan pengambil keputusan yang tepat, dan membuat hubungan antar topik pada matematika. Jadi tugas guru tidak hanya menuangkan informasi kepada siswa, tetapi mengusahakan agar konsep-konsep penting tertanam kuat dalam benak siswa. Belajar yang hanya menuangkan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa tanpa memaknai perolehan informasi itu tidak bermakna bagi siswa sehingga perlu alternatif lain pembelajaran. Salah satunya adalah pembelajaran berdasarkan masalah ( Problem-Based Instruction ).

Model pembelajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang sangat efektif untuk mengajarkan proses-proses berpikir tingkat tinggi, membantu siswa memproses pengetahuan yang telah dimiliki dan membantu siswa membangun sendiri pengetahuan tentang dunia sosial dan fisik di sekelilingnya. (Kardi dan Nur, 1999:16). Ibrahim dan Nur (2000:7) mengatakan pembelajaran berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah dan ketrampilan intelektual, belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata dan menjadi pebelajar yang mandiri.

Resnick dalam Ibrahim dan Nur (2000:11), mengemukakan bahwa bentuk pembelajaran berdasarkan masalah penting untuk menjembatani dua kesenjangan antara pembelajaran sekolah formal dan aktivitas mental yang


(3)

lebih praktis dijumpai di luar sekolah. Pembelajaran berdasarkan masalah sesuai dengan aktivitas mental di luar sekolah, seperti mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas, mendorong pengamatan dan dialog, melibatkan siswa dalam penyelidikan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (1999:133) pada siswa kelas I SMUN 3 Ambon didapatkan bahwa siswa yang diajar dengan model pembelajaran berdasarkan masalah secara signifikan memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan siswa yang dikenai model pembelajaran konvensional dan pembelajaran berdasarkan masalah efektif dalam mengajarkan bahan kajian Fungsi Kuadrat. Wulandari (2002:36) yang melakukan penelitian pada siswa kelas I SLTP Raden Rahmat Surabaya menemukan bahwa hasil belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran berdasarkan masalah lebih baik dari hasil belajar yang diajar dengan model pembelajaran konvensional. Dan dapat dikatakan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah positif dari segi aktivitas guru dan siswa, kemampuan mengelola pembelajaran, dan respon siswa terhadap pembelajaran pada bahan kajian ukuran pemusatan.

Berdasarkan latar belakang dan hasil penelitian yang dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan hasil belajar siswa, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian pada materi yang berbeda, guna mengetahui apakah model pembelajaran berdasarkan masalah efektif diterapkan untuk mengajarkan subpokok bahasan jajargenjang dan belahketupat.

Sub pokok bahasan jajargenjang dan belahketupat merupakan pokok bahasan yang diajarkan pada siswa kelas II SLTP semester 3. Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai bentuk-bentuk segiempat, misalnya jendela, layang-layang, papan rambu lalu lintas, kaca dan sebagainya, sehingga diharapkan siswa mampu untuk membedakan dan menentukan luas dari


(4)

masing-masing bentuk bangun tersebut dari masalah-masalah dalam matematika itu sendiri maupun masalah-masalah yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari.

6.2 Hakikat Belajar Matematika

Matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur dan hubungan-hubungannya yang diatur menurut aturan yang logis, sehingga matematika berkenaan dengan konsep-konsep yang abstrak. Suatu kebenaran matematika dikembangkan berdasarkan alasan logis dengan menggunakan pembuktian deduktif. Hudoyo (1988:3).

Dengan demikian matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat khas. Karena itu dalam mengajar matematika sebaiknya tidak disamakan dengan ilmu yang lain. Selain itu karena siswa yang belajar matematika berbeda-beda kemampuannya, maka kegiatan belajar dan mengajar haruslah diatur dengan memperhatikan kemampuan masing-masing siswa.

Dalam proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Belajar adalah suatu proses atau usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungan. (Slamento dalam Lastiningsih, 1995:2)

Hudoyo (1988:1) menjelaskan bahwa seseorang dikatakan belajar bila dalam diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku itu memang dapat diamati dan berlaku dalam dalam waktu yang relatif lama. Perubahan tingkah laku yang relatif lama itu disertai usaha orang tersebut, sehingga orang itu dari tidak mampu mengerjakan sesuatu menjadi dapat mengerjakannya. Tanpa usaha, walaupun terjadi perubahan tingkah laku, bukanlah belajar.


(5)

Mempelajari matematika tidak hanya berhubungan dengan bilangan-bilangan serta operasinya, melainkan juga berkenaan dengan ide-ide abstrak yang diberi simbol-simbol dan tersusun secara hierarkis dan penalarannya deduktif.

Bruner dalam Hudoyo (1988:43) berpendapat bahwa belajar matematika ialah belajar tentang konsep-konsep dan struktur matematika yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur matematika tersebut.

Uraian di atas memberi petunjuk bahwa hakikat belajar matematika merupakan suatu kegiatan mental untuk memahami obyek-obyek dalam struktur matematika serta hubungan-hubungannya sehingga didapatkan pengetahuan baru.

6.3 Model Pembelajaran

Saripuddin dalam Abbas (2000:17) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktifitas belajar mengajar.

Kardi dan Nur (1999:9) menjelaskan bahwa model pembelajaran mempunyai 4 (empat) ciri khusus, yaitu : rasional teoritis yang logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya, landasan pemikiran tentang bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai), tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil, dan lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.


(6)

Arends dalam Abbas (2000:18) menyatakan bahwa model pembelajaran mengacu kepada pendekatan pembelajaran termasuk di dalamnya tujuan pembelajaran, tahap-tahap kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas.

Berdasarkan penjelasan para ahli tersebut dapat dikatakan bahwa model pembelajaran merupakan suatu kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Penerapan setiap model pembelajaran dapat menentukan keberhasilan tujuan pembelajaran. Model pembelajaran tertentu dapat diterapkan pada materi tertentu sesuai dengan tujuan pengajaran. Salah satu model pembelajaran yang bertujuan agar siswa memiliki ketrampilan berpikir dan pemecahan masalah serta dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah pembelajaran berdasarkan masalah.

6.4 Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem-Based Instruction)

Model pembelajaran berdasarkan masalah (PBM) merupakan pola pembelajaran yang menghadapkan siswa pada masalaah nyata yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Model pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh penggunaan masalah nyata. Model ini tidak dirancang untuk membantu siswa menerima informasi sebanyak-banyaknya, tetapi dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan ketrampilan berpikir dan ketrampilan memecahkan masalah. Selain itu, belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan menjadi pembelajar yang mandiri. Lingkungan belajar dan sistem manajemen pada PBM dicirikan oleh lingkungan kelas yang terbuka dan


(7)

peranan aktif siswa, sehingga guru dalam PBM ini berperan sebagai penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog dan pemberi fasilitas penelitian. (Ibrahim dan Nur, 2000:7).

Jadi, pembelajaran berdasarkan masalah merupakan pembelajaran yang dicirikan penggunaan masalah nyata dan siswa dilibatkan untuk melakukan penyelidikan sehingga mereka mampu menemukan sendiri penyelesaian dari masalah yang diberikan.

Ciri-ciri Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (PBM)

Pengembang pembelajaran berdasarkan masalah seperti Madden, Dollan dan Wasik, Krajcik, Blumenfield, Mark dan Soloway, Slavin, Varderbitl dalam Ibrahim dan Nur (2000:5-7) memerikan model PBM itu memiliki karakteristik sebagai berikut.

a. Pengajuan pertanyaan atau masalah

PBM mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang dua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata otentik, menghindari jawaban sederhana dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.

Menurut Arends dalam Abbas (2000:23) pertanyaan atau masalah itu haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Otentik, yaitu masalah didasarkan dan diambil dari kehidupan sehari-hari, sesuai dengan pengalaman siswa dan sesuai dengan prinsip-prinsip akademik.

2. Jelas, yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa.


(8)

3. Mudah dipahami, yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa. Selain itu, masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.

4. Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang tersedia. Selain itu, masalah yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran telah ditetapkan.

5. Bermanfaat, yaitu masalah yang disusun dan dirumuskaan haruslah bermanfaat, baik bagi siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai pemilik masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah siswa, serta membangkitkan motivasi belajar siswa.

b. Keterkaitan dengan disiplin ilmu.

Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial), masalah yang akan diselidiki telah dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.

c. Penyelidikan otentik.

PBM mengharuskan siswa melakukan penyelidikan otentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Siswa harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan. Sudah barang tentu, metode penyelidikan yang digunakan, bergantung kepada masalah yang sedang dipelajari.


(9)

d. Memamerkan hasil kerja.

PBM mengajak siswa menyusun dan memamerkan hasil kerja sesuai dengan kemampuannya. Setelah selesai mengerjakan, beberapa kelompok menyajikan hasil kerjanya di depan kelas dan siswa pada kelompok lain memberikan tanggapan, kritik terhadap pemecahan masalah yang disajikan oleh temannya. Dalam hal ini guru mengarahkan, membimbing, memberi petunjuk kepada siswa agar aktivitas siswa menjadi terarah.

e. Kerjasama / Kolaborasi

PBM dicirikan dengan kerjasama antar siswa dalam satu kelompok kecil. Kerjasama dalam menyelesaikan tugas-tugas kompleks dapat meningkatkan ketrampilan berpikir dan ketrampilan sosial.

Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, Arends dalam Ibrahim dan Nur (2000:13) menjelaskan pengelolaan PBM mengikuti 5 (lima) langkah pokok yang diawali dengan orientasi siswa pada masalah dan diakhiri dengan menganalisis dan mengevaluasi hasil kerja siswa. Kelima langkah tersebut disajikan pada tabel 2.1 sebagai berikut :

Tabel 2.1 Lima Langkah Pokok

Pembelajaran Berdasarkan Masalah

Langkah Kegiatan Guru

Langkah-1

Orientasi siswa kepada masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah.

Langkah-2

Mengorganisasikan siswa untuk belajar

Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.


(10)

Langkah-3 Membimbing

penyelidikan individual maupun kelompok

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan

eksperimen, dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

Langkah-4

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.

Langkah-5

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

6.5 Teori Belajar Yang Mendukung Pembelajaran Berdasarkan Masalah Teori yang mendukung PBM salah satunya adalah teori konstruktivisme. Von Glasersferd dan Matthew dalam Suparno (1997:18) menjelaskan bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan seseorang merupakan konstruksi diri mereka sendiri.

Dalam pembelajaran, teori konstruktivis memandang siswa secara terus-menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan


(11)

aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Teori ini menganjurkan peranan aktif siswa. Karena penekanannya pada siswa sebagai siswa yang aktif, starategi konstruktivis sering disebut pengajaran berpusat pada siswa (student-centered instruction). Di dalam kelas yang berpusat pada siswa peran guru bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas melainkan membantu siswa menemukan informasi-informasi penting bagi siswa. (Nur dan Wikandari, 1998:3).

Pendekatan konstruktivis dalam pengajaran lebih menekankan pada pengajaran top-down daripada bottom-up. Top-down berarti siswa mulai dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru) ketrampilan-ketrampilan dasar yang diperlukan. Di dalam pengajaran top-down, siswa mulai dengan suatu tugas yang kompleks, lengkap dan otentik. Otentik artinya bahwa tugas-tugas itu bukan merupakan bagian atau penyederhanaan dari tugas-tugas yang diberikan kepada siswa, melainkan tugas itu merupakan tugas yang sebenarnya. Sedangkan di dalam pengajaran bottom-up, ketrampilan-ketrampilan dasar secara bertahap dilatihkan kepada siswa untuk mewujudkan ketrampilan-ketrampilan yang kompleks.( Nur dan Wikandari, 1998:6).

Teori-teori pembelajaran yang mendasarkan pada pandangan konstruktivis antara lain adalah teori Piaget, teori Vygotsky, teori Ausubel, dan teori Bruner.

a. Teori Piaget

Piaget adalah salah seorang pioner konstruktivis. Piaget dalam Hudoyo (1988:45), menyatakan bahwa proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual konkrit ke abstrak


(12)

berurutan melalui empat periode. Urutan periode itu tetap bagi semua orang, namun usia kronologis pada setiap orang yang memasuki setiap periode berpikir lebih tinggi berbeda-beda tergantung pada masing-masing individu.

Piaget dalam Suparno (1997:47) menyebutkan bahwa perkembangan struktur kognitif hanya berjalan bila anak mengasimilasikan dan mengakomodasikan rangsangan dalam lingkungannya. Ini terjadi mugkin bila nalar anak dibawa ke situasi lingkungan tertentu sehingga ia bisa berinteraksi dengan objek, mengamati dan meneliti, serta berpikir.

Piaget dalam Ibrahim dan Nur (2000:17), mengatakan bahwa pengetahuan tidak statis tetapi secara terus-menerus tumbuh dan berubah pada saat siswa menghadapi pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan awal mereka. Pembelajaran yang baik harus melibatkan pemberian anak dengan situasi-situasi sehingga anak dapat mandiri melakukan eksperimen, mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi simbol-simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri jawabannya. Selain itu, juga mencocokkan apa yang ia temukan pada suatu saat dengan apa yang ia temukan pada saat yang lain, membandingkan temuan-temuannya dengan temuan anak lain.

Pemanfaatan teori Piaget dalam PBM adalah guru memusatkan pada proses berpikir anak atau proses mental anak lebih utama daripada sekedar hasil. Peran aktif siswa dalam pembelajaran sangat penting untuk perkembangan intelektualnya.

b. Teori Vygotsky

Ide-ide konstruktivis modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky yang telah digunakan untuk menunjang metode pengajaran yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis proyek dan penemuan.


(13)

(Karpov dalam Nur dan Wikandari, 1998:3). Nur dan Wikandari (1998:3-5), menyebutkan bahwa ada empat prinsip kunci yang diturunkan dari teori-teorinya, antara lain :

1. Menekankan pada hakikat sosial dari pembelajaran. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan orang dewasa atau teman sebaya lebih mampu memacu terbentukanya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektualnya siswa.

2. Siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat mereka. Anak sedang bekeja di dalam zona perkembangan terdekat mereka pada saat mereka terlibat dalam tugas-tugas yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri tetapi dapat menyelesaikannya bila dibantu oleh teman sebaya atau orang dewasa. 3. Menekankan pada pemagangan kognitif (Gardner dalam Nur dan Wikandari,

1988:40). Istilah ini mengacu kepada proses ketika seseorang yang sedang belajar tahap demi tahap memperoleh keahlian dalam interaksinya dengan seorang pakar. Pakar itu bisa orang dewasa atau orang yang lebih tua atau kawan sebaya yang telah menguasai permasalahannya. Mengajar siswa di kelas adalah suatu bentuk pemagangan. Penganut teori konstruktivis menganjurkan penggunaan model pembelajaran melibatkan aktivitas sehari-hari di kelas, baik dengan cara melibatkan siswa dalam tugas-tugas kompleks maupun membantu mereka mengatasi tugas-tugas tersebut dan melibatkannya dalam kelompok pembelajaran heterogen di mana siswa yang lebih pandai membantu siswa yang kurang pandai dalam menyelesaikan tugas-tugas kompleks tersebut.

4. Menekankan pada scaffolding sebagai satu hal yang penting dalam pemikiran teori konstruktivis modern. Interpretasi terkini terhadap ide-ide Vygotsky adalah siswa diberikan tugas-tugas kompleks, sulit dan realistik


(14)

dan kemudian diberi bantuan secukupnya untuk menghasilkan tugas-tugas ini.

Pemanfaatan dari teori Vygotsky dalam pembelajaran berdasarkan masalah adalah guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok belajar, kemudian menciptakan suasana kelas yang memungkinkan pertukaran ide yang terbuka dan memberikan bimbingan, dorongan dan bantuan kepada siswa untuk menyelesaikan atau memecahkan masalah.

c. Teori belajar Ausubel

Menurut Ausubel, Novak dan Hanesian dalam Suparno (1997:53-54), ada dua jenis belajar, yaitu belajar bermakna (meaningfull learning) dan belajar menghapal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar yang menghubungkan informasi baru dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang belajar. Belajar bermakna terjadi jika pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Ini terjadi melalui belajar konsep. Jika pengetahuan baru tidak dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah ada, maka pengetahuan baru itu akan dipelajari melalui belajar hafalan. Hal ini disebabkan pengetahuan yang baru tidak diasosiasikan dengan pengetahuan yang ada.

Dukungan penting teori belajar bermakana Ausubel pada PBM adalah dalam hal menghubungkan pengetahuan yang sudah dipunyai siswa dengan masalah yang akan diselesaikan. Untuk menyelesaikan masalah yang diberikan, siswa harus mampu menghubungkan pengetahuan yang ia miliki dengan permasalahan yang dihadapi. Bila pengetahuan atau konsep yang dimiliki siswa belum dapat digunakan untuk memecahkan masalah maka guru perlu membimbing siswa untuk menemukan konsep tersebut.


(15)

Dengan demikian siswa akan mampu memecahkan masalah yang diajukan apabila ia cukup memiliki pengetahuan yang terkait dengan masalah itu sehingga pengetahuan baru yang didapatkan akan lebih bermakna.

d.Teori Bruner

Jerome Bruner merupakan ahli psikologi yang menganjurkan pembelajaran dengan penemuan. Pembelajaran dengan penemuan merupakan suatu komponen penting dalam pendekatan konstruktivis yang telah memiliki sejarah panjang dalam inovasi pendidikan (Nur dan Wikandari, 1998:7). Pembelajaran penemuan merupakan suatu pembelajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa memahami struktur atau ide kunci dari suatu disiplin ilmu. Dalam pembelajaran tersebut siswa perlu aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan suatu keyakinan bahwa pembelajaran yang sebenarnya terjadi melalui penemuan. (Ibrahim dan Nur, 2000:20-21). Belajar dengan penemuan mempunyai beberapa keuntungan antara lain: memacu keingintahuan siswa, memotivasi mereka untuk melanjutkan pekerjaannya sehingga mereka menemukan jawaban, dan belajar memecahkan masalah secara mandiri serta melatih ketrampilan berpikir kritis. Hal tersebut terjadi, karena mereka harus selalu menganalisis dan memanipulasi informasi.

Kaitan antara pembelajaran penemuan dan PBM sangat jelas. Pada kedua model ini guru menekankan keterlibatan siswa secara aktif, orientasi induktif lebih ditekankan daripada deduktif, dan siswa menemukan atau mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri.

Guru yang menganut teori Bruner harus menjadikan siswa mampu mandiri. Guru mendorong siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapinya sendiri atau memecahkan masalah secara berkelompok, sehingga


(16)

siswa akan mendapat keuntungan jika mereka dapat “ melihat “ dan “melakukan” sesuatu daripada hanya sekedar mendengarkan ceramah.

6.6 Pelaksanaan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah Pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah, meliputi : Pendahuluan

Pada kegiatan ini guru mengingatkan siswa tentang materi pelajaran yang lalu (membahas PR), memotivasi siswa, menyampaikan TPK, dan menjelaskan model pembelajaran yang akan digunakan.

Kegiatan Inti

Tahap 1: Mengorientasikan siswa pada masalah

Pada kegiatan ini, guru menyajikan masalah, kemudian meminta siswa mencermati dan mengidentifikasi masalah. Guru memberikan penjelasan mengenai prosedur-prosedur apa yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Guru juga menegaskan bahwa siswa dalam penyelidikannya akan didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mengumpulkan informasi. Guru akan bertindak sebagai pembimbing, namun siswa harus berusaha memecahkan masalah yang diberikan dengan teman dalam kelompoknya. Tahap 2 : Mengorganisasikan siswa untuk belajar

Pada kegiatan ini, siswa dikelompokkan secara bervariasi baik dalam tingkat kemampuan dan jenis kelamin yang didasarkaan pada tujuan yang ditetapkan. Setelah kelompok terbentuk, guru meminta siswa untuk berbagi tugas sehingga semua siswa dalam kelompok-kelompok terlibat aktif dalam kegiatan penyelidikan (pengumpulan data) yang akan dilakukan. Dengan bekerjasama diharapkan siswa dapat menyelesaikan masalah yang diberikan.


(17)

Pada tahap ini, guru mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan mendorong siswa untuk melaksanakan kerja mental (eksperimen) sampai mereka betul-betul memahami situasi masalah yang diberikan. Tujuannya adalah agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Setelah siswa mengumpulkan data yang diperlukan dan telah melakukan eksperimen, guru mendorong siswa untuk memberikan penjelasan mengapa mereka berpikir seperti itu. Guru bisa mengajukan pertanyaan yang membuat siswa memikirkan tentang kelayakan hipotesis dan pemecahan masalah mereka. Selama tahap penyelidikan, guru memberikan bantuan yang dibutuhkan siswa tanpa mengganggu untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan.

Tahap 4 : Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Pada kegiatan ini, guru meminta 2 orang siswa dari 1 atau 2 kelompok untuk mempresentasikan hasil pemecahan masalah kelompoknya dan guru membantu jika siswa mengalami kesulitan. Kegiatan ini berguna untuk mengetahui hasil sementara pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi jajargenjang dan belahketupat yang diberikan.

Tahap 5 : Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Pada kegiatan ini, guru membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir mereka. Guru meminta siswa untuk melakukan rekonstruksi pemikiran dan kegiatan selama tahap-tahap pembelajaran yang telah dilewatinya.


(18)

Guru membimbing siswa menyimpulkan pembelajaran dan memberikan soal-soal untuk dikerjakan di rumah.

6.7 Kelebihan dan Kekurangan PBM Beberapa kelebihan model PBM adalah :

1. Siswa lebih memahami konsep matematika yang diajarkan, sebab mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut.

2. Melibatkan siswa secara aktif memecahkan masalah dan menuntut ketrampilan berpikir siswa yang lebih tinggi.

3. Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran matematika, sebab masalah-masalah yang diselesaikan dikaitkan dengan kehidupan nyata. Hal ini dapat meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa terhadap matematika.

4. Menjadikan siswa lebih mandiri dan lebih dewasa.

Kekurangan Model PBM

1. Tidak dapat diterapkan untuk semua materi pelajaran matematika. Hanya materi tertentu saja yang dapat diajarkan dengan pembelajaran berdasarkan masalah.

2. Membutuhkan persiapan yang matang.

3. Memakan waktu yang relatif lama, sehingga dapat berakibat materi pembelajaran kadang-kadang tidak tuntas penyelesaiannya.


(19)

Dengan adanya PBM diharapkan efektifitas pembelajaran dapat dibentuk. Suharman (2000:1), mengatakan bahwa kefektifan belajar terjadi bila siswa secara aktif dilibatkan dalam mengorganisasikan dan menemukan hubungan-hubungan informasi. Berbeda dengan belajar yang pasif, siswa hanya menerima pengetahuan dari guru yang sudah siap diberikan. Kegiatan belajar yang efektif tidak hanya meningkatkan pemahaman dan daya serap siswa pada materi pembelajaran tetapi juga melibatkan ketrampilan berpikir.

Menurut Slavin dalam Sinaga (1999:20) keefektifan pengajaran dapat ditinjau dari 4 (empat) aspek, yaitu:

1. Kualitas pembelajaran, yaitu seberapa besar informasi atau ketrampilan yang disajikan sehingga siswa dapat dengan mudah mempelajarinya. Kualitas pembelajaran sebagian besar merupakan hasil dari kualitas kurikulum dan pembelajaran itu sendiri.

2. Kesesuaian tingkat pembelajaran, yaitu sejauh mana guru memastikan tingkat kesiapan siswa untuk mempunyai informasi baru (yakni harus memiliki ketrampilan dan pengetahuan yang perlu berkaitan dengan informasi itu). Dengan kata lain masalah yang dibicarakan tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah.

3. Insentif, yaitu seberapa besar usaha guru memotivasi siswa untuk mengerjakan tugas-tugas belajar dan mempelajari materi yang disajikan. 4. Waktu, yaitu banyaknya waktu yang diberikan kepada siswa untuk mempelajari materi yang disajikan.

Pembelajaran yang aktif terjadi apabila siswa terlibat aktif dalam menemukan sendiri konsep dan aktif memecahakan masalah dengan bantuan guru sebagai fasilitator. Guru tidak boleh mendominasi siswa dalam belajar dan tidak boleh sekedar memberi ceramah. Akan tetapi, guru dituntut untuk mendorong siswa berpikir, memotivasi, memberi petunjuk dan mengamati


(20)

siswa bekerja. Sehingga, dalam kegiatan mengajar perlu diperhatikan bagaimana keterlibatan siswa dalam pengorganisasian dan pengetahuannya, apakah mereka aktif ataukah pasif ?.

Aktivitas siswa diklasifikasikan menjadi 2 (dua) bagian: (1). Aktivitas Aktif

Indikator aktivitas siswa yang dikategorikan aktivitas aktif adalah jika siswa melakukan aktivitas sebagai berikut :

a. Membaca atau mencermati (buku siswa, LKS, pemecahan masalah) b. Bekerja dalam memecahkan masalah

c. Berdiskusi atau bertanya antar siswa atau kelompok atau guru d. Menyajikan hasil pemecahan masalah

e. Mengkaji ulang proses atau hasil pemecahan masalah f. Menyimpulkan hasil pembelajaran

(2). Aktivitas Pasif

Indikator aktivitas siswa yang dikategorikan aktivitas pasif adalah jika siswa melakukan aktivitas sebagai berikut :

a. Mendengarkan atau memperhatikan penjelasan guru atau siswa b. Kegiatan yang tidak relevan dengan KBM

Pembelajaran efektif menghendaki guru agar melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran sehingga siswa mampu menemukan hubungan antara informasi baru dengan informasi yang telah ia punya dan akhirnya ia mampu memahami informasi yang diberikan guru. Semakin aktif siswa akan semakin efektif pembelajarannya.

Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran sangat berpengaruh terhadapa proses kegiatan belajar dan hasil belajar siswa. Guru sebagai penyampai informasi tidak hanya memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan tetapi guru diharapkan mampu mengelola pembelajaran


(21)

yang dapat meningkatkan kemampuan erpikir siswa. Keeektifan dari kemampuan guru mengelola pembelajaran, apabila nilai dari indikator-indikator pada setiap tahap pembelajaran yang diberikan telah memenuhi criteria yang telah ditetapkan. Dalam PBM ini, guru dalam mengelola pembelajaran dikaatakan memenuhi eektivitas jika nilai retaa-rata indikator pada setiap tahap pengelolaan pembelajaran yang diberikan oleh pengamat cukup baik atau baik (

3).

Respon siswa merupakan salah satu indikator keefektifan suatu rancangan pembelajaran. Respon siswa dapat diekspresikan melalui suatu pernyataan yang menunjukkan bahwa siswa lebih menyukai sesuatu hal daripada hal lainnya. Dapat pula dilihat melalui partisipasi dalam suatu aktivitas dan cenderung memberikan perhatian yang lebih besar terhadap obyek tersebut. (Slamento dalam Siswono, 1999:17).

Dengan demikian perlu diungkap tanggapan siswa terhadap model PBM tersebut apakah mereka berminat atau punya harapan positif dan suka terhadap model PBM tersebut. Siswa dikatakan berminat terhadap model pembelajaran tersebut, bila rata-rata persentase jawaban “ ya” dan “berminat” harus lebih besar dari 80 %.

Dalam kegiatan pembelajaran, guru perlu memotivasi, memfasilitasi dan membantu siswa dalam belajar. Untuk mengetahui bagaimana hasil belajar siswa maka diadakan tes. Tes hasil belajar berkaitan erat dengan pencapaian tujuan belajar. Jika hasil tes belajar tinggi, maka menunjukkan tingkat pencapaian tujuan belajar yang tinggi pula. Tingkat pencapaian tujuan belajar tidak lepas dari ketuntasan belajar. Belajar dikatakan tuntas jika apa yang dipelajari siswa dapat dikuasai sepenuhnya atau siswa mencapai taraf penguasaan tertentu mengenai tujuan pembelajaran yang ditetapkan dengan standar norma tertentu pula. (Abdullah dalam Siswono, 1999:14).


(22)

Selanjutnya pengajaran dikatakan efektif apabila mampu mencapai sasaran yang diinginkan baik dari segi tujuan pembelajaran maupun dari prestasi belajar siswa yang maksimal. Berdasarkan hasil analisis deskriptif, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah ditinjau dari aktivitas guru dan siswa, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dan respon siswa memenuhi kriteria efektifitas. Akan tetapi hasil belajar siswa belum mencapai ketuntasan belajar baik secara klasikal maupun ketuntasan tujuan pembelajaran .

Berdasarkan pada kriteria efektifitas pembelajaran berdasarkan masalah disimpulkan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah tidak efektif dalam pembelajaran pada sub pokok bahasan jajargenjang dan belahketupat. Kemungkinan tidak efektifnya model PBM disebabkan karena siswa- terbiasa untuk meniru atau menerima apa yang diajarkan oleh guru atau meniru teman yang lebih pintar darinya. Beberapa siswa cenderung meniru cara penyelesaian masalah yang ditemukan temannya.


(23)

Daftar Bacaan

Nurhayati Abbas. 2000. Penerapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem-Based Instruction) pada Pembelajaran Matematika di SMU. Tesis yang tidak dipublikasikan. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.

Suharsimi Arikunto. 1996. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Wahyudin Djumanta. 1999. Matematika Untuk SLTP Jilid 2. Bandung: Multi Trust.

Herman Hudojo. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang.

M. Ibrahim dan M. Nur. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Syamsul Junaidi dan Eko Siswono. 2002. Matematika Untuk SLTP Jilid 2 Kurikulum 1994 Suplemen GBPP 1999. Jakarta: ESIS Erlangga.

Kardi S., dan M. Nur. 2000. Pengajaran Langsung. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.


(24)

Jerold Kemp. 1994. Proses Perancangan Pengajaran (terjemahan Asril Marjohan). Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Netti Lastiningsih. 1996. Studi Korelasi antara Alih Bahasa dengan Prestasi Menyelesaikan Soal Cerita di Kelas V SD Negeri Ketintang Surabaya, Skripsi yang tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Mustangin. 2001. Pengantar Metodologi Penelitian. Malang: Iniversitas Islam Malang.

M. Nur dan Wikandari P.R. 1998. Pengajaran Berpusat pada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Bornok Sinaga. 1999. Efektivitas Pembelajaran Berdasarkan Masalah (PBI) pada Kelas I SMU dengan Bahan Kajian Fungsi Kuadrat, Tesis Tidak Dipublikasikan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Tatag YE Siswono. 2003. Proses Berpikir Kreatif dalam Pengajuan Masalah (Problem Posing) Matematika. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstrukitvis dalam Pendidikan. Jakarta: Kanisius.


(25)

Turmudi. 2001. Matematika Untuk SLTP Kelas 2. Bandung: Grafindo Media Pratama.

Emmy Nuniek Wulandari. 2002. Efektivitas Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem-Based Instruction) pada Ukuran Pemusatan Siswa Kelas II SLTP Raden Rahmat Surabaya, Skripsi tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.


(26)

(27)

6 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis deskriptif, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah ditinjau dari aktivitas guru dan siswa, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dan respon siswa memenuhi kriteria efektifitas. Akan tetapi hasil belajar siswa belum mencapai ketuntasan belajar baik secara klasikal maupun ketuntasan tujuan pembelajaran .

Berdasarkan pada kriteria efektifitas pembelajaran berdasarkan masalah disimpulkan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah tidak efektif dalam pembelajaran pada sub pokok bahasan jajargenjang dan belahketupat. Kemungkinan tidak efektifnya model PBM disebabkan karena siswa- terbiasa untuk meniru atau menerima apa yang diajarkan oleh guru atau meniru teman yang lebih pintar darinya. Beberapa siswa cenderung meniru cara penyelesaian masalah yang ditemukan temannya.

7 Saran

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah belum dapat dikatakan efektif dalam mengajarkan sub pokok bahasan jajargenjang dan belahketupat, karena dari segi ketuntasan belajar belum memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Namun, dari hasil analisis data mengenai aktivitas guru dan siswa dan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran didapatkan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah mampu mengaktifkan siswa dalam belajar dan guru tidak lagi mendominasi pembelajaran. Untuk itu disarankan kepada :


(28)

1. Guru

a. Untuk menerapkan atau mencoba lagi pembelajaran berdasarkan masalah karena model ini dapat memotivasi siswa aktif dalam belajar.

b. Sebelum melakukan kegiatan pembelajaran guru perlu mempersiapkan kemampuan awal dan mengecek materi prasyarat yang diperlukan siswa untuk belajar, sehingga siswa mudah memahami materi yang diajarkan.


(29)

c. Karena ketuntasan TPK dan ketuntasan belajar secara klasikal belum tercapai maka hendaknya guru melihat kembali kesulitan siswa dan mengadakan pengajaran ulang.

2. Siswa

Dari segi ketuntasan TPK dan ketuntasan belajar secara klasikal belum memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, maka hendaknya siswa mengikuti atau mencoba lagi pembelajaran berdasarkan masalah dan bekerjasama dengan kelompok sehingga siswa dapat aktif dalam belajar.

Daftar Bacaan

Nurhayati Abbas. 2000. Penerapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem-Based Instruction) pada Pembelajaran Matematika di SMU. Tesis yang tidak dipublikasikan. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.

Suharsimi Arikunto. 1996. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Wahyudin Djumanta. 1999. Matematika Untuk SLTP Jilid 2. Bandung: Multi Trust.


(30)

Herman Hudojo. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang.

M. Ibrahim dan M. Nur. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Syamsul Junaidi dan Eko Siswono. 2002. Matematika Untuk SLTP Jilid 2 Kurikulum 1994 Suplemen GBPP 1999. Jakarta: ESIS Erlangga.

Kardi S., dan M. Nur. 2000. Pengajaran Langsung. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Jerold Kemp. 1994. Proses Perancangan Pengajaran (terjemahan Asril Marjohan). Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Netti Lastiningsih. 1996. Studi Korelasi antara Alih Bahasa dengan Prestasi Menyelesaikan Soal Cerita di Kelas V SD Negeri Ketintang Surabaya, Skripsi yang tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Mustangin. 2001. Pengantar Metodologi Penelitian. Malang: Iniversitas Islam Malang.


(31)

M. Nur dan Wikandari P.R. 1998. Pengajaran Berpusat pada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Bornok Sinaga. 1999. Efektivitas Pembelajaran Berdasarkan Masalah (PBI) pada Kelas I SMU dengan Bahan Kajian Fungsi Kuadrat, Tesis Tidak Dipublikasikan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Tatag YE Siswono. 2003. Proses Berpikir Kreatif dalam Pengajuan Masalah (Problem Posing) Matematika. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstrukitvis dalam Pendidikan. Jakarta: Kanisius.

Turmudi. 2001. Matematika Untuk SLTP Kelas 2. Bandung: Grafindo Media Pratama.

Emmy Nuniek Wulandari. 2002. Efektivitas Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem-Based Instruction) pada Ukuran Pemusatan Siswa Kelas II SLTP Raden Rahmat Surabaya, Skripsi tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.


(32)

Daftar Bacaan

BAB VI

PENGELOLAAN KELAS

6.1 Definisi Pengelolaan Kelas

6.2 Masalah dalam Pengelolaan Kelas

6.3 Cara dalam Menghadapi Pengelolaan Kelas 6.4 Rangkuman


(1)

6 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis deskriptif, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah ditinjau dari aktivitas guru dan siswa, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dan respon siswa memenuhi kriteria efektifitas. Akan tetapi hasil belajar siswa belum mencapai ketuntasan belajar baik secara klasikal maupun ketuntasan tujuan pembelajaran .

Berdasarkan pada kriteria efektifitas pembelajaran berdasarkan masalah disimpulkan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah tidak efektif dalam pembelajaran pada sub pokok bahasan jajargenjang dan belahketupat. Kemungkinan tidak efektifnya model PBM disebabkan karena siswa- terbiasa untuk meniru atau menerima apa yang diajarkan oleh guru atau meniru teman yang lebih pintar darinya. Beberapa siswa cenderung meniru cara penyelesaian masalah yang ditemukan temannya.

7 Saran

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah belum dapat dikatakan efektif dalam mengajarkan sub pokok bahasan jajargenjang dan belahketupat, karena dari segi ketuntasan belajar belum memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Namun, dari hasil analisis data mengenai aktivitas guru dan siswa dan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran


(2)

1. Guru

a. Untuk menerapkan atau mencoba lagi pembelajaran berdasarkan masalah karena model ini dapat memotivasi siswa aktif dalam belajar.

b. Sebelum melakukan kegiatan pembelajaran guru perlu mempersiapkan kemampuan awal dan mengecek materi prasyarat yang diperlukan siswa untuk belajar, sehingga siswa mudah memahami materi yang diajarkan.


(3)

c. Karena ketuntasan TPK dan ketuntasan belajar secara klasikal belum tercapai maka hendaknya guru melihat kembali kesulitan siswa dan mengadakan pengajaran ulang.

2. Siswa

Dari segi ketuntasan TPK dan ketuntasan belajar secara klasikal belum memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, maka hendaknya siswa mengikuti atau mencoba lagi pembelajaran berdasarkan masalah dan bekerjasama dengan kelompok sehingga siswa dapat aktif dalam belajar.

Daftar Bacaan

Nurhayati Abbas. 2000. Penerapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem-Based Instruction) pada Pembelajaran Matematika di SMU. Tesis yang tidak dipublikasikan. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.

Suharsimi Arikunto. 1996. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.


(4)

Herman Hudojo. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang.

M. Ibrahim dan M. Nur. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Syamsul Junaidi dan Eko Siswono. 2002. Matematika Untuk SLTP Jilid 2 Kurikulum 1994 Suplemen GBPP 1999. Jakarta: ESIS Erlangga.

Kardi S., dan M. Nur. 2000. Pengajaran Langsung. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Jerold Kemp. 1994. Proses Perancangan Pengajaran (terjemahan Asril Marjohan). Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Netti Lastiningsih. 1996. Studi Korelasi antara Alih Bahasa dengan Prestasi Menyelesaikan Soal Cerita di Kelas V SD Negeri Ketintang Surabaya, Skripsi yang tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Mustangin. 2001. Pengantar Metodologi Penelitian. Malang: Iniversitas Islam Malang.


(5)

M. Nur dan Wikandari P.R. 1998. Pengajaran Berpusat pada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Bornok Sinaga. 1999. Efektivitas Pembelajaran Berdasarkan Masalah (PBI) pada Kelas I SMU dengan Bahan Kajian Fungsi Kuadrat, Tesis Tidak Dipublikasikan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Tatag YE Siswono. 2003. Proses Berpikir Kreatif dalam Pengajuan Masalah (Problem Posing) Matematika. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstrukitvis dalam Pendidikan. Jakarta: Kanisius.

Turmudi. 2001. Matematika Untuk SLTP Kelas 2. Bandung: Grafindo Media Pratama.

Emmy Nuniek Wulandari. 2002. Efektivitas Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem-Based Instruction) pada Ukuran Pemusatan Siswa Kelas II SLTP Raden Rahmat Surabaya, Skripsi tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.


(6)

Daftar Bacaan

BAB VI

PENGELOLAAN KELAS

6.1 Definisi Pengelolaan Kelas

6.2 Masalah dalam Pengelolaan Kelas