PERBEDAAN TINGKAT KEMANDIRIAN SISWA MAN MOJOKERTO DITINJAU DARI LINGKUNGAN YANG TINGGAL DI ASRAMA SEKOLAH DENGAN YANG TINGGAL DI PESANTREN.

(1)

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESE

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)

Psikologi (S.Psi)

Salma Ramadhani B07212076

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)

HATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRACT

The objective of this study is to know the differences of level of students autonomy in Islamic State High School (MAN) in Mojokerto observed by the environment shelter of students who stay in the boarding school and in Islamic boarding school. This study is a comparison study by using data collection techniques in the form of autonomy scale. The subjects of this study were 45 students consisting of 20 students staying in boarding school and 25 students staying in Islamic boarding school.

The result shows that there are differences in the level of students autonomy of MAN Mojokerto who stay in boarding school and Islamic boarding school by mean difference 3.000. This result indicates that there is narrow difference between the level of autonomy of both, but significantly evidenced by independent Samples Test comparison coefficient of 0.001 with signicance of 0.005. Those coefficients marked with a negative comparison show that no difference of those two variables.


(7)

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan perbedaan tingkat kemandirian siswa man mojokerto ditinjau dari lingkungan yang tinggal di asrama sekolah dengan yang tinggal di pesantren. Penelitian ini merupakan penelitian komparasi dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala kemandirian. Subjek penelitian berjumlah 45 siswa yang terdiri dari Siswa yang tinggal di asrama ada 20 dan di pesantren 25.

Hasil menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kemandiian siswa MAN Mojokerto yang tinggal di pesantren dan tinggal di asrama yaitu mean different sebesar 3,000. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat selisih tipis antara tingkat kemandirian keduanya, namun secara signifikan dibuktikan dengan koefisien komparasi Independent Samples Test sebesar 0.001 dengan signifikansi 0.005. koefisien komparasi yang bertanda negatif menunjukkan tidak ada perbedaan dari variabel tersebut.


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

INTISARI ... x

ABSTRACT ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA... ... 13

A. Kemandirian ... 13

a. Pengertian Kemandirian ... 13

b. Tingkatan Kemandirian ... 15

c. Aspek-aspek Kemandirian ... 18

d. Faktor-faktor Kemandirian ... 20

f. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Kemandirian ... 22

B. Asrama dan Pesantren ... 24

a. Pengertian Asrama ... 24

b. Konsep Kurikulum SMA berbasis Asrama ... 26

c. Pengertian Pesantren ... 31

d. Jenis Pesantren ... 37

e. Peran Pesantren ... 39

f. Pendidikan Akhlak di Pesantren ... 40

C. Hubungan Kemandirian dengan Lingkungan Tempat Tinggal ... 47

D. Landasan Teoritis ... 51

E. Hipotesis ... 53

BAB III METODE PENELITIAN ... 54

A. Variabel dan Definisi Operasional ... 54

a. Identifikasi Variabel ... 54

b. Definisi Operasional ... 54

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ... 56

C. Teknik Pengumpulan Data ... 58

D. Validitas dan Reliabilitas ... 60

E. Teknik Analisis Data ... 62

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... ... 63

A. Deskripsi Subjek ... 63


(9)

B. Deskripsi dan Reliabilitas Data ... 65

a. Uji Validitas ... 65

b. Uji Reliabilitas ... 67

C. Hasil ... 68

a. Uji Normalitas ... 68

b. Analisis Uji t Dua Sampel Saling Bebas ... 68

D. Pembahasan ... 73

BAB V PENUTUP ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 : skor skala likert ... 59

Tabel 3.2 : blue print skala kemandirian ... 60

Tabel 4.1 : data responden berdasarkan jenis kelamin ... 63

Tabel 4.2 : data subjek berdasarkan lingkungan tempat tinggal ... 64

Tabel 4.3 : item valid skala kemandirian ... 66

Tabel 4.4 : hasil uji reliabilitas seluruh item ... 67

Tabel 4.5 : hasil uji normalitas ... 68

Tabel 4.7 : Hasil Uji F (Uji t sampel saling bebas) ... 70


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. BluePrint skala Kemandirian... 83

Lampiran 2. Skala Kemandirian ... 84

Lampiran 3. Tabulasi data mentah skala kemandirian (STS) ... 87

Lampiran 4. Skoring Data skala kemandirian ... 89

Lampiran 5. Uji validitas dan reliabilitas skala kemandirian dengan SPSS ... 91

Lampiran 6. Uji reliabilitas skala kemandirian dengan spss 16 for windows .. 92

Lampiran 7. Uji normalitas data dengan bantuan spss 16 for windows ... 93

Lampiran 8. Uji Komparasi Analisis Uji t Dua Sampel Saling Bebas ... 94


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa di sertai dengan perubahan. Perubahan biologis, kognitif, sosial-emosional yang terjadi berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses berpikir abstrak sampai pada kemandirian. Remaja berasal dari kata adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin “Adolescere” yang artinya tumbuh menjadi dewasa atau tumbuh ke arah kematangan (maturasi). Tahap remaja awal dari usia 11-14 tahun, remaja tengah dari usia 15-18 tahun, dan remaja akhir dari 18-21 tahun yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri Steinberg dalam Nurhadi (2013).

Dalam penelitian ini, yang dimaksud remaja adalah masa remaja tengah dari usia 15- 18 tahun yang sedang menempuh pendidikan di MAN Mojokerto. Yang mana di lembaga tersebut menyediakan fasilitas asrama untuk para siswa nya yang tinggal jauh dari orang tua, namun terdapat juga pondok pesantren siswa yang berdiri disekitar lingkungan sekolah. Kehidupan dikedua tempat tersebut menuntut para siswa dan santrinya untuk hidup lebih mandiri saat mereka jauh dari keluarga dan orang tua mereka.

Hurlock (1980) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa, dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.


(13)

Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek afektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber, termasuk perubahan intelektual yang mencolok. Tranformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini. Sehubungan dengan itu pula rasa tanggung jawab dan kemandirian mengalami proses pertumbuhan.

Perkembangan kemandirian sangat dipengaruhi oleh perubahan perubahan fisik, yang dapat memicu terjadinya perubahan emosional, kognitif yang memberikan pemikiran logis tentang cara berpikir yang mendasari tingkah laku dalam pengambilan keputusan serta nilai dalam peran sosial melalui pengasuhan orang tua dan aktivitas individu. Kemandirian menuntut suatu kesiapan individu, baik kesiapan fisik maupun emosional untuk mengatur, mengurus dan melakukan aktivitas atas tanggung jawabnya tanpa banyak mengantungkan diri pada orang lain.

Menurut Steinberg dalam Santosa & Marheni (2002) kemandirian merupakan kemampuan dalam mengatur perilaku sendiri untuk memilih dan memutuskan keputusan sendiri serta mampu mempertanggung jawabkan tingkah laku nya sendiri tanpa terlalu tergantung pada orang tua. Hal ini mendorong remaja untuk tidak tergantung kepada orang tua secara emosi dan mengalihkan pada teman sebaya, mampu membuat keputusan, bertanggung jawab dan tidak mudah di pengaruhi orang lain.


(14)

3

selama masa remaja, tuntutan terhadap kemandirian sangat besar dan jika tidak direspon secara tepat bisa saja menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan psikologi remaja di masa mendatang. Banyak remaja yang menangalami frustasi dan kemarahan kepada orang tua karena tidak mendapatkan kebebasan (mandiri).

Merujuk Hasil penelitian yang dilakukan pada salah satu SMA dikota Bandung menyatakan :18,5% siswa menghadapi masalah, 20 % belum mampu membagi waktu, 13,5% melanggar atau tidak mentatati tata tertib. Saomah (2006).

Penelitian Sa’diyah (2008) menggambarkan tingkat kemandirian 150 siswa kelas XI SMA Negeri 1 Soreang 10% berada pada kategori sangat tinggi, 63% pada kategori tinggi dan 27% berada pada kategori sedang, dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa masih ada siswa sebanyak 27% yang kemandiriannya belum optimal dalam Andriani (2013)

Kemandirian remaja tidak terbentuk begitu saja akan tetapi berkembang karena pengaruh dari beberapa faktor. Menurut Ali dan Asrori (2008) menjelaskan bahwa kemandirian dipengaruhi oleh beberapa faktor yang meliputi gen atau keturunan orang tua, pola asuh orang tua, sistem pendidikan di sekolah, dan sistem pendidikan di masyarakat.

Gaya pengasuhan orang tua sangat berpengaruh, sehingga tampak hubungannya dengan kemandirian remaja. Lingkungan sekolah, peer group, dan masyarakat juga dapat berperan dalam mengembangkan kemandirian remaja.


(15)

Berdasarkan apa yang telah diutarakan, secara konseptual, kemandirian berhubungan positif dengan prestasi siswa di sekolah. Seiring dengan kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan, maka beberapa sekolah menawarkan program- program pendidikan khusus untuk meningkatkan kemandirian. Dalam tawarannya, mereka menyediakan fasilitas asrama bagi para siswanya. Jenis-jenis sekolah yang memberi fasilitas asrama tersebut adalah boarding school, pesantren, dan sekolah plus.

Berdasarkan pemikiran di atas peneliti tertarik untuk mengkaji perbedaan tingkat kemandirian siswa MAN Mojokerto ditinjau dari lingkungan tempat tinggal di asrama sekolah dengan di pesantren. Untuk itu, peneliti memilih MAN Mojokerto sebagai lokasi penelitian dengan alasan, ilmiah dan subjektif. Secara ilmiah, di MAN Mojokerto menjalankan sistem pendidikan yang global, dimana siswanya tidak hanya berangkat dari rumah tapi juga ada yang di asrama, di pesantren dan di kos. di bandinkan dari sekolah-sekolah lain disini lebih spesifik mengarah pada penelitian saya. Secara subjektif, peneliti lebih memilih asrama dari pada kos karena meminimalisir waktu dan tenaga.

Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan, bentuk kemandirian siswa yang tinggal dilingkungan asrama dengan yang tinggal dilingkungan pesantren sedikit berbeda, hal ini terlihat dari beberapa kegiatan yang ada diantara keduanya misalnya, jika di asrama setelah sholat isya’ di wajibkan belajar bersama, tidak dengan dipesantren yang belajar secara mandiri dikamar masing – masing tanpa pengawasan dari pihak pesantren. Untuk


(16)

5

kebutuhan makan sehari- hari di asrama para siswa diwajibkan memasak dengan diperlakukan jadwal bergantian antar siswanya, sedangkan dipesantren untuk makanan sudah disiapkan oleh pihak pesantren.

Dalam penelitian Saomah (2006) Menunjukkan bahwa “Terdapat perbedaan kemandirian siswa kelas I SMU Plus Muthahhari yang tinggal di asrama dan yang tinggal dengan orang tua, dengan harga Z sebesar 6,912”.

Program dalam asrama atau pesantren siswa dimaksudkan untuk menciptakan suatu lingkungan belajar yang kondusif, yang memungkinkan siswa untuk dapat belajar lebih teratur, berkonsentrasi, dan menjadi lebih mandiri. Para siswa sendiri, sebagian menyatakan bahwa mereka tinggal di asrama atau pesantren karena keinginan sendiri, sementara yang lainnya karena alasan tempat tinggal yang jauh. Berkenaan dengan perkembangan kemandirian siswa, kesempatan tinggal di asrama atau pesantren dapat memberikan pengaruh tersendiri. Dengan memasuki asrama, mereka berarti memasuki kehidupan baru yang berbeda dengan suasana kehidupan di pesantren. Siswa yang tinggal di asrama juga memiliki kegiatan yang lebih padat dalam proses belajar mengajar yakni kegiatan keagamaan.

Kehidupan di asrama menuntut siswa untuk mentaati dan menegakkan aturan-aturan yang berlaku. Penggunaan aturan merupakan salah satu hal yang penting dalam mendukung proses kemandirian, terutama dalam menentukan mana yang benar dan yang salah. Meskipun pada awalnya bentuk kepatuhan itu karena dikontrol oleh pembina asrama namun seiring dengan lamanya waktu tinggal di asrama serta kematangan remaja itu sendiri,


(17)

proses kepatuhan itu berkembang menjadi sesuatu yang diputuskan dan dikontrol oleh diri sendiri sehingga siswa bisa menjadi mandiri.

Hal lain yang memungkinkan siswa yang tinggal di asrama terpacu perkembangan kemandiriannya adalah tuntutan agar mereka bisa melayani dan memenuhi kebutuhan dirinya serta merawat dan memelihara lingkungannya. Ditegaskan oleh Saomah (2006) bahwa sekolah-sekolah berasrama memang secara sengaja menciptakan suatu kehidupan yang mengutamakan kemandirian dan tanggung jawab; dan hal ini pula yang ingin dicari oleh para orang tua yang mengasramakan anak-anaknya.

Dari hasil observasi sementara antara lingkungan asrama dan pesantren. Terdapat beberapa perbedaan dalam proses pembelajaran baik formal maupun keagamaan. Dilingkungan asrama di asuh oleh guru yang berasal dari sekolah MAN Mojokerto, masing- masing memiliki tugas berbeda yaitu bertanggung jawab mengurusi anak- anak, dan ada yang mengajar les bahasa Inggis dan bahasa Arab. Kondisi tempat timpat tinggal diasrama memiliki 7 kamar yang masing- masing diisi maksimal 4-5 anak. untuk kegiatan formal di asrama putri MAN Mojokerto diadakan kegiatan les bahasa Inggris dan bahasa Arab yang diadakan tiap tiga hari sekali dalam seminggu. Dan untuk kegiatan keagamaan di asrama seperti jadwal mengaji diadakan setiap habis sholat subuh dan sholat maghrib. Ada beberapa pengajian yang harus diikuti oleh siswa, diantaranya pengajian kitab Qurotul Uyun, Safinatu Najah, Sulam Tauhid, dan juga membaca Al- Qur’an. Setiap hari sabtu diadakan kegiatan rutinan yaitu diba’an. Untuk kebutuhan sehari –


(18)

7

hari seperti makanan siswa yang tinggal di asrama menyediakan atau memasak sendiri. Mereka membagi jadwal piket sehari dua siswa yang memasak. Namun di jam makan siang para siswa dibolehkan membeli makanan diluar asrama dikarenakan kegiatan disekolah belum selesai.

Sedangkan di lingkungan pesantren dipimpin oleh seorang kyai dan sejumlah pengasuh yang ada didalamnya. Di pesantren lebih menonjolkan ilmu keagamaan, untuk kegiatan sehari-harinya para santri harus mengikuti tata tertib yang ada dalam pesantren tersebut, setiap harinya para santri diwajibkan untuk mengikuti sholat berjamaah pada waktu subuh, maghrib dan isya’ . kegiatan mengaji dilaksanakan setelah sholat subuh sampai jam 6, sedangakan pengajian kitab dilaksanakan setelah sholat maghrib sampai jam 9. Ada beberapa pengajian yang harus diikuti oleh siswa, diantaranya pengajian kitab Ta’lim Muta’ali, Bulugul Maram, Saafinatun Najah, untuk kegiatan diba’an dilaksanakan pada hari kamis. Setelah kegiatan pengajian selesai dilanjutkan dengan istirahat makan bersama yang sudah disiapkan oleh pihak pesantren.

Menurut Sudarsono dalam Sakdiyah (2016) Pengamalan akhlak di pondok pesantren lebih ditekankan pada akhlak mahmudah (mulia), antara lain adalah mandiri, disiplin, tanggung jawab, al-Amanah (dapat dipercaya), al- Alifah (disenangi) , al-‘Afwu (Pemaaf), Anysatun (manis muka), alkhairu (baik), al-Husyu’u (tekun sambil menundukkan diri), al-Haya’u (malu jika tercela), al-Hilmu (menahan diri dari maksiat), al-Adl (adil), al-Ikha’u (menganggap bersaudara), al-Ihsanu (berbuat baik), al-Ifaafah (memelihara


(19)

kesucian diri), al-Mur’uah (berbudi tinggi), al-Nadzafah (bersih), al-Rahmah (belas kasih), al-Sakha’u (pemurah), al-Salam (kesentosaan), al-Salihah (beramal salih), al-Sabru (sabar), al-Sidqu (jujur), al Syaja’ah (pemberani), al-Ta’awun (tolong-menolong), al-Tadzarru’ (merendahkan diri kepada Allah SWT), al-Tawadzu’ (merendahkan diri terhadap sesama manusia), Qanaah (merasa cukup), dan Izzatun nafsi (berjiwa kuat), al-Ikhlas (ikhlas), al-Wafa’ (menepati janji), lapang dada, serta bir al-Walidaini (berbakti kepada orang tua).

Berbagai pemikiran dan fenomena yang dipaparkan di atas memunculkan pertanyaan lebih lanjut apakah terdapat perbedaan tingkat kemandirian siswa MAN Mojokerto ditinjau dari lingkungan tempat tinggal di asrama sekolah dengan di pesantren.

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat perbedaan tingkat kemandirian siswa MAN Mojokerto ditinjau dari lingkungan tempat tinggal di asrama sekolah dengan yang tinggal di pesantren?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat kemandirian siswa MAN Mojokerto ditinjau dari lingkungan tempat tinggal di asrama sekolah dengan yang tinggal di pesantren.


(20)

9

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis

a. Memberikan sumbangsih keilmuan psikologi, khusunya di bidang psikologi perkembangan.

b. Menambah khazanah keilmuan mengenai apakah ada terdapat

perbedaan tingkat kemandirian siswa MAN Mojokerto ditinjau dari lingkungan tempat tinggal di asrama sekolah dengan yang tinggal di pesantren.

2. Manfaat Praktis a. Bagi penulis

- Penelitian ini dapat memberikan pemahaman dan pegetahuan lebih kepada penulis sehingga bisa menambah ilmu yang dimiliki, khususnya tingkat kemandirian siswa MAN Mojokerto ditinjau dari lingkungan tempat tinggal di asrama sekolah dengan di pesantren b. Bagi Akademis

- Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi acuan atau referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya yang ada kaitannya tentang tingkat kemandirian.

c. Bagi Institusi yang terkait


(21)

E. Keaslian Penelitian

Untuk mendukung penelitian ini, peneliti menemukan beberapa kajian riset terdahulu mengenai variabel problem solving untuk dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian ini. Diantaranya:

1. Penelitian oleh Aas Saomah, Hubungan Antara Gaya Pengasuhan Orang Tua Authoritative, Authoritarian, Indulgent, dan Indifferent dengan Kemandirian Siswa ( Studi pada Remaja Kelas 1 SMU Plus Muthahhari Bandung yang tinggal di Asrama dan yang Tinggal dengan Orangtua). Hasil penelitian tersebut adalah Terdapat perbedaan kemandirian siswa kelas I SMU Plus Muthahhari yang tinggal di asrama dan yang tinggal dengan orang tua, dengan harga Z sebesar 6,912.

2. Penelitian oleh Benny okta wijaya, Hubungan Antara Penyesuaian Diri Dengan Kemandirian Pada Mahasiswa Yang Merantau Fakultas Teknik Industri Universitas Bina Darma Angkatan 2014/2015 Palembang. Hasil penelitian tersebut adalah ada hubungan yang sangat signifikan antara penyesuaian diri dengan kemandirian pada mahasiswa yang merantau Fakultas Teknik Industri Universitas Bina Darma Angkatan 2014/2015 Palembang. Sumbangan variabel penyesuaian diri terhadap kemandirian sebesar 53,57%. Teknik analisis menggunakan teknik analisis regresi sederhana, dengan bantuan program spss versi 20.00. Berdasarkan hasisl analisis data penelitian, diketahui r = 0,520 dan p = 0,000 (p<0,05).

3. Penelitian oleh Lidya Irene dkk, Perbedaan Tingkat Kemandirian Dan Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantauan Suku Batak Ditinjau Dari Jenis


(22)

11

Kelamin Hasil penelitian tersebut adalah tidak ada perbedaan antara tingkat kemandirian dan penyesuaian diri mahasiswa perantauan suku batak ditinjau dari jenis kelamin. Dengan kata lain hipotesis ditolak. 4. Penelitian oleh Pradnya Patriana, Hubungan Antara Kemandirian dengan

Motivasi Bekerja Sebagai Pengajar Les Privat pada Mahasiswa di Semarang. Hasil penelitian tersebut adalah terdapat hubungan yang positif antara kemandirian dengan motivasi bekerja sebagai pengajar les privat pada mahasiswa di Semarang, dapat diterima. Semakin tinggi kemandirian mahasiswa di Semarang, maka motivasi bekerjanya semakin tinggi menjadi pengajar les privat.

5. Penelitian oleh Ayu Winda Utami Santoso dan Adijianti Marheni, Perbedaan Kemandirian Berdasarkan Tipe Pola Asuh Orang Tua pada Siswa SMP Negeri di Denpasar. Hasil tersebut adalah adanya perbedaan kemandirian berdasarkan tipe pola asuh Autoritatif dengan Otoriter, perbedaan kemandirian pola asuh Autoritatif dengan persimis, dan ada perbedaan kemandirian pada pola asuh Persimis dengan Otoriter pada siswa SMP Negeri di Denpasar.

6. Penelitian oleh Parra, Dkk Development of emotional autonomy from adolescence to young adulthood in Spain. Hasil tersebut adalah kemandirian emosional bukan bagian dari tahap perkembangan bagi remaja dan dewasa awal, dan bukan indikator pada hubungan keluarga yang sulit.


(23)

7. Penelitin oleh Ryan, Dkk motivation and autonomy in counseling, psychotherapy, and behavior change: a look at theory and practice. Hasil tersebut adalah adanya pengaruh dinamika motivasi dan kemandirian yang memainkan peran penting dalam konseling

8. Penelitin oleh Reeve, Dkk What Teachers Say and Do to Support Students’ Autonomy During a Learning Activity. Hasil penelitian tersebut adalah terdapat hubungan terhadap apa yang dikatakan dan lakukan guru untuk Mendukung kemandirin Mahasiswa selama Kegiatan Belajar.

9. Penelitin oleh Balcikanli, Learner Autonomy In Language Learning: Student Teachers’ Beliefs. Hasil penelitian tersebut adalah Terdapat pengaruh pada antara keyakinan guru yang memiliki prinsip-prinsip kemandirian terhadap kemandirian belajar dalam pembelajaran bahasa. 10. Penelitian oleh Frick, Implementing Autonomy Support: Insights from a

Montessori Classroom. Hasil penelitian tersebut adalah terdapat pengaruh metode kelas montessori terhadap dukungan kemandirian.


(24)

BAB II Kajian Pustaka A. Kemandirian

1. Pengertian Kemandirian

Menurut Brammer dan Shostrom dalam Ali dan Asrori (2006) Kata kemandirian berasal dari kata dasar diri yang mendapatkan awalan ke dan akhiran an yang ke mumudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata diri, pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai perkembangan diri itu sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah self.

Menurut Steinberg dalam Santosa & Marheni (2013) menyatakan bahwa kemandirian merupakan kemampuan individu untuk bertingkah laku secara seorang diri serta kemandirian remaja ditunjukkan dengan bertingkah laku sesuai dengan keinginannya, mengambil keputusan sendiri dan mampu mempertanggungjawabkan tingkah lakunya sendiri.

Siswoyo dalam Santosa & Marheni (2013) mendefinisikan kemandirian sebagai suatu karakteristik individu yang mengaktualisasikan dirinya, menjadi dirinya seoptimal mungkin, dan ketergantungan pada tingkat yang relatif kecil. Orang-orang yang demikian relatif besar dari lingkungan fisik dan sosialnya. Meskipun mereka tergantung pada lingkungan untuk memuaskan kebutuhan dasar, sekali kebutuhan terpenuhi


(25)

mereka bebas untuk melakukan cara nya sendiri dan mengembangkan potensinya.

Masrun, dkk dalam Patriana (2007) kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk berbuat bebas, melakukan sesuatu atas dorongan diri sendiri untuk kebutuhan sendiri, mengejar prestasi, penuh ketekunan, serta berkeinginan untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain, mampu berpikir dan bertindak original, kreatif dan penuh inisiatif, mampu mempengaruhi lingkungannya, mempunyai rasa percaya diri terhadap kemampuan diri sendiri, menghargai keadaan diri sendiri, dan memperoleh kepuasan dari usahanya.

Barnadib dalam Fatimah (2006) kemandirian meliputi perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan atau masalah , mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.

Menurut Somantri dalam Novitasari (2015) Kemandirian adalah kemampuan untuk mengelola individu dalam mengelola dirinya sendiri yang ditandai kemampuan untuk tidak bergantung atau tidak minta bantuan kepada orang lain terutama orang tua, maupun mengambil keputusan secara mandiri dan konskuen terhadap keputusan tersebut, serta mengetahui tentang benar dan salah, penting dan tidak penting.


(26)

15

Pendapat tersebut juga di perkuat oleh Kartini dan Dali dalam Fatimah (2006) kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri.

Reber dalam Fatimah (2006). Berpendapat bahwa kemandirian merupakan suatu sikap otonomi bahwa seseorang secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain. Dengan otonomi tersebut seorang remaja diharapkan akan lebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.

Kemandirian menurut Nashori dalam Irene dkk (2013) merupakan salah satu ciri kualitas hidup manusia yang memiliki peran penting bagi kesuksesan hidup bangsa maupun individu. Selain itu individu yang memiliki kemandirian yang kuat akan mampu bertanggungjawab, menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan, berani menghadapi masalah dan resiko, dan tidak mudah terpengaruh atau tergantung pada orang lain.

2. Tingkatan dan Karakteristik Kemandirian

Menurut Lovinger dalam Ali dan Asrori (2006) membedakan tingkatan kemandirian beserta ciri – cirinya sebagai berikut :

a. Tingkatan pertama adalah tingkat impulsif dan melindungi diri. Ciri-ciri tingkatan ini adalah :

1) Peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat diperoleh dari interaksinya dengan orang lain.


(27)

3) Berpikir tidak logis dan tertegun pada cara berpikir tertentu. 4) Cenderung melihat kehidupan sebagai zero-sum game.

5) Cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkungannya.

b. Tingkatan kedua adalah tingkat komformistik. Ciri-ciri tingkatan ini adalah :

1) Peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan sosial. 2) Cenderung berpikir stereotype dan klise.

3) Peduli akan konformitas terhadap aturan eksternal.

4) Bertindak dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian. 5) Menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan kurangnya introspeksi. 6) Perbedaan kelompok didasarkan atas ciri-ciri eksternal.

7) Takut tidak diterima kelompok. 8) Tidak sensitif terhadap keindividualan. 9) Merasa berdosa jika melanggar aturan. c. Tingkatan ketiga adalah tingkat sadar diri.

Ciri-ciri tingkatan ini adalah :

1) Mampu berpikir alternatif dan memikirkan cara hidup. 2) Peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada. 3) Melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi. 4) Menekankan pada pentingnya pemecahan masalah. 5) Penyesuaian terhadap situasi dan peranan.


(28)

17

d. Tingkatan keempat adalah tingkat saksama (conscientious). Ciri-ciri tingkatan ini adalah :

1) Bertindak atas dasar nilai-nilai internal.

2) Mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan. 3) Mampu melihat keragaman emosi, motif, dan perspektif diri sendiri

maupun orang lain.

4) Sadar akan tanggung jawab

5) mampu melakukan kritik dan penilaian diri. 6) Peduli akan hubungan mutualistik.

7) Memiliki tujuan jangka panjang.

8) Cenderung melihat peristiwa dalam konteks sosial. 9) Berpikir lebih kompleks dan atas dasar pola analitis. e. Tingkatan kelima adalah tingkat individualistis.

Ciri-ciri tingkatan ini adalah :

1) Peningkatan kesadaran individualitas.

2) Kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dengan ketergantungan.

3) Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain. 4) Mengenal eksistensi perbedaan individual.

5) Mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam kehidupan. 6) Membedakan kehidupan internal dengan kehidupan luar dirinya. 7) Mengenal kompleksitas diri.


(29)

f. Tingkatan keenam adalah tingkat mandiri. Ciri-ciri tingkatan ini adalah :

1) Memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan.

2) Cenderung bersikap realistik dan objektif terhadap diri sendiri 3) maupun orang lain.

4) Peduli terhadap pemahaman abstrak, seperti keadilan sosial. 5) Mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan. 6) Toleran terhadap ambiguitas.

7) Peduli terhadap pemenuhan diri.

8) Ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal. 9) Responsif terhadap kemandirian orang lain.

10) Sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain. 11) Mampu mengekspresikan perasaan denga penuh keyakinan dan

keceriaan.

3. Aspek – Aspek Kemandirian

Menurut Steinberg dalam Wijaya (2015) kemandirian merupakan bagian dari pencapaian otonomi diri pada remaja. Untuk mencapai kemandirian pada remaja melibatkan tiga aspek yaitu:

a. Aspek emotional autonomy, yaitu aspek kemandirian yang berkaitandengan perubahan hubungan individu, terutama dengan orangtua. Individu mampu melepaskan ketergantungannya dengan


(30)

19

orang tua dan dapat memenuhi kebutuhan kasih sayangnya tanpa adanya andil dari orang tua.

b. Aspek behavioral autonomy, yaitu kemampuan untuk membuat suatu keputusan sendiri dan menjalankan keputusan tersebut. Individu tersebut mampu menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai dengan tingkah laku pribadinya masing-masing.

c. Aspek value autonomy, yaitu memiliki seperangkat prinsip-prinsip tentang mana yang benar dan mana yang salah, mengenai mana yang penting dan mana yang tidak penting. Individu dapat melakukan hal-hal sesuai dengan pendiriannya dan sesuai dengan penilaiannya tentang perilaku tersebut.

Menurut Havighurst dalam Musdalifah (2007) menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu :

a. Emosi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak bergantung kepada orangtua.

b. Ekonomi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak bergantungnya kebutuhan ekonomi pada orangtua. c. Intelektual, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengatasi

berbagai masalah yang dihadapi.

d. Sosial. Aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak bergantung atau menunggu aksi dari orang lain.


(31)

4. Faktor – Faktor Kemandirian

Menurut Ali dan Asrori (2008) menjelaskan bahwa kemandirian bukanlah semata – mata merupakan pembawaan yang melekat pada diri individu sejak lahir. Perkembangannya juga di pengaruhi oleh berbagai stimulasi yang datang dari lingkungannya, selain potensi yang telah dimiliki sejak lahir sebagai keturunan dari orangtuanya.

Ada sejumlah faktor – faktor yang sering disebut sebagai korelat bagi perkembangan kemandirian, yaitu sebagai berikut.

1. Gen atau keturunan orang tua. Orang tua yang memiliki sifat kemandirian tinggi sering sekali menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga. Namun, faktor keturunan ini masih menjadi perdebatan karena ada yang berpendapat karena ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya bukan sifat orangtuanya muncul berdasarkan cara orang tu mendidik anaknya.

2. Pola asuh orang tua. Cara orang tua mengasuh atau mendidik anak akan mempengaruhi perkembangan kemandirian anak remajanya. Orang tua yang terlalu banyak melarang atau mengeluarkan kata “jangan” kepada anak tanpa disertai dengan penjelasan yang rasional akan menghambat perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, orang tua yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarganya akan dapat mendorong kelancaran perkembangan anak. Demikian juga, orang tua yang cenderung sering membanding –


(32)

21

bandingkan anak yang satu dengan lainnya juga akan berpengaruh kurang baik terhadap perkembangan kemandirian anak.

3. Sistem pendidikan di sekolah. Proses pendidikan disekolah yang tidak mengembangan demokratisi pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinasi tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian remaja. Demikian juga, proses pendidikan yang banyak menekankan pentingnya pemberian sanksi atau hukuman (punishment) juga dapat menghambat perkembangan kemandirian remaja. Sebaliknya, proses pendidikan yang lebih menekankan pentingnya penghargaan terhadap potensi anak, pemberian reward, dan penciptaan kompetisi positif akan memperlancar perkembangan kemandirian remaja.

4. Sistem kehidupan di masyarakat. Sistem kehidupan masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hierarki struktur sosial, merasa kurang aman atau mencekam serta kurang menghargai manifestasi potensi remaja dalam kegiatan produktif dapat menghambat kelancaran perkembangan kemandirian remaja. Sebaliknya, lingkungan masyarakat yang aman menghargai ekspresi potensi remaja dalam bentuk berbagai kegiatan, dan tidak terlalu hierarkis akan merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian remaja.


(33)

5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Kemandirian

Menurut Basri dalam Budinurani (2006) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan kemandirian, yaitu :

1. Faktor Internal

Faktor internal merupakan semua pengaruh yang bersumber dari dalam individu sendiri, seperti keadaan keturunan dan konstitusi tubuhnya sejak lahir dengan segala perlengkapan yang melekat padanya. Segala sesuatu yang dibawa anak sejak lahir adalah merupakan bekal dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Bermacam – macam sifat dasar dari ayah atau ibu dan nenek moyangnya yang mungkin akan didapatkannya di dalam diri seseorang, seperti bakat, potensi intelektual dan potensi pertumbuhan tubuhnya.

a. Faktor Peran Jenis Kelamin

Perbedaan secara fisik antara pria dan wanita nampak jelas sejak masa pubertas, dan perkembangan ini telah matang dalam masa dewasanya, dimana tanggung jawab sebagaimana peran jenisnya harus dimiliki. Dalam perkembangan kemandirian pria lebih aktif. Dan pria merupakan kaum yang diharapkan lebih bertanggung jawab terutama sebelum mereka memasuki kehidupan perkawinan.

Orang menganggap perempuan mudah dipengaruhi, sangat pasif, tidak suka berpetualang, kesulitan dalam memutuskan sesuatu, kurang percaya diri, tidak ambisius dan sangat tergantung.


(34)

23

b. Faktor Kecerdasan atau Inteligensi

Individu yang memiliki inteligensi yang tinggi akan lebih cepat menangkap sesuatu dan memecahkan persoalan-persoalan yang membutuhkan kemampuan berfikir. Sehingga anak yang cerdas cenderung cepat dalam membuat keputusan untuk bertindak, dibarengi dengan kemampuan menganalisis yang baik terhadap resiko-resiko yang akan di hadapi. Inteligensi individu berhubungan dengan tingkat kemandiriannya, artinya semakin tinggi inteligensi seseorang maka semakin tinggi pula tingkat kemandiriannya.

c. Faktor Perkembangan

Kemandirian akan banyak memberikan dampak yang positif bagi perkembangan individu, maka sebaiknya kemandirian diajarkan pada anak sedini mungkin sesuai kemampuannya.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan pengaruh yang berasal dari luar individu, sering pula dinamakan faktor lingkumgan. Lingkungan kehidupan yang dihadapi individu sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang, baik dalam segi – segi positif maupun negatif. Biasanya jika lingkungan keluarga, sisial, dan masyarakatnya baik maka cenderung akan berdampak positif pula dalam hal kemandirian terutama dalam bidang nilai dan kebiasaan dalam melaksanakan tugas – tugas kehidupan.


(35)

3. Faktor Pola Asuh atau Perlakuan Dalam Keluarga

Untuk dapat mandiri seseorang membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya. Pada saat ini orang tua dan respon dari lingkungan sangat diperlukan bagi anak untuk setiap perilaku yang telah dilakukannya. Ada tiga teknik pengasuhan yang diterapkan orang tua pada anaknya, yaitu : teknik pengasuhan autoritarian (otoriter), permisif membolehkan), dan autoritatif (demokratif). Teknik pengasuhan autoritatif merupakan teknik pengasuhan yang paling tepat dan sesuai untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemandirian pada anak, terutama remaja. Namun demikian anak atau remaja tetap berada dalam kendali dan kontrol dari orang tua.

4. Faktor Sosial Budaya

Faktor sosial budaya merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi kemandirian, terutama di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya yang beragam.

B. Pengertian Asrama dan Pesantren 1. Pengertian Asrama

Boarding school merupakan penyelenggaraan sekolah bermutu untuk meningkatkan kualitas anak didik. Nama lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang disekolah kemudian dilanjutkan dengan


(36)

25

pendidikan asrama seperti pendidikan agama atau pendidikan nilai – nilai khusus lainnya. Selama 24 jam anak didik berada dibawah pengawasan para guru pembimbing. Maknun dalam Nurhadi (2013).

Menurut Maknun dalam Nurhadi (2013) Mengungkapkan sekolah berasrama ( boarding school ) adalah sekolah yang didalamnya terdapat berbagai fasilitas penginapan yang disediakan untuk siswanya dan fasilitas tersebut dalam lokasi yang berdekatan dengan fasilitas sekolah.

Nama lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif sedangkan selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus serta mengekspresikan rasa seni dan keterampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan tersebut berlangsung dari pagi hingga malam sampai bertemu pagi lagi. Mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula Maknun dalam Nurhadi (2013).

Di lingkungan sekolah, para siswa dapat melakukan interaksi dengan sesama temannya,dan juga berinteraksi dengan para guru setiap saat. Mereka dapat melihat contoh yang baik langsung dari lingkungan mereka. Dengan demikian, pendidikan kognisi, afektif, dan psikomotor siswa dapat terlatih lebih baik dan optimal. Lingkungan Boarding School yang baik dijaga dengan ketat agar tidak terkontaminasi oleh hal-hal yang


(37)

tidak sesuai dengan sistem pendidikan atau dengan ciri khas suatu sekolah berasrama. Dengan demikian peserta didik terlindungi dari hal-hal yang negatif seperti merokok, narkoba, tayangan film/sinetron yang tidak produktif dan sebagainya.

Dengan adanya asrama tersebut, para siswa akan memperoleh bimbingan dan pengawasan lebih intensif, bakat mereka juga akan terasah maksimal dan melatih kemandirian karena jauh dari orang tua.

2. Konsep Kurikulum SMA Berbasis Asrama (Boarding School)

Konsep SMA berbasis asrama merupakan pengembangan kelanjutan dari konsep SMA model, bertujuan mengumpulkan kekuatan atau kelebihan SMA yang berdekatan atau dalam satu komplek pendidikan yang terpadu (satu lingkungan). Lebih komprehensifnya, konsep keterpaduan SMA pada dasarnya adalah menyatukan 3 jenjang pendidikan yaitu pendidikan kelas, pendidikan asrama dan pendidikan lingkungan. depag dalam Elisa (2012)

Mengutip pendapat elisa, Pendidikan yang menggunakan sistem asrama, sebenarnya sudah diterapkan oleh pondok pesantren yang merupakan pendidikan agama tertua di Indonesia, di mana para santri wajib tinggal di pondok dan tidak diperbolehkan pulang, kecuali santri sudah mempunyai kemampuan yang banyak di bidang agama, dan mendapatkan izin dari sang Kiai. Selanjutnya sistem pondok atau tempat tinggal yang berada dalam satu kompleks lembaga pendidikan di format ulang, yang kemudian banyak ditiru dan diterapkan di beberapa sekolah


(38)

27

dan SMA, karena dirasa sangat efektif dalam membangun karakter seorang siswa.

Dengan adanya sistem boarding dalam sebuah lembaga pendidikan, pembelajaran siswa menjadi lebih terarah, berkualitas dan memadai. Terarah, karena pembelajaran di kelas dan di asrama didesain untuk saling mendukung dan melengkapi, dalam mencapai tujuan utama pendidikan. Berkualitas, karena pembelajaran di asrama dan di luar jam sekolah memungkinkan untuk lebih diperdalam dan ditingkatkan. Memadai karena waktu yang tersedia tidak hanya terbatas di waktu yang dialokasikan di jam belajar sekolah saja.

Dan juga dengan sistem boarding para siswa akan memperoleh bimbingan dan pengawasan lebih intensif. Ini bukan pengekangan, tetapi sebagai salah satu usaha membangun karakter manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh pimpinan pondok putri Gontor beberapa waktu lalu ketika menjadi panelis pada diskusi ilmiah tentang pendidikan bersama dengan pakar pendidikan Prof. Dr. Djohar Effendi dan pemerhati pendidikan yang sekaligus sebagai penulis buku laris, Hernowo di University Center (UC) UGM. Menurutnya, dengan pembentukan asrama ini, bakat mereka juga akan terasa maksimal, serta diimbangi dengan nuansa yang lebih harmonis depag dalam Elisa (2012).

Menurut Elisa (2012) Ada beberapa keunggulan sekolah boarding dibanding sekolah konvensional. Diantaranya adalah :


(39)

a. Kemudahan dalam pengawasan. Anak didik di sekolah berasrama akan terkontrol kesehariannya, karena mereka tidak leluasa keluar masuk sekolah, sehingga hampir tidak memungkinkan mereka terlibat tindakan atau pengaruh negatif di lingkungan masyarakat.

b. Optimalisasi pembinaan dan pelayanan. Kebutuhan belajar siswa akan terus difasilitasi dan dilayani semaksimal mungkin. Hal ini karena siswa dekat dengan sumber belajar, baik guru, perpustakaan, internet dan lain-lain.

c. Pembentukan kemandirian dan kedewasaan. Siswa menjadi lebih mandiri karena jauh dengan orang tua sehingga keperluan pribadi harus ditangani orang tua. Orang tua tidak terlalu repot mengurusi atau memperhatikan putra putrinya dan tidak terlalu khawatir terhadap lingkungan yang kurang baik terhadap putra putrinya, sehingga pekerjaan orang tua juga tidak terganggu dan lebih produktif sesuai dengan bidang pekerjaannya.

d. Efektifitas transportasi. Hal ini karena siswa tinggal satu kompleks dengan sekolah, maka siswa tidak perlu merasakan capeknya menunggu angkot atau berdesak-desakan di bis serta menghindari keterlambatan datang di kelas.

e. Siswa lebih sering berinteraksi dengan teman-temannya sehingga mudah untuk bekerja sama dan saling membantu jika ada kesulitan dalam belajar.


(40)

29

f. Penanaman nilai-nilai akhlak dan ibadah juga lebih intensif diberikan kepada siswa. Bagi anak-anak yang setelah selesai sekolah pulang ke rumah, nilai-nilai yang diberikan guru bisa terhapus tanpa bekas jika anak tersebut memiliki lingkungan yang kurang positif.

g. Koordinasi dan komunikasi antara guru dengan guru, guru dengan siswa atau siswa dengan siswa lebih efektif.

h. Pembinaan akademik siswa juga lebih optimal. Makanya banyak siswa dari boarding school yang menjuarai berbagai turnamen atau perlombaan baik di bidang akademik maupun non akademik.

Adapun hal-hal yang melatar belakangi dibentuknya boarding school, yaitu:

a. Belajar dengan sistem boarding school sampai saat ini merupakan yang terbaik di antara berbagai pilihan. Sistem ini bukan barang baru, karena sudah lama dipraktikkan di pesantren. Dengan sistem pesantren atau mondok. Seorang siswa atau santri tidak hanya belajar secara kognitif, melainkan juga afektif dan psikomotor. Belajar afektif adalah mengisi otak siswa/santri dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, dengan cara melatih kecerdasan anak. Sementara menghadapi era modernisme seperti sekarang ini, otak siswa tidak lagi cukup dengan dipenuhi ilmu pengetahuan, melainkan perlu keterampilan dan kecerdasan merasa dan berhati nurani. Sebab, pada kenyataannya,dalam menghadapi kehidupan, manusia menyelesaikan masalah tidak cukup dengan kecerdasan intelektual, melainkan perlu


(41)

kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Mengajarkan kecerdasan emosional dan spiritual tidak cukup dilakukan secara kognitif, sebagaimana mengajarkan kecerdasan intelektual. Dalam hal ini diperlukan proses internalisasi dari berbagai pengertian yang ada dalam rasio ke dalam hati sanubari. Salah satu cara terbaik mengajarkan dunia afektif adalah pemberian teladan dan contoh dari para pemimpin dan orang-orang yang berpengaruh di sekitar anak.

b. Dengan mengasramakan anak didik sepanjang 24 jam, anak didik tidak hanya mendapatkan pelajaran secara kognitif, melainkan dapat menyaksikan langsung bagaimana perilaku ustadz, guru, dan orang-orang yang mengajarkan mereka. Para siswa bisa menyaksikan langsung, bahkan mengikuti imam, bagaimana cara salat yang khusuk, misalnya. Ini sangat berbeda dengan pelajaran salat, misalnya, yang tanpa disertai contoh dan pengalaman makmum kepada imam yang shalatnya khusyuk. Jangan-jangan pelajaran di ke kelas bisa berbeda dengan pelaksanaan di rumah saat murid/santri melaksanakannya sendiri.

c. Di samping itu, dengan sistem boarding school, para pimpinan pesantren dapat melatih psikomotorik anak lebih optimal. Dengan otoritas dan wibawa yang dimiliki, para guru mampu mengoptimalkan psikomotorik siswa, baik sekadar mempraktikkan berbagai mata pelajaran dalam bentuk gerakan-gerakan motorik kasar maupun


(42)

31

motorik lembut, maupun berbagai gerakan demi kesehatan jiwa dan psikis anak. Karena sistem boarding school mampu mengoptimalkan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor siswa, maka sistem mesantren ini memiliki prasyarat agar para guru dan pengelola sekolah siap mewakafkan dirinya selama 24 jam. Selama siang dan malam ini, mereka melakukan proses pendidikan, baik ilmu pengetahuan, maupun memberikan contoh bagaimana mengamalkan berbagai ilmu yang diajarkan tersebut.

d. Dengan adanya boarding school, keinginan orang tua mendapatkan sekolah berkualitas didukung tempat tinggal yang bagus bagi anak-anaknya dapat terpenuhi.

e. Selain adanya pengawasan 24 jam, menyekolah anak di boarding school juga bisa meningkatkan persaudaraan yang kental di antara anak-anak, menciptakan hubungan yang baik antara guru dan murid. f. Dan di beberapa sekolah boarding school dimanfaatkan untuk

meningkatkan fektifitas dari visi sekolah itu sendiri. 2 Pengertian Pesantren

Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, dimana kata "santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq ( قوﺪ ﻨﻓ ) yang berarti penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya,


(43)

mereka biasanya disebut lurah pondok Epta (2012) . Banyak definisi yang diberikan oleh para peneliti namun subtansinya sama yaitu pesantren sebagai lembaga pendidikan islam yang mengajarkan ilmu- ilmu agama islam dengan referensi yang digunakan adalah kitab-kitab klasik (kitab kuning) yang berafiliasi dengan timur tengah.

Menurut Haedari dalam Epta (2012) Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa.

Pesantren atau pondok adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia. Sebab, lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Budha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada Madjid (1997).

Arifin dalam Sakdiyah (2016) mendifinisikan bahwa pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (pondok) di mana


(44)

33

para santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya di bawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa ustadz atau kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal.

Seorang guru atau ustadz dalam pondok pesantren juga sebagai pembimbing utama para santri, artinya segala pola kehidupan baik dalam bidang keilmuan maupun perilaku dalam kehidupan sehari-harinya, dapat dijadikan uswah dalam membimbing pola kehidupan santri-santrinya.

Dari sekian banyak pesantren yang ada di indonesia mempunyai ciri dan karekteristik yang berbeda, hal itu bisa dilihat dari berbagai perspektif mulai dari kurikulumnya, sistem pendidikannya, lembaga pendidikan yang ada di dalamnya, keterbukaan pesantren dalam menerima perubahan dan lain sebagainya.

Kategorisasi pesantren tersebut dijelaskan oleh Mujamil Qomar dalam bukunya yang berjudul “pesantren dan transformasi metodologi menuju demokratisasi institusi” pesantren dipandang dari tiga karakteristik yaitu, pertama, memiliki santri yang belajar dan tinggal bersama kiai, kurikulum tergantung kiai, belajar secara individu, kedua, memiliki madrasah, kurikulum tertentu, pengajarannya bersifat aplikatif, kiainya memberikan pelajaran pada waktu – waktu tertentu, dan santrinya tinggal di asrama untuk mempelajari pengetahuan agama dan umum. Ketiga, hanya berupa asrama luar, kiai sebagai pengawas dan pembina mental-spiritual Qomar dalam Arifin (2010).


(45)

Dhofier (2011) melihat pesantren dari keterbukaanya terhadap perubahan – perubahan yang ada, kemudian membaginya menjadi dua yaitu, pesantren salafi dan khalafi. Pesantren salafi yaitu pesantren yang mengajarkan kitab- kitab islam klasik sebagai inti pendidikannya. Sedangkan ilmu umum bisa di peroleh di madrasah yang mengajarkan ilmu umum. Sedangkan pesantren khalafi telah memasukkan pelajaran – pelajaran umum dalam madrasah yang dikembangkannya atau membuka sekolah umum di lingkungan pesantren. Disamping itu ia juga membagi pesantren dari jumlah santri dan pengaruhnya. Ada pesantren kecil, menengah, dan besar. Pesantren besar apabila jumlah santrinya mencapai lima ribu ke atk,as yang berasal dari beberapa wilayah, menegah apabila santrinya berkisar seribu lebih. Dan pesantren kecil apabila santrinya kurang dari seribu dan pengaruhnya hanya terbatas sampai kabupaten saja.

Menurut Dhofier dalam Amyani (2010) pesantren merupakan komplek pendidikan yang meliputi 5 elemen pokok : kyai, santri, masjid, pondok dan pengajaran kitab – kitab klasik islam. Kelima elemen pesantren tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Kyai : kyai memiliki peran yang paling esensial dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren. Sebagai pemimpin pesantren, keberhasilan pesantren banyak tergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karisma dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan, sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren.


(46)

35

b. Santri : santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren, karena langkah pertama dalam tahap – tahap membangun pesantren adalah harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap dirumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.

c. Masjid : hubungan antara pendidikan islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi islam diseluruh dunia. Dulu kaum muslimin juga selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan islam, sebagai kehidupan rohani, sosial, politik, dan pendidikan islam, masjid memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sehari – hari dalam masyarakat. Dalam konteks pesantren, masjid dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang jum’at, dan pengajaran kitab – kitab klasik. Biasanya yang pertama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid.

d. Pondok : definisi singkat istilah pondok adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya. Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah saantrinya. Tanpa memperhatikan jumlah santri, asrama wanita selalu di pisahkan dengan asrama laki – laki. Salah satu fungsi pondok selain sebagai tempat asrama para santri, adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk


(47)

mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus bersikap mandiri, misalnya memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memlihara lingkungan hidup. Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan islam lain seperti sistem pendidikan di daerah minangkabau yang disebut surau.

e. Pengajaran kitab – kitab klasik : kitab – kitab klasik islam dikarang para ulama terdahulu, termasuk pelajaran mengenai macam – macam ilmu pengetahuan agama islam dan bahasa arab. Dikalangan pesantren, kitab – kitab islam klasik sering disebut kitba kuning oleh karena warna kertas edisi – edisi kitab kebanyakan berwarna kuning.

Menurut Dhofier dalam Amyani (2010) pada masa lalu pengajian kitab – kitab islam klasik merupakan satu – satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab – kitab islam klasik masih termasuk perioritas tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab – kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab – kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesntren bisa diketahui dari jenis kitab – kitab yang diajarkan.


(48)

37

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa unsur – unsur yang berada pada lingkungan pesantren terdapat 5 elemen pokok, yakni : kyai, santri, masjid, pondok dan pengajaran kitab – kitab klasik islam. Semua elemen ttersebut sangat penting dalam pendirian, pertumbuhan, pengurusan, dan perkembangan dalam sebuah pesantren. Tanpa adanya kiai maka sebuah pesantren tidak akan berkharisma dan tidak memiliki sosok seorang pemimpin yang menghidupkan dan mengembangkan pesantren, sebab kiai merupakan tokoh sentral dalam pesantren. Begitupun juga Tanpa adanya santri maka pesantren tersebut tidak akan berjalan sesuai fungsinya yakni membimbing para anak didiknya. Demikian juga dengan masjid, pondok dan pengajaran kitab – kitab kuning itu merupakan fasilitas terpenting guna menjalankan semua kegiatan yang ada dalam sebuah pesantren, sebuah pesantren tidak akan lengkap dan tidak ada ruhnya tanpa kelima elemen tersebut.

1. Jenis Pondok Pesantren

Menurut Epta (2012) Secara umum pondok pesantren dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :

a. Pondok pesantren salafi

Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren salafi. Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri bekerja untuk kyai mereka bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya - dan sebagai balasannya mereka diajari ilmu agama


(49)

oleh kyai mereka tersebut. Sebagian besar pesantren salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari salat shubuh di waktu pagi hingga mereka tidur kembali di waktu malam. Pada waktu siang, para santri pergi ke sekolah umum untuk belajar ilmu formal, pada waktu sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustadz mereka untuk memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an.

b. Pondok pesantren modern

Pesantren yang mengajarkan pendidikan umum, dimana persentase ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum (matematika, fisika, dan lainnya). Ini sering disebut dengan istilah pondok pesantren modern, dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri.

Dalam pesantren dengan sistem materi ajar campuran antara pendidikan ilmu formal dan ilmu non formal, para santri belajar seperti di sekolah umum atau madrasah. Pesantren campuran untuk tingkat SMP biasa disebut dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan untuk tingkat SMA dengan nama Madrasah Aliyah.


(50)

39

2. Peran Pondok Pesantren

Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudain dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. federspiel salah seorang pengkaji ke-Islaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh dan Palembang (Sumatra), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar. Sebagai institusi sosial, pesantren telah memainkan peranan yang penting di Indonesia dan negara-negara lainnya yang penduduknya banyak memeluk agama Islam. Alumni pondok pesantren umumnya telah bertebaran di seluruh wilayah Indonesia.

3. Metode pendidikan pondok pesantren

Metode pendidikan membahas tentang cara-cara yang ditempuh guru untuk memudahkan murid memperoleh ilmu pengetahuan, menumbuhkan pengetahuan ke dalam diri penuntut ilmu dan menerapkannya dalam kehidupan. Dalam hal ini Nafi’ dalam Epta (2012) mengemukakan bahwa metode pengajaran di pesantern adalah bandongan atau wetonan dan sorogan. Bandongan dilakukan dengan cara kyai/guru teks-teks kitab yang berbahsa arab, menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal, dan sekaligus menjelaskan maksud yang terkandung dalam kitab


(51)

tersebut. Metode ini dilakukan dalam rangka memenuhi kompetensi kognitif santri dan memperluan referensi keilmuan bagi mereka. Aspek kognitif yang semua santri menjadi aktif adalah metode pengajaran yang juga menjuadi cirri khas pesantren yaitu sorogan. Metode sorogan adalah semacam metode CBSA yang santri aktif memilih kitab, biasanya kitab kuning yang akan dibaca, kemudian membaca dan menerjemahkannya di hadapan kyai, sementara itu kyai mendengarkan bancaan santri itu dan mengoreksi bacaan atau terjemahannya jika diperlukan. Aspek efektif santri juga ditingkatkan melalui poembinaan akhlak/kepribadian. Konsep barokah atau berkah yang ada di pesantren, yaitu keyakinan bahwa jika seorang santri bersungguh-sungguh dalam belajar di pesantren maka akan mendapatkan barokah, juga menjadi andil di dalam meningkatkan minat dan semangat santri untuk belajar.

4. Pendidikan Akhlak di Pondok Pesantren

Menurut Burhanuddin dalam Sakdiyah (2016) pendidikan akhlak di pondok pesantren meliputi beberapa hal, yaitu :

a. Kedudukan akhlak di pondok pesantren Akhlak di pesantren menempati posisi yang cukup tinggi, hal ini didasarkan pada pandangan pesantren terhadap akhlak itu sendiri, yaitu:

1. Akhlak sebagai amalan utama, pendidikan dan pengajaran di pesantren semuanya diarahkan pada pencapaian akhlak. Seperti dalam pengajaran ilmu tauhid, selain memberikan keyakinan juga


(52)

41

mencerminkan norma-norma tingkah laku serta budi pekerti dalam pergaulan sosial.

2. Akhlak sebagai media untuk menerima Nur, ada anggapan di lingkungan pesantren bahwa ilmu adalah Nur Allah dan Nur tidak akan bisa diterima kecuali oleh-orang-orang yang suci.

3. Akhlak sebagai sarana untuk mencapai ilmu manfaat, ilmu yang ada pada seseorang pada dasarnya berkembang sesuai dengan kemampuan akal dan kemanfaatnnya berjalan sesuai dengan tingkah pribadi yang bersangkutan. Jika yang mempunyai ilmu adalah orang baik, maka ilmunya pasti akan memberi kebaikan pada orang lain. Sebaliknya, yang yang mempunyai ilmu orag jahat, maka imunya pasti akan diarahkan untuk tujuan-tujuan jahat.

a. Materi Pendidikan Akhlak di Pesantren

Dalam beberapa materi pendidikan akhlak di pondok pesantren, satu materi dengan materi lain tidak bisa dipisahpisahkan, artinya setiap satu materi merupakan tahapan dari materi sebelumnya, juga pemahaman tentang suatu materi dipelajari melalui tahap-tahap yang telah ditentukan dalam sebuah kitab. Kitab-kitab akhlak yang dipelajari dalam pesantren meliputi: kitab al-Akhlak al-Banin, Ihya’ Ulum ad-Din, Ta’lim al-Muta’alim, Idzotun Nasi’in dan sebagainya.

Adapun materi-materi pendidikan akhlak dalam pesantren menurut Asyari dalam Sakdiyah (2016) adalah sebagai berikut:


(53)

1. Akhlak santri terhadap dirinya, materinya antara lain:

a. Dalam mencari ilmu harus berniat ikhlas untuk mencapai ridlo dari Allah SWT, menghilangkan kebodohan, dan berjuang demi menegakkan agama Islam.

b. Santri harus menjauhkan diri dari sifat-sifat buruk seperti sombong, boros, kikir, serta senantiasa Taqarrub kepada Allah untuk mendapatkan cahaya ilmu dan kemanfaatan.

c. Santri harus semaksimal mungkin bersungguhsungguh agar dapat tercapai cita-cita dan didukuing dengan sifat Wira’i, tidak banyak tidur dan tidak banyak makan, juga senantiasa Qona’ah dalam belajar.

2. Akhlak santri terhadap ustadz dan kyai

Menurut Dhofier (2011) Tradisi pesantren, mengembangkan sistem hubungan antara guru dengan murid yang berlangsung seumur hidup baik bagi kyai maupun santri. Dalam sebuah pondok pesantren, kedudukan seorang kyai atau ustadz sangat tinggi. Sudah menjadi kewajiban bagi para santri untuk memuliakan mereka dengan cara-cara sebagai berikut:

a. Santri hendaknya selalu menyengkan ustadznya.

b. Santri hendaknya memandang guru dengan penuh ketulusan dan keta’dziman, serta meyakini dalam diri ustadz terdapat derajat kesempurnaan, juga tidak memanggilnya kecuali disertai dengan sebutan ustadz atau sebutan lain yang mengagungkannya.


(54)

43

c. Santri hendaknya memperhatikan hak guru dan tidak melupakan kebaikan dan keutamaannya serta mendo’akan untuk kebaikan ustadz.

d. Santri tidak boleh duduk dikursi yang biasa diduduki guru. Bersikap sopan ketika berhadapan dengan ustadz, serta khusyu di saat kegiatan belajar mengajar.

e. Santri hendaknya berbicara dan menegurnya dengan baik,tidak membuka percakapan dengan ustadz sebelum diajak berbicara. f. Membantu dan berbuat sebaik mungkin untuk keperluan ustadznya

dan tidak berbuat sesuatu yang merendahkan derajatnya.

Kedudukan guru dalam seluruh kehidupan santri demikian pentingnya, sehingga seorang murid harus mempertimbangkan betul- betul sebelum memutuskan untuk belajar dengan seorang guru tertentu. Dalam ta’lim muta’alim kepatuhan mutlak seorang santri kepada guru tidak berarti harus mengikuti perintah gurunya yang bertentangan dengan ajaran islam.

3. Akhlak santri terhadap pelajaran

Kedudukan ilmu di dalam dunia pesantren sangat tinggi. Ilmu dipandang sebagai nur (cahaya) dari Allah yang bisa diterima oleh seorang santri jika dia bisa menjaga tingkah laku dan perbuatannya dari perbuatan maksiat. Hal ini diyakini bahwa nur akan masuk pada diri seorang santri yang senantiasa bertakwa yaitu menjalankan segala yang diperintahkan oleh Allah dan senantiasa menjauhkah diri dari larangan-larangan-Nya.


(55)

Adapun beberapa akhlak santri terhadap pelajaran antara lain sebagai berikut:

a. Hendaknya santri mengawali belajar ilmu-ilmu yang penting yakni ilmu-ilmu yang bersifat fardlu ain, dengan urutan ilmu dzat ketuhanan, ilmu sifat ketuhnaan, fiqih dan ilmu hal, juga ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hati.

b. Santri hendaknya mengiringinya dengan mempelajairi al-Qur’an dan berbagai cabang keilmuannya. Serta menghindarkan diri dari jebakan mempelajari perbedaan pendapat pada saat awal belajarnya.

c. Santri hendaknya mengujikan kebenaran keilmuan dan hafalannya kepada ustadz atau selalu memantapkan sebagai ilmu bagi dirinya. 5. Metode Pendidikan Akhlak di Pondok Pesantren

Metode atau suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu sangat perlu diperhatikan dalam hubungannya pembentukan akhlak santri pada suatu pesantren. Metode pendidikan akhlak di pondok pesantren merupakan penanaman akhlak pada diri santri dengan cara-cara tertentu agar para santri mempunyai akhlak yang mulia kemudian dapat mengamalkannya dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan agama Islam.

Adapun metode-metode pendidikan akhlak di pesantren dapat digunakan beberapa cara antara lain :

a. Metode Keteladanan Dalam dunia pesantren pemberian contoh-contoh sangat mendapatkan perhatian. Kyai dan ustadz senantiasa


(56)

45

memberikan uswah atau teladan yang baik bagi santrinya, yaitu dalam ibadahibadah ritual maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini menjadi penting karena nilai-nilai para santri ditentukan dari aktualisasi seorang kyai atau ustadz terhadap apa yang disampaikan. Semakin konsisten seorang kyai atau ustadz menjaga tingkah lakunya, semakin didengar ajaran dan nasihat mereka.

Dengan berbekal keteladnan kyai atau ustadz, para santri akan lebih bisa mengembangkan sifat-sifat dan potensinya, karena dengan keteladanan itulah santri akan mendapatkan dukungan secara psikologis.

b. Metode Latihan atau Pembiasaan Mendidik dengan cara latihan atau pembiasaan adalah mendidik dengan cara memberikan latihan-latihan terhadap suatu norma kemudian membiarkan santri untuk melakukannya. Cara ini di pesantren biasanya diterapkan pada hal-hal yang bersifat amaliah seperti shalat berjamaah, kesopanan terhadap kyai atau ustadz dan pergaulan dengan sesama santri.

c. Mendidik melalui Ibrah

Mendidik melalui ibrah dapat dilakukan dengan cara membangkitkan kondisi psikis santri agar dapat merenungkan, memikirkan dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah dari setiap peristiwa. Seperti santri mengkaji tentang kitab Usfuriyyah.


(57)

d. Metode Mauidzah

Di dunia pesantren tidak diragukan lagi bahwa keberadaan saling nasehat-maenasehati sudah menjadi sebuah tradisi tersendiri. Kyai senantiasa menasehati santrinya, demikian juga antar sesama santri juga saling menasehati, yang lebih senior menasehati santri yang masih baru.

Menurut Tamyiz Burhanuddin dalam Sakdiyah (2016) ada tiga unsur dalam mauidhah antara lain:

1. Mauidhah berupa uraian tentang kebaikan dan kebenaran yang harus dikerjakan.

2. Mauidhah berupa motivasi untuk mendorong berbuat kebaikan. 3. Mauidhah berupa peringatan terhadap dosa dan bahaya yang

akan muncul yang dilakukan oleh seseorang. e. Metode Kediplinan

Metode kedisiplinan adalah berbentuk hukuman dan sangsi bagi santri yang melanggar perturan pondok, atau ini lebih dikenal dengan sebutan ta’zirat.Metode kediplinan dapat dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :

1. Penyadaran dengan diberi peringatan bagi santri yang melanggar peraturan pada pertama kalinya.

2. Santri dihukum sesuai dengan peraturan yang ada. Hukuman ini harus disesuaikan dengan besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan oleh santri seperti membersikan kamar mandi.


(58)

47

3. Santri dikeluarkan dari pesantren dan dikembalikan kepada walinya. Hal ini dapat dilaksanakan sebagai alternatif terakhir jika seorang santri sudah tidak bisa melaksanakan peraturanperaturan yang telah ditetapkan oleh pondok pesantren.

f. Metode Targhib wa Tarhib

Dua metode ini saling berkaitan satu dengan lainnya. Targhib merupakan janji-janji agar seseorang senang melakukan kebiakan, sedangkan tahdzib adalah ancaman untuk menimbulkan rasa takut berbuat tidak benar. Metode ini dalam pesantren biasanya digunakan untuk memberikan semangat kepada para santri untuk belajar, seperti dalam pelajaran-pelajaran yang dihafal.

C. Hubungan Kemandirian dengan Lingkungan Tempat Tinggal

Menurut Steinberg dalam Santosa & Marheni (2013) menyatakan bahwa kemandirian merupakan kemampuan individu untuk bertingkah laku secara seorang diri serta kemandirian remaja ditunjukkan dengan bertingkah laku sesuai dengan keinginannya, mengambil keputusan sendiri dan mampu mempe rtanggungjawabkan tingkah lakunya sendiri.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Kemandirian Menurut Basri (2006), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan kemandirian, yaitu :


(59)

1. Faktor Internal

Faktor internal merupakan semua pengaruh yang bersumber dari dalam individu sendiri, seperti keadaan keturunan dan konstitusi tubuhnya sejak lahir dengan segala perlengkapan yang melekat padanya. Segala sesuatu yang dibawa anak sejak lahir adalah merupakan bekal dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Bermacam – macam sifat dasar dari ayah atau ibu dan nenek moyangnya yang mungkin akan didapatkannya di dalam diri seseorang, seperti bakat, potensi intelektual dan potensi pertumbuhan tubuhnya.

a. Faktor Peran Jenis Kelamin

Perbedaan secara fisik antara pria dan wanita nampak jelas sejak masa pubertas, dan perkembangan ini telah matang dalam masa dewasanya, dimana tanggung jawab sebagaimana peran jenisnya harus dimiliki. Dalam perkembangan kemandirian pria lebih aktif. Dan pria merupakan kaum yang diharapkan lebih bertanggung jawab terutama sebelum mereka memasuki kehidupan perkawinan.

Orang menganggap perempuan mudah dipengaruhi, sangat pasif, tidak suka berpetualang, kesulitan dalam memutuskan sesuatu, kurang percaya diri, tidak ambisius dan sangat tergantung. b. Faktor Kecerdasan atau Inteligensi

Individu yang memiliki inteligensi yang tinggi akan lebih cepat menangkap sesuatu dan memecahkan


(60)

persoalan-49

persoalan yang membutuhkan kemampuan berfikir. Sehingga anak yang cerdas cenderung cepat dalam membuat keputusan untuk bertindak, dibarengi dengan kemampuan menganalisis yang baik terhadap resiko-resiko yang akan di hadapi. Inteligensi individu berhubungan dengan tingkat kemandiriannya, artinya semakin tinggi inteligensi seseorang maka semakin tinggi pula tingkat kemandiriannya.

c. Faktor Perkembangan

Kemandirian akan banyak memberikan dampak yang positif bagi perkembangan individu, maka sebaiknya kemandirian diajarkan pada anak sedini mungkin sesuai kemampuannya.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan pengaruh yang berasal dari luar individu, sering pula dinamakan faktor lingkumgan. Lingkungan kehidupan yang dihadapi individu sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang, baik dalam segi – segi positif maupun negatif. Biasanya jika lingkungan keluarga, sisial, dan masyarakatnya baik maka cenderung akan berdampak positif pula dalam hal kemandirian terutama dalam bidang nilai dan kebiasaan dalam melaksanakan tugas – tugas kehidupan.


(61)

3. Faktor Pola Asuh atau Perlakuan Dalam Keluarga

Untuk dapat mandiri seseorang membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya. Pada saat ini orang tua dan respon dari lingkungan sangat diperlukan bagi anak untuk setiap perilaku yang telah dilakukannya. Ada tiga teknik pengasuhan yang diterapkan orang tua pada anaknya, yaitu : teknik pengasuhan autoritarian (otoriter), permisif membolehkan), dan autoritatif (demokratif). Teknik pengasuhan autoritatif merupakan teknik pengasuhan yang paling tepat dan sesuai untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemandirian pada anak, terutama remaja. Namun demikian anak atau remaja tetap berada dalam kendali dan kontrol dari orang tua.

4. Faktor Sosial Budaya

Faktor sosial budaya merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi kemandirian, terutama di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya yang beragam.

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kemandirian. Selain itu, beberapa penelitian juga membuktikan adanya Hubungan Antara Gaya Pengasuhan Orang Tua Authoritative, Authoritarian, Indulgent, dan Indifferent dengan Kemandirian Siswa ( Studi pada Remaja Kelas 1 SMU Plus Muthahhari Bandung yang tinggal di Asrama dan yang Tinggal


(62)

51

dengan Orangtua). Oleh Saomah (2006). Hasil penelitian tersebut adalah Terdapat perbedaan kemandirian siswa kelas I SMU Plus Muthahhari yang tinggal di asrama dan yang tinggal dengan orang tua, dengan harga Z sebesar 6,912.

D. Landasan Teoritis

Kemandirian merupakan kemampuan dalam mengatur perilaku sendiri untuk memilih dan memutuskan keputusan sendiri serta mampu mempertanggung jawabkan tingkah laku nya sendiri tanpa terlalu tergantung pada orang tua. Hal ini mendorong remaja untuk tidak tergantung kepada orang tua secara emosi dan mengalihkan pada teman sebaya, mampu membuat keputusan, bertanggung jawab dan tidak mudah di pengaruhi orang lain Menurut Steinberg dalam Santosa & Marheni (2002)

Kemandirian remaja tidak terbentuk begitu saja akan tetapi berkembang karena pengaruh dari beberapa faktor. Diantaranya Menurut Basri dalam Budinurani (2006) faktor internal (faktor peran jenis kelamin, faktor kecerdasan atau inteligensi, faktor perkembangan), faktor eksternal (lingkungan), faktor pola asuh atau perlakuan dalam keluarga, faktor sosial budaya.

Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan, peneliti berasumsi bahwa terdapat perbedaan kemandirian antara siswa yang tinggal dilingkungan pesantren dengan yang tinggal dilingkungan asrama sekolah, dikarenakan beberapa kegiatan yang ada diantara keduanya berbeda misalnya, jika di asrama setelah sholat isya’ di wajibkan belajar bersama, tidak dengan


(63)

dipesantren yang belajar secara mandiri dikamar masing – masing tanpa pengawasan dari pihak pesantren. Untuk kebutuhan makan sehari- hari di asrama para siswa diwajibkan memasak dengan diperlakukan jadwal bergantian antar siswanya, sedangkan dipesantren untuk makanan sudah disiapkan oleh pihak pesantren. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat kemandirian antara keduanya berbeda.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, dalam penelitian ini belum ada tentang penelitian yang sama dari penelitian sebelumnya, sehingga peneliti tertarik dan ingin mengkaji lebih dalam apakah terdapat perbedaan tingkat kemandirian siswa MAN Mojokerto ditinjau dari lingkungan tempat tinggal di asrama sekolah dengan di pesantren.

Berdasarkan uraian kerangka berfikir di atas, penelitian ini berupaya mengungkap perbedaan tingkat kemandirian siswa MAN Mojokerto ditinjau dari lingkungan tempat tinggal di asrama sekolah dengan


(64)

53

di pesantren.dengan demikian akan dapat memperkaya wacana tentang perbedaan tingkat kemandirian siswa MAN Mojokerto ditinjau dari lingkungan tempat tinggal di asrama sekolah dengan di pesantren.

E. HIPOTESIS

Berdasarkan pengertian dan uraian permasalahan- permasalahan di atas yang dikemukakan di atas, maka dalam penelitian ini hipotesis yang di ajukan adalah :

Ho : Tidak Terdapat perbedaan tingkat kemandirian siswa MAN Mojokerto ditinjau dari lingkungan yang tinggal di asrama sekolah dengan yang tinggal di pesantren.

Ha : Terdapat perbedaan tingkat kemandirian kemandirian siswa siswa MAN Mojokerto ditinjau dari lingkungan yang tinggal di asrama sekolah dengan yang tinggal di pesantren.


(1)

Kemandirian terbentuk oleh beberapa faktor, salah satunya yakni Lingkungan,. Lingkungan kehidupan yang dihadapi sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang, baik dalam segi – segi positif maupun negatif. Biasanya jika lingkungan keluarga, sosial, dan masyarakatnya baik maka cenderung akan berdampak positif pula dalam hal kemandirian terutama dalam bidang nilai dan kebiasaan dalam melaksanakan tugas – tugas kehidupan Basri ( dalam Budinurani, 2006).

Hasil penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Saomah (2006) tentang Hubungan Antara Gaya Pengasuhan Orang Tua Authoritative, Authoritarian, Indulgent, dan Indifferent dengan Kemandirian Siswa (Studi Pada Remaja Kelas 1 SMU Plus Muthahhari Bandung yang Tinggal di Asrama dan yang Tinggal dengan Orang Tua. Yang mana hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya tingkat perbedaan kemandiriannya didalamnya, perbedaan tersebut terlihat dari tempat penelitian yang mana penelitian sebelumnya menjadikan pesantren dengan rumah sebagai pembanding, sedangkan pada penelitian ini, peneliti menjadikan asrama dam pesantren sebagai tujuan penelitian.

Dalam proses perkembangannya, remaja mengalami suatu perkembangan yang semakin jelas diarahkan keluar dirinya, keluar lingkungan keluarga, ke orang lain dalam lingkungan sekitarnya, dan tempat yang akan ditempatinya didalam masyarakat. Ia harus dapat melepaskan diri dari ikatan orang tua dan membentuk cara hidup pribadi. Gerakan melepaskan diri dari orang tua merupakan upaya remaja untuk


(2)

76

mendapat pengakuan ingin bersikap mandiri yang sebenarnya merupakan proses untuk mencapai otonomi gunarsa dalam Amyani (2007).

Remaja juga makhluk sosial yang hidupnya juga berdampingan dengan orang lain yang ada dilingkungannya. Maka lingkungan masyarakat, keluarga, sekolah atau tempat dimana ia tinggal dapat membentuk perilaku dan kebiasaan- kebiasaan seseorang termasuk kemandiriannya. Salah satunya remaja yang tinggal di pondok pesantren yang yang biasa disebut santri, karena memang lingkunganny menuntut mereka untuk lebih mandiri. Karena mereka harus mengatur dirinya sendiri dan harus menyesuaikan tingkah lakunya dalam berhubungan dengan orang lain tanpa didampingi oleh orang tua dan keluarga.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa lingkungan tempat tinggal bukan satu- satunya faktor bagi terbentuknya sikap mandiri, karena terdapat faktor- faktor lain yang mempengaruhi terbentuknya sikap mandiri diantaranya : Faktor internal (keadaan keturunan dan konstitusi tubuhnya sejak lahir dengan segala perlengkapan yang melekat padanya), Faktor Peran Jenis Kelamin, Faktor Kecerdasan atau Inteligensi, Faktor Perkembangan, Faktor Pola Asuh atau Perlakuan Dalam Keluarga, Faktor Sosial Budaya,


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ali & Asrori. 2008. Psikologi remaja: per-kembangan peserta didik. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Andriani. 2013. Program Bimbingan Dan Konseling Pribadi Sosial Untuk Meningkatkan Kemandirian Prilaku Siswa Universitas Pendidikan

Indonesia. repository.upi.edu

Amyani, Siti. 2010. Hubungan Antara Kepercayaan Diri dengan Kemandirian santri Pesantren Tahfizh Sekolah Daarul Qur’an Internasional

Bandung.skripsi. jakarta :Fakultas Psikologi Uin Syarif Hidayatullah

Arikunto, Suharsimi. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta

Azwar, Saifuddin. 2013. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Balcikanli, cem. Learner Autonomy In Language Learning: Student Teachers’Belief. Journal of Teacher Education. Turkey : Recommended Citation

Budinurani, Anie. 2006. Kemandirian Pada Remaja Putra Yang Menikah Muda. Jurnal. Depok: Universitas Gunadarma.

Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren (Studi Pandangan Hidup Kyai

dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia). Jakarta : LP3ES

Elisa, Dinda. 2012. implementasi kurikulum sma berbasis asrama (program islamic boarding school) (studi deskriptif di sma al multazam mojokerto). Skripsi. Surabaya : Program Sarjana Ilmu Tarbiyah Sunan Ampel

Epta, Yeyen. 2012. pendidikan kemandirian berbasis pondok pesantren di pondok

pesantren al-manar salatiga. Skripsi. program studi pendidikan agama


(4)

80

Fatimah, Enung, M.M. Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik). Bandung : CV. Pustaka Setia.

Frick. 2010. Implementing Autonomy Support: Insights from a Montessori Classroo. Jurnal. Indiana University : Macrothink institute.

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan suatu Pendekatan

Sepanjang Rentang Kehidupan (Terjemahan) .Bandung: Erlangga

Irene, Lidya, dkk Perbedaan Tingkat Kemandirian Dan Penyesuaian Diri MahasiswaPerantauan Suku Batak Ditinjau Dari Jenis Kelamin. Jurnal. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya

Madjid, Nurcholis. 1997. Bilik-bilik pesantren. Jakarta : PT. Dian Rakyat. Muhid, Abdul. (2012). Analisis Statistik. Sidoarji: Zifatama Publishing.

Musdalifah. 2007. Perkembangan sosial remaja Dalam kemandirian (studi kasus hambatan psikologis dependensi terhadap orangtua). Jurnal. Manado: STAIN.

Nofitasari, Fanny. 2015. Hubungan Antara Pola Asuh Orangtua Yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus Dengan Kemandirian Pada Anak Di SDLB Harapan Mandiri Palembang. Jurnal. Palembang : Fakultas Psikologi Universitas Bina Darma

Nurhadi, Rizka Amalia. 2013. Hubungan Antara Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja di Islamic Boarding School SMPIT Daarul Hikmah Bontang. Jurnal. Malang : Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negri Malang

Reeve, Johnmarshall, Dkk. 2006. What Teachers Say and Do to Support Students’ Autonomy During a Learning Activit. Jouernal. University of Iowa : the American Psychological Association


(5)

Parra, Dkk. 2014. development of emotional autonomy from adolescence to young adulthood in spain. Spanyol : Journal of Adolescence

Patriana, Pradnya. 2007. Hubungan Antara Kemandirian Dengan Motivasi Bekerja Sebagai Pengajar Les Privat Pada Mahasiswa Di Semarang.

Jurnal. Semarang : Universitas Diponegoro

Ryan, M Richard. 2011. motivation and autonomy in counseling, psychotherapy,

and behavior change: a look at theory and practice. New York : The

Counseling Psychologist 39(2) 193– 260

Sakdiyah, Halimatus. 2016. studi komparasi akhlak siswa yang berlatar belakang pondok pesantren dan non pondok pesantren di mts al-ibrohimy galis bangkalan. Jurnal. Surabaya : universitas islam negeri sunan ampel surabaya

Santosa, Marheni. 2013. Perbedaan Kemandirian Berdasarkan Tipe Pola Asuh Orang Tua pada Siswa SMP Negeri di Denpasar. Jurnal Vol. 1, No. 1, 54-62. Denpasar : Universitas Udayana

Saomah, Aas. 2006. Hubungan Antara Pengasuhan Orang Tua, Authoritative,

Authoritarian, Indulgent, Indifferent dengan Kemandirian Remaja. Tesis.

Bandung: SPS UNPAD

Solikhati. 2011. Studi Komparasi kemandirian Belajar Mata Pelajaran Aqidah Akhlak antara yang tinggal di Pesantren dan dirumah Siswa MTs. Nurul

Ulum Welahan Jepara Tahun Pelajaran 2010/101. Skripsi. Jepara:

Fakultas Tarbiyah institut Agama Islam Negri Walisongo.

Sugiyono. (2003). Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Bandung.


(6)

82

Patrian, Pradnya. 2007. Hubungan Antara Kemandirian dengan Motivasi Bekerja

Sebagai Pengajar Les Privat Pada Mahasiswa di Semarang. Skripsi.

Semarang : Fakultas Psikologi Universitas di Ponegoro

Wijaya, Benny okta. 2015. Hubungan Antara Penyesuaian Diri Dengan Kemandirian Pada Mahasiswa Yang Merantau Fakultas Teknik Industri Universitas Bina Darma Angkatan 2014/2015 Palembang. Jurnal. Palembang : Fakultas Psikologi Universitas Bina Darma.


Dokumen yang terkait

PERBEDAAN KEMANDIRIAN ANTARA REMAJA YANG TINGGAL DI PONDOK PESANTREN DENGAN REMAJA YANG TINGGAL BERSAMA ORANG TUA

4 33 22

PERBEDAAN TINGKAT KECERDASAN EMOSI DITINJAU DARI LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL REMAJA (ANTARA REMAJA YANG TINGGAL DI PONDOK PESANTREN DAN REMAJA YANG TIDAK TINGGAL DI PONDOK PESANTREN)

0 7 2

PERBEDAAN PERILAKU PROSOSIAL MAHASISWA DITINJAU DARI TEMPAT TINGGAL (STUDI PADA MAHASISWA YANG TINGGAL DI ASRAMA DAN TINGGAL DENGAN ORANG TUA)

7 42 13

PERBEDAAN PERILAKU PROSOSIAL DITINJAU DARI TEMPAT TINGGAL (Studi pada Remaja yang Tinggal di Pondok Pesantren dan yang Tinggal bersama Orang Tua)

5 29 21

PERBEDAAN TINGKAT DEPRESI PADA SISWA YANG PERNAH TINGGAL DI ASRAMA DAN YANG BELUM PERNAH TINGGAL DI ASRAMA

0 4 10

PERBEDAAN TINGKAT DEPRESI PADA SISWA YANG PERNAH TINGGAL DI ASRAMA DAN YANG BELUM PERNAH TINGGAL DI ASRAMA

2 10 68

PERBEDAAN TINGKAT DEPRESI LAKI-LAKI YANG TINGGAL DI ASRAMA DENGAN LAKI-LAKI YANG TINGGAL BERSAMA ORANG PERBEDAAN TINGKAT DEPRESI LAKI-LAKI YANG TINGGAL DI ASRAMA DENGAN LAKI-LAKI YANG TINGGAL BERSAMA ORANG TUA PADA SISWA KELAS II SMA MTA SURAKARTA

0 0 16

PERBEDAAN TINGKAT KEJENUHAN BELAJAR DITINJAU DARI STATUS SISWA YANG TINGGAL BERSAMA KELUARGA DENGAN SISWA YANG TINGGAL DI ASRAMA KELAS XI MAN 1 SURAKARTA

0 1 17

Perbedaan Tingkat Kemandirian Anak Usia Remaja yang Tinggal Bersama Orangtua dengan yang Tinggal di Kos. - UMG REPOSITORY

0 0 31

PERBEDAAN KEMANDIRIAN ANTARA MAHASISWI YANG TINGGAL DI ASRAMA DAN MAHASISWI YANG TINGGAL DI KOS BEBAS SKRIPSI

1 1 116