GAMBARAN FASE DUKACITA SAAT UPACARA TRADISIONAL RAMBU SOLO’ PADA KELUARGA DAN KERABAT YANG DITINGGALKAN Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  

GAMBARAN FASE DUKACITA SAAT UPACARA

TRADISIONAL RAMBU SOLO’ PADA KELUARGA DAN

KERABAT YANG DITINGGALKAN

Skripsi

  

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

  

Oleh :

Ratnawati Helen Karoma

NIM : 019114170

  

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2008

  Dalam sgala perkara Tuhan punya rencana Yang lebih besar dari semua yang terpikirkan Apapun yang Kau perbuat Tak ada maksud jahat Sbab itu kulakukan semua denganMu Tuhan Ku tak akan menyerah Pada apapun juga Sebelum kucoba semua yang ku bisa Tetapi kuberserah kepada kehendakMu Hatiku percaya Tuhan punya rencana (Jeffry S. Tjandra)

  Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya

  

Your gentle guidance has immeasurably influence all that I’ve done, all that I

do, and all that I will ever do

Your sweet spirit is indelibly imprinted on all that I have been,

all that I am, and all that I will ever be

  

Thus, you are part of all that I accomplish and all that I become

And so it is that when I help my neighbor,

your helping hand is there also

When I ease the pain of a friend, she owes a debt to you

  

When I show a child a better way, either by word or by example,

you are the teacher once removed

Because everything I do reflects values learned from you,

any wrong that I right, any heart I may brighten,

any gift that I share, or burden I may lighten,

is in its own small way a tribute to you

  

Because you gave me life, and more importantly, lessons in how to live, you

are the wellspring from which flows all good I may achieve in my time on earth

For all that you are and all that I am,

thank you,

  

Mom and Dad

(David L. Weatherford)

Dedicated to…..

KATA PENGANTAR

  Segala pujian , horm at, serta syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas begitu besarnya kasih, hikm at, pen yertaan dan m ujizat yan g telah din yatakan Nya dalam kehidupan pen ulis. Tan paNya, pen ulis bukan lah apa-apa.

  Terselesaikan n ya tulisan in i tak lepas dari peran serta dan ban tuan dari berbagai pihak yan g telah ban yak m em ban tu pen ulis, un tuk itu dalam kesem patan in i pen ulis in gin m en gucapkan terim a kasih sebesar-besarnya kepada :

  1. Bapak Paulus Eddy Suhartan to, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Un iversitas San ata Dharm a Yogyakarta serta selaku dosen pem bim bin g akadem ik.

  2. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi.

  Terim a kasih atas kesediaan waktu, perhatian , kesabaran dan ban tuan yan g am at berharga bagi pen ulis dari awal hin gga akhir pen ulisan sehin gga karya in i akhirn ya bisa terselesaikan .

  3. Ibu Tanti dan Ibu Ari selaku dosen penguji. Terima kasih atas segala

  pertan yaan dan m asukan yan g diberikan , terutam a un tuk kesem patan kedua yan g telah diberikan bagi pen ulis un tuk m em ben ahi karya in i sehingga m enjadi lebih baik.

  4. Dosen -dosen Fakultas Psikologi yan g telah m en didik pen ulis selam a m en em puh ban gku perkuliahan .

  5. Segen ap staf Fakultas Psikologi, m as Gan dun g, m bak Nan ik, m as Muji, m as Don i, dan pak Gi’, terim akasih atas ban tuan yan g telah diberikan , dan juga un tuk sen yum an dan sapaan yan g sem akin m em buat suasana kam pus m akin cerah dan bersem an gat.

  6. Keduabelas subjek pen elitian di Tan a Toraja, terim a kasih atas waktu dan kesediaanya m em ban tu pen ulis dalam pen elitian in i.

  7. Yan g tercin ta : Papa-Mam a… Terim a kasih ban yak ya…akhirn ya Wati bisa m en yelesaikan sem ua in i. Terim a kasih buat papa yan g terus-m en erus m en gan tarkan pen ulis selam a pen carian data, juga buat m am a atas segala doa-doa dan n asehat yan g diberikan . Segala pen gorban an yan g begitu besar yan g telah diberikan sun gguh san gat Wati syukuri. Tuhan Yesus

  8 . Adik-adikku, Gabriel, Lider, dan Freddy, jan gan n akal, just be a n ice guy

  Lov e y ou so m uch guy s…

  9. Om a, om Karan gan , dan tan te Oktovin a. Terim a kasih atas segala dukun gan dan doa-doan ya, Tuhan m em berkati.. 10 . Sahabat-sahabatku tercinta, Yola, Elfa, Ira, Nin a, Nism a. I’m so proud to

  hav e y ou as frien ds . Bertahun -tahun baren g kalian sungguh m en jadi berkat

  tersen diri buatku. M iz u all galz!!!!!!! 11.

   Teman-teman KIBAID Jogja, Eben, Nunink “Laut”, Uthy, Abert “Bona”,

  Yusli, An to, Ron i, Lisa, Von n y, Arlis, Aldon , Ady, Desy, Ope, Siska, Gerson , Don al, Dilles, J effry, Riyan ti, Ika, Nan i, Uren t, Novi, kak Payuk, Uthe, Osy, Maxi, m am a Tian , dan bpk. Yerahm el Bulun g (kapan kawin ??) Duuh…jalan m a kalian em an g ga ada m atin ya deh!!!! Thx abiezt atas cin ta, kebersam aan dan perhatian yan g selalu kalian berikan padaku. H idup di J ogja ga akan ada artin ya tan pa kalian (ciiee…)… Bless u all!!

  12. Oran g-oran g yan g selam a in i ban yak m em berikan dukun gan , ada Sita, Yupha yan g (katan ya) can tik (awet selalu m a Ady ya kecil..), Icha, Elvin , Yosi, Oho, m bak Nia, kak Fon a, Grace, Fan ya, tem en -tem en di P3 UKDW.

  GBU alw ay s..

  13. Tem an -tem an Ikapm ajaya, Im an, Ansi, Gita, daddy Aten k, Atta, all Pogun g kru, Babarsari, asram a, ev ery w here, banyak ban get kalo m au disebutin satu persatu. Ma kasih ban get buat kebersam aan kita selam a in i. H idup Sang

  Toray aan!

  14. Tem an m ain , Cin ghe, Non i, Lin on g, Dody, Qn oy, H appy, Ady, Bram , Felix, Yoki, Riko (Mc D lagikah ???). GBU all.

  15. Segala baran g, tem pat, yan g m en jadi saksi hidup perjuan gan ku n yelesein TA n iy, kam arkuw, lappykuw, lappy Un i m a Ben ga, kom pi Yupha, si Uu’, si pitung m a pem ilikn ya, H olland, dll.

  16. Kam u……………finally be w ith u………

  17. Tak lupa pen ulis juga m en gucapkan terim a kasih pada pihak-pihak yan g tidak dapat disebutkan satu per satu. Terim a kasih ban yak… ….TUH AN MEMBERKATI KALIAN SEMUA….

  

ABSTRAK

GAMBARAN FASE DUKACITA SAAT UPACARA TRADISIONAL

RAMBU SOLO’ PADA KELUARGA DAN KERABAT

  

YANG DITINGGALKAN

Ratnawati Helen Karoma

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

  

Yogyakarta

2008

  Di daerah Tana Toraja, Sulawesi Selatan, terdapat sebuah upacara kematian yang berbeda dengan upacara-upacara kematian di daerah lain yang disebut Rambu Solo’. Kematian yang biasanya kental dengan suasana dukacita tidak terlihat pada upacara ini, melainkan berbagai ekspresi sukacita yang terlihat lewat gelak tawa pada upacara tersebut. Tujuan penelitian ini adalah melihat berada pada fase mana dukacita masyarakat Toraja pada saat upacara tradisional

  Rambu Solo’.

  Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, yang menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara terhadap subjek penelitian selama upacara kematian berlangsung. Subjek dalam penelitian ini berjumlah dua belas orang dewasa berusia 24-72 tahun yang berasal dari berbagai kasta masyarakat di Tana Toraja. Keduabelas subjek tersebut berasal dari empat sanak keluarga yang mengalami kematian anggota keluarganya.

  Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa pihak keluarga dan kerabat almarhum/almarhumah, telah sampai pada fase terakhir dari dukacita. Penyimpanan jenazah di rumahnya serta persiapan upacara yang menyita banyak waktu dan tenaga membuat pihak keluarga masih memiliki waktu untuk melayani almarhum untuk terakhir kalinya, sehingga selama itu, dukacita yang dialami pihak keluarga dan kerabat semakin berkurang. Faktor lainnya adalah kedekatan subjek dengan almarhum/almarhumah, dimana subjek yang adalah keturunan langsung dari almarhum tidak menampakkan reaksi seperti subjek-subjek yang adalah kerabat saja. Kedekatan hubungan tersebut membuat pengaruh kematian berbeda di tiap subjek, sehingga menimbulkan fase dukacita yang berbeda pula. Pelaksanaan upacara kematian itu sendiri akhirnya menjadi suatu pesta rakyat yang membuat setiap orang untuk bersukacita dan menikmatinya. Pelaksanaan upacara kematian yang penuh dengan kemeriahan pesta menuntut keluarga untuk sibuk dengan segala hal yang berhubungan dengan upacara ini sehingga mereka

  

ABSTRACT

DESCRIPTION STAGES OF GRIEVING IN TRADITIONAL

CEREMONY RAMBU SOLO’ ON THE FAMILY AND RELATIVES

THAT ARE LEFT

  

Ratnawati Helen Karoma

Faculty of Psychology

Sanata Dharma University

Yogyakarta

  

2008

  In Tana Toraja, South Sulawesi, there is a funeral ceremony that is different from funeral ceremonies in other areas, called Rambu Solo’. Death is closed to the sense of grief. However, it is not seen in this ceremony, except the real happiness that is seen in peolple’s laugh in this funeral ceremony. This research was meant to see the description of stages of grieving of the family in this traditional ceremony Rambu Solo’.

  This research used qualitative descriptive approach, that used data collecting method by interviewing the research subjects and observing subjects and the setting during the funeral ceremony. Subjects of this research were twelve adults who are 24-72 years old coming from various social-classes of Toraja society. Those twelve subjects were from four families and relatives that were left by one of their family.

  The research finding showed that that the family and relative of the death person had come to the final stages of grieving. The process of laying death-body away at his/her house for long time and preparation of the ceremony that took a lot of time of the family made them still have time to serve his/her for the last time. While that, the grief that the family felt was decreased. Other factor is subject closeness with the deceased. This closeness made a different influence of death among the subjects, so it made a different stages of grieving too. The held of this ceremony finally become a society party that made everyone feel happy and enjoy it. This big and full of merriments ceremony made the family busy with all things that related to this ceremony, so they did’t have time to get into their sadness.

  DAFTAR ISI

  Halaman Judul ……………………………………………………………. i Halaman Persetujuan Pembimbing ………………………………………. ii Halaman Pengesahan …………………………………...………………… iii Halaman Persembahan …...…………………………….………………… iv Kata Pengantar……..……………………………………………………. vi Pernyataan Keaslian Karya………………………………………………. viii Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi....………………….....………. ix Abstrak .….…………………………………………………… ………… x Abstract ………………………………………………………………….. xi Daftar Isi .………………………………………………………………… xii Daftar Tabel ……………………………………………………………… xv Daftar Lampiran ……………………………………… …………………. xvi

  

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….. 1

Latar Belakang Masalah ………………………………………….

  1 A.

  B. Rumusan Masalah …………………..………………………

  7 C. Tujuan Penelitian ……...………………………………...….

  7 D. Manfaat Penelitian…………………………………………..

  7 BAB II LANDASAN TEORI…..……………………………………… 9 A. Dukacita………………………………………………........ .

  9

  2. Jenis Dukacita…………………………………………..

C. Upacara Kematian Rambu Solo’…………………………… 18

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……………………………… 27 A. Jenis Penelitian ….………………………………………… .

  30 E. Analisis Data …………………………….………………….

  35

  35 2. Waktu dan Tempat Penelitian…………………………..

  35 1. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian…………………..

  35 A. Pelaksanaan …………………………………………….….

  32 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………. …

  32 E. Pemeriksaan Keabsahan Data ……………………………...

  29 D. Metode Pengumpulan Data …………………………………

  10

  27 B. Batasan Istilah……………………………………………… 28 C. Subjek Penelitian ………………………………………….

  D. Gambaran Fase Dukacita saat Upacara Tradisional Rambu Solo’ pada Keluarga dan Kerabat yang Ditinggalkan.………….... 24

  2. Rambu Solo’……………………………………………. 20

  1. Upacara Kematian……………………………………… 18

  2. Masyarakat Toraja……………………………………… 17

  1. Asal-usul Toraja……………………………………........ 16

  16

  11 B. Masyarakat Toraja………………..…………………………

  3. Fase Dukacita……………………………………………

3. Subjek Penelitian………………………………………. 36

  1. Analisa Kasus I………………………...………………. 36

  2. Analisa Kasus II………………………………………... 44

3. Analisa Kasus III………………………………………. 52

  4. Analisa Kasus IV……………………………………..... 57

C. Pembahasan………………………………………………… 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……………………………….. 71 A. Kesimpulan………………………………………………… 71 B. Saran ……………………………………………………… 72 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………. 73

  

DAFTAR TABEL

  Tabel 1 : Faktor-faktor yang diungkap dalam wawancara………………… 31 Tabel 2 : Waktu dan tempat penelitian………………………. ……………

  35 Tabel 3 : Data subjek………………………………………………………. 37 Tabel 4 : Data subjek ………………..………………………. ……………

  45 Tabel 5 : Data subjek ………………..………………………. ……………

  53 Tabel 6 : Data subjek ………………..………………………. ……………

  58

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran A : Hasil Wawancara Subjek 1 – 3 ……………………………………..

  75 Lampiran B : Hasil Wawancara Subjek 4 - 6..…………………………………….

  87 Lampiran C : Hasil Wawancara Subjek 7 - 9. ……………………………………..

  95 Lampiran D : Hasil Wawancara Subjek 10 - 12…………………………………… 103

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap etnis memiliki tradisi, bahasa, serta bentuk-bentuk kebudayaan

  yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ini menunjukkan bahwa tiap suku bangsa di Indonesia memiliki kekhususan sendiri yang menjadi identitasnya. Propinsi Sulawesi Selatan memiliki empat suku yang mendiami wilayahnya, yakni suku Makassar, Mandar, Bugis, dan Toraja (T. Sampe, 1991). Salah satu suku yakni suku Toraja mempunyai kebudayaan yang khas dan unik serta mempunyai dasar- dasar budaya yang berbeda dengan daerah-daerah lain. Salah satu keunikan tersebut dapat kita lihat melalui upacara kematian Rambu Solo’.

  Pada kebanyakan masyarakat, kematian tidak dipandang sebagai akhir dari eksistensi-walaupun tubuh biologis telah mati, namun spiritualitas tubuh dipercaya masih tetap hidup (Santrock, 1995). Hal tersebut seperti yang diyakini oleh masyarakat Toraja bahwa kematian bukanlah akhir dari segala kehidupan.

  Oleh karena itu, merupakan suatu kewajiban bagi keluarga untuk merayakan pesta terakhir sebagai bentuk penghormatan kepada arwah yang akan menuju ke alam

  

puya atau alam baka (Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan,

1984).

  Bagi masyarakat Toraja sendiri, konsep hidup dan mati menurut ajaran

  

Aluk Todolo (agama dari nenek moyang) merupakan suatu kesinambungan proses kehidupan, dimana tidak ada batas yang tajam antar keduanya. Dikatakan bahwa mati itu hanyalah merupakan peralihan bentuk, peralihan tempat operasi hidup, dan peralihan wujud. Hidup ini merupakan jembatan untuk sampai kepada alam gaib tanpa memutuskan hubungan dengan kehidupan di alam nyata. Alam nyata ini merupakan kesempatan yang harus dipergunakan sebaik-baiknya untuk mengumpulkan kebaikan, harta, kebenaran dan keadilan, serta membina hubungan dengan keluarga. Semuanya itu akan menjadi bekal dalam perjalanan ke kehidupan alam gaib. Bekal yang telah dipersiapkan pada masa hidup akan dikorbankan pada waktu matinya agar deata-deata (dewa-dewa) menyambutnya dengan senang hati (Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, 1984).

  Upacara kematian itu sendiri diadakan oleh anggota keluarga dilandasi oleh suatu anggapan bahwa kematian itu merupakan suatu perjalanan hidup yang beralih ke alam lain (Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, 1984). Peralihan dari satu kehidupan ke kehidupan lain merupakan peristiwa yang harus diupacarakan. Melalui upacara ini, maka peristiwa-peristiwa kehidupan dapat dialihkan ke tahap berikutnya yang senantiasa diusahakan meningkat pada taraf yang lebih tinggi. Peningkatan kehidupan tersebut banyak ditentukan oleh kualitas upacara, yaitu mengenai jumlah hewan yang dikorbankan, ramainya orang yang berkunjung, sistem penyelenggaraan upacara yang mantap, serta peletakkan fungsi-fungsi simbol sesuai dengan makna yang mewakilinya, menurut sistem kepercayaan yang dihormati bersama (Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, 1984).

  Biasanya upacara Rambu Solo’ membutuhkan dua sampai tiga hari bahkan bisa sampai dua minggu bagi bangsawan, barulah mayat bisa dimakamkan atau dikuburkan (www.kompas.com). Tidak sedikit pula biaya yang harus dikeluarkan pihak keluarga untuk membiayai jalannya prosesi Rambu Solo’. Selama itu, jenazah disemayamkan dalam peti di rumah duka. Melalui hal tersebut, dapat kita lihat bahwa upacara Rambu Solo’ merupakan ritual yang sangat panjang dan melelahkan.

  Prosesi Rambu Solo’ tidak seperti upacara-upacara kematian yang banyak dilakukan di berbagai tempat di Tanah Air yang biasanya kental dalam suasana dukacita, pada upacara kematian di Tana Toraja kesan kesedihan itu sama sekali tak muncul ke permukaan. Tak ada ratap tangis, tak ada wajah-wajah duka (www.kompas.com, 2005). Dalam upacara tersebut, kesedihan tampaknya cuma terucap lewat busana hitam dan lagu ratapan yang berisi puji-pujian bagi tokoh yang tengah diupacarai. Itu pun kalau orang yang mengikuti upacara tersebut mengerti makna kada-kada atau syair dari lagu-lagu yang dikidungkan.

  Kenyataannya, tak banyak orang yang paham makna dari untaian kata yang dilantunkan, baik dalam ma’badong maupun ma’katia ( tarian dan lagu daerah khusus untuk pemakaman) itu, bahkan di kalangan orang-orang Tana Toraja sekalipun. Hal itu bisa dimengerti karena kada-kada yang ada dalam nyanyian

  

ma’badong dan ma’katia menggunakan bahasa tinggi, yang biasanya hanya

  dipakai oleh kalangan tominaa atau para penghulu adat (www.kompas.com, 2005).

  Suasana yang menonjol pada upacara kematian di Tana Toraja diekspresikan melalui suasana kemeriahan pesta. Kain-kain yang berwarna merah menyala dengan ragam hias di sana-sini terentang di mana-mana mendominasi arena seputar lokasi upacara, mulai dari rumah tongkonan (rumah adat), pondok- pondok keluarga (lantang), pondok tamu VIP (biasanya dari kalangan pejabat), tempat penerimaan tamu, lakkian, hingga bangunan lumbung yang dibuat seperti miniatur rumah tongkonan (www.kompas.com, 2005). Oleh karena itu, bukan suatu kebetulan apabila upacara yang berkaitan dengan kematian itu diembel- embeli kata pesta. Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari Mardiatmadja (2005) bahwa pesta kematian orang Toraja bukan sekadar ratapan pilu, melainkan juga pesta kegembiraan seluruh desa dan kerabat. Di sana terungkap kesatuan suku. Berkat pesta kematian, orang-orang Toraja tidak kehilangan persatuan abadi dengan saudara yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Dalam persatuan abadi itu cinta benar-benar tidak bisa lagi dibatasi oleh tempat, waktu, suku maupun status hidup.

  Menurut Subagya (2005), kematian biasanya membawa suatu kedukaan yang amat besar bagi keluarga dan orang-orang terdekat yang ditinggalkannya.

  Kesedihan dan rasa kehilangan merupakan perasaan yang terbentuk oleh terputusnya hubungan sosial dan emosional akibat peristiwa kematian. Orang bisa sangat terpukul apabila yang meninggal adalah orang-orang yang sangat dicintai, seperti suami kehilangan istri, anak yang kehilangan orangtua ataupun sebaliknya.

  Kematian memutuskan hubungan setiap orang tanpa kompromi setiap saat sehingga situasi ini menciptakan guncangan mendadak yang tidak pernah diharapkan.

  Istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan rasa kehilangan atas suatu kematian yakni dukacita (grief). Dukacita adalah keadaan psikologis yang bercirikan kondisi jiwa yang mengalami kesedihan yang mendalam. Dukacita merupakan respon kesedihan emosional terhadap kehilangan (Backer, Hannon, Russell, 1982). Turner & Helms (1995) mengemukakan pendapat serupa tentang dukacita. Menurut mereka, dukacita merujuk pada kesedihan yang mendalam akibat rasa kehilangan yang besar. Hal ini menggambarkan reaksi emosional seseorang terhadap kematian orang lain.

  Realita kehilangan biasanya sangat sulit diterima oleh kebanyakan orang, dan ekspresi duka kadangkala menjadi sangat mengganggu dan menyakitkan.

  Meskipun demikian, berduka merupakan suatu cara untuk memulihkan diri sendiri. Ketika seseorang membiarkan diri mereka untuk mengekspresikan perasaan yang paling mendalam, rasa kehilangan biasanya lebih mudah dipahami (Kinderknecht & Hodges ; Wortman & Silver dalam Turner & Helms, 1995).

  Seseorang yang sedang berduka merasakan rasa sakit. Rasa sakit ini merupakan mekanisme adaptasi yang efektif untuk kehidupan individu selanjutnya (Huffman, Vernoy & Vernoy, 1997). Sebelum bisa beradaptasi, individu akan melewati beberapa beberapa fase dukacita sebelum akhirnya bisa melanjutkan lagi kehidupannya dengan baik. Menurut Averill (dalam Santrock, 1995), ada tiga fase dukacita yang akan dialami setelah kehilangan, yakni terkejut, putus asa, dan pulih kembali. Seseorang tidak harus melewati fase ini secara berurutan, namun disarankan agar individu mampu beradaptasi secara lebih efektif agar bisa melaluinya dengan baik (Campbell, Swank & Vincent dalam Santrock, 1995).

  Suasana kemeriahan yang terlihat pada upacara kematian di Toraja seakan-akan menjadi sebuah tameng bagi pihak keluarga untuk menyembunyikan perasaan sedih mereka. Orang yang baru pertama kali menghadiri upacara kematian ini mungkin akan bertanya-tanya, apakah mereka tidak merasa sedih atau merasa kehilangan atas kematian orang yang dicintainya ? Perasaan seseorang cenderung dapat dibentuk dan dilakukan secara sadar. Pihak keluarga terlihat mampu membentuk atau membangun karakter emosi mereka sendiri sehingga kematian yang biasanya sarat dengan ekspresi kesedihan tidak terlihat disini. Gelak tawa yang terdengar di berbagai sudut lantang (pondok-pondok keluarga) dan wilayah sekitar upacara seolah-olah menjadi suatu petunjuk bahwa pihak keluarga mampu mengendalikan dan mengatur ekspresi emosi dukacita mereka sesuai dengan situasi yang sedang mereka hadapi (T. Sampe, 2006).

  Karakteristik ekspresi dukacita yang muncul dalam upacara kematian di Tana Toraja cukup beragam, hampir setiap orang terlihat mampu menunjukkan ekspresi sedih pada suatu waktu, lalu terlihat gembira beberapa saat kemudian.

  Sehingga tidak bisa diketahui dengan pasti mereka berada pada fase dukacita yang mana.

  B. RUMUSAN MASALAH

  Suasana kesedihan tidak banyak terlihat pada upacara kematian di Tana Toraja. Kesan yang lebih mudah ditangkap oleh orang malah suasana kemeriahan yang jauh berbeda dengan upacara-upacara kematian pada umumnya. Penjelasan tersebut membuat peneliti ingin mengetahui dengan lebih jelas lagi berada pada fase manakah dukacita pihak keluarga dan kerabat yang ditinggalkan pada saat upacara tradisional Rambu Solo’ ?

  C. TUJUAN PENELITIAN

  Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan berada pada fase mana dukacita pihak keluarga dan kerabat yang ditinggalkan pada saat upacara tradisional Rambu Solo’.

  D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat teoretis.

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Budaya, dalam melihat fase dukacita yang dialami masyarakat Toraja pada saat upacara tradisional Rambu

  Solo’.

2. Manfaat praktis.

  Memberikan gambaran kepada masyarakat umum tentang fase dukacita yang dialami masyarakat Toraja pada saat upacara tradisional

  Rambu Solo’.

BAB II LANDASAN TEORI A. DUKACITA

1. Konsep Dukacita

  Konsep dukacita menjelaskan tentang emosi dan sensasi yang menyertai hilangnya seseorang yang disayangi. Kata grief itu sendiri berasal dari bahasa Perancis kuno grève yang berarti beban berat. Sedangkan dalam bahasa Inggris, grief berarti sebuah pengalaman penderitaan yang mendalam (www.hospicenet.org, 2007).

  Chaplin (2003) mengatakan bahwa dukacita (grief) adalah satu keadaan emosional yang sangat tidak menyenangkan, disertai rasa menderita atau rasa hilang hanyut, dan seringkali dibarengi sedu-sedan serta tangisan.

  Ada dua teori yang berbeda tentang alasan orang berduka. Freud (dalam Backer, et al., 1982) mengatakan bahwa proses berduka memampukan kita dalam mematahkan pertalian dengan orang yang meninggal. Energi jiwa kita harus ditarik kembali dari almarhum, meskipun sangat menyakitkan. Seseorang harus memusatkan perhatian kepada almarhum sambil mengingat kembali kenangan-kenangan. Dalam membawa ingatan-ingatan tersebut kepada kesadaran, seseorang akan oleh Bowly (dalam Backer, et al., 1982) yang mengatakan bahwa berduka merupakan suatu usaha untuk menghidupkan kembali ikatan dan bukannya berusaha memutuskannya. Dalam berduka, kita terus berusaha menemukan sesuatu yang telah hilang, walaupun sangat membuat frustrasi. Pada akhirnya, pencarian ini akan semakin berkurang sehingga rasa rindu dapat terlewati dan seseorang menjadi pulih kembali.

  Dari beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa dukacita merupakan respon emosional seseorang dalam menghadapi kematian orang-orang yang dicintai. Di dalamnya terkandung kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih, dan kesepian yang menyertai di saat kita kehilangan orang yang kita cintai.

2. Jenis Dukacita

  King dan Tellioglu dalam www.hospicenet.org (2007) mengemukakan bahwa ada empat jenis dukacita, yakni : a. Dukacita yang normal

  Dukacita ini disebut juga dukacita yang tidak menyulitkan. Respon terhadap kehilangan adalah normal dan sehat.

  b. Dukacita yang bersifat lebih dulu Dukacita ini muncul sebelum adanya peristiwa kematian itu sendiri.

  Hal ini dimulai saat orang yang disayangi didiagnosa atas suatu penyakit yang parah. c. Reaksi yang berulang Respon dukacita yang muncul mengikuti kejadian-kejadian yang berhubungan dengan orang yang telah meninggal, misalnya tanggal lahir, hari libur, ataupun hari-hari tertentu dalam satu tahun.

  d. Dukacita yang rumit Dukacita ini juga disebut dukacita yang traumatis. Hal ini muncul saat dukacita menjadi kronis tidak mampu diatasi, dan menjadi sangat berpengaruh. Hal ini sering dilihat sebagai peningkatan dari dukacita menjadi depresi, dengan ciri-ciri yang menunjukkan adanya stres setelah trauma seperti mimpi buruk dan ingatan akan masa lalu yang terus-menerus.

3. Fase Dukacita

  Terdapat berbagai macam fase dalam dukacita. Fase-fase di bawah ini merupakan fase yang biasa dialami oleh orang-orang yang berduka.

  Meskipun demikian, tidak selamanya orang akan melalui fase pertama hingga terakhir secara berurutan. Beberapa orang biasanya akan kembali ke fase sebelumnya dan kemudian melalui lagi fase yang sama. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk berpindah dari fase yang satu ke fase yang lain juga bervariasi pada tiap individu.

  Parkes (dalam Santrock, 1995) mengatakan bahwa ada empat fase yang akan dialami, yakni :

a. Kelumpuhan (tidak bisa merasakan apa-apa)

  Fase awal yang dialami orang yang ditinggalkan biasanya terjadi sesaat setelah kematian dan berlangsung selama satu sampai tiga hari. Pada fase ini orang akan merasa terkejut, tidak percaya, sering menangis, dan mudah marah.

  b. Kerinduan Fase kedua ditandai dengan perasaan sakit yang berkepanjangan atas kematian, memori-memori, kesedihan, susah tidur, dan gelisah. Fase ini memuncak di minggu kedua hingga keempat setelah kematian dan biasanya mereda setelah beberapa bulan.

  c. Depresi Fase ketiga biasanya terjadi 1 tahun setelah kematian. Pada fase ini seseorang akan merasakan kekurangan tenaga untuk melakukan segala sesuatu. Sesorang akan menjadi pendiam, menolak bertemu orang lain, serta menghabiskan banyak waktunya untuk menangis.

  d. Pulih kembali Fase resolusi dukacita ini ditandai dengan mengingat aktivitas sehari- hari serta membangun hubungan baru dengan orang lain.

  Dr. Roberta Temes (www.cancersurvivor.org, 2008) mengemukakan tentang tiga fase dalam dukacita, yakni : a. Kematian rasa

  Pada fase ini, orang yang baru saja mendengar kabar kematian akan merasa kebingungan, tidak mampu berpikir dengan jernih, dan tidak mampu merasakan apa-apa. Individu yang bersangkutan menunjukkan penyangkalan, perasaan bersalah, dan merasa menderita. Fase ini biasanya berlangsung selama beberapa minggu hingga beberapa bulan.

  Namun Kubler-Ross (www.cancersurvivor.org, 2008) mengatakan bahwa reaksi ini akan muncul dalam jangka waktu tujuh sampai sepuluh hari setelah mendengar kabar dukacita tersebut.

  b. Kekacauan Beberapa gejala fisik yang dialami pada fase ini antara lain rasa sesak di tenggorokan dan pada pernafasan, sering menarik nafas panjang, dan merasakan kelelahan yang amat sangat. Gejala emosi yang muncul bahkan lebih menimbulkan stress, antara lain kemarahan atas kematian orang yang dikasihi dan rasa bersalah yang sangat besar. Hal yang paling menakutkan adalah perasaan kehilangan kendali atas emosi.

  Fase ini merupakan merupakan masa yang paling berat dari pergolakan emosi seseorang yang berduka, namun merupakan fase yang utama dan normal dalam proses berduka. Kebanyakan orang akan pulih dalam hitungan minggu, bulan, atau bahkan tahunan.

  c. Reorganisasi Akan tiba masanya dimana seseorang tidak lagi tinggal dalam kedukaannya dan kembali beraktivitas seperti biasa. Setelah melalui beberapa fase dalam dukacita, seseorang akan memperoleh pengetahuan baru akan berharganya hidup dan betapa bernilainya orang-orang yang berada di sekitar serta pengalaman-pengalaman hidup yang telah dialaminya. Kondisi ini akan dialami setelah beberapa bulan hingga satu tahun setelah peristiwa kematian.

  Sedangkan menurut Morycs ; Powers & Wampold dalam Santrock, 1995, ada beberapa ukuran dalam dukacita, antara lain :

  a. Kerinduan atau harapan terhadap orang yang meninggal yang direfleksikan secara bergantian, serta kebutuhan terhadap kehadiran kembali seseorang yang telah meninggal.

  b. Rasa cemas akan perpisahan yang tidak hanya berkaitan dengan kematian, tetapi juga dengan tempat dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan orang yang mati, yakni dengan cara menangis atau menarik nafas panjang untuk menahan tangis.

  c. Reaksi yang bersifat tiba-tiba terhadap kehilangan, yakni ketidakpercayaan, kelumpuhan, dan ledakan kepanikan atau penuh dengan air mata yang berlebihan.

  d. Keputusasaan dan kesedihan yang mengandung perasaan putus harapan dan penolakan, gejala depresif, apatis, kehilangan arti akan kegiatan yang melibatkan orang yang telah pergi, dan memunculkan kesunyian.

  Batasan-batasan ini tidak menunjukkan adanya fase yang jelas, namun terjadi secara berulang-ulang dalam suatu situasi setelah kehilangan.

  Meskipun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, kerinduan dan protes terhadap kehilangan cenderung berkurang (Morycs ; Powers & Wampold dalam Santrock, 1995).

  Penulis kemudian membuat kesimpulan yang terdiri dari gabungan beberapa teori di atas, namun lebih didasarkan pada pendapat Temes.

  Kesimpulan ini nantinya akan digunakan untuk membuat analisis data. Hasilnya, fase dukacita terdiri dari :

  a. Terkejut Fase ini dimulai ketika seseorang baru mendengar kabar kematian kerabat atau orang yang disayanginya. Pada masa ini seseorang akan mengalami mati rasa, tidak percaya, tangisan yang terus-menerus, serta tidak mampu berpikiran jernih. Hal ini berlangsung selama beberapa jam setelah mendengar kabar tersebut hingga sepuluh hari ke depan.

  b. Kekacauan Fase ini biasanya cukup menguras emosi, pikiran dan tenaga orang yang berduka. Pada tahap ini terdapat penyangkalan atas kematian, kerinduan, susah tidur, merasa tidak memiliki tenaga, dan seringkali merasa kesepian. Tahapan ini sangat penting bagi orang yang sedang berduka. Jika ia mampu melewati berbagai proses dengan baik, ia akan mampu menerima kenyataan kematian dengan baik. Pada umumnya, seseorang akan berada pada tahapan ini selama satu minggu hingga dua belas bulan setelah kematian.

  c. Pulih kembali Tahapan ini merupakan tahap akhir dari dukacita. Seseorang telah mampu keluar dari masa berdukanya. Hal-hal yang dialami dan dirasakan selama masa dukacita kemudian memberikan suatu pengalaman dan pembelajaran hidup yang membuatnya lebih mampu bertahan dalam menjalani kehidupannya dan berinteraksi dengan orang lain. Kondisi ini akan dialami setelah beberapa bulan hingga 1 tahun setelah peristiwa kematian.

  Tidak ada interval waktu yang pasti untuk setiap tahapan dalam dukacita. Seseorang juga mungkin saja melompati tahapan, misalnya tidak melalui tahapan ke dua melainkan langsung pulih kembali.

B. MASYARAKAT TORAJA 1. Asal-usul Toraja

  Secara geografis, daerah Tana Toraja terletak di daerah pegunungan sekitar Gunung Lompobattang, berada pada ketinggian 150 m sampai 1500 m dari permukaan laut. Kabupaten Tana Toraja berbatasan sebelah utara dengan Kabupaten Mamuju, sebelah timur dengan Kabupaten Luwu, sebelah selatan dengan Kabupaten Enrekang, dan sebelah barat dengan Kabupaten Polmas. Luas seluruh daerah yakni 4223,60 Km2, yang dibagi menjadi 9 kecamatan dengan 65 desa. Ibukotanya adalah Makale yang terletak 62 Km dari Palopo dan 310 Km dari Kotamadya Makassar.

  L. T. Tangdilintin dalam T. Sampe (1991) mengatakan bahwa sebelum kata Toraja digunakan sebagai namanya, daerah ini bernama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo, yang berarti negeri yang bentuk pemerintahan dan kemasyarakatannya merupakan kesatuan yang bulat/bundar seperti bentuk bulan dan matahari. Nama atau kata Toraja mulai terdengar pada abad ke-17, yakni setelah Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo mulai mengadakan hubungan dengan daerah-daerah di sekitarnya, seperti kerajaan Bugis, Sidendreng, Bone, dan Luwu.

  Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda tahun 1906, Tana Toraja dimasukkan ke dalam Afdeling (kecamatan) Luwu, kemudian sesudah kemerdekaan menjadi Daerah Tingkat II Tana Toraja (Bambang Suwondo dkk. dalam T. Sampe, 1991).

2. Masyarakat Toraja

  Pada pemerintahan Raja Sangalla’ sekitar abad 13, Puang Palodang bersama Tomanurun lainnya di Tana Toraja bersepakat menetapkan pelapisan masyarakat Toraja sebagai berikut :

  a. Tana’ Bulaan, ialah lapisan bangsawan tinggi sebagai pewaris yang dapat menerima sukaran aluk, yakni dipercayakan mengatur aturan hidup dan memimpin agama.

  b. Tana’ Bassi, ialah lapisan bangsawan sebagai pewaris yang dapat menerima maluangan ba’tang yang ditugaskan mengatur kepemimpinan dan melakukan kecerdasan.

  c. Tana’ Karurung, ialah lapisan rakyat kebanyakan yang merdeka, tidak pernah diperintah langsung, sebagai pewaris yang dapat menerima

  pande , yakni tukang-tukang dan orang-orang terampil. d. Tana’ Kua-kua yang berasal dari lapisan hamba sahaya sebagai pewaris yang dapat menerima tanggung jawab sebagai pengabdi atau biasa disebut matutu inaa (Marrang/Dahlan dalam Paranoan, 1990).

  Tana’ yang merupakan perwujudan lapisan masyarakat, dijadikan

  sebagai sendi kehidupan dalam perkembangan dan penyusunan kebudayaan Toraja serta banyak menentukan kehidupan manusia terutama dalam pergaulan masyarakat, antara lain :

  a. Dalam menghadapi perkawinan b. Dalam menghadapi upacara pemakaman.

  c. Dalam menghadapi pengangkatan penguasa atau pemerintah adat.

  Sistem mata pencaharian masyarakat pada umumnya bertani, namun banyak juga yang memiliki usaha sampingan yang dilakukan pada waktu-waktu antara saat tidak ada kegiatan bertani.

C. UPACARA KEMATIAN RAMBU SOLO’ 1. Upacara Kematian

  Peranan upacara menurut Geertz dalam Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan (1984) adalah untuk mempersatukan sistem paralel dan yang berbeda tingkat hirarkinya dengan menempatkan pada hubungan normatif dan reflektif antara yang satu dengan yang lainnya dalam suatu cara yang dihubungkan dengan asal mula simboliknya dan asal mula pernyataannya.

  Upacara kematian yang dibahas dalam tulisan ini merupakan satu rangkaian upacara dalam lingkaran hidup. Upacara diadakan oleh para anggota keluarga dengan dilandasi oleh suatu anggapan bahwa kematian itu merupakan suatu perjalanan hidup yang beralih ke alam lain. Peralihan ini harus senantiasa dilalui secara damai dan berhasil supaya kehidupan di alam lain itu tetap berlanjut sebagaimana adanya yang merupakan kelanjutan dari kehidupan di dunia (Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, 1984).

  Setiap orang yang meninggal dunia harus dimakamkan dengan suatu upacara yang sesuai dengan kedudukannya dan lapisan sosialnya di dunia semasa hidup. Hal ini mutlak untuk dapat mencapai suatu kehidupan yang baik di puya. Jika seseorang yang meninggal tidak diupacarakan sesuai dengan tingkatannya maka ia tidak akan dapat mencapai puya. Apabila seseorang telah berhasil mencapai puya, keadaannya di sana ditentukan pula oleh kualitas upacara pemakamannya. Makin sempurna upacara pemakaman, makin sempurnalah hidup di puya (Naskah Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, 1984).