Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Akibat Paket Penghematan Pulsa Excelcomindo(Studiputusan PN No.206/Pdt/2006)

(1)

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KERUGIAN

KONSUMEN AKIBAT PAKET PENGHEMATAN PULSA

EXCELCOMINDO(STUDIPUTUSAN PN No.206/Pdt/2006)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Oleh :

YOPIE HANDOKO NIM :060200066 Departemen Hukum Ekonomi

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KERUGIAN KONSUMEN AKIBAT PAKET PENGHEMATAN PULSA EXCELCOMINDO(STUDIPUTUSAN PN No.206/Pdt/2006)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Rangka Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh : YOPIE HANDOKO

060200066

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Windha S.H., M.Hum NIP. 197501122005012002

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Sunarmi, SH. M.Hum. Windha S.H., M.Hum NIP. 196302151989032002 NIP. 197501122005012002

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(3)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas segala petunjuk Rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KERUGIAN KONSUMEN AKIBAT PAKET PENGHEMATAN PULSA EXCELCOMINDO(STUDIPUTUSAN PN No.206/Pdt/2006)” yang disusun guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakutas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan, namun dengan lapang hati penulis selalu menerima kritik, saran maupun masukan yang bersifat mendidik dan membangun dari berbagai pihak.

Dalam kesempatan kali ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, S.H, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, dan juga sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu memberikan arahan, bimbingan dan masukan bagi penulis;


(4)

4. Bapak Muhammad Husni, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Prof. Dr. Sunarmi, SH. M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu memberikan arahan, bimbingan dan masukan bagi Penulis;

6. Ibu Windha S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi dan selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan membantu Penulis; 7. Bapak Ramli Siregar S.H., M.Hum sebagai Sekretaris Departemen Fakultas Hukum

Ekonomi yang telah banyak membantu memberikan arahan, bimbingan, masukan dan nasehat bagi penulis;

8. Ibu Keriahen Purba, SH sebagai Dosen Wali dari Penulis;

9. Bapak dan Ibu Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan kritik;

10. Seluruh staff pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu Penulis selama masa perkuliahan;

11. Teristimewa persembahan kepada kedua orang tuaku : H. Haryono S.E. dan Hj. Nurzaimah S.E. Terima kasih atas cinta dan kasih sayangnya yang tak terbatas, doa-doa yang tak pernah putus, motivasi yang selalu membangun, bantuan moriil dan materi yang tak akan mungkin terbalaskan;

12. Kepada kakak ku Kerry Desiana, terima kasih atas dukungannya selama ini dan selalu menghibur Penulis, juga kepada Saudara-Saudaraku, yang tidak bisa disebutkan satu persatu;

13. Kepada sahabat-sahabatku angkatan 2006: Rizky Alisyahbana, Indra Tarigan Silangit, Teuku Aditya Erliansyah, Dina Kristina Sitepu, Lesly Saviera, Rizka Utami Wijaya yang


(5)

selanjutnya penulis harapkan persahabatan ini tidak akan berakhir sampai akhir usia kita dan mereka-mereka ini dapat menjadi pembesar-pembesar negeri ini, Amin. 14. Kepada teman-teman seperjuangan, Egi Arjuna Ginting, Tessa Yudistira, Anggi

Iskandar Nst, Atika Ayu Pulungan, Milki, Ivan Najjar Alavi, Jhon Hendrik Hasibuan, Sheila Lydia, Irene Kartika Sari Siregar, Ahmad Parlindungan Hsb., dan semua teman-teman angkatan 2006 yang tidak bisa disebutkan satu- persatu terima kasih atas doa dan dukungan kepada saya;

15. Kepada Teman-teman sepermainan Dhany, Azlan, Andri, Andika, Poethra dan Satria semoga persahabatan ini terus terjalin;

16. Rekan-rekan juang di Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia;

17. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu;

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap agar karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua. Semoga Allah SWT, selalu memberikan Rahmat Karunia-Nya kepada kita semua. Amin.

Medan, Juni 2011 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI...iv

ABTRAKSI...vi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Permasalahan...1

B. Perumusan Masalah...5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...6

D. Keaslian Penulisan...7

E. Tinjauan Pustaka...8

F. Metode Penelitian... 16

G. Sistematika Penulisan... 17

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN di INDONESIA... 20

A. Perkembangan Perlindungan Konsumen di Indonesia... 20

B. Pengertian dan Cakupan Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia... 28

C. Asas dan Tujuan Dalam Hukum Perlindungan Konsumen... 31

D. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen di Indonesia……40

BAB III TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN MENURUT UU No.8 TAHUN 1999 tentang Perlindungan Konsumen... 49

A. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha... 49

B. Tanggung Jawab Pelaku Usaha...55

C. Bentuk Tanggung Jawab Pelaku Usaha Bila Terjadi Kerugian Terhadap Konsumen...62


(7)

BAB IV IMPLEMENTASI PENEGAKAN UNDANG-UNDANG No.8 TAHUN 1999 dalam hal TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA MENGENAI GANTI RUGI TERHADAP KONSUMEN BERDASARKAN PUTUSAN PN No. 206/PDT.

G/2006... 68

A. Posisi Kasus Sengketa Antara Konsumen dan Excelcomindo...68

B.Putusan pengadilan Negeri Terhadap Sengketa Konsumen dan Excelcomindo...73

C.Implementasi Penegakan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Dalam Hal Tanggung Jawab Pelaku Usaha Mengenai Ganti Rugi Terhadap Konsumen……….77

BAB V KESIMPULAN dan SARAN... 82

A. Kesimpulan... 82

B.Saran-saran... 83 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAKSI

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KERUGIAN KONSUMEN AKIBAT PAKET PENGHEMATAN PULSA EXCELCOMINDO (STUDI PUTUSAN PN No.206/Pdt/2006).

Prof. Dr. Sunarmi S. H., M.Hum1

Windha S. H., M.Hum2

Yopie Handoko3

Berkembangnya ekonomi suatu negara dan masyarakat yang aktif dalam mencari informasi menuntut perkembangan telekomunikasi suatu negara secara tidak langsung. Di Indonesia perkembangan telekomunikasi juga terjadi dengan pesat, hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya pelaku usaha yang mendirikan banyak sekali perusahaan jasa telekomunikasi khususnya kartu seluler. Posisi konsumen yang dahulunya sebagai subyek telah berubah menjadi obyek bagi pelaku usaha untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk melindungi hak-hak konsumen maka dibentuk dan disahkanlah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam skripsi ini dirumuskan beberapa permasalahan di antaranya yaitu bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia, tanggung jawab pelaku usaha menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 dan bagaimana implementasi penegakan tanggung jawab pelaku usaha apabila terjadi kerugian terhadap konsumen menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini metode yuridis normatif, dimana penelitian hukum normatif biasanya dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan maka disebut juga dengan metode kepustakaan. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder yang berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen.

Bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia yaitu perlindungan hukum melalui perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak dan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara melalui ketentuan yang mengatur tentang Perlindungan Konsumen dimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi yang diberikan oleh pelaku usaha hanya dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan implementasi

1 Dosen pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU 2 Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU 3 Mahasiswa Fakultas Hukum USU


(9)

ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap Putusan PN No.206/Pdt/2006 telah sesuai dengan ketentuan yang ada.


(10)

ABSTRAKSI

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KERUGIAN KONSUMEN AKIBAT PAKET PENGHEMATAN PULSA EXCELCOMINDO (STUDI PUTUSAN PN No.206/Pdt/2006).

Prof. Dr. Sunarmi S. H., M.Hum1

Windha S. H., M.Hum2

Yopie Handoko3

Berkembangnya ekonomi suatu negara dan masyarakat yang aktif dalam mencari informasi menuntut perkembangan telekomunikasi suatu negara secara tidak langsung. Di Indonesia perkembangan telekomunikasi juga terjadi dengan pesat, hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya pelaku usaha yang mendirikan banyak sekali perusahaan jasa telekomunikasi khususnya kartu seluler. Posisi konsumen yang dahulunya sebagai subyek telah berubah menjadi obyek bagi pelaku usaha untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk melindungi hak-hak konsumen maka dibentuk dan disahkanlah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam skripsi ini dirumuskan beberapa permasalahan di antaranya yaitu bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia, tanggung jawab pelaku usaha menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 dan bagaimana implementasi penegakan tanggung jawab pelaku usaha apabila terjadi kerugian terhadap konsumen menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini metode yuridis normatif, dimana penelitian hukum normatif biasanya dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan maka disebut juga dengan metode kepustakaan. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder yang berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen.

Bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia yaitu perlindungan hukum melalui perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak dan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara melalui ketentuan yang mengatur tentang Perlindungan Konsumen dimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi yang diberikan oleh pelaku usaha hanya dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan implementasi

1 Dosen pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU 2 Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU 3 Mahasiswa Fakultas Hukum USU


(11)

ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap Putusan PN No.206/Pdt/2006 telah sesuai dengan ketentuan yang ada.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia jauh tertinggal dari pada negara maju lainnya, khususnya dalam bidang teknologi. Seiring dengan berkembangnya suatu negara maka manusia ingin mendapatkan informasi tentang apa saja yang terjadi baik di negaranya maupun di negara lain. Oleh sebab itu negara berkembang dan negara maju terus-menerus melakukan penemuan baru di bidang teknologi informasi. Kemajuan teknologi informasi di negara India dan Cina yang luar biasa terjadi karena sumber daya manusia yang mampu mengembangkan dan mengendalikan teknologi tersebut.4

Di Indonesia tradisi pendidikan, pengembangan, termasuk penelitian di bidang ilmu pengetahuan belum begitu mendarah daging, tradisi penemuan-penemuan baru di segala bidang kurang berkembang. Salah satu teknologi informasi yang masuk ke Indonesia adalah telepon seluler yang awalnya hanya bisa di pakai oleh segelintir orang yang dapat menggunakannya misalnya seorang direktur perusahaan, pejabat pemerintahan dan golongan ekonomi menengah ke atas. Hal tersebut disebabkan harga alat komunikasi tersebut relatif mahal dan harga kartu seluler yang digunakan juga memiliki harga yang tinggi. Secara perlahan-lahan, seiring semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi juga banyaknya pelaku usaha penyedia kartu seluler maka

4 Atik Triratnawati, “Aspek Simbolisme Telepon Genggam”, Majalah Humaniora


(13)

telpon seluler yang awalnya merupakan barang tersier berubah menjadi barang primer.

Pentingnya telekomunikasi untuk mendukung kegiatan perekonomian masyarakat membuat bisnis telekomunikasi pada masa mendatang usaha komunikasi data akan meraup untung yang sangat besar. Tidaklah mengherankan apabila muncul prediksi pasar komunikasi akan tumbuh pesat dengan nilai bisnis mencapai Rp. 14,9 triliun pada tahun 2011.5

Jasa telekomunikasi seluler di Indonesia memiliki pasar yang sangat besar. Pasar yang sangat besar dalam industri jasa telekomunikasi ini tentu patut diikuti dengan sistem perlindungan hukum. Tujuannya untuk melindungi jutaan masyarakat yang menggunakan jasa telekomunikasi seluler yang pada gilirannya menimbulkan tanggung jawab bagi para pelaku usaha untuk memberikan pelayanan yang baik kepada para konsumennya.6

Kartu seluler di Indonesia memiliki dua klasifikasi antara lain GSM (Global System for Mobile Communication) seperti XL (XL prabayar dan XL pascabayar), Indosat (IM3 dan Mentari), Telkomsel (kartu As, Halo dan Simpati) dan CDMA (Code Division Multiple Access) seperti Telkom (Flexi), Mobile-8 (Fren), Indosat (Starone). Hadirnya kartu GSM lebih awal daripada kartu CDMA. Akan tetapi sekarang perkembangan keduanya sangat pesat. Hal ini membuat pelaku usaha semakin ketat bersaing dalam dunia jasa telekomunikasi di

5 Achmad Rouzni Noor, Pasar Komunikasi Data 14,9 T di 2011 http:// www. Detikinet.com, diakses pada tanggal 12 Desember 2010.

6 Muhlis Usman “Perlindungan Hukum Bagi Pelanggan Jasa Telekomunikasi Seluler

Terhadap Perjanjian Berlangganan Jasa Telekomunikasi Seluler GSM” http://referensi-hukum.blogspot.com/2010/07/perlindungan-hukum-bagi-pelanggan-jasa.html, diakses pada tanggal 12 Desember 2010.


(14)

Indonesia. Pelaku usaha menanamkan sahamnya untuk berinvestasi di dunia telekomunikasi di Indonesia, tidak hanya investasi yang berasal dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri.7

Perkembangan kartu seluler di Indonesia mendukung kebutuhan masyarakat akan informasi dan komunikasi, sehingga hadirnya kartu seluler memudahkan masyarakat untuk mendapatkan informasi. Sekarang tidak hanya golongan ekonomi menengah ke atas saja yang dapat menikmati kehadiran kartu seluler tetapi semua golongan dapat menikmatinya dari pejabat tinggi, karyawan kantor, ibu rumah tangga sampai abang tukang becak.8

Konsumen yang telah menyetujui untuk menggunakan layanan yang ditawarkan dengan menyepakati aturan yang telah dibuat oleh pelaku usaha, terikat dalam suatu hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha. Adanya hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Hubungan hukum itu terjadi karena adanya perikatan dari pihak pelaku usaha dan konsumen. Sebagaimana Subekti mendefinisikan perikatan sebagai berikut :

“suatu hubungan hukum antara dua orang atau pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut.”9

Meskipun konsumen dapat memilih operator celuler yang memiliki kualitas pelayanan telekomunikasi yang lebih baik, namun telekomunikasi merupakan

7 Wilson L. Simatupang, Perkembangan Telekomunikasi Dalam Masyarakat, http:// www. Sinarharapan. co.id, diakses pada tanggal 12 Desember 2010.

8Ibid


(15)

industri yang sarat akan asymmetric information. Maksudnya dalam industri telekomunikasi, informasi kondisi layanan yang didapat konsumen sering kali tidak sesuai dengan kondisi yang dipromosikan operator. Akibatnya, pengguna layanan berpindah dari satu operator ke operator celuler yang lain yang kualitas pelayanannya sama buruknya.10

Setiap orang pada suatu masa tertentu dalam posisi tunggal maupun berkelompok bersama orang lain, dalam suatu keadaan pasti menjadi konsumen untuk suatu barang dan jasa tertentu, keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan beberapa kelemahan pada konsumen sehingga konsumen berada posisi yang tidak aman.11 Kondisi ini mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang, dimana konsumen barada di posisi yang lemah, konsumen menjadi objek aktifitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan atau penawaran produk serta perjanjian standar yang merugikan konsumen. Akibatnya apabila konsumen dirugikan akibat kesalahan dari pelaku usaha, maka konsumen tidak mampu menuntut ganti kerugian. Salah satu penyebabnya adalah terdapat praktik perdagangan tertentu yang merugikan konsumen.

Banyak provider atau pelaku usaha telekomunikasi yang menawarkan berbagai macam keuntungan dan manfaat dalam kartu seluler yang ditawarkan kepada konsumen, jika tidak hati-hati memilih produk barang/jasa yang

10 Abdul Salam Taba, “Mengurai Standar, Mengerek Layanan. Koran Tempo, 29 Agustus

2007.

11 Sri Redjeki Hartono, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam kerangka Era Perdagangan Bebas dalam hukum perlindungan konsumen (Bandung : Mandar Maju, 2000), hal. 37.


(16)

diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitasi dari provider atau pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.12

Menurut penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering terjadi adalah masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya. Tentunya, hal tersebut terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen.

Jika dilihat lebih lanjut, konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan pada persoalan lemahnya kesadaran dan ketidakmengertian (pendidikan) mereka terhadap hak-haknya sebagai konsumen. Hak-hak yang dimaksud, misalnya bahwa konsumen tidak mendapatkan penjelasan tentang manfaat barang atau jasa yang dikonsumsi. Lebih dari itu konsumen ternyata tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) yang berimbang dengan pelaku usaha. Hal ini terlihat sekali pada perjanjian baku yang siap untuk ditandatangani dan bentuk klausula baku atau ketentuan baku yang yang tidak informatif dan tidak bisa ditawar lagi.13

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan judul skripsi ini “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Akibat Paket Penghematan Pulsa Excelcomindo (Berdasarkan Studi Putusan PN No. 206/Pdt/2006)”, maka perlu dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

12 Penyedia layanan atau jasa dan atau penyedia layanan, http:/www.total. or. Id, diakses

pada tanggal 12 desember 2010.

13 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta :


(17)

1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia. 2. Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen dalam

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 3. Bagaimana implementasi penegakan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

dalam hal tanggung jawab pelaku usaha mengenai ganti rugi terhadap konsumen. (Berdasarkan Putusan PN No. 206/Pdt. G/2006).

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan dalam rangka penulisan skripsi ini mempunyai tujuan yang hendak dicapai, sehingga penulisan ini bisa lebih terarah serta dapat mengenai sasarannya. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia.

2. Untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 3. Untuk mengetahui implementasi penegakan Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam hal tanggung jawab pelaku usaha mengenai ganti rugi terhadap konsumen.

Manfaat penulisan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis.

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya mengenai tanggung jawab pelaku usaha dalam memberikan layanan


(18)

terhadap konsumen. Skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat ketentuan perlindungan konsumen di Indonesia.

2. Secara praktis.

Pembahasan terhadap masalah ini ditujukan kepada kalangan pelaku usaha utnuk lebih mengetahui bagaimanakah aspek tanggung jawab pelaku usaha kartu seluler dalam memberikan layanan kepada konsumen.

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Akibat Paket Penghematan Pulsa Excelcomindo (Studi Putusan PN No. 206/Pdt/2006)” belum pernah ditulis sebelumnya. Dengan demikian dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini adalah merupakan karya sendiri yang asli dan bukan jiplakan dari skripsi orang lain yang diperoleh melalui pemikiran, referensi buku-buku, bahan seminar, makalah-makalah, media cetak seperti koran-koran, media elektronik, yaitu internet serta bantuan dari berbagai pihak. Dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.


(19)

E. Tinjauan Kepustakaan

Adapun judul yang dikemukakan penulis adalah “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen Akibat Paket Penghematan Pulsa Excelcomindo (Studi Putusan PN No. 206/Pdt/2006)”, maka sebelum diuraikan lebih lanjut terlebih dahulu penulis akan memberikan penjelasan tentang pengertian judul dengan maksud untuk memberikan pembatasan yang jelas.

Perlindungan konsumen itu sendiri menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPK tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.14

Ada pun pihak-pihak dan istilah yang terkait di dalam perlindungan konsumen, yaitu :

1. Konsumen

Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika) atau consument/konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata consumer adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”, sedangkan menurut Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, consumer adalah “ pemakai atau konsumen”.

14 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja


(20)

Sebelum lahirnya UUPK, batasan dan pengertian tentang konsumen masih rancu. Istilah konsumen telah dimuat pertama kali dalam TAP MPR No. II/MPR/119 Bab IV huruf f butir 4a tentang GBHN dan selanjutnya disinggung sedikit dalam beberapa peraturan perUndang-Undangan. Tidak satupun menjelaskan pengertian konsumen. Untuk memperkecil lingkup pengertian konsumen, maka pengertian konsumen dapat terdiri dari tiga bagian, yaitu :15

a. Konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

b. Konsumen antara adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.

c. Konsumen akhir adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Setelah lahirnya UUPK, maka jenis konsumen yang dilindungi adalah jenis konsumen akhir. Hal ini terlihat dari defenisi konsumen yang menjelaskan, yaitu konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.16 Selanjutnya

15 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,

(Bogor : Ghalia Indonesia, 2008), hal. 10.

16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


(21)

pengertian konsumen yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah konsumen akhir sesuai dengan pengertian konsumen dalam UUPK.

Selama ini sudah banyak konsumen yang sudah dirugikan baik secara materiil maupun immateril oleh pelaku usaha, namun dari pihak konsumen kurang usahanya untuk menuntut hak-haknya. Kenyataan ini disebabkan konsumen kurang menyadari hal-hal apa saja yang menjadi haknya dan masih enggan untuk menjalani proses penuntutan hak-haknya yang lama dan rumit. Lahirnya UUPK memberikan penjelasan mengenai apa saja yang menjadi hak-hak konsumen yang tercantum dalam Pasal 4, yaitu :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;


(22)

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perUndang-Undangan lainnya.

Hak-hak tersebut diatas merupakan hak yang sudah melekat bagi siapapun yang berkedudukan sebagai konsumen, sekaligus sebagai subjek hukum. Dengan demikian adalah merupakan suatu kebebasan bagi konsumen untuk dapat mempresentasikan hak-hak tersebut kedalam suatu wadah atau kelompok.

Suatu hubungan hukum akan menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Sebelum konsumen mengajukan tuntutan terhadap hak-haknya, sebaiknya konsumen melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Pasal 5 UUPK menjelaskan apa saja yang menjadi kewajiban konsumen, yaitu :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

2. Pelaku Usaha

Pelaku usaha dalam sehari-hari lebih dikenal dengan istilah pengusaha dan memiliki arti yang luas, tidak semata-mata membicarakan produsen, tetapi juga


(23)

pedagang perantara atau pengusaha.17 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

memberikan pengertian pelaku usaha yaitu setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.18

Pelaku usaha merupakan salah satu dari pelaku ekonomi yang dibagi dalam tiga kelompok pelaku usaha, yaitu :19

a. Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan. Seperti perbankan, penyedia dana dan lain sebagainya. b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang

dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri dari orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan yang memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan narkotika, dan lain sebagainya.

c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat,

17 Mariam Darus, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (standar), Kertas Kerja Pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, (Jakarta, 1980), hal. 57.

18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, Pasal 1 angka 3.


(24)

seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, rumah sakit, “warung dokter”, usaha angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya.

3. Pemerintah

Ketatnya persaingan antar pelaku usaha dalam menawarkan produknya kepada konsumen membentuk suatu keadaan dimana para pelaku usaha dengan tujuan untuk meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya, sering kali mengabaikan hak-hak konsumen dengan melanggar larangan-larangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Salah satu usaha pemerintah untuk mengatasi masalah perlindungan konsumen adalah dengan memberlakukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Agar pelaksanaan dan penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen berjalan dengan baik, maka pemerintah menerbitkan peraturan pelaksanaannya antara lain tentang :

a. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN);

b. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen; c. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat(LPKSM);

d. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen


(25)

(BPSK) pada kota Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang Surabaya dan Makassar;

e. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 31/MPP/Kep/10/2001 tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;

f. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 252/MPP/Kep/10/2001 tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

Selain memberlakukan beberapa peraturan-peraturan perUndang-Undangan sebagai pelaksana UUPK, pemerintah juga mendirikan beberapa lembaga untuk membantu dalam menyelesaikan masalah konsumen yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang diatur juga dalam UUPK.

4. Barang dan/atau Jasa

Menurut UUPK, barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.20 Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga

memberikan batasan terhadap jasa yaitu setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


(26)

Dalam Pasal 45 ayat 1 UUPK Pasal 45 ayat 1 UUPK menyatakan setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.21 Penyelesaian sengketa di luar

pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang dan Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa..22

Berkenaan dengan sengketa ini pemerintah telah membentuk suatu badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen yang dikenal dengan nama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 11 UUPK yang pendiriannya berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada kota Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang Surabaya dan Makassar.

21Ibid., Pasal 45 ayat 2. 22Ibid., Pasal 45 ayat 3 dan 4.


(27)

F. Metode Penulisan 1. Pendekatan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian normatif (yuridis normatif). Penelitian hukum normatif biasanya dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan maka disebut juga dengan metode kepustakaan. Penelitian Hukum Normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder yang berkaitan pelaku usahakartu seluler sebagai penyedia jasa telekomunikasi.

2. Sumber Data

Materi dalam skripsi ini diambil dari data-data sekunder : a. Bahan hukum primer, yaitu :

Dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan-peraturan lainnya.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu :

Semua dokumen yang merupakan informasi , atau hasil kajian tentang perlindungan konsumen, tanggung jawab pelaku usaha terhadap kerugian konsumen, seperti karya tulis ilmiah, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, serta sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan hukum tersier, yaitu :

Semua dokumen yang berisi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.


(28)

3. Analisis Data

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara perspektif dengan meggunakan metode kualitatif karena penelitian ini kepustakaan yang menggunakan data sekunder. Metode kualitatif adalah tata cara penelitian yang menghasilkan penelitian yang bersifat deskriptif analitis.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini dibahas dalam lima bab yang terdiri dari pendahuluan, tinjauan umum terhadap perlindungan hukum konsumen di Indonesia, tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, studi putusan PN No. 206/Pdt. G/2006 mengenai tanggung jawab pelaku usaha terhadap kerugian yang diderita konsumen serta kesimpulan dan saran.

BAB I PENDAHULUAN

Ban ini menguraikan latar belakang masalah yang menjadi dasar penulisan. Kemudian berdasarkan latar belakang masalah tersebut dibuat rumusan masalah dan tujuan penulisan. Bab ini juga menjelaskan tentang keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DI


(29)

Pada bab ini menjelaskan tentang tinjauan umum terhadap hukum perlindungan konsumen di Indonesia yang antara lain membahas perkembangan perlindungan konsumen di Indonesia, pengertian dan cakupan hukum perlindungan konsumen di Indonesia, asas dan tujuan dalam perlindungan konsumen, serta bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia.

BAB III TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP

KONSUMEN MENURUT UU No. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.

Pada bab ini menjelaskan tentang tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang membahas tentang hak dan kewajiban pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, tanggung jawab pelaku usaha, serta bentuk tanggung jawab pelaku usaha bila terjadi kerugian terhadap konsumen.

BAB IV IMPLEMENTASI PENEGAKAN UNDANG-UNDANG NO. 8

TAHUN 1999 dalam hal TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA MENGENAI GANTI RUGI TERHADAP KONSUMEN BERDASARKAN PUTUSAN PN NO. 206/PDT. G/2006

Pada bab ini penulis menjelaskan tentang posisi sengketa perlindungan konsumen Excelcomindo, analisa putusan PN No. 206/Pdt. G/2006 antara John Parlyn Sinaga (Penggugat) melawan PT.Excelcomindo. Tbk (Tergugat) serta penyelesaian sengketa


(30)

pelanggaran perlindungan konsumen menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

BAB V KESIMPULAN dan SARAN

Bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dari pembahasan-pembahasan dari permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini dan mencoba memberikan beberapa saran kepada pihak-pihak yang berkepentingan.


(31)

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DI INDONESIA.

A. Perkembangan Perlindungan Konsumen di Indonesia

Kepentingan-kepentingan konsumen telah lama menjadi perhatian, yang secara tegas telah dikemukakan pada tahun 1962 oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy yang menyampaikan pesan di depan Kongres tentang pentingnya kedudukan konsumen di dalam masyarakat.23 Peristiwa berikutnya

yang merupakan perhatian atas kepentingan konsumen, secara tegas telah ditetapkan dalam putusan Sidang Umum PBB pada sidang ke-106 tanggal 9 April 1985. Resolusi PBB tentang Perlindungan Konsumen (Resolusi 39/248) telah menegaskan enam kepentingan konsumen, yaitu sebagai berikut.24

1. Perlindungan konsumen dari bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.

2. Promosi dan perlindungan pada kepentingan ekonomi konsumen.

3. Tersedianya informasi yang mencukupi sehingga memungkinkan dilakukannya pilihan sesuai kehendak.

4. Pendidikan konsumen.

5. Tersedianya cara-cara ganti rugi yang efektif.

23 Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahan

(Bandung : Alumni, 1981) hal. 47.

24 Az. Nasution “Sekilas Hukum Perlindungan Konsumen”, Majalah Hukum dan Pembangunan, Fakultas Hukum UI, No. 6 tahun ke XVI, Desember 1986. hal. 57.


(32)

6. Kebebasan membentuk organisasi konsumen dan diberinya kesempatan kepada mereka untuk menyatakan pendapat sejak saat proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.

Pada masa kini, kecenderungan untuk memperluas ruang lingkup Hukum Perlindungan Konsumen telah dilakukan oleh The Economic Law Procurement System Project (ELIPS), yang mengemukakan 9 materi rumusan hukum perlindungan konsumen, yakni :25

1. Ketidaksetaraan dalam kekuatan tawar-menawar;

2. Kebebasan berkontrak versus keadilan dalam berkontrak;

3. Persyaratan untuk memberikan informasi kepada konsumen, yang meliputi hukum pengumuman yang umum dan hukum tentang keuangan;

4. Peraturan tentang perilaku/tindakan penjual, yang meliputi petunjuk, arahan yang salah dan kelicikan dalam perdagangan;

5. Peraturan tentang mutu produk, yang meliputi garansi dan keamanan produk;

6. Akses terhadap kredit (pelaporan, kredit, nondiskriminasi); 7. Batas-batas hak mengakhiri masa jaminan;

8. Peraturan tentang harga; 9. Pembetulan;

Gerakan perlindungan konsumen internasional juga telah memiliki wadah yang cukup berwibawa, yang disebut Internasional Organization of Consumers Unions


(33)

(IOCU). Setiap tanggal 15 Maret organisasi ini menjadikan sebagai hari Hak Konsumen sedunia.26

Untuk menjamin dan melindungi kepentingan konsumen atas produk-produk barang yang dibeli, sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen lahir, peraturan perUndang-Undangan yang mengaturnya adalah sebagai berikut :27

1. Kitab Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang merupakan produk peninggalan penjajahan Belanda, tetapi telah menjadi pedoman dalam menyelesaiakan kasus-kasus untuk melindungi konsumen yang mengalami kerugian atas cacatnya barang yang dibelinya.

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang. Penerbitan Undang-Undang ini dimaksudkan untuk menguasai dan mengatur barang-barang apapun yang diperdagangkan di Indonesia. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1964 tentang Standar Industri.

Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961. Salah satu tujuan dari standar itu adalah meningkatkan mutu dan hasil industri.

4. Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 81/M/K/SK/2/1974 tentang Pengesahan Standar Cara-Cara Analisis dan Syarat-Syarat Mutu Bahan Baku dan Hasil Industri.

26 Imelda Martinelli, “Tiga Isu Penting Dalam Transaksi Konsumen”, Era Hukum No.

11/Th 3/1997, hal.66.


(34)

Di Indonesia masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada tahun 1970-an. Ini terutama ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bulan Mei 1973. Secara teoritis , pada awalnya Yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Atas desakan suara-suara dari masyarakat, kegiatan promosi ini harus diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitasnya terjamin. Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang yang rendah mutunya telah memacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen ini, dan mulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita itu.

Ketika itu, gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen. Ketika YLKI berdiri, kondisi politik Indonesia masih dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen (seperti yang dilakukan YLKI) dilakukan melalui koridor resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen.

Setelah itu , sejak dekade 1980-an, gerakan atau perjuangan untuk mewujudkan sebuah Undang-Undang tentang perlindungan konsumen (UUPK) dilakukan selama bertahun-tahun. Pada masa Orde Baru, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki greget besar untuk mewujudkannya


(35)

karena terbukti pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (RUUPK) selalu ditunda. Baru pada era reformasi, keinginan terwujudnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen bisa terpenuhi. Pada masa pemerintahan BJ. Habibie, tepatnya pada tanggal 20 April 1999, Rancangan Undang Perlindungan Konsumen disahkan secara resmi menjadi Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan adanya UUPK, jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen di Indonesia diharapkan bisa terpenuhi dengan baik. Masalah perlindungan konsumen kemudian ditempatkan dalam koridor suatu sistem hukum perlindungan konsumen, yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional.

Untuk hadirnya suatu Undang-Undnag tentang Perlindungan Konsumen yang terdiri atas 15 bab dan 65 Pasal, ternyata dibutuhkan waktu tidak kurang dari 25 tahun sejak gagasan awal tentang Undang-Undang ini dikumandangkan(tahun 1975 sampai dengan tahun 2000). Tak dapat disangkal, sebagai hasil kerja buatan manusia, terdapat beberapa hal yang kurang lengkap atau kurang sempurna dari Undang-Undang ini (selanjutnya merupakan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Sekalipun demikian, ia merupakan suatu kebutuhan seluruh rakyat Indonesia yang kesemuanya adalah konsumen pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen. Apalagi pikiran globalisasi telah melanda dunia. Keternukaan pasar saat ini dan kedudukan konsumen yang


(36)

lebih lemah dibanding dengan pelaku usaha, maka kebutuhan perlindungan konsumen tersebut merupakan suatu “conditio sine qua non”28.29

Dalam penjelasan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa peranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, sebab perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat, serta lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.

Dalam aktivitas kegiatan usaha, kepentingan-kepentingan konsumen itu lahir karena adanya peranan konsumen yang telah memberikan sumbangan besar kepada pengusaha sebagai penyedia dan produk. Konsumen juga telah memberikan sumbangan besar kepada pelaku usaha dari barang –barang dan jasa yang dibelinya, yang merupakan pihak yang menentukan dalam pemupukan modal yang diperlukan oleh pengusaha untuk mengembangkan usahanya, dan pada akhirnya konsumen menjadi penentu dalam menggerakkan roda perekonomian.

Hukum perlindungan konsumen sangat berpengaruh dalam era globalisasi yang kehidupan masyarakatnya semakin maju baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi. Dalam setiap kemajuan tersebut terdapat berbagai permasalahan yang beraneka ragam dan kompleks. Mengingat sedemikian

28 “Setiap fakta atau peristiwa merupakan suatu hal yang tidak dapat ditiadakan tanpa

meniadakan kerugian itu sendiri, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanpa kenyataan/fakta termaksud, kerugian tidak akan terjadi”, sumber Hukum Asuransi & Perusahaan Asuransi, Sri Rejeki Hartono, Sinar Grafika, Jakarta, 1997,http://kamushukum.com., diakses pada tanggal 16 Januari 2011.


(37)

kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di dalam masyarakat maka dilakukanlah berbagai upaya hukum guna memberikan solusi dalam setiap permasalahan tersebut,o!eh karena itu dibuatlah hukum perlindungan konsumen. Pelanggan merupakan konsumen dari jasa pelayanan telekomunikasi, perlindungan konsumen baginya merupakan suatu tuntutan yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Dalam dunia komunikasi, pihak pelanggan merupakan unsur yang sangat berperan sekali, mati hidupnya dunia komunikasi bersandar pada kepercayaan dari pihak masyarakat atau pelanggan.30

Kegiatan penyediaan produk oleh pengusaha dan penggunaan produk oleh konsumen, dalam berbagai kemungkinan bentuk hukumnya , dijalankan oleh subjek hukum pengusaha, baik swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan subjek hukum konsumen. Hubungan hukum tersebut tentu saja harus diatur oleh peraturan perUndang-Undangan agar konsumen dapat dilindungi hak-hak dan kepentingannya.

Untuk menarik minat konsumen dalam membeli produknya, para penyedia layanan (provider) telekomunikasi membuat berbagai cara dan strategi demi terpenuhinya target produksi dari perusahaan, yang juga memberikan keuntungan yang signifikan agar dapat menguasai pasar. Dengan berdasar hal tersebut, para provider telekomunikasi menjadi lebih profit oriented dalam menjalankan bisnisnya dan mulai menerobos etika maupun koridor-koridor periklanan.

Iklan sudah berkembang dari aktifitas bisnis kecil-kecilan hingga didominasi bisnis raksasa, ketika pendapatan iklan telah mencapai 100 milyar dolar, atau 2

30 Indah Suri Oliviarni “Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap pelanggan

Sambungan Telekomunikasi di PT. Telkom Riau Daratan.” http://www.researchgate.net, di akses pada tanggal 10 Mei 2011.


(38)

persen dari produk nasional bruto AS, eksekutif periklanan yang terdahulu, melihat kembali pada praktik-praktik mereka dan mengakui bahwa satu-satunya nilai riil dari profesi adalah menimbun uang.31

Di Indonesia, dalam kuartal pertama tahun 2009, pembelanjaan iklan telah mencapai ratusan milyar. Sector industri telekomunikasi, tercatat menghabiskan uang sebanyak Rp.253 miliar untuk belanja iklan di media televisi pada kuartal tahun 2009. Hal tersebut mencerminkan bahwa, iklan merupakan sebuah pengeluaran yang sangat besar bagi para perusahaan demi mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya.

Keluhan terhadap layanan telekomunikasi menduduki peringkat tertinggi untuk tahun 2010, disusul disusul industri perbankan, perumahan, listrik dan transportasi. Ini harus menjadi perhatian karena per tahun, peringkat keluhan terhadap jasa layanan telekomunikasi terus meningkat yaitu, keenam di 2008, keempat di 2009 dan pertama di 2010.

Menkominfo sendiri pernah memberikan langkah-langkah untuk menjadi “Konsumen Telkom Yang Cerdas”, jika terjadi gangguan layanan telekomunikasi adalah:

1. Menghubungi layanan konsumen operator yang digunakan dengan berbagai saluran yang disediakan.

2. Jika keluhan belum terlayani, pengguna bisa menghubungi lembaga konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan lainnya, untuk mengadvokasi keluhan tersebut.

31 Val E. Limburg, Electronic Media Etics- Etika Media Elektronik, (Yogyakarta :


(39)

3. Jika masih belum puas, tidak ada larangan untuk menuliskannya ke media massa, sosial media, atau media lainnya sebagai pengingat.

4. Hubungi layanan pengaduan yang dimiliki oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), baik melalui situs resmi mereka, SMS melalui nomor telepon 08158930000, atau melalui email ke pengaduan@brti.or.id.

Sejatinya di negara ini, konsumen telekomunikasi belum mendapatkan perlindungan yang optimal atas penggunaan jasa layanan telekomunikasi. Beberapa regulasi yang ada tidak serta merta menguatkan implementasi di lapangan tentang penegakan hukum yang berlaku. Konsumen atau pelanggan selama ini masih dijadikan obyek bukan subyek.

B. Pengertian dan Cakupan Hukum Perlindungan Konsumen.

Pengertian perlindungan konsumen termaktub dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menegaskan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.

Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggungjawab.32

32 Bandingkan konsideran huruf d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang


(40)

Apabila diperhatikan dalam penjelasan Bab sebelumnya, dapat di perhatikan bahwa sangat penting untuk dapat melindungi konsumen dari berbagai hal yang dapat mendatangkan kerugian bagi mereka. Konsumen perlu dilindungi, karena konsumen dianggap memiliki suatu “kedudukan” yang tidak seimbang dengan para pelaku usaha. Ketidakseimbangan ini menyangktu bidang pendidikan dan posisi tawar yang dimiliki oleh konsumen. Sering kali konsumen tidak berdaya menghadapi posisi yang lebih kuat dari para pelaku usaha.

Pelindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menetukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh pelaku usaha. Pemberdayaan konsumen itu adalah dengan meningkatkan kesadaran kemampuan, dan kemandiriannya melindungi diri sendiri sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen.

Di samping itu juga ada kemudahan dalam proses menjalankan sengketa konsumen yang timbul karena kerugian harta bendanya, keselamatan/ kesehatan tubuhnya, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen. Perlu diingat bahwa sebelum ada Undang-Undang ini ,”konsumen umumnya lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan daya tawar”.33 Terdapat tiga pengertian

konsumen yang ingin mendapat perlindungan :

33 UN General Assembly Resolution 39/248 tanggal 9 April 1985, “...recognizing that consumers often face imbalance in economic terms, educational levels and bargaining power”.


(41)

1. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

2. Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/ jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha.

3. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya, tidak untuk diperdagangkan kembali.

Konsumen (akhir) inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut. Selanjutnya, apabila digunakan istilah konsumen dalam Undang-Undang, yang dimaksudkan adalah konsumen akhir. Undang-Undang ini mendefenisikan konsumen (Pasal 1 angka 2) sebagai berikut : ”setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.”

Sedangkan pelaku usaha adalah istilah yang digunakan pembuat Undang-Undang yang pada umumnya lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut empat kelompok besar kalangan pelaku ekonomi, tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut adalah sebagai berikut :34


(42)

1. kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak penyedia dana lainnya, dan sebagainya.

2. produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong, dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri atas orang/ badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuat pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha yang berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, narkotika, dan sebagainya. 3. Distibutor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, hypermarket, rumah sakit, klinik, warung dokter, usaha angkutan (darat, laut udara), kantor pengacara dan sebagainya.

C. Asas dan Tujuan Dalam Hukum Perlindungan Konsumen.

Asas perlindungan konsumen terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 2 dimana berbunyi “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.Dimana yang dimaksud dengan asas-asas diatas adalah :35

1. Asas manfaat

35 Wibowo Tunardi, Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen,http://www. Tunardy.com/asas-dan-tujuan-hukum-perlindungan-konsumen./. diakses pada tanggal 12 Januari 2011.


(43)

Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.

2. Asas keadilan

Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.

3. Asas keseimbangan

Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum

Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Kelima asas yang disebutkan yang disebutkan dalam Pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :


(44)

1. asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen,

2. asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. asas kepastian hukum.

Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”,36 yang berarti dapat

dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa : “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how it distributes its benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.37

Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perUndang-Undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu

36 Gustav Radbruch, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, 1950, hal. 107. Lihat juga Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta, Chandra Pratama, 1996), hal. 95.

37 Peter Mahmud Marzuki, The Need for the Indonesian Economic Legal Framework,


(45)

dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.38

Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan :39

“bahwa kita harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum.”

Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch tersebut, sebagaimana dikatakannya :40

“Penulis sendiri sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Radbruch, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terkhir kepastian hukum. Penulis sendiri menganggap hal yang lebih realistis jika menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang penulis maksudkan, ketiga tujuan hukum kita diprioritaskan sesuai kasus yang kita hadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum.”

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus.

Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Kepentingan pemerintah dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik

38 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Chandra Pratama, 1996), hal. 95-96. 39Ibid., hal. 96.


(46)

yang kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak tetap melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perUndang-Undangan.

Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen menampakkan fungsi hukum yang menurut Rescoe Pound sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana control social.41

Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Secara umum hubungan-hubungan hukum baik yang bersifat publik maupun privat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas kebebasan, persamaan dan solidaritas. Dengan prinsip atau asas kebebasan, subyek hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya dengan dibatasi oleh keinginan orang lain dan memelihara akan ketertiban social. Dengan prinsip atau asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya. Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan yang sama terhadap individu. Sedangkan prinsip atau asas solidaritas sebenarnya merupakan sisi balik dari asas kebebasan. Apabila dalam prinsip atau asas kebebasan yang menonjol adalah hak, maka di dalam prinsip atau asas solidaritas yang menonjol adalah kewajiban, dan seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap mempertahankan kehidupan bermasyarakat yang

41 Edgar Bodenheimer, Jurisprudence, The Method and Philosophy of Law, Harvard

Universitas, Cambridge, 1962, hal. 11., dikutip dari; Peter Mahmud Marzuki, Pembaharuan Hukum Ekonomi Indonesia, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa tahun, hal. 3.


(47)

merupakan modus survival bagi manusia. Melalui prinsip atau asas solidaritas dikembangkan kemungkinan Negara mencampuri urusan yang sebenarnya bersifat privat dengan alasan tetap terpeliharanya kehidupan bersama.42 Dalam hubungan

inilah kepentingan pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam asas keseimbangan di atas, yang sekaligus sebagai karakteristik dari apa yang dikenal dalam kajian hukum ekonomi.

Sejak masuknya paham welfare state, Negara telah ikut campur dalam perekonomian rakyatnya melalui berbagai kebijakan yang terwujud dalam bentuk peraturan perUndang-Undangan, termasuk dalam hubungan kontraktual antara pelaku usaha dan konsumen. Pengaturan hal-hal tertentu yang berkaitan dengan masuknya paham Negara modern melalui welfare state, kita tidak menemukan lagi pengurusan kepentingan ekonomi oleh rakyat tanpa melibatkan pemerintah sebagai lembaga eksekutif bertanggung jawab memajukan kesejahteraan rakyatnya yang diwujudkan dalam suatu pembangunan nasional. Campur tangan Pemerintah di Indonesia sendiri dapat diketahui dari isi pembukaan dan Pasal 33 UUD1945, serta dalam GBHN dan dalam pelaksanaanya, termasuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 2 Undang-Undang-Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara jelas dapat diketahui bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan dalam rangka pembangunan nasional, yang menjadi tanggung jawab pemerintah.

Menyangkut asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokkan ke dalam asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan

42 J. H. P. Bellefroid, Inleiding tot de Rechtswetwenschap in Nederland, Dekker & Van de

Vegt, Utrecht-Nederland, 1952, hal. 13, dikutip dari; Peter Mahmud Marzuki, Eksistensi Hukum Ekonomi, Makalah, Universitas Airlangga Surabaya, tanpa tahun, hal. 3-4.


(48)

konsumen itu sendiri merupakan bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen di samping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan.

Memperhatikan uraian tentang asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen tersebut, demikian pula hubungannya dengan substansi Pasal 1 angka 1 dalam bab sebelumnya, maka tidak dapat diragukan bidang hukum ini berada dalam lingkup kajian hukum ekonomi. Hukum ekonomi yang dimaksud, mengakomodasi dua aspek hukum sekaligus yaitu aspek hukum publik dan aspek hukum privat (perdata), dalam hubungan ini, maka hukum ekonomi mengandung berbagai asas hukum yang bersumber dari kedua aspek hukum dimaksud. Di dalamnya mengandung nilai-nilai untuk melindungi berbagai aspek kehidupan kemanusiaan di dalam kegiatan ekonomi. Asas-asas hukum publik antara lain; asas keseimbangan kepentingan, asas pengawasan publik, dan asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi. Sedangkan asas-asas hukum yang bersumber dari hukum perdata dan/ atau hukum dagang yaitu khusus mengenai hubungan hukum para pihak di dalam suatu kegiatan atau perjanjian tertentu atau perbuatan hukum tertentu dimana harus menhormati “hak dan kepentingan pihak lain”.43

Oleh karena hukum ekonomi mempersoalkan hubungan antara hukum dan kegiatan-kegiatan ekonomi, maka asas lain yang juga patut mendapat perhatian adalah asas-asas yang berlaku dalam aspek kegiatan ekonomi tersebut. Dalam kegiatan ekonomi yang sangat terkenal yaitu upaya mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya yang sekecil-kecilnya. Berangkat dari hal ini,

43 Sri Redjeki Hartono, menyongsong Sistem Hukum Ekonomi yang Berwawasan Asas Keseimbangan, dalam Kapita Selekta Hukum Ekonomi, (Bandung, Mandar Maju, 2000), hal. 71-72.


(49)

maka dalam hukum ekonomi juga berlaku asas “maksimalisasi” dan “efisiensi”. Melalui asas ini suatu aturan yang hendak diambil/ diterapkan harus mempertimbangkan sesuatu yang lebih menguntungkan secara maksimal bagi semua pihak, demikian pula harus menghindari suatu prosedur yang panjang dalam rangka efisiensi waktu, biaya, dan tenaga.

Asas-asas hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokkan dalam 3 kelompok diatas yaitu asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian hukum yang disejajarkan dengan asas efisiensi karena menurut Himawan bahwa : “Hukum yang berwibawa berarti hukum yang efisien, di bawah naungan mana seseorang dapat melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya tanpa penyimpangan.”44

Hukum Perlindungan konsumen memiliki tujuan yang diantaranya adalah :45

1. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri

2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; 3. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

44 Himawan, Ch., Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum Sebagai Sarana Pengembalian Wibawa Hukum, dalam Majalah Hukum dan Pembangunan. No. 5. tahun XXI, Oktober 1991, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hal. 435.

45 Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,Ed. 1-4, (Jakarta. PT.


(50)

4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.

Achmad Ali mengatakan masing-masing Undang-Undang memiliki tujuan khusus.46 Hal itu juga tampak dari pengaturan Pasal 3 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus membedakan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 di atas.

Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e.


(51)

sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, dan b, termasuk huruf c, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapata kita lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasi sebagai tujuan ganda.

Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan huruf f dari Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam Undang-Undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menetukan efektivitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan.47

D. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen di Indonesia

Bentuk perlindungan konsumen di Indonesia melingkupi dua hal yaitu perlindungan konsumen yang muncul dari perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak dan bentuk perlindungan konsumen yang diberikan oleh negara

47 Acmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris tehadap Hukum, (Jakarta: Yarsif Watampon,


(52)

melalui ketentuan perundang-undangan mengenai perlindungan konsumen. Ada pun penjelasan hal tersebut adalah sebagai berikut.

1. Bentuk perlindungan konsumen dalam perjanjian.

Yang dimaksud dengan perjanjian pada umumnya adalah berdasarkan defenisi dalam Pasal 1313 KUHPerdata yaitu suatu perbuatan yang mengikatkan dirinya antara satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih. Pengikatan ini, seperti telah diuraikan dalam Bab IV buku III KUHPerdata dirumuskan dalam bentuk :

a. kesepakatan yang bebas;

b. dilakukan oleh pihak yang demi hukum dianggap cakap untuk bertindak; c. untuk melakukan suatu prestasi tertentu;

d. prestasi tersebut haruslah suatu prestasi yang diperkenankan oleh hukum, kepatutan, kesusialaan, ketertiban umum, dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (atau biasa disebut dengan klausula yang halal).48

Undang-Undang memberikan hak kepada setiap orang untuk secara bebas membuat dan melaksanakan perjanjian, selama keempat unsur di atas terpenuhi. Pihak-pihak dalam perjanjian adalah bebas menentukan aturan main yang mereka kehendaki dalam perjanjian tersebut, dan selanjutnya untuk melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan yang telah tercapai di antara mereka, selama dan sepanjang para pihak tidak melanggar ketentua mengenai klausa yang halal. Artinya, ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan

48 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,


(53)

dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku, ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan, dan kebiasaan yang berlaku umum di dalam masyarakat.

Seperti telah diuraikan di atas, pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif) untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusialaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif). Namun, adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak.

Dalam praktek dunia usaha juga menunjukkan bahwa “keuntungan” kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku dan/atau klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang “lebih dominan” dari pihak lain. Dikatakan bersifat “baku” karena, baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang “kurang dominan” tersebut. Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang cenderung dirugikan tersebut untuk membuktikan tidak adanya kesepakatan pada saat dibuatnya perjanjian baku tersebut, atau atas kalusula baku yang termuat dalam perjanjian yang ada.


(54)

Klausula baku umumnya dikenal sebagai perjanjian dengan syarat-syarat baku. Dimana klausula baku disiapkan terlebih dahulu oleh pihak pelaku usaha dan isinya telah ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha sehingga isinya sudah tentu lebih menguntungkan pelaku usaha sedangkan konsumen hanya dihadapkan pada 2 pilihan yaitu :

a. Apabila konsumen membutuhkan produk barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepadanya, maka setujuilah perjanjian dengan syarat-syarat baku yang telah disiapkan pelaku usaha (take it) ;

b. Apabila konsumen tidak menyetujui syarat-syarat baku yang ditawarkan tersebut maka jangan membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang bersangkutan (leave it).

Di seluruh dunia, dengan sistem kenegaraan yang berbeda baik sistem individualisme maupun sosialisme berusaha mengarahkan perjanjian baku agar tidak merugikan konsumen. Ada 2 alasan yang menyebabkan harus diaturnya perjanjian baku antara lain :

a. Pelanggaran oleh pelaku usaha terhadap asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab di dalam hukum perjanjian.

b. Mencegah agar pelaku usaha, sebagai pihak yang kuat tidak mengeksploitasi konsumen sebagai pihak yang lemah.

Ketentuan mengenai klausula baku tersebut diatas tidak diatur secara khusus di dalam KUHPerdata. KUHPerdata hanya mengatur tentang perjanjian secara umum dan jenis-jenis perikatan lain yang dikenal sewaktu KUHPerdata


(1)

BAB V

KESIMPULAN dan SARAN

A. Kesimpulan

1. Bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia terdapat dalam perjanjian yang dibuat dan disepakati para pihak maupun dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berlaku sampai sekarang dan merupakan perlindungan yang diberikan negara mencakup ketentuan-ketentuan seperti hak dan kewajiban baik konsumen maupun pelaku usaha, tanggung jawab pelaku usaha, mekanisme penyelesaian sengketa dan sanksi.

2. Tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah berupa pemberian ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan dan diperdagangkan serta penggantian kerugian tersebut hanya dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, berupa perawatan kesehatan dan atau berupa pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. BPSK telah menegakkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen khususnya Pasal 19 ayat (1) dimana dalam sengketa tersebut diatas konsumen merasa


(2)

diperdagangkan pelaku usaha dan BPSK juga telah menegakkan ketentuan Pasal 19 ayat (3) mengenai pemberian ganti rugi tersebut dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi. Sedangkan Pengadilan Negeri Medan berdasarkan keberatan yang diajukan oleh pelaku usaha terhadap diktum putusan BPSK no. 7 dan 8 juga telah menegakkan isi Pasal 19 ayat (2) dimana disebutkan bahwa ganti rugi hanya sebatas penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya yaitu Rp.9054,-, dan tidak ada dikenal ganti rugi berupa immateriil.

B. Saran

1. Hendaknya penerangan dan penyuluhan hukum mengenai Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tetap harus sering dilakukan mengingat masyarakat kita masih belum banyak yang sadar akan hak dan kewajibannya sebagai konsumen.

2. Sebaiknya Pemerintah didalam mengeluarkan regulasi harus lebih berhati-hati baik dalam substansi regulasinya maupun melihat kepada dampak dari akibat dikeluarkannya regulasi tersebut agar tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat.

3. Pemerintah harus lebih bijak dalam mengawasi perusahaan yang memproduksi barang yang di gunakan oleh masyarakat atau konsumen khususnya dalam hal perang tarif yang terjadi pada perusahaan-perusahaan penyedia jasa telekomunikasi.


(3)

4. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) harus lebih cakap dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha dan harus lebih baik dalam menegakkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Karena jika BPSK dapat menerapkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara tepat maka sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha tidak harus berkelanjutan, karena BPSK sendiri menurut Undang-Undang adalah lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Bila sengketa antara Konsumen dan Pelaku Usaha dapat diselesaikan dalam BPSK maka kasus yang dijelaskan di atas tidak akan terjadi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku

Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Chandra Pratama, 1996

Ali, Acmad., MenjelajahiKajian Empiris tehadap Hukum, Jakarta: Yarsif Watampon, 1998.

Bodenheimer, Edgar., Jurisprudence, The Method and Philosophy of Law, Harvard Universitas, Cambridge, 1962.

Darus, Mariam., Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahan Bandung : Alumni, 1981.

Darus, Mariam, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (standar) Kertas Kerja Pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen Jakarta :1980.

Limburg, Val E, Electronic Media Etics-Etika Media Elektronik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008

Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, terjemahan Djasadin Saragih, Universitas Airlangga, Surabaya, 1985.

Patrik, Purwahid, Dasar-Dasar Hukum Perikatan Bandung : Mandar Maju, 1994 Peter Cane, Economic Loss and Producs Lialbility, in comparative Product

Liability, The British Institute of International and Comparative Law, 1986.

P.M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994.

Redzeki hartono, Sri, Aspek –Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Era Perdagangan Bebas dalam Hukum Perlindungan Konsumen Bandung : Mandar Maju ,2000

Sutedi, Adrian, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen Bogor : Gholia Indonesia, 2008


(5)

Van Dunne, J.M., dan van der Burght, Perbuatan Melawan Hukum, terjemahan KPH Hapsoro Jayaningprang, Dewan Kerja Sama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia-Proyek Hukum Perdata, Ujungpandang, 1998.

Yodo, Sutarman & Miru, Ahmad, Hukum Perlindungan Konsumen, Ed. 1-4, Jakarta : P.T. Grafindo Persada, 2007.

Yani, Ahmad & Widjaja, Gunawan, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, P.T. Gramedia Pustaka Utama, 2003.

B. Internet

Noor, A. R., Pasar Komunikasi Data 14,9 T di 2011 http:// www. Detikinet.com, diakses pada tanggal 12 Desember 2010.

Simatupang, Wilson L., Perkembangan Telekomunikasi Dalam Masyarakat, http:// www. Sinarharapan. co.id, diakses pada tanggal 12 Desember 2010

Tunardi, Wibowo., Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen,http://www. Tunardy.com diakses pada tanggal 12 Januari 2011.

Usman, Muhlis., “Perlindungan Hukum Bagi Pelanggan Jasa Telekomunikasi Seluler Terhadap Perjanjian Berlangganan Jasa Telekomunikasi Seluler GSM” http://referensi-hukum.blogspot.com/2010/07/perlindungan-hukum-bagi-pelanggan-jasa.html, diakses pada tanggal 12 Desember 2010.

C. Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


(6)

Himawan, Ch., Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum Sebagai Sarana

Pengembalian Wibawa Hukum, dalam Majalah Hukum dan

Pembangunan. No. 5. tahun XXI, Oktober 1991, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Martinelli, Imelda., Tiga Isu Penting Dalam Transaksi Konsumen, Era Hukum No. 11/Th 3/1997.

Marzuki, Peter Mahmud., Eksistensi Hukum Ekonomi, Makalah, Universitas Airlangga Surabaya, tanpa tahun.

Marzuki, Peter Mahmud., The Need for the Indonesian Economic Legal Framework, Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, Agustus, 1997.

Nasution, Az., “Sekilas Hukum Perlindungan Konsumen”, Majalah Hukum dan Pembangunan, Fakultas Hukum UI, No. 6 tahun ke XVI, Desember 1986.

Redjeki Hartono, Sri., menyongsong Sistem Hukum Ekonomi yang Berwawasan Asas Keseimbangan, dalam Kapita Selekta Hukum Ekonomi, (Bandung, Mandar Maju, 2000).

Taba, Abdul Salam., “Mengurai Standar, Mengerek Layanan. Koran Tempo 29 Agustus 2007.

Triratnawati, A., Aspek Simbolisme Telepon Genggam, Majalah Humaniora volume XV, No. 1 Tahun 2003.