PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY-INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR DAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA.

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pelajaran Fisika merupakan salah satu bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang penting bagi siswa. Hal ini tercantum dalam fungsi dan tujuan mata pelajaran fisika di tingkat SMA yang menyatakan bahwa mata pelajaran fisika merupakan sarana: (Depdiknas, 2006)

i) Menyadarkan keindahan dan keteraturan alam untuk meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan YME, ii) Memupuk sikap ilmiah yang mencakup; jujur dan obyektif terhadap data, terbuka dalam menerima pendapat berdasarkan bukti-bukti tertentu, kritis terhadap pernyataan ilmiah, dan dapat bekerja sama dengan orang lain, iii) Memberi pengalaman untuk dapat mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan; merancang dan merakit instrumen percobaan, mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkan data, menyusun laporan, serta mengkomunikasikan hasil percobaan secara tertulis dan lisan, iv) Mengembangkan kemampuan berpikir analitis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam dan menyelesaikan masalah baik secara kualitatif maupun kuantitatif, v) Menguasai pengetahuan, konsep dan prinsip fisika, serta memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap ilmiah.

Dari penjabaran di atas, jelas bahwa penyelenggaraan mata pelajaran fisika di SMA merupakan sebuah sarana untuk mengembangkan dan melatih siswa agar dapat menguasai pengetahuan, konsep dan prinsip fisika, memiliki kecakapan ilmiah dan keterampilan berpikir kritis. Hal ini menunjukan bahwa dengan belajar fisika maka keterampilan berpikir kritis siswa dapat dikembangkan.

Tujuan dari pembelajaran fisika tersebut akan tercapai jika dalam proses pembelajarannya berjalan dengan baik. Pada kenyataannya, yang terjadi di lapangan masih belum sesuai dengan fungsi dan tujuan yang diharapkan. Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap siswa-siswi salah satu SMA swasta di kota Bandung, ternyata


(2)

sebagian besar siswa-siswi tersebut tidak menyukai pelajaran fisika disebabkan oleh banyaknya rumus yang harus dihafal. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Agus Kurniawan (2010) di salah satu SMA di Kota Bandung, yang menyatakan bahwa sebesar 26,41% siswa yang menyenangi fisika, selebihnya 73,59% menyatakan tidak suka terhadap pelajaran fisika dikarenakan siswa beranggapan bahwa dalam pelajaran fisika terlalu banyak rumus yang dihapalkan (35,90%), metode pembelajaran yang membosankan (53,85%), dan kurang menyukai pelajaran hitungan (10,26%). Selain itu berdasarkan hasil wawancara terhadap guru mata pelajaran di sekolah tersebut, ternyata prestasi belajar siswa pun masih rendah. Hal ini terlihat dari tingkat pemahaman siswa yang masih rendah yang diperlihatkan dengan banyaknya siswa yang belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan oleh guru mata pelajaran. Pada umumnya guru mata pelajaran menggunakan metode ceramah dan demonstrasi dalam proses pembelajaran, sehingga belum melibatkan siswa secara optimal.

Dari hasil wawancara dengan guru mata pelajaran menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran siswa belum terlibat secara aktif dan pembelajaran masih terpusat pada guru atau teacher center sehingga dapat dikatakan aktivitas siswa dalam pembelajaran masih rendah, terutama dalam hal mengemukakan pendapatnya tentang konsep yang dipelajari dan membuat sebuah kesimpulan dari konsep tersebut. Menurut Nurhayati Fitri (2002) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa aktivitas belajar dapat membantu siswa membangun pemikirannya. Ini menunjukan bahwa aktivitas belajar siswa yang rendah dapat menggambarkan keterampilan berpikir kritis siswa juga rendah.


(3)

Prestasi belajar maupun keterampilan berpikir kritis merupakan aspek yang penting dalam mengembangkan potensi siswa. Menurut Winkel (Sunartombs, 2009) menyatakan bahwa prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya. Berpikir kritis memungkinkan siswa untuk memanfaatkan potensi dalam melihat masalah, memecahkan masalah dan mengembangkan kreativitasnya. Maka kedua aspek ini harus menjadi perhatian dari guru sehingga aspek-aspek ini dapat ditingkatkan.

Dari permasalahan rendahnya prestasi belajar dan keterampilan berpikir kritis siswa ini, maka harus ada upaya yang dilakukan untuk mengatasinya. Teaching Resource center Universitas Tennesse di Chattanooga menyatakan bahwa metode diskusi, studi kasus, dan penggunaan pertanyaan merupakan strategi yang berpotensi meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Di sisi lain Wartono (2003: 134) mengemukakan bahwa pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan potensi intelektual siswa. Ennis, menyatakan bahwa siswa hendaknya dibiasakan untuk selalu berhadapan dengan permasalahan, karena dengan adanya masalah, maka siswa akan berpikir kritis yang berarti mempertimbangkan secara aktif, tekun dan hati-hati terhadap segala alternatif sebelum mengambil keputusan. Zohar, dkk (dalam Suriadi,2005) menyatakan bahwa keterampilan berpikir kritis dapat dikembangkan melalui pembelajaran yang berpusat pada siswa (Student center). Barbara, J. Duch (dalam Hera, 2010) menyatakan bahwa keterampilan berpikir kritis bisa dilatihkan dengan pembelajaran yang berorientasi pada masalah. Dengan kata lain dibutuhkannya sebuah model pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk melibatkan potensinya dalam mengidentifikasi pokok permasalahan sampai


(4)

menemukan sendiri konsepnya atau model pembelajaran yang berpusat pada kegiatan atau akivitas siswa (student center).

Salah satu model pembelajaran yang dipandang dapat membantu dan memfasilitasi untuk meningkatkan prestasi belajar dan keterampilan berpikir kritis siswa adalah model pembelajaran Discovery-Inquiry. Discovery-Inquiry adalah sebuah model pembelajaran yang menitik beratkan kepada kemampuan siswa dalam mengidentifikasi pokok permasalahan dalam pembelajaran yang dilakukan. Dalam hal ini siswa lebih banyak berperan dibanding guru. Hal ini dilihat dari konsep yang dipelajari harus ditemukan oleh siswa itu sendiri (discovery). Dalam Discovery-Inquiry siswa dituntut untuk berpikir secara ilmiah untuk menemukan inti dari pembelajaran. Oleh karena itu maka disusunlah sebuah penelitian dengan judul PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY-INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR DAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dalam penelitian ini rumusan masalah yang menjadi pokok perhatian peneliti adalah “ Apakah prestasi belajar dan keterampilan berpikir kritis siswa dapat meningkat setelah diterapkan model pembelajaran Discovery-Inquiry?”.

Agar penelitian ini lebih terarah maka rumusan masalah itu kemudian peneliti perjelas dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah peningkatan prestasi belajar siswa setelah diterapkannya model pembelajaran Discovery-Inquiry dalam mata pelajaran Fisika?;


(5)

2. Bagaimanakah peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa setelah diterapkannya model pembelajaran Discovery-Inquiry dalam mata pelajaran Fisika?;

C. Batasan Masalah

Prestasi belajar siswa yang akan diukur hanyalah ranah kognitifnya saja. Menurut Bloom, ranah kognitif berkaitan dengan aspek-aspek intelektual atau berpikir/nalar, didalamnya mencakup : Pengetahuan (knowledge) dinyatakan sebagai C1, pemahaman (Comprehension) dinyatakan sebagai C2, penerapan (application) dinyatakan sebagai C3, penguraian (analysis) dinyatakan sebagai C4, memadukan (synthesis) dinyatakan sebagai C5 dan penilaian (evaluation) dinyatakan sebagai C6. Pada penelitian ini ranah kognitif yang diteliti dibatasi hanya sampai C4 saja.

Aspek-aspek keterampilan berpikir kritis siswa yang akan diukur pada penelitian ini hanya meliputi : keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan keterampilan menyimpulkan.

Untuk mengukur prestasi belajar dan keterampilan berpikir kritis yang dimaksud digunakan instrument yang memuat indikator-indikator ketercapaian yang dilakukan melalui pre test maupun post test.

Untuk memfokuskan masalah yang akan dikaji maka masalah dalam penelitian ini akan dibatasi:

1. Peningkatan prestasi belajar siswa pada ranah kognitif yang dimaksud adalah perubahan yang positif terhadap prestasi belajar siswa pada ranah kognitif yang dinyatakan dengan skor rata-rata gain ternormalisasi.


(6)

2. Peningkatan keterampilan berpikir kritis yang dimaksud adalah perubahan yang positif terhadap keterampilan berpikir kritis yang dinyatakan dengan skor rata-rata gain ternormalisasi.

Penelitian ini dilakukan pada pokok materi Usaha dan Energi di kelas XI IPA semester ganjil.

D. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini yaitu model pembelajaran Discovery-Inquiry, Prestasi belajar, dan keterampilan berpikir kritis.

Model Pembelajaran Discovery-Inquiry sebagai variabel yang mempengaruhi variabel prestasi belajar dan Model Pembelajaran Discovery-Inquiry juga sebagai variabel yang mempengaruhi variabel keterampilan berpikir kritis. Dengan demikian Variabel prestasi belajar dan keterampilan berpikir kritis sebagai akibat dari variabel model pembelajaran Discovery-Inquiry.

E. Definisi Operasional

1. Model pembelajaran Discovery-inquiry adalah sebuah model pembelajaran yang berawal dari dua model pembelajaran yaitu model pembelajaran discovery dan model pembelajaran inquiry. Pada penelitian ini Model yang digunakan adalah Model Discovery-Inquiry yang dikemukakan oleh Moh. Amien (1987). Model ini terdiri dari tiga tahapan yaitu: 1) Diskusi, 2) Proses dan 3) Pengembangan masalah.

2. Prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui materi pelajaran lazimnya ditunjukkan dengan nilai dan angka


(7)

yang diberikan guru. Prestasi belajar yang dimaksud adalah prestasi belajar pada ranah kognitif yang meliputi jenjang hapalan (recall/C1), pemahaman (Comprehension/C2), penerapan (Application/C3), dan analisis (Analysis/C4). Untuk mengukur prestasi belajar siswa dapat digunakan instrumen yang memuat indikator prestasi belajar pada ranah kognitif yang dilakukan melalui pre test dan post test berupa soal pilihan ganda.

3. Keterampilan berpikir kritis ialah kemampuan memberi alasan dan reflektif yang difokuskan pada apa yang diyakini dan dikerjakan (Robert H. Ennis dalam Alec Fisher, 2009). Reflektif berarti mempertimbangkan secara aktif, tekun dan hati-hati terhadap segala alternatif sebelum mengambil keputusan. Keterampilan berpikir kritis siswa diukur melalui pretest dan posttest berbentuk essay terhadap pokok bahasan yang dipelajari. Adapun aspek berpikir kritis yang diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

4.

Tabel 1.1 Aspek keterampilan berpikir kritis yang diamati Keterampilan Berpikir

Kritis

Sub Keterampilan Berpikir Kritis

Indikator

1. Memberikan penjelasan dasar/ sederhana

1. Menganalisis Argumen

Mengidentifikasi kriteria jawaban yang mungkin 2. Bertanya dan

menjawab pertanyaan klarifikasi dan pertanyaan yang menantang

Mengapa?

2. Menyimpulkan 3. Mendeduksi dan mempertimbangkan deduksi

Menginterpretasikan pertanyaan.


(8)

4. Menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi

Menggeneralisasi data, tabel sampel dan grafik, Berhipotesis.

5. Membuat dan mengkaji nilai-nilai hasi pertimbangan.

Mengaplikasikan konsep (Prinsip-prinsip, hukum dan asas).

F. Asumsi Dasar

Dalam penelitian ini terdapat asumsi-asumsi dasar yaitu sebagai berikut:

1. Prestasi belajar siswa dapat ditingkatkan jika dalam pembelajaran tersebut siswa dapat:

a) Meningkatkan pemahaman terhadap materi-materi yang diajukan;

b) Mampu mengembangkan sikap ilmiah, seperti obyektif, jujur, cermat, dan rasa ingin tahu;

c) Peneliti melaksanakan pembelajaran Discovery-inquiry sesuai dengan tahapan-tahapan yang harus dilakukan.

2. Keterampilan berpikir siswa dapat ditingkatkan; 3. Prestasi belajar siswa dapat ditingkatkan.

G. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diungkapkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa setelah diterapkannya model pembelajaran Discovery-inquiry;

2. Untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa setelah diterapkannya model pembelajaran Discovery-Inquiry.


(9)

H. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi peneliti

Manfaat penelitian ini bagi peneliti diharapkan:

a. Dapat mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan;

b. Mendapatkan gambaran yang jelas tentang bagaimana pembelajaran fisika di lapangan;

c. Dapat mengetahui bagaimana peningkatan prestasi belajar dan keterampilan berpikir kritis siswa setelah diterapkannya model pembelajaran Discovery-Inquiry.

2. Bagi Siswa

Manfaat penelitan ini bagi siswa adalah sebagai berikut:

a. Siswa mendapatkan pengalaman pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Discovery-Inquiry;

b. Dapat meningkatkan prestasi belajar siswa;

c. Dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. 3. Bagi Guru

Manfaat penelitan ini bagi guru adalah sebagai berikut:

a. Sebagai bahan masukan bagi guru dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran fisika serta memberikan alternatif model pembelajaran yang dapat digunakan;


(10)

b. Memberikan informasi kepada guru menegenai peningkatan prestasi belajar dan keterampilan berpikir kritis siswa setelah diterapkannya model pembelajaran Discovery-Inquiry.


(11)

11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Model Pembelajaran Discovery-Inquiry

Model pembelajaran Discovery-Inquiry adalah model pembelajaran yang merupakan gabungan dari dua model pembelajaran yaitu model pembelajaran discovery dan model pembelajaran Inquiry. Menurut Sund (Sudirman N, 1992), discovery adalah proses mental, dan dalam proses itu individu mengasimilasi konsep dan prinsip-prinsip. Moh. Amin (Sudirman N, 1992) menjelaskan bahwa pengajaran discovery harus meliputi pengalaman-pengalaman belajar untuk menjamin siswa dapat mengembangkan proses-proses discovery.

Model pembelajaran ini dipengaruhi oleh aliran kognitif. Aliran ini mengemukakan bahwa belajar pada dasarnya adalah proses mental dan proses berpikir dengan memanfaatkan segala potensi yang dmiliki setiap individu secara optimal. Dari berbagai sumber yang terkait, aliran kognitif melahirkan berbagai teori belajar, seperti teori belajar Gestalt, teori medan, dan teori belajar konstruktivis.

Model pembelajaran Discovery-Inquiry adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dikemukakan. Proses berpikir disini biasanya dilakukan tanya jawab antara guru dan siswa. Ciri utama dari model ini adalah sebagai berikut:

a. Menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan, artinya dalam hal ini siswa adalah subyek dalam belajar. Siswa tidak hanya berperan sebagai penerima pelajaran melalui penjelasan guru saja, tetapi mereka turut serta dalam menemukan inti dari pembelajaran itu sendiri;


(12)

b. Aktivias yag dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan rasa percaya diri (self believe). Dalam hal ini guru tidak berperan sebagai sumber belajar, akan tetapi guru sebagai fasilitator dan motivator belajar siswa;

c. Tujuan dari penggunaan model ini adalah mengembangkan kemampuan berpikir siswa secara sistematis, logis dan kritis atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari mental.

Model ini dapat digunakan dan akan efektif jika memenuhi kriteria-kriteria yang dijabarkan sebagai berikut:

a. Guru mengharapkan siswa dapat menemukan sendiri jawaban dari suatu permasalahan yang ingin dipecahkan. Dengan demikian penguasaan materi bukanlah tujuan utama pembelajaran, tetapi yang lebih diutamakan adalah proses belajar yang dilakukan oleh siswa;

b. Bahan pelajaran yang akan diajarkan bukanlah materi yang berbentuk fakta dan memiliki jawaban yang sudah pasti, akan tetapi sebuah kesimpulan yang membutuhkan pembuktian;

c. Proses belajar berangkat dari rasa keingintahuan siswa; d. Siswa memiliki keinginan dan keterampilan berpikir; e. Jumlah siswa tidak terlalu banyak;

f. Memiliki waktu yang cukup.

B. Prinsip-Prinsip Penggunaan Model Pembelajaran Discovery-Inquiry

Dalam penggunaan model ini terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh setiap guru. Setiap prinsip tersebut adalah sebagai berikut:


(13)

a. Berorientasi pada pengembangan intelektual

Dalam Discovery-Inquiry siswa dituntut untuk menemukan sendiri pengetahuannya, maka selain mengacu pada hasil belajar model ini juga mengacu pada proses belajar itu sendiri. Sesuatu yang ditemukan adalah sesuatu yang dapat ditemukan melalui proses berpikir dan bukanlah sesuatu yang sudah pasti.

b. Prinsip interaksi

Guru harus mampu mengatur interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa maupun siswa dengan lingkungannya. Dalam pembelajaran tentu harus ada proses interaksi yang dilakukan.

c. Prinsip bertanya

Dalam prosesnya guru bertugas sebagai penanya. Oleh sebab itu dibutuhkan kemampuan guru dalam menyusun dan mengemukakan pertanyaan dengan baik. Pertanyaan yang diberikan dimaksudkan untuk membimbing siswa dalam menemukan inti dari permasalahan yang diajukan.

d. Prinsip belajar untuk berpikir

Proses berpikir adalah proses pengembangan potensi seluruh otak, baik otak kiri maupun otak kanan. Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal.

e. Prinsip keterbukaan

Belajar adalah proses mencoba berbagai kemungkinan. Artinya segala sesuatu mungkin saja terjadi. Tugas guru adalah menyediakan ruang untuk memberikan kesempatan kepada siswa mengembangkan hipotesis secara terbuka untuk membenarkan hipotesis yang diajukan.


(14)

C. Langkah-Langkah Pelaksanaan Model Pembelajaran Discovery-Inquiry

Dari National Sciene Teachers Association menyatakan bahwa ciri-ciri dari model pembelajaran Discovery-Inquiry adalah sebagai berikut:

1. Questioning and formulating solvable problems, yaitu adanya pertanyaan dan perumusan suatu permasalahan yang dapat diselesaikan;

2. Reflecting on constructing knowledge from data, yaitu melakukan refleksi dan membangun pengetahuan dari data;

3. Colaborating and exchanging information while seeking solutions, yaitu kolaborasi/kerjasama dan saling tukar informasi untuk memecahkan masalah/menjawab pertanyaan;

4. Developing concept and relationship from empirical data, yaitu mengembangkan konsep dan hubungannya dari data empiris.

Berikut adalah langkah-langkah yang digunakan dalam model pembelajaran Discovery-Inquiry;

Tabel 2.1

Langkah-Langkah pembelajaran Discovery-Inquiry

Discovery-Inquiry Guided-Inquiry

1) Diskusi

Tahap ini bertujuan untuk menggali konsep awal siswa. Guru memberikan permasalahan yang kemudian akan diselesaikan oleh siswa

2) Proses

Tahap ini merupakan tahap penemuan konsep oleh siswa. Pada tahap ini meliputi: merumuskan masalah,

merumuskan hipotesis, mendesain eksperimen, mengumpulkan dan mengolah data, menarik

kesimpulan.

1) Orientasi

2) Merumuskan masalah 3) Merumuskan hipotesis 4) Mengumpulkan data 5) Menguji hipotesis


(15)

Discovery-Inquiry Guided-Inquiry 3) Pengembangan Masalah

Tahap ini merupakan tahap refleksi yang meliputi: pemberian kritik (critizing), nilai sikap (Valuing), penerapan (application)

Sumber; Moh. Amien, 1987

D. Kelebihan Dan Kelemahan Model Pembelajaran Discovery-Inquiry

Setiap model pembelajaran yang digunakan memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan dan kekurangan dari model pembelajaran Discovery-Inquiry adalah sebagai berikut:

1. Kelebihan

Kelebihan yang dimiliki oleh model pembelajaran Discovery-Iquiry yaitu:

a. Startegi pengajaran menjadi berubah dari yang bersifat penyajian informasi oleh guru kepada siswa sebagai penerima informasi yang baik tetapi proses mentalnya berkadar rendah, menjadi pengajaran yang menekankan kepada proses pengolahan informasi dimana siswa yang aktif mencari dan mengolah sendiri informasi yang kadar proses mentalnya lebih tinggi atau lebih banyak; b. Siswa akan mengerti konsep-konsep dasar atau ide lebih baik;

c. Membantu siswa dalam menggunakan ingatan dan dalam rangka transfer kepada situasi-situasi proses belajar yang baru;

d. Mendorong siswa untuk berpikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri;

e. Memungkinkan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar yang tidak hanya menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar;


(16)

f. Model ini dapat memperkaya dan memperdalam materi yang dipelajari sehingga retensinya (tahan lama dalam ingatan) menjadi lebih baik.

2. Kekurangan

Adapun kekurangan pada model pembelajaran ini yaitu:

a. Memerlukan perubahan kebiasaan cara belajar siswa yang menerima informasi dari guru apa adanya, ke arah membiasakan belajar mandiri dan berkelompok dengan mencari dan mengolah informasi sendiri. Mengubah kebiasaan bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi kebiasaan yang telah bertahun-tahun dilakukan;

b. Guru dituntut mengubah suatu kebiasaan mengajar yang umumnya sebagai pemberi informasi menjadi fasilitator, motivator, dan pembimbing siswa dalam belajar. Inipun bukan pekerjaan yang mudah karena umumnya guru merasa belum puas kalau tidak banyak meyajikan informasi (ceramah);

c. Model ini memberikan kebebasan pada siswa dalam belajar, tetapi tidak berarti menjamin bahwa siswa belajar dengan tekun, penuh aktivitas dan terarah;

d. Cara belajar siswa dalam model ini menuntut bimbingan guru yang lebih baik. Dalam kondisi siswa banyak (kelas besar) dan guru terbatas, agaknya metode ini sulit terlaksana dengan baik.

E. Belajar Dan Prestasi Belajar

1. Pengertian Belajar

Menurut Gagne (dalam Ratna W. Dahar, 1989: 11) belajar merupakan suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Perubahan perilaku organism atau individu ini akan meliputi perubahan tingkah laku,


(17)

pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Untuk menentukan baik buruknya individu (siswa) mengalami perubahan, maka hal ini tergantung dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Idealnya suatu proses belajar yang baik adalah proses belajar yang aktif dan kreatif dalam membangun pengetahuannya tanpa dipaksakan oleh orang lain, namun atas inisiatif individu itu sendiri dalam rangka membangun dan mengembangkan pengetahuannya secara lebih luas. Guru dapat memberikan kontribusinya dalam rangka mengaktifkan siswa dalam proses belajar yaitu dengan motivasi. Pemberian motivasi oleh guru agar siswa menjadi aktif dikenal dengan pembelajaran. Setelah proses belajar dan pembelajaran ini berlangsung maka diharapkan suatu hasil belajar yang lebih abik, dari tidak tahu menjadi tahu.

Menurut W.S Winkel (Reni R. Taurina, 2010) pengertian belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yng berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang mengahasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai-nilai sikap. Belajar dapat dipandang sebagai proses perubahan perilaku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Ada beberapa teori yang berpendapat bahwa proses belajar pada prinsipnya bertumpu pada struktur kognitif, misalnya penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga membentuk satu kesatuan yang memiliki makna bagi subjek didik (Sadirman A.M, 2007).

2. Prestasi Belajar

Engkoswara dalam Reni R. Taurina (2010) menjelaskan bahwa prestasi dapat berupa penguasaan, penggunaan, dan penilaian tentang sikap dan nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan dasar dalam berbagai bidang. Prestasi merupakan hasil yang dicapai individu dalam bidang atau kegiatan tertentu. Sedangkan belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut


(18)

ditampilkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir dan lain-lain.

Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui materi pelajaran lazimnya ditunjukkan dengan nilai dan angka yang diberikan guru.

Sumarna Surapranata (2004:19) menyatakan bahwa prestasi belajar (achievment) berbeda dengan hasil belajar (learning outcome). Dalam prestasi belajar hanya mengukur dua aspek yaitu aspek kognitif dan aspek psikomotor, sedangkan hasil belajar meliputi aspek pembentukan watak seorang peserta didik. Dengan demikian hasil belajar mengukur tiga aspek utama hasil pendidikan, yaitu aspek kognitif, psikomotor dan afektif.

Menurut Winkel (Sunartobs, 2009), menyatakan bahwa prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya.

Bloom membagi ranah kognitif ke dalam enam jenjang kemampuan, secara hierarki yaitu:

1. Hafalan/ recall (C1)

Hafalan meliputi kemampuan menyatakan kembali fakta, konsep, prinsip, prosedur, atau istilah yang telah dipelajari tanpa harus memahami atau dapat menggunakan. Hafalan merupakan prestasi belajar yang paling rendah, tapi menjadi prasyarat bagi tipe prestasi belajar selanjutnya (Syambasri Munaf, 2001: 68).


(19)

Pemahaman merupakan salah satu jenjang kemampuan proses berpikir yang menuntut siswa untuk memahami yang berarti mengetahui tentang sesuatu hal yang dapat melihatnya dari beberapa segi (Syambasri Munaf, 2001: 68). Siswa dituntut untuk dapat menafsirkan bagan, diagram atau grafik, meramalkan, mengungkap suatu konsep atau prinsip dengan kata-kata sendiri. Kata kerja yang dapat digunakan, misalnya : membedakan, menginterpretasi, menjelaskan.

3. Penerapan/ application (C3)

Penerapan merupakan kemampuan menggunakan prinsip, teori, hukum, aturan, maupun metode yang dipelajari pada situasi nyata. Kata kerja yang dapat digunakan, misalnya: menerapkan, menghubungkan, menghitung, menunjukan, mengklasifikasikan.

4. Analisis/ analysis (C4)

Analisis adalah kemampuan untuk menganalisa atau merinci materi atau konsep menjadi susunan-susunan yang teratur serta memahami hubungan diantara satu materi dengan materi yang lain. Kata kerja yang dapat digunakan, misalnya: menganalisa, menemukan, membandingkan.

5. Sintesis/ Syntesis (C5)

Sintesis merupakan kemampuan untuk menyatukan bagian-bagian materi sehingga menjadi satu gabungan yang berpola dan berkaitan satu sama lain. Contoh kemampuan sintesis adalah kemampuan merencanakan eksperimen. Kata kerja yang dapat digunakan, misalnya : mensintesis, menghubungkan, merumuskan, menyimpulkan.

6. Evaluasi/ evaluation (C6)

Evaluasi adalah kemampuan tertinggi yang merupakan pemberian penilaian atau keputusan terhadap suatu situasi, nilai-nilai, atau ide-ide. Pemberian


(20)

keputusan dapat dilihat dari segi tujuan, gagasan, cara kerja, pemecahan, metode, materi, berdasarkan kriteria tertentu. Untuk dapat menilai, seorang harus dapat menerapkan, mampu mensintesis dan menaganalisa (Syambasri Munaf, 2001: 74). Kata kerja yang dapat digunakan, misalnya: menilai, menentukan, memutuskan.

Ranah psikomotor berhubungan dengan kemampuan motorik, sebagai hasilnya dilihat dalam bentuk keterampilan dan kemampuan bertindak (Syambasri Munaf. 2001: 77). Ranah psikomotor dikemukakan oleh Dave (Ika M.S., 2006: 28) dibagi menjadi lima kategori sebagai berikut:

1. Peniruan (imitation)

Kemampuan ini dimulai dengan mengamati suatu gerakan kemudian memberikan respon serupa dengan apa yang diamati. Misalnya kemampuan menggunakan alat ukur setelah diperlihatkan cara menggunakannya.

2. Manipulasi (manipulation)

Kemampuan ini merupakan kemampuan mengikuti pengarahan (instruksi), penampilan dan gerakan-gerakan pilihan yang menetapkan suatu penampilan. Misalkan mampu melakukan kegiatan penyelidikan sesuai dengan prosedur yang dibacanya.

3. Ketetapan (Precision)

Kemampuan ini lebih menekankan pada kecermatan, proporsi dan kepastian yang lebih tinggi. Misalkan pada saat menggunakan alat ukur, memperhatikan skala alat ukur yang digunakan dan satuan yang digunakan juga dalam mengambil data, orang yang memiliki ketetapan biasanya melakukan pengamatan berulang kali untuk mendapatkan hasil yang lebih pasti.


(21)

Merupakan kemampuan koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan membuat urutan yang tepat dan mencapai yang diharapkan atau konsistensi internal diantara gerakan-gerakan yang berbeda. Contoh yang ditunjukan menulis dengan rapi dan jelas, mengetik dengan cepat dan tepat dan menggunakan alat-alat sesuai dengan ketentuannya.

5. Pengalamiahan (naturalization)

Menekankan pada kemampuan yang lebih tinggi secara alami, sehingga gerakan yang dilakukan dapat secara rutin dan tidak memerlukan pemikiran terlebih dahulu.

Dalam bidang pendidikan, terutama dalam pembelajaran, prestasi belajar mempunyai kedudukan yang penting. Menurut W. S. Winkel (Ahmad Jamaludin Sayuti, 2009), fungsi prestasi belajar diantaranya:

a. Prestasi belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah diketahui anak didik;

b. Prestasi belajar sebagai lambang perumusan hasrat keinginan; c. Prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan;

d. Prestasi belajar sebagai indikator intern dan ekstern dari situasi institusi pendidikan;

e. Prestasi belajar dapat dijadikan indikator terhadap daya serap kecerdasan anak didik.

Prestasi belajar menurut Moelir (Ahmad jamaludin Sayuti, 2009) menyatakan karakteristik dari prestasi belajar, yaitu:


(22)

a. Prestasi belajar merupakan perubahan tingkah laku yang dapat diukur. Pengukuran perubahan tingkah laku tersebut dapat dilakukan dengan memberikan tes prestasi;

b. Prestasi belajar merupakan hasil perbuatan individu itu sendiri, bukan hasil perbuatan individu itu terhadap orang lain;

c. Tinggi rendahnya prestasi belajar dapat dievaluasi berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh penilai menurut standar yang dicapai kelompok; d. Prestasi belajar merupakan hasil dari kegiatan yang dilakukan secara sengaja atau sadar, jadi bukan kebiasaan atau perilaku yang tidak disadari. Prestasi belajar dapat dikatakan sebagai tingkat kemanusiaan yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar mengajar. Prestasi belajar dan tingkat keberhasilan seseorang dalam mempelajari materi pelajaran dinyatakan dalam bentuk nilai setelah mengalami proses belajar mengajar. Prestasi belajar siswa dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil dari evaluasi dapat memperlihatkan tentang tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat dikelompokan menjadi faktor yang terdapat dalam diri siswa (intern) dan faktor dari luar siswa (ekstern).

a. Faktor Intern

Faktor Intern adalah faktor yang timbul dari dalam diri individu itu sendiri. Adapun yang dapat digolongkan ke dalam faktor intern adalah:


(23)

Jika siswa mempunyai tingkat kecerdasan normal atau di atas normal, maka secara potensi ia dapat mencapai prestasi yang tinggi.

2) Bakat

Bakat adalah kemampuan tertentu yang telah dimiliki seseorang sebagai kecakapan pembawaan.

3) Minat

Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenai beberapa kegiatan.

4) Motivasi

Motivasi dalam belajar merupakan keadaan yang mendorong siswa untuk belajar.

b. Faktor Ekstern

Faktor ekstern adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar yang sifatnya di luar siswa, diantaranya:

1) Keadaan Keluarga 2) Keadaan Sekolah 3) Lingkungan Masyarakat

F. Keterampilan Berpikir Kritis

1. Pengertian Berpikir Kritis

Berpikir adalah suatu aktivitas yang bertujuan tertentu (Chafee, dalam Sidharta 2007:4). Beyer, Marzano, Perkins, Costa, Feurerstein mengemukakan bahwa keterampilan berpikir adalah proses-proses kognitif yang memungkinkan kita untuk


(24)

memaknai informasi dan berkreasi dengan informasi. Keterampilan berpikir meliputi pengetahuan, disposisi serta operasi kognitif dan metakognitif.

Robert H Ennis dalam Costa (1985) menyatakan bahwa

“ Critical Thinking is reasonable, reflective thinking that is focused on deciding what to believe or do “

atau dapat diartikan keterampilan berpikir kritis adalah kemampuan menyatakan alasan dan berpikir refleksi untuk menentukan apa yang diyakini dan dilakukan.

Berpikir kritis menurut R. Swartz dan D. N. perkins (1990, dalam Hassoubah 2004: 86-87) berarti bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan kita terima atau apa yang akan kita lakukan dengan alasan yang logis, memakai standar penilaian sebagai hasil dari berpikir kritis dalam membuat keputusan, menerapkan berbagai strategi yang tersusun dan memberikan alasan untuk menentukan dan menerapkan standar tersebut, mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang dapat mendukung suatu penilaian.

Dalam artikel yang berbeda Max Black dan Ennis mendefinisikan keterampilan berpikir kritis sebagai kemampuan menggunakan logika dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Materi tentang pemikiran kritis yaitu materi yang melibatkan analisa, sintesis, dan evaluasi konsep (Gokhale 2002: http://scholar.lib.vt.edu/enjournals/JTE). Dalam penggolongan taksonomi Bloom, pada tugas analisis ini siswa diminta untuk menganalisis suatu hubungan atau situasi yang kompleks atas konsep-konsep dasar. Pada sintesis siswa dapat menggabungkan atau menyusun kembali (reorganize) hal-hal yang spesifik agar dapat mengembangkan situasi baru. Sedangkan evaluasi konsep untuk mengetahui sejauh mana siswa mampu menerapkan pengetahuan dan kemampuan yang telah dimiliki


(25)

untuk menilai sesuatu kasus yang diajukan oleh penyusun soal (Arikunto 2002: 119-120).

2. Aspek-Aspek Keterampilan Berpikir Kritis

Ennis (Costa, 1985) membagi keterampilan berpikir kritis menjadi dua aspek yaitu aspek disposisi (disposition) dan aspek kemampuan (ability).

a. Aspek kecenderungan (disposition), terdiri dari komponen: 1. Mencari sebuah pernyataan yang benar dari pertanyaan; 2. Mencari alasan;

3. Mencoba untuk memperoleh informasi yang baik;

4. Menggunakan sumber yang dapat dipercaya dan menyebutkannya; 5. Memasukan informasi/ sumber kedalam laporan;

6. Mencoba mempertahankan pemikiran yang relevan; 7. Menjaga pikiran tetap dalam fokus perhatian; 8. Melihat beberapa alternatif;

9. Membuka wawasan dalam hal: (a) Mempertimbangkan secara serius tinjauan yang lain selain tinjauan yang kita pandang, (b) Alasan dari sebuah dasar pemikiran dengan satu yang tidak disetujui dan (c) Tidak memberi keputusan ketika fakta dan alasan kurang sesuai;

10.Mengambil sebuah posisi (dan perubahan posisi) ketika fakta dan alasan sesuai;

11.Mencari keakuratan subyek secara benar; 12.Mengikuti sebuah kebiasaan yang teratur;

13.Menjadi lebih respon dalam merasakan tingkatan pengetahuan, dan ketidakpastian dari yang lainnya.


(26)

b. Aspek keterampilan (ability)

Untuk aspek keterampilan terdiri dari lima keterampilan dari dua belas sub keterampilan berpikir kritis. Secara rinci dapat dituliskan dalam tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2

Keterampilan berpikir Kritis Aspek Keterampilan (ability)

Keterampilan Berpikir Kritis Sub Keterampilan Berpikir Kritis Indikator 1. Memberikan penjelasan dasar 1. Memfokuskan pertanyaan a. Mengidentifikasi atau memformulasikan suatu pertanyaan b. Mengidentifikasi atau memformulasikan kriteria jawaban yang mungkin c. Menjaga pikiran

terhadap situasi yang sedang dihadapi 2. Menganalisis Argumen a. Mengidentifikasi kesimpulan; b. Mengidentifikasi alasan yang dinyatakan; c. Mengidentifikasi

alasan yang tidak dinyatakan;

d. Mencari persamaan dan perbedaan; e. Mengidentifikasi

dan menangani ketidakrelevanan; f. Mencari struktur

dari sebuah

pendapat/argumen; g. Meringkas

3. Bertanya dan menjawab

a. Mengapa?


(27)

Keterampilan Berpikir Kritis Sub Keterampilan Berpikir Kritis Indikator pertanyaan klarifikasi dan pertanyaan yang menantang alasan utama? c. Apa yang kamu

maksud dengan? d. Apa yang menjadi

contoh?

e. Apa yang bukan contoh?

f. Bagaimana mengaplikasikan kasus tersebut? g. Apa yang

menjadikan perbedaannya? h. Apa faktanya? i. Apakah ini yang

kamu katakan? j. Apalagi yang akan

kamu katakan? 2. Membangun

keterampilan dasar

4. Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak.

a. Keahlian;

b. Mengurangi konflik interest;

c. Kesepakatan antar sumber;

d. Reputasi; e. Menggunakan

prosedur yang ada; f. Mengetahui resiko; g. Kemmapuan

memberikan alas an;

h. Kebiasaan berhati-hati.

5. Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi a. Mengurangi praduga/ menyangka; b. Mengefektifkan waktu antara observasi dengan laporan;

c. Laporan dilakukan oleh pengamat sendiri;

d. Mencatat hal-hal yang sangat


(28)

Keterampilan Berpikir Kritis Sub Keterampilan Berpikir Kritis Indikator diperlukan; e. Penguatan; f. Kemungkinan dalam penguatan; g. Kondisi akses yang

baik;

h. Kompeten dalam menggunakan teknologi;

i. Kepuasan pengamat atas kredibilitas criteria

3. Menyimpulkan 6. Mendeduksi dan mempertimbangkan deduksi

a. Kelas logika; b. Mengkondisikan

logika;

c. Menginterpretasika n pertanyaan. 7. Menginduksi dan

mempertimbangkan hasil induksi

a. Menggeneralisasi data, tabel sampel dan grafik;

b. Berhipotesis. 8. Membuat dan

mengkaji nilai-nilai hasi pertimbangan

a. Latar belakang fakta;

b. Konsekuensi; c. Mengaplikasikan

konsep (Prinsip-prinsip, hukum dan asas); d. Mempetimbangkan alternativ; e. Menyeimbangkan, menimbang dan memutuskan. 4. Membuat penjelasan lebih lanjut 9. Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi

Ada tiga dimensi:

a. Bentuk: Sinonim, klarifikasi, rentang, ekspresi yang sama, operasional, contoh dan mencontoh; b. Strategi definisi; c. Konten (isi). 10. Mengidentifikasi a. Alasan yang tidak


(29)

Keterampilan Berpikir

Kritis

Sub Keterampilan

Berpikir Kritis

Indikator

asumsi dinyatakan;

b. Asumsi yang diperlukan: rekonstruksi argumen 5. Startegi dan

taktik

11. Memutuskan suatu tindakan

a. Mendefinisikan masalah;

b. Memilih kriteria yang mungkin sebagai solusi permasalahan; c. Merumuskan alternatif-alternatif untuk solusi; d. Memutuskan

hal-hal yang akan dilakukan; e. Mereview; f. Memonitor

implementasi. 12.Berinteraksi

dengan orang lain

a. Memberi label; b. Strategi logis; c. Startegi retorik; d. Mempresentasikan

suatu posisi, baik lisan maupun tulisan.

G. Model Pembelajaran Discovery-Inquiry dan Prestasi Belajar

Wartono (2003: 134) mengemukakan bahwa pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan potensi intelektual siswa. Hal ini disebabkan karena siswa diberi kesempatan untuk mencari dan menemukan keteraturan-keteraturan dan hal-hal yang berhubungan dengan pengamatan dan pengalaman sendiri, dan juga apabila siswa telah berhasil dalam melakukan penemuannya, maka siswa akan memperoleh


(30)

kepuasan intelektual yang datang dari dalam dirinya sendiri. Peningkatan potensi intelektual siswa ini tentu akan berpengaruh pada prestasi belajar siswa. Model discovery-Inquiry merupakan model yang memungkinkan untuk digunakan dalam upaya meningkatkan prestasi belajar siswa.

H. Model Pembelajaran Discovery-Inquiry dan Keterampilan Berpikir Kritis

Dari hasil penelitian Ian Wright dan C. L. Bar (1987), L. M. Sartorelli (1989) dan R. Swartz dan S. Parks (1992) dalam Hassoubah (2004: 96-110), beberapa cara meningkatkan keterampilan berpikir kritis diantaranya dengan meningkatkan daya analisis dan mengembangkan kemampuan observasi/ mengamati. Model pembelajaran Discovery-Inquiry merupakan model pembelajaran yang memungkinkan untuk digunakan dalam upaya peningkatan keterampilan berpikir kritis.


(31)

31

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen. Menurut Panggabean (1996:27) penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi yang merupakan perkiraan bagi informasi yang dapat diperoleh dengan eksperimen yang sebenarnya dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengontrol atau memanipulasi semua variabel yang relevan.

B.Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah One Group Pretest-Posttest Design. Skema One Group Pretest-Posttest Design ditunjukkan sebagai berikut:

Tabel 3.1

Desain Penelitian One Group Pretest-Posttest Design

Kelompok Pretest Treatment Posttest

Eksperimen T1 X T2

(Luhut Panggabean, 1996: 31) Keterangan : Dalam Penelitian ini Treatment dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan

Tabel tersebut menjelaskan bahwa kelas dikenakan pretest (T1) untuk mengukur prestasi belajar dan keterampilan berpikir kritis, Kemudian diberi treatment berupa pembelajaran dengan model pembelajaran Discovery-Inquiry. Setelah itu diberi posttest (T2) dengan instrumen yang sama dengan


(32)

pretest. Instrumen yang digunakan sebagai pretest dan posttest dalam penelitian ini merupakan instrumen untuk mengukur prstasi belajar dan keterampilan berpikir kritis siswa yang telah di-judgment dan diujicobakan terlebih dahulu.

Pada penelitian ini diasumsikan siswa tidak mendapatkan pembelajaran dari luar dan tidak diberikan pekerjaan rumah. Jadi tidak ada pengaruh lain selain pembelajaran dengan model pembelajaran Discovery-Inquiry.

C.Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI salah satu SMA swasta di Kota Bandung, sedangkan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah satu kelas dari keseluruhan populasi yang dipilih secara random (acak).

D.Prosedur Penelitian

Langkah-langkah dalam penelitian adalah sebagai berikut ; 1. Tahap Persiapan Penelitian

a. Telaah kompetensi mata pelajaran fisika SMA;

b. Menentukan sekolah yang akan dijadikan tempat penelitian;

c. Mengurus surat izin penelitian dan menghubungi pihak sekolah tempat penelitian akan dilaksanakan;


(33)

wawancara dengan guru dan siswa, dilakukan untuk mengetahui kondisi kelas, kondisi siswa dan pembelajaran yang biasa dilaksanakan;

e. Perumusan masalah penelitian;

f. Studi literatur terhadap jurnal, buku, artikel dan laporan penelitian mengenai implementasi model pembelajaran discovery-inquiry;

g. Telaah kurikulum Fisika SMA dan penentuan materi pembelajaran yang dijadikan materi pembelajaran dalam penelitian. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kompetensi dasar yang hendak dicapai agar pembelajaran yang diterapkan dapat memperoleh hasil akhir sesuai dengan kompetensi dasar yang dijabarkan dalam kurikulum;

h. Menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran dan instrumen penelitian; i. Membuat instrumen penelitian;

j. Menganalisis hasil uji coba instrumen yang meliputi validitas, tingkat kesukaran, daya pembeda dan reliabilitas sehingga layak dipakai untuk tes awal dan tes akhir;

2. Tahap Pelaksanaan

Tahapan pelaksanaan penelitian dimulai dengan :

a. Melakukan uji coba instrumen berupa pre test sebanyak tiga kali sesuai bahasan yang dilakukan setiap seri;

b. Kelas eksperimen tersebut dikenakan perlakuan (treatment), yaitu dengan menerapkan model pembelajaran discovery-inquiry untuk tiga kali pertemuan;


(34)

c. Melakukan post test sebanyak tiga kali sesuai bahasan yang dilakukan setiap seri;

d. Membandingkan antara hasil pre-test dan post-test untuk menentukan besar perbedaan yang timbul. Jika sekiranya perbedaan itu ada, maka perbedaan itu tidak lain disebabkan oleh pengaruh dari perlakuan (treatment) yang diberikan;

3. Tahap Akhir

a. Mengolah data hasil penelitian;

b. Melakukan pembahasan hasil penelitian;

c. Melakukan penarikan kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh;

d. Menyampaikan laporan hasil penelitian.


(35)

E.Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah (Arikunto, 2006 : 160). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tes prestasi belajar dan keterampilan berpikir kritis, lembar observasi dan kuesioner/angket.

1. Tes prestasi belajar dan keterampilan berpikir kritis

Gambar 3.1 Alur Penelitian

Telaah kurikulum

Studi pendahuluan

Studi literatur

masalah

Penyusunan model pembelajaran discovery-inquiry

Pembuatan instrumen

Uji coba instrumen

Pre-test T1 Pembelajaran dengan menggunakan model

pembelajaran discovery-inquiry

Postes T2

Analisis data penelitian

Pembahasan hasil penelitian


(36)

Tes ini dilakukan untuk mengumpulkan data mengenai peningkatan prestasi belajar dan keterampilan berpikir kritis setelah pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran discovery-inquiry. Tes yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pre-test dan post-test, tes ini dikonstruksi dalam bentuk pilihan ganda dan uraian atau esai. Butir-butir soal dalam tes penguasaan konsep mencakup ranah kognitif yaitu C1, C2, C3 dan C4. Instrumen tes yang akan digunakan, terlebih dahulu dilakukan pertimbangan (judgement). Setelah itu dilakukan uji coba dan hasilnya dianalisis.

Langkah-langkah yang ditempuh dalam penyusunan tes adalah sebagai berikut.

a. Menentukan konsep dan subkonsep berdasarkan Kurikulum KTSP SMA mata pelajaran Fisika;

b. Membuat kisi-kisi soal berdasarkan Kurikulum KTSP mata pelajaran Fisika SMA kelas XI semester 1 materi pokok Usaha dan Energi;

c. Menulis soal tes berdasarkan kisi-kisi dan membuat kunci jawaban; d. Instrumen yang telah dibuat kemudian dikonsultasikan kepada dosen

pembimbing, dan merevisi soal berdasarkan saran perbaikan dari pembimbing 1 dan pembimbing 2 kemudian meminta pertimbangan (judgement) kepada dua orang dosen dan satu orang guru bidang studi terhadap instrumen penelitian;

e. Melakukan uji coba instrumen penelitian terhadap siswa di sekolah lain, tetapi masih berada dalam satu cluster;


(37)

f. Melakukan analisis berupa uji validitas, daya pembeda, tingkat kesukaran dan uji reliabilitas soal kemudian merevisi kembali soal instrumen dengan bimbingan dari dosen pembimbing.

2. Lembar Observasi

Lembar observasi digunakan untuk mengukur aktivitas yang terjadi dalam proses pembelajaran, dalam hal ini aktivitas yang diukur adalah aktivitas keterlaksanaan model pembelajaran discovery-inquiry.

F. Uji Coba Instrumen

Analisis instrumen penelitian dilakukan untuk mengetahui baik buruknya suatu perangkat tes yang terdiri dari uji validitas, uji reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda.

a. Analisis Validitas Instrumen Ujicoba

Menurut Arikunto (2006:168) validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat. Nilai validitas dapat ditentukan dengan menentukan koefisien korelasi product moment dengan angka kasar. Validitas soal dapat dihitung dengan menggunakan perumusan :

∑ ∑ ∑

∑ ∑ ∑ ∑

Keterangan :

rxy= koefisien korelasi antara variable X dan variable Y, dua variabel yang dikorelasikan


(38)

Tabel 3.2

Klasifikasi Validitas Butir Soal

b. Analisis Reliabilitas Instrumen Ujicoba

Reliabilitas adalah kestabilan skor yang diperoleh orang yang sama ketika diuji ulang dengan tes yang sama pada situasi yang berbeda atau dari satu pengukuran ke pengukuran lainnya. Nilai reliabilitas dapat ditentukan dengan menentukan koefisien reliabilitas. Teknik yang digunakan untuk menentukan reliabilitas tes adalah dengan menggunakan metoda rumus Hyot. Reliabilitas tes dapat dihitung dengan menggunakan perumusan:

1

atau Keterangan :

r11 = reliabilitas secara keseluruhan Vr = Varians Responden

Vs = Varians Sisa

Untuk Mencari reliabilitas suatu soal dilakukan dengan langkah-langkah sebagi berikut:

Nilai rxy Kriteria

1,00 Sempurna

0,80-1,00 Sangat Tinggi 0,60-0,80 Tinggi

0,40-0,60 Cukup

0,20-0,40 Rendah 0,00-0,20 Sangat Rendah


(39)

Langkah 1. Mencari jumlah kuadrat responden dengan rumus :

∑ 2 ∑ 2

Keterangan :

Jk(r) = Jumlah kuadrat responden Xt = Skor total tiap responden k = banyaknya item

N = banyaknya responden/ subyek

Langkah 2. Mencari jumlah kuadrat item dengan rumus :

∑ 2 ∑ 2

Keterangan :

Jk(i) = Jumlah kuadrat item

∑B2 = Jumlah kuadrat jawab benar seluruh item (Xt)2 = Kuadrat dari jumlah skor total

Langkah 3. Mencari jumlah kuadrat total dengan rumus :

∑ ∑

∑ ∑

Keterangan :

Jk(t) = Jumlah kuadrat total

∑B = Jumlah jawab benar seluruh item

∑S = Jumlah jawab salah seluruh item Langkah 4. Mencari jumlah kuadrat sisa, dengan rumus:


(40)

Langkah 5. Mencari Varians responden dan varians sisa

Dalam mencari varians ini diperlukan d.b (derajat kebebasan) dari masing-masing sumber varians kemudian d.b ini digunakan sebagai penyebut terhadap setiap jumlah kuadrat untuk memperoleh variansi.

d.b = banyaknya N setiap sumber variansi dikurangi 1 variansi = jumlah kuadrat / d.b

Langkah 6. Memasukan kedalam rumus r11

Interpretasi nilai koefisien Korelasi dapat dilihat pada tabel 3.3 dibawah ini.

Tabel 3.3

Interpretasi Reliabilitas

Koefisien Korelasi KriteriaReliabilitas

0,81 ≤ r ≤ 1,00 Sangat tinggi 0,61 ≤ r ≤ 0,80 Tinggi 0,41 ≤ r ≤ 0,60 Cukup 0,21 ≤ r ≤ 0,40 Rendah 0,00 ≤ r ≤ 0,20 Sangat rendah

(Arikunto, 2008:75) c. Analisis Tingkat Kesukaran Butir Soal

Tingkat kesukaran suatu butir soal adalah bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya suatu soal (Arikunto, 1999: 207). Tingkat kesukaran dihitung dengan menggunakan persamaan :

Keterangan :

P = Tingkat Kesukaran atau Taraf Kemudahan JS

B P=


(41)

B = Banyaknya siswa yang menjawab soal itu dengan benar JS = Jumlah seluruh siswa peserta tes

Tabel 3.4

Interpretasi Tingkat Kesukaran (TK) Butir Soal Nilai TK Tingkat Kesukaran

0,00 – 0,30 Sukar 0,31 – 0,70 Sedang

0,71 – 1,00 Mudah

(Arikunto, 2008:210)

d. Analisis Daya Pembeda Butir Soal

Daya pembeda butir soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang tidak pandai (berkemampuan rendah) ( Arikunto, 2003: 211). Daya pembeda butir soal dihitung dengan menggunakan perumusan:

Keterangan :

D = Daya pembeda butir soal

A

J = Banyaknya peserta kelompok atas

B

J = Banyaknya peserta kelompok bawah

A

B = Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal itu dengan benar

B A B B A

A

P

P

J

B

J

B


(42)

B

B = Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal itu dengan benar

A

P = Proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar

B

P = Proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar Tabel 3.5

Interpretasi Daya Pembeda(DP) Butir Soal

(Arikunto, 2008:212)

G.Data dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif.

1. Data Kuantitatif

Data kuantitatif yang diperoleh dari penelitian ini adalah skor tes siswa dan respon siswa. Skor tes terdiri dari skor tes awal dan tes akhir. Tes ini yaitu tes untuk mengetahui penguasaan konsep. Sedangkan respon siswa diperoleh melalui angket. Hasil angket ini akan dinyatakan dalam persentase tanggapan siswa untuk masing-masing pernyataan.

2. Data Kualitatif

Nilai DP Kategori DP

Negatif Soal Dibuang

0,00 – 0,20 Jelek

0,21 – 0,40 Cukup

0,41 – 0,70 Baik


(43)

Data kualitatif dalam penelitian ini meliputi data tentang aktivitas guru selama proses pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran discovery-inquiry. Data ini diperoleh melalui observasi dengan alat pengumpul data berupa lembar observasi keterlaksanaan model pembelajaran discovery-inquiry.

H.Teknik Pengolahan Data

1. Data Skor Tes

Data yang diperoleh untuk mengukur prestasi belajar dan keterampilan berpikir kritis siswa yang diperoleh dari tes awal sebelum pembelajaran dan tes akhir setelah semua pembelajaran dilaksanakan. Hasil-hasil tes penguasaan konsep, akan dilakukan dengan langkah-langkah berikut:

a. Pedoman penskoran

Pemberian skor untuk pilihan ganda dihitung dengan metode Right Only menggunakan rumus berikut: S = R

dengan : S = Skor siswa

R = Jawaban siswa yang benar

Pemberikan skor untuk uraian (essay) dihitung berdasarkan kesesuaian jawaban yang diberikan. Rentang skor yang diberikan antara 0-5.

b. Perhitungan Skor Gain dan Gain yang Dinormalisasi

Skor gain (gain aktual) diperoleh dari selisih skor tes awal dan tes akhir. Perbedaan skor tes awal dan tes akhir ini diasumsikan sebagai efek dari


(44)

treatment (Panggabean, 1996). Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai gain adalah:

f i G =SS Keterangan : G = gain

Sf = skor tes awal Si = skor tes akhir

Keunggulan/tingkat efektivitas pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam meningkatkan prestasi belajar dan keterampilan berpikir kritis, akan ditinjau dari perbandingan nilai gain yang dinormalisasi (normalized gain) yang diperoleh dari penggunaannya. Untuk perhitungan nilai gain yang dinormalisasi dan pengklasifikasiannya akan digunakan persamaan yang dirumuskan oleh R. R. Hake sebagai berikut : (R. R. Hake, 1998)

〈g〉≡ % 〈G〉 / % 〈G〉maks. = ( % 〈Sf〉 - % 〈Si〉 ) / (100 - % 〈Si〉 ) disini : 〈g〉 adalah rata-rata gain yang dinormalisasi dari kedua pendekatan pembelajaran yang merupakan rasio dari gain aktual 〈G〉

terhadap gain maksimum yang mungkin terjadi 〈G〉maks, sedangkan 〈Sf〉 dan 〈Si〉 merupakan rata-rata kelas dari tes akhir dan tes awal. Tinggi rendahnya gain yang dinormalisasi diklasifikasikan seperti pada tabel 3.6.


(45)

Tabel 3.6

Nilai gain dan klasifikasinya

Gain Klasifikasi

〈g〉≥ 0,7 Tinggi 0,7 > 〈g〉≥ 0,3 Sedang

〈g〉 < 0,3 Rendah

(R. R. Hake, 1998)

2. Data Non Tes (observasi)

Format observasi ini berbentuk rating Scale dan membuat kolom ya/tidak, observasi ini dilakukan untuk mengukur keterlaksanaan model pembelajaran discovery inquiry. . Adapun langkah-langkah yang peneliti lakukan untuk mengolah data tersebut adalah sebagai berikut:

Menghitung jumlah jawaban “ya” dan “tidak” yang observer isi pada format observasi keterlaksanaan pembelajaran.

Menghitung persentase keterlaksanaan pembelajaran dengan menggunakan rumus berikut:

observer menjawab ya atau tidak

% Keterlaksanaan Model = 100%

observer seluruhnya ×

Mengkonsultasikan hasil perhitungan persentase ke dalam kategori keterlaksanaan model pembelajaran yaitu sebagai berikut:


(46)

Tabel 3.7

Interpretasi Keterlaksanaan Model Pembelajaran

No Persentase Keterlaksanaan Model (%) Interpretasi

1. 0,0 – 24,5 Sangat Kurang

2. 25,0 – 37,5 Kurang

3. 37,6 – 62,5 Sedang

4. 62,6 – 87,5 Baik

5. 87,6 – 100 Sangat Baik

(Mulyadi dalam Nuh, 2007)

I. Hasil Uji Coba Instrumen

1. Hasil Uji Coba Instrumen Prestasi Belajar

Pengujian instrumen secara empirik dilakukan agar instrumen benar-benar dapat mengukur penguasaan konsep siswa. Sebelum diuji coba, instrumen tersebut di-judegment terlebih dahulu oleh dua orang dosen ahli dan satu guru fisika. Instrumen yang telah judgement kemudian diperbaiki. Setelah di-judgement, kemudian dilakukan uji coba di salah satu sekolah yang dianggap memiliki banyak kesamaan dengan sekolah tempat penelitian dilaksanakan. Data hasil uji coba instrumen tes prestasi belajar kemudian dianalisis untuk mengetahui layak atau tidaknya instrumen tes dipakai dalam penelitian. Lembar judgement untuk masing-masing seri pembelajaran dapat dilihat pada lampiran A,5 dan lampiran A.6.

Adapun analisis data hasil uji coba instrument prestasi belajar meliputi uji validitas, daya pembeda, tingkat kesukaran dan reliabilitas tes. Pengolahan data


(47)

hasil uji coba instrumen untuk tiap seri pembelajaran dapat dilihat pada lampiran D.1.a., lampiran D.1.b dan lampiran D.1.c.

Data hasil ujicoba instrumen penelitian untuk seri I yang telah dianalisis validitas, tingkat kesukaran, dan daya pembedanya dapat dilihat pada tabel 3.8 berikut:

Tabel 3.8

Rekapitulasi Hasil Analisis Uji Coba Instrumen Tes Prestasi Belajar Seri I

Berdasarkan tabel 3.7, tampak bahwa terdapat 4 soal dinyatakan valid dengan kategori rendah, 2 soal kategori cukup, 2 soal kategori tinggi dan 2 No

Soal

Validitas Daya Pembeda (DP) Tingkat Kesukaran

(TK) Keterangan Nilai rxy Kategori Nilai DP Kategori Nilai TK Kategori

1 0.26 Rendah 0.54 Baik 0.67 sedang Direvisi 2 0.36 Rendah 0.04 Jelek 0.93 Mudah Direvisi

3 0.71 Tinggi 0.38 Cukup 0.18 Sukar Dipakai

4 0.53 Cukup 0.48 Baik 0.23 Sukar Dipakai

5 0.31 Rendah 0.04 Jelek 0.88 Mudah Direvisi

6 0.74 Tinggi 0.38 Cukup 0.19 Sukar Dipakai

7 0.49 Cukup 0.38 Cukup 0.23 Sukar Dipakai

8 0.82 Sangat

tinggi 0.52 Baik 0.25 Sukar Dipakai 9 0.32 Rendah 0.13 Jelek 0.88 Mudah Direvisi 10 0.82 Sangat


(48)

soal dengan kategori sangat tinggi. Berdasarkan daya pembeda terdapat 3 soal kategori jelek, 3 soal kategori cukup, dan 4 soal kategori baik. Berdasarkan tingkat kesukaran terdapat 3 soal kategori mudah, 1 kategori sedang, dan 6 soal kategori sukar.

Dari hasil analisis uji instrumen tes seri I terdapat 6 soal instrumen yang sudah tentu digunakan sebagai instrumen penelitian, namun juga terdapat 4 soal instrumen yang direvisi. Setelah direvisi maka 4 soal instrumen tersebut baru bisa dijadikan sebagai instrumen penelitian. Penghitungan validitas, daya pembeda, tingkat kesukaran dan reliabilitas tes seri I selengkapnya dapat dilihat pada lampiran C.1.

Data hasil ujicoba instrumen penelitian seri II dapat dilihat pada tabel 3.9 berikut:

Tabel 3.9

Rekapitulasi Analisis Uji Coba Instrumen Tes Prestasi Belajar Seri II

No Soal

Validitas Daya Pembeda (DP)

Tingkat Kesukaran (TK)

Keterangan Nilai rxy Kategori Nilai

DP Kategori Nilai TK Kategori

1 0.61 Tinggi 0.14 Jelek 0.93 Mudah Dipakai

2 0.37 Rendah 0.18 Jelek 0.77 Mudah Direvisi

3 0.48 Cukup 0.58 Baik 0.42 Sedang Dipakai

4 0.49 Cukup 0.27 Cukup 0.77 Mudah Dipakai

5 0.44 Cukup 0.53 Baik 0.49 Sedang Dipakai

6 0.52 Cukup 0.09 Jelek 0.95 Mudah Dipakai

7 0.36 Rendah 0.05 Jelek 0.12 Sukar Direvisi

8 0.5 Cukup 0.14 Jelek 0.93 Mudah Dipakai

9 0.49 Cukup 0.18 Jelek 0.86 Mudah Dipakai


(49)

Berdasarkan tabel 3.8 di atas, dapat dilihat bahwa terdapat 3 soal dinyatakan valid dengan kategori rendah, 6 soal kategori cukup, dan 1 soal kategori tinggi. Berdasarkan daya pembeda terdapat 7 soal kategori jelek, 2 soal kategori cukup, dan 1 soal kategori baik. Berdasarkan tingkat kesukaran terdapat 6 soal kategori mudah, 3 soal kategori sedang dan 1 soal kategori sukar.

Dari hasil analisis uji instrumen tes seri II di atas terdapat 7 soal instrumen yang sudah tentu digunakan sebagai instrumen penelitian dan 3 soal instrumen yang direvisi. Setelah direvisi maka 3 soal instrumen tersebut baru bisa dijadikan sebagai instrumen penelitian. Penghitungan validitas, daya pembeda, tingkat kesukaran dan reliabilitas tes seri II selengkapnya dapat dilihat pada lampiran C.2.

Data hasil ujicoba instrumen penelitian seri III dapat dilihat pada tabel 3.10 berikut:

Tabel 3.10

Rekapitulasi Analisis Uji Coba Instrumen Tes Prestasi Belajar Seri III

No Soal

Validitas Daya Pembeda (DP)

Tingkat Kesukaran (TK)

Keterangan Nilai rxy Kategori

Nilai

DP Kategori

Nilai

TK Kategori

1 0.67 Tinggi 0.52 Baik 0.25 Sukar Dipakai 2 0.52 Cukup 0.05 Jelek 0.02 Sukar Dipakai 3 0.53 Cukup 0.29 Cukup 0.23 Sukar Dipakai 4 0.55 Cukup 0 Jelek 0.72 Mudah Dipakai 5 0.69 Tinggi 0.09 Jelek 0.05 Sukar Dipakai 6 0.63 Tinggi 0 Jelek 0.23 Sukar Dipakai 7 0.39 Rendah 0.29 Cukup 0.12 Sukar Direvisi 8 0.34 Rendah 0.44 Baik 0.53 Sedang Direvisi


(50)

9 0.49 Cukup 0.05 Jelek 0.02 Sukar Dipakai 10 0.49 Cukup 0.05 Jelek 0.02 Sukar Dipakai

Berdasarkan tabel 3.9, dari hasil analisis tingkat validitas tampak bahwa terdapat 2 soal Valid dengan kategori rendah, 5 soal kategori cukup, dan 3 soal kategori tinggi. Berdasarkan daya pembeda terdapat 6 soal kategori jelek, 2 soal kategori cukup, dan 2 soal kategori baik. Berdasarkan tingkat kesukaran terdapat 1 soal kategori mudah, 8 Soal kategori sukar dan 1 soal kategori sedang.

Dari hasil analisis uji instrumen tes seri III di atas terdapat 8 soal instrumen yang sudah tentu digunakan sebagai instrumen penelitian dan 2 soal instrumen yang direvisi. Setelah direvisi maka 2 soal instrumen tersebut baru bisa dijadikan sebagai instrumen penelitian. Penghitungan validitas, daya pembeda, tingkat kesukaran dan reliabilitas tes seri III selengkapnya dapat dilihat pada lampiran C.3.

Adapun untuk nilai koefisien reliabilitas instrumen pada setiap seri, ditunjukkan sebagai berikut:

Tabel 3.11

Analisis Reliabilitas Instrumen Prestasi belajar Seri I, Seri II, dan Seri III

Reliabilitas Instrumen r11 Kriteria

Seri I 0.71 Tinggi

Seri II 0.45 Cukup


(51)

Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa semua instrumen dinyatakan reliabel dengan kriteria tinggi untuk seri I, dan kriteria cukup untuk seri II dan seri III.

2. Hasil Uji Coba Instrumen Keterampilan Berpikir Kritis

Analisis data hasil uji coba instrument keterampilan berpikir kritis Siswa meliputi uji validitas, tingkat kesukaran dan reliabilitas tes. Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai reliabilitas instrument sebesar 0,9 dengan kategori sangat tinggi.

Tabel 3.12 Analisis Validitas dan Tingkat Kesukaran Instrumen Keterampilan berpikir Kritis

Seri No Soal rxy Validitas Tingkat Kesukaran (TK) Kategori

1

1 0,69 Tinggi 0,6 Sedang

2 0,21 Rendah 0,28 Sukar

3 0,29 Rendah 0,14 Sukar

4 0,29 Rendah 0,09 Sukar

5 0,53 cukup 0,14 Sukar

2

6 0,43 Cukup 0,1 Sukar

7 0,55 cukup 0,14 Sukar

8 0,52 Cukup 0,17 Sukar

9 0,55 Cukup 0,29 Sukar

10 0,66 Tinggi 0,31 Sedang

3

11 0,38 Rendah 0,07 Sukar


(52)

Dari analisis hasil uji coba instrument keterampilan berpikir kritis, terdapat 4 soal yang memiliki validitas yang rendah sehingga instrument tersebut harus direvisi kembali sebelum digunakan dalam penelitian.

13 0,62 Tinggi 0,11 Sukar

14 0,49 Cukup 0,19 Sukar


(53)

53

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian mengenai penerapan model pembelajaran Discovery-Inquiry untuk meningkatkan prestasi belajar pada ranah kognitif dan keterampilan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fisika dilakukan dengan melakukan tes awal (pretest). Pada pertemuan selanjutnya dilaksanakan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Discovery-Inquiry selama tiga kali pertemuan. Kemudian dilaksanakan tes akhir (posttest) untuk mengetahui kemampuan siswa setelah diberi perlakuan (treatment) yang dilaksanakan setiap pembelajaran selesai .

Materi pelajaran yang dijadikan topik pembelajaran pada pertemuan ke-1 yaitu mengenai Usaha dalam Fisika dan Energi potensial. Untuk materi pelajaran yang dijadikan topik pembelajaran pada pertemuan ke-2 yaitu mengenai Energi Kinetik dan Daya, dan pada pertemuan ke-3 materi pelajaran yang dijadikan topik pembelajaran adalah hukum kekekalan energi mekanik dan penerapannya. Proses pembelajaran dilakukan berdasarkan RPP dan skenario pembelajaran yang telah dibuat sebagaimana terlampir pada lampiran A.1.

Berikut adalah jadwal penelitian yang dilakukan di kelas XI IPA-2 di salah satu SMA swasta di kota Bandung:


(54)

Tabel 4.1 Jadwal Penelitian

Waktu Tempat Materi

Kamis, 11 November 2010

Ruang kelas Usaha, Energi potensial gravitasi

Senin, 15 November 2010

Ruang kelas Energi kinetik, Daya Senin, 22 November

2010

Ruang kelas Hukum kekekalan energi mekanik dan penerapannya

B. Hasil Penelitian

1. Keterlaksanaan Model Pembelajaran Discovery-Inquiry

Keterlaksanaan model pembelajaran Discovery-Inquiry di kelas dilakukan melalui pengamatan observer dengan menggunakan lembar observasi aktivitas guru dan siswa. Untuk format lembar observasi aktivitas guru dan siswa ini tidak diujicobakan, tetapi dikoordinasikan kepada observer yang mengikuti proses penelitian agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap format observasi tersebut. Lembar observasi yang diisi oleh observer menunjukkan sejauh mana keterlaksanaan dari penerapan model pembelajaran Discovery-Inquiry di kelas. Hasil observasi keterlaksanaan model pembelajaran Discovery-Inquiry dapat dilihat melalui tabel rekapitulasi persentase keterlaksanaan model pembelajaran oleh guru yang ditunjukan pada tabel 4.2 dan tabel rekapitulasi persentase keterlaksanaan model pembelajaran oleh siswa yang ditunjukan pada tabel 4.3.


(55)

Tabel 4.2

Rekapitulasi Persentase Keterlaksanaan Model Pembelajaran oleh Guru

Pertemuan Ke-

Persentase Keterlaksanaan

(%) Interpretasi

Ya Tidak

1 90,00 10,00 Sangat Baik

2 100,00 0,00 Sangat Baik

3 94,15 5,85 Sangat Baik

Berdasarkan tabel 4.2 di atas, dapat dilihat bahwa persentase keterlaksanaan model pembelajaran oleh guru mencapai 90% untuk pertemuan ke-1 dan mengalami peningkatan pada pertemuan ke-2 yaitu sebesar 100%. Akan tetapi pada pertemuan ke-3 mengalami penurunan kembali yaitu sebesar 94,15%. Hal ini disebabkan karena pertemuan ke-3 dilaksanakan di jam pelajaran terakhir dan mata pelajaran sebelumnya adalah mata pelajaran olahraga sehingga siswa membutuhkan waktu istirahat yang lebih banyak. Akan tetapi dari ketiga pertemuan tersebut, keterlaksanaan model pembelajaran berada pada predikat sangat baik. Hal ini berarti proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Discovery-Inquiry berjalan dengan baik dan sesuai dengan tahapan-tahapan yang harus dilakukan.

Tabel 4.3

Rekapitulasi Persentase Keterlaksanaan Model Pembelajaran oleh Siswa

Pertemuan Ke-

Persentase Keterlaksanaan

(%) Interpretasi

Ya Tidak

1 89,47 10,53 Sangat Baik

2 96,49 3,51 Sangat Baik


(56)

Sedangkan, berdasarkan tabel 4.3 di atas, persentase keterlaksanaan model pembelajaran oleh siswa masih terdapat sedikit kekurangan ketika kegiatan pembelajaran berlangsung. Hal ini diduga karena belum terbiasanya siswa dengan model pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Oleh karena itu, terlihat pada beberapa aspek dalam lembar observasi aktivitas siswa pada pertemuan pertama ada beberapa siswa masih agak malu dalam bertanya, tidak percaya diri untuk mengungkapkan konsepsi awal, kesulitan dalam kerjasama kelompok, dan masih kebingungan mengerjakan LKS sehingga dalam waktu yang telah ditetapkan siswa belum selesai mengerjakan LKS. Meskipun demikian, secara keseluruhan persentase keterlaksanaan model pembelajaran oleh siswa pun mengalami peningkatan dan termasuk pada kategori sangat baik sehingga secara keseluruhan untuk tahapan-tahapan model pembelajaran Discovery-Inquiry dapat terlaksana dengan baik oleh guru dan siswa.

2. Data Prestasi Belajar Siswa pada Ranah Kognitif

Prestasi belajar siswa pada ranah kognitif diukur dengan menggunakan tes berbentuk pilihan ganda sebanyak 10 soal setiap pertemuan. Tes ini dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum perlakuan (pretest) dan sesudah perlakuan (posttest). Skor rata-rata pretest dan posttest yang diperoleh siswa tercantum pada tabel 4.4 sebagai berikut:


(57)

Tabel 4.4

Rekapitulasi Skor Rata-Rata

Pretest dan Posttest Prestasi Belajar pada Ranah Kognitif

Pertemuan

ke- Tes Xideal Xmin Xmax X G < g >

Kriteria

1 Pretest 10 2 9 4,70

2,24 0,14 Rendah Posttest 10 2 10 6,94

2 Pretest 10 0 9 5,68

2,50 0.18 Rendah Posttest 10 4 10 8,18

3 Pretest 10 0 5 1,8

4,62 0,27 Rendah Posttest 10 0 10 6,42

Tabel 4.5 tersebut menunjukkan bahwa pada pembelajaran ke-1 skor rata-rata yang diperoleh siswa sebelum dilakukan pembelajaran (pretest) adalah 4,70, sedangkan skor rata-rata setelah dilakukan pembelajaran (posttest) adalah 6,94. Selisih rata-rata skor pretest dan posttest dinyatakan dengan nilai gain rata-rata yaitu sebesar 2,24 dengan gain ternormalisasi sebesar 0,14.

Pada pembelajaran ke-2 skor rata-rata yang diperoleh siswa sebelum dilakukan pembelajaran (pretest) adalah 5,68, sedangkan skor rata-rata setelah dilakukan pembelajaran (posttest) adalah 8,18. Selisih rata-rata skor pretest dan posttest dinyatakan dengan nilai gain rata-rata yaitu sebesar 2,50 dengan gain ternormalisasi sebesar 0,18.

Pada pembelajaran ke-3 skor rata-rata yang diperoleh siswa sebelum dilakukan pembelajaran (pretest) adalah 1,80, sedangkan skor rata-rata setelah dilakukan pembelajaran (posttest) adalah 6,42. Selisih rata-rata skor pretest dan posttest dinyatakan dengan nilai gain rata-rata yaitu sebesar 4,62 dengan gain ternormalisasi sebesar 0,27.


(58)

Berdasarkan tabel di atas, Pada pertemuan ke-1 dan pertemuan ke-2, nilai Xmax siswa pada pretest mencapai skor 9 dari skor total 10. Skor ini menunjukan bahwa di kelas tersebut ada siswa yang prestasi belajarnya sudah baik. Hal ini kemungkinan disebabkan karena ada sebagian siswa yang sudah mempelajari pokok bahasan yang diajarkan baik di rumah ataupun di lembaga-lembaga bimbingan belajar. Akan tetapi jika kita lihat rata-rata dari hasil pretest, prestasi belajar siswa masih rendah.

3. Data Keterampilan Berpikir Kritis Siswa

Keterampilan berpikir kritis siswa dinilai menggunakan tes berbentuk esai sebanyak 5 soal untuk setiap pertemuan. Tes ini dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum perlakuan (pretest) dan sesudah perlakuan (posttest). Skor rata-rata pretest dan posttest yang diperoleh siswa tercantum pada tabel 4.5 sebagai berikut:

Tabel 4.5

Rekapitulasi Skor Rata-Rata Pretest dan Posttest Keterampilan Berpikir Kritis

Pertemuan

Ke- Tes Xideal Xmin Xmax X G < g >

Kriteria

1 Pretest 20 0 13 6,26

7,38 0,58 Sedang Posttest 20 5 18 13,52

2 Pretest 20 1 9 5,14

7,70 0,55 Sedang Posttest 20 5 18 12,84

3 Pretest 20 0 10 4,24

10,32 0,69 Sedang Posttest 20 5 20 14,56

Tabel 4.5 tersebut menunjukkan bahwa pada pembelajaran I skor rata-rata yang diperoleh siswa sebelum dilakukan pembelajaran (pretest) adalah 6,26, sedangkan skor rata-rata setelah dilakukan pembelajaran (posttest) adalah 13,52. Selisih rata-rata skor pretest dan posttest dinyatakan dengan


(59)

nilai gain rata-rata yaitu sebesar 7,38 dengan gain yang dirnormalisasi sebesar 0,58.

Pada pembelajaran II skor rata-rata yang diperoleh siswa sebelum dilakukan pembelajaran (pretest) adalah 5,14, sedangkan skor rata-rata setelah dilakukan pembelajaran (posttest) adalah 12,84. Selisih rata-rata skor pretest dan posttest dinyatakan dengan nilai gain rata-rata yaitu sebesar 7,70 dengan gain yang dirnormalisasi sebesar 0,55.

Pada pembelajaran III skor rata-rata yang diperoleh siswa sebelum dilakukan pembelajaran (pretest) adalah 4,24, sedangkan skor rata-rata setelah dilakukan pembelajaran (posttest) adalah 14,56. Selisih rata-rata skor pretest dan posttest dinyatakan dengan nilai gain rata-rata yaitu sebesar 10,32 dengan gain yang dirnormalisasi sebesar 0,69.

C. Pembahasan

1. Data Prestasi Belajar Siswa pada Ranah Kognitif

Berdasarkan data skor pretest dan posttest siswa yang terdapat pada tabel 4.5 diperoleh diagram rata-rata skor pretest dan posttest prestasi belajar siswa pada ranah kognitif pada pembelajaran I, II dan III seperti yang tercantum pada gambar-gambar sebagai berikut:


(1)

68 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di salah satu SMA Swasta di kota Bandung kelas XI IPA semester I mengenai model pembelajaran Discovery-Inquiry terhadap Prestasi belajar dan keterampilan berpikir kritis siswa pada pokok bahasan Usaha dan energi, diperoleh kesimpulan:

1. Hasil skor rata-rata gain ternormalisasi (<g>) untuk tes prestasi belajar siswa pada ranah kognitif pada pembelajaran I sebesar 0,14, pada pembelajaran II sebesar 0,18 dan pada pembelajaran III sebesar 0,27. Rata-rata gain ternormalisasi yang diRata-rata-Rata-ratakan dari setiap pembelajaran adalah sebesar 0,19 yang termasuk kedalam kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa pada ranah kognitif mengalami peningkatan setelah diterapkannya model pembelajaran Discovery-Inquiry. 2. Hasil skor rata-rata gain ternormalisasi (<g>) untuk tes keterampilan berpikir kritis siswa pada pembelajaran I sebesar 0,58, pada pembelajaran II sebesar 0,55 dan pada pembelajaran III sebesar 0,69. Rata-rata gain ternormalisasi yang dirata-ratakan dari setiap pembelajaran adalah sebesar 0,60 yang termasuk kedalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan berpikir kritis siswa mengalami peningkatan setelah diterapkannya model pembelajaran Discovery-Inquiry.


(2)

69

B. Saran

1. Dalam menentukan sampel penelitian sebaiknya, tidak mengambil kelas dengan jumlah siswa yang terlalu banyak karena aktifitas siswa secara individu kurang bisa diperhatikan dan membutuhkan lebih banyak observer;

2. Sebaiknya menggunakan ruang belajar yang cukup besar, tetapi seluruh siswa masih bisa dipantau oleh guru, sehingga siswa akan lebih nyaman untuk bisa mengeksplorasi pembelajaran;

3. Pada saat pembelajaran berlangsung ditemukan masih adanya beberapa kelompok siswa yang masih mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak, terutama dalam menentukan konsep yang akan digunakan dan siswa belum bisa mengefektifkan waktu antara observasi dan pembuatan laporan. Aspek-aspek yang dimaksud merupakan salah satu indikator keterampilan berpikir kritis pada aspek membangun keterampilan dasar. Oleh karena itu, perlu dikembangkan penelitian lebih lanjut dengan desain penelitian yang sama yang mengukur aspek keterampilan membangun keterampilan dasar.


(3)

70

DAFTAR PUSTAKA

A, M. Sadirman, (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Amien, Moh, (1987). Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan menggunakan metode Discovery dan Inquiry, Bagian I. Jakarta : Depdikbud

Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan praktek, Jakarta: Bumi Aksara

Arikunto, Suharsimi. (2006). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi, Cetakan Keenam). Jakarta: bumi Aksara

Arikunto, Suharsimi. (2008). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Bumi Aksara

Asriana, Hera, (2010). Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatakan Keterampilan Berpikir Kritis Dan Prestasi Belajar Siswa SMA. Skripsi Sarjana Pendidikan Fisika. UPI Bandung: tidak diterbitkan. Dahar, R. W, (2006). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga..

Depdiknas. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Mata Pelajaran Fisika SLTA. Jakarta: Badan Penelitian dan Penegmbangan Depdiknas.

Dimyati & Mudjiono, (2006). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta Dimyati, Dini, (2005). Penerapan Model Pembelajaran Discovery-Inquiry Untuk

Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa. Skripsi. UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Duch, B.J, (2001). The Power Of Problem Based Learning. Virginia: Sterling Ennis, R.H, (1985). Goal for a chritical Thinking curriculum. In A.L Costa (ed).

Developing Minds: A resorce book for teacher Thinking. Alexandria : A SCD, 55-56


(4)

71

Fitri, Nurhayati, (2002). Pengembangan Kemampuan Penalaran Dan Komunikasi Matematika Siswa SLTP Melalui Aktivitas Bicara, Mendengar, Dan Menulis Matematika. Skripsi. UPI Bandung: Tidak diterbitkan

Fitriani, Nur, (2010). Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Fenomena Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Dan Penguasaan Konsep Siswa. Skripsi. UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Gina, Muhammad, (2008). Penerapan Model Pembelajaran Discovery-Inquiry Untuk Meningkatkan Kecakapan Berpikir Rasional. Skripsi Sarjana Pendidikan Fisika. UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Guntar, A. (2006). Definisi Makalah dan Sasaran dalam Pemecahan Masalah. [online]. Tersedia: www.slideshare.net/.../pemecahan-masalah-pengamilan-keputusan-Amerika Serikat.

Hake. (1998). Interactive-Engagement Versus Traditional Methods: A Six-Thousands-Student Survey of Mechanicecs Testdata for Introductory Physics Courses. Am. J.Phys.65, 64-74.

Hardiansyah, Deni, (2010). Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle 7E Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Dan Penguasaan Konsep Siswa SMA. Skripsi Sarjana Pendidikan Fisika. UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Hassoubah, Z.I, (2004). Developing Creative and Critical Thinking (Cara Berpikir Kreatif dan Kritis). Bandung: Nuansa.

Indrawati, (1999). Keterampilan Proses Sains IPA. Bandung: Depdikbud Dikdasmen PPPG IPA.

Ishaq, Mohamad, (2006). Fisika Dasar. Yogyakarta: Graha Ilmu

Kurniawan, Agus, (2010). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) Dalam Pembelajaran Fisika Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Dan Hasil Belajar Siswa SMA. Skripsi Sarjana Pendidikan Fisika. UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Munaf, Syambasri, (2001). Evaluasi Pendidikan Fisika. Bandung: Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI.

Mustika, Ika, (2006). Implementasi model Pembelajaran Problem Based Learning Instruction pada Pokok Bahasan Pembiasan Cahaya. Skripsi Sarjana Pendidikan Fisika. UPI Bandung: Tidak diterbitkan.


(5)

Panggabean, L. (1996). Penelitian Pendidikan. Bandung: Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI.

Ruseffendi, E.T. (1998). Statstika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung : IKIP Bandung Press.

Ruseffendi, E.T. (2003). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang non-Eksakta Lainnya. Semarang: CV. IKIP Semarang Press

Sanjaya, Wina, (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Pendidikan. Jakarta: Kencana

Sayuti, Ahmad Jamaludin, (2009). KTI Prestasi Bindo SMP. [Online]. Tersedia http://nusantaralink.blogspot.com. [11 April 2009].

Sidharta, (2007). Keterampilan berpikir Kompleks dan implementasinya Dalam Pembelajaran IPA. Bandung: Depdiknas

Sudirman, (1992).Ilmu Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito

Sugiyono, Prof, Dr, (2009). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatiaf Dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sunartombs, (2009). Pengertian: Prestasi Belajar. [Online]. Tersedia http://sunartombs.wordpress.com/2009/01/05/penegrtian-prestasi-belajar/ [11 April 2009].

Surapranata, Sumarna, (2005). Panduan Penulisan Tes Tertulis Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Suriadi, (2005). Pembelajaran Dengan Pendekatan Discovery Yang Menenkankan Aspek Analogi Untuk Meningkatkan Pemahaman Dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMA. Tesis pada SPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Taurina, Reni, (2010). Penerapan model Pembelajaran berbasis Inkuiri dalam Pembelajran Fisika untuk meningkatkan Prestasi Belajar Siswa. Skripsi Sarjana Pendidikan Fisika. UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Wartono, (1996). Pengembangan Model Pembelajaran Inkuiri akrab lingkungan untuk mengembangkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Meningkatkan


(6)

73

Prestasi Belajar siswa dalam bidang Sains SD. Tesis Pada PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Wartono, (2003). Individual Text Book : Pengembangan Pengajaran Fisika. Malang: Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang. Winkel, (1996). Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT. Gramedia

Winkel, W.S, (1983). Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: PT. Gramedia


Dokumen yang terkait

Pengaruh model pembelajaran Inquiry Training terhadap keterampilan berpikir kritis siswa pada konsep Kalor

0 19 0

PERBANDINGAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN SIKLUS BELAJAR EMPIRIS INDUKTIF DENGAN PEMBELAJARAN MODIFIED FREE DISCOVERY-INQUIRY

0 7 50

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY DALAM PEMBELAJARAN IPA TERPADU UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SMP.

4 16 42

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI ABDUKTIF UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS DAN PENGUASAAN KONSEP SISWA SMA PADA MATERI DINAMIKA.

0 4 36

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KREATIF DAN PRODUKTIF DALAM PEMBELAJARAN FISIKA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR SISWA SMA.

0 0 36

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INVESTIGASI KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA.

0 0 47

Penerapan Model Eksperimen Open Inquiry Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Calon Guru Fisika.

0 0 1

DEFRAGMENTING BERPIKIR PSEUDO SISWA DALA

0 0 21

PERBANDINGAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN SIKLUS BELAJAR EMPIRIS INDUKTIF DENGAN PEMBELAJARAN MODIFIED FREE DISCOVERY-INQUIRY

0 0 10

Kata kunci : Guided inquiry, metode pembelajaran, berpikir kritis. PENDAHULUAN - PENGAPLIKASIAN MODEL PEMBELAJARAN GUIDED INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN DAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA SD - Repository Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

0 0 9