PROSES KREATIF PENULISAN DAN PEMANGGUNGA
BELAJAR DARI YANG “TERCECER”
Banyak tulisan yang menarik dan “tercecer” di Balai Bahasa Yogyakarta, entah itu makalah yang termuat dalam antologi Bengkel Sastra dan Bahasa (sudah dilakukan sejak tahun 1995, setiap antologi memuat dua atau tiga makalah tutor di samping puluhan karya siswa berupa karya sastra maupun esai) serta tulisan berupa makalah yang semula dimanfaatkan dalam pro- gram kegiatan Peningkatan Keterampilan Berbahasa dan Ber- sastra. Tulisan-tulisan “tercecer” itu ditulis oleh praktisi bahasa dan sastra sehingga jika dicermati kembali maka tulisan-tulisan tersebut pada umumnya tidak terpusat pada dunia “keilmuan”, justru lebih dekat kepada hal-hal praktis yang berkaitan dengan proses kreatif penulisan esai/artikel, penulisan karya sastra, dan pemanggungan karya sastra. Tulisan-tulisan seperti ini tentu me- rupakan barang langka yang jarang bisa kita dapatkan di berba- gai toko buku atau perpustakaan, terlebih buku ini hadir bagaikan “gado-gado”, memuat sekaligus proses penulisan karya ilmiah populer, karya sastra, dan proses pemanggungan karya sastra.
Penerbitan buku ini didasarkan pada keinginan memberi motivasi sekaligus bimbingan kepada pembaca (guru, dosen, siswa, mahasiswa maupun masyarakat umum) agar mengetahui bagaimana langkah-langkah proses kreatif penulisan dan pe- manggungan. Untuk mewujudkan harapan itu dipilihlah tulisan-
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
tulisan sederhana berkaitan dengan bahasa jurnalistik, proses penulisan esai, artikel, feature, cerita pendek, cerita anak, puisi, naskah drama, pemanggungan puisi, pementasan cerpen, dasar- dasar bermain drama, proses produksi pementasan lakon, serta sutradara dan penyutradaraan. Tulisan-tulisan tersebut ditampil- kan secara berurutan sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh dan dapat dipahami dengan mudah. Setelah membaca buku ini--sebagai pegangan praktis penulisan dan pemanggungan-- diharapkan akan muncul generasi yang gemar menulis dan tidak ada lagi keluhan bagaimana mementaskan atau membacakan kar- ya sastra di depan publik.
Ucapan terima kasih sekaligus permohonan izin pemuatan tulisan kami sampaikan kepada para penulis: Y.B. Margantoro, Tirto Suwondo, P. Ari Subagyo, Indra Tranggono, Agus Noor, Sri Harjanto Sahid, Imam Budi Utomo, B. Rahmanto, Hamdy Salad, Landung R. Simatupang, Agus Prasetiya, Bambang J. Pra- setya, dan Nur Iswantara yang selalu memberi inspirasi dalam membimbing generasi muda untuk mencintai dunia kepenulisan dan pemanggungan.
Herry Mardianto
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Salah satu visi Balai Bahasa Provinsi DIY adalah menjadi pusat informasi yang lengkap dan menjadi pelayan prima di bidang kebahasaan dan kesastraan di Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, salah satu misi yang dilakukan adalah mengembangkan bahan informasi kebahasaan dan kesastraan baik Indonesia maupun dae- rah (Jawa). Dengan visi dan misi yang demikian, Balai Bahasa Provinsi DIY beharap agar bahan informasi kebahasaan dan kesas- traan itu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam rangka pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa dan sastra di Indonesia seperti yang diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.
Berkenaan dengan hal itulah, seperti dilakukan pula pada tahun-tahun sebelumnya, Balai Bahasa Provinsi DIY tahun ini (2012) kembali menerbitkan sejumlah buku kebahasaan dan kesas- traan. Buku-buku yang diterbitkan itu antara lain ada yang berisi kajian atau ulasan ilmiah di bidang kebahasaan dan kesastraan, ada yang berisi esai tentang cara bagaimana proses kreatif berba- hasa dan bersastra, dan ada pula yang berisi karya-karya kreatif (puisi atau cerpen). Buku berjudul Proses Kreatif Penulisan dan Pe- manggungan (Bergelut dengan Fakta dan Fiksi) ini, salah satu di antaranya, berisi petunjuk praktis penulisan karya ilmiah populer dan fiksi serta pemanggungan karya sastra. Sekali lagi, Balai Bahasa berharap agar buku ini dapat dijadikan pegangan dan
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
bermanfaat bagi guru, dosen, siswa, mahasiswa, maupun masya- rakat umum yang ingin mengetahui dan mendalami proses pe- nulisan dan pemanggungan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh tim kerja, baik penulis, penilai, penyunting, maupun panitia penerbitan sehingga buku ini siap dipublikasikan dan dibaca oleh khalayak (masyarakat). Harapan lainnya mudah-mudahan buku ini mengisi ruang perpustakaan dan ruang pengetahuan serta pikiran kita.
Yogyakarta, November 2012
Drs. Tirto Suwondo, M. Hum.
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
PADA MULANYA, PUISI ADALAH KATA ........................ 123
Hamdy Salad
BEBERAPA HAL TENTANG PENCIPTAAN DAN PEMANGGUNGAN PUISI ...................................................... 133
Landung R. Simatupang
DASAR BERMAIN DRAMA ................................................... 141
Agus ‘Ley-loor’ Prasetiya
BERKENALAN DENGAN DRAMA DAN APRESIASINYA. 151
B. Rahmanto
PROSES PRODUKSI PEMENTASAN LAKON ................. 165
Bambang J. Prasetya
SUTRADARA DAN PENYUTRADARAAN ........................ 183
Agus ‘Ley-loor’ Prasetiya
MENUMBUHKEMBANGKAN POTENSI DIRI UNTUK BEREKSPRESI DRAMATIK .................................................... 195
Nur Iswantara
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
BAHASA JURNALISTIK
Y.B. Margantoro
Bahasa sebagai perangkat kebiasaan dimiliki setiap orang sebagai media komunikasi yang sangat kompleks. Ada kecen- derungan setiap pemakai bahasa lebih sering mengikuti jalan pikirannya tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah yang ada di dalam bahasa (tata bahasa). Sebagai penutur yang selalu mempertimbangkan kaidah-kaidah yang ada dalam tata bahasa, berusaha menghasilkan konsep sesuai dengan struktur bahasa yang dipelajari.
Bahasa pun kita kenal sebagai alat kesadaran. Apa yang kita katakan kesadaran itu sekurang-kurangnya terdiri atas tiga perangkat organ, yakni parangkat alat penginderaan, perangkat alat emosional (afektif), dan perangkat penalaran (logika). Peng- inderaan menangkap kenyataan-kenyataan yang ada di sekitar kita, memungkinkan manusia memperoleh pengalaman, perang- kat emosional memungkinkan manusia memberi penilaian atas semua yang dialaminya, sedangkan perangkat penalaran bertu- gas menghubung-hubungkan bermacam hasil penginderaan (pengalaman) dan tangkapan perangkat alat manusia. Semuanya itu lalu diungkapkan dengan bahasa sebagai alat yang paling utama.
Perangkat logika akan mulai bekerja bila seseorang peng- amat sadar akan objek penginderaannya dan sadar secara emo-
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
sional akan nilai yang ada di balik objek-objek itu. Logika kita bisa berjalan untuk menghubung-hubungkan semua itu tanpa bantuan bahasa, tetapi pada saat kita ingin mengungkapkan se- mua hal itu, perangkat bahasa siap untuk menyalurkannya. Dan, karena bahasa sudah dipelajari dan dikuasai sejak kecil, semua penginderaan, perasaan, dan hasil penalaran selalu mempergu- nakan bahasa sebagai alat pengungkapnya.
Karena emosi menyangkut sesuatu yang intern dalam tiap manusia dan kemampuan penalaran juga merupakan warisan utama bagi setipa manusia, maka yang paling penting di sini ialah kemampuan seorang penulis/wartawan mempertajam daya penginderaannya terhadap apa yang ada di sekitarnya. Keta- jaman penginderaan ini bisa dilatih, antara lain dengan meng- ungkapkan melalui bahasa.
Bahasa yang dipergunakan harus efektif, artinya harus mampu menyampaikan secara tepat apa yang dipikirkan, dan bahasa yang digunakan harus mampu “menggerakan” orang- orang yang membaca/mendengar amanatnya sehingga tercipta suatu pengertian yang sama dengan apa yang dipikirkan penulis. Ini sebenarnya, dasar komunikasi.
Perhatikan contoh berikut, karena susunan bahasanya tidak baik, maka fakta yang hendak dan perlu dikemukakan menjadi tidak jelas:
1. Terbungkus rapi setebal kira-kira duapuluh sentimeter, Laksamana Sudomo menyebutkan berkas perkara tersebut baru merupakan hasil pemeriksaan intelijen.
2. Ketika berusia 5 tahun, ayahnya, Wonorejo, meninggal dunia.
3. Di Tasikmalaya ada 60 orang korban meninggal, tetapi tidak melapor.
Contoh lain yang menyangkut soal generalisasi, sebagai berikut:
1. Daniel orang Timtim sehari-hari makan jagung.
2. Peter orang Timtim sehari-hari makan jagung.
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
3. Da Costa orang Timtim sehari-hari makan jagung dan beberapa orang lain di Timtim makan jagung. Generalisasi: Orang-orang (masyarakat) Timtim makan jagung.
Untuk generalisasi yang baik haruslah didukung oleh fakta yang meyakinkan. Jika fakta (Daniel, Peter, Da Costa dan se- bagainya) tidak mencerminkan orang Timtim, generalisasi tidak bisa dibuat. Jika diperoleh kesan lebih banyak orang Timtim yang makan jagung ketimbang makan nasi atau roti sehari- harinya, dapat disimpulkan kebanyakan orang-orang Timtim sehari-hari makan jagung.
Dalam jurnalistik, generalisasi harus dihindari. Penulis/ wartawan hanya menguraikan fakta. Jika pun ditemui fakta sama, penulis hendaknya memerincinya, tidak menggeneralisasikan- nya. Contoh generalisasi yang terlalu luas – sebagi akibat salah nalar (disebut juga induksi yang salah) – orang Indonesia itu malas, dan sebagainya.
Tiga Aspek
Bahasa jurnalistik, termasuk di dalamnya kalimat jurnaliastik mencakup tiga aspek, yaitu penguasaan materi (isi) yang dike- mukakan, kalimat dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan teknik penyajian. Ketiga aspek ini tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya (LP3Y, 1990).
Dalam kehidupan sehari-hari terasa ada dua perangkat nor- ma bahasa yang bertumpang tindih, yaitu berupa norma yang dikodifikasi dalam bentuk tata bahasa di sekolah, dan norma berdasarkan kebiasaan pemakaian. Norma yang terkhir ini belum dikodifikasi secara resmi, antara lain, yang dianut oleh kalangan media massa (wartawan) dan sastrawan muda, terutama dalam pers.
Selain itu, diakui adanya posisi yang berbeda dari ling- kungan guru di satu pihak, dengan lingkungan wartawan dan sastrawan di pihak lain, yang menghasilkan dua parangkat nor-
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
ma bahasa. Kita sempat melihat adanya sifat konfrontatif antara wartawan dan guru.
Guru berasumsi bahwa bahasa surat kabar, bahasa yang digunakan surat kabar adalah bahasa kacau, sedangkan para wartawan menganggap para guru tidak atau kurang mau me- ngerti perkembangan bahasa, dan hanya terpaku pada kaidah- kaidah bahasa yang sudah ketinggalan zaman. Perbedaan posisi ini perlu disadari. Bahkan, guru pada posisinya menjadi sema- cam “polisi” tata tertib lalu lintas bahasa, mengajarkan aturan- aturan yang sudah baku. Bahasa yang tidak baku (bahasa surat kabar) dianggap tidak baku, harus ditolak karena belum tercantum dalam buku tata bahasa.
Berdasarkan posisinya, wartawan dan sastrawan sering melakukan semacam “pelanggaran” tertib lalu lintas bahasa, dan ini dilakukan menurut tuntutan situasi berbahasa. Meskipun begitu, wartawan dan sastrawan tetap harus menguasai kaidah- kaidah bahasa. Justru karena wartawan merasa adanya keter- batasan yang tak memungkinkannya mengemukakan perasaan dan pikiran secara efektif, wartawan terpaksa “melanggar” ke- tentuan resmi tata bahasa baku. Kalau para wartawan/sastrawan dianggap oleh para guru acuh tak acuh pada ketentuan tata ba- hasa, seenaknya saja menulis, sebaliknya wartawan/sastrawan (ada kalanya) menganggap tata bahasa terlalu mengekang daya cipta.
Kelihatannya, diam-diam antara wartawan dan sastrawan terbentuk semacam persekutuan karena bekerja di ladang yang sama, yaitu dunia tulis-menulis. Namun bukan tidak ada perbe- daan, antara bahasa sastrawan dan bahasa wartawan.
Bahasa yang “Menjerit”
Pada hakikatnya, Bahasa Indonesia Jurnalistik, sama saja dengan bahasa Indonesia pada umumnya. Hanya saja, pengem- bangan bahasa pers lebih mengarah pada sikap publistik, mudah
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
dimengerti umum. Di sisi lain, prinsip bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap dipegang teguh.
Diklat Jurnalistik Bernas (1995) membagi empat unsur yang harus diperhatikan dalam merangkai Bahasa Indonesia Jur- nalistik. Unsur itu tergabung dalam akronim “Menjerit”, yaitu menarik, jelas, ringkas, dan tertib. Untuk menarik pembaca, harus dipancing dengan kata-kata, kalimat yang ekspresif. Kata yang dipilih harus mencerminkan realitas. Pilihan kata akan sangat mempengaruhi minat baca. Konsekuensinya, kata yang klise dan sloganistis harus siap menghadapi kenyataan pahit, yaitu di- tinggalkan pembacanya. Untuk hal ini, hindari kalimat gaya roman yang bertele-tele dan gaya undang-undang yang kaku dan kering. Kalimat jangan panjang-panjang.
Kejelasan kalimat menjadi sangat penting. Hindari penger- tian ganda yang membingungkan, jangan lupa akurasi, ketepatan ejaan nama, angka, jumlah, dan lainnya. Hindari kalimat maje- muk. Usahakan hanya dengan sekali baca, pembaca sudah dapat dengan cepat menangkap kesan dalam sebuah berita atau tulisan. Pengolahan kalimat juga jangan terlalu panjang yang menjemukan pembaca. Hindari kata abstrak, kata umum, dan kata-kata kono- tatif. Saat ini arus informasi sudah begitu deras mengalir dari berbagai penjuru dunia, maka pengasuh media massa harus me- nampilkan berita dengan ringkas, tidak menolerir munculnya kata atau kalimat mubazir (berlebih-lebihan). Prinsip ekonomi kata berlaku di sini.
Tertib berbahasa diperlukan karena dalam prinsip ini me- nuntut kita selalu cermat dan tepat menulis sesuatu dengan mene- rapkan pedoman berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Ka- rena antara penulis (wartawan) dengan pembacanya tidak berse- muka (face to face), bila terjadi salah informasi tidak mungkin memberikan penjelasan. Di sinilah pentingnya kita menulis de- ngan bahasa Indonesia yang “menjerit”.
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Pisau Aneka Fungsi
Editing atau penyuntingan pada dasarnya dapat diibarat- kan sebagai pisau dengan aneka fungsi. Ketika harus mengiris berita, tentu situasinya berbeda dengan ketika harus mengiris feature , opini, atau fiksi.
1. Naskah fiksi (anak-anak, remaja, dewasa) tidak memiliki sistematika bab, rumus-rumus, tabel-tabel, angka-angka statistik dan nonstatistik, lampiran, daftar pustaka. -
Yang penting: kalimat ini enak atau tidak, apakah naskah ini dimengerti oleh pembaca atau tidak.
- Lihat apakah mengandung SARA atau tidak, porno- grafi, dan sebagainya.
2. Naskah sastra (masuk golongan fiksi, tapi tak semua fiksi dapat dikategorikan naskah sastra), dibagi jadi: prosa (no- vel, novelet, dan cerpen), puisi, dan drama. -
Hati-hati, sebab, sastra itu unik. Ada kata-kata yang sengaja ditulis oleh penulisnya, misalnya kue, kuih, kueh. Catetan Th 1946, dan bukan Catatan Th 1946.
3. Naskah buku sekolah -
Mengandung nilai pendidikan. -
Sesuai dengan kurikulum dan garis-garis besar pro- gram pengajaran.
- Dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah isi dan materinya.
- Disajikan dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
4. Naskah perguruan tinggi -
Rambu-rambunya tidak sebanyak naskah buku sekolah. -
dosen mengacu pada silabus. -
Ada indeks.
5. Naskah musik -
Berisi not balok/not angka. -
Berisi not balok/not angka dan teks lagu.
- Berisi pelajaran teori musik.
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
6. Naskah matematika, fisika, dan kimia -
Banyak berisi angka-angka, rumus-rumus, dan tabel- tabel.
7. Naskah biologi -
Mengandung istilah-istilah bahasa Latin.
8. Naskah kamus -
Layout berbeda dengan buku biasa. -
Entri kamus diberi diskripsi. -
Entri kamus dimulai dengan huruf kecil.
9. Naslah ilmiah -
Kajian dan penyajian secara ilmiah. -
Skripsi (S1), tesis (S2), dan disertasi (S3).
10. Naskah ilmiah popular -
Naskah ilmiah yang disajikan secara popular.
- Penyunting harus peka terhadap kata-kata ilmiah dan kata-kata popular.
11. Naskah terjemahan Tips bagi penyunting:
- Penyunting naskah adalah pembantu penulis naskah, bukan penulis itu sendiri.
- Penyunting haruslah rendah hati, meskipun lebih pintar. -
Ada 3 golongan penulis naskah, yakni penulis pemula, semi- profesional, profesional.
- Dari segi watak: penulis yang gampang, sulit, dan sulit- sulit gampang.
- Sebaiknya konsultasi dulu dengan penulis. -
tahu ciri khas naskah (pembacanya). -
Ejaan dan tata bahasa. -
Terus menerus ikuti perkembangan bahasa. -
Penyunting makin terampil menulis dan susun indeks.
- Selalu akan ada kesalahan: besar atau kecil. -
Hati-hati soal SARA. -
Kuasai bahasa asing.
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Menulis yang baik pada hakikatnya adalah menulis ulang naskah yang belum baik, demikian saran penulis senior Slamet Soeseno. Masalahnya, penulis pemula sering tidak dapat mene- mukan kesalahan tulisannya atau menganggap tulisannya sudah bagus.
Perbaikan daya tarik: -
Ada dua hal dalam persoalan ini, yakni bahan dan cara penulisan.
- Berhenti melucu pada saatnya yang tepat adalah ciri khas sebuah tulisan ilmiah popular. Misalnya, cerita tentang burung kakaktua yang kadang “diselonongkan” “burung” kakak saya.
- Tulisan humor perlu dirombak seluruh kalimat. Contoh kalimat yang lucu: “Sebetulnya sudah lama ada desas-desus bahwa kelapa bisa dibuat kopyor kalau pohonnya dipukuli sampai setengah mati. Tapi, sangat boleh jadi orang yang memukul itu yang setengah mati.”
Bahasa komunikatif: -
Tulisan popular bisa tercipta kalau bahasa yang dipakai juga bahasa populer, yang biasa dibaca, diterima, dan dimuat dalam media massa.
- Bahasa popular tidak mementingkan kata-kata yang indah dan kalimat yang mengharukan, tetapi yang komunikatif (bebas dari kata pemanis dan basa-basi, serta cepat dapat ditangkap maksudnya). Caranya dengan menyederhanakan susunannya/persoalan yang dikemukakan.
- Ringkas, tetapi jelas. -
Lengkap dan teliti (misalnya, bisa menjawab pertanyaan “berapa”, dan teliti memilih/menyusun kata/kalimat).
- Kata kecil dan kalimat pendek. Slamet Soeseno buka kartu: berdasarkan pengalaman me-
nulis selama tiga puluh tahun lebih, dia sampai pada tahap ke-
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
simpulan bahwa tulisan ilmiah agar bisa populer perlu diedit enam kali baru tercipta hasil kreasi yang bagus.
“Tapi saya tidak terus menerus mengerjakannya di depan meja. Naskah kasar itu sering saya bawa dengan tas kampluk (semacam kantung) ke peron stasiun, lobi gedung, atau kamar tunggu dokter gigi. Sambil menunggu giliran, naskah saya ko- reksi dan corat-coret lagi. Kerap pula pengeditan saya lakukan pagi hari sembari menunggu kopi sebelum mandi. Saat itulah sering timbul keinginan berkelakar,” katanya tentang kebiasaan yang satu ini, sebagaimana dikutip Intisari (Agustus, 1993). Maka pada hampir semua tulisaanya ia selalu terlihat terampil menyi- sipkan humor yang menggelitik, tanpa meninggalkan sisi ilmiah tulisannya.
Menurut Slamet Soeseno (1993), ciri khas tulisan yang disu- sun dengan metoda ilmiah adalah keobjektifan pandangan yang dikemukakan dan kedalaman tuturan yang disajikan. Dua hal inilah yang senantiasa diusahakan agar tulisan terasa ilmiah, wa- laupun ditulis dalam bentuk feature.
Menulis feature ilmiah tidak akan menarik kalau tidak de- ngan bahasa populer. Tulisan semacam ini dikenal sebagai tulisan ilmiah populer. Istilah populer dipakai untuk menyatakan sesuatu yang akrab, menyenangkan bagi populus (rakyat) atau disukai orang kebanyakan karena menarik dan mudah dipahami. Tulisan populer bisa tercipta jika bahasa yang dipakai adalah bahasa populer, yang biasa dibaca, diterima, dan dimuat dalam media massa. Bahasa media massa dulu sering dianggap sebagai bahasa rusak yag menurunkan derajat bangsa Indonesia yang anggun. Namun, agaknya ada kesalahpahaman dari masyarakat pencinta bahasa Indonesia yang tidak mau membedakan bahasa pasar untuk bercakap-cakap dan bahasa populer untuk tulisan. Kedua- nya dianggap sama, padahal jelas berbeda.
Ada lima hal yang perlu mendapat perhatian dalam penulis- an bahasa populer, yakni:
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
1. Bahasa populer cepat ditangkap. Bahasa populer tidak mementingkan kata-kata yang indah dan kalimat yang mengharu rasa, tapi yang komunikatif. Arti- nya bahasa itu mudah menghubungkan pikiran penulis de- ngan pikiran pembacanya secara lancar. Untuk itu, bahasa komunikatif harus:
a. Bebas kata pemanis dan basa-basi yang biasa diucap- kan orang dalam percakapan dan pidato. Bahasa ko- munikatif harus straight to the point.
b. Cepat ditangkap maksudnya. Semua hal, fakta atau poin dituturkan dengan kalimat yang hemat kata dan penuh makna. Dengan kata lain, dilakukan dulu pe- nyederhanaan persoalan.
2. Ringkas tapi jelas. Membuang kata-kata tertentu yang terasa hanya sebagai pemanis, berlebihan, tidak perlu, dan “sudah dengan sendi- rinya” berarti begitu (hingga tidak perlu ditulis lagi). Meski- pun menulis secara ringkas, tetap harap diingat, jangan sam- pai mengorbankan kejelasan.
3. Lengkap dan teliti. Lengkap di sini lebih berarti “dapat menjawab pertanyaan pembaca lebih lanjut”, misanya, pertanyaan: berapa? (jum- lah, ukuran, umur, dan sebagainya). Sedangkan teliti tidak hanya menyangkut soal penuturan, tetapi juga soal penu- lisan kata, nama orang, dan sebagainya.
4. Kata kecil dan kalimat pendek. Banyak kata kecil yang sama baiknya dengan kata besar kalau dipakai untuk mengungkapkan setiap pernyataan ber- urutan secara tepat. Misalnya, tinggi (dari pada setinggi gunung), dan sebagainya. Karena kalimat pendek yang ber- lebihan dan kalimat panjang yang melimpah tidak diingin- kan, maka alinea sebuah artikel sebaiknya tersusun atas kalimat campuran pendek (8 kata), sedang (10 kata), dan panjang (16 kata) sebagai variasi. Variasi panjang pendek-
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
nya kalimat akan menolong dalam memikat perhatian pem- baca karena tidak monoton, tidak membuat pembaca me- ngantuk.
5. Alinea beruntun yang semakin memikat. Sebuah alinea dikatakan berhasil penulisannya kalau pem- baca tergerak (gagasannya) dari alinea satu ke alinea berikut- nya dengan perhatian yang semakin meningkat. Ini hanya dapat dicapai kalau alinea ditulis secara berurutan, tidak acak-acakan, dan beruntun berkaitan.
Mukayat D. Brotowidjojo (1993) berpendapat, ciri-ciri ka- rangan ilmu pengetahuan populer dapat diringkas sebagai berikut.
a. Menjanjikan fakta objektif secara sistematis atau menyajikan aplikasi hukum alam dengan mengingat tingkat kecerdasan masyarakat umum.
b. Menggunakan kata-kata sederhana, mudah diidentifikasi- kan (menggunakan bahasa sehari-hari) secara tepat, susunan kalimatnya memenuhi kaidah bahasa sehingga mudah di- pahami oleh rata-rata pembacanya.
c. Gaya bahasanya tidak selalu formal dan bahasanya sendiri selalu “personal” dan aktif objektif.
d. Pernyataan-pernyataan mudah dimengerti. Gagasan-ga- gasan disusun secara konseptual dan prosedural.
e. Karangan pengetahuan populer tidak memuat hipotesis ka- rena berkaitan dengan cara dan tingkat berpikir masyarakat awam.
f. Tidak memancing pertanyaan-pertanyaan yang bernada meragukan. Dalam karangan pengetahuan populer penulis dapat sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang mendo- rong pembacanya untuk berpikir tentang aplikasinya dengan tetap membiarkan fakta berbicara sendiri.
g. Penyajian fakta objektif dibarengi dengan penyajian sejarah kerja ilmuwan penemunya atau deskripsi proses pengamatan
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
secara sederhana, bahkan, seringkali fakta objektif itu diselipkan dalam cerita fiktif.
h. Judul karangan pengetahuan populer harus informatif dan mudah ditangkap maksudnya serta dengan cepat menim- bulkan imajinasi pembacanya.
i. Penjelasan tentang suatu situasi didramatisasikan melalui suatu cerita. Metode penjelasan biasanya tidak langsung, terutama dalam karangan yang bukan tentang pengetahuan alam.
j. Penulis selalu mengimbau perasaan pembacanya agar me- reka seolah-olah melihat atau mengalami sendiri situasi yang ditulisnya.
Kiat Menulis
Kiat menulis di media massa secara ringkas sebagai berikut:
1. Mempunyai rancangan gagasan yang jelas tentang fenome- na tertentu: menyangkut bidang-bidang tertentu dan atau isu yang sedang hangat.
2. Kita memiliki data dan fakta yang cukup untuk mendukung opini kita. Dengan kata lain, ada pendapat harus ada argu- mentasinya. Di sini diperlukan kemampuan memilih data dan fakta yang pas bagi tulisan kita.
3. Memiliki kemampuan menulis yang bisa dibaca atau di- mengerti orang lain.
4. Mengetahui selera media massa yang akan kita kirimi karya tulis. Media macam apa dia, beredar di mana, pembacanya siapa saja, dan sebagainya. Dengan kata lain, kita menge- tahui secara persis medan yang akan kita serang.
5. Sebelum itu semua, kita harus memiliki kejelian. Jeli meng- ikuti perkembangan dan jeli menangkap satu fenomena un- tuk diangkat sebagai karya tulis. Kalau layak muat dipenuhi, tepat waktu, dan bernasib baik maka muncullah karya tulis itu di media massa.
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Minat dan bakat menulis karya tulis populer tentu tidak dengan sendirinya muncul pada diri, civitas akademika pergu- ruan tinggi, atau komunitas tertentu. Ketekunan untuk berlatih terus akan menumbuhkan minat bekerja keras untuk menulis.
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
PROSES KREATIF PENULISAN ESAI DAN FEATURE
Tirto Suwondo ESAI
Esai bukanlah merupakan karangan ilmiah, bukan pula ka- rangan sastra. Pada karangan ilmiah, subjek cenderung (bahkan harus) diabaikan dan objek diutamakan. Sebaliknya, pada ka- rangan sastra, objek cenderung diabaikan dan subjek diutama- kan. Sementara itu, pada karangan esai, subjek dan objek sama- sama hadir menjadi hal penting dan tidak boleh diabaikan.
Karangan ilmiah (makalah, skripsi, tesis, disertasi) ditulis berdasarkan kaidah penulisan ilmiah, demikian juga karangan sastra ditulis berdasarkan kaidah penulisan sastra (novel, cerpen, puisi, drama). Sementara itu, karangan esai justru ditulis tanpa kaidah apa-apa. Esai dapat ditulis dengan mengabaikan kaidah atau aturan penulisan yang baku. Itu berarti esai ya dan tidak objektif dan subjektif. Kalau karangan ilmiah bersifat positivistik, karangan sastra bersifat idealistik, sedangkan karangan esai bersifat fenomenologik.
Dalam penulisan esai, penalaran yang digunakan adalah penalaran lateral, sebuah penalaran yang merupakan alternatif bagi penalaran vertikal yang logis. Dengan penalaran lateral, seseorang (penulis) dapat bermain-main dengan gagasan, objek, data, eksperimen, dan sebagainya. Penalaran lateral justru akrab dengan logika anekdot dan membuka ruang yang cukup lebar
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
bagi paradoks yang umumnya dihindari dalam karangan ilmiah yang bertumpu pada penalaran vertikal.
Setiap esai pada hakikatnya berisi upaya untuk memberi peyakinan tentang sesuatu. Oleh karena itu, jenis karangan yang digunakan dalam esai adalah argumentatif-persuasif. Jenis ka- rangan ini memang yang paling fleksibel dan dapat memanfaat- kan jenis karangan lain untuk kepentingannya membuat peya- kinan.
Kenyataan menunjukkan, ada esai yang tampak formal, ada pula yang tampak tidak formal. Semua itu disebabkan oleh ke- pribadian dan subjektivitas penulisnya. Kalau seorang penulis yang dalam hidup sehari-harinya bersifat formal dan melihat segala sesuatu dari seginya yang formal, ketika menulis esai tentang sesuatu yang mestinya santai pun cenderung bersikap formal. Sebaliknya, seorang yang santai dan kocak, dalam menu- liskan persoalan serius pun akan cenderung santai dan kocak. Contoh paling tepat untuk hal ini adalah Umar Kayam.
Pada prinsipnya, esai tidak berbeda dengan artikel, bahkan tidak berbeda pula dengan feature. Selama ini para ahli gagal memberikan batasan yang pasti tentang masing-masing jenis karangan itu. Beberapa jenis karangan itu sering hanya disebut sebagai tulisan lengkap dalam surat kabar atau majalah. Oleh karena itu, sebagai (calon) penulis, kita tidak perlu memperde- batkan masalah itu.
Hanya saja, kalau dicermati, dalam sebuah tulisan (esai, artikel, feature) memang ada elemen-elemen tertentu yang di- tonjolkan yang sekaligus mengacu pada jenis tertentu. Sebagai misal, esai/artikel tentang tokoh-tokoh sukses disebut sketsa to- koh ; esai/artikel yang ditulis dalam bentuk tanya-jawab disebut wawancara ; esai/artikel yang diawali dengan paparan sebuah ki- sah disebut naratif; esai/artikel yang berisi upaya membongkar suatu peristiwa disebut penyingkapan; esai/artikel yang berisi kisah nyata (true story) disebut pengakuan; esai/artikel yang me-
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
rupakan ekspresi personal disebut kolom; esai/artikel yang berisi kritik disebut ulasan; dan lain-lain.
Bagaimana cara yang dapat dilakukan untuk menghasilkan tulisan/karangan (esai, artikel, dan lain-lain)? Dua hal ini tidak boleh diabaikan, yakni “banyak membaca” dan “tekun berlatih”. Membaca dalam hal ini tidak hanya membaca tulisan (majalah, koran, buku, dan lain-lain), tetapi juga “membaca kehidupan”. Artinya, kita senantiasa “membaca” apa yang dapat kita lihat, dengar, raba, dan sebagainya di sekitar kita. Dengan cara ini kita tentu akan tahu banyak hal, akan peka terhadap berbagai peristiwa, akan dapat memahami berbagai kejadian, akan dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan sebagainya.
Karena ruang memori di otak/kepala kita terbatas, terbatas pula ingatan kita. Oleh karena itu, agar memori terpancing keluar, diperlukanlah alat bantu. Alat bantu paling sederhana dan baik adalah catatan. Oleh sebab itu, (calon) penulis yang baik selalu memiliki catatan (tentang sesuatu yang dianggap penting dan menarik). Dan tentu saja catatan ini tidak boleh hilang, tetapi harus disimpan/dirawat dengan baik. Mungkin dalam jangka waktu tertentu (bulan, tahun) kita mencatat beberapa peristiwa yang sama, atau minimal berkaitan, sehingga kita dapat mengait-kaitkan peristiwa itu dan siap pula menyusun tulisan.
Kalau kita telah dapat memilih dan mengaitkan peristiwa- peristiwa itu, dan dengan demikian berarti kita telah mempunyai ide (gagasan) yang akan kita sampaikan kepada orang lain, langkah berikutnya adalah menentukan tujuan (untuk apa, siapa) dan memilih jenis bentuk karangan apa (artikel, esai, feature, atau bahkan cerpen atau puisi). Kalau kita ingin menulis bentuk artikel (opini) dan ingin artikel itu dimuat di KR, misalnya, hal yang tidak boleh dilupakan adalah pelajari dan bacalah artikel-artikel (opini) yang telah dimuat di KR. Dari situ kita dapat belajar dan memahami bagaimana corak, gaya, panjang-pendek artikel- artikel tersebut sehingga artikel yang kita tulis berpeluang untuk
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
dimuat di KR. Hal ini juga sekaligus berarti kita memahami bagai- mana selera redaksi. Mengapa hal ini harus dilakukan? Sebab, selera setiap media massa berbeda-beda.
Hanya saja, yang sering menjadi kendala adalah ketika kita sudah duduk di depan mesin ketik atau komputer. Ide di kepala sudah mendesak-desak minta ditulis, tetapi lead pada paragraf pertama terus-menerus gagal ditulis. Karena itu, buatlah ke- rangka (outline). Tentang judul, boleh ditulis di awal atau di akhir; namun yang paling baik adalah ditulis di awal baru ke- mudian direvisi di akhir. Sebab, judul akan mengendalikan arah dan fokus. Tetapi, terkadang, ketika sedang menulis, ide-ide pelengkap muncul mendadak, sehingga judul seringkali harus diubah atau diganti.
Setelah menentukan judul (sementara), kerangka yang kita susun mula-mula berupa gagasan-gagasan besar yang mendu- kung judul. Gagasan-gagasan itu kita tuangkan dalam bentuk kalimat-kalimat. Jika perlu kalimat-kalimat yang berisi gagasan- gagasan besar itu kita pecah lagi menjadi beberapa gagasan yang lebih kecil, dan seterusnya, sampai kita merasa sudah cukup lengkap dan kuat untuk menyampaikan/mendukung ide tulisan. Bagi penulis yang sudah jadi, kerangka tetap penting artinya, walaupun seringkali mereka tidak menuangkannya dalam ben- tuk kalimat-kalimat, tetapi tertata dalam pikiran.
Hal terakhir yang tidak boleh dilupakan adalah, setelah jadi, tulisan jangan langsung dikirim ke media sesuai keinginan kita, tetapi bacalah dulu atau bahkan simpan dulu (masa inku- basi) baru dibaca lagi besok atau lusa. Pada saat membaca tulisan itu, janganlah kita merasa bertindak sebagai penulis, tetapi se- bagai pembaca (tulisan orang lain). Baca dan kritiklah tulisan itu. Dengan cara begitu kita akan dapat melihat celah-celah di mana kekurangan dan kelemahannya. Lalu, edit-lah, revisi-lah, dan kalau perlu tulis ulang. Dan akan lebih baik kalau tulisan hasil revisian itu disodorkan kepada orang lain untuk dibaca dan dikritik.
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Nah, selamat berkarya (menulis artikel, esai, feature, kolom, berita, advertorial, dan atau apa saja). Jangan bosan. Pembosan sangat dibenci Tuhan.
FEATURE Pengertian
Karangan lengkap nonfiksi (bukan berita) dalam media massa yang tidak tentu panjangnya, dipaparkan secara hidup sebagai pengungkapan daya kreativitas, kadang-kadang dengan sentuhan subjektivitas penulis terhadap peristiwa, situasi, aspek kehidupan, dengan tekanan pada daya pikat menusiawi (human interest ) untuk mencapai tujuan memberi informasi, menghibur, mendidik, dan meyakinkan pembaca.
Teknik Penulisan Feature
1. Gaya Tuturan Cerita
Kalau penulisan berita (harus taat asas pada aturan 5W + 1H dalam teras berita atau lead), penulisan feature tidak demikian. Penulis feature dapat bertindak bebas, dapat menulis seperti me- nulis cerita, yang terpenting feature yang ditulis menarik perhatian dan memberikan sesuatu (nilai lebih) pada pembaca. Penulis feature adalah penutur cerita yang mampu menggunakan imaji- nasi dan kreativitasnya untuk membangkitkan rasa ingin tahu pembaca, untuk mencengangkan, untuk menjawab keragu-ragu- an, atau untuk membuat pembaca haru, tertawa, bahkan mena- ngis.
2. Sebelum Menulis
Sebelum menulis, penulis feature hendaknya memperhatikan keadaan sekeliling (di mana dan kapan pun), mengetahui apakah ada sesuatu yang lain, yang lucu, yang unik, yang tidak biasa, yang dramatis, yang layak diketahui pembaca. Salah satu cara untuk memperoleh bahan karangan, selain observasi langsung, bisa dilakukan dengan wawancara (wawancara pribadi, wawan-
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
cara berita, wawancara jalanan, wawancara telepon, wawancara tertulis, dan lain-lain).
Langkah-langkah penting dalam berwawancara: (1) mem- perkenalkan diri, menjelaskan maksud wawancara, (2) mengetahui kegemaran/hobi untuk memulai pembicaraan menu- ju wawancara, (3) tidak berdebat, tetapi berusaha memperoleh informasi, (4) mencatat dengan cermat nama, jabatan, atribut, dan pernyataan-pernyataannya, (5) cepat menyesuaikan diri ter- hadap situasi baru yang berkembang jika yang terjadi lain dari rencana semula, misalnya cepat menyusun pertanyaan baru di luar pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya, (6) menyata- kan terima kasih, menanyakan apakah ada pesan, tambahan, dll, dan (7) kalau perlu membacakan hasil wawancara dan me- minta paraf persetujuan, lebih-lebih jika itu menyangkut masalah yang peka yang akan berdampak luas jika diterbitkan.
Dalam wawancara, jangan lupa melontarkan pertanyaan pe- luru yang jawabannya mungkin sangat berguna bagi lead berita atau penutup feature.
Setelah bahan memadai, langkah berikutnya merumuskan kalimat tema (pokok tuturan) sekaligus angle-(segi, sudut pan- dang)-nya dan ini yang membatasi dan mengendalikan tulisan agar tidak terlalu luas atau terlalu sempit. Misalnya: perawat (terlalu luas), sedangkan perasaan perawat gadis di rumah sakit bersalin (lebih pas). Dan karangan sudah baik jika memenuhi syarat kesatuan, rincian, keaslian.
3. Saat Mulai Menulis
Saat inilah yang paling sulit. Bahan sudah terkumpul, kali- mat tema sudah dirumuskan, tetapi terkadang sangat sulit me- nulis paragraf awal (teras) yang mampu menarik perhatian pem- baca. Sebab, teras haruslah mampu membangkitkan minat, per- hatian, dan rasa ingin tahu pembaca, yang ditulis secara ringkas. Setelah teras berhasil dirumuskan dan ditulis, disusul tubuh ka- rangan yang berupa rincian yang dituturkan mengikuti alur atur- an tuturan yang tertib, masuk akal, dengan gaya cerita menurut
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
selera (piramida terbalik, kronologis, dll), barulah ditutup de- ngan penutup yang juga harus menarik.
Judul (Title) Feature
Harus menggugah perhatian.
Harus kreatif, original.
Teras Feature
Teras (sebagai jiwa-raga karangan) terwujud dalam paragraf pertama. Paragraf pertama ini mengemban fungsi sebagai gagasan sentral. Fungsi gagasan sentral adalah untuk me- ngendalikan isi tulisan dan mewajibkan penulis membatasi tulisannya.
Harus menarik perhatian. Beberapa unsur yang menarik perhatian dan diinginkan pembaca biasanya berkaitan de- ngan kebaruan, kedekatan, cuatan, keanehan, dan lain-lain.
Bentuk teras ada bermacam-macam, misalnya ringkasan, narasi, deskripsi, kutipan, pertanyaan, sapaan akrab, dan lain-lain.
Tubuh Feature
Kalau teras diibaratkan sebagai jiwa-raga karangan, tubuh diibaratkan “stelan baju dan aksesori” yang memantulkan keadaan sang jiwa-raga. Stelan harus pas dengan raga, warna disesuaikan dengan keadaan jiwa. Pas dengan raga dan sesuai dengan jiwa berarti hubungan antara teras dan tubuh ibarat rupa dan bayang-bayang. Jelasnya, setelah te- ras dirumuskan sesuai dengan pokok cerita/tema yang di- inginkan, tubuh ditulis sejalan dengan arahan yang tersirat dalam teras. Setiap keterangan/informasi mengenai pokok cerita ditulis seperti menyusun batu bata menjadi tembok.
Beberapa pola paragraf yang dapat digunakan untuk men- jaga ketertiban susunan karangan adalah tematik (setiap paragraf memberikan penegasan kembali kepada apa yang
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
telah diutarakan dalam teras), spiral (setiap paragraf me- rinci apa yang ditulis dalam paragraf sebelumnya, ibarat spiral menggulir ke bawah), dan blok (setiap paragraf berisi bahan yang seolah berdiri sendiri, tetapi akhirnya menyu- lam satu cerita yang bulat).
Pola rinciannya ada dua, yakni kronologis (alamiah, berda- sarkan urutan ruang dan waktu) dan logis (dari yang kurang penting ke yang terpenting, dari yang umum ke khusus, atau sebaliknya). Dalam hal ini ungkapan “peralihan” men- jadi kunci perekat hubungan antarparagraf.
Penutup Feature
Setidaknya ada empat jenis penutup, yakni ringkasan (mengacu kembali ke teras), klimaks (menimbulkan kejutan, ke- nangan, kengerian, dll), tanpa akhir (mengajukan pertanyaan tanpa jawaban), dan penyengat (pernyataan yang di luar dugaan pembaca).
Purnatulis
Setelah feature selesai ditulis, penulis harus mengecek kem- bali dengan beberapa pertanyaan berikut.
Apakah peristiwa, pendapat, dan masalah itu menarik un- tuk dibaca?
Apakah karangan sudah terfokus pada pokok tulisan dan tidak menyimpang jauh?
Apakah aturan 5W + 1H sudah terpenuhi?
Apakah penulisan nama orang, jabatan, kedudukan, dll su- dah tepat?
Apakah rincian sudah memadai?
Apakah kata-kata yang digunakan mudah dipahami?
Apakah ungkapan mampu memberikan sentuhan emo- sional?
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Apakah fakta akurat?
Apakah contoh yang diberikan konkret?
Apakah daya pikat sudah diberi tekanan?
Apakah teras, peralihan, tubuh, dan penutup sudah ter- struktur dengan baik?
Catatan: tulisan ini disarikan dari berbagai buku sumber.
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
MENULIS ESAI, EASY OR NOT EASY?
P. Ari Subagyo
Pendahuluan
“Mengarang itu gampang!” tulis Arswendo Atmowiloto. Ungkapan itu pula yang menjadi judul bukunya — sampai sebelas tahun lalu sudah sepuluh kali cetak ulang — Menulis itu Gampang (Gramedia Pustaka Utama, 2001). Secara umum, buku ini me- mandu pembacanya untuk menjadi penulis, khususnya penulis sastra. Bagi seorang penulis profesional kelas kakap seperti Arswendo, boleh jadi menulis memang gampang. Pekerjaan me- nulis segampang bernafas dan semudah mengunyah.
Mengarang memang bisa dilakukan oleh siapa pun: anak- anak, remaja, orang muda, orang tua, bahkan pensiunan; pria maupun wanita. Menurut Arswendo, menulis seperti naik sepeda atau berenang, sekali menguasai akan bisa seterusnya. Tak akan lupa atau menjadi tidak bisa. Yang diperlukan hanyalah mengenal unsur-unsur dalam mengarang: ide atau ilham, cara menyusun, menggambarkan tokoh. Selebihnya latihan. Rasanya, asal bukan buta huruf total, semua orang bisa mengarang. Bagi Arswendo yang sudah puluhan tahun menjadi penulis, mengarang memang sungguh gampang.
Namun, pada kenyataannya, mengarang tidak selalu gam- pang, terutama bagi para pemula. Masalahnya, bagaimana agar mengarang itu gampang? Artikel ini secara singkat memberikan
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
panduan, terutama untuk menulis esai. Pembahasan mencakup perihal (1) hakikat menulis, (2) pentingnya latihan dan praktik, (3) pengertian dan ciri-ciri esai, dan (4) tahap-tahap menulis.
Hakikat Menulis
Menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa di samping berbicara, menyimak, dan membaca. Me- nulis termasuk keterampilan berbahasa yang bersifat aktif- produktif, tertulis, dan tidak langsung. Menulis dan tiga keterampilan berbahasa lainnya itu saling berkaitan. Keterampilan yang satu dapat memengaruhi keterampilan yang lain. Suparno dan Mohamad Yunus (Keterampilan Dasar Menulis, 2011:1.6) menggambarkan saling hubungan empat keterampilan berbahasa tersebut dalam tabel berikut ini:
Keterampilan Berbahasa
Tertulis dan Tidak Langsung Aktif Reseptif
Lisan dan Langsung
Menyimak
Membaca
(menerima pesan) Aktif Produktif
Berbicara
Menulis
(menyampaikan pesan)
Menulis dikatakan aktif-produktif karena menulis bersifat menyampaikan pesan. Adapun menulis dikatakan tertulis dan tidak langsung karena komunikasi terjadi secara tertulis (dengan tulisan) dan tidak langsung (penulis dan pembaca tidak berhadap- hadapan langsung, tetapi terpisahkan oleh ruang dan waktu).
Menulis kait-mengait dengan tiga keterampilan berbahasa yang lain. Menyimak dapat menopang keterampilan menulis, misalnya ketika penulis memerlukan informasi dari sumber-sum- ber lisan (tak tercetak), seperti radio, televisi, ceramah, pidato, diskusi, debat, wawancara, ataupun obrolan. Menulis berkaitan dengan membaca sebab seseorang yang membaca tidak hanya memeroleh informasi dari sumber-sumber tertulis (buku, artikel, makalah, dan sebagainya), tetapi ia juga bisa belajar memilih topik, mengemukakan ide, menata gagasan, memilih dan meng-
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
gunakan gaya penulisan, dan sebagainya, dari tulisan-tulisan yang dibacanya. Menulis berhubungan dengan berbicara sebab keduanya sama-sama keterampilan aktif produktif. Keterampilan menulis dan berbicara menuntut kemampuan memilih topik, me- nentukan tujuan dan sasaran, mencari data dan informasi, me- nerapkan cara penyampaian, dan memilih corak teks yang sesuai (narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, atau persuasi).
Hal penting yang juga harus disadari adalah bahwa menulis merupakan kegiatan mengemukakan pemikiran. Artinya, me- nulis hanya dapat dilakukan dengan berpikir. Menulis adalah berpikir. Otaklah yang lebih banyak bekerja daripada tangan dan bagian tubuh lainnya. Tangan dan bagian tubuh yang lain lebih mengerjakan hal-hal teknis, dan otaklah konseptor utama- nya. Maka, menulis menuntut ketenangan, konsentrasi, dan mood (perasaan tanpa beban) supaya otak dapat bekerja tanpa ganggu- an. Tempat dan suasana menjadi faktor pendukung utama.
Namun, tempat dan suasana saja tidaklah cukup. Jika sese- orang sedang tidak tenang, pikiran kacau, atau perasaan gerah dan gundah, bisa dipastikan ia tidak mampu menulis. Tentu saja minat, hasrat, atau gairah juga harus bernyala dalam diri sese- orang. Tanpa adanya minat, hasrat, dan gairah, akan sia-sialah gagasan atau pemikiran yang telah tumbuh dalam benak kita. Tulisan pun tidak pernah akan terwujud.
Pentingnya Latihan dan Praktik
Arswendo menekankan pentingnya latihan. Agar terampil menulis, kita memang harus banyak berlatih. Resep keberhasilan menulis sebenarnya sederhana, yaitu 3L: latihan, latihan, dan latihan. Semakin banyak minum “vitamin 3L”, semakin cepat dan gampang kita menulis. Tidak ada cara lain. Di dalamnya termasuk jatuh-bangun dan berkucur peluh karena proses trial and error : terus-menerus mencoba dan mencoba demi mengatasi kesalahan. Salah tidak apa-apa, sebab itu menjadi bagian yang wajar dan tak terpisahkan dari proses belajar.
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
Andrias Harefa, seorang penulis beken buku-buku motivasi, juga menekankan pentingnya latihan dengan istilah praktik. Le- wat buku Agar Menulis/Mengarang Bisa Gampang (Gramedia Pus- taka Utama, 2002), ia menyebut perlunya keyakinan dan sikap dasar (beliefs and basic attitude) bahwa bagi kita pun bisa menulis- mengarang dengan gampang. Di atas bangunan keyakinan dan sikap dasar itu, kita perlu menambahkan secara bertahap dan kontinyu pengetahuan dan wawasan di seputar tulis-menulis maupun ide-ide pokok sesuai dengan minat dan ambisi kita ma- sing-masing. Selebihnya adalah praktik, praktik, dan praktik.
Menurut Andrias Harefa, belajar menulis harus didasari “kesadaran atas suatu ketidakmampuan” (conscious-incompetent), dalam hal ini kita sadar bahwa kita tidak mampu menulis. Keti- dakmampuan wajib disadari dan diakui dengan jujur dan rendah hati. Namun, dengan terus berpraktik, kita akan berkembang menuju tahap “sadar bahwa kita mampu” (conscious-competent). Ketidakmampuan kita ubah menjadi kemampuan. Jika tidak lelah berpraktik, akhirnya kita akan mencapai tahap “tak sadar tapi kompeten” (unconscious-competent). Pada tahap inilah kita akan mengalami (bukan sekadar mengetahui) bahwa menulis dan me- ngarang memang gampang. Inilah tahap seseorang menjadi pe- nulis profesional: menulis dan mengarang segampang mengge- rakkan kaki dan tangan.
Satu hal yang sangat tidak diharapkan oleh Andrias Harefa adalah kita berada pada keadaan “tidak sadar bahwa kita tidak/ belum mampu” (unconscious-incompetent). Mengapa? Karena ke- adaan itu membuat kita tidak bisa dan tidak pernah belajar. Kita tidak tahu kelemahan atau keterbatasan diri sendiri. Atau kita malas dan takut mengetahui kelemahan dan keterbatasan itu sehingga kita tidak mampu mengembangkan diri dalam segi apa pun, termasuk dalam menulis.
Bergelut dengan Fakta dan Fiksi
Pengertian dan Ciri-ciri Esai
Esai merupakan naturalisasi (penulisan dengan tata tulis bahasa Indonesia) kata bahasa Inggris essay. Pengertian esai me- nurut Longman Dictionary of Contemporary English (2001:464) adalah “a short piece of writing giving someone’s ideas about politics, society, etc. ”. Esai merupakan jenis tulisan untuk mengemukakan gagasan tentang persoalan sosial, politik, dan sebagainya. Ada- pun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:381), esai adalah “karangan yang membahas suatu masalah secara sepintas-lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya”.
Esai memiliki tiga ciri. Pertama, esai berdasarkan masalah, peristiwa, atau keadaan yang faktual dan aktual terjadi dalam masyarakat. Jadi, esai bukan tulisan fiktif (rekaan). Esai memang bisa berupa harapan imajinatif, tetapi tetap berdasarkan fakta aktual yang secara eksplisit (tersurat) dikemukakan dalam esai. Kedua, esai bercorak argumentatif. Maksudnya, esai ditulis dengan tujuan untuk mengemukakan opini (pendapat, usulan, rekomendasi, kritik, atau sikap verbal) secara argumentatif se- hingga mampu memengaruhi pikiran dan sikap pembaca. Untuk memperkuat argumentasi, diperlukan data, teori, pendapat ahli, dan/atau analisis yang bernalar (logis). Ketiga, esai bersifat il- miah popular. Di satu sisi, esai berciri ilmiah sehingga cara ber- pikir dan penulisannya mematuhi kaidah-kaidah ilmiah. Di sisi lain, esai ditujukan untuk pembaca umum, tidak terbatas pada kalangan keilmuan tertentu. Oleh sebab itu, pembahasaannya (pilihan kata, pengalimatan, dan sebagainya) diupayakan mudah dipahami masyarakat umum (popular). Ciri terakhir ini berkaitan dengan media pemuatan esai, yakni surat kabar umum (harian atau majalah) atau buku popular.
Tahap-tahap Menulis Esai
Selain sebagai “kerja otak”, menulis — termasuk menulis esai — pun merupakan sebuah proses. Sebagai sebuah proses, menulis berisi serangkaian kegiatan yang dapat diibaratkan
Proses Kreatif Penulisan dan Pemanggungan
sebagai membangun rumah. Membangun sebuah rumah memer- lukan tahap-tahap yang tertata rapi. Misalnya, merancang bangunan, memilih corak arsitekturnya, membeli bahan-bahan yang sesuai, membuat pondasi, merangkai kerangka, menembok dan menempatkan kusen, memasang atap, merangkai jaringan listrik, menyemen tembok, memasang ubin lantai, mengecat, dan sebagainya. Menulis perjalanan juga demikian. Ada tiga fase yang perlu dilewati, yaitu tahap prapenulisan, penulisan, dan pasca- penulisan.
Tahap Prapenulisan