NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA WAYANG KULIT LAKON DEWA RUCI SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

  

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA

WAYANG KULIT LAKON DEWA RUCI

SKRIPSI

  

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh

  

IMAM SETIAWAN

NIM 111 11 098

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2016

  

MOTTO

“Barang siapa sudah mengenal dirinya maka ia sudah

mengenal Tuhannya, dan barang siapa sudah

mengenal Tuhannya maka ia sudah mengenal rahasia

dirinya” (Hadits Qudsi)

  

PERSEMBAHAN

  Skripsi Ini Penulis Persembahkan Untuk: 

  Kedua orangtua penulis, Ayahanda Saprowi dan Ibunda Nuryati yang telah memberikan kasih sayang dan selalu mendo’akan dalam menyelesaikan studi dan penulisan skripsi ini dengan baik dan lancar. 

  Mbah Kakung dan Mbah Putri, beserta adik tercinta Ananda Ana Wulan Juliyanti yang selalu mendo’akan dan memberikan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan penulisan skripsi ini. Semoga Allah swt selalu dan akan selalu melimpahkan rahmat, dan inayah-Nya, dan kucuran karunia kesehatan bagi keluarga penulis.

KATA PENGANTAR

  Assalamu’alaikumWr. Wb

  Puja dan puji marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang maha Esa sebagai ungkapan rasa syukur kepadaNya yang telah dan senantiasa melimpahkan hidayah dan inayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu persyaratan wajib untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Srata Satu Pendidikan Islam (S.Pd.I) Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Solawat serta salam marilah kita sanjungkan kepangkuan Baginda Rosulullah Muhammad SAW yang mana beliau lah yang merupakan insan pilihan Allah.

  Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak.

  Olehkarenaitu, penulis ingin menyampaikan banyak terimakasih atas segala nasehat, bimbingan, dukungan, dan bantuannya kepada:

  1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga.

  2. Bapak Suwardi, M. Pd selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga.

  3. Ibu Siti Rukhayati, M. Ag selaku Kajur PAI IAIN Salatiga.

  4. Bapak Drs. Juz’an, M. Hum selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan sumbangan pemikiran terbaiknya dalam masa bimbingan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

  

ABSTRAK

  SETIAWAN, IMAM. 2016. 11111098. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Cerita Wayang Kulit Lakon Dewa Ruci. Pembimbing: Drs. Juz’an, M. Hum.

  Kata Kunci: Nilai Pendidikan, Wayang Kulit, Lakon Dewa Ruci.

  Latar belakang penelitian ini melihat pendidikan yang terjadi di era globalisasi yang membawa arus modernisasi dalam perubahan dan kemajuan bangsa Indonesia. Sebagaimana dapat dilihat dari tingkah laku peserta didik yang meremehkan guru dalam proses pembelajaran. Guru menjadi panutan bagi peserta didik selama proses belajar mengajar. Menanggapi hal tersebut, kiranya perlu rumusan nilai-nilai pendidikan yang sesuai dengan konteks nilai pendidikan moral dan nilai pendidikan budi pekerti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kisah wayang kulit lakon Dewa Ruci, nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci dan implementasinya dalam berbagai aspek pendidikan.

  Penelitian ini merupakan jenis penelitian pustaka (Library Research), yang mencari dari sumber bacaan dan pustaka. Objek material dalam penelitian ini adalah nilai-nilai pendidikan moralitas dan budi pekerti dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci. Metode dalam penelitian ini menggunakan analisis konteks, yaitu membahas sekaligus sebagai kerangka berfikir untuk mengumpulkan data dan menyusun data yang telah terkumpul. Peneliti juga menggunakan metode deskriptif dan induktif, metode deskriptif yaitu peneliti menguraikan secara teratur konsepsi buku, sedangkan metode induktif yaitu menganalisa buku yang kemudian mengambil kesimpulan.

  Hasil dalam penelitian ini meliputi pengertian lakon Dewa Ruci, pertunjukan lakon Dewa Ruci, makna ajaran Dewa Ruci, serta nilai-nilai pendidikan moral dan nilai pendidikan budi pekerti, yaitu lebih giat menuntut ilmu dan bekerja keras, hidup rukun, jujur, ikhlas, taat kepada guru, teguh dalam pendirian, dan mempunyai sikap hormat, dan kesabaran. Harapan itu dapat terjadi apabila dalam proses pendidikan didasari dengan nilai-nilai pendidikan yang benar dan mulia. Salah satu alternatifnya ialah merujuk pada nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci.

  DAFTAR ISI

  Halaman LEMBAR BERLOGO ..................................................................................... i HALAMAN JUDUL ........................................................................................ ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iii PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN........................................................ v MOTTO............................................................................................................ vi PERSEMBAHAN ............................................................................................ vii KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii ABSTRAK ....................................................................................................... x DAFTAR ISI .................................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Fokus Penelitian ................................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 5 D. Kegunaan Penelitian ............................................................................. 6 E. Penegasan Istilah .................................................................................. 6 F. Kajian Pustaka ...................................................................................... 8 G. Metode Penelitian................................................................................. 10 H. Sistematika Penulisan........................................................................... 13

  BAB II LANDASAN TEORI A. Wayang Kulit 1. Pertunjukan Wayang Kulit ............................................................. 15 2. Lakon Wayang Kulit Purwa ........................................................... 20 3. Unsur-unsur Wayang Kulit Purwa ................................................. 22 4. Gendhing (suluk) dalam Wayang Kulit ......................................... 26 5. Pagelaran Wayang Kulit Purwa ..................................................... 29 B. Pendidikan 1. Pengertian Pendidikan .................................................................... 32 2. Unsur-unsur Pendidikan ................................................................. 33 3. Tujuan Pendidikan .......................................................................... 35 4. Macam-macam Nilai Pendidikan ................................................... 37 5. Wayang dengan Pendidikan ........................................................... 41 BAB III HASIL PENELITIAN A. Pengertian Lakon Dewa Ruci............................................................... 47 B. Pertunjukan Lakon Dewa Ruci ............................................................ 48 C. Makna Ajaran Dewa Ruci .................................................................... 61 BAB IV PEMBAHASAN A. Kisah Wayang Kulit Lakon Dewa Ruci ............................................... 68 B. Nilai-nilai Pendidikan Cerita Wayang Kulit Lakon Dewa Ruci .......... 69 C. Implementasi Nilai-nilai Cerita Wayang Kulit Lakon Dewa Ruci dalam Pendidikan ............................................................................................ 76

  BAB V PENUTUTP A. Kesimpulan .......................................................................................... 82 B. Saran ..................................................................................................... 83 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi ini, arus modernisasi membawa perubahan dan

  kemajuan yang berarti bagi bangsa Indonesia. Arus modernisasi dapat memberikan kemudahan dalam kehidupan bangsa Indonesia dalam satu sisi.

  Pada sisi lainnya arus modernisasi dapat mengubah jati diri bangsa Indonesia jika salah menyikapinya.

  Indonesia yang kaya akan keragaman budaya dapat dijadikan sebagai alat untuk menegaskan kepribadian bangsa Indonesia. Salah satu unsur yang dapat menjadi identitas jati dan diri kebudayaan bangsa Indonesia adalah kesenian, terutama kesenian wayang kulit yang menjadi kesenian asli bangsa Indonesia itu sendiri dan menjadi salah satu kebanggan bagi bangsa Indonesia hingga ke Mancanegara.

  Budaya wayang merupakan salah satu kesenian tradisional Nusantara yang sampai sekarang masih menghirup hembuskan nafas kehidupannya, terutama di wilayah Jawa, Bali, dan Sunda. budaya asli bangsa Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Di Jawa, seni wayang memiliki berbagai genre, antara lain wayang golek, wayang beber, wayang wong, wayang klitik, dan wayang kulit.

  Berdasarkan ceritanya, wayang kulit masih dibagi menjadi beberapa jenis, antara lain wayang kancil, wayang wahyu, dan wayang purwa (Achmad S.W, 2014:12).

  Wayang adalah salah satu seni budaya bangsa asli Indonesia yang menonjol di antara berbagai karya budaya lainnya. Wayang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali. Selain di Pulau Jawa dan Bali, seni pertunjukan wayang juga populer di berbagai daerah seperti Sunda, Sumatera, dan Semenanjung Malaya. Budaya wayang meliputi berbagai seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan lain-lain.

  Wayang juga merupakan salah satu bentuk seni budaya klasik tradisional yang telah berkembang selama berabad-abad. Budaya wayang yang terus berkembang dari zaman ke zaman juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Dalam perkembangannya wayang kulit lebih populer, karena wayang kulit mengandung banyak ajaran mulia, kesenian pertunjukan wayang kulit masih dipertahankan dan dilestarikan dalam masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa masih membutuhkan pesan-pesan atau nilai-nilai moral dalam cerita wayang kulit.

  Wayang merupakan tontonan sekaligus tuntunan. Tontonan, mengarahkan pada fungsi paedagogis (pendidikan), sedangkan tuntunan merujuk pada arah sebagai sosok karya seni yang mengandung nilai estetis (keindahan). Wayang diturunkan oleh para leluhur secara turun temurun kepada anak cucu mereka secara tradisional, wayang merupakan gambaran kehidupan manusia di dunia yang mengandung dua sifat yaitu, ada sifat baik dan sifat buruk. Sebagai contoh, wayang yang memiliki sifat baik adalah Kesatria Pandawa (dalam cerita Mahabarata).

  Oleh karena itu, wayang oleh para leluhur Jawa diharapkan tidak saja menjadi tontonan, tetapi juga bias menjadi tuntunan manusia dalam berperilaku (Rahardjo, 2010:113). Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

  Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) dalam pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar- benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan. Pada umumnya, masyarakat

  Jawa menggambarkan Punakawan sebagai “orang kecil” (kelas bawah), sedangkan yang menjadi majikannya adalah seorang bangsawan atau priayi (Rahardjo, 2010:114).

  Dalam setiap pagelaran kesenian wayang kulit, cerita wayang selalu berusaha memberikan jawaban mendasar atas berbagai problematika yang terjadi pada kehidupan pribadi maupun umum. Dalam kehidupan pribadi, cerita wayang kulit memberikan jawaban berupa budi pekerti yang tidak hanya bersifat normatif, melainkan aplikatif karena disampaikan dengan contoh- contoh dalam pagelaran kesenian wayang, bukan indoktrinatif (gagasan) melainkan edukatif (mendidik) (Solichin, 2011:12).

  Pagelaran wayang selalu senantiasa mengandung berbagai nilai kehidupan luhur yang dalam setiap cerita lakonnya selalu memenangkan kebaikan dan mengalahkan keburukan. Hal itu menunjukkan bahwa dalam kehidupan suatu perbuatan baik yang akan menang dan perbuatan buruk akan selalu kalah.

  Begitu besarnya peran pagelaran wayang dalam kehidupan umat manusia, itu menunjukkan bahwa wayang kulit tidak hanya menjadi media, tetapi wayang kulit merupakan salah satu identitas jati diri manusia dalam melakukan perbuatan sehari-hari dalam kehidupan.

  Berangkat dari beberapa pandangan diatas, penulis hendak meneliti tentang nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci.

  Sesungguhnya bagaimana kisah wayang kulit lakon Dewa ruci, apa saja nilai- nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci, serta apa implementasi dari nilai-nilai tersebut dalam pendidikan.

  Berbagai nilai yang terdapat dalam cerita wayang kulit dengan lakon Dewa Ruci akan memberikan sumbangan dalam proses pendidikan. Cerita wayang kulit yang telah menunjukkan eksistensinya dalam menghadapi berbagai keadaan zaman, memberikan sumbangan dalam keberhasilan penyiaran agama, sehingga berbagai aspek yang terdapat dalam cerita wayang kulit dapat dikaitkan dengan proses pendidikan.

  Dalam cerita lakon Dewa Ruci terdapat berbagai aspek pendidikan, karena dalam cerita lakon Dewa Ruci terdapat wejangan yang dapat mengobarkan jiwa untuk menuntut ilmu, berbuat sesuai dengan nilai atau norma yang berlaku, dan menjadi cerita yang memuat ajaran moralitas dan budi pekerti yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada, serta memberikan kontribusi yang bermanfaat dalam pendidikan, sehingga menarik untuk dikaji nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci.

  Berdasarkan persoalan tersebut maka penulis tergerak untuk mengajukan penelitian berjudul

  “NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA WAYANG KULIT LAKON DEWA RUCI”.

B. Fokus Penelitian

  Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti mendapatkan beberapa fokus masalah, diantaranya sebagai berikut:

1. Bagaimana kisah wayang kulit lakon Dewa Ruci ? 2.

  Apa nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci ? 3. Bagaimana implementasi nilai-nilai cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci dalam pendidikan ?

C. Tujuan Penelitian

  Sesuai dengan fokus penelitian di atas, adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui kisah wayang kulit lakon Dewa Ruci.

  2. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci.

3. Untuk mengetahui dan memahami penerapan dari nilai-nilai cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci dalam pendidikan.

D. Kegunaan Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat memiliki kegunaan baik untuk peneliti sendiri maupun untuk masyarakat Jawa khususnya. Secara lebih rinci kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.

  Kegunaan Teoritis Secara teoritis keilmuan, hasil dari penilitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan melalui seni budaya wayang kulit, utamanya adalah membentuk jati diri manusia yang baik melalui nilai-nilai pendidikan.

2. Kegunaan Praktis

  Secara Praktis keilmuan, penelitian ini diharapakan dapat menjadi acuan pada proses pembelajaran dan dapat memberi wawasan bagi masyarakat mengenai seni budaya wayang kulit.

E. Penegasan Istilah 1.

  Nilai Nilai juga diartikan kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai dan dapat menjadi objek kepentingan

  (Sjarkawi, 2009:29). Nilai merupakan sifat atau hal-hal yang penting bagi kemanusiaan.

  2. Pendidikan Pendidikan menurut Hamalik (2003:79), didefinisikan sebagai proses pengubahan tingkah laku seseorang melalui serangkaian proses. Secara umum pendidikan adalah usaha untuk membantu seseorang yang belum dewasa mencapai kedewasaan melalui serangkaian proses.

  3. Cerita Cerita adalah serangkaian peristiwa yang disampaikan, baik berasal dari kejadian nyata (non fiksi) ataupun tidak nyata (fiksi).

  Pengertian cerita dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2007:210), a) tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal atau peristiwa; b) karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, atau penderitaan orang (baik sungguh-sungguh terjadi maupun rekaan belaka); c) lakon yang diwujudkan atau di pertunjukkan di gambar hidup (sandiwara, wayang, dan sebagainya); d) omong kosong; dongengan (yang tidak benar).

  4. Wayang Kulit Kata “wayang” berasal dari bahasa Jawa, yaitu “wewayang”, yang artinya bayangan atau bayang-bayang (Poerwadarminta, 1976:745). Wayang Kulit biasanya disebut Wayang Purwa adalah gambar atau tiruan orang dan sebagainya untuk pertunjukan suatu lakon.

  5. Dewa Ruci Dewa Ruci adalah nama seorang Dewa Kerdil (mini) yang dijumpai oleh

  Bima atau Werkudara dalam sebuah perjalanan mencari air kehidupan (Yudhi, 2012:71). Nama Dewa Ruci kemudian diadobsi diangkat menjadi lakon atau judul pertunjukan wayang, yang berisi ajaran atau falsafah hidup moral orang Jawa.

F. Kajian Pustaka

  Wayang merupakan salah satu kesenian tradisi dari bangsa Indonesia yang sampai sekarang masih ada dan dilestarikan. Dalam setiap pementasan wayang, seorang dalang pasti menyelipkan pesan-pesan moral atau pendidikan kepada penonton yang terwujud dalam setiap alur ceritanya. Salah satu cerita pewayangan yang cukup terkenal dan memiliki pesan moral adalah cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci.

  Menurut Pujo Prayitno (1962) dalam terjemahan bebas serat Dewa Ruci Kidung Macapat yang bersumber dari Serat Dewa Ruci Kidung gubahan Pujangga Surakarta. Beberapa waktu kemudian-pada pergantian abad ke-18- 19-di lingkungan Keraton Surakarta, tampil pujangga Raden Ngabehi Yosodipuro I (1792-1803). Banyak karya sastra disebut-sebut sebagai gubahan atau tulisan Yosodipuro I. Serat Dewa Ruci memuat kisah Bima yang atas perintah Durna mencari air suci (tirta pawitra sari) dan akhirnya berjumpa dengan Dewaruci. Dalam wejangan Dewaruci kepada Bima termuat ajaran tentang hakikat diri manusia. Lakon Dewaruci menampilkan pencarian manusia sampai menemukan dirinya yang sejati. Penemuan diri yang sejati ini merupakan modal untuk melaksanakan tugas di tengah masyarakat.

  Yudhi AW dalam bukunya Serat Dewa Ruci Pokok Ajaran Tasawuf Jawa (2012), membahas naskah Dewa Ruci antara pengarang, naskah, hipogram, dan naskah transformasi. Dalam analisinya dijelaskan Serat Dewa Ruci Tulisan Yasadipura I dan naskah-naskah transformasinya. Buku ini memperkaya penelitian ini terutama dalam analisis mengenai kandungan isi dalam pertunjukan wayang.

  Iman Budhi Santosa dalam bukunya yang berjudul Saripati Ajaran Hidup

  

Dahsyat dari Jagad Wayang (2011), wayang kulit dipakai untuk

  memperagakan lakon-lakon yang bersumber dari epos Mahabarata dan

  

Ramayana , oleh karena itu disebut juga Wayang Purwa. Sampai sekarang

  pertunjukan wayang kulit disamping merupakan sarana hiburan juga merupakan salah satu bagian dari upacara-upacara adat. Narasinya menggunakan bahasa lokal.

  Dalam buku ensiklopedia karakter tokoh-tokoh wayang, menyingkap nilai- nilai adiluhung dibalik karakter wayang karya Sri Wintala Achmad (2014) menjelaskan, Bima merupakan tokoh protagonis dalam pewayangan cerita lakon Dewa Ruci yang memiliki ciri fisik tinggi, besar, dan kokoh. Bima tidak dapat menyembah dan menggunakan bahasa yang halus kepada seorang yang pantas dihormati, namun ia memiliki sifat-sifat positif yang melekat di dalam dirinya.

  Buku lain yang menunjang adalah tulisan Bambang Murtiyoso (2004) tentang Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Buku ini merupakan buku penunjang tulisan Soetarno dan Nayawirangka karena dalam buku ini dipaparkan unsur-unsur garap pakeliran secara lengkap sesuai perkembangan saat ini. Tulisan ini berguna untuk menganalisis jenis dan fungsi

  janturan, pocapan, ginem, dhodhogan-keprakan, sulukan, dan gending iringan yang telah mengalami perkembangan dari buku Nayawirangka.

G. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

  Penelitian memerlukan pendekatan yang tepat untuk memperoleh data yang akurat. Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library

  research ), langkah awal dalam penelitian ini adalah dimulai dengan studi

  pustaka mengenai lakon Dewa Ruci. Penulis secara khusus mencari referensi yang bersinggungan dengan lakon Dewa Ruci, struktur lakon, jalinan unsur-unsur pakeliran, estetika pedalangan, pesan-pesan dalam pakeliran baik yang sudah diterbitkan maupun yang belum diterbitkan.

  Sumber-sumber pustaka sebagai data tertulis ini berupa buku-buku, laporan penelitian, dan naskah. Mengenai dilakukannya studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh keabsahan bagi suatu penelitian.

2. Sumber Data

  Sumber Data yang dipakai dalam penelitian ini ada dua, yaitu:

  a) Sumber Data Primer

  Sumber data yang dibuat oleh individu untuk mengungkapkan karya penelitiannya secara otentik dan orisinil, bersumber dari terjemahan bebas serat Dewa Ruci kidung macapat karya Pujo Prayitno (1962) yang menjelaskan tentang cerita lakon Dewa Ruci. b) Sumber Data Sekunder

  Sumber data dari pengumpulan informasi atau data yang diperoleh dari buku-buku dan tulisan dari displin ilmu yang berkaitan, yaitu buku tentang wayang kulit, filsafat, dan kebudayaan Jawa dalam upaya membangun keselarasan dan website tentang nilai-nilai pendidikan dalam wayang kulit.

  3. Prosedur Pengumpulan Data

  Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah peneliti melakukan pengamatan secara langsung dengan membaca dan menelaah dari beberapa referensi buku dan sumber pustaka tentang seni kebudayaan wayang, serta mencari data yang sesuai dengan hal-hal atau variabel dengan keterangan yang jelas dan memadai dengan isi buku.

  4. Analisis Data

  Berdasarkan hasil pengumpulan data, selanjutnya peneliti akan melakukan analisa dan pembahasan secara deskriptif tentang nilai yang terkandung dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci. Dengan demikian, data yang diperoleh disusun sedemikian rupa sehingga dikupas secara runtut.

  Dalam hal ini, penelitian mempelajari suatu masalah yang ingin diteliti secara mendasar dan mendalam. Metode yang digunakan untuk membahas dan sekaligus sebagai kerangka berfikir pada penelitian ini adalah analisis konteks, yaitu suatu usaha untuk mengumpulkan data dan menyusun data yang telah terkumpul, digunakan metode: a) Metode deskriptif, yaitu peneliti menguraikan secara teratur konsepsi buku.

  b) Metode induktif, yaitu dengan analisa isi buku, maka penulis mengambil kesimpulan atau generalisai dengan metode induksi.

5. Tahap-tahap Penelitian

  Tahap-tahap penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut: a.

  Tahap pra lapangan 1)

  Mengajukan judul penelitian 2)

  Menyusun proposal penelitian 3)

  Konsultasi penelitian kepada pembimbing b. Tahap analisis data, meliputi kegiatan:

  1) Penemuan hal-hal yang penting dari data penelitian c.

  Tahap penulisan laporan penelitian: 1)

  Penulisan hasil penelitian 2)

  Konsultasi hasil penelitian kepada pembimbing 3)

  Perbaikan hasil konsultasi 4)

  Pengurusan kelengkapan persyaratan ujian 5)

  Ujian munaqosah skripsi

H. Sistematika Pembahasan

  Sistematika pembahasan dalam penyusunan skripsi ini dipakai sebagai aturan yang saling terkait dan saling melengkapi. Adapun sistematika penulisan adalah sebagai berikut: 1.

  Bagian Awal Berisi mengenai halaman judul, halaman persetujuan pembimbing, halaman pengesahan kelulusan, halaman pernyataan keaslian tulisan, halaman motto dan persembahan, kata pengantar, abstrak dan daftar isi.

2. Bagian Isi

  Bagian ini terdiri dari beberapa bab, antara lain sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Bab I merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

  BAB II: LANDASAN TEORI Bab II merupakan landasan teori dari penelitian. Pada bagian ini dikemukakan teori-teori yang telah diuji kebenarannya yang berkaitan dengan obyek formal penelitian, seperti wayang kulit purwa, meliputi tinjauan tentang pertunjukan wayang kulit purwa, lakon wayang kulit purwa, kelengkapan wayang kulit purwa, pagelaran wayang kulit purwa, dan tinjauan hubungan wayang dengan pendidikan.

  BAB III: HASIL PENELITIAN Bab III merupakan hasil penelitian, dalam bab ini diuraikan tentang pengertian lakon Dewa Ruci dan cerita lakon Dewa Ruci, pertunjukan lakon Dewa Ruci, serta makna ajaran Dewa Ruci.

  BAB IV: PEMBAHASAN Bab IV merupakan pembahasan yang meliputi kisah wayang kulit lakon Dewa Ruci, nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci, dan implementasi nilai-nilai cerita wayang kulit lakon Dewa Ruci dalam pendidikan.

  BAB V: PENUTUP Bab V merupakan kajian akhir dari skripsi atau penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.

3. Bagian Akhir

  Pada bagian akhir memuat:daftar pustaka, lampiran-lampiran, serta daftar riwayat hidup yang dapat mendukung laporan penelitian ini.

BAB II LANDASAN TEORI A. Wayang Kulit 1. Pertunjukan Wayang Kulit Wayang kulit adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang sangat

  populer dan disenangi oleh berbagai kalangan atau lapisan masyarakat di Jawa khususnya. Sesuai dengan namanya, wayang kulit terbuat dari kulit binatang (kerbau, lembu, atau kambing), kemudian diwarnai. Wayang kulit merupakan seni tradisional yang berkembang di Indonesia terutama di pulau Jawa. Warisan kebudayaan wayang merupakan warisan yang adi

  luhung (berharga), edi peni (baik), dan penuh makna bagi kehidupan yang diajarkan pada setiap pertunjukannya.

  Menurut Santosa (2011:12-13), wayang kulit dipakai untuk memperagakan lakon-lakon yang bersumber dari epos Mahabarata dan

  Ramayana , oleh karena itu disebut juga Wayang Purwa. Sampai sekarang

  pertunjukan wayang kulit disamping merupakan sarana hiburan juga merupakan salah satu bagian dari upacara-upacara adat. Narasinya menggunakan bahasa lokal: Jawa, Bali, Banyumasan, Madura, atau Betawi, sesuai lokasi pagelaran. Setiap pertunjukkan wayang diiringi oleh gamelan dan tembang. Di Jawa, penabuh gamelan disebut wiyaga atau pengrawit. Jumlah mereka biasanya sekitar 18 orang, pelantun tembangnya terdiri dari beberapa perempuan (waranggana) dan beberapa lelaki yang disebut

  pradangga (wiraswara). Pagelaran wayang kulit atau wayang purwa di

  Jawa biasanya dimulai pada pukul 21.00 hingga pukul 04.00 dini hari (menjelang subuh). Waktu pementasan tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu, phatet nem, phatet sanga, phatet manyura. Makna pembagian waktu tersebut menggambarkan kelahiran, pertumbuhan, dan kematian. Semua itu merupakan lambang perputaran hidup manusia dalam pandangan mistik di Jawa. Sisi menarik dari pertunjukkan wayang purwa adalah pesan moral, etika, dan sikap hidup (budi pekerti) yang terdapat dalam setiap lakon yang digelar. Selain itu, aspek kemampuan dalang serta adegan goro-goro yang menampilkan humor punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) juga merupakan salah satu kekuatan wayang purwa, untuk meraih simpati masyarakat yang terus berubah dari zaman ke zaman.

  Awal mula bentuk wayang kulit purwa pertama kali adalah pada masa Raja Jayabaya di Kerajaan Kediri tahun 1135 Masehi. Saat itu, Raja Jayabaya ingin menggambarkan bentuk para leluhurnya dengan lukisan di daun lontar. Menurut Hazeu, cerita wayang sudah ada sejak zaman Raja Airlangga di Kerajaan Kahuripan di permulaan abad ke-11 Masehi. Pada saat itu, Raja Airlangga memiliki seorang raja kesusasteraan hebat, yaitu Empu Kanwa. Galigi merupakan salah satu tokoh dalam pewayangan, ia biasanya membawakan sebuah cerita tentang Bima, seorang Ksatria dari kisah Mahabharata. Penampilan yang dibawakan oleh Galigi tercatat dalam kakawin Arjunawiwaha yang dibuat oleh Empu Kanwa pada tahun 1135 yang mendiskripsikannya sebagai seorang yang cepat, dan hanya berjarak satu wayang dari Jagatkarana. Kata jagatkarana merupakan sebuah ungkapan untuk membandingkan kehidupan nyata dengan dunia perwayangan, dimana Jagatkarana yang berarti penggerak dunia atau dalang terbesar hanyalah berjarak satu layar dari kita (Kresna, 2012:31) .

  Menurut buku-buku Jawa seperti Serat Centhini dan Sastramiruda, dijelaskan bahwa wayang purwa sudah ada sejak zaman Prabu Jayabaya yang memerintah Kerajaan Mamenang tahun 989 Masehi, di mana wayang telah digambarkan diatas daun lontar. Wayang pada masa itu masih erat sekali kaitannya dengan fungsi religius, yaitu untuk menyembah atau memperingati para leluhur dan raja-raja yang telah meninggal dunia.

  Selanjutnya, pada zaman Prabu Suryahamiluhur yang memerintah Kerjaan Jenggala tahun 1244 Masehi, wayang purwa sudah dibuat di atas kertas Jawa (kulit kayu) dimana sisinya dijepit dengan kayu agar dapat tergulung rapi. Perkembangan selanjutnya pada zaman Raja Brawijaya yang memerintah Kerajaan Majapahit tahun 1379 Masehi, di mana wayang purwa telah dilukis berbagai warna dengan lebih rapi, lengkap, dengan pakaian yang kemudian disebut sebagai wayang sunggingan. Berlanjut ketika Raden Patah di Demak tahun 1515 Masehi, wayang purwa disempurnakan lebih baik lagi agar tidak bertentangan dengan agama (Soetarno, 2007:9).

  Dari beberapa penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa asal kelahiran wayang kulit purwa itu berada di Jawa. Wayang dari zaman ke zaman selalu mengalami perkembangan dan perubahan baik yang berupa bentuk, teknik permainanya, rincian, maupun jenisnya. Walaupun mengalami perkembangan dan perubahan akan tetapi wayang kulit tetap eksis dalam setiap pertunjukannya. Wayang kulit digunakan dalam pementasan untuk memperagakan lakon-lakon yang bersumber dari epos

  

Mahabarata dan Ramayana. Wayang kulit purwa menceritakan lakon-

  lakon yang dimainkan oleh pedalang. Wayang kulit mempunyai berbagai unsur yang dapat mendukung setiap pagelaran wayang kulit, anatara lain dalang, wiyaga, gamelan, dan unsur-unsur lain. Dalam cerita tersebut terdapat ajaran-ajaran mulia seperti pesan moral, etika, dan sikap hidup (budi pekerti) yang dapat dijadikan gambaran hidup manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Wayang kulit juga bisa dijadikan acuan dalam proses pendidikan, karena nilai-nilai yang terkandung didalamnya mengandung berbagai ajaran yang mulia.

  Sumber lain menjelaskan, dalam pertunjukan wayang kulit purwa jumlah adegan dalam satu lakon tidak dapat ditentukan. Jumlah adegan ini akan berbeda-beda berdasarkan lakon yang dipertunjukkan atau tergantung dalangnya. Sebagai pra-tontonan adalah tetabuhan yang tidak ada hubungannya dengan cerita pokok, jadi hanya bersifat sebagai penghangat suasana saja atau pengantar untuk masuk ke pertunjukan yang sebenarnya.

  Sebagai pedoman dalam menyajikan pertunjukan wayang kulit biasanya seorang dalang akan menggunakan pakem pedalangan berupa buku pedalangan. Namun ada juga dalang yang menggunakan catatan dari dalang-dalang tua yang pengetahuannya diperoleh lewat keturunan.

  Meskipun demikian, seorang dalang diberi kesempatan pula untuk berimprovisasi, karena pakem pedalangan tersebut sebenarnya hanya berisi inti cerita pokok saja. Untuk lebih menghidupkan suasana dan membuat pertunjukan menjadi lebih menarik, improvisasi serta kreativitas dalang ini memegang peranan yang amat penting. Warna rias wajah pada wayang kulit mempunyai arti simbolis, akan tetapi tidak ada ketentuan umum di sini. Warna rias merah untuk wajah misalnya, sebagian besar menunjukkan sifat angkara murka, akan tetapi tokoh Setyaki yang memiliki warna rias muka merah bukanlah tokoh angkara murka. Jadi karakter wayang tidaklah ditentukan oleh warna rias muka saja, tetapi juga ditentukan oleh unsur lain, seperti misalnya bentuk (patron) wayang itu sendiri. Perbedaan warna muka wayang ini tidak akan diketahui oleh penonton yang melihat pertunjukan dari belakang layar. Alat penerangan yang dipakai dalam pertunjukan wayang kulit dari dahulu sampai sekarang telah banyak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan teknologi. Dalam bentuk aslinya alat penerangan yang dipakai pada pertunjukan wayang kulit adalah blencong, kemudian berkembang menjadi lampu minyak tanah (keceran), sekarang banyak yang menggunakan lampu listrik diakses tanggal 12 Oktober 2015).

  Dari pemahaman tersebut dapat ditegaskan bahwa, wayang kulit purwa setiap tokoh yang dimainkan memiliki karakter yang berbeda-beda.

  Pertunjukan wayang kulit purwa memiliki tujuan tidak hanya sebagai tontonan (hiburan), namun wayang kulit purwa juga sebagai tuntutan

  (pembelajaran) bagi setiap penonton. Dengan demikian, sesudah menyaksikan pertunjukan wayang kulit purwa seorang penonton yang arif akan meneladani tingkah laku atau karakter dari setiap tokoh wayang yang dimainkan dengan karakter yang baik. Akhir-akhir ini para pedalang memberikan perubahan pada bentuk wayang dengan bentuk yang berbagai macam untuk menambah meriahnya pertunjukkan wayang, ada yang membuat wayang dengan tokoh pahlawan, tokoh-tokoh nasional, dan kartun anak-anak. Akan tetapi, semua itu tidak mengurangi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai pendidikan dalam cerita wayang mengandung banyak ajaran mulia yang dapat dijadikan pedoman bagi kehidupan manusia.

  Dengan demikian, pertunjukan wayang kulit dapat dijadikan pedoman hidup bagi manusia dan menjadi sarana untuk memberikan nilai-nilai pendidikan moral dan etika (budi pekerti) yang menyenangkan, karena suasananya menghibur penonton. Selain memperoleh hiburan dengan seni yang dimainkan oleh dalang dengan wayang kulit serta lagu-lagu iringan oleh para sinden atau penyanyi lagu-lagu yang mengiringi kisah cerita dalam pertunjukan wayang, penonton juga mendapatkan pendidikan moral dan budi pekerti.

2. Lakon Wayang Kulit Purwa

  Pertunjukan wayang kulit purwa lazim disebut pakeliran adalah salah satu cabang seni pertunjukkan tradisional bermedium ganda yang perwujudannya merupakan jalinan berbagai unsur, salah satunya adalah lakon. Jika orang melihat sebuah pertunjukkan wayang, sebenarnya yang dilihat adalah pertunjukkan lakon. Dengan demikian kedudukan lakon didalam pakeliran sangat vital sifatnya. Melalui garapan lakon akan terungkap nilai-nilai kemanusiaan yang dapat memperkaya pengalaman kejiwaan. Istilah lakon ternyata mengandung cakupan pengertian yang cukup luas. Dikalangan pedalangan pengertian lakon sangat melekat dari konteks pembicaraanya. Lakon dapat diartikan alur cerita, hal ini tampak pada ungkapan bahasa Jawa yang berbunyi “lakone kepriye, lakone opo, lan lakone sopo?”. Dari ungkapan pertama menunjukkan bahwa lakon diartikan sebagai jalan cerita, kemudian dari ungkapan kedua berarti judul cerita, sedangkan ungkapan terakhir diartikan sebagai tokoh utama dalam cerita (Kuwato, 1990:6).

  Menurut Soetarno (1995:31-37), lakon wayang menurut jenisnya dapat dibagi menjadi beberapa golongan, antara lain: a.

  Lakon Tragedi Lakon tragedi adalah jenis lakon yang menceritakan perang besar antara kedua tokoh sehingga dalam peristiwa itu timbul banyak korban.

  Contoh: Perang Bharatyudha yaitu perang antara pandawa dan kurawa.

  b.

  Lakon Raben atau Alap-alapan Lakon raben adalah lakon yang menceritakan perkawinan antara seorang putri raja dengan pangeran atau kesatria. Lakon perkawinan ini biasanya diawali dengan percintaan calon mempelai wanita mengenai suatu yang disebut bebama atau permintaan. Contoh: Parta karma,

  Alap-alap Rukmini .

  c.

  Lakon Lahiran (kelahiran) Lakon jenis ini adalah menceritakan kelahiran tokoh wayang tertentu yang mempunyai karakter baik atau tokoh yang baik. Contoh: Kelahiran

  Gatutkaca .

  d.

  Lakon Kraman Lakon kraman adalah lakon yang menceritakan ketidakpuasan tokoh tertentu terhadap raja yang sedang berkuasa dengan kata lain pemberontakan untuk menjatuhkan penguasa. Contoh: Kangsa adu jago.

  e.

  Lakon Wahyu Lakon wahyu adalah lakon yang menceritakan tokoh-tokoh tertentu yang mendapat anugerah berupa wahyu dari dewa atas jasa-jasanya.

  Contoh: Wahyu Cakraningrat.

  f.

  Lakon Lebet atau Kasepuhan (mistik) Lakon ini berisi mengenai ajaran atau falsafah hidup atau ilmu kesempurnan hidup. Contoh: Dewa Ruci atau Bima Suci.

  Jadi, penulis menyimpulkan bahwa lakon wayang kulit purwa adalah perjalanan cerita wayang atau rentetan peristiwa wayang. Perjalanan cerita wayang ini berhubungan erat dengan tokoh-tokoh yang ditampilkan sebagai pelaku dalam pertunjukkan sebuah lakon. Unit adegan yang satu dengan lainnya saling terkait baik langsung maupun tidak langsung membentuk satu sistem yang disebut lakon. Setiap pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda. Ragam lakon terbagi menjadi beberapa bagian yang masing-masing mempunyai alur cerita sendiri.

3. Unsur-Unsur dalam Wayang Kulit Purwa

  Dalam pertunjukan seni wayang kulit purwa, dari setiap unsur pertunjukan wayang kulit purwa memiliki makna simbolik. Berikut ini adalah makna simbolik dari setiap unsur dalam pertunjukan wayang: a.

  Dalang yaitu orang yang memainkan wayang. Dalang bertugas sebagai pemimpin pertunjukan. Dalang adalah orang yang hanya sekedar menjalankan cerita-cerita (lakon) wayang yang telah ada sebelumnya. Meskipun demikian, dalang harus memahami betul pakem gamelan, karakter wayang, cengkok tembang, pribadi masing-masing dan wiyaga. Dalang menjadi pembawa cerita, sekaligus

  waranggana

  pemimpin atau komando bagi seluruh tim yang bersama-sama menjalankan pementasan “sandiwara kehidupan” wayang. Kekompakan terjadi bilamana para waranggana, wiyaga, dan asisten dalang memahami secara persis bagaimana jalan cerita lakon, menghayatinya serta bagaimana keinginan-keinginan Ki Dalang selama melakonkan wayang.

  Dalang ibarat pemuka agama, tokoh masyarakat, koordinator paguyuban dan perkumpulan, sesepuh desa, pemuka adat, pemimpin spiritual, yang hanya sekedar menjalankan hukum kodrat Tuhan, hukum alam, nilai-nilai tradisi dan budaya yang telah ada sebelumnya untuk mendasari lakon kehidupan di mercapada, sejak bumi ini ada. Siapapun boleh dan bisa menjadi dalang, tidak pandang derajat, pangkat, maupun golongan. Maknanya, setiap orang boleh dan bisa menjadi ahli spiritual, pemuka adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dst. Setiap manusia berhak menjadi khalifah di mercapada. Tak perlu menunggu disuruh- suruh Tuhan. Syaratnya hanyalah memahami akan nilai kesejatian kebenaran, memiliki banyak ilmu pengetahuannya, serta mampu mengendalikan diri agar menjadi manusia yang arif, berwibawa, bijaksana, adil dan paling penting adalah bersedia berbuat kebaikan pada sesama tanpa pandang apa sukunya, apa agamanya, apa budayanya, dari mana asalnya, siapa namanya, apa jabatannya. Dalang menjadi jalma

  . Umpama

  manungsa kang hambeg utama, sadrema netepi titahing Gusti

  manusia-manusia suci penegak keadilan dan kebenaran di muka bumi, yang hanya menetapkan segala tindakannya sesuai lakon dalam kodrat Hyang Widhi.

  b.

  Nayaga atau pengrawit merupakan istilah dalam pewayangan, yaitu sekelompok orang yang memiliki keahlian khusus menabuh gamelan.

  c.

  Sinden/ Swarawati yaitu orang yang bertugas seperti penyanyi. Di era modern ini sinden mendapatkan tempat atau posisi yang hamper sama dengan penyanyi campursari, bahkan sinden juga harus menjaga penampilan dengan berpakaian rapid an menarik.

  d.

  Pelawak yaitu orang yang melucu dalam pertunjukan wayang, pelawak juga termasuk tambahan dalam pertunjukan wayang. Sekarang dalam setiap pertunjukan wayang pelawak rata-rata ditampilkan, karena pelawak memiliki fungsi yaitu menghibur para penonton.

  e.

  Wayang yaitu boneka tiruan orang yang terbuat dari kulit binatang yang dimainkan oleh seorang dalang. Melalui seorang dalang, wayang- wayang tersebut dimainkan dengan latar belakang kelir di panggung kehidupan. Wayang dimaknai sebagai bayangan yang ditangkap oleh penonton dari belakang kelir. Namun dalam perkembangannya, pertunjukan wayang ketika dimainkan kini disaksikan oleh penonton dari depan kelir.

  f.

  Kotak yaitu tempat menaruh wayang yang berbentuk kotak dan terbuat dari kayu, juga digunakan oleh dalang untuk dodogan yang berfungsi memberi aba-aba pada pengiring dan menggambarkan suasana adegan. Wayang yang berada dalam kotak tersusun rapi dna keluar apabila akan dipentaskan, seorang dalang harus mengetahui wayang apa saja yang akan dimainkan dalam lakon yang akan dipentaskan.

  g.

  Keprak yaitu lempengan besi atau perunggu yang diletakan di kotak wayang dan dibunyikan oleh dalang, berfungsi sebagai pengisi suasana dan pemberi aba-aba.

  h.

  Cempala yaitu alat untuk membunyikan keprak. Untuk cempala yang dijepit dengan jempol kaki berbahan besi, sedang yang dipegang tangan berbahan kayu. Cempala yang dipegang tangan kiri dalang mempunyai fungsi yang sentral karena setiap sesi menggunakan pukulan cempala. i.

  Kelir yaitu kain putih dengan lis warna hitam atau merah yang dibentang, berfungsi untuk tempat memainkan wayang. Kelir juga merupakan sebuah layar berwarna putih berbentuk empat persegi panjang dengan panjang 2 hingga 12 meter dan lebar 1,5 hingga 2,5 meter. Namun pada perkembanganya ada yang membuat kelir dengan bentuk setengah lingkaran. j.

  Debog yaitu batang pisang yang ditata dibagian gawang kelir berfungsi untuk menancapkan wayang. k.

  Blencong yaitu lampu untuk menerangi gawang kelir. Dahulu lampu terbuat dari tembaga berbahan bakar sumbu dan minyak kelapa. Dalam pengertian Jawa blencong yang bersinar menandakan tentang adanya sinar kehidupan yang terus menyertai kehidupan manusia. l.

  Simpingan yaitu wayang-wayang yang ditata rapi dikanan kiri gawang kelir. m.

Dokumen yang terkait

NILAI-NILAI KEDISIPLINAN DALAM NOVEL ANAK SEJUTA BINTANG SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam

0 1 156

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM NOVEL ANAK-ANAK ANGIN KARYA BAYU ADI PERSADA SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam

0 0 144

NILAI-NILAI SPIRITUAL DALAM NOVEL SYAHADAT CINTA KARYA TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

0 3 168

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM NOVEL BIDADARI-BIDADARI SURGA KARYA TERE LIYE SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam

0 0 138

NILAI- NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM FILM HAJI BACKPACKER SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Dalam Ilmu Tarbiyah

0 0 104

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM FILM ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI KARYA DEDDY MIZWAR SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam

0 0 191

NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER SURAT AL-AN’AM AYAT 151-153 DAN PENERAPANNYA DALAM PAI SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

1 2 105

NILAI-NILAI PENDIDIKAN MORAL DALAM NOVEL MAHKOTA CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

0 0 107

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SURAT AL-FURQON AYAT 63-67 SKRIPSI Disusun Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (SI)

1 0 80

NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER PADA KITAB TA’LIM AL-MUTA’ALIM KARYA AL-ZARNUJI SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam

0 2 104