Pengaruh model pembelajaran Inquiry Training terhadap keterampilan berpikir kritis siswa pada konsep Kalor

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh: ROSIANA 1110016300017

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2015


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.

Implementasi Kurikulum 2013 bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa dalam sikap, pengetahuan, dan keterampilan, serta berorientasi pada pendekatan saintifik yang menginspirasi siswa untuk berpikir secara kritis. Namun, keterampilan berpikir kritis belum dibiasakan di sekolah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran inquirytraining terhadap keterampilan berpikir kritis siswa pada konsep kalor. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 9 Bekasi tahun ajaran 2014/2015. Metode penelitian ini menggunakan metode eksperimen semu dengan non-equivalent control group

design. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling, di mana

kelas X MIA 3 sebagai kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran

inquiry training dan X MIA 2 sebagai kelas kontrol menggunakan pembelajaran

Kurikulum 2013. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan tes keterampilan berpikir kritis dalam bentuk tes subjektif (esai) dan non-tes berupa lembar observasi keterlaksanaan model pembelajaran inquiry training. Instrumen tes dianalisis dengan uji t-pasangan, sedangkan instrumen non-tes dianalisis secara kualitatif dan dikonversi ke dalam bentuk kuantitatif. Berdasarkan analisis data, hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran

inquiry training terhadap keterampilan berpikir kritis siswa pada konsep kalor, di

mana thitung = 12,59 dan ttabel pada taraf signifikan 5% (n = 39) sebesar 2,02. Nilai

thitung > ttabel sehingga H0 ditolak. Rata-rata nilai kelas eksperimen lebih tinggi

dibandingkan dengan kelas kontrol. Dengan demikian, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran inquiry training dapat mempengaruhi dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa, khususnya pada indikator dalam menjelaskan bentuk definisi berupa operasional (persamaan).

Kata Kunci: model pembelajaran inquiry training, pembelajaran kurikulum 2013, keterampilan berpikir kritis, konsep kalor


(6)

v

Education Program, Science Education Departement, Faculty of Tarbiya and Teaching Sciences, State Islamic University of Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.

Implementation of Curriculum 2013 is purposed to develop potentials of students in attitude, knowledge, and skill, to be oriented on scientific approach that inspires students think critically. But, critical thinking skill is not yet habituated in schools. The aim of this research was to know the influence of inquiry training learning model to critical thinking skill of students on heat concept. This research was carried out at SMA Negeri 9 Bekasi year 2014/2015. The method of this research used quasi-experiment with non-equivalent control group design. The technique of sampling used purposive sampling, where class of X MIA 3 as experiment group used inquiry training learning model and X MIA 2 as control group used Curriculum 2013 learning. Instruments in this research used test of critical thinking skill in type of subjective test (essay) and non-test in type of observation checklist of inquiry training learning model implementation. Instrument of test was analyzed by t-paired test, whereas non-test was analyzed qualitatively and been converted into quantitative form. Based on data analysis, the results of research showed that there was an influence of inquiry training

learning model to critical thinking skill of students on heat concept, where ttest =

12,59 and ttabel in significance level 5% (n = 39) was 2,02. Value of ttest > ttabel so

H0 was rejected. Average of experiment group was higher than average of control group. Finally, this research could be conclude that inquiry training model could influence and improve critical thinking skill of students, especially in indicator of describing definition form such as operational (formulation).

Keyword: inquiry training learning models, curriculum 2013 learning,


(7)

vi

Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Inquiry Training Terhadap Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Pada Konsep Kalor” sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd). Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita, baginda pejuang Islam Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari jaman kebodohan menuju jaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Begitu juga kepada seluruh keluarganya, para sahabatnya, serta pengikut ajarannya yang setia hingga akhir jaman.

Penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini melibatkan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Baiq Hana Susanti, M.Sc., selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Iwan Permana Suwarna, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Fisika.

4. Diah Mulhayatiah, M.Pd., selaku pembimbing I yang telah membimbing, memberikan arahan, saran-saran yang bermanfaat, serta nasehat bagi penulis dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini.

5. Devi Solehat, M.Pd., selaku pembimbing II yang telah membimbing, memberikan arahan, saran-saran yang bermanfaat, serta nasehat bagi penulis dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini.

6. Dra. Hj. Etty Kusmiaty, MM., selaku Kepala SMA Negeri 9 Bekasi yang telah memberikan kesempatan untuk penulis melaksanakan penelitian skripsi ini.


(8)

vii

8. Kusrini, M.Pd., beserta seluruh guru dan staf SMA Negeri 9 Bekasi yang telah bersedia memberikan arahan dan dukungan kepada penulis di dalam pelaksanaan penelitian skripsi ini.

9. Seluruh siswa-siswi SMA Negeri 9 Bekasi, terutama kelas X MIA 3 dan X MIA 2, yang telah bekerjasama dan membantu penulis di dalam pelaksanaan penelitian skripsi ini.

10. Teman-teman Pendidikan Fisika 2010 seperjuangan: Nur, Enong, Dewi, Asria, Ike, dll., yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan pemikirannya.

11. Secara khusus, penulis juga menyampaikan banyak terimakasih pada kedua orangtua tercinta, yaitu Ayahanda Roin Abdullah dan Ibunda Eroh, yang senantiasa mengiringi langkah penulis dengan untaian doa, pengorbanan, serta dukungan motovasi dan materi dengan penuh keikhlasan dan harapan. 12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, mudah-mudahan

bantuan, bimbingan, semangat doa yang telah diberikan menjadi pintu datangnya ridha dan kasih sayang Allah SWT di dunia dan di akhirat kelak.

Penulis menyadari bahwa penelitian skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, secara terbuka penulis menerima setiap kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai pijakan penulis ke depan menjadi lebih baik dari sekarang. Walaupun demikian, penulis tetap berharap semoga penelitian skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Jakarta, Maret 2015


(9)

viii

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI……… iii

ABSTRAK……… iv

ABSTRACK……… v

KATA PENGANTAR……… vi

DAFTAR ISI……… viii

DAFTAR GAMBAR……… x

DAFTAR TABEL……… xi

DAFTAR LAMPIRAN……… xii

BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Identifikasi Masalah……… 4

C. Pembatasan Masalah……… 4

D. Perumusan Masalah……… 4

E. Tujuan Penelitian……… 5

F. Manfaat Penelitian……… 5

BAB II KAJIAN TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS PENELITIAN……… 6

A. Kajian Teoritis……… 6

1. Model Pembelajaran InquiryTraining……… 6

2. Keterampilan Berpikir Kritis……… 15

3. Konsep Kalor……… 22

B. Hasil Penelitian yang Relevan……… 30

C. Kerangka Berpikir……… 31


(10)

ix

C. Populasi dan Sampel Penelitian……… 35

D. Teknik Pengambilan Sampel……… 35

E. Variabel Penelitian……… 35

F. Prosedur Penelitian……… 35

G. Teknik Pengumpulan Data……… 38

H. Instrumen Penelitian……… 38

I. Kalibrasi Instrumen Penelitian……… 38

J. Teknik Analisis Data……… 42

K. Hipotesis Statistik……… 44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 45

A. Hasil Penelitian……… 45

B. Pembahasan Hasil Penelitian……… 56

BAB V PENUTUP……… 64

A. Kesimpulan……… 64

B. Saran……… 64

DAFTAR PUSTAKA……… 66 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

x

Gambar 2.3 Konveksi paksa pada sistem pendingin mobil……… 28

Gambar 2.4 Bagan kerangka berpikir……… 33

Gambar 3.1 Bagan prosedur penelitian……… 37

Gambar 4.1 Perbandingan pretest dan posttest kelas eksperimen………… 46 Gambar 4.2 Analisis indikator keterampilan berpikir kritis berdasarkan pretest

dan posttest kelas eksperimen……… 47

Gambar 4.3 Perbandingan pretest dan posttest kelas kontrol……… 49 Gambar 4.4 Analisis indikator keterampilan berpikir kritis berdasarkan pretest

dan posttest kelas kontrol……… 50

Gambar 4.5 Histogram persentase keterlaksanaan model pembelajaran inquiry

training……… 51

Gambar 4.6 Analisis perbandingan indikator keterampilan berpikir kritis berdasarkan N-gain kelas eksperimen dan kontrol……… 56


(12)

xi

Tabel 3.2 Hasil uji validitas instrumen……… 39

Tabel 3.3 Hasil uji reliabilitas instrumen……… 40

Tabel 3.4 Hasil uji daya pembeda instrumen……… 41

Tabel 3.5 Hasil uji tingkat kesukaran instrumen……… 42

Tabel 4.1 Hasil uji normalitas pretest dan posttest kelas eksperimen…… 52

Tabel 4.2 Hasil uji normalitas pretest dan posttest kelas kontrol………… 52

Tabel 4.3 Hasil uji homogenitas pretest dan posttest……… 53

Tabel 4.4 Hasil perhitungan uji hipotesis kelas eksperimen……… 54

Tabel 4.5 Hasil perhitungan uji hipotesis kelas kontrol……… 54


(13)

xii Lampiran 3 Lembar Kerja Siswa

Lampiran 4 Lembar observasi keterlaksanaan model pembelajaran inquiry training

Lampiran 5 Kisi-kisi uji coba instrumen tes keterampilan berpikir kritis Lampiran 6 Uji validitas instrumen tes keterampilan berpikir kritis

Lampiran 7 Uji reliabilitas instrumen tes keterampilan berpikir kritis (tipe A dan B)

Lampiran 8 Uji daya pembeda instrumen tes keterampilan berpikir kritis Lampiran 9 Uji tingkat kesukaran instrumen tes keterampilan berpikir kritis Lampiran 10 Rekapitulasi hasil uji coba instrumen tes keterampilan berpikir

kritis

Lampiran 11 Kisi-kisi pretest-posttest instrumen tes keterampilan berpikir kritis Lampiran 12 Instrumen tes keterampilan berpikir kritis

Lampiran 13 Deskripsi data hasil pretest-posttest kelas eksperimen Lampiran 14 Deskripsi data hasil pretest-posttest kelas kontrol

Lampiran 15 Analisis lembar observasi keterlaksanaan model pembelajaran

inquirytraining

Lampiran 16 Uji normalitas perubahan nilai pretest-posttest kelas eksperimen dan kontrol

Lampiran 17 Uji homogenitas pretest dan posttest kelas eksperimen dan kontrol Lampiran 18 Uji t-pasangan pretest-posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol Lampiran 19 Uji N-gainpretest-posttest kelas eksperimen dan kontrol

Lampiran 20 Analisis indikator keterampilan berpikir kritis berdasarkan pretest,


(14)

1 A. Latar Belakang Masalah

Secara prinsip kegiatan pembelajaran merupakan proses pendidikan yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan potensi mereka menjadi kemampuan yang semakin lama semakin meningkat dalam sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan dirinya untuk hidup dan untuk bermasyarakat, berbangsa, serta berkontribusi pada kesejahteraan hidup umat manusia.1

Kurikulum 2013 diimplementasikan untuk mencapai kualitas kegiatan pembelajaran, menggunakan prinsip yang berpusat pada siswa dengan mengembangkan kreativitas siswa, menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang. Hal ini bertujuan agar kegiatan pembelajaran bermuatan nilai, etika, estetika, logika, dan kinestetika, dan menyediakan pengalaman belajar yang beragam.

Oleh karena itu, pada tahun 2013 pemerintah membuat suatu peraturan baru tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah yang terangkum dalam Kurikulum 2013.

2

Bertolak dari tujuan implementasi Kurikulum 2013 ini, maka keterampilan siswa, satu di antaranya dalam berpikir kritis, juga perlu dikembangkan dalam kegiatan pembelajaran fisika. Menurut Rustaman dalam Zulfiani, dkk., fisika merupakan mata pelajaran yang dapat menanamkan dan mengembangkan keterampilan, sikap, dan nilai-nilai ilmiah kepada siswa.

Berdasarkan hal tersebut, maka Kurikulum 2013 diharapkan dapat mengembangkan kompetensi dan kualitas setiap individu, baik dalam sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

3

1

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2013), h.33.

2

Ibid. 3

Zulfiani, Tonih Feronika, dan Kinkin Suartini, Strategi Pembelajaran Sains, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h.46.

Keterampilan berpikir kritis tidak hanya memperhatikan kemampuan proses kognitif, tetapi juga melibatkan sikap dalam disposisi. Hal ini sesuai dengan


(15)

pendapat Ennis dalam Kuswana yang menyatakan bahwa kecenderungan untuk berpikir kritis, yakni esensi dan kepekaan terhadap orang lain.4

Namun, faktanya, kebiasaan berpikir kritis belum ditradisikan di sekolah-sekolah. Seperti yang diungkapkan kritikus Jacqueline dan Brooks pada penelitian Ali Syahbana, sedikit sekolah yang mengajarkan siswanya berpikir kritis. Sekolah justru mendorong siswa memberi jawaban yang benar daripada mendorong mereka memunculkan ide-ide baru atau memikirkan ulang kesimpulan-kesimpulan yang sudah ada.

Jadi, keterampilan berpikir kritis mengarahkan sikap seseorang untuk dapat menghargai pendapat orang lain.

5

Di dalam pembelajaran fisika, berpikir kritis tidak hanya sekedar menerima informasi dari pihak lain, tapi juga melakukan pencarian. Keterampilan berpikir kritis cocok dikembangkan pada materi fisika yang sangat berhubungan dan banyak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, satu di antaranya yaitu kalor. Namun, berdasarkan wawancara dengan beberapa siswa di SMA Negeri 9 Bekasi, diketahui bahwa mereka cukup kesulitan dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk memahami persoalan yang berhubungan dengan materi kalor. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sirait (2009) yang menyatakan bahwa masih Berdasarkan hasil observasi di SMA Negeri 9 Bekasi ditemukan bahwa siswa kurang mampu memberikan penjelasan sederhana tentang suatu masalah, meskipun mereka sudah cukup antusias untuk bertanya atau menjawab pertanyaan. Mereka kurang mampu membangun keterampilan dasar untuk menilai keputusan, khususnya dalam melakukan observasi dan mempertimbangkan hasil observasi. Mereka kurang mampu membuat kesimpulan dari suatu masalah, membuat penjelasan yang lebih lanjut tentang suatu masalah, serta membuat pengandaian dan mengintegrasikan kemampuan dan sikap yang dimilikinya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa keterampilan berpikir kritis siswa-siswi di sekolah tersebut belum dibiasakan secara maksimal.

4

Wowo Sunaryo Kuswana, Taksonomi Kognitif: Perkembangan Berpikir, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), h.199.

5

Ali Syahbana, Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP Melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning, Jurnal Edumatika Vol.2 No.1, 2012, h.46.


(16)

banyak siswa yang mengalami kesalahan konsep sehingga siswa mengalami kesulitan dalam memecahkan persoalan yang berhubungan dengan materi tersebut. Hal ini disebabkan siswa belum dilibatkan secara aktif untuk mencari konsepnya sendiri, di mana mereka hanya belajar menghafalkan teori dan rumus untuk mengerjakan soal-soal latihan, tidak pernah bereksplorasi secara mendalam ataupun melaksanakan eksperimen. Kegiatan pembelajaran fisika masih didominasi oleh pendekatan konvensional melalui metode ceramah. Akibatnya, kegiatan pembelajaran fisika menjadi berpusat pada guru (teacher centered), pasif, serta belum dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam berpikir kritis. Padahal, Kurikulum 2013 sendiri menuntut siswa agar mendapatkan pengalaman belajar melalui pendekatan saintifik, tidak hanya dengan pendekatan konvensional.

Oleh karena itu, maka pembelajaran fisika di sekolah tersebut perlu menggunakan model pembelajaran yang tepat, yaitu model pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan saintifik, serta mampu meningkatkan proses mental, rasa ingin tahu, dan berpikir logis-kritis siswa. Salah satu model yang mampu meningkatkan hal-hal tersebut yaitu model pembelajaran inquiry training. Model pembelajaran ini mengajarkan para siswa untuk memahami proses meneliti dan menerangkan suatu kejadian. Kesadaran siswa terhadap proses inkuiri dapat ditingkatkan sehingga mereka dapat diajarkan prosedur pemecahan masalah secara ilmiah. Selain itu, dapat diajarkan pada siswa bahwa segala pengetahuan itu bersifat sementara. Oleh karena itu, siswa harus disadarkan bahwa pendapat orang lain dapat memperkaya pengetahuan yang dimiliki.6

6

Made Wena, Strategi Pembelajaran inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h.76.

Jadi, penggunaan model pembelajaran inquiry training ini diharapkan mampu meningkatkan keterampilan siswa dalam berpikir kritis.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran Inquiry Training terhadap Keterampilan Berpikir Kritis Siswa pada Konsep Kalor.”


(17)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Kebiasaan berpikir kritis belum ditradisikan secara maksimal di sekolah. 2. Siswa-siswi SMA Negeri 9 Bekasi rata-rata belum dibiasakan berpikir secara

kritis dalam pembelajaran fisika.

3. Banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam memecahkan persoalan yang berhubungan dengan materi kalor.

4. Siswa belum dilibatkan secara aktif untuk mencari konsepnya sendiri karena kegiatan pembelajaran masih didominasi oleh pendekatan konvensional.

C. Pembatasan Masalah

Semua permasalahan yang diuraikan di atas tidak mungkin untuk diteliti karena keterbatasan penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini perlu dilakukan pembatasan masalah, yaitu keterampilan berpikir kritis siswa dinilai berdasarkan indikator keterampilan berpikir kritis Ennis berupa mengidentifikasi atau merumuskan kriteria untuk menilai kemungkinan jawaban; Menilai kredibilitas sumber berdasarkan keahlian; membuat generalisasi; mengutamakan penerapan prinsip-prinsip yang dapat diterima; menjelaskan bentuk definisi; menuliskan asumsi yang dibutuhkan; mempertimbangkan dan memberikan alasan dengan membuat pengandaian posisi (kondisi); serta mengintegrasikan keterampilan berpikir kritis dalam membuat dan mempertahankan keputusan.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apakah terdapat pengaruh model pembelajaran inquiry training terhadap keterampilan berpikir kritis siswa pada konsep kalor?

2. Bagaimana peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa melalui model pembelajaran inquirytraining?


(18)

3. Bagaimana peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa melalui model pembelajaran inquiry training berdasarkan indikatornya?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran inquiry training terhadap keterampilan berpikir kritis siswa pada konsep kalor, mengetahui peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa melalui model pembelajaran inquiry training, serta mengetahui sejauh mana penguasaan keterampilan berpikir kritis siswa berdasarkan indikatornya melalui model pembelajaran inquirytraining.

F. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti, siswa, dan guru. Adapun manfaat penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagi peneliti, penelitian ini memberikan informasi tentang pengaruh model pembelajaran inquiry training terhadap keterampilan berpikir kritis siswa. 2. Bagi siswa, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan

berpikir kritis siswa, serta meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. 3. Bagi guru, penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif model


(19)

6 A. Kajian Teoritis

1. Model Pembelajaran InquiryTraining a. Pengertian Pembelajaran Inkuiri

Pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.1

Inkuiri yang dalam bahasa Inggris inquiry, berarti pertanyaan, atau pemeriksaan, penyelidikan. Inkuiri sebagai suatu proses umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi.

Dengan demikian, jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan dapat dicari dan ditemukan sendiri oleh siswa melalui kegiatan pembelajaran inkuiri yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis.

2

Dalam inkuiri, seseorang bertindak sebagai seorang ilmuwan (scientist), melakukan eksperimen, dan mampu melakukan proses mental berinkuiri.

Dengan demikian, dalam mencari atau memahami informasi, manusia akan melakukan suatu proses yang dinamakan dengan proses inkuiri.

3

Rutherford dan Ahlgren dalam Zulfiani, dkk., menyatakan pengertian

scientific inquiry (inkuiri ilmiah) tidak begitu saja diambil dari konteks penyelidikan tertentu. Namun, inkuiri ilmiah lebih tepat dikaitkan dengan tahapan-tahapan tindakan para saintis yang mengarahkan mereka pada

Jadi, kemampuan-kemampuan dasar yang dimiliki oleh seorang ilmuwan harus digunakan oleh seorang siswa dalam melaksanakan pembelajaran inkuiri.

1

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2006), h.196.

2

Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana, 2013), cet.6, h.166.

3


(20)

pengetahuan ilmiah.4

Dalam kegiatan ilmiah, para saintis melakukan pengamatan, menemukan masalah, melakukan hipotesis, bereksperimen, mengumpulkan data berdasarkan instrumen yang dibuatnya, dan membuat kesimpulan. Tahapan-tahapan ini sering disebut metode ilmiah. Sementara itu, proses inkuiri menekankan pada pengembangan pertanyaan pada setiap tahap dari metode ilmiah.

Dengan demikian, kemampuan inkuiri ilmiah dapat dilatih pada setiap orang dari segala sesuatu yang menarik dalam kehidupannya sehari-hari walaupun inkuiri ilmiah seolah-olah dikaitkan dengan sebagian tindakan saintis profesional.

5

Melalui rangkaian kegiatan ini, para saintis dapat menemukan teori baru yang menjadi pengetahuan baru. Metode ilmiah memberikan struktur sistematis untuk pemprosesan informasi inkuiri yang menempatkan guru dan siswa dalam pola informasi ilmuwan.

Jadi, pengembangan pertanyaan dari metode ilmiah ditekankan dalam bentuk proses inkuiri di mana metode ilmiah itu sendiri biasa dilakukan oleh para saintis.

6

Keller dalam Zulfiani, dkk., menyatakan bahwa adanya hubungan

inquiry dengan inquired. Bila dikaitkan dengan proses belajar mengajar maka

inquiry mengacu pada siswa sebagai penemu pengetahuan dan inquired mengacu pada apa yang akan ditemukan (pengetahuan).

Dengan demikian, struktur sistematis yang dilakukan oleh para saintis dapat diberikan dalam pemrosesan informasi inkuiri pada guru dan siswa yang ditempatkan seperti dalam pola informasi ilmuwan dalam bentuk metode ilmiah sehingga teori baru yang menjadi pengetahuan baru dapat ditemukan.

7

4

Zulfiani, Tonih Feronika, dan Kinkin Suartini, Strategi Pembelajaran Sains, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h.120.

5

Ibid. 6

Ibid. 7

Ibid.

Jadi, siswa yang bertindak sebagai penemu pengetahuan melakukan inkuiri dalam proses belajar mengajar dan pengetahuan tersebut merupakan hasil dari inkuiri.


(21)

Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia, atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.8

Hal serupa juga dikemukakan oleh Gulo dalam Trianto, menyatakan bahwa strategi inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.

Jadi, agar siswa dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan cara mencari dan menyelidiki sesuatu, baik benda, manusia, atau peristiwa, secara sistematis, kritis, logis, dan analitis, maka siswa dapat melaksanakan pembelajaran inkuiri karena pembelajaran ini melibatkan seluruh kemampuan siswa secara maksimal.

9

Pada dasarnya, inkuiri adalah cara menyadari apa yang telah dialami. Karena itu, inkuiri menuntut siswa berpikir. Inkuiri melibatkan mereka dalam kegiatan intelektual dalam memproses pengalaman belajar menjadi suatu yang bermakna dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, melalui inkuiri siswa dibiasakan untuk berpikir produktif, analitis, dan kritis.

Dengan demikian, agar siswa dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri, maka mereka dapat melaksanakan suatu kegiatan belajar dengan cara mencari dan menyelidiki sesuatu secara sistematis, kritis, logis, dan analisis melalui pembelajaran inkuiri yang melibatkan seluruh kemampuan siswa secara maksimal.

10

8

Iif Khoiru Ahmadi, dkk., Strategi Pembelajaran Berorientasi KTSP, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2011), cet.1, h.25.

9

Trianto, Loc.Cit. 10

Jamal Ma’mur Asmani, Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif, dan Inovatif, (Yogyakarta: Diva Press, 2012), cet.12, h.159.

Jadi, kegiatan intelektual yang menuntut kemampuan berpikir produkti, analitis, dan kritis siswa dilibatkan dalam pembelajaran inkuiri sehingga pengalaman belajar siswa diproses menjadi suatu yang bermakna dalam kehidupan nyata.


(22)

Menurut Kourilsky dalam Hamalik, menyatakan bahwa pengajaran berdasarkan inkuiri adalah suatu strategi yang berpusat pada siswa di mana kelompok siswa inquiry ke dalam suatu isu atau mencari jawaban-jawaban terhadap isi pertanyaan melalui suatu prosedur yang digariskan secara jelas dan struktural kelompok. 11

Menurut Feletti dalam Wardoyo, “inquiry based learning is an orientation towards learning that is flex inquiry based learning and open and draws upon the varied skills and resources… This includes an inter-disciplinary approach to learning and problem-solving, critical thinking and assumption of responsibility by students for their own learning.”

Dengan demikian, jawaban-jawaban terhadap isi pertanyaan harus dicari dan dipecahkan oleh kelompok siswa di dalam pembelajaran inkuiri melalui suatu prosedur yang digariskan secara jelas dan struktural kelompok.

12

Feletti, seperti yang dikutip oleh Wardoyo, berpandangan bahwa kekritisan berpikir seseorang akan sangat menentukan pencapaian tujuan pembelajaran dalam proses inquiry learning. Dengan melakukan proses berpikir kritis, individu akan menemukan beragam penyelesaian masalah yang dihadapi terkait pembelajaran yang berlangsung.13

Dalam penerapan pembelajaran inkuiri, siswa dituntut melakukan eksplorasi diri secara maksimal. Eksplorasi ini memiliki fungsi untuk membangkitkan pelbagai potensi atau kemampuan yang ada di dalam diri sehingga dapat membantu menemukan sesuatu yang baru di dalam proses pembelajaran.

Jadi, selama proses pembelajaran berlangsung, berbagai penyelesaian masalah yang dihadapi akan ditemukan oleh siswa dengan melakukan proses berpikir kritis sehingga pencapaian tujuan pembelajaran dalam proses pembelajaran inkuiri akan sangat ditentukan oleh tingkat kekritisan berpikir seseorang.

14

11

Oemar Hamalik, Op.Cit., h.220. 12

Sigit Mangun Wardoyo, Pembelajaran Konstruktivisme, (Bandung: Alfabeta, 2013), cet.1, h.65.

13

Ibid. 14

Ibid., h.66.

Dengan demikian, pembelajaran inkuiri dapat membantu siswa untuk menemukan sesuatu yang baru di dalam proses pembelajaran karena


(23)

seluruh potensi atau kemampuan yang ada dalam diri siswa dibangkitkan di dalam pembelajaran inkuiri secara tidak langsung.

b. Model Pembelajaran InquiryTraining

Model pembelajaran inquiry training merupakan model pembelajaran yang melatih siswa untuk belajar berangkat dari fakta menuju teori. Model pembelajaran ini bertitik tolak dari suatu keyakinan tentang kebebasan siswa dalam rangka perkembangan siswa secara independent.15

Model pembelajaran inquiry training dikembangkan seorang tokoh yang bernama Richard Suchman. Suchman meyakini bahwa anak-anak adalah individu yang penuh rasa ingin tahu akan segala sesuatu.

Dengan demikian, gaya belajar siswa dalam memahami suatu teori yang berawal dari fakta dapat dilatih di dalam model pembelajaran inquiry training ini karena siswa diberikan kebebasan dalam rangka perkembangan siswa agar mandiri.

16

Tujuan model pembelajaran inquiry training ini yakni untuk mengajar para siswa memahami proses meneliti dan menerangkan suatu kejadian.

Jadi, atas dasar rasa ingin tahu seorang individu yang diyakini oleh Suchman, maka beliau mengembangkan model pembelajaran inquiry training ini.

17

Menurut Suchman dalam Wena, menyatakan bahwa kesadaran siswa terhadap proses inkuiri dapat ditingkatkan sehingga mereka dapat diajarkan prosedur pemecahan masalah secara ilmiah. Selain itu, dapat diajarkan pada siswa bahwa segala pengetahuan itu bersifat sementara dan dapat berubah dengan munculnya teori-teori baru. Oleh karena itu, siswa harus disadarkan bahwa Dengan demikian, proses meneliti yang dipahami serta dijelaskan oleh siswa mengenai suatu kejadian tersebut merupakan suatu tujuan dari model pembelajaran inquiry training ini.

15

Riska Puspandini, Perbedaan Pengaruh Model Pembelajaran Inquiry Training dan 5E Learning Cycle terhadap Prestasi Belajar dan Kerja Ilmiah Fisika Siswa Kelas X Sma Negeri 7 Malang Tahun Ajaran 2013/2014, diakses pada 19 Januari 2015, h.2, ( jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikel05B4C0D70BEC68E4CDCEC5E2A0203542.pdf).

16

Iif Khoiru Ahmadi, dkk., Op.Cit., h.24. 17

Made Wena, Strategi Pembelajaran inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h.76.


(24)

pendapat orang lain dapat memperkaya pengetahuan yang dimiliki.18

a. Secara alami manusia mempunyai kecenderungan selalu mencari tahu akan segala sesuatu yang menarik perhatiannya.

Jadi, guru dapat mengajarkan siswa mengenai prosedur pemecahan masalah secara ilmiah karena model pembelajaran ini dapat meningkatkan kesadaran siswa terhadap proses inkuiri. Guru juga berperan untuk menyadarkan siswa bahwa segala pengatahuan itu bersifat sementara dan berkembang secara dinamis. Siswa diajarkan untuk menghargai pendapat orang lain sehingga pengetahuan yang dimiliki oleh seorang siswa juga diperkaya dari pendapat orang lain.

Menurut Suchman dalam Ahmadi, dkk., berpendapat bahwa latar belakang yang mendukung model pembelajaran ini ialah:

b. Mereka akan menyadari keingintahuannya akan segala sesuatu tersebut dan akan belajar menganalisis strategi berpikirnya.

c. Strategi baru dapat diajarkan secara langsung dan ditambahkan atau digabungkan dengan strategi lama yang telah dimiliki siswa.

d. Penelitian kooperatif (cooperative inquiry) akan dapat memperkaya kemampuan berpikir dan membantu siswa belajar tentang suatu ilmu yang senantiasa bersifat tentatif dan belajar menghargai penjelasan atau solusi alternatif.19

Model pembelajaran inquiry training merupakan pembelajaran yang lebih banyak melibatkan keaktifan siswa untuk melakukan observasi tentang materi dan buku panduan serta dapat mengembangkan hasil observasi dengan berbagai pertanyaan.20

Melalui model pembelajaran inquiry training ini, siswa akan mendapatkan dampak instruksional berupa proses ilmiah dan strategi untuk inkuiri kreatif, dan dampak sertaan berupa spirit kreativitas, kebebasan otonomi

Dengan demikian, partisipasi aktif siswa dapat dilibatkan di dalam model pembelajaran inquiry training ini. Hal tersebut dapat dilakukan, seperti dengan cara melakukan observasi dan mengembangkan hasil observasi menjadi berbagai pertanyaan.

18

Ibid. 19

Iif Khoiru Ahmadi, dkk., Loc.Cit. 20

Tutut Prasetiyanti, Sutrisno, dan Anis Rahmawati, Pembelajaran Training Inquiry Model dengan Bantuan KWL Chart terhadap Hasil Belajar Mahasiswa Pendidikan Teknik Bangunan Universitas Sebelas Maret dalam Mata Kuliah Konstruksi Bangunan Gedung, diakses pada 4 Desember 2014, h.2, (jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/ptb/article/download/3349/2349).


(25)

dalam belajar, toleransi ambiguitas dan hakikat tentatif pengetahuan.21

Hal tersebut didapat dari partisipasi aktif siswa dalam rangkaian kegiatan hands-on sehingga menumbuhkan pertanyaan dan siswa akan mencari jawaban tersebut berdasarkan rasa ingin tahunya.

Jadi, prestasi, proses, dan motivasi belajar siswa untuk mempelajari pengetahuan yang dinamis saat ini dapat dikembangkan di dalam model pembelajaran inquiry training ini.

22

Model pembelajaran inquiry training tercipta melalui konfrontasi intelektual, di mana siswa dihadapkan pada situasi yang aneh dan mereka mulai bertanya-tanya tentang hal tersebut. Menurut Joice dan Weil, dikarenakan tujuan akhir model pembelajaran ini adalah pembentukan pengetahuan baru, maka siswa dihadapkan pada suatu yang memungkinkan untuk diselidiki dengan lebih cermat.

Dengan demikian, dalam model pembelajaran inquiry training ini, keaktifan siswa akan membangkitkan rasa ingin tahunya dalam mencari jawaban dari suatu pertanyaan selama pembelajaran sehingga prestasi, proses, dan motivasi belajar siswa dapat dikembangkan.

23

Lebih lanjut, Ahmadi, dkk., menambahkan bahwa masalah atau situasi harus didasarkan pada suatu gagasan yang memang dapat ditemukan (discoverable ideas), bukan mengada-ada.

Jadi, situasi atau kondisi di dalam model pembelajaran inquiry training

ini diatur hingga sedemikian rupa agar siswa siswa dapat menyelidiki sesuatu dengan lebih cermat.

24

Setelah situasi tersebut disajikan pada siswa, kepada mereka diajarkan bahwa pertama-tama mereka perlu mengupas beberapa aspek dari situasi ini, misalnya sifat dan identitas objek serta kejadian yang berhubungan dengan situasi

Dengan demikian, apa yang akan ditemukan oleh siswa atau pengetahuan yang mendasari masalah atau situasi tersebut merupakan suatu gagasan yang tidak mengada-ada.

21

Riska Puspandini, Loc.Cit. 22

Ibid. 23

Made Wena, Loc.Cit.

24


(26)

tersebut.25

a. Keterampilan melakukan pengamatan, pengumpulan, dan

pengorganisasian data, termasuk merumuskan dan menguji hipotesis, serta menjelaskan fenomena.

Jadi, di dalam model pembelajaran inquiry training ini, beberapa aspek atau kejadian yang berhubungan dengan situasi yang disajikan kepada siswa harus diselidiki oleh mereka sendiri.

Model pembelajaran ini sangat penting untuk mengembangkan nilai dan sikap yang sangat dibutuhkan agar siswa mampu berpikir ilmiah, seperti:

b. Kemandirian belajar.

c. Keterampilan mengekspresikan secara verbal. d. Kemampuan berpikir logis.

e. Kesadaran bahwa ilmu bersifat dinamis dan tentatif.26

Pembelajaran dengan inquiry training dapat dilakukan secara individu, kelompok maupun klasikal sehingga dengan pembelajaran tersebut siswa akan lebih aktif serta lebih memahami materi yang telah diterimanya.27

Model pembelajaran inquiry training memiliki keunggulan karena siswa akan melakukan penelitian secara berulang-ulang dan dengan bimbingan yang berkelanjutan.

Dengan demikian, apabila di dalam tujuan pembelajaran, guru menginginkan proses pembelajaran siswa dapat berjalan aktif dan materi pembelajarannya lebih dapat dipahami oleh siswa, maka siswa dapat melaksanakan model pembelajaran

inquiry training ini, baik secara individu maupun kelompok.

28

Hasil penelitian Schlenker yang dikutip oleh Trianto menunjukkan bahwa latihan inkuiri dapat meningkatkan pemahaman sains, produktif dalam berpikir kreatif, dan siswa menjadi terampil dalam memperoleh dan menganalisis informasi.

Jadi, eksplorasi pengetahuan di dalam pembelajaran yang dilakukan secara intensif oleh siswa merupakan suatu keunggulan dari model pembelajaran inquiry training ini.

29

25

Made Wena, Loc.Cit.

26

Iif Khoiru Ahmadi, dkk., Op.Cit., h.25. 27

Tutut Prasetiyani, Op.Cit., h.5. 28

Aulia Azizah dan Parmin, Inquiry Training untuk Mengembangkan Keterampilan Meneliti Mahasiswa, UNNES Science Educational Journal Vol.1 No.1, 2012, h.2.

29

Trianto, Op.Cit., h.167.


(27)

kreatif, dan keterampilan siswa dapat ditingkatkan melalui pembelajaran inquiry training.

Dalam melaksanakan model pembelajaran inquiry training ini, Joice dan Weil, seperti yang dikutip oleh Wena, membagi sintaks model pembelajaran ini dalam lima tahap, yaitu sebagai berikut.30

a. Penyajian masalah (confrontation with problem)

Pada tahap ini, pengajar menyajikan suatu masalah dan menerangkan prosedur inkuiri pada siswa.

b. Pengumpulan data verifikasi (data gathering-verification)

Dalam tahap ini, siswa didorong untuk mau berusaha mengumpulkan informasi mengenai kejadian yang mereka lihat atau alami.

c. Pengumpulan data eksperimen (data gathering-experimentation)

Dalam hal ini, siswa melakukan eksperimen dengan memasukkan hal-hal (variabel) baru, untuk melihat apakah akan terjadi perubahan. Dalam tahap ini siswa pun dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang hampir serupa dengan hipotesis.

d. Organisasi data dan formulasi kesimpulan (organization, formulating, and explanation)

Dalam tahap ini, siswa mengkoordinasikan dan menganalisis data untuk membuat suatu kesimpulan yang dapat menjawab masalah yang telah disajikan.

e. Analisis proses inkuiri (analysis of the inquiry process)

Dalam tahap ini, siswa diminta untuk menganalisis pola inkuiri yang telah mereka jalani, yaitu dengan menentukan pertanyaan mana yang paling produktif (menghasilkan data yang paling relevan) atau tipe informasi yang sebenarnya mereka butuhkan, tetapi tidak mereka dapatkan. Tahap ini penting untuk memperbaiki proses inkuiri itu sendiri.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tahapan model pembelajaran inquiry training ini memiliki lima tahapan, yaitu penyajian masalah, pengumpulan data

30


(28)

verifikasi, pengumpulan data eksperimen, organisasi data dan formulasi kesimpulan, serta analisis proses inkuiri.

Agar model pembelajaran ini dapat berjalan lancar dan memberi hasil yang optimal, maka ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu sebagai berikut.31 a. Interaksi pengajar-siswa. Proses inkuiri ini harus ditandai dengan kerja sama

yang baik atara pengajar-siswa, kebebasan siswa untuk menyatakan pendapat atau mengajukan pertanyaan, serta persamaan hak antara pengajar dan siswa dalam mengemukakan pendapat.

b. Peran pengajar. Menurut Diptoadi, dalam model ini pengajar mempunyai beberapa tugas yang penting, yaitu:

1) mengarahkan pertanyaan siswa,

2) menciptakan suasana kebebasan ilmiah di mana siswa tidak merasa dinilai pada waktu mengemukakan pendapatnya,

3) mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan teoritis yang lebih jelas dengan mengemukakan bukti yang menunjang, dan

4) meningkatkan interaksi antarsiswa.

Dengan demikian, model pembelajaran inquiry training ini menuntut adanya kerja sama dan persamaan hak antara siswa dengan guru, serta membebaskan siswa dalam menyatakan pendapat atau mengajukan pertanyaan.

2. Keterampilan Berpikir Kritis

Berpikir melibatkan manipulasi otak terhadap informasi, seperti saat kita membentuk konsep, terlibat dalam pemecahan masalah, melakukan penalaran, dan membuat keputusan.32 Menurut de Bono dalam Kuswana, berpikir merupakan keterampilan beroperasinya tindakan kecerdasan dan pengalaman.33

31

Ibid., h.79. 32

Adi Afri Anto, R Wakhid Akhdinirwanto, dan Siska Desy Fatmaryanti, Pemanfaatan Model Pembelajaran Problem Posing untuk Peningkatan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa di Smp Negeri 27 Purworejo, Radiasi Vol.2 No.1, t.t, h.5.

33

Wowo Sunaryo Kuswana, Taksonomi Kognitif: Perkembangan Ragam Berpikir, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2012), cet.1, h.186.

Dengan demikian, semua tindakan kecerdasan dan pengalaman melibatkan keterampilan berpikir.


(29)

Berpikir kiritis adalah proses mental untuk menganalisis informasi. Informasi didapatkan melalui pengamatan, pengalaman, komunikasi, dan membaca. 34

Berpikir kritis merupakan penilaian kritis terhadap kebenaran fenomena atau fakta. Setiap orang memiliki potensi berpikir kritis yang dapat dikembangkan secara optimal dalam mencapai kehidupan yang lebih baik.

Jadi, segala informasi yang didapatkan dan dianalisis dari pengamatan, pengalaman, komunikasi, dan membaca dapat dikatakan sebagai kegiatan berpikir kritis.

35

Berpikir kritis menurut Heger dan Kaye dalam Muhhibin Syah ialah berpikir dengan penuh pertimbangan akal sehat yang dipusatkan pada pengambilan keputusan untuk mempercayai atau mengingkari sesuatu dan melakukan atau menghindari sesuatu. Tujuan dari berpikir kritis, yakni untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Berpikir kritis dapat digunakan untuk saat memecahkan masalah, mengambil tindakan moral, dan mengambil keputusan.

Dengan demikian, pada dasarnya berpikir kritis dimiliki oleh setiap orang dan dapat dikembangkan secara optimal dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Satu di antara banyak cara yang dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis, yakni dengan memberikan penilaian secara kritis terhadap suatu kebenaran fenomena atau fakta.

36

Menurut Beyer, seperti yang dikutip oleh Afrizon, berpikir kritis adalah sebuah cara berpikir disiplin yang digunakan seseorang untuk mengevaluasi validitas sesuatu (pernyataan-penyataan, ide-ide, argumen, dan penelitian). Jadi, dalam pengambilan keputusan atas dasar kepercayaan atau strategi melakukan sesuatu, seperti saat memecahkan masalah atau mengambil tindakan moral dan keputusan, seseorang dapat memusatkan cara berpikirnya dengan penuh pertimbangan akal sehat dan menggunakan kemampuan berpikir kritisnya. Pemahaman yang mendalam dapat dicapai melalui berpikir kritis.

37

34

Adi Afri Anto, R Wakhid Akhdinirwanto, dan Siska Desy Fatmaryanti, Loc.Cit. 35

Ibid. 36

Ibid. 37

Renol Afrizon, Ratnawulan, dan Ahmad Fauzi, Peningkatan Perilaku Berkarakter dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Kelas IX MTsN Model Padang pada Mata Pelajaran IPA-Fisika Menggunakan Model Problem Based Instruction, Jurnal Penelitian Pembelajaran Fisika 1, 2012, h.10.


(30)

Dengan demikian, dalam mengevaluasi atau menilai sesuatu, seseorang akan menggunakan cara berpikirnya secara kritis.

Screven dan Paul serta Angelo dalam Afrizon, memandang berpikir kritis sebagai proses disiplin cerdas dari konseptualisasi, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi aktif dan berketerampilan yang dikumpulkan dari, atau dihasilkan oleh observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi sebagai sebuah penuntun menuju kepercayaan dan aksi.38

Rudinow dan Barry dalam Afrizon, berpendapat bahwa berpikir kritis adalah sebuah proses yang menekankan sebuah basis kepercayaan-kepercayaan yang logis dan rasional, dan memberikan serangkaian standar dan prosedur untuk menganalisis, menguji dan mengevaluasi.

Jadi, berpikir kritis akan menuntun proses berpikir dan berketerampilan seseorang dalam menuju pada kepercayaan dan aksi.

39

Menurut Halpern dalam Kuswana, menggunakan definisi kerja dengan berpikir kritis sebagai penggunaan keterampilan kognitif atau strategi yang meningkatkan probabilitas hasil yang diinginkan. Berpikir adalah tujuan, beralasan, dan tujuan yang diarahkan, dan efektif untuk konteks dan jenis pemikiran tugas tertentu.

Dengan demikian, seseorang dapat dikatakan berpikir kritis jika sebuah basis kepercayaan-kepercayaan dan rasional, serta serangkaian standar dan prosedur dalam proses menganalisis, menguji, dan mengevaluasi sesuatu ditekankan selama proses berpikirnya.

40

Menurut Paul dalam Kuswana, berpikir kritis merupakan suatu disiplin berpikir mandiri yang mencontohkan kesempurnaan berpikir sesuai dengan mode tertentu atau ranah berpikir.

Jadi, berpikir kritis merupakan tujuan, beralasan, dan tujuan yang diarahkan serta efektif dengan menggunakan keterampilan kognitif atau strategi.

41

38

Ibid. 39

Ibid. 40

Wowo Sunaryo Kuswana, Op.Cit., h.187. 41

Ibid., h.205.

Dengan demikian, kesempurnaan berpikir seseorang yang sesuai dengan ranah berpikir dapat mencerminkan keterampilan berpikir kritis orang tersebut.


(31)

Sejak 1962, pemikiran Ennis, mengenai taksonomi berpikir kritis, disposisi, dan kecakapan khususnya yang digunakan pada pelatihan terus berkembang. Definisi yang diajukan cenderung tetap walaupun terus dikembangkan, yaitu: “Berpikir kritis adalah berpikir yang wajar dan reflektif yang berfokus pada memutuskan apa yang harus diyakini atau dilakukan.”42

Pemikiran Ennis tampaknya termasuk pada berpikir kreatif. Menurut pandangannya, berpikir kritis tidak setara dengan berpikir tingkat tinggi karena berpikir kritis melibatkan disposisi.

Dengan demikian, jika seseorang memutuskan sesuatu berdasarkan apa yang harus diyakini atau dilakukan, maka orang tersebut berpikir secara kritis.

43

Enam kriteria dalam menilai satu himpunan disposisi berpikir kritis, yaitu simplicity (penyederhanaan); comprehensiveness

(kelengkapan); value (nilai); comprehensibility (dipahami); conformity of its language to our everyday meanings (kesesuaian bahasanya untuk makna sehari-hari); dan fitting of subordinates (if any) under superordinates (pemasangan pemikiran bawahan di bawah atasan jika dimungkinkan).44

Taksonomi versi 1998 terdiri dari tiga kecenderungan utama (dengan subkategori) disposisi dan lima belas kemampuan disajikan sebagai daftar (beberapa dengan subkategori) untuk menyediakan isi kurikulum berpikir kritis. Ennis mengungkapkan bahwa terdapat dua belas indikator dan beberapa sub indikator berpikir kritis yang dikelompokkan dalam lima besar aspek, serta terdapat satu aspek tambahan dengan tiga indikator kemampuan yang membantu (auxiliaryabilities). Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut:

Jadi, konsep disposisi dilibatkan dalam keterampilan berpikir kritis sehingga berpikir kritis ini tidak setara dengan berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis merupakan salah satu bentuk dari berpikir produktif.

45

a. Memberikan klarifikasi sederhana (basic clarification) 1) Memfokuskan pada pertanyaan

42

Ibid., h.196. 43

Ibid. 44

Ibid., h. 197. 45

Robert H Ennis, The Nature of Critical Thinking: An Outline of Critical Thinking Dispositions and Abilities, diakses pada 4 Februari 2015, h.2-4, (faculty.education.illinois.edu/rhennis/documents/TheNatureofCriticalThinking_51711_000.pdf)


(32)

a) Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan

b) Mengidentifikasi atau merumuskan kriteria untuk menilai kemungkinan jawaban

c) Menjaga pertanyaan dan keadaan dalam pikiran 2) Menganalisis argumen

a) Mengidentifikasi kesimpulan

b) Mengidentifikasi alasan atau pendapat

c) Menganggap atau mengidentifikasi asumsi sederhana

d) Mengidentifikasi dan menangani penyimpangan (irrelevance) e) Melihat struktur argumen

f) Meringkas

3) Menanyakan dan menjawab klarifikasi dan/atau pertanyaan menantang a) Mengapa?

b) Apa intinya?

c) Apa yang anda maksud? d) Apa contohnya?

e) Apa yang bukan contohnya?

f) Bagaimana menerapkannya pada kasus tersebut? g) Apa perbedaan yang membuatnya?

h) Apa faktanya?

i) Benarkah yang anda katakan: ………?

j) Dapatkah anda mengatakannya lebih tentang hal tersebut? b. Dua dasar untuk keputusan (two basic for a decision)

4) Menilai kredibilitas sumber a) Keahlian

b) Kekurangan konflik yang penting (interest) c) Kesepakatan dengan sumber lain

d) Reputasi

e) Penggunaan prosedur yang tersedia f) Mengetahui risiko terhadap reputasi g) Kemampuan memberikan alasan


(33)

h) Kebiasaan berhati-hati

5) Mengobservasi dan menilai laporan observasi a) Sedikit simpulan dilibatkan

b) Interval waktu yang singkat antara observasi dan laporan c) Dilaporkan oleh pengamat

d) Ketentuan laporan

e) Bukti-bukti yang menguatkan

f) Kemungkinan dari bukti-bukti yang menguatkan g) Akses yang baik

h) Penggunaan teknologi yang kompeten i) Kepuasan observer

c. Kesimpulan (inference)

6) Deduksi dan menilai deduksi a) Kelompok yang logis b) Kondisi yang logis

c) Interpretasi istilah yang logis d) Memenuhi syarat alasan deduktif 7) Membuat kesimpulan (induksi)

a) Membuat generalisasi b) Mengemukakan hipotesis

8) Membuat dan menilai pertimbangan nilai keputusan a) Latar belakang fakta

b) Konsekuensi menerima atau menolak keputusan c) Mengutamakan penerapan prinsip yang dapat diterima d) Alternatif

e) Menyeimbangkan, menimbang, memutuskan d. Memberikan klarifikasi lebih lanjut (advancedclarification)

9) Mendefinisikan istilah dan menilai definisi a) Bentuk definisi

b) Fungsi definisional (tindakan) c) Isi definisi


(34)

d) Mengidentifikasi dan menangani dalih 10) Melengkapi asumsi yang tidak dinyatakan

a) Rasa peyoratif (keragu-raguan atau kepalsuan)

b) Menuliskan: anggapan, asumsi yang dibutuhkan, atau asumsi yang digunakan

e. Membuat pengandaian dan integrasi (supposition and integration)

11) Mempertimbangkan dan memberikan alasan dari pendapat, alasan, asumsi, posisi, dan saran lain yang tidak disepakati atau diragukan, tanpa membiarkan ketidaksepakatan dan keraguan mengganggu pemikiran (berpikir yang disangka benar)

12) Mengintegrasikan kemampuan lain dan disposisi dalam membuat dan mempertahankan keputusan

f. Kemampuan yang membantu (auxiliary abilities), bukan termasuk dari aturan berpikir kritis tetapi sangat bermanfaat

13) Berproses pada aturan sistematis yang disesuaikan dengan keadaan a) Mengikuti tahapan pemecahan masalah

b) Memonitor pemikiran sendiri (terlibat dalam metakognitif) c) Menggunakan daftar pemikiran kritis yang layak

14) Menjadi sensitif terhadap perasaan, tingkat pengetahuan, dan derajat pengalaman orang lain

15) Menggunakan strategi retorika yang sesuai dalam diskusi dan presentasi (lisan dan tulisan), termasuk menggunakan dan bereaksi terhadap label kekeliruan pada aturan sistematis

Dengan demikian, jika seseorang menggunakan keterampilan berpikirnya secara kritis, maka orang tersebut dapat memberikan penjelasan sederhana, menggunakan keterampilan dasarnya, menyimpulkan, memberikan penjelasan lebih lanjut, membuat pengandaian dan mengintegrasikan semua keterampilan berpikir kritis, serta ditambah dengan keterampilan tambahan dalam berpikir kritis.


(35)

3. Konsep Kalor

a. Kalor sebagai Transfer Energi

Kalor mengalir dengan sendirinya dari suatu benda yang temperaturnya lebih tinggi ke benda lain dengan temperatur yang lebih rendah. Satuan yang umum untuk kalor, yang masih digunakan sekarang, dinamakan kalori. Satuan yang lebih sering digunakan dari kalori adalah kilokalori (kkal), yang besarnya 1000 kalori. Kadangkala satu kilokalori disebut Kalori (dengan huruf K besar).46

James Prescott Joule (1818-1889) melakukan sejumlah percobaan yang penting untuk menetapkan bahwa kalor, seperti kerja, mempresentasikan transfer energi. Joule menentukan bahwa sejumlah kerja tertentu yang dilakukan selalu ekivalen dengan sejumlah masukan kalor tertentu. Secara kuantitatif, kerja 4,186 joule (J) ternyata ekivalen dengan 1 kalori (kal) kalor, dikenal dengan tara kalor mekanik.

Jadi, kalor mengacu pada transfer energi dari satu benda ke yang lainnya karena adanya perbedaan temperatur.

47

b. Kalor Jenis

Dengan demikian, kalor dan energi kadangkala juga dinyatakan dalam kalori atau kilokalori, di mana 1 kal = 4,186 J yang merupakan jumlah kalor yang dibutuhkan untuk menaikkan 1 g air sebesar 1Co.

Besar kalor Q yang dibutuhkan untuk mengubah temperatur zat tertentu sebanding dengan massa m zat tersebut dan dengan perubahan temperatur ∆T. Hal ini dapat dinyatakan dalam persamaan,48

� =��∆� ………(2.1)

di mana c adalah besaran karakteristik dari zat tersebut, yang disebut kalor jenis. Karena c = Q/m∆T, kalor jenis dinyatakan dalam satuan J/kg.Co (satuan SI yang sesuai) atau kkal/kg.Co. Jadi, kalor jenis, c, dari zat didefinisikan sebagai energi (atau kalor) yang dibutuhkan untuk mengubah temperatur massa satuan zat sebesar 1 derajat.

46

Douglas C Giancoli, Fisika, Edisi 5, Jilid 1, (Jakarta: Erlangga, 2001), h.489. 47

Ibid. 48


(36)

c. Konservasi Energi

Ketika bagian-bagian yang berbeda dari sistem yang terisolasi berada pada temperatur yang berbeda, kalor akan mengalir dari bagian dengan temperatur yang lebih tinggi ke bagian dengan temperatur lebih rendah. Jadi, konservasi energimemainkan peranan penting: kehilangan kalor sebanyak satu bagian sistem sama dengan kalor yang didapat oleh bagian yang lain:49

Pertukaran energi tersebut merupakan dasar teknik yang dikenal dengan nama kalorimetri, yang merupakan pengukuran kuantitatif dari pertukaran kalor.

���������ℎ����� = ���������������� …………(2.2)

50

d. Kalor Laten

Dengan demikian, ketika kalor mengalir di dalam sistem yang terisolasi, konservasi energi memberitahu kita bahwa kalor yang diterima oleh satu bagian sistem sama dengan kalor yang dikeluarkan oleh bagian sistem yang lain.

Konservasi energi pada pertukaran kalor, seperti yang ditunjukkan oleh Persamaan (2.2), pertama kali diukur oleh Joseph Black (1728-1799), seorang ilmuwan Inggris. Oleh karena itu, Persamaan (2.2) dikenal sebagai asas Black.

Ketika suatu zat berubah wujud dari padat ke cair, atau dari cair ke gas, sejumlah tertentu energi terlibat pada perubahan wujud. Kalor yang dibutuhkan untuk mengubah 1,0 kg zat dari padat menjadi cair disebut kalor lebur. Kalor yang dibutuhkan untuk mengubah suatu zat dari cair ke uap disebut kalor penguapan.51

Gambar 2.1 Bagan perubahan wujud benda

49

Ibid., h.494. 50

Ibid., h.495. 51


(37)

Kalor penguapan dan lebur juga mengacu pada jumlah kalor yang dilepaskan oleh zat ketika berubah dari gas ke cair, atau dari cair ke padat. Nilai-nilai untuk kalor lebur dan kalor penguapan, yang disebut juga kalor laten. Kalor yang terlibat dalam perubahan wujud tidak hanya bergantung pada kalor laten, tetapi juga pada massa total zat tersebut. Sehingga,52

Kita dapat menggunakan teori kinetik untuk memahami mengapa dibutuhkan energi untuk meleburkan atau menguapkan suatu zat. Diketahui bahwa pada saat benda berada pada wujud padat, molekulnya terletak teratur. Pada saat melebur, energi dibutuhkan untuk mencegah energi potensial molekul dan bukan untuk menaikkan energi kinetik. Setelah molekul lepas dari gaya tarik

� =�� ………(2.3)

di mana L adalah kalor laten proses dan zat tertentu, m adalah massa zat, dan Q

adalah kalor yang dibutuhkan atau dikeluarkan selama perubahan wujud. Jadi, pertukaran energi terjadi, tanpa perubahan temperatur, ketika zat berubah wujud.

Kalor laten untuk mengubah cairan menjadi gas diperlukan tidak hanya pada titik didih. Air juga dapat berubah dari wujud cair ke gas bahkan pada temperatur ruangan. Proses ini disebut penguapan. Ketika air menguap, air akan mendingin, karena energi yang dibutuhkan (kalor laten untuk penguapan) datang dari air itu sendiri.

Penguapan air dari kulit merupakan satu dari metode penting yang digunakan tubuh untuk mengendalikan temperaturnya. Ketika temperatur darah naik sedikit di atas normal, kelenjar hypothalamus mendeteksi naiknya temperatur ini dan mengirimkan sinyal ke kelenjar keringat untuk menaikkan produksinya. Energi yang dibutuhkan untuk menguapkan air ini berasal dari tubuh, dan dengan demikian tubuh menjadi dingin.

Ketika tubuh kita berkeringat karena berolahraga, janganlah berdiri di tempat yang aliran anginnya kuat. Aliran angin yang kuat akan menghasilkan pendinginan lebih pada penguapan keringat dan menyebabkan turunnya ketahanan tubuh kita terhadap infeksi. Akibatnya, tubuh mudah terserang penyakit.

52


(38)

tarik-menariknya, mereka dapat bebas bergerak sehingga ketika benda diberi kalor akan digunakan untuk menaikkan energi kinetik dan temperatur benda meningkat. Pada saat menguap, energi dibutuhkan untuk mencegah agar tidak berdekatan den terlepas ke fase gas. Pada umumnya, kalor pengupaan lebih besar dibandingkan kalor peleburan karena jarak rata-rata antarmolekul menjadi jauh lebih besar.

Suatu zat kadang-kadang dapat berubah wujud dari padat langsung menjadi gas. Proses ini dinamakan menyublim. Sebagai contoh, karbon dioksida cair hanya ada pada tekanan yang lebih rendah dari 5 × 105 Pa (kira-kira 5 atm), padahal karbon dioksida padat dapat menyublim pada tekanan atmosfer (1 atm). Oleh karena itu, pada keadaan normal, karbon dioksida padat (disebut es kering) jika diberi kalor langsung berubah menjadi gas karbon dioksida tanpa melalui wujud cair.

Peristiwa menyublim dimanfaatkan orang dalam teknik pengeringan beku (freeze drying) untuk mengawetkan produk makanan, bunga, dan plasma darah. Mula-mula produk makanan diawetkan dengan membekukan kandungan airnya pada pada temperatur yang rendah. Kemudian, es yang terkurung dalam produk makanan diuapkan dengan cara mengurangi tekanan sehingga es langsung menyublim menjadi uap air. Uap air ini dialirkan ke luar dari tempat pengeringan sehingga tinggallah produk makanan kering tanpa kehilangan kandungan zat-zat penting (bau dan citarasa). Oleh karena kering, produk makanan tidak mudah membusuk. Kelak, jika produk makanan hendak digunakan, kondisinya dapat dipulihkan dengan menambah air.

e. Perpindahan Kalor

Kalor berpindah dari satu tempat atau benda ke yang lainnya dengan tiga cara, yaitu dengan konduksi, konveksi, dan radiasi. Konduksi kalor pada banyak zat dapat digambarkan sebagai hasil tumbukan molekul-molekul. Tumbukan molekul mentransfer energi gerakan termal ke sepanjang benda. Konduksi atau kecepatan aliran kalor dinyatakan oleh hubungan,53

53


(39)

∆� ∆� = ��

�1−�2

� ………(2.4)

di mana A adalah luas penampang lintang benda, l adalah jarak antara kedua ujung, yang mempunyai temperatur T1 dan T2, dan k adalah konstanta pembanding

yang disebut konduktivitastermal, yang merupakan karakteristik zat tersebut. Zat-zat di mana k besar, menghantarkan kalor dengan cepat dan dinamakan konduktor

yang baik, sedangkan zat-zat yang memiliki k yang kecil merupakan penghantar kalor yang buruk dan dengan demikian dinamakan isolator.54

Konveksi adalah proses di mana kalor ditransfer dengan pergerakan molekul dari satu tempat ke tempat yang lain. Jika konduksi melibatkan molekul yang hanya bergerak dalam jarak yang kecil dan bertumbukan, maka konveksi melibatkan pergerakan partikel dalam jarak yang besar.

Jadi, zat bukan logam umumnya bukan penghantar kalor yang baik (isolator), termasuk air dan udara. Udara sebagai penghantar kalor yang buruk telah sering kita manfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika udara malam hari terasa dingin, kita tidur dengan menggunakan selimut. Udara yang terperangkap di antara tubuh dan selimut berfungsi sebagai isolator kalor, yang akan menghambat perpindahan kalor dari tubuh ke udara dingin di luar selimut. Akibatnya, tubuh kita tetap hangat.

Dengan demikian, pada konduksi, energi ditransfer dari molekul atau elektron dengan energi kinetik yang lebih tinggi ke tetangganya yang mempunyai energi kinetik yang lebih rendah ketika mereka bertumbukan. Kita dengan mudah menemukan manfaat konduktor dan isolator dalam keseharian, seperti pada panci untuk memasak atau pada setrika listrik.

55

Proses konveksi ini dapat diamati pada air yang dimasak di atas kompor. Air yang berada di dasar wadah mendapatkan kalor dari nyala api secara konduksi. Kemudian temperatur air di dasar wadah akan bertambah dan volumenya juga bertambah. Pertambahan volume ini menebabkan massa jenis air

Jadi, konveksi merupakan transfer energi dengan cara perpindahan massa menempuh jarak yang cukup jauh.

54

Ibid., h.502. 55


(40)

menjadi lebih kecil dibandingkan dengan air yang ada di bagian atas sehingga air menjadi lebih ringan lalu bergerak ke atas. Perpindahan tersebut meninggalkan tempat kosong yang langsung diisi oleh air yang belum panas (massa jenis besar). Hal ini terus terjadi sampai air terus bergerak dan berputar. Jadi, perpindahan panas secara konveksi disebabkan oleh perbedaan massa jenis pada fluida. Angin laut dan angin darat merupakan satu di antara contoh dari konveksi udara secara alami.

Gambar 2.2 Angin laut dan angin darat terjadi melalui konveksi alami udara

Selain terdapat proses konveksi alami, terdapat juga proses konveksi paksa. Dalam konveksi paksa, fluida yang telah dipanasi langsung diarahkan ke tujuannya oleh sebuah peniup (blower) atau pompa. Satu di antara contoh dari konveksi paksa yaitu pada sistem pendingin mobil, di mana air diedarkan di dalam pipa-pipa air oleh bantuan sebuah pompa air (water pump). Panas mesin yang tidak dikehendaki dibawa oleh sirkulasi air menuju ke radiator. Di dalam sirip-sirip radiator ini air hangat didinginkan oleh udara. Air yang dingin kembali menuju pipa-pipa air yang bersentuhan dengan blok-blok mesin untuk mengulang siklus berikutnya. Perlu diperhatikan bahwa radiator berfungsi sebagai penukar kalor (heatexchanger). Jadi, fungsi radiator yaitu menjaga temperatur mesin agar tidak melampaui batas desain, sehingga mesin tidak rusak karena pemanasan lebih. Oleh karena itu, pemilik mobil harus selalu memeriksa apakah volume air radiatornya cukup atau tidak. Mengapa air yang digunakan sebagai fluida? Jawabannya adalah karena air mempunyai kalor jenis yang besar sehingga mampu mengambil kalor yang cukup besar.


(41)

Gambar 2.3 Konveksi paksa pada sistem pendingin mobil

Semua kehidupan di bumi ini bergantung pada transfer energi dari matahari, dan energi ini ditransfer ke bumi melalui ruang yang hampa (atau hampir hampa). Bentuk transfer energi ini dalam kalor dinamakan radiasi. Radiasi pada intinya terdiri dari gelombang elektromagnetik.56

Di mana A luas permukaan benda dan T temperatur mutlak suatu benda. Persamaan ini disebut persamaan Stefan-Boltzmann, dan σ merupakan konstanta universal yang disebut konstanta Stefan-Boltzmann yang memiliki nilai 5,67 × 10

-8

W/m2.K4.

Dengan demikian, radiasi merupakan transfer energi oleh gelombang elektromagnetik yang tidak membutuhkan adanya materi, seperti dari matahari.

Kecepatan sebuah benda meradiasikan energi (∆Q/∆t) dinyatakan melalui hubungan,

∆�

∆� =����4 ………(2.5)

57

Faktor e, disebut emisivitas, merupakan bilangan antara 0 dan 1 yang merupakan karakteristik materi. Permukaan yang sangat hitam, mempunyai emisivitas yang mendekati 1, sementara permukaan yang mengkilat mempunyai e

yang mendekati 0. Permukaan mengkilat tidak hanya memancarkan radiasi, tetapi juga menyerap radiasi. Dengan demikian, penyerap yang baik juga merupakan pemancar yang baik.58

56

Ibid., h.507. 57

Ibid.

58

Ibid.


(42)

panas di mana permukaan dalam termos selalu diberi lapisan perak mengkilap untuk mengurangi radiasi kalor dan kehilangan kalor karena penyerapan dinding termos. Permukaan mengkilap tersebut merupakan penyerap dan pemancar kalor yang buruk.

Jadi, semua benda memancarkan energi dengan jumlah yang sebanding dengan pangkat empat temperatur Kelvinnya dan dengan luas permukaannya. Energi yang dipancarkan (atau diserap) juga bergantung pada sifat permukaan yang dikarakteristikan oleh emisivitas, e.

Satu di antara contoh dari pemanfaatan radiasi di dalam kehidupan sehari-hari, yaitu pada sistem perapian rumah. Sebagian besar kalor pada perapian rumah akan naik ke atas cerobong asap karena dibawa oleh konveksi udara. Tubuh kita merasa hangat karena penjalaran kalor ke samping dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Dengan kata lain, tubuh kita merasa hangat karena penghantaran kalor secara radiasi. Contoh lainnya yaitu pada perangkat panel surya (solar panel) yang digunakan untuk menyerap radiasi dari Matahari. Panel surya terdiri dari wadah logam berongga yang dicat hitam dengan panel depan terbuat dari kaca. Kalor radiasi dari Matahari diserap oleh permukaan hitam dan dihantarkan secara konduksi melalui logam.

Benda apapun tidak hanya memancarkan energi dengan radiasi, tetapi juga menyerap energi yang diradiasikan oleh benda lain. Jika sebuah benda dengan emisivitas e dan luas A berada pada temperatur T1, benda ini meradiasikan

energi dengan kecepatan eσAT14. Jika benda tersebut dikelilingi oleh lingkungan

dengan temperatur T2 dan emisivitas tinggi, kecepatan radiasi energi oleh

sekitarnya sebanding dengan T24, dan kecepatan energi yang diserap oleh benda

sebanding dengan T24. Kecepatan total aliran kalor radiasi dari benda dinyatakan

dengan persamaan,

∆�

∆� =���(�14− �24) ………(2.6) di mana A adalah luas permukaan benda, T1 adalah temperaturnya dan e

emisivitasnya (pada temperatur T1), dan T2 adalah temperatur sekelilingnya.59

59


(43)

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Sebelum penulis melakukan penelitian ini, telah banyak peneliti yang membahas tentang model pembelajaran latihan inkuiri (inquiry training) di antaranya dijelaskan oleh:

1. Aulia Azizah dan Parmin dalam jurnal dengan judul Inquiry Training untuk Mengembangkan Keterampilan Meneliti Mahasiswa, menunjukkan bahwa dari penilaian laporan penelitian pada siklus kedua menunjukkan bahwa indikator keberhasilan penelitian telah tercapai karena empat (50%) laporan penelitian telah mendapatkan nilai ≥ 75. Selain itu, berdasarkan angket sikap mahasiswa terhadap bentuk tindakan yang dipilih, bahwa dari enam pernyataan yang secara langsung berkaitan dengan inquirytraining lebih dari 85% mahasiswa bersikap positif yang berarti membantu mahasiswa menguasai keterampilan melakukan penelitian. Dari hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan meneliti mahasiswa dapat ditingkatkan dengan menerapkan inquirytraining.60

2. Tutut Prasetiyanti, Sutrisno, dan Anis Rahmawati dalam artikel dengan judul

Pembelajaran Training Inquiry Model dengan Bantuan KWL Chart terhadap Hasil Belajar Mahasiswa Pendidikan Teknik Bangunan Universitas Sebelas Maret dalam Mata Kuliah Konstruksi Bangunan Gedung, menunjukkan bahwa melalui penerapan metode training inquiry model berbantuan KWL chart dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa pada aspek kognitif mencapai nilai 75,92, aspek afektif mencapai nilai 76,61 dan aspek psikomotor mencapai nilai 79,03. Simpulan penelitian ini adalah pembelajaran dengan training inquiry model dengan bantuan KWL chart

dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa pendidikan teknik bangunan universitas sebelas maret dalam mata kuliah konstruksi bangunan gedung pada aspek kognitif mencapai nilai 75,92, aspek afektif mencapai nilai 76,61 dan aspek psikomotor mencapai nilai 79,03.61

60

Aulia Azizah dan Parmin, Op.Cit., h.1. 61


(44)

3. Riska Puspandini dalam artikel dengan judul Perbedaan Pengaruh Model Pembelajaran Inquiry Training dan 5E Learning Cycle terhadap Prestasi Belajar dan Kerja Ilmiah Fisika Siswa Kelas X Sma Negeri 7 Malang Tahun Ajaran 2013/2014, menunjukkan bahwa pembelajaran fisika di SMAN 7 Malang dengan menggunakan model pembelajaran 5E learning cycle belum sesuai dengan yang diharapkan. Prestasi belajar dan kerja ilmiah siswa masih belum memuaskan. Maka dari itu diajukanlah model pembelajaran lain yang berbasis inkuiri, yakni model pembelajaran inquiry training. Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen control group pre-test post-test. Populasi penelitian ini adalah semua kelas X SMAN 7 Malang. Teknik pemilihan sampel menggunakan cluster sampling dimana satu kelas menjadi kelas eksperimen dan satu kelas sebagai kelas kontrol. Instrumen penelitian adalah tes pilihan ganda dan tes kerja ilmiah. Instrumen prestasi belajar siswa berupa tes pilihan ganda dengan reliabilitas sebesar 0,78. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) terdapat perbedaan rata-rata prestasi belajar siswa yang belajar dengan model pembelajaran inquiry training dari siswa yang belajar dengan model pembelajaran 5E learning cycle, dan (2) terdapat perbedaan rata-rata kerja ilmiah siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran inquiry training dari siswa yang belajar dengan model pembelajaran 5E learning cycle.62

C. Kerangka Berpikir

Kurikulum 2013 dibuat untuk dapat mengembangkan potensi siswa menjadi kemampuan yang semakin lama semakin meningkat dalam sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kurikulum baru ini diimplementasikan agar kegiatan pembelajaran dapat menggunakan prinsip yang berpusat pada siswa, mengembangkan kreativitas, menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang, bermuatan nilai, etika, estetika, logika, dan kinestetika, serta menyediakan pengalaman belajar yang beragam. Oleh karena itu, maka keterampilan siswa, satu di antaranya dalam berpikir kritis, juga perlu

62


(45)

dikembangkan dalam kegiatan pembelajaran fisika. Hal ini disebabkan berpikir kritis tidak hanya memperhatikan kemampuan proses kognitif, tetapi juga melibat sikap dalam disposisi (kepekaan terhadap orang lain). Namun, kebiasaan berpikir kritis belum ditradisikan di sekolah-sekolah karena siswa belum dilibatkan secara aktif untuk mencari konsepnya sendiri di mana pembelajarannya masih didominasi oleh pendekatan konvensional. Hasil belajar fisika siswa rata-rata belum mencapai KKM. Banyak siswa yang mengalami kesalahan konsep sehingga mereka kesulitan dalam memecahkan persoalan yang berhubungan dengan materi fisika. Hal ini disebabkan oleh siswa yang hanya belajar untuk menghafalkan teori dan rumus, tidak bereksplorasi secara mendalam. Hal ini mengakibatkan pembelajaran fisika bersifat teacher centered, pasif, dan belum meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Oleh karena itu, dibutuhkan model pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan saintifik dan dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Satu di antaranya yakni model pembelajaran inquiry training. Model pembelajaran ini, selain menjadikan siswa aktif dalam kegiatan yang bersifat psikomotorik, juga dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis yang berfokus pada kemampuan kognitif dan sikap untuk peka terhadap orang lain. Dengan demikian, tujuan dari implementasi Kurikulum 2013 dapat tercapai.

Berdasarkan penjabaran di atas, berikut ini merupakan bagan kerangka berpikir dari latar belakang digunakannya model pembelajaran inquiry training


(46)

Gambar 2.4 Bagan kerangka berpikir

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pemilihan pokok masalah dan kajian teoritis yang melandasi penelitian ini, maka hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: “Model pembelajaran inquiry training berpengaruh terhadap keterampilan berpikir kritis siswa pada konsep kalor.”

Kurikulum 2013 mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan, serta berorientasi pada pendekatan saintifik;

Keterampilan berpikir kritis memperhatikan kemampuan kognitif dan sikap; Keterampilan berpikir kritis belum ditradisikan di sekolah-sekolah dan siswa

belum dilibatkan secara aktif untuk mencari konsepnya sendiri.

Pembelajaran bersifat teacher centered, pasif, dan belum meningkatkan keterampilan berpikir kritis

Dibutuhkan model pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan saintifik dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis, yaitu model pembelajaran

inquiry training


(47)

34 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2014/2015 di SMA Negeri 9 Bekasi.

B. Metode dan Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi experiment. Desain ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen.1

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-equivalent control group design. Pada desain ini, kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara random.2

Kelas

Tabel 3.1 Non-equivalent control group design

Pre-test Perlakuan Post-test

Eksperimen O1 XE O2

Kontrol O1 XK O2

Keterangan:

O1 = Pre-test yang diberikan kepada kelompok eksperimen dan kontrol sebelum perlakuan

O2 = Post-test yang diberikan kepada kelompok eksperimen dan kontrol setelah perlakuan

XE = Perlakuan di kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran inquiry training

XK = Perlakuan di kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran sesuai dengan

Kurikulum 2013

1

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D), (Bandung: Alfabeta, 2009), cet.2, h.114.

2


(48)

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. 3 Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa di SMA Negeri 9 Bekasi. Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti.4

D. Teknik Pengambilan Sampel

Sampel penelitian ini adalah dua kelas X di SMA Negeri 9 Bekasi, yaitu kelas X MIA 3 sebagai kelas eksperimen dan X MIA 2 sebagai kelas kontrol.

Teknik sampling yang dilakukan pada penelitian adalah secara

purposive sampling. Purposive sampling atau sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random, atau daerah, tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa pertimbangan.5

E. Variabel Penelitian

Variabel adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. 6 Variabel yang mempengaruhi disebut variabel penyebab, variabel bebas, atau independent variable (X), sedangkan variabel akibat disebut variabel tidak bebas, variabel tergantung, variabel terikat, atau dependent variable

(Y).7

F. Prosedur Penelitian

Variabel bebas (X) pada penelitian ini adalah model pembelajaran inquiry training, sedangkan variabel terikat (Y) pada penelitian ini adalah keterampilan berpikir kritis.

Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

3

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Edisi Revisi 2010, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet.14, h.173.

4

Ibid., h.174. 5

Ibid., h.183. 6

Ibid., h.161. 7


(49)

1. Tahap persiapan, meliputi:

a. Merumuskan masalah penelitian.

b. Melakukan studi literatur tentang penelitian.

c. Pengurusan surat izin penelitian dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

d. Survei tempat untuk uji coba instrumen dan penelitian.

e. Membuat instrumen penelitian berdasarkan kisi-kisi soal yang telah dibuat dengan bimbingan dosen pembimbing, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), skenario pembelajaran dengan model pembelajaran yang diujikan. Kemudian mempersiapkan modul, desain alat evaluasi, serta segala hal yang dapat menunjang terlaksananya pembelajaran di kelas eksperimen.

f. Menguji coba instrumen, menganalisis hasil uji coba instrumen, dan memperbaiki instrumen.

2. Tahap pelaksanaan, meliputi:

a. Mengelompokkan sampel penelitian menjadi dua kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol.

b. Memberikan tes awal (pretest) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi yang akan disampaikan.

c. Melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran inquiry training.

d. Melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas kontrol dengan menggunakan strategi pembelajaran yang sesuai dengan Kurikulum 2013.

e. Memberikan tes akhir (posttest) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah pembelajaran berakhir untuk mengetahui keterampilan berpikir kritis siswa.

f. Membandingkan antara hasil pretest dan posttest untuk menentukan apakah ada perbedaan yang muncul. Jika sekiranya perbedaan itu ada,


(50)

maka hal itu tidak lain disebabkan oleh pengaruh perlakuan yang diberikan.

3. Tahap akhir, meliputi: a. Analisis data.

b. Menarik kesimpulan berdasarkan hasil yang telah diperoleh dari pengolahan data.

Gambar 3.1 Bagan prosedur penelitian Perumusan masalah

Model pembelajaran inquirytraining

Penyusunan RPP model pembelajaran inquirytraining

Penyusunan instrumen

Uji coba instrumen dan revisi

Pretest

Penerapan model

Posttest

Analisis data


(51)

G. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan tes dan observasi. Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan, atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok.8 Sedangkan observasi atau yang disebut pula dengan pengamatan, di dalam pengertian psikologis, meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra.9

H. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaanya lebih mudah dan hasilnya lebih baik. 10

I. Kalibrasi Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes keterampilan berpikir kritis dalam bentuk tes subjektif (esai) yang diberikan kepada sampel sebelum perlakuan (pretest) dan sesudah perlakuan (posttest). Data penunjang pada penelitian ini adalah data observasi keterlaksanaan model pembelajaran inquiry training dengan menggunakan instrumen berupa lembar observasi.

Sebelum instrumen diberikan kepada sampel yang sebenarnya, terlebih dahulu instrumen diuji cobakan di luar kelas sampel dengan tujuan untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran butir soal instrumen tes keterampilan berpikir kritis.

1. Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan.11

8

Ibid., h.193. 9

Ibid., h.199. 10

Ibid., h.203. 11

Ibid., h.211.


(52)

mengetahui kesejajaran adalah teknik korelasi product moment yang dikemukakan oleh Pearson.12 Rumus yang digunakan dalam menghitung besarnya validitas butir soal adalah sebagai berikut.13

Statistik

��� = [�Σ��Σ��−2(Σ�)2(Σ�][�Σ�)(Σ�2)(Σ�)2] ………(3.1) Di mana:

rXY = koefisien korelasi Pearson

X = butir setiap soal

Y = jumlah skor setiap siswa

N = jumlah siswa

Cara penafsiran harga koefisien korelasi yaitu membandingkan koefisien korelasi butir soal (rhitung) dengan koefisien korelasi product moment

(rtabel). Butir soal dikatakan valid jika rhitung > rtabel pada taraf signifikan α = 0,05.

rtabel untuk n = 37 adalah 0,325 yang artinya jika validitas soal ≥ 0,325 maka soal

valid, begitu sebaliknya. Berikut merupakan hasil uji validitas dalam penelitian ini, sedangkan tabel analisis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.

Tabel 3.2 Hasil uji validitas instrumen

Jumlah Soal 16

Jumlah Siswa 37

Nomor Soal Valid 3, 5, 6, 8, 9, 10, 12, 15

Jumlah Soal Valid 8

2. Reliabilitas

Reliabilitas menunjukkan pada satu pengertian bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Reliabel artinya dapat dipercaya, jadi dapat diandalkan.14 Rumus yang digunakan untuk menghitung reliabilitas instrumen tes ini adalah rumus Alpha sebagai berikut.15

12

Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Edisi Revisi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h.69.

13

Ibid., h.72. 14

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Op.Cit., h.221. 15


(53)

�11 =�(�−1)� �1−Σ�� 2

��2� ………(3.2)

Di mana:

r11 = reliabilitas yang dicari

k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal Σσb2 = jumlah varians butir

σt2 = varians total

Cara penafsiran harga koefisien reliabilitas yaitu membandingkan koefisien reliabilitas butir soal (r11) dengan rtabel. Instrumen soal dikatakan reliabel

jika r11 > rtabel pada taraf signifikanα = 0,05. rtabel untuk n = 37 adalah 0,325 yang

artinya jika reliabilitas soal ≥ 0,325 maka soal reliabel, begitu sebaliknya. Berikut merupakan hasil uji reliabilitas dalam penelitian ini, sedangkan tabel analisis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7.

Tabel 3.3 Hasil uji reliabilitas instrumen

Statistik

Tipe Soal r11 Kesimpulan

A 0,489 Reliabel

B 0,609 Reliabel

3. Daya Pembeda

Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara peserta didik yang pandai (menguasai materi) dengan peserta didik yang kurang pandai (kurang/tidak menguasai materi). Rumus untung menghitung daya pembeda soal adalah sebagai berikut.16

16

Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, Teknik, Prosedur, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h.133.

��= ����−����

���� ���� ……… (3.3)

Keterangan:

DP = daya pembeda

XKA = rata-rata kelas atas

XKB = rata-rata kelas bawah


(54)

Penafsiran daya pembeda soal dengan kriteria seperti berikut.17

Kategori Soal

0,40 ke atas = sangat baik 0,30 – 0,39 = baik

0,20 – 0,29 = cukup, soal perlu perbaikan 0,19 ke bawah = kurang baik, soal harus dibuang

Berikut merupakan hasil uji daya pembeda soal dalam penelitian ini, sedangkan untuk tabel analisis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8.

Tabel 3.4 Hasil uji daya pembeda instrumen

Jumlah Soal Persentase (%)

Sangat baik 5 31,25 %

Baik 2 12,50 %

Cukup 3 18,75 %

Kurang baik 6 37,50 %

Jumlah 16 100 %

4. Tingkat Kesukaran

Tingkat kesukaran soal adalah peluang untuk menjawab benar suatu soal pada tingkat kemampuan tertentu yang biasa dinyatakan dengan indeks.18 Rumus untuk menghitung tingkat kesukaran soal adalah sebagai berikut.19

Indeks tingkat kesukaran soal dinyatakan dengan kriteria sebagai berikut.

����������������= ���� −���� ���� ���� ����

���� �������� ���� ���� …………(3.4)

20

17

Ibid. 18

Ibid., h.134. 19

Ibid., h.135. 20

Ibid.

0,00 – 0,30 = sukar 0,31 – 0,70 = sedang 0,71 – 1,00 = mudah

Berikut merupakan hasil uji tingkat kesukaran soal dalam penelitian ini, sedangkan untuk perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)