PENGGUNAAN BIOTRICKLING bilateral FILTER BIOTRICKL

I . PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Kegiatan industri, penyulingan minyak bumi, gas alam, pabrik petrokimia,

pengolahan air secara aerob dan anaerob akan menghasilkan polutan berupa gas.
Hidrogen sulfida (H2S) merupakan salah satu limbah gas yang dihasilkan. Gas
H2S tidak berwarna, gas yang mudah terbakar dan sangat beracun. Biasanya H 2S
ditemukan dalam campuran dengan lainnya senyawa sulfur organik seperti
methanethiol, dimetilsulfida dan dimetildisulfida.
Terdapat beberapa cara yang digunakan untuk mengurangi polutan yaitu
secara fisik, kimia dan biologis. Secara fisik, biasanya digunakan arang aktif
sebagai filter. Secara kimia, dapat dilakukan penambahan bahan kimia atau proses
tertentu seperti insinerasi. Saat ini, metode fisikokimia yang digunakan untuk
mengatasi polutan H2S dan mengurangi senyawa sulfur adalah adsorpsi, absorpsi,
insinerasi. Namun, metode ini memiliki kebutuhan energi yang relatif tinggi dan
membutuhkan biaya yang tinggi. Beberapa proses biologi yang digunakan untuk
mengatasi gas yang terkontaminasi dengan senyawa sulfur organik (H 2S), telah
dilaporkan.
Pengolahan secara biologis dapat digunakan metode bioscrubber, biotrickling

filter dan biofilter. Metode biologis dengan menggunakan biotrickling filter telah
diusulkan sebagai alternatif untuk mengatasi polutan gas H 2S. Di dalam sistem
biotrickling filter ini terdapat suatu kolom terisi bahan yang disusun sedemikian
rupa menjadi suatu lapisan yang berpori (memiliki celah) sehingga dapat dilalui
gas polutan. Pada permukaan bahan yang telah disusun dalam kolom tersebut,
akan terbentuk biofilm. Gas terkontaminasi akan dialirkan secara bersamaan atau
secara berlawanan kemudian akan terjadi kontak dengan fase cair yang
menyediakan nutrisi sehingga terbentuk kondisi yang sesuai untuk menjaga
kelangsungan hidup dan aktivitas biofilm. Gas diserap dan secara biologis
dioksidasi, kemudian mengubah senyawa H2S menjadi senyawa sulfur teroksidasi

1

seperti sulfur (belerang) dan sulfat, yang akan keluar dari bioreaktor di dalam fase
cairan sehingga akan mengurangi gas polutan (H2S).
Bakteri dari genus Acidithiobacillus, seperti Acidithiobacillus thiooxidans
yang menggunakan H2S sebagai sumber energi, tampaknya sesuai karena
persyaratan nutrisi rendah. Inokulasi kultur mikroorganisme pada sistem
biotrickling


filter

dapat

meningkatkan

kapasitas

dan

efisiensi

dalam

mengurangi/menghilangkan gas H2S dan senyawa organosulfur lain selama proses
operasi sistem. Selain itu, beberapa strain Thiobacillus thioparus menunjukkan
efisiensi yang tinggi dalam mengurangi/menghilangkan H2S, yang juga mampu
mendegradasi

methanethiol,


menggunakan

karbon

dimetilsulfida

disulfida

sebagai

dan
sumber

dimetildisulfida,
energi.

dan

Penggunaan


mikroorganisme dengan kemampuan yang tinggi di dalam sistem kerja
biotrickling

filter

diharapkan

dapat

meningkatkan

kemampuan

dalam

mengurangi/menghilangkan gas beracun H2S.

1.2.


Tujuan Penulisan



Tujuan penulisan adalah untuk :
Mengetahui permasalahan yang ditimbulkan oleh emisi gas Hidrogen Sulfida



(H2S)
Mengetahui metode Biotrickling filter dalam mengurangi emisi gas Hidrogen



Sulfida (H2S)
Mengetahui peranan Thiobacillus thioparus dan Acidithiobacillus thiooxidans
dalam mengoksidasi Hidrogen Sulfida (H2S) pada sistem biotrickling filter.

2


II. PEMBAHASAN
2.1. Gas Hidrogen Sulfida (H2S)
Gas hidrogen sulfida (H2S) disebut juga gas telur busuk, gas asam, asam
belerang atau uap bau. Gas H2S terbentuk akibat adanya penguraian zat-zat
organik oleh bakteri. Oleh karena itu, gas ini dapat ditemukan di dalam operasi
pengeboran minyak, gas dan panas bumi, lokasi pembuangan limbah industri,
peternakan atau pada lokasi pembuangan sampah.
Gas H2S mempunyai sifat dan karakteristik antara lain : tidak berwarna tetapi
mempunyai bau khas seperti telur busuk pada konsentrasi rendah, merupakan
jenis gas beracun, dapat terbakar dan meledak pada konsentrasi 4.3% (43000
ppm) sampai 46% (460000 ppm) dengan nyala api berwarna biru pada
temperature 500 0F (2600C), berat jenis gas H2S lebih berat dari udara sehingga
gas H2S akan cenderung terkumpul di daerah yang rendah (berat jenis gas H 2S
sekitar 20 % lebih berat dari udara dengan perbandingan berat jenis H 2S = 1.2 atm
dan berat jenis udara = 1 atm), H2S dapat larut (bercampur) dengan air (daya larut
dalam air 437 ml/100 ml air pada 00C; 186 ml/100 ml air pada 400C), H2S bersifat
korosif sehingga dapat mengakibatkan karat pada peralatan logam.
Batas maksimum emisi untuk H2S sebesar 70 mg/m3 (Kepmen LH No.13
tahun 1995), volume Gas dalam keadaan standar (25 oC dan tekanan 1 atm). Efek
fisik gas H2S pada tingkat rendah dapat menyebabkan terjadinya gejala-gejala

sebagai berikut : sakit kepala atau pusing, badan terasa lesu, hilangnya nafsu
makan, rasa kering pada hidung, tenggorokan dan dada, batuk – batuk, dan kulit
terasa perih.
2.2. Biotrickling Filter
Biotrickling Filter relatif baru dan masih dianggap sebagai sebuah teknologi
baru untuk mengontrol polusi udara. Berbagai bahan telah digunakan untuk
mendukung pembentukan biofilm mikroorganisme, di antaranya cincin polietilen,

3

busa polystyrene, tanah diatom, keramik, polistiren dicampur dengan karbon aktif,
bahan pelet sintetis dan perlit. Secara umum, karakteristik bahan yang berpori dan
permukaan bahan yang non hidrofobik dengan permukaan spesifik tampaknya
dapat memfasilitasi kolonisasi mikroorganisme dan selanjutnya membentuk
biofilm.

Gambar 1. Sistem Biotrickling Filter, udara yang terkontaminasi/beracun
dimasukkan ke dalam sistem dari atas dengan blower kemudian melalui bahan dan
udara yang bersih akan ke luar melalui saluran bawah (Maredia, 2005)
Pada gambar 1, udara terkontaminasi dimasukkan ke dalam sistem melalui

saluran di atas kolom, gas tersebut akan masuk ke dalam lapisan bahan filter
dimana terdapat mikroorganisme yang berkembang dan berperan dalam
mengoksidasi H2S. Gas yang sudah bersih akan dialirkan ke luar melalui saluran
outlet. Selama proses tersebut terjadi sirkulasi air dan nutrisi yang diberikan
melalui shower di bagian atas kolom.
Terdapat sedikit perbedaan pada gambar 2, di mana gas yang terkontaminasi
dialirkan melalui bagian bawah kolom, kemudian gas tersebut akan naik ke atas
kolom melalui lapisan (celah-celah/pori) bahan filter, selama melalui lapisan gas
H2S akan teroksidasi sehingga gas yang bersih akan ke luar melalui bagian atas
kolom. Nutrisi untuk mikroorganisme diberikan bersamaan dengan air yang
dialirkan dari atas kolom dan air tersebut akan terus disirkulasi.

4

A

B

Gambar 2. Sistem Biotrickling Filter, inlet berada di bagian bawah kolom dan
outlet berada di bagian atas. (1) compressor udara; (2) Pressure gauge; (3) Needle

Valve;(4) Air filter;(5) Pengontrol aliran;(6) Check valve;(7) Humidification;(8)
Mist removal chamber;(9) generator H2S;(10) Peristaltic pump;(11) Solutions of
Na2S and HCl;(12) Lead acetate solution; (13) Pengontrol aliran; (14) Flowmeter;
(15) Biotrickling filter; (16) outlet; (17) Recycling pump; (18) Solution recycle;
(19) Solution make-up. (Syed, et al., 2006; Aroca,G. et al., 2007)
Alasan sistem biotrickling filter lebih disukai adalah karena biotrickling filter
memiliki sistem sirkulasi cairan yang dapat bermanfaat untuk memberikan nutrisi
untuk mikroorganisme, seperti pada gambar. Sirkulasi cairan membantu
menghindari terjadinya kekeringan pada bahan filter dan juga memungkinkan
untuk dilakukan penghapusan metabolit yang dihasilkan selama degradasi yang
kemudian dapat didaur ulang. Bahan kemasan yang digunakan dalam sistem
biotrickling filter biasanya merupakan bahan inert atau sintetis seperti terak,
keramik, cincin plastik dan busa, atau batuan vulkanik. Bahan tersebut
memberikan permukaannya untuk pembentukan biofilm di mana tempat sebagian
besar mikroorganisme pendegradasi polutan. Suhu harus dipertahankan antara 2729 °C bagi mikroorganisme untuk tumbuh dan pH cairan tersirkulasi harus tetap
netral untuk menghindari pengasaman. Oleh karena itu, pemantauan terus
menerus terhadap kondisi udara, air, pH, penurunan tekanan, dan temperatur yang
diperlukan.

5


Setelah pemakaian yang lama, maka di dalam lapisan filter, permukaan
bahan tersebut akan dilapisi biomassa mikroorganisme (biofilm). Sehingga lamakelamaan pori-pori pada lapisan tersebut akan semakin sempit. Akibatnya gas
terkontaminasi dan air yang dimasukkan ke dalam sistem akan sulit untuk
dialirkan ke dalam lapisan tersebut. Terjadinya penghambatan tersebut akan
menurunkan efisiensi pengurangan gas polutan/beracun.
Untuk itu, lapisan biofilm dapat dihilangkan secara fisik dengan
menambahkan air di bawah tekanan tinggi untuk menciptakan tekanan tinggi
sehingga biofilm terlepas dari permukaan bahan. Selain itu juga dapat dihapus
secara kimiawi dengan NaOH pada konsentrasi yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroba dan kemudian dengan HCl menetralkan pH. Penyumbatan
celah juga terjadi jika terjadi kelebihan penambahan nutrisi dan dapat
dikendalikan dengan perlakuan stress (penghentian pemberian nutrisi) untuk
beberapa hari. Jika pembersihan secara periodik dilakukan, maka beban sistem
dapat dikurangi sehingga sistem dapat bekerja dengan baik, tetapi hal ini
meningkatkan biaya pemeliharaan. Hal inilah yang menjadi kelemahan sistem ini.
Setelah penggunaan jangka panjang, lapisan bahan filter ini akan memburuk dan
membutuhkan penggantian.

2.3. Peranan Thiobacillus thioparus dan Acidithiobacillus thiooxidans dalam

Mengoksidasi Hidrogen Sulfida (H2S)
Peranan mikroorganisme untuk mengurangi atau menghilangkan gas beracun
H2S telah banyak dilaporkan. Thiobacillus thioparus dan Acidithiobacillus
thiooxidans merupakan bakteri yang menggunakan karbon anorganik (CO2)
sebagai sumber karbon, sumber energy diperoleh dari oksidasi senyawa anorganik
tereduksi seperti H2S.
Thiobacillus thioparus dan Acidithiobacillus thiooxidans yang diinokulasikan
dalam sistem biotrickling filter memiliki kemampuan mengoksidasi H2S. Aroca,
G. et al. (2007), melaporkan oksidasi H2S menggunakan biotrickling filter yang
diinokulasikan dengan T. thioparus dioperasikan pada kondisi pH netral, dan
6

sistem biotrickling filter yang diinokulasikan dengan A. thiooxidans di lingkungan
asam. Bahan pendukung dibuat dengan menggunakan respirometry sebagai indeks
kapasitas oksidasi sulfur sehingga terbentuk biofilm pada tiga bahan: (i) batu
vulkanik (Tezontle (TZ)), (ii) cincin polietilen dan (iii) polyvinilclorure (PVC).
Pada penelitian Aroca, G. et al. (2007), dua set sistem biotrickling filter
dimana kolom diisi dengan cincin polietilen. Cincin polietilen digunakan karena
setelah dilakukan pengujian pada tingkat oksidasi thiosulfate, cincin polietilen
menunjukkan hasil konsumsi oksigen tertinggi. Tingkat konsumsi oksigen
menunjukkan kemampuan oksidasi thiosulfat yang tinggi oleh biofilm yang
terbentuk pada bahan seperti gambar 3 di bawah ini.

Gambar 3. Tingkat oksidasi thiosulfate (10 g/L) oleh biomassa yang terlepas dari
TZ, PVC dan cincin polyethilen (PE) pada suhu 30oC dan pH 6
Biotrickling filter dikemas dengan cincin polietilen yang diinokulasi dengan
kultur bakteri secara kontinu dalam kondisi yang sama, kecuali pH, yang
dikontrol pada kisaran optimal untuk pertumbuhan di setiap set; pH 5,5-7,0 untuk
T. thioparus, dan pH 1,8-2,5 untuk A. thiooxidans. Setelah 30 hari biofilm diamati
pada permukaan cincin polietilen (gambar 4).
Tingkat kemampuan yang tinggi dari oksidasi tiosulfat ditunjukkan oleh
adanya sel-sel yang terlepas dari cincin polietilen dan dapat dikaitkan dengan sifat
menyerap dari permukaan material yang mengarahkan pengembangan biofilm

7

homogen, seperti yang ditunjukkan oleh hasil foto mikroskop elektron seperti
pada Gambar 4. Fakta ini terjadi mungkin dikarenakan tingginya ketersediaan
oksigen dan nutrisi untuk immobilisasi sel yang kemudian mempertahankan sel
tersebut aktif secara metabolik.

Gambar 4. Scanning Electron Microphotograph dari biofilm cincin polietilen
oleh T. thioparus.
Gambar 4 yang menunjukkan sebuah foto mikroskop biofilm yang dibentuk
oleh T. thioparus. Dalam gambar 4a menunjukkan perkembangan bakteri yang
berasosiasi dengan cincin yang diamati, sedangkan pada Gambar 4b dan 4c
limpahan bentuk dasar sulfur yang dihasilkan pada permukaan cincin polietilen
yang diamati. Bahan ini diproduksi oleh oksidasi tiosulfat, menghasilkan kristalkristal

dengan

tipenya

struktur

oktahedral.

Analisis

emisi

sekunder

mengungkapkan bahwa sulfur dasar ada dalam proporsi yang signifikan (34,72%
p / p). Hasil yang sama diperoleh untuk A. thiooxidans.
Penelitian ini juga menunjukkan hasil bahwa dalam penghapusan H2S bila
menggunakan biotrickling filter dengan biofilm yang dibentuk oleh T. thioparus,
dioperasikan pada kisaran pH antara 5,5 dan 7,0 untuk menyediakan kondisi yang
optimal untuk pertumbuhan. Kapasitas maksimal penghapusan dicapai dalam
bioreaktor adalah 14 gS m-3h-1 pada 30 gS m-3h-1 dari beban inlet, efisiensi
removal (efisiensi pembuangan H2S) 47% pada waktu tinggal (residence time) 26
detik.

8

Hasil yang lebih baik diperoleh dalam biotrickling filter yang diinokulasi
dengan A. thiooxidans, dan dioperasikan tanpa kontrol pH pada konsentrasi H 2S
inlet yang tinggi. Efisiensi removal (efisiensi pembuangan H 2S) sebesar 100%
(gambar 5) yang dicapai pada konsentrasi H2S inlet yang lebih tinggi (4600 dan
982 ppmv) dengan residence time masing-masing 120 detik dan 45 detik. Oleh
karena itu, kapasitas pembuangan H2S oleh A. thiooxidans lebih baik
dibandingkan dengan T. thioparus. Selain itu juga, oksidasi sempurna H 2S (100%)
telah dicapai dengan beban inlet 240 gS m-3h-1. Kapasitas removal tertinggi adalah
370 gS m-3h-1 pada residence time 45 detik, dan 405 gS m-3h-1 beban inlet (efisiensi
91%).

Gambar 5. Efisiensi pembuangan (removal efficiency) pada biotrickling filter
yang diinokulasi A. thiooxidans
Kedua nilai yang diperoleh dalam biotrickling filter yang diinokulasi dengan
A. thiooxidans sesungguhnya jauh lebih tinggi daripada kapasitas yang telah
dilaporkan dalam sistem biofiltrasi dikemas dengan carrier alami (Cho et al
1992;. Yang dan Allen, 1994; Wani et al. 1999; Elias et. al. 2002; Oyarzun et al.
2003), mungkin dikarenakan kemungkinan untuk mengalirkan/mengeluarkan
sulfur dan sulfat.
9

III. PENUTUP
Penentuan kapasitas biooksidasi dari biomassa yang dilepaskan dari biofilm
merupakan kriteria yang cocok untuk seleksi bahan pembawa untuk biotrickling
filter, karena ini merupakan suatu pendekatan untuk mengetahui keadaan
metabolik dari sel-sel dalam biofilm. Cincin Polietilen menunjukkan sifat-sifat
yang paling cocok sebagai bahan pendukung dalam biotrickling filter, seperti
yang ditunjukkan oleh tingginya tingkat oksidasi tiosulfat dan kolonisasi.
Removal rate pada biotrickling filter yang diinokulasi dengan T. thioparus
operasi dalam kisaran pH antara pH 5,5-7,0 menunjukkan kemampuan lebih
rendah dari kapasitas penghapusan A. thiooxidans sehingga A. thiooxidans adalah
mikroorganisme yang paling cocok untuk biooksidasi H2S di biotrickling filter.
Keuntungan dari biotrickling filter asam (A. thiooxidans) adalah tidak
memerlukan kontrol pH dari cairan media saat operasi dalam biotrickling filter
diinokulasi. Sedangkan pada T. thioparus, di mana setiap variasi pH menghasilkan
perubahan yang drastis pada efisiensi biooksidasi H 2S sehingga kontrol pH
dibutuhkan.

IV. DAFTAR PUSTAKA
Aroca, G., Homero U., Dariela N., Patricio O., Alejandra A., Karlo G. 2007.
Comparison on the removal of hydrogen sulfide in biotrickling filters
inoculated with Thiobacillus thioparus and Acidithiobacillus thiooxidans.
Electronic Journal of Biotechnology ISSN: 0717-3458 Vol.10 No.4, Issue
of October 15, 2007.
Maredia, Sabina. 2005. A comparison of biofilters, biotrickling filters and
membrane bioreactors for degrading volatile organik compounds. MMG
445 eJournal 2005, 1: 1 www.msu.edu/course/mmg/445.
Syed, M., G. Soreanu, P. Falletta dan M. Béland. 2006. Removal of hydrogen
sulfide from gas streams using biological processes - A review. Canadian
Biosystems Engineering Volume 48 2006.

10

Dokumen yang terkait

VARIASI PENGGUNAAN AGREGAT BENTUK PECAH DAN BENTUK BULAT PADA CAMPURAN ASPAL BETON TERHADAP KARAKTERISTIK MARSHALL

6 148 2

STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA EMPIRIS PADA PASIEN RAWAT INAP PATAH TULANG TERTUTUP (Closed Fracture) (Penelitian di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

11 138 24

STUDI PENGGUNAAN SPIRONOLAKTON PADA PASIEN SIROSIS DENGAN ASITES (Penelitian Di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

13 140 24

STUDI PENGGUNAAN ACE-INHIBITOR PADA PASIEN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) (Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan)

15 136 28

STUDI PENGGUNAAN ANTITOKSOPLASMOSIS PADA PASIEN HIV/AIDS DENGAN TOKSOPLASMOSIS SEREBRAL (Penelitian dilakukan di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang)

13 158 25

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENGGUNAAN BAHASA JURNALISTIK PADA TERAS BERITA HEADLINE HARIAN UMUM GALAMEDIA

8 75 43

PENGGUNAAN APLIKASI KOMPUTER PADA PEMBEL

0 1 1

UPAYA PENINGKATAN PROSES DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENGGUNAAN ALAT PERAGA PADA MATA PELAJARAN IPA DI KELAS IV (EMPAT) SDN 3 TEGALSARI KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN PELAJARAN 2011/2012

23 110 52

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59