Strenght of character pelaku multi level marketing.
Strenght of Character Pelaku Multi Level Marketing
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata
Satu (S1) Psikologi (S.Psi)
Khomsatun Muslihah B97213107
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA 2017
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
INTISARI
Penelitian ini memiliki fokus penelitian yaitu bagaimana kekuatan karakter pelaku Multi Level Marketing (MLM) dalam membangun bisnis Multi Level Marketing (MLM). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan triangulasi sebagai validasi data. Subjek penelitian adalah pelaku Multi Level Marketing (MLM) yang telah mencapai puncak tertinggi level keagenan Multi Level
Marketing (MLM), Multi Level Marketing (MLM) yang
dipilih adalah PT Halal Network Internasional Herba Penawar Alwahida Indonesia (PT HNI HPAI). Penelitian ini menemukan beberapa temuan, yaitu strenght of character dari subyek penelitian adalah Creativity, Love of learning, Persistence, Vitality, Kindness, Fairness, Leadership,
Humility and Modesty, Self-regulation, Hope, dan
Spirituality. terdapat temuan lain selain sebelas strenght of character berdasarkan teori Peterson & Seligman (2004) yaitu kekuatan dermawan dan fleksibel dalam menajemen waktu.
Kata kunci: Strenght of character, Pelaku Multi Level Marketing (MLM)
(7)
ABSTRACT
This research has a focus of research is how the character strength of Multi Level Marketing (MLM) actors in building Multi Level Marketing business (MLM). This research is a qualitative research, using triangulation as data validation. The research subjects are Multi Level Marketing (MLM) actor who has reached the highest peak of the Multi Level Marketing (MLM) agency level, Multi Level Marketing (MLM) chosen is PT Halal Network International Herba Penawar Alwahida Indonesia (PT HNI HPAI). This study found some findings, namely strenght of character of research subjects are Creativity, Love of learning, Persistence, Vitality, Kindness, Fairness, Leadership,
Humility and Modesty, Self-regulation, Hope, and
Spirituality. There are other findings besides eleven strenght of character based on Peterson & Seligman's theory (2004) that is generous and flexible power in time management. Keywords: Strenght of character, Multi Level Marketing Actors (MLM
(8)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI . ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
INTISARI ... ... xi
ABSTRACK . ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Fokus Penelitian ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 13
D. Manfaat Penelitian ... 14
E. Keaslian Penelitian ... 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Strenght of Character ... 17
B. Multi Level Marketing ... 38
C. Perspektif Teoritis ... 52
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 55
B. Lokasi Penelitian ... 56
C. Sumber Data ... 56
D. Cara Pengumpulan Data ... 56
E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ... 58
F. Keabsahan Data ... 61
BAB |IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subyek ... 62
(9)
B. Hasil Penelitian ... 77 C. Pembahasan ... 144 BAB V PENUTUP
A. . Kesimpulan... 132 B. Saran... 132 DAFTAR PUSTAKA ... ...134
(10)
DAFTAR TABEL
(11)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Hasil temuan penelitian, Strenght of Character Pelaku Multi Level Marketing ... 113
(12)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Pedoman Wawancara ... 1
Lampiran 2. Transkrip wawancara Key Informan 1... 6
Lampiran 3. Transkrip wawancara Informan 1 ... 19
Lampiran 4. Transkrip wawancara Informan 2 ... 26
Lampiran 5. Transkrip wawancara Informan 3 ... 32
Lampiran 6. Transkrip wawancara Informan 4 ... 38
Lampiran 7. Klasifikasi Thema Temuan ... 45
Lampiran 8. Skema Posisi Keagenan HNI HPAI ... 56
Lampiran 9. Penghargaan dan sertifikat subyek penelitian ... 58
Lampiran 10. Lembar Kesediaan Key Informan ... 61
Lampiran 11. Lembar Kesediaan Informan 1 ... 62
Lampiran 12. Lembar Kesediaan Informan 2 ... 63
Lampiran 13. Lembar Kesediaan Informan 3 ... 64
Lampiran 14. Lembar Kesediaan Informan 4 ... 65
Lampiran 15. Surat Permohonan Izin Penelitian ... 66
Lampiran 16. Berita Acara Ujian Skripsi ... 67
(13)
BAB 1 PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Penelitian
Kondisi bisnis retail di Indonesia saat ini semakin menggeliat, diwarnai dengan munculnya perusahaan yang mendukung kemajuan dalam bisnis tersebut, salah satu nya adalah perusahaan yang bergerak dengan sistem kerja Multi Level Marketing (MLM). Perusahaan Multi Level Marketing (MLM) sendiri didukung dengan banyak pelaku Multi Level Marketing (MLM) yang bekerja memasarkan dan membangun kerajaan bisnis tersebut.
Pelaku Multi Level Marketing (MLM) sebagai saluran distribusi, adalah salah satu bentuk strategi pemasaran yang dikembangkan oleh beberapa produsen, dengan membangun saluran distribusi, untuk menyalurkan barang dari produsen sampai ke konsumen atau pemakai industri (Warren, 2003). Menurut (Roller, 1995) Multi Level Marketing adalah system melalui sebuah induk perusahaan yang mendistribusikan barang atau jasanya lewat jaringan orang-orang bisnis yang independen, orang-orang bisnis tersebut kemudian mensponsori orang-orang lain lagi untuk membantu mendistribusikan barang atau jasa tersebut, oleh karena itu penjual individu perusahaan MLM tidak hanya peroleh dari penjualan mereka sendiri tetapi juga menikmati komisi utama dari penjualan kedua yang mereka rekrut (Bloch,1996).
Berdasarkan penjelasan dari beberapa tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa Multi Level Marketing (MLM) menyangkut peran organisasi distributor secara berjenjang atau bertingkat dalam pemasaran produk, harga. Seorang
(14)
distributor yang sudah bergabung, maka distributor tersebut dapat mengajak orang lain untuk turut serta sebagai distributor. Kemudian orang tersebut dapat pula mengajak orang lain untuk ikut bergabung, begitu seterusnya. Semua orang yang diajak dan ikut bergabung merupakan suatu kelompok distributor. Mengajak orang untuk ikut bergabung dalam bisnis Multi Level Marketing (MLM) tersebut tidak terbatas, sampai berapa tingkat atau sampai berapa level pun bebas tanpa dibatasi.
Multi Level Marketing MLM lahir di awal 1940-an dengan perusahaan seperti Makanan Tambahan NutraLite Korporasi, Shaklee, dan Amway, Perusahaan Mary Kay dan Herbalife (Fearer, 1999). Bisnis Multi Level Marketing (MLM) sekarang menjadi terobosan baru di Negara Indonesia, hal ini bisa dilihat dari banyaknya perusahaan Multi Level Marketing (MLM) yang ada di Indonesia dan banyaknya orang yang berminat untuk bergabung dalam program-program yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut, seperti Herbal Penawar Al Wahidah Indonesia (HPAI), bahkan di Malaysia terdapat 291 perusahaan Multi Level Marketing dan 128 SLM perusahaan pada tahun 2004 (Anonymous, 2004).
Hasil riset SWA mengungkapkan dalam lima tahun terakhir pertumbuhan jumlah pemain atau perusahaan yang bergerak di bidang penjualan langsung khususnya MLM ini mencapai kisaran 40%. Dari 49 perusahaan MLM yang terdaftar di Indonesia, 18 diantaranya merupakan perusahaan asing dan 31 lainnya lokal. Tidak hanya jumlah perusahaan MLM yang berkembang, produk yang ditawarkan pun juga makin luas dan variatif, baik berupa barang ataupun
(15)
jasa. Data dari World Federation of Direct Selling Association (WFDSA) juga menunjukkan pertumbuhan distributor di Indonesia sangat signifikan. Tahun 2000 total distributor di sini 4,1 juta orang, tapi pada tahun 2003 mencapai 5,4 juta orang, atau naik lebih dari 25%. Sementara itu dari sisi total omset yang dihasilkan tiap tahunnya, jika pada tahun 2000 total omset nasional bisnis MLM Rp. 2,97 triliun, pada tahun 2003 meningkat menjadi Rp. 6,24 triliun atau lebih dari dua kali lipat (Manopol, 2005), namun pertengahan tahun 2011 perkembangan bisnis Multi Level Marketing (MLM) K-Link mengalami penurunan ± 50 % di bandingkan tahun-tahun 2003-2010 (Ririn & Sari, 2005)
Pemasaran bisnis Multi-Level Marketing (MLM) mungkin salah satu yang paling kontroversial dalam industri perdagangan modern, oleh karena itu tidak mengherankan bahwa Multi Level Marketing (MLM) sebagai praktek bisnis yang banyak diterima namun juga diragukan oleh publik ketika pertama kali diperkenalkan kepada publik. Setiap perusahaan Multi Level Marketing (MLM) menjanjikan kebebasan pribadi dan kebebasan finansial (Feinberg & Eastlick, 1997: Kiaw & Cyril, 2007). Ada banyak peneliti yang sangat mendukung Multi Level Marketing sebagai jaringan yang lebih bermartabat, jaringan pemasaran yang terbaru sebagai sistem pemasaran abad ke-21 (Poe, 1999: King & Robinson, 2000: Hedges, 2001: Kiyosaki, 2004). Multi Level Marketing (MLM) dipandang sebagai sebuah peluang yang memberikan penghasilan pasif atau peluang yang menawarkan kemungkinan pendapatan tingkat tinggi, yang tidak dicapai oleh mereka yang hanya menikmati pendapatan linier (Kiyosaki,
(16)
2004 & Hedges, 2001). dengan kinerja penjualan sesuai dengan tingkat promosi penjualan yang dilakukan oleh member (Susilowati, 2008).
Kritikus disisi lain juga yang berpendapat bahwa pertumbuhan distributor Multi Level Marketing (MLM) dan omset bisnis pertahun mereka bukanlah kebenaran mutlak, namun sebaliknya sekitar 93% -95% mereka yang terlibat dalam Multi Level Marketing (MLM) kehilangan uang atau tidak mendapatkan uang yang dijanjikan (Clements, 2001). Para kritikus berpendapat bahwa Multi Level Marketing (MLM) adalah sebuah industri penuh tipuan dan tidak memiliki tujuan realistis untuk sebagian besar individu yang terlibat, para kirtikus mengklaim bahwa tidak lebih dari 5% -7% individu yang terlibat Multi Level Marketing (MLM) yang mendapatkan sejumlah uang yang mereka harapkan (Fears, 1999). Kritikus mengutip kasus spesifik tentang tingginya angka distributor yang keluar dari perusahaan Amway, seperti 50% pertahun (Dykema, 1999). Fakta yang lebih mengejutkan adalah banyak pencela dan kritikus Multi Level Marketing (MLM) adalah orang-orang yang pernah terkait erat dengan dan terlibat dalam bisnis tersebut, mereka telah berada di dalam sistem tersebut namun tidak menyukai dan tidak setuju dengan apa yang mereka lihat (Fears, 1999: Dykema, 1999).
Kondisi dan pendapat diatas tidak mengurai anthusias jutaan dari orang Indonesia terus terlibat dalam berbagai bisnis Multi Level Marketing (MLM). Mereka berjuang dan bekerja keras, memiliki kekuatan karakter yang kuat meskipun penghinaan dari orang lain dan untuk membangun pengalaman, kekuatan dan keyakinan diri agar sukses (Bloch, 1996).
(17)
Penelitian ini mengungkapkan bagaimana seorang pelaku Multi Level Marketing (MLM) khususnya Multi Level Marketing (MLM) Herba Penawar Al-Wahida Indonesia (HPAI) sebagai subjek dalam penelitian ini mendapat beberapa kritikan dari sekitar tentang apa yang mereka lakukan.
Pelabelan tidak begitu baik dari masyarakat terhadap pelaku bisnis Multi Level Marketing tentang bisnis yang mereka jalani, serta cara mereka menjalani bisnis tersebut adalah suatu keunikan tersendiri yang membuat peneliti berkeinginan untuk mengkaji lebih lanjut.
Selain pelabelan yang kurang baik, yang mereka terima dari masyarakat, terdapat satu keunikan lain yang menciri khaskan Multi Level Marketing Herba Penawar Al-Wahida ini, yaitu pelabelan tentang Thibbun Nawabi atau pengobatan ala atau kembali ke jalan Rosulullah SWT, yang mereka bawa dalam diri pribadi mereka sebagai pelaku bisnis Multi Level Marketing serta produck yang mereka pasarkan.
Pelabelan tersebut dirasa unik dan memiliki daya tarik sendiri untuk diteliti dikarenakan Rosulullah SAW adalah pribadi yang memiliki pengaruh yang sangat kuat, serta memiliki kekuatan karakter yang begitu sempurna sebagai percontohan manusia ideal.
Seorang pelaku Multi Level Marketing (MLM) memiliki sebuah jalan kehidupan dan perjuangan yang berbeda dibandingkan dengan individu yang melakoni pekerjaan lain, Seorang pelaku Multi Level Marketing (MLM) dengan beban pelabelan dan lain lain tersebut diatas harus bertahan dan
(18)
menyesuaikan diri dengan lingkungan dua kali lipat lebih sulit dibanding individu pada umumnya.
Setiap individu memiliki kekuatan karakternya masing masing untuk menjalani kehidupannya, begitu pula dengan seorang pelaku atau agen dari Multi Level Marketing (MLM). Seorang individu yang menghadapi stressor yang cukup berat dalam menjalankan profesinya.
Menurut Peterson & Seligman (2004), kekuatan karakter adalah karakter baik yang mengarahkan individu pada pencapaian keutamaan atau trait positif yang terefleksi dalam pikiran, perasaan dan tingkah laku yang membuat individu memiliki kekuatan dalam dirinya untuk mencapai hidup yang berarti dan dapat tegar dalam menghadapi stressor. Karakter mengacu pada kualitas dalam mengarahkan individu pada keinginan dan niat baik (Peterson & Park, 2006).
Kekuatan karakter menjadi isu utama dalam penelitian psikologi positif, dalam ranah psikologi positif, hal yang diutamakan adalah bagaimana menjadikan individu dengan segala potensinya menjadi lebih baik dan dikembangkan seoptimal mungkin. Peterson & Seligman (2004) berpendapat bahwa karakter mencakup perbedaan individual yang bersifat stabil dan general, tetapi juga dapat berubah. Karakter dapat dikatakan sebagai trait positif yang dapat membantu seseorang untuk menjalani hidup yang baik. Kajian Seligmen mengenai karakter ini menitikberatkan pada trait positif dari individu.
(19)
Psikologi positif mempelajari tentang kekuatan dan kebajikan yang bisa membuat seseorang atau sekelompok orang menjadi berhasil dalam hidup atau meraih tujuan hidupnya. Salah satu pusat perhatian utama dari cabang psikologi ini adalah pencarian, pengembangan kemampuan, bakat individu atau kelompok masyarakat dan kemudian membantunya untuk mencapai peningkatan kualitas hidup (dari normal menjadi lebih baik, lebih bahagia). Psikologi positif adalah ilmu dari masa masa menyenangkan (Seligmen, 2002).
Psikologi positif merupakan cabang dari psikologi yang memperhatikan aspek kekuatan individu dibandingkan kelemahannya, minat individu untuk membangun yang terbaik dalam hidup dibandingkan memperbaiki kesalahannya dan lebih memperhatikan bagaimana individu dapat memenuhi kehidupan sebagai orang normal dibandingkan dengan bagaimana cara menyembuhkan individu yang menderita gangguan (Seligman, 2002).
Peterson & Seligman (2004) memfokuskan pada character strength (kekuatan karakter) dan virtue (kebajikan). Mereka mengartikan virtue sebagai ciri inti yang dihargai oleh para filsuf kaum religious. Virtue bersifat universal dan penting bagi kelangsungan hidup. Character strength adalah unsur psikologis yang membentuk virtue (Peterson & Seligman, 2004). Dengan kata lain, setiap virtue terbentuk dari beberapa character strength, misalnya virtue “wisdom and knowledge” terdiri dari character strength antara lain creativity, curiosity, open mindedness, love of learning, dan perspective. Apabila seorang individu mempunyai satu atau dua character strength dari setiap virtue, maka individu tersebut dapat dikatakan memiliki karakter yang baik.
(20)
Berdasarkan paparan devinisi dari kekuatan karakter diatas dapat disimpulkan bahwa kekuatan karakter adalah kekuatan khas yang dimiliki oleh masing masing individu, dengan kekuatan tersebut seseorang dapat menjadi seorang yang bijak dan memperoleh kebahagiaan hidupnya.
Kekuatan karakter menurut Seligmen (2002) berbeda dengan bakat atau anugrah semisal perfect pitch (kemampuan untuk mengenali nada dengan sempurna), keduanya merupakan topik pembahasan dalam psikologi positif, meskipun memiliki beberapa kesamaan, ada perbedaan yang jelas diantara keduanya, kekuatan dan kebajikan berkaitan dengan moral, sedangkan bakat tidak berkaitan dengan moral. Bakat secara umum tidak dapat dibangun sedangkan dengan fondasi selemah apapun seseorang dapat mengembangkan kebajikan dan kekuatan. Namun kekuatan karakter juga sebagai penguat dalam pertumbuhan traumatis (Peterson & Park & Pole & D’andrea & Seligment, 2008).
Kekuatan karakter yang mengarahkan individu pada pencapaian keutamaan apabila ditampilkan tidak akan mengecilkan orang lain disekitarnya, dalam beberapa kondisi, orang yang melihat suatu kebaikan acap kali terpacu dan terinspirasi. Umumnya, menjalankan suatu kekuatan menghasilkan emosi positif yang autentik pada pelakunya, seperti kebanggan, kepuasan, kesenangan, rasa keberhasilan atau keselarasan. Oleh karena hal tersebut kekuatan dan kebajikan sering dijalankan dalam situasi yang menguntungkan (win-win). Kita semua dapat menjadi pemenang saat bertindak sesuai dengan kekuatan dan kebajikan. (Seligmen, 2002).
(21)
Peterson & Seligman (2004) membagi 6 kebajikan yang terdiri atas 24 kekuatan karakter (character strength) sebagai berikut:
1. Wisdom and Knowledge (Kearifan dan Pengetahuan) yang didalamnya
terdiri dari karakter Creativity, Curiosity, Open-mindedness, Love of learning, Perspective.
2. Courage (Keteguhan hati) yang di dalamnya terdiri dari karakter Bravery, Persistence, Integrity,Vitality.
3. Humanity and love (Perikemanusiaan dan Cinta kasih) yang didalamnya terdiri dari karakter Love, Kindness, Social Intelligence.
4. Justice (Keadilan) yang didalamnya terdiri dari karakter Citizenship, Fairness, Leadership.
5. Temperance (Kesederhanaan) yang didalamnya terdiri dari karakter
Forgiveness and mercy, Humility and Modesty, Prudence, Self-regulation. 6. Transcendence yang didalamnya terdiri dari karakter Appreciation of beauty
and excellence, Gratitude, Hope, Humor dan Spirituality.
Suatu karakter tertentu kemudian dapat disebut dengan kekuatan dalam buku The Authentic of Happiness dijelaskan bahwa terdapat beberapa syarat, yang pertama adalah kekuatan adalah ciri khas, sebuah karakteristik psikologi yang dapat dilihat pada situasi apa pun dan mucul sepanjang waktu. Kenajikan yang ditunjukkan hanya sesekali dan pada keadaan tertentu, belum pasti menampilkan kebajikan mendasar seseorang.
Syarat kedua yaitu suatu kekuatan dinilai dari dirinya sendiri, kekuatan sering menghasilkan akibat yang baik, contoh sebuah kepemimpinan yang
(22)
dijalankan dengan baik, pada umumnya akan menghasilkan prestise, promosi, dan kenaikan gaji. Kendati kekuatan dan kebajikan memang membuahkan hasil yang kita inginkan, kita menilai suatu kekuatan karena dirinya sendiri, bahkan sekiranya tidak terdapat hasil yang nyata. Ingat bahwa kepuasan dicari karena kepuasan itu sendiri, bukan karena hal tersebut dapat meluapkan emosi positif. Aristoteles pun berpandangan bahwa tindakan-tindakan yang dijalankan untuk alasan-alasan eksternal bukanlah kebajikan, sebab kekuatan dilakukan karena terujuk atau terpaksa.
Kekuatan juga dapat terlihat pada harapan orang tua kepada bayi yang baru lahir “aku berharap anakku akan menjadi orang yang penuh kasih,
pemberani, dan bijaksana”. Tidak ada orang tua yang mengatakan bahwa
mereka mengharapkan anak-anak mereka dapat terhindar dari psikopatologi, sebagaimana mereka tidak akan mengatakan bahwa mereka mengharapkan anaknya nanti memegang jabatan manajemen tingkat menengah. Orangtua boleh jadi berharap bahwa anaknya nanti menikah dengan seorang jutawan, tetapi mereka akan menjelaskan mengapa dan bagaimana cara mewujudkan harapan itu. Kekuatan adalah kondisi yang kita inginkan tanpa memerlukan pemberanan lebih lanjut. Kriteria terakhir tentang kekuatan dan kebaijakan adalah kedua nya diterima dimana-mana, dihargai di hampir semua budaya di dunia. (Seligment, 2002).
Kebudayaan menumbuh kembangkan kekuatan dan kebajikan dengan menyediakan institusi, ritual, teladan, perlambang, pepatah, dan cerita anak-anak. Institusi dan ritual merupakan uji coba yang memungkinkan anak-anak
(23)
dan remaja mempraktikkan dan membangun karakter yang bernilai dalam sebuah konteks yang aman, dalam bimbingan eksplisit contohnya OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) dimasukkan untuk membina kewarganegaraan dan kepemimpinan, kemudian pramuka dan tim olahraga berusaha keras mengembangkan kerja kelompok, tugas dan loyalitas, serta pelatihan mendengarkan secara intensive yang dilakukan oleh siswa sehingga dapat mendukung dan memperdayakan manusia. (Gilman & Huebner & Furlong, 2009).
Panutan dan teladan dalam suatu budaya memberikan gambaran tentang kekuatan dan kebajikan dicontohkan seperti Mahatma Ghandi dan kepemimpinan yang manusia, kemudian kisah-kisah legendaris (George Washington dan kejujuran), Thomas Edison dengan kreativitas Bunda Theresa tentang kasih dan lain sebagainya. (Seligmen, 2002).
Kajian tentang strenght of character pernah dilakukan oleh (Aditya & Halimah, 2015) pada kehidupan suami yang memiliki istri pasca stroke, hasil penelitian menyebutkan bahwa seorang suami yang memiliki istri paska stroke memiliki kekuatan karakter untuk mendampingi istri dan menjalani hidupnya, yaitu love, gratitude, hope, self regulation dan prudence. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Toner & Haslan & Robinson & Williams (2011) pada remaja awal, mengungkapkan bahwa kekuatan karakter temperance, vitality, and transcendence muncul pada kebahagiaan remaja usia 15-18 tahun
Pada penelitian awal, dengan proses wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap subjek penelitian, dihasilkan sebuah fakta bahwa seorang
(24)
pelaku Multi Level Marketing (MLM) memiliki kekuatan karakter seperti optimisme yang besar atau tinggi, dengan adanya kekuatan karakter optimisme yang besar atau tinggi yang dimiliki oleh subjek penelitian, subjek menunjukkan etos kerja yang baik dalam proses rekrutmen downline serta presentasi produck yang dilakukan subjek kepada calon konsumen, selain usaha tersebut diatas dengan adanya optimisme yang besar atau tinggi, subjek penelitian berupaya untuk memiliki kualitas hidup yang baik.
Kekuatan karakter lain yang ditemukan oleh peneliti dalam diri subjek penelitian adalah kecintaan subjek akan belajar, dalam proses wawancara awal subjek menunjukkan sikap rasa senang dalam mempelajari hal baru secara konsisten.
Penelitian ini diharapkan mampu menjawab bagaimana kekuatan karakter yang dimiliki oleh pelaku Multi Level Marketing (MLM) yang sebenar-benarnya, apa kekuatan karakter tersebut sehingga mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya dan bagaimana kekuatan karakter tersebut dapat membuat pelaku Multi Level Marketing (MLM) dapat mencapai puncak level tertinggi keagenan bisnis Multi Level Marketing (MLM), dalam hal ini adalah bisnis Multi Level Marketing (MLM) Herbal Penawar Al Wahidah Indonesia (HPAI), serta sebuah masukan bagi pelaku Multi Level Marketing (MLM) yang lain agar dapat menjalani hidup dan profesinya dengan baik, serta memberi masukan orang sekitar agar dapat memperlakukan dan mensupport kehidupan pelaku Multi Level Marketing (MLM) agar dapat mencapai kebahagiaan hidupnya.
(25)
Penelitian ini dirasa perlu untuk dilakukan agar pelaku Multi Level Marketing (MLM) mendapatkan sebuah pengakuan tentang keberadaan dirinya serta profesinya, bukan sebuah profesi yang dikatakan penuh dengan tipuan. Namun juga profesi yang bermartabat dan profesi yang mampu memberikan kontribusi yang baik untuk manusia sekitar khususnya keluarga pelaku Multi Level Marketing (MLM).
B.Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, ada hal yang menjadi _egar dalam penelitian ini yaitu bagaimana kekuatan karakter pelaku Multi Level Marketing (MLM) dalam membangun bisnis Multi Level Marketing (MLM)?
C.Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian di atas, terdapat tujuan penelitian yang menjadi pijakan pada penelitian ini yaitu mendeskripsikan kekuatan karakter pelaku Multi Level Marketing (MLM) dalam membangun bisnis Multi Level Marketing (MLM).
D.Manfaat Penelitian
Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan masukan berharga bagi
(26)
pengembangan ilmu di bidang ilmu psikologi, terutama psikologi industri dan organisasi.
2. Manfaat praktis
a. Memberikan pengetahuan mengenai bagaimana kekuatan karakter pelaku Multi Level Marketing (MLM).
b. Memberikan dorongan bagi pelaku Multi Level Marketing (MLM) untuk menemukan kekuatan karakter serta mengaktualisasikan hidup mereka, agar pelaku Multi Level Marketing (MLM) dapat mencapai kebahagiaan dan menjadi lebih berguna bagi umat manusia.
E.Keaslian Penelitian
Kajian tentang Strenght of Character dapat diketahui dari study Wijayanti & Nurwianti, 2010) Strenght of Character memberikan sumbangan yang signifikan terhadap kebahagiaan pada orang Jawa berusia 18-55 tahun yang berdomisili di Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jabodetabek sebesar 48.6%, sedangkan 7 kekuatan yang paling menyumbang terhadap kebahagiaan, yaitu kegigihan, kreativitas, perspektif, keadilan, vitalitas, keingintahuan, dan pengampunan, adapun kebahagiaan mayoritas berada pada tingkat tinggi. Sedangkan dalam penelitian yang berjudul “Profil Kekuatan Karakter dan Kebajikan pada Mahasiswa Berprestasi” pada 30 orang dari 9 Fakultas UIN Sunan Gunung Djati yang dipilih berdasarkan nilai IPK tertinggi diketahui aspek prestasi, kekuatan karakter khas yang paling dominan Harapan, Ketekunan, dan Spiritualitas. (Irfan & Zulmi, 2014).
(27)
Penelitian yang dilakukan oleh Sartika & Mardiawan, (2014) membuktikan bahwa kekuatan karakter memiliki sumbangan secara signifikan terhadap komitmen organisasi pada karyawan non manajerial, yang diantaranya adalah openmind, forgiveness, spirituality, creativity dan leadership. Kekuatan karakter juga yang memiliki korelasi dengan komitmen afektif pada Guru TK dan SD (Sartika & Epriansa, 2015).
Disisi lain, Signature Character juga mucul dalam kehidupan suami yang memiliki istri pasca stroke, kekuatan itu yaitu love, gratitude, hope, self regulation dan prudence (Aditya & Halimah, 2015), Sedangkan temperance, vitality, and transcendence muncul pada kebahagiaan remaja usia 15-18 tahun (Toner & Haslan & Robinson & Williams, 2011).
Penelitian lain juga dilakukan oleh Firanti (2010) pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Lido menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara Kekuatan Karakter dengan Relisiensi Residen Narkoba, kekuatan karakter memberikan kontribusi sebesar 62,7 % terhadap resiliensi dimana gratitude merupakan kekuatan karakter yang memberikan kontribusi paling besar yaitu 29,3%.
Kajian tentang Strengths of Character juga pernah dikaitkan dengan Posttraumatic Growth, Penelitian itu dilakukan oleh Christopher Peterson, Nansook Park, Pole dan Wendy D’Andrea serta Martin E. P. Seligman (2008), kepada 1,739 partisipan yang tidak diminta secara langsung mengunjung
(28)
menghasilkan fakta bahwa Gratitude, hope, dan love adalah karakter yang paling dominan muncul dalam menghadapi Posttraumatic Growth.
Strengths of Character selain dikaitkan dengan Posttraumatic Growth, juga pernah di hubungkan dengan Life Satisfaction oleh Nansook Park, Christopher Peterson dan Martin E. P. Seligman (2004) menghasilkan temuan bahwa karakter yang paling berhubungan dengan Life Satisfaction adalah hope, vitality, gratitude, love, and curiosity.
Kajian tentang Multi Level Marketing, dapat ditelisik dari penelitian yang dilakukan oleh Kiaw & Cyril (2007) penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai 15 sampel distributor MLM di Kuching dan Kota Samarahan, Sarawak, Malaysia. Hasil wawancara tersebut menyebutan bahwa motivasi distributor tersebut bergabung dalam dunia MLM adalah kebebasan keuangan, kebebasan pribadi, tipe dan kelebihan produk serta kredibilitas produk dan insentif.
Peneliti membedakan penelitian ini dengan penelitian lain tentang Strenght of Character tersebut di atas dari segi subjek penelitian, peneliti mengambil subjek seorang pelaku Multi Level Marketing (MLM), selanjutnya peneliti lebih menggali pengalaman pelaku Multi Level Marketing (MLM), dalam menjalani hidup dan kekuatan karakter pada yang dimiliki untuk menjalani hidup serta memperoleh kebahagiaan dalam hidup dengan metode kualitatif study kasus, dengan mempertimbangkan data dari significant other yang dirasa mengetahui kehidupan serta keseharian subjek penelitian, sehingga penelitian ini diharapkan memiliki keabsahan data yang baik serta bermanfaat.
(29)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.Streght of Character
1. Pengertian Streght of Character
Strenght of Character atau kekuatan karakter adalah salah satu bidang kajian Psikologi Positif, teori Strenght of Character ini terdapat dalam buku Strenght of Character and Virtue a Handbook and Classification oleh Petterson & Seligman (2004), dan merupakan sumber pribadi yang penting yang ditekankan dalam psikologi positif, sama hal nya dengan positive affect (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000 dalam Efklides & Moraitou, 2013).
Strenght of Character oleh Petterson & Seligman (2004) diartikan sebagai karakter mencakup perbedaan individual yang bersifat stabil dan general, tetapi juga berubah. Strenght of Character merupakan karakter baik yang mengarahkan individu pada pencapaian kebajikan (virtue), atau Trait positif yang terefleksikan dalam pikiran, perasaan dan tingkah laku. Karakter yang baik adalah kualitas dari individu yang membuat individu dipandang baik secara moral (Park & Peterson, 2009). Strenght of
Character juga menggunakan pengetahuan pribadi, namun keduanya
(30)
18
Strenght of Character adalah unsur psikologi yang membentuk
kebajikan (Peterson & Seligment 2004), dapat diartikan bahwa setiap kebajikan terbentuk dari beberapa kekuatan karakter.
2. Klasifikasi Streght of Character
Terdapat enam jenis virtues yang terdiri dari dua puluh empat Strenght of Character (Peterson & Seligman (2004), diantaranya sebagai berikut:
a. Wisdom and Knowledge (Kearifan dan Pengetahuan).
Virtue ini berkaitan dengan fungsi kognitif, yaitu mengenai bagaimana individu memperoleh dan menggunakan pengetahuan. Wisdom and Knowledge konsep awal untuk virtue dari Strenght of Character dikarenakan wisdom adalah integrasi yang sempurna dari pikiran dan kebajikan yang dimaksud selama bertahun tahun (Baltes & Smith 2008: Schwartz & Sharpe 2006 dalam Efklides & Moraitou, 2013).
Beberapa definisi tentang Wisdom telah dikembangkan dalam ranah psikologi sejak dua dekade terakhir (Baltes & Staudinger 2000: Sternberg 1990 dalam Efklides & Moraitou, 2013), beberapa dari pengembangan tersebut mengkategorikan wisdom ke dalam dua yaitu kebijaksanaan dalam prioritas ketrampilan sintetis dan prioritas analitis (Baltes & Smith 2008: Schwartz & Sharpe 2006 dalam Efklides & Moraitou, 2013). . Virtue ini meliputi lima character strength, yaitu:
(31)
19
1) Creativity (Kreatifitas)
Kreatifitas mengarahkan individu untuk mencapai tujuannya dengan caranya sendiri yang baru, unik dan orisinil. Sebagai perbedaan individu, kreativitas memerlukan dua komponen penting. Pertama, orang kreatif harus menghasilkan ide atau perilaku yang disebut original, mengejutkan, atau tidak biasa. Namun, orisinalitas tidak selalu terdifiniskan sebagai kreativitas.
Perilaku atau ide yang tersebut harus relevan dan juga harus adaptif, Individu dengan ide orisinalitas harus memberikan kontribusi positif untuk kehidupannya sendiri dan untuk kehidupan dari yang lain. walaupun, sebagian besar dari kegiatan sehari-hari awalnya belajar dari pemodelan dan kemudian menjadi kebiasaan dan terjadi secara otomatis, tak tersentuh dengan keorisinalitasan. definisi kreativitas diatas memenuhi kriteria untuk sebuah kekuatan karakter. (Peterson & Seligman, 2004).
2) Curiosity (Keingintahuan)
Keingintahuan berkaitan dengan rasa ingin tahu seseorang yang mengarah pada munculnya keterbukaan pada hal-hal baru, pengalaman-pengalaman yang bervariasi dan menantang. Dengan kata lain, rasa ingin tahu mengarahkan individu untuk bersikap terbuka dan fleksibel pada hal-hal baru. Individu yang memiliki keingintahuan akan secara aktif mencari informasi dan merasa puas bila berhasil memperoleh jawaban atas berbagai pertanyaan, dapat mempelajari
(32)
20
sesuatu yang baru dan mendapat pengalaman baru (Peterson & Seligman, 2004).
Orang-orang yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tidak sekedar toleran terhadap ambiguitas, mereka menyukainya dan tertarik untuk membedahnya, keingintahuan dapat bersifat spesifik (Misalnya, sebatas mengenai bunga mawar) atau global, pendekatan yang mencermati segala hal. Rasa ingin tahu secara aktif mengikutsertakan hal baru dan penyerapan informasi yang pasif (seperti orang-orang yang seharian hanya menonton televisi) tidak menampilkan kekuatan ini, kebalikan dari keingintahuan adalah mudah bosan (Seligmen, 2002).
3) Pertimbangan atau Open Mindedness (Keterbukaan Pikiran)
Individu dengan Strenght of Character ini akan berpikir secara menyeluruh dan memandang suatu hal dari berbagai sisi atau mempertimbangkan berbagai bukti yang ada. Individu akan secara aktif mengumpulkan bukti-bukti atau informasi untuk melakukan penilaian secara objektif, sehingga tidak terjadi bias dan mampu meyakini sesuatu setelah mendapat bukti-bukti yang objektif (Peterson & Seligman, 2004).
Menurut Seligmen (2002) Pertimbangan yang dimaksud disini adalah menjalankan penyaringan informasi dengan objektif dan rasional, demi kebaikan diri sendiri dan orang-orang lain. Pertimbangan dalam pengertian ini sinonim dengan berfikir kritis.
(33)
21
Pertimbangan menampakkan orientasi pada kenyatan dan merupakan lawan dari kesalahan logika yang melanda begitu banyak penderita depresi, seperti misalnya overpersonalisasi (selalu karena salahku) dan fikiran hitam atau putih. Kebalikan dari kekuatan ini adalah berfikir dengan cara yang mendukung dan meneguhkan apa yang sudah menjadi keyakinan anda. Kekuatan ini merupakan bagian penting dari watak yang sehat, supaya anda tidak mengacaukan antara keinginan dan kebutuan anda dengan kenyataan di dunia.
4) Love of Learning (Kecintaan Belajar)
Strenght of Character ini mengarahkan individu untuk selalu ingin mempelajari hal-hal baru untuk mengembangkan keterampilan atau memperkaya pengetahuan yang dimilikinya. Individu yang mempunyai kecintaan belajar akan merasakan emosi yang positif apabila ia dapat memperoleh keterampilan atau informasi baru dan mempelajari sesuatu yang sama sekali baru baginya. Individu menganggap belajar sebagai suatu tantangan.
Kecintaan belajar dapat dikonseptualisasikan dalam berbagai cara. Salah satu pandangan melihatnya sebagai bagian asli dari sifat manusia, terutama jelas sekali terlihat dalam sifat seorang yang masih muda, yang memiliki dorongan besar untuk belajar tentang dunia mereka, tetapi dorongan tersebut muncul dalam rentang hidup yang pasti, atau biasa disebut dengan motivasi effectance, yaitu dorongan berkompetensi di dalam hidup, yang tentu memerlukan sifat kecintaan
(34)
22
belajar untuk melakukan hal tersebut (Putih, 1959 dalam Peterson & Seligman, 2004).
Menurut Peterson & Seligman (2004) Pandangan lain memandang kecintaan belajar tersebut berbeda dalam konteks apa seseorang merasa tertarik, setiap individu memiliki ketertaikan yang berbeda dengan satu dan lainnya, dalam konteks kecintaan belajar sebagai sebuah kekuatan karakter, seseorang yang memiliki sifat umum cinta belajar termotivasi secara positif untuk memperoleh keterampilan baru atau pengetahuan atau membangun keterampilan yang ada dengan pengetahuan dengan kriteria bahwa kecintaan akan belajar tersebut bersifat pasti.
5) Perspective (Perspektif)
Perspektif adalah kekuatan paling matang dan paling mendekati untuk kearifan itu sendiri, perspektif memungkinkan individu untuk memandang dunia secara holistik sehingga dapat memahami dirinya dan orang lain. Perspektif memungkinkan orang lain menimba pengetahuan individu tersebut dan membantu menyelesaikan persoalan dan mendapatkan perspektif mereka sendiri. Cara pandang seseorang yang memiliki kekuatan ini terasa masuk akal bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri.
Strenght of Character ini digunakan untuk mencapai
kesejahteraan individu dan orang lain, dalam mengambil keputusan, individu akan mempertimbangkan baik perasaannya maupun
(35)
23
rasionalitasnya. Individu dengan kekuatan ini mempunyai kebutuhan yang kuat untuk berkontribusi terhadap lingkungan dan kehidupan orang lain, memikirkan kebutuhan orang lain serta mendengarkan orang lain, mengevaluasi apa yang dikatakan dan kemudian memberikan nasehat (Peterson & Seligman, 2004).
b. Courage (Keteguhan Hati)
Keteguhan hati merupakan virtue yang melibatkan dorongan yang kuat untuk mencapai suatu tujuan. Walaupun terdapat rintangan, baik eksternal maupun internal, namun individu tetap termotivasi berjuang untuk mencapai tujuan. Menurut Seligmen (2002) kekuatan ini merujuk pada pendirian intelektual atau emosional yang tidak populer dan berbahaya, selama bertahun-tahun, para peneliti membedakan kepahlawanan fisik (physical valor) dan kepahlawanan moral (moral valor), cara lain untuk membedakan kepahlawanan didasarkan pada hadir tidaknya rasa takut.
Seorang yang tegar mampu memisahkan komponen emosi dan perilaku dari rasa takut, menahan diri untuk tidak memunculkan respon melarikan diri, dan tetap menghadapi situasi menakutkan walaupun harus menanggung ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh reaksi fisik dan reaksi subjektif. Sikap tak kenal takut, kenekatan dan ketergesaan bukanlah kepahlawanan. Menghadapi bahaya mestikut takut, itulah kepahlawanan atau keteguhan hati.
(36)
24
1) Bravery (Keberanian)
Keberanian membuat individu tidak akan mundur meskipun ia menerima ancaman, tantangan, kesulitan ataupun rasa sakit dalam mencapai tujuannya. Sebagai contoh, individu berani mengatakan atau melakukan sesuatu yang benar, meskipun hal tersebut tidak popular. Individu juga mampu bertahan dalam tekanan kelompok (peer pleasure) untuk menerima pandangan moral tertentu yang tidak sesuai dengan pandangannya sendiri, dengan kata lain, individu berani melakukan sesuatu yang perlu dilakukannya dengan mengesampingkan rasa takut (Peterson & Seligman, 2004).
Menurut Seligmen (2002) untuk masuk dalam kualifikasi keberanian, tindakan tersebut harus dijalankan dengan menghadapi penderitaan yang hebat, kebajikan ini dipuji secara universal dan setiap budaya memiliki pahlawan yang memberikan teladan kebajikan ini.
2) Persistance (Ketekunan)
Individu dengan Strenght of Character ini akan selalu menyelesaikan segala sesuatu yang telah dimulainya, meskipun menghadapi berbagai tantangan. Individu akan mengambil tantangan untuk mengerjakan proyek atau tugas yang sulit dan menyelesaikannya sesuai dengan yang telah direncanakannya. Ketekunan tidak hanya dapat diukur dari lamanya individu berhadapan dengan suatu tugas, karena berhadapan dengan tugas yang
(37)
25
menyenangkan dan memberikan hasil yang menguntungkan secara ekonomi tidak memerlukan daya tahan dan perhatian dari individu. Individu dengan kekuatan ini bukan berarti membabi buta mengejar tujuan yang tidak dapat tercapai namun tetap fleksibel, realistis dan tidak perfeksionis. Ambisi memiliki arti positif dan negatif, tetapi aspek positifnya termsauk dalam kategori kekuatan ini (Peterson & Seligman, 2004).
3) Integrity (Integritas) / Kejujuran
Strenght of Character ini mengacu pada kejujuran dan
kemampuan untuk menampilkan diri apa adanya (genuine), Integritas mengandung makna bahwa tingkah laku yang ditampilkan selalu konsisten dengan nilai-nilai yang dianut. Seorang yang jujur, bukan hanya berbicara benar, bukan sekedar mengucapkan kebenaran kepada orang lain, namun menjalani hidup yang autentik, hidup membumi dan tanpa kepura-puraan.
Seorang yang jujur memperlakukan orang lain dengan perhatian penuh, sensitif terhadap kebutuhan orang lain dan membantu orang lain berdasarkan kebutuhannya. Dengan kata lain, individu juga memiliki rasa tanggung jawab terhadap pikiran dan perasaan orang lain atas perbuatan yang telah dilakukannya (Peterson & Seligman, 2004).
(38)
26
4) Vitality (Vitalitas)
Menurut Peterson & Seligman (2004) Vitalitas mengacu pada gairah dan antusiasme dalam menjalani segala aktifitas. Individu dengan Strenght of Character ini tampil sebagai pribadi yang enerjik, gembira, penuh semangat, dan aktif. Vitalitas berkaitan dengan kesehatan fisik dan fungsi tubuh yang optimal, misalnya tidak mudah lelah dan jatuh sakit. Sedangkan secara psikologis, vitalitas mencerminkan kemauan untuk mengerjakan sesuatu. Individu yang memiliki vitalitas cenderung lebih mudah menghadapi ketegangan psikologis, konflik dan stressor.
Vitalitas mengacu pada perasaan hidup, yang penuh semangat, dan menampilkan antusiasme untuk setiap dan semua kegiatan, digambarkan orang-orang dengan kekuatan ini sebagai seorang yang kuat dan energik, bermata cerah dan lebat-ekor, ceria, segar dan memiliki apresiasi tinggi untuk kehidupan. Vitalitas tidak sama dengan hiperaktif, gugup, ketegangan, atau mania. Sebaliknya, vitalitas adalah semangat yang dialami sebagai kehendak dan tanggung jawab untuk kelayakan hidup. Vitalitas adalah bagaimana aktualisasi diri terasa (Maslow, 1970 dalam Peterson & Seligman, 2004).
Kesehatan yang baik itu didasarkan atas prinsip-prinsip alamiah. kesehatan tumbuh secara berangsur-angsur melalui olahraga yang teratur, istirahat yang cukup, cara berpikir yang sehat, serta
(39)
27
menghindari substansi yang merusak badan, kesehatan sangat penting artinya untuk membangun karakter pribadi (Stephen, 1992 dalam Wikongko, 1997). Vitalitas atau kesehatan adalah kunci untuk bisa menjadi manusia seutuhnya, kalau tidak merawat tubuh atau fisik, sangat sulit untuk bisa menikmati sukacita dari semua emosi positif. (Wikongko,1997).
c. Humanity and Love (Kemanusiaan dan Cinta Kasih)
Kemanusiaan dan cinta kasih melibatkan hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain, yang mencakup mempedulikan dan memperhatikan orang lain. Taylor (2000) dalam Peterson & Seligman (2004) menyebut kemanusiaan sebagai disposisi untuk cenderung berteman, kemanusiaan hampir mirip dengan kekuatan keadilan, namun terdapat perbedaan yaitu kemanusiaan lebih pada hubungan personal, satu dengan yang lainnya sedangkan keadilan lebih pada hubungan satu ke banyak. Virtue ini meliputi tiga character strength, yaitu:
1) Love (Cinta)
Cinta melibatkan hubungan dengan orang lain, saling berbagi dan memperhatikan, serta mencoba untuk dekat dengan orang lain. Dalam hal ini, cinta terbatas pada hubungan timbal balik, misalnya hubungan sayang dan rasa cinta antara orangtua dan anak. Individu dengan Strenght of Character ini memandang pentingnya hubungan yang dekat dan intim dengan orang lain. Kekuatan ini ditandai dengan adanya keinginan untuk memberi bantuan kepada orang lain dan
(40)
28
memberi rasa nyaman. Strenght of Character ini juga melibatkan emosi positif yang kuat, komitmen yang tinggi, dan rasa pengorbanan. Peterson & Seligman (2004) mengecualikan cinta tak berbalas, patah hati, menguntit, cinta beribadah dan menjadi penggemar, dikarenakan perasaan tersebut berjalan hanya satu arah, sedangkan yang dimaksud dalam kekuatan cinta ini adalah perasaaan yang berjalan dua arah. 2) Kindness (Kebaikan Hati)
Strenght of Character Kindness menurut Peterson & Seligman (2004) mengacu pada keinginan yang kuat untuk bersikap baik dan memberikan bantuan kepada orang lain secara sukarela. Empati dan simpati adalah komponen yang penting dalam kebaikan hati. Individu yang memiliki kebaikan hati tidak pernah terlalu sibuk untuk membantu orang lain yang membutuhkannya, baik yang telah dikenalnya maupun dengan yang belum yang dikenalnya, misalnya berdiri untuk memberi kursi kepada orang yang lebih tua di kereta. 3) Social Intelligence (Kecerdasan Sosial)
Kecerdasan sosial adalah pengetahuan yang berkaitan dengan diri sendiri dan orang lain, dalam hal ini, individu mampu menyadari motivasi dan perasaan orang lain. Selain itu, individu juga memiliki kesadaran akan perasaannya sendiri, mampu mengolah informasi yang bersifat emosional dengan baik, dan mampu untuk menggunakannya untuk menuntun perilaku. Meski kekuatan ini dinamakan kecerdasan sosial, namun kekuatan ini sebenarnya juga mencakup kecerdasan
(41)
29
emosional (emotional intelligence) dan kecerdasan personal (personal intelligence).
Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk menggunakan informasi emosi dalam melakukan penalaran. Kecerdasan personal mengacu pada ketepatan dalam memahami diri dan menilai diri, termasuk kemampuan untuk memahami motivasi, emosi dan dinamika internal. Sedangkan kecerdasan sosial berkaitan dengan hubungan individu dengan orang lain, seperti keintiman dan kepercayaan. Ketiga konsep tersebut saling melengkapi (Peterson & Seligman, 2004) Menurut Seligmen (2002) dalam memahami kekuatan ini jangan dicampuradukan dengan sekedar sikap instrospektif, berpikir dengan mempertimbangkan aspek psikologi, atau merenung. Kekuatan ini terwujud berupada tindakan sosial yang terampil. Aspek lain dari kekuatan ini adalah kemampuan menemukan tempat yang tepat bagi diri sendiri.
d. Justice (Keadilan)
Justice berkaitan dengan interaksi antara beberapa individu yang ada dalam kelompok dalam kelompok itu sendiri. Keadilan melandasi kehidupan yang sehat dalam suatu masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesai dalam Susanto (2002) Adil, berarti tidak memihak, tidak berat sebelah, berpihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran. Keadilan dilambangkan dan erat kaitannya dengan cerita raja Salomo, ketika ada dua perempuan yang merebutkan seorang bayi, Raja
(42)
30
Salomo memerintahkan untuk memotong menjadi dua bayi tersebut, untuk mengetahui siapa ibu asli bayi tersebut, tentu saja ibu kandung bayi tersebut tidak tega dan lebih memilih berkorban memberikan bayinya kepada yang dikasihinya. Di dalam virtue ini, terdapat tiga character strength (Peterson & Seligman, 2004) yaitu:
1) Citizenship (Keanggotaan dalam Kelompok)
Strenght of Character ini mengacu pada kemampuan individu untuk bekerja keras sebagai anggota suatu kelompok, setia pada kelompok, dan melaksanakan kewajiban sebagai anggota kelompok. dengan kata lain, individu mengidentifikasikan diri sebagai anggota kelompok. Individumenyadari kewajibannya, mengutamakan kepentingan atau tujuan kelompok daripada kepentingan atau tujuan pribadi, dan secara sukarela mau mengerjakan tugasnya sebagai anggota kelompok demi kesuksesan bersama.
2) Fairness (Keadilan dan Persamaan)
Individu dengan Strenght of Character ini akan memperlakukan orang lain secara sama, tidak membeda-bedakan dan tidak membiarkan perasaannya mempengaruhi pandangannya terhadap orang lain. Individu itu memberi setiap orang kesempatan yang sama untuk berusaha dan menerapkan sanksi yang sama pula sesuai dengan kesalahannya.
(43)
31
3) Leadership (Kepemimpinan)
Kepemimpinan mengarahkan individu untuk menjadi pemimpin yang baik, dapat mengorganisasikan aktivitas dalam kelompok dan memastikan bahwa segala sesuatu berjalan dengan baik. Selain itu, individu tersebut juga dapat menjadi sumber inspirasi bagi anggota dalam kelompoknya, yang pada akhirnya dapat mendorong anggota kelompok untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan dan menciptakan hubungan interpersonal serta moral yang baik pula. Menurut Seligmen (2002) pemimpin yang simpatik pertama-tama haruslah seorang pemimpin yang efektif, berusaha agar tugas kelompok terselesaikan, sambil menjaga hubungan baik di antara anggota kelompok. Pemimpin efektif menjadi pemimpin yang simpatik ketika menangani hubungan antar kelompok (Intergruop) “tanpa dengki kepada siapapun dengan kemurahan hati kepada semua, dengan keteguhan pada jalan yang benar”
e. Temperance (Kesederhanaan)
Menurut Peterson & Seligman (2004) Kekuatan karakter ini adalah salah satu karakter yang tenang, seseorang yang memiliki karakter ini sederhana menghindari sorotan dan membiarkan prestasi mereka yang berbicara, mereka mengakui kesalahan dan ketidaksempurnaan. Kesederhanaan sangatlah berbeda dengan kesopanan. Kesopanan lebih eksternal yaitu mengacu tidak hanya untuk gaya berperilaku tetapi juga
(44)
32
tampilan fisik luar seperti satu set gaun dan sepatu yang indah untuk berpesta, buka T-shirt dan celana pendek.
Kerendahan hati lebih internal yaitu mengacu pada rasa orang itu sendiri bahwa individu tersebut bukan pusat alam semesta. Ciri-ciri kerendahan hati adalah presentasi diri dengan cara yang akurat tetapi, dengan cara yang mengalihkan perhatian dari diri dan ke orang lain atau keadaan. karakterisasi terakhir ini membedakan kerendahan hati dan kesederhanaan dari kejujuran. Orang yang rendah hati atau sederhana adalah orang jujur dan otentik, tetapi otentik dan jujur bisa jadi atau tidak memiliki sifat rendah hati atau sederhana. Terdapat empat Strenght of Character dalam virtue ini, yaitu:
1) Forgiveness and Mercy (Memaafkan)
Individu dengan Strenght of Character ini menurut Peterson & Seligman (2004) mampu memaafkan orang lain yang melakukan kesalahan atau bersikap buruk padanya. Individu tersebut dapat melupakan pengalaman buruk di masa lalunya tanpa paksaan dari orang lain. Upaya memberi kesempatan terhadap kesalahan yang dilakukan dan tidak berusaha untuk balas dendam. konsisten bersikap biarlah berlalu, tidak karena sikap dan sifat-sifat seperti rasa takut, malu, rasa bersalah, atau permisif dan bukan karena insentif eksternal (suap atau kerusakan yang diberikan dalam bentuk fisik) atau ancaman (perintah penahanan) tapi dari kekuatan positif dari karakter pengampunan dan belas kasihan
(45)
33
Pemberian maaf menimbulkan sejumlah perubahan bermanfaat pada seseorang yang telah diganggu atau disakiti oleh orang lain. Ketika orang memaafkan, motivasi dasar atau tendensi tindakannya terhadap pelaku menjadi lebih positif (mulia, baik hati, atau murah hati) dan kurang negatif (menaruh dendam atau menghindar), Satu satunya kekuatan yang dapat menghentikan arus ingatan terhadap rasa sakit adalah memaafkan. (Hannah, 1897 dalam Smedes, 1991).
Menurut (Smedes, 1991) tindakan memberikan maaf berlangsung melalui empat tahap, jika keempat tahap itu dapat dilalui dengan baik, maka kita akan mencapai titik puncak rekonsiliasi, tahap pertama adalah merasa disakiti, kemudian merasa benci, lalu penyembuhan dan yang terakhir adalah tercapainya damai, rujuk kembali.
2) Humility and Modesty (Kerendahan Hati)
Strenght of Character ini menurut Peterson & Seligman (2004) menekankan pada kerendahan hati. Dalam hal ini, individu tidak menyombongkan keberhasilannya. Kerendahan hati juga mampu membuat seseorang melihat kekurangan dan ketidaksempurnaan yang ada pada dirinya. Modesty berbeda dengan humility. Modesty lebih bersifat eksternal, yang artinya bersifat sederhana secara perilaku maupun penampilan. Sedangkan humility bersifat internal, yaitu kecenderungan individu yang merasa dirinya bukanlah pusat dari dunia.
(46)
34
3) Prudence (Kebijaksanaan) / Hati-hati
Strenght of Character ini merupakan suatu bentuk manajemen diri yang membantu individu meraih tujuan jangka panjangnya. Individu akan bertindak hati-hati dalam memilih, tidak mengatakan atau melakukan sesuatu yang tidak bertanggung jawab dan tidak mementingkan kesenangan sesaat, dengan kata lain, individu akan berpikir dan memiliki perhatian penuh pada masa depan serta menetapkan tujuan jangka panjang dan membuat perencanaan yang matang (Peterson & Seligman, 2004).
4) Self Regulation (Regulasi Diri)
Individu dengan Strenght of Character ini mampu menahan diri, emosi, nafsu, serta dorongan-dorongan lain dalam dirinya. Saat berhadapan dengan peristiwa yang tidak menyenangkan atau menyakitkan, individu mampu meregulasi emosinya dan mengobati sendiri perasaan-perasaan negatifnya. Dengan kata lain, Individudapat mengatur apa yang dirasakan dan dilakukannya agar sesuai dengan situasi dan pandangan moral masyarakat (Peterson & Seligman, 2004).
f. Transcendence (Transendensi)
Virtue ini berkaitan dengan hubungan antara individu dan alam semesta, kekuatan emosi yang menjangkau keluar diri untuk menghubungkan individu dengan sesuatu yang lebih besar serta bagaimana individu memberi makna pada kehidupan. Bahwa setiap
(47)
35
memungkinkan individu untuk menempa hubungan dengan alam semesta yang lebih besar dan sehingga memberikan makna bagi kehidupan mereka. Menurut Peterson & Seligman (2004) Virtue ini meliputi lima character strength, yaitu:
1) Appreciation of Beauty and Excellent (Apresiasi terhadap Keindahan dan Kesempurnaan)
Strenght of Character ini membuat individu mampu menyadari dan memberikan apresiasi atas keindahan dan kesempurnaan. Ini adalah kebajikan transendensi karena menghubungkan orang-orang yang memilikinya untuk sesuatu yang lebih besar dari sendiri, apakah itu seni yang indah atau musik, kinerja atletik terampil, keagungan alam, atau kecemerlangan moral orang lain. Orang dengan kekuatan ini memiliki penghargaan yang mendalam. Mereka mungkin dapat berbicara panjang lebar tentang objek yang mereka apresiasi, Virtue mendefinisikan kekuatan karakter ini sebagai pengalaman emosional kagum atau heran bila di hadapan kecantikan atau keunggulan (Peterson & Seligman, 2004).
2) Gratitude (Bersyukur)
Bersyukur adalah rasa terima kasih sebagai respon terhadap suatu pemberian. Individu dengan Strenght of Character ini dapat menyadari dan bersyukur atas segala hal yang telah terjadi dalam hidupnya, serta selalu menyempatkan waktu untuk mengucapkan rasa syukur.
(48)
36
Bersyukur adalah sebuah penghargaan terhadap kehebatan karakter moral orang lain, sebagai sebuah emosi. Kekuatan ini berupa ketakjuban, rasa terimakasih, dan apresiasi terhadap kehidupan itu sendiri. Bersyukur ditujukan untuk sumber impersonal atau non manusia (Tuhan, binatang) tetapi tidak dapat ditujukan pada diri sendiri (Seligmen, 2002)
3) Hope (Harapan)
Strenght of Character ini berkaitan dengan bagaimana individu memandang masa depannya. Individu berpikir mengenai masa depan, mengharapkan hasil yang terbaik di masa yang akan datang dan merasa percaya diri terhadap hasil dan tujuan, dengan kata lain, perwujudan dari Strenght of Character ini adalah munculnya rasa optimis. Strenght of Character ini juga mendorong individu untuk berusaha mencapai harapannya.
Lionel (1979) dalam Peterson & Seligman (2004) membedakan antara apa yang disebut sedikit optimisme dan optimis besar, Sedikit optimis berkaitan dengan harapan tertentu tentang hasil positif: contoh “Aku akan menemukan tempat yang nyaman malam ini” sedangkan Big optimis mengacu jelas pada harapan kurang spesifik, contoh
“Bangsa kita adalah di ambang sesuatu yang besar”. Besar atau
kecilnya sebuah optimis keduanya termasuk dalam kriteria kekuatan karakter ini
(49)
37
Harapan berkaitan dengan bagaimana seseorang memajemen target atau keinginan serta beradaptasi dengan tantangan dalam hidupnya, harapan berkontribusi terhadap kebermaknaan dan umur panjang, dan untuk alasan ini harapan dalam konteks psikologi positif dimasukan dalam salah satu Strenght of Character (Danner, 2001: Kashdan, 2002 dalam Efklides & Moraitou, 2013)
4) Humor (Humor)
Strenght of Character ini membuat individu dapat membawa keceriaan dan senyuman pada orang-orang di sekitarnya. Individu senang tertawa, bergurau, membuat lelucon, ataupun menghibur orang lain. Secara keseluruhan, humor dapat diartikan sebagai pikiran yang menyenangkan, pandangan yang membahagiakan yang memungkinkan individu untuk melihat sisi positif dari suatu hal (Peterson & Seligman, 2004).
5) Spirituality (Spiritualitas)
Spiritualitas menurut Peterson & Seligman (2004) membuat individu memiliki kepercayaan tentang adanya sesuatu yang lebih besar dari alam semesta ini. Hal ini sering digambarkan sebagai Tuhan. Individu mampu menempatkan dirinya menjadi bagian dari alam semesta. Individu menyadari makna hidupnya dan mengetahui apa yang harus dilakukannya untuk mencapai hal tersebut. Perwujudan dari Strenght of Character ini adalah berpegang teguh
(50)
38
pada nilai moral tertentu dan selalu ingin melakukan kebaikan bagi orang lain.
B.Multi Level Marketing (MLM)
1. Pengertian Multi Level Marketing
Multi Level Marketing menurut Roller (1995) adalah distribusi melalui mana sebuah induk perusahaan mendistribusikan barang dan atau jasanya lewat suatu jaringan orang-orang bisnis yang independen. Orang-orang bisnis atau para wiraswasta ini kemudian mensponsori orang-orang lain lagi untuk mendistribusikan barang dan atau jasa tersebut.
Santoso (2003) mendefinisikan MLM hanyalah suatu meode bisnis yang berhubungan dengan pemasaran dan distribusi. Perhatian utama dari MLM adalah menentukan cara terbaik untuk menjual produk dari suatu perusahaan.
Sedangkan menurut (Soeratman, 2002) Multi level marketing (MLM) merupakan salah satu dari berbagai cara yang dapat dipilih oleh sebuah perusahaan atau produsen untuk memasarkan, mendistribusikan, ataupun menjual produknya melalui pengembangan armada pemasar, distributor, atau penjual langsung secara mandiri (independent), tanpa campur tangan dari perusahaan.
Berdasarkan penjelasan dari berbagai ahli dapat disimpulkan bahwa Multi Level Marketing MLM adalah suatu alternatif cara penjualan yang melibatkan produsen distributor atau penjual langsung dengan
(51)
39
mengembangkan sistem bisnis independen dengan mensponsori orang-orang lain lagi untuk mendistribusikan barang atau jasa tersebut.
Mekanisme kerja Multi Level Marketing MLM sebagai berikut perusahaan induk mempromosikan produk langsung ke konsumen dengan cara arahan hubungan dan penjualan langsung. Distributor melakukan kedua penjualan dan kegiatan promosi, sehingga perusahaan sangat banyak melakukan pemotongan biaya yang didedikasikan untuk aktivitas promosi. distributor independen mengembangkan basis pelanggan aktif, yang membeli produk perusahaan, dalam rangka untuk mendapatkan komisi atau perbedaan antara grosir dan eceran harga. Selain itu, distributor membangun downline mereka sendiri distributor independen yang juga membangun basis pelanggan, sehingga memperbesar keseluruhan organisasi (Gonzales, 2008). Biasanya jaringan downline dari anggota tumbuh secara piramida. Di beberapa skema ada pembatasan yang satu anggota A dapat langsung menunjuk dua anggota di bawahnya (B dan C atau Kanan dan Kiri). Mereka bisa mengundang anggota lebih lanjut, tapi mereka harus diletakkan di bawah B atau C. Dengan demikian, distributor A dipaksa untuk membantu downline sementara memperluas bisnis sendiri (Sreekumar, 2007).
Multi Level Marketing atau biasanya disingkat menjadi MLM menurut (Serfianto & Iswi & Cita, 2013) adalah sebuah bentuk pemasaran perdagangan modern yang menggunakan penjualan langsung dari produsen ke konsumen secara berjenjang. Metode penjualan langsung ini dikenal dengan istilah direct selling. Sistem penjualan langsung merupakan aktivitas
(52)
40
penjualan barang atau produk secata langsung kepada konsumen, dimana aktivitas penjualan tersebut dilakukan oleh seorang penjual langsung yang disertai penjelasan, presentasi dan demo produk.
Penggunaan direct sellling tersebut meniadakan biaya pemasaran dan distribusi (transportasi, sewa gudang, gaji, dan komisi tenaga penjualan), yang totalnya mencapai 60% dari harga jual dengan dialihkan kepada distributor independen dengan suatu pola berjenjang, yang umumnya disesuaikan dengan pencapaian target penjualan atau omset distributor yang bersangkutan (Soeratman, 2002).
Sistem penjualan langsung (direct selling) sendiri memiliki dua bentuk yaitu :
a. Penjualan langsung satu tingkat yang dikenal dengan istilah Single Level Marketing dimana pemasaran barang dan atau jasa dilakukan mitra usaha untuk mendapat komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan atau jasa yang dilakukannya sendiri.
b. Penjualan langsung berjenjang yang biasa dikenal dengan istilah Multi Level Marketing dimana pemasaran barang dan atau jasa dilakukan mitra usaha untuk mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan atau jasa yang dilakukannya sendiri dan anggota jaringan di dalam kelompoknya.
Single Level Marketing berbeda dengan Multi Level Marketing, dalam sistem Single Level Marketing, penjual hanya mampu memiliki kaki terbatas antara satu sampai dua tingkat kedalaman vertikal.
(53)
41
Misalnya, penjual A merekrut penjual B, lalu penjual B merekrut penjual C. Atas penjualan yang dilakukan oleh penjual B dan penjual C, maka penjual A berhak atas bonus karena penjual A membina dan merekrut kedua orang tersebut. Apabila penjual C merekrut penjual D, dan penjual D berhasil merekrut penjual E maka hanya penjual C yang mendapat bonus sementara penjual A tidak berhak mendapat bonus lagi. Hal ini berbeda dengan sistem Multi Level Marketing dimana bonus atas rekrutmen diberikan terus hingga membentuk jaringan vertikal yang besar (Serfianto & Iswi & Cita, 2013)
2. Sejarah Lahirnya Multi Level Marketing
Sejarah mencacat penjualan langsung atau direct selling sudah dikenal sejak abad ke-depalan belas di Amerika Serikat. Sistem ini dianggap pertama kali muncul dengan beroperasinya The California Perfume Company di New York tahun 1886 yang didirikan oleh Dave McConnel. Beliau kemudian yang menelurkan ide untuk mempekerjakan Albee sebagai California Perfume Lady yang pertama dengan cara menjual langsung kepada konsumen dari rumah ke rumah. Perusahaan ini kemudian berganti nama menjadi Avon The Company For Women pada tahun 1939. Sejarah mencatat Albee ini dianggap sebagai pionir metode penjualan direct selling yang dilakukan secara konsisten. (APLI, 2004).
Sistem Multi Level Marketing mulai dibicarakan secara ilmiah sejak 1945 oleh dua sales pemasaran dari Universitas Chicago yaitu Karl Ramburg dan Robert Metcalt. Sejak saat itulah, mulai bermunculan
(54)
42
perusahaan yang menerapkan sistem Multi Level Marketing. Beberapa perusahaan Multi Level Marketing yang cukup dikenal pada masa itu adalah Nutrilite, Shaklee Corporation, Amway Corporation, dan lain-lain. Perusahaan Nutrilite yang sudah berdiri sejak 1934 di California, Amerika Serikat ini hadir dengan menerapkan sistem baru yaitu pemberian komisi tambahan kepada distributor independen yang berhasil merekrut, melatih dan membantu anggota baru untuk ikut menjual produk Nutrilite. Metode ini memungkinkan seorang distributor terus merekrut anggota baru dengan kedalaman dan keluasan yang tidak terbatas. Hal inilah yang membawa perubahan pergeseran metode penjualan langsung dari penjualan langsung satu tingkat (Single Level Marketing) menuju penjualan langsung berjenjang (Multi Level Marketing) (Jabbar, 2009).
Pada tahun 1959, berdirilah Amway Corporation yang didirikan oleh dua orang mantan distributor Nutrilite yaitu Richard de Vos dan Jay van Andel. Mereka menggunakan penjualan yang diterapkan Nutrilite. Produk yang mereka jual saat itu adalah LOC (Liquid Organic Cleaner), yaitu cairan pembersih serbaguna yang aman bagi lingkungan. Sistem Multi Level
Marketing yang diterapkan ini kemudian membesarkan nama Amway,
bahkan melebihi popularitas Nutrilite dan Shaklee. Hal ini terbukti dengan kehadiran Amway yang dikenal di sebelas negara di luar Amerika Serikat, yaitu Kanada (1962), Australia (1971), Irlandia (1973), Inggris (1973), Hongkong (1974), Jerman (1975), Malaysia (1976), Perancis (1977), Belanda (1978), Jepang (1979) dan Switzerland (1980). Amway kemudian
(55)
43
membeli perusahaan Nutrilite pada tahun 1972 dan membuat salah satu lini produk yang diandalkan hingga kini. Kesuksesan Amway inilah yang menjadi kunci dalam mendorong berbagai jenis perusahaan berbasis Multi Level Marketing di seluruh dunia. (Amway, 2008).
Menurut Jabbar (2009) Perusahaan berbasis Multi Level Marketing di Indonesia sendiri diawali dengan berdirinya Creative Network International (CNI) pada tahun 1986 di Bandung. CNI menjual produk tunggal berupa makanan kesehatan Sun Chlorela buatan Jepang. Seiring dengan perkembangan usaha dan semakin banyaknya produk yang dipasarkan, CNI berhasil mengembangkan bisnisnya hingga ke mancanegara seperti Malaysia, Singapura, India dan Amerika Serikat. Kesuksesan CNI sebagai perusahaan berbasis Multi Level Marketing inilah yang menjadi kunci lahirnya perusahaan-perusahaan lain di Indonesia yang menggunakan Multi Level Marketing sebagai basisnya.
Perkembangan metode penjualan Multi Level Marketing ini mulai masuk ke dalam bidang penghimpunan dana masyarakat. Sistem Multi Level Marketing seharusnya hanya mencari keuntungan dari penjualan produk, bukan dari penghimpunan dana masyarakat, dengan kata lain, apabila ditemukan kegiatan penghimpunan dana masyarakat menggunakan Multi Level Marketing maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan ini merupakan Money Game dan tidak mendapat jaminan dari pemerintah sebab menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, kegiatan penghimpunan dana masyarakat yang diakui hanya perusahaan jasa
(56)
44
keuangan seperti perbankan, pasar modal, dan asuransi (Serfianto & Iswi & Cita, 2013)
3. Legalitas Hukum Transaksi Perdagangan Multi Level Marketing di Indonesia
Kewenangan legalitas perdagangan berbasis Multi Level Marketing di Indonesia berada di tangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag RI). Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menjadikan dasar legalitas baru bagi setiap perusahaan berbasis Multi Level Marketing. Dalam pasal 7 sampai pasal 10 Undang-undang Perdagangan ditegaskan tentang skema penjualan distribusi apa yang diperbolehkan dan diakui, siapa saja yang termasuk penjual resmi dan larangan tegas yang disertai sanksi akibat penggunaan praktik skema piramida dalam kegiatan perdagangan.
Pemerintah melalui Kemendag RI, juga mengeluarkan beberapa peraturan dibawah undang-undang berkaitan dengan perusahaan berbasis Multi Level Marketing. Regulasi itu meliputi (Serfianto & Iswi & Cita, 2013):
a. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung.
b. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 47/M-DAG/PER/9/2009 tentang Perubahan Atas Permendag Nomor 32/M-DAG/PER/8/2008
(57)
45
tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung.
c. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 55/M-DAG/PER/10/2009 tentang Pendelegasian Wewenang Penerbitan Surat Izin Usaha Penjualan Langsung kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.
d. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 13/M-Dag/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Penjualan Langsung.
e. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan.
f. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 73/MPP/Kep/3/2000 tentang Ketentuan Kegiatan Usaha Penjualan Berjenjang.
g. Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 75/DSN/MUI/VII/2009 tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS).
Apabila sebuah perusahaan berbasis Multi Level Marketing hendak mendapatkan izin dari pemerintah maka perusahaan tersebut bukan hanya wajib memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan mempunyai akta Perseroan Terbatas melainkan juga wajib memiliki Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) sesuai amanat Peraturan Menteri Perdagangan
(58)
46
RI Nomor 32/M-DAG/PER/8/2008. Untuk mendapatkan izin SIUPL, maka perusahaan wajib mengajukan permohonan izin dan kemudian mempresentasikan rencana bisnisnya terlebih dahulu di Departemen Perdagangan dan turut dihadiri pengurus organisasi Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI). Sejak ada Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 55/M-DAG/PER/10/2009, proses untuk mendapatkan SIUPL ini semakin panjang karena selain harus mendapat rekomendasi dari Departemen Perdagangan dan saran dari APLI, permohonan juga harus dikirim ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk disetujui dan kemudian memberikan keputusan (Serfianto & Iswi & Cita, 2013). Hukum positif di Indonesia menegaskan bahwa tidak semua perusahaan boleh menghimpun dana masyarakat dan melakukan pengelolaan investasi atas penghimpunan tersebut. Kegiatan penghimpunan dana hanya terbatas pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Inilah sebabnya proses perizinan untuk mendapatkan SIUPL oleh perusahaan yang hendak bergerak dengan sistem Multi Level Marketing ini membutuhkan jalan panjang dan berliku dengan mendapat rekomendasi dari berbagai lembaga negara.
Dialihkannya kewenangan penerbitan SIUPL dari Departemen Perdagangan ke BKPM sebenarnya adalah upaya pemerintah dalam mempermudah pelayanan dalam proses perizinan. Sejak berlakunya Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 55/M-DAG/PER/10/2009 dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan suatu perizinan dan non-perizinan di
(59)
47
Indonesia maka dibentuklah Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang bernaung dibawah BKPM, dengan adanya penyelenggaraan ini, diharapkan para perusahaan yang hendak mendapatkan SIUPL ini mampu mengurus permohonan izin SIUPL dari tahap permohonan sampai dengan terbitnya dokumen perizinan dalam satu tempat yaitu di BKPM. (Serfianto & Iswi & Cita, 2013)
4. Ruang Lingkup Sistem Multi Level Marketing
Ruang lingkup sistem Multi Level Marketing mencakup unsur produsen atau perusahaan, distributor, konsumen dan sistem kerja., berikut adalah uraiannya:
a. Produsen
Produsen dalam sistem Multi Level Marketing merujuk pada pelaku kegiatan yang menggunakan sistem Multi Level Marketing sebagai basis untuk melakukan kegiatan perdagangannya. Perusahaan yang berbasis Multi Level Marketing adalah unit kegiatan yang melakukan aktivitas pengolahan produksi guna menghasilkan produk yaitu barang dan/atau jasa yang ditujukan kepada konsumen melalui mekanisme pemasaran Multi Level Marketing. Produk yang diperdagangkan harus jelas karena inti dari aktivitas perdagangan Multi Level Marketing adalah penjualan barang dan/atau jasa secara langsung kepada konsumen (Fuad, 2005).
Produk yang umumnya dijual perusahaan berbasis Multi Level Marketing ini memiliki manfaat dan nilai tertentu yang khas. Hal inilah yang menjadi daya saing terhadap produk-produk sejenis yang
(60)
48
diperdagangkan perusahaan-perusahaan konvensional yang bukan berbasis Multi Level Marketing. Nilai atau manfaat tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut (Leardes, 2007)
1) Nilai jual, produk yang diperjualbelikan harus unik dan menarik sehingga membuat orang yang mendengarkan atau melihat menjadi tertarik. Sebuah produk yang baik untuk dijual adalah produk yang tidak terlalu banyak memiliki substitusi (produk pengganti) di pasaran.
2) Nilai manfaat, produk yang diperjualbelikan harus memiliki manfaat bagi penggunanya, dan apabila produk tersebut berbentuk jasa maka jasa yang diberikan dapat memberi manfaat bagi penggunanya.
3) Nilai ekonomis, harga dari produk harus sesuai dengan fungsi dan manfaatnya sehingga nilai yang dibayarkan oleh konsumen setara dengan manfaat yang diperoleh dari produk tersebut, atau dengan kata lain harga produk tersebut harus bersifat realistis.
b. Distributor
Distributor diartikan sebagai perantara yang menyalurkan produk dari pembuat barang yang dihasilkan oleh pabrik, produk tersebut dikirimkan ke pengecer atau pelanggan. Distributor adalah sebuah kegiatan pemasaran yang bertujuan untuk mempermudah penyampaian barang dan jasa dari produsen kepada konsumen.
Penggolongan distributor dalam kegiatan Multi Level Marketing adalah orang-perorangan yang bersedia bergabung menjadi mitra usaha
(1)
memberikan manfaat dan kontribusi untuk orang orang di sekitar subjek
serta dalam bisnis Multi Level Marketing (MLM) khususnya PT Halal
Network Internasional Herba Penawar Alwahida Indonesia (PT HNI HPAI).
2. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengungkap lebih mendalam
lagi kekuatan karakter dari Pelaku Multi Level Marketing dengan metode
yang lebih baik serta rentan waktu yang lebih lama, selain itu diharapkan
(2)
Anonymous. 2004. Bilangan Syarikat Jualan Langsung Berdaftar, di unduh 20
September 2016, from
http://www.kpdnhep.gov.my/index.cgi?lang=english APLI, http://www.apli.or.id (diakses tanggal 20 November 2016).
APLI. (2004). Apa Beda Direct Selling dengan Multi Level Marketing. Info APLI,
Edisi XXI/ Jan-Feb 2004. p.9
Adiyati, A & Halimah, L.. (2015). Study Deskriptif Character Strenght Suami
dengan Istri Pasca Stroke di RSAI Bandung. Skripsi. Bandung:
Universitas Islam Bandung
Agusta, I. (2005). Metode Kualitatif. Makalah. Bogor: Institusi Pertanian Bogor.
Alex, L & Joseph, S. (2004). Postive Psychologi in Practice. New Jersey: John
Wiley & Sons, Inc.
Amway. (2008). Pedoman Bisnis. Jakarta: PT. Amindoway Jaya.
Biggart, N. W,. (1990). Charismatic Capitalism: Direct Selling Organization in
America. Chicago:The University of Chicago Press, Ill.
Baidi, B. (2005).Intensitas Dzikir dan Agresivitas pada Santri. Jurnal Psikologi
Islami 1 (2)
Bloch, B. (1996). “Multilevel Marketing: What’s the Catch?”. Journal of Consumer Marketing, Vol. 13, No. 4, pp. 18-26.
Clements, L. W,. (2001). MLM-Statistics-To Help you Better Understand the
Network. Marketing Industry: Network Press
Compton, W. C,. (2005). An Introduction to Positive Psychology. Belmont:
Thomson Wadsworth
Dykema, R. (1999, January/February). Multilevel Marketing (MLM): True Opportunity or False Promises? A Conversation with Robert Fitzpatrick,
Colorado’s Holistic Journal pp. 13-17.
Efklides, A & Moraitou (2013). Psychology Positive on Quality of Life. New
York: Spinger Dordrecht Heidelberg
(3)
Fearer, M. (1999, January/February). The MLM Experience: Selling and Getting
Nowhere. Colorado’s Holistic Journal
Feinberg, R. A., & Eastlick, M, A. (1997). Direct Marketing in the USA: Past
Failures and Future Promises. International Journal of Retail &
Distribution Managemet . Vol. 5, No. 8, pp. 256-261.
Friedman, H. S., & Miriam, S. (2006). Kepribadian: Teori Klasik dan Riset
Modern. Jakarta: Erlangga
Fuad, M. (2005). Pengantar Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gilman, R & Huebner, E. S., & Furlong, M. J. (2009). Handbook of Positive
Psychology. New York: Routledge
Gonzales, M. A,. (2008). Career Manurity. A Priority of Secondary Educational
Elektrical. Journal of Reseach in Education Psychology. (NO.16 Vol 6)
P 749-772
Govindji, R & Linley, P. A,. (2007). Strengths use, self-concordance and well-being: Implications for strengths coaching and coaching psychologists.
International Coaching Psychology Review, 2, 143-153.
Harefa, A. (2007). Menapaki Jalan DS-MLM. Yogyakarta: Gradien Books.
Handayani, F. (2010). Hubungan Kekuatan Karater dengan Relisiensi Residen Narkota di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Lido. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Hedges, B. (2001). The Parable of the Pipeline. Florida: INTI Publishing.
Herdiansyah, H. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial.
Jakarta:Salemba Humanika
Hoge, D. J., & Ya, B. F. (1994). Determinant of religios giving in American denomination: Review of religious reseach, 36. 2
Holland, J, L. (1985). Making Vocational Choice: A theory of Vocational. Florida: INTI Publishing
Fahmi, I & Ramdani, Z. (2014). Profil Kekuatan Karakter dan Kebajikan Pada
Mahasiswa Berprestasi Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi Juni 2014,
(4)
Utama.
Kiaw, C. O. S,. & Cyril, E. (2007). Why Malaysian join and stay on in a
multilevel marketing company. The Icfai Journal of Services Marketing,
Vol V, No 4. Serawak: Universitas Malaysia Serawak.
King, C. W,. & Robinson, J. W. (2000). The New Professionals: The Rise of
Network Marketing as the Next Major Profession. New York: Three Rivers Press.
Kiyosaki, R. T,. (2004). Rich Dad, Poor Dad. London: Time Warner. 7th Edition.
Leardes, MLM. (2007). The Secret Books of MLM. Jakarta: Mic Publishing.
Lickona, T. (2004). Character Matters (Personal Karakter). Jakarta: PT Bumi
Aksara
Lingga, R, W., (2012). Gambaran Virtue Mahasiswa Perantau. Skripsi. Sumatra
Utara: Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Moleong, J. L,. 2004.Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Bina Remaja.
Monopol, Y. (2005). Aksi Atraktif Bisnis MLM. : SWAsembada
Park, N & Peterson, C. (2009). Character strengths Reseach and Practice. Journal
of Collage and Character. Vol 4, No 4.
Paul, J, D., (1994). Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z.
Lawang. Jakarta: PT Gramedia.
Peterson, C & Seligman, M. E. P. (2004). Character strengths and virtues: A
classification and handbook. NewYork: Oxford University Press x
Peterson, C & Park, N. (2006). Character strenght in organization. Jornal of
Organization Behavior. 27. 1149-1154, dipublis online (www.interscience.wiley.com)
Peterson, C & Park, N & Pole, N & D’andrea, W & Selogment, M. (2008).
Strenght of Character and Posttraumatic Growth. Journal of Traumatic
Stress. Vol 21, pp 214-217. di publis (www.interscience.wiley.com)
Poe, R. (1999). WAVE 4: Network Marketing in the 21 st Century. Rocklin. CA:
Prima Publishing.
(5)
Sartika, D & Mardiawan, O. (2014). Kontribusi kekuatan karakter (character strength) terhadap komitmen pada organisasi karyawan hotel bintang 4
dan 5 di kota bandung. Skripsi. Bandung: Universitas Islam Bandung.
Sartika, D & Epriana, A. (2015). Hubungan Kekuatan Karakter dengan Komitmen
Kerja pada Guru di TK dan SD Bakti Asih Bandung. Skripsi. Bandung:
Universitas Islam Bandung.
Santoso, B. (2003). All About MLM .Yogyakarta: Andy
Scheier, M., & Carver, C., & Bridges, M. (1994). Distinguishing optimism from neuroticism (andtrait anxiety, self-mastery, and self-esteem): A
reevaluation of the Life Orientation Test. Journal of Personality and
Social Psychology, 67, 1063–1078.
Seligman, M. E. P. (2002). Authentic happiness. New York: Free Press.
Serfiant, D, R,. & Hariyani,1. & Yustisia, C. (2013). Buku Pintar: Pasar Uang
dan Pasar Valas. Jakarta: Kompas Gramedia.
Smedes, L. B,. (1991). Memaafkan, kekuatan yang membebaskan. Yogyakarta:
Kanisius.
Snyder, C. R., & Lopez, S. J. 2007 Positive psychology: The scientific and
practical exploration of human strengths Sage Pulications London.
Soelaeman. (1995). Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: PT.Eresco.
Soeratman, L. (2002). Dinamika Wiraniaga Multilevel Marketing. Jurnal Sains
Pemasaran Indonesia, Vol. 1, No. 3, Desember.
Sreekumar, P. (2007). A Study of Multi Level Marketing (MLM), As A Potensial
Tool for Socio-Economic Develpoment. Journal of Internasional
Marketing Conference on Marketing & Society. Trichur: Institute of Chartered Financial Analysts of India.
Sugiyono. (2009). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
Susanto, H. (2002). The Power of Disipline. Jakarta: PT Alex Media Komputindo.
Thomas, M, S. (2004). “Religious Affiliation and Philanthropy”,
http://www.religionomics.com/erel/S2-Archives/REC04/Smith%20-%20Religion%20and% 20philanthropy.pdf, diakses pada tgl 26-04-2017
(6)
and Wellbeing in Addolescence: Structure and Correlates of the Values
In Action Inventoru of Strenghts for Children. Journal of Personality and
Individual Differences, 637-634.
Warren J, K. (2003). Manajemen pemasarn global, alih bahasa, Alexander
sindorodan tanty syalina tarigan, penyunting bahasa, bob wiyahartono.
Jakarta: Prenhalindo.
Wijayanti, H & Nurwianti, F. (2010). Kekuatan Karakter dan Kebahagiaan pada
Suku Jawa. Skripsi. Jakarta: Universitas Negeri Indonesia.