Gereja sebagai Agen Sosialisasi dan Mobilisasi Suara dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD Tapanuli Tengah Kecamatan Sibabangun Tahun 2014

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Negara Republik Indonesia, agama memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Untuk sebagian besar orang, Agama merupakan sebuah landasan jati diri dan bagaimana cara mereka bertindak dalam membuat dan mengambil suatu keputusan1

Besarnya pengaruh agama dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak terlepas dari peran Negara di dalamnya. Negara memberikan jaminan (meski sejauh mana pengimplementasiannya masih menjadi bahan perdebatan) dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua pemeluk agama untuk berkembang di Indonesia. Hal ini tertuang dalam ideology bangsa Indonesia itu sendiri, yaitu Ideologi Pancasila. Dalam Sila pertama, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa” . hal ini juga diperjelas dalam

Undang-. Hal ini dikarenakan Agama dapat dipergunakan untuk memperoleh pembenaran atas praktik kehidupan dalam masyarakat sekaligus peneguh nilai-nilai yang dipegang masyarakat. Oleh karena itu, agama mempunyai kapasitas untuk mempengaruhi sikap dan perilaku manusia dalam menjalani kehidupannya.

1

John T. Ishiyama & Marijke Breuning. 2013. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal. 1361


(2)

undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 29 ayat 1 dan 22

Agama Kristen sebagai salah satu agama yang di akui di Negara Indonesia berpendapat bahwa Negara dan Gereja merupakan dua entitas yang berbeda dan tidak dapat disatukan.

. Pasal 1 “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pasal 2 “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menuruti agamanya dan kepercayaannya itu”.

Secara Etimologis, Gereja berasal dari bahasa Yunani, Gereja disebut ekklesia (ek=keluar, kaleo=memanggil). Secara harafiah berarti memanggil keluar. Yang menjadi subyek dari kata memanggil keluar dalam pengertian ini adalah Allah dan yang terpanggil adalah umat manusia. Sehingga pengertian dari ekklesia adalah persekutuan dari orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan masuk ke dalam terang-Nya yang ajaib. Pengertian Gereja juga dijelaskan dalam 1 Petrus 2:9-103

“Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib: kamu, yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan”.

yang bunyinya:

2 Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 . Pasal 29 ayat 1 dan 2

3


(3)

Martin Luther mengatakan bahwa Gereja adalah sebuah kongregasi, sebuah assembly, sebuah komunitas. Artinya Gereja adalah sebuah persekutuan. Persekutuan di dalam Kristus. Persekutuan dengan Kristus4

Pemisahan gereja dan negara bermula terjadi dalam sejarah gereja di Eropa, karena pengaruh gerakan kebudayaan Renaissance dan Pencerahan (Jerman: Aufklärung). Sementara untuk di negara Indonesia sendiri, pemisahan antara Gereja dengan Negara, karena masyarakat umat Kristen beranggapan bahwa politik itu tabu dan perlu dihindari. Hal ini karena politik itu sifatnya duniawi. Selain itu, Pemisahan Gereja dan Negara bertolak dari pemikiran bahwa negara atau pemerintah tidak memiliki kewenangan dalam urusan agama, yakni dalam relasi pribadi seseorang dengan yang Ilahi, pemerintah tidak boleh mencampuri keputusan hati nurani seseorang. Urusan agama bukan urusan negara, atau masyarakat, melainkan urusan pribadi yang menjadi tanggung jawab dari lembaga agiama yang bersangkutan.

.

Sejajar dengan itu perspektif tersebut, Martin Luther mengemukakan ajaran mengenai dua kerajaan, yaitu duniawi dan rohani, dengan menekankan bahwa kuasa duniawi tidak punya kewenangan untuk campur tangan dalam urusan kerajaan rohani5

4

Martin L. Sinaga. 2013. Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-Teks Terpilih Eka Darmaputra, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 409.

. Dengan kata lain, pemerintah tidak berkuasa apa-apa dalam urusan ajaran, ibadah dan Gerejawi. Negara hanya berperan melindungi

5

Zakaria J. Ngelow. 2014. Turut Membina Indonesia Sebagai Rumah Bersama - Peran Gereja Dalam Politik Di Indonesia. Jurnal Jaffray, Vol. 12, No. 2. Hal. 219


(4)

hak-hak natural manusia dan menjamin kebebasan setiap individu untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan agama yang ia miliki.

Martin Luther tidak percaya bahwa Kristen perlu Negara tetapi cukup patuh pada Negara sekuler demi mengayomi orang-orang kafir dalam masyarakat6. Menurut beliau, Orang beriman taat kepada kuasa pemerintahan dan pengaturannya sejauh tidak mengikat hati nurani melainkan hanya urusan lahiriah. Kuasa dan pemerintahan duniawi terbatas hanya pada masalah-masalah eksternal dan jasmaniah7. Pemikiran beliau didasari oleh ayat Alkitab. Dalam Roma 13: 1-68

“Setiap jiwa mesti tunduk pada kekuasaan yang lebih tinggi. Sebab tidak ada kekuasaan selain Tuhan: kekuasaan yang ditasbihkan dari Tuhan. Barang siapa menentang kekuasaan itu, menentang perintah Tuhan; dan mereka yang menentang akan mendapat hukuman. Karena pemimpin bukan ancaman atas karya kebaikan, tetapi ancaman bagi kejahatan. Akankah engkau tidak takut pada kekuasaan? Lakukan perbuatan baik, maka kalian akan mendapat pujian yang sama: sebab dialah wakil Tuhan untuk kalian demi kebaikan kalian. Tetapi jika kalian melakukan kejahatan, takutlah; sebab ia tidak menghunuskan pedangnya dengan sia-sia: sebab dia adalah wakil Tuhan, yang menimpakan kemarahan kepada orang-orang yang berbuat jahat. Karena

mengatakan bahwa:

6

Thompson. “The Political Thought of Martin Luther”. Dalam John T. Ishiyama & Marijke Breuning. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Hal. 932

7

Zakaria J. Ngelow. Loc. Cit.

8


(5)

itu kalian harus patuh, bukan hanya demi menghindari kemarahan, tetapi demi keselamatan. Sebab ini juga membuat mu terhormat; sebab mereka adalah wakil Tuhan, yang selalu memerhatikan segala sesuatu”.

Negara dan Gereja memiliki nilai tersendiri bagi umat Kristiani. Gereja mengurus hal yang bersifat keagamaan dan Negara mengurus hal-hal kenegaraan, tetapi keduanya hendaklah bekerja bersama-sama selaras dalam berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Namun, Gereja bukan hanya sekedar lembaga ritual keagamaan, melainkan alat yang dihadirkan Tuhan di dalam dunia untuk kesaksian Injil Kerajaan Allah mengenai kasih, keadilan dan damai sejahtera Allah dalam Kristus. Karena itu Gereja terpanggil untuk melakukan transformasi kehidupan manusia bai secara pribadi maupun masyarakat.

Dalam surat pastoral Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyambut pemilu legislatif yang lalu, petunjuk pertama yang dicantumkan adalah “jangan memilih berdasarkan agama”. Dalam penjelasannya, petunjuk ini menolak pendekatan agama yang sekatarian, supaya kita tidak terkotak-kotak berdasarkan agama9

9

Pesan Pastoral MPH PGI kepada Segenap Umat Kristiani untuk Berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif

2014”, diakses 10 Agustus 2014., http://pgi.or.id/archives/799.

. Dalam pelayanan politik gereja, bukan terutama supaya orang-orang Kristen berkuasa, duduk di berbagai posisi penting untuk memuluskan kepentingan orang Kristen atau kepentingan gereja, melainkan supaya orang-orang yang baik, profesional dan berintegritas, dari berbagai


(6)

latar belakang agama, Kristen atau bukan Kristen, bersama-sama melayani kepentingan seluruh masyarakat tanpa membeda-bedakan. Politik Kristen bukan politik kekuasaan dan kepentingan, melainkan politik pelayanan dan keadilan bagi seluruh warga masyarakat bangsa kita.

Untuk itu Gereja memiliki kewajiban dalam melakukan pendidikan politik untuk memperlengkapi warga atau Jemaatnya agar berperan dalam masyarakat. Pendidikan politik sangatlah penting bagi jemaat karena dianggap sabagai salah satu penentu perilaku politik dari jemaat itu sendiri. Pendidikan politik yang dilakukan oleh Gereja sebagai kelompok sekunder bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang politik pada jemaat agar jemaat dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politik. Dalam perspektif ini, pendidikan politik yang dilakukan oleh Gereja digunakan sebagai cara untuk melibatkan jemaat gereja dalam sistem politik melalui partisipasinya dalam memilih calon pemimpin. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran para Jemaat akan pentingnya menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Dengan demikian jemaat telah ikut serta dalam proses politik, yaitu dengan memilih calon pemimpinnya untuk lima tahun kedepan.

Terkait pelayanan politik Kristen itu, ada dua hal yang harus kita perhatikan, yakni keterlibatan institusi/pimpinan gereja dalam politik, dan keterlibatan para pendeta secara pribadi. Pertama, gereja melayani di bidang politik, tetapi tidak boleh terlibat dalam “politik praktis” (politik kekuasaan), karena Gereja bukan organisasi politik dan tidak boleh menjadi onderbouw


(7)

(organisasi bawahan) suatu partai politik. Pemimpin Gereja tidak boleh menjadi bagian dalam kampanye politik untuk mendongkrak suara calon legislatif. Pemimpin Gereja dapat mengemukakan pendapat pribadinya tentang calon tertentu tetapi tidak dari atas Mimbar. Pendeta tidak boleh mempersuasif jemaatnya untuk memilih partai politik atau calon tertentu dalam pemilihan umum.

Pemimpin Gereja, Pendeta memiliki peran yang sangat penting di dalam sebuah Gereja, karena merekalah yang dipilih Tuhan sebagai hamba-Nya untuk melayani umat manusia. Pendeta dipakai Tuhan untuk mengayomi jemaatnya agar berpegang teguh akan Firman Tuhan. Oleh karena itu, setiap pesan atau wejangan-wejangan atau nasehat-nasehat yang diberikan oleh Pendeta tersebut akan berdampak terhadap kehidupan para jemaat. Hal ini menyebabkan mereka mengubah dan memperbaiki perilakunya yang menyimpang dari ajaran-ajaran Kristus.

Arti penting fundamental agama bagi setiap individu dapat menimbulkan banyak menifestasi dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan sejumlah elit politik tertarik untuk melancarkan misinya melalui agama. Salah satunya adalah melalui Gereja, dengan tujuan untuk kepentingannya sendiri. Para elit politik melihat institusi agama (Gereja) mempunyai basis massa dan ikatan emosional yang kuat. Selain itu, Gereja memiliki struktur formal untuk pertemuan regular dan pertukaran ide-ide. Faktor-faktor ini berkombinasi dan


(8)

menempatkan agama dalam posisi unik untuk mempengaruhi publik10

Untuk melancarkan misinya tersebut, elit politik ini melakukan pendekatan langsung pada para pengurus Gereja bahkan langsung pada pemimpin Gereja itu sendiri. Pendekatan yang dilakukan oleh calon aparatur Negara ini pun tidak jarang membuahkan hasil. Hal ini terjadi karena rendahnya tingkat dan kualitas pengetahuan dan pendidikan yang dimiliki oleh pengurus gereja tersebut dan juga faktor personalitas pengurus gereja itu sendiri. Hal ini mengakibatkan para pengurus maupun pemimpin Gereja tersebut diperalat oleh yang katanya calon wakil rakyat tertentu untuk memobilisasai para Jemaat untuk mendongkrak suaranya dalam pemilihan umum. Rentannya politisasi ini juga dipicu oleh minimnya realisasi dari pada tindak lanjut terhadap manajemen kepemimpinan dan spritualitas yang semakin merosot

. Sedangkan para elit politik selalu membutuhkan dukungan politik riil untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya. Maka, agama sering menjadi ajang strategis untuk diperebutkan oleh calon aparatur Negara dalam bursa pemilihan umum.

11

Tugas pelayanan yang seyogianya diutamakan oleh para hamba Tuhan, kini sudah mulai terkikis oleh faktor kepentingan tertentu, baik

pada pemimpin agama tersebut.

10

John T. Ishiyama & Marijke Breuning. 2013. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal. 1361.

11


(9)

kepentingan pribadi maupun kelompok12

Pengurus gereja tidak boleh menjadi bagian dari tim sukses suatu partai atau kelompok politik dan mengambil hak pilih warganya untuk memilih partai politik atau calon tertentu yang seharusnya masing-masing pilih secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Namun pada kenyataannya, terdapat sejumlah pemimpin dan pengurus Gereja di daerah-daerah, baik di daerah Perkotaan maupun Pedesaan yang menjadi bagian dari pendongkrak suara calon tertentu dengan memobilisasi jemaatnya untuk memilih calon wakil rakyat tersebut. Hal ini bisa terjadi karena adanya ikatan ke sukuan (marga) atau juga karna persamaan keyakinan. Tetapi tidak dapat dipungkiri ada juga karena demi sejumlah uang atau materi untuk pembangunan Gereja tersebut. walaupun tidak ada satupun dari antara mereka yang mengaku bahwa mereka merupakan bagian dari tim pemenangan calon elit poltik tertentu.

. Seharusnya mereka (Pimpinan Gereja dan Pengurus Gereja) berfungsi sebagai pemeran utama dalam memberikan pendidikan politik terhadap warga gereja atau masyarakat. Tetapi realitanya, Elit politik mampu menjadikan Gereja sebagai agen mobilisasi untuk mendongkrak suaranya dalam pemilihan umum.

Hal ini juga terjadi di sejumlah Gereja di kecamatan Sibabangun. Terdapat beberapa pengurus Gereja yang mengambil bagian dalam pemenangan calon wakil rakyat tertentu. Meskipun kini kontribusinya dalam memobilisasi suara jemaat bersifat pasif.

12


(10)

Para pengurus baik itu pemimpin maupun Sintua (Penatua) Gereja seharusnya memberikan pendidikan politik bagi para Jemaatnya agar para Jemaatnya tersebut tidak terlibat dalam praktik money politik. Tetapi pada realitanya, ada beberapa pengurus Gereja yang bertindak sebagai salah satu penyebab money politic tersebut terjadi. Dan hal yang paling memilukan, para pemimpin Gereja tersebut menjadikan Mimbar Pemberitaan Firman Allah sebagai mimbar kampanye. Dari atas Mimbar yang suci, ia mempromosikan si calon Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam upaya menarik simpati jemaatnya agar memilihnya (calon DPRD) dalam pemilihan umum. Pemimpin Gereja tersebut mengungkapkan pendapatnya mengenai si calon politik tersebut, meskipun tidak ada pemaksaan yang dilakukan, tetapi sifatnya mempersuasif. Para pengurus Gereja (baik itu Pendeta maupun Sintua) mempersuasif jemaat agar memilih calon politik tertentu yang dianggapnya dapat mewakili kepentingan masyarakat.

Kompleksitas permasalahan inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk meneliti tentang hubungan antara Agama (Kristen) dengan Negara. Dalam kasus Kontribusi Gereja sebagai agen sosialisai dan mobilisasi suara dalam pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2014 di kabupaten Tapanuli Tengah, kecamatan Sibabangun.


(11)

B. Rumusan Masalah.

Untuk memperlengkapi warga atau Jemaatnya agar berperan dalam masyarakat. Pendidikan politik sangatlah penting bagi jemaat karena dianggap sabagai salah satu penentu perilaku politik dari jemaat itu sendiri. Hal ini sesuai dengan surat pastoral Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dalam rangka menyambut pemilihan umum legislatif tahun lalu, himbauan yang pertama dan utama adalah “untuk tidak memilih berdasarkan agama. Karena itu, dalam memilih berilah penilaian berdasarkan kapasitas, kualitas dan rekam jejak figur”. Dalam penjelasannya, himbauan dalam pengumuman ini menolak pendekatan agama yang seketarian, supaya kita tidak terkotak-kotak berdasarkan agama13

Hal ini dimaksudkan karena dalam pelayanan politik gereja, bukan terutama supaya orang-orang Kristen berkuasa, duduk di berbagai posisi penting untuk memuluskan kepentingan orang Kristen atau kepentingan gereja, melainkan supaya orang-orang yang baik, profesional dan berintegritas, dari berbagai latar belakang agama, Kristen atau bukan Kristen, bersama-sama melayani kepentingan seluruh masyarakat tanpa membeda-bedakannya.

.

Pendidikan politik yang dilakukan oleh Gereja sebagai kelompok sekunder bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang politik pada jemaat agar jemaat aktif berpartisipasi dalam sistem politik. Dalam perspektif

13

Pesan Pastoral MPH PGI kepada Segenap Umat Kristiani untuk Berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif


(12)

ini, pendidikan politik yang dilakukan oleh Gereja digunakan sebagai cara untuk melibatkan jemaat gereja dalam sstem politik melalui partisipasinya dalam memilih calon pemimpin. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran para Jemaat akan pentingnya menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum.

Namun dalam prakteknya, sosialisasi dalam masyarakat cenderung sifatnya mobilisatif. Yang mana, sosialisasi bukan menjadi pendidikan politik bagi jemaat, tetapi cenderung sebagai mobilisasi untuk mengumpulkan suara dalam pemenangan elit politik tertentu. Kegiatan mobilisasi politik untuk kepentingan pemilihan (elektoral) tidak hanya dilakukan oleh dan melalui partai politik tetapi juga dapat dilakukan melalui instrumen-instrumen mobilisasi politik non partai politik.14

14

Kris Nugroho. Ikhtiar Teoritik Mengkaji Peran Partai dalam Mobilisasi Politik Elektoral. Jurnal Tahun

2011, Volume 24, Nomor 3. Hal: 202

Mobilisasi politik non partai yang dianggap lebih efektif dalam menggerakkan massa ketimbang menggunakan instrumen partai politik. Hal inilah yang mendasari para ator calon wakil rakyat secara pragmatis memilih menggunakan instrumen non partai, salah satunya adalah melalui Gereja. Para calon wakil rakyat tersebut melakukan pendekatan pada para pengurus Gereja bahkan langsung pada pimpinan Gereja tersebut. Pendeta dan Sintua sebagai wakil Tuhan. Dipakai untuk mengayomi jemaatnya agar berpegang teguh akan Firman Tuhan. Oleh karena itu, setiap pesan yang disampaikannya dapat berdampak kuat pada setiap Jemaat atau umat Kristen.


(13)

Gereja yang dalam hal ini adalah para pengurus gereja berfungsi sebagai agen pentransfer nilai-nilai partisipasi politik yang sifatnya otonom pada jemaatnya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran para Jemaat akan pentingnya menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Dengan demikian jemaat telah ikut serta dalam proses politik, yaitu dengan memilih calon pemimpinnya untuk lima tahun kedepan. Memilih calon pemimpin adalah hak dari masyarakat itu sendiri. Untuk memberikan pendidikan politik terhadap Jemaat, maka dalam hal ini para pengurus dan pemimpin Gereja harus memiliki pengetahuan tentang politik tersebut. Pengetahuan para pengurus Gereja tentang politik disini bisa diperoleh berbagai sumber, baik itu dari pembelajaran dari buku-buku politk maupun dari orang-orang tertentu.

Namun untuk masyarakat di pedesaan seperti dikecamatan Sibabangun yang masih kolot, pemahaman akan politik itu masih sangat kurang. Hal ini dikarenakan keterbatasan pendidikan dan pembacaan akan buku-buku politik oleh pengurus Gereja tersebut. Sehingga pemahaman mereka masih sebatas pengetahuan dari berita di tv dan sosialisasi dari elit politik. Sosialisasi yang di lakukan oleh calon elit politik yang dalam hal ini adalah calon wakil rakyat pada pengurus gereja sifatnya hanya agar para pengurus gereja memandu jemaat untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum. Para calon elit politik dalam hal ini memberikan pendidikan politik pada para pengurus gereja bukan hanya karena tanpa alasan. Mereka memiliki tujuan tertentu didalamnya.


(14)

Para calon elit politik melihat institusi agama (Gereja) mempunyai basis massa dan ikatan emosional yang cukup kuat. Tidak dapat dipungkiri, hal ini karena dalam jemaat masih terdapat nilai persaudaraan yang cukup kuat. Selain karena dipersatukan oleh Kristus. Juga karena dalam masyarakat dan jemaat yang mayoritas suku batak masih memegang nilai-nilai leluhur seperti Dalihan Natolu (Somba marhula-hula, elek marboru dan manat mardongan tubu). Selain itu, Gereja memiliki struktur formal untuk pertemuan regular dalam pertukaran ide-ide.

Fator-faktor ini berkombinasi dan menempatkan agama dalam posisi unik untuk mempengaruhi publik15

Oleh karena itu yang menjadi pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah:

. Sedangkan para elit politik selalu membutuhkan dukungan politik riil untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya. Maka untuk mendapatkan dukungan politik tersebut, maka baik secara langsung maupun tidak langsung para elit politik tersebut telah memberikan pendidikan politik pada para pengurus Gereja tersebut. Dan selanjutnya para pengurus Gereja tersebut mentransfer nilai-nilai tentang partisipasi politik pada para Jemaat.

“Bagaimana kontribusi Gereja sebagai Agen sosialisasi dan mobilisasi suara dalam pemilihan DPRD 2014 di Tapanuli Tengah Kecamatan Sibabangun”.

15

John T. Ishiyama & Marijke Breuning. 2013. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal. 1361.


(15)

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui apakah pendidikan politik telah diberikan pada jemaat di desa Simanosor dan desa Hutagur-gur kecamatan sibabangun sesuai dengan surat pastoral Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)

2. Untuk mengetahui bagaimana kontribusi dari gereja dalam memobilisasi suara jemaat.

3. Untuk mengetahui apakah politisasi masih marak dilakukan oleh calon legislatif pada pemilihan umum tahun lalu pada gereja di desa Simanosor dan desa Hutagur-gur kecamatan sibabangun

D. Manfaat Penelitian

Dalam sebuah penelitian selain terdapat tujuan penelitian, juga terdapat beberapa manfaat yang selanjutnya berguna bagi penulis sendiri dan juga terhadap banyak orang. Adapun beberapa manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara Praktis, adalah sebagai masukan bagi penulis dalam usaha untuk mengetahui hasil-hasil kegiatan politik juga untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan program sarjana strata satu (S1) Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.


(16)

2. Secara Teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk mencari khasanah ilmiah dengan kaitan Politik dan Agama. Serta melihat relevansi teori-teori yang telah dipelajari dengan kenyataan yang terjadi.

3. Manfaat Akademis

• Untuk memperluas pemahaman pengetahuan peneliti mengenai hubungan antara Agama dan Politik. Peneliti berusaha memahami dan mendeskripsikan bagaimana Perspektif Kristen tentang Politik melalui pemahaman Alkitabiah maupun dari Filsuf-filsuf Kristen. • Penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan teori-teori politik

yang tentu saja berkaitan dengan masalah yang diteliti oleh penulis yaitu Agama Kristen dan Politik.

• Melalui penelitian ini, diharapkan mampu memberikan kontribusi dan memperkaya khasanah pengetahuan di bidang Agama dan Politik. Khususnya kajian tentang Hubungan antara Gereja dan Politik. Dimana Gereja sebagai agen mobilisasi suara dalam pemilihan umum. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman tentang Hubungan antara Agama dan Politik. Khususnya hubungan Gereja dan Politik.


(17)

E. Kerangka Teori

1. Pemikiran Politik Kristen 1.1Pemikiran Martin Luther

Gerakan konsiliar adalah upaya Gereja Romawi untuk mengatasi korupsi dengan memberikan kekuasaan pengambilan keputusan yang sebelumnya hanya diberikan ke Paus semacam dewan (council) yang memliki wewenang untuk mereformasi struktur Gereja. Ada dua konsili yang diandalkan, yaitu: konsili constance pada periode 1414-1418 dan konsili Basel dari 1431-1439- tetapi tidak satupun yang efektif dalam melakukan perubahan sistematik16. Ketika struktur Ekklesiatikal tidak bisa mereformasi dirinya sendiri, muncul pemberontakan dari Gereja Romawi. Meski Martin Luther bukanlah yang pertama atau yang terakhir yang mendukung reformasi teologia dan politik, namun dia yang paling berpengaruh dalam memicu dan memenuhi Reformasi Protestan17

16

John T. Ishiyama & Marijke Breuning. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Hal. 941

. Deklarasinya yang terkenal, Ninety-Five Theses pada tahun 1517 adalah serangan awal nya pada keserakahan paus, yang menurutnya sudah merusak Gereja baik secara teologies maupun politik. System keselamatan yang ditanamkan oleh elemen Gereja Barat untuk jaminan keselamatan hanya bagi yang mampu, telah memperkaya Pendeta dan memiskinkan orang beriman.

17


(18)

Kontribusi Agama dan Politik Luther sifatnya Paralel: Individu dapat memahami Firman Tuhan secara langsung tanpa perantara. Gereja atau Negara tidak diisyaratkan untuk mengintervensi didalam hubungan antara manusia dengan Tuhan. Karena iman adalah personal dan internal, iman sejati tidak pernah bisa dipaksakan. Hanya perilaku yang benar yang bisa dipaksakan. Meskipun ada klaim Aristotelian dari Gereja, namun orang beriman tidak seharusnya mencari kebenaran agama melalui akal - meskipun orang punya kemampuan berfikir – tetapi melalui kemampuan untuk percaya18

Luther menolak tradisi keagamaan katolik yang sudah berlangsung selama ratusan tahun, yakni Hak istimewa pastor untuk membaca dan menafsirkan kitab suci. Menurut beliau, siapapun pengikut Kristus, bukan hanya pendeta, berhak membaca dan menafsirkan alkitab. Menurut Luther, sebenarnya semua orang itu adalah sama, namun yang membedakan hanya kebajikan dan iman yang mereka miliki.

.

Martin Luther mengatakan bahwa, Orang Kristen sendiri tidak perlu hukum karena mereka diatur langsung oleh Tuhan; namun, mereka hanya harus patuh dan mendukung pemerintah demi mengayomi orang-orang kafir. Pemerintah tercipta karena dunia penuh dengan kekacauan. Tujuan pemerintah adalah untuk menjaga ketertiban. Perhatian utama

18


(19)

Martin Luther adalah pengajaran Kitab Suci, Pemberian Sakramen dan interpretasi doktrin harus dilindungi dari kekuasaan Negara.

Tuhan adalah sumber etika dan moral, kehendak-Nya diwahyukan kepada individu melalui iman dan hal ini adalah proses yang sepenuhnya terpisah dari pemerintaha. Menurut Luther, kepatuhan kepada penguasa masih merupakan kewajiban orang beriman, sebab menurutnya, dunia adalah tempat yang jahat dan harus diperintah secara keras.

1.2 Sosialisasi Politik

Sosialisasi politik adalah suatu proses, dimana seseorang individu bisa mengenali sistem politik, yang kemudian menentukan sifat persepsi-persepsinya mengenai politik serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Harry Eckstein menyatakan bahwa sosialisai politik merupakan sebuah proses dimana nilai-nilai, kognisi dan symbol dipelajari dan diimplementasikan dan melalui hal tersebut norma social operatif politik ditanamkan, peran politik diinstitusionalisasikan dan consensus politik diciptakan, entah itu secara efektif atau tidak19

Gabriel Almond, menyatakan berhasil tidaknya fungsi sosialisasi politik mencapai sasaran, sangat bergantung kepada berperan tidaknya

.

19

Hyman. Mass Media and Political Socization: Therole of Patterns of Comunication. Dalam John T. Ishiyama & Marijke Breuning. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Hal. 1294


(20)

agen-agen sosialisasi politik mentransformasikan materi-materi politik secara efektif20

Agen sosialisasi politik dibagi dalam dua kategori, yaitu kelompok primer dan kelompok sekunder

.

21

1. Kelompok primer, sebagai sosialisasi yang pertama dijalani individu semasa kecil, melalui mana ia menjadi anggota masyarakat; dalam tahap ini proses sosialisasi primer membentuk kepribadian anak kedalam dunia umum adalah keluarga.

.

2. Kelompok sekunder. kelompok dimana individu secara regular menjalin kontak dari waktu ke waktu sehingga kelompok ini mempengaruhi perasaan, pemikiran dan perilakunya. Contohnya, sekolah, teman sebaya, rekan kerja, agama maupun media.

Cara untuk mengetahui peranan agen sosialisasi politik adalah melalui tingkat intensitas dan efektifitas interaksi antara indiviu dengan agen sosialisasi politik. Semakin berperan agen sosialisasi politik berpengaruh kepada semakin tingginya orientasi politik dan pada gilirannya akan membentuk perilaku politik sesuai dengan sistem politik.

20

Gabriel Almod. Introduction: A Fungcional Approach tocomparative Politik. Dalam John T. Ishiyama & Marijke Breuning. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Hal. 1294

21

A. Campbell, Gurin, G,. & Miller, W. E. The Voters Decides. Dalam John T. Ishiyama & Marijke Breuning. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Hal. 1296


(21)

Dilihat dari satu segi pandangaan politik tertentu, sosialisasi politik adalah luar biasa pentingnya sebagai proses, dengan mana individu-individu, sampai pada kadar yang berbeda bisa terlibat dalam satu sistem politik, yaitu dalam partisipasi politik22

Gambar 1

. Proses sosialisasi politik dapat kita pahamani dari staggered berikut:

Proses Sosialisasi Politik

Proses sosialisasi politik dimulai dari penanaman nilai-nilai politik, yang dalam hal ini adalah nilai-nilai tentang partisipasi politik. Penanaman nilai-nilai tersebut bisa melalui pembelajaran akan nilai-nilai partisipasi politik tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Penanaman nilai-nilai tentang partisipasi politik tersebut bisa dilakukan oleh kelompok primer maupun sekunder. Dalam hal ini, Gereja sebagai kelompok

22

Rush, Michael dan Philip Alhoff. 1986. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : CV. Rajawali. Hal. 24 Transfer nilai: Ideologi Negara, Urgensi Sistem

Politik, demokrasi, Partisipasi politik

Agen: Keluarga, Sekolah, Gereja, Masjid, Teman Sebaya, Rekan Kerja dan Organisasi Sosial, Partai Politik (Kaderisasi)

Penerima: Anak - Dewasa, Elit Politik, dan Gender.


(22)

sekunder yang menjadi agen pentransfer nilai-nilai partisipasi politik tersebut. Gereja memberikan pendidikan politik pada jemaat, yakni orang dewasa baik itu laki-laki maupun perempuan. Gereja menanamkan nilai-nilai partisipasi politik yang bersifat otonom yakni, partisipasi yang aktif. Patisipasi yang didasarkan oleh kesadaran sendiri.

Faktor-faktor yang berperan penting dalam mempengaruhi proses sosialisasi, baik itu secara langsung maupun tidak langsung atau kedua-keduanya adalah kultur, lingkungan dan personalitas.

Input pertama adalah kultur. Kultur adalah dasar dari bangunan kerangka tempat individu disosialisasikan. Kardinger berpendapat bahwa pengaruh sosialisasi dari orang tua ditentukan oleh tradisi cultural: kultur orang tua yang berbeda akan mensosialisasikan anaknya secara berbeda berdasarkan tradisi cultural23

23

A. Kardinger. The Psikological Frontier of Society. Dalam Dalam John T. Ishiyama & Marijke Breuning. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Hal. 1295

. Dia kemudian berdampat bahwa pengalaman belajar dari awal ini akan memberi efek kepribadian yang bertahan lama. Oleh karena itu, kesimpulannya adalah tradisi cultural yang sama akan mempromosikan pembelajaran yang sama, yang kemudian akan mempromosikan dalam karateristik kepribadian diantara orang-orang dalam kultur spesifik. Ketika diaplikasikan ke bidang politik, kultur politik akan menentukan cara orang tua mensosialisasikan anak-anaknya secara politik, menghasilkan system politik yang stabil dan awet. Oleh karena itu,


(23)

kultur individual adalah input penting ke cara orang disosialisasikan. Subkultur di dalam masyarakat suatu masyarakat juga merupakan agen sosialisasi yang penting. Membanding subkultur di Indonesia (seperti yang berbasis ras, etnis, klass, agama dan gender) adalah salah satu cara untuk memahami bagaimana kelompok-kelompok yang berbeda disosialisasikan24

Input kedua adalah lingkungan. Di satu sisi, lingkungan mungkin dikontruksi sebagai ruang yang mencakup semua agen social, seperti media, pendidikan, kelompok teman sebaya atau keluarga. Disisi lain, lingkungan berarti lingkungan politik dimana orang tinggal dan personalitas dan kejadian politik yang berlangsung selama era politik tertentu

. Misalnya, kultur Politik Kristen berbeda dengan kultur Politik Islam ataupun Kultur politik Hindu maupun Budha. Dan mengidentifikasi perbedaan kultur bisa menjelaskan perbedaan sikap dan perilaku antar kelompok-kelompok tersebut.

25

24

Jaros, Hirsch & Fleron. The Malevolentleader: Political Socialization in An American sub Cultur. American Politik Science. Dalam John T. Ishiyama & Marijke Breuning. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Hal. 1295-1296

. Jadi lingkungan adalah variabel input yang mempengaruhi proses sosialisasi yang ketika dipisahkan, merangkum banyak variabel yang berbeda secara individu, seperti asosiasi primer dan sekunder, media, peristiwa kontenpirer, personalitas politik, dll.

25

Searing, Wright & Rabinowitz. The Primacypinciple: Attitude Change and Political Socialization. Dalam John T. Ishiyama & Marijke Breuning. Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Kedua Puluh Satu: Sebuah Referensi Panduan Tematis Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. Hal. 1296


(24)

Input ketiga yang berdampak signifikan pada sosialisasi politik adalah personalitas atau kepribadian. Personalitas tidak sepenuhnya independen dari kultur dan lingkungan dan bahkan dipengaruhi, setidaknya sebagian, oleh keduanya. Meski demikian, mengungkap ciri personalitas individual adalah cara lain untuk memahami proses sosialisasi politik, khususnya orientasi politik. Individual dan dari mana asalnya. 1.3Partisipasi Politik

1.3.1 Konseptualisasi Partisipasi Politik

Partisipasi merupakan masalah yang cukup rumit di negara berkembang. Partisipasi menjadi tolak ukur penerimaan atas sistem politik yang dibangun oleh sebuah negara. Maju dan berkembangnya pembangunan dalam suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga negaranya tanpa membedakan jenis kelamin, baik itu laki-laki maupun perempuan. Memahami partisipasi politik tentu sangatlah luas. Mengingat partisipasi politik itu sendiri merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (dan partisipasi) orang yang paling tahu tentang yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri26

26

Ramlan surbakti. 1990. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo. Hal. 140.

. Miriam Budiardjo dalam tulisannya mendefinisikan partisipasi politik secara umum sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan


(25)

memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy)27

Partisipasi secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Partisipasi politik dapat bersifat indivual maupun kolektif, secara terorganisasi maupun spontan.

.

Menurut Huntington dan Nelson, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah.. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik28

27

Miriam Budiardjo (ed). 1982. Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: PT. Gramedia. Hal. 1

.

28

Samuel P. Huntington, dan Joan Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta:


(26)

Dalam konsep ini memang tidak dibedakan secara tegas apakah partisipasi politik itu bersifat otonom atau mobilisasi. Hal ini terjadi menurut Huntington dan Nelson, disebabkan oleh sejumlah alasan berikut:

1. Perbedaan antara partisipasi otonom atau mobilisasi lebih tajam dalam prinsip dari pada di alam realitas. Hal ini terlihat ketika kita dapat mengiden-tifikasikan banyak kegiatan sebagai sesuatu yang nyata dimobilisasikan ataupun otonom, tetapi banyak sekali kasus yang terletak di perbatasan keduanya. Kasus yang nyata dan dapat diteliti lebih lanjut adalah mengenai Sikap Gereja. Di satu sisi terlihat bahwa hubungan Negara dan Gereja adalah terpisah atau berdiri sendiri, dengan kata lain idealnya Gereja dan negara tidak dapat disatukan, negara sifatnya duniawi dan Gereja bersifat Rohani. Tetapi disisi lain ada juga Gereja yang dalam hal ini adalah pengurus Gereja yang terlibat dalam politik. Yaitu dengan menjadi calon anggota dewan dengan menggunakan identitasnya sebagai pengurus gereja, yaitu sintua/Parhanger. Oleh karena itu, masih menurut Huntington dan Nelson, partisipasi yang dimobilisasikan dan yang otonom bukanlah merupakan katego-risasi yang dikotomis untuk membedakan secara tajam satu sama lain.

2. Dapat dikatakan semua sistem politik mencakup suatu campuran antara partisipasi otonom atau mobilisasi. Maksudnya, tingkat


(27)

partisipasi yang otonom yang umumnya terjadi atau lebih tinggi di dalam sistem politik yang demokratis dibandingkan dalam sistem politik yang otoriter, di sisi lain ada juga partisipasi politik yang otonom di sistem politik yang diktator dan otoriter.

3. Hubungan antara partisipasi otonom atau mobilisasi bersifat dinamis, artinya bahwa partisipasi politik yang bersifat dimobilisasi karena factor internalisasi pada akhirnya akan menjadi partisipasi yang bersifat otonom. Sebaliknya juga demikian, partisipasi politik yang bersifat otonom akan berubah menjadi dimobilisasi.

4. Partisipasi otonom atau Mobilisasi mempunyai konsekuensi penting bagi sistem politik. Baik yang dimobilisasi atau otonom memberikan peluang-peluang kepemimpinan dan menimbulkan kekangan-kekangan terhadap pimpinan-pimpinan politik.

Mobilisasi politik merupakan sebuah cara yang besar untuk merekrut individu atau kelompok agar supaya bisa ikut berpartisipasi dalam proses politik untuk mencapai tujuan-tujuan yang bersifat elektoral29

29

Kris Nugroho. Ikhtiar Teoritik Mengkaji Peran Partai dalam Mobilisasi Politik Elektoral. Jurnal Tahun 2011, Volume 24, Nomor 3. Hal: 204

. Kegiatan mobilisasi politik untuk kepentingan pemilihan (elektoral) tidak hanya dilakukan oleh dan melalui partai politik tetapi juga


(28)

dapat dilakukan melalui instrumen-instrumen mobilisasi politik non partai politik.

Munculnya instrumen non partai politik sebagai mobilizer dalam mendongkrak suara dalam pemilihan dikarenakan rendahnya Kapasitas institusional partai dalam menggerakkan massa , aktor calon secara pragmatis memilih menggunakan instrumen mobilisasi politik non partai yang dianggap lebih efektif dalam menggerakkan massa ketimbang menggunakan instrumen partai politik.

Menurut Olsen partisipasi dapat dipandang sebagai dimensi utama stratifikasi sosial. Dia membagi partisipasi politik menjadi enam lapisan30

Apatisme politik individu seperti ini oleh McLosky disebut sebagai

apathy, bahwa ada yang tidak ikut pemilihan karena sikap acuh tak acuh

dan tidak ter-tarik oleh, atau kurang paham mengenai masalah politik. Juga karena ketidakyaki-nan bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan

, yaitu: Pemimpin politik, aktivis politik, Komunikator (orang yang menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap, dan informasi politik lainnya kepada orang lain), Warga negara, Marginal (orang yang sangat sedikit melakukan kontak dengan system politik) dan Orang yang terisolasikan (orang yang jarang melakukan partisipasi politik).

30


(29)

(minoritas) di-mana ketidak-ikutsertaan adalah hal yang terpuji. kelompok ini kita kenal dengan sebutan golongan putih (golput).

Partisipasi politik dalam kehidupan politik, menurut Paige31

Gambar 2

dapat berbentuk ”aktif, radikal, alienasi, / apatis serat partisipasi pasif”. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat model atau bentuk partisipasi tersebut sebagai berikut:

Tipologi Politik

Kesadaran

Aktif Pasif Radikal Apatis

Kepercayaan

Berdasarkan tinggi-rendahnya kedua faktor (kesadaran dan kepercayaan) tersebut, dimana partisipasi politik masyarakat dibagi menjadi 4 (empat) tipe yaitu:

a. Partisipasi politik aktif apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintahan yang tinggi. Contohnya mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum,

31


(30)

mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan pemerintah.

b. Partisipasi politik apatis/alienasi apabila kesadaran politik dan kepercayaan politik kepada pemerintah rendah. Contohnya kegiatan yang hanya menaati pemerintah, menerima, dan melaksanakan setiap keputusan pemerintah.

c. Partisipasi politik radikal apabila kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah. Radikalisme berarti suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya peraturan-peraturan /ketentuanketentuan konstitusional, politis, dan sosial yang sedang berlaku.

d. Partisipasi politik pasif apabila kesadaran politik sangat rendah tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat tinggi, yakni bersikap tidak peduli terhadap situasi politik di tempatnya.

F. Metodolologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode ini dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain, pada


(31)

saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.32

2. Jenis Penelitian

Metode ini digunakan Karena peneliti berupaya menggambarkan bagaimana Kontribusi Gereja sebagai mobilisator suara dalam pemilihan calon DPRD 2014 diTapanuli Tengah kecamatan Sibabangun.

Dalam penelitian ini , peneliti menggunakan metode penelitian Kualitatif. Penelian kualitatif merupakan sebuah penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan permasalahan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sugiyono33

Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia

“Masalah dalam penelitian kualitatif bersifat sementara, tentative dan akan berkembang atau berganti setelah peneliti berada dilapangan”.

34

32

Nawawi Handari. 1987. Metodologi Bidang Sosial. Yogyakarta: gajah Mada University Press. Hal. 63

Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terperinci dari pandangan informan baik lisan maupun tulisan dengan melakukan studi pada situasi yang alami. Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata- kata tertulis maupun lisan dari orang-orang

33

Sugiyono, 2008. Metode Penelitian kuantitatife, Kualitatife, dan R & D. Bandung: ALFABETA. Hal. 203

34

Jhon W, Creswell. 2002. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. London: Sage Publications. Hal. 15


(32)

dan perilaku yang diamati35. Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta serta fenomena yang diselidiki36

Jenis penelitian ini sifatnya subyektif, hal ini menitik beratkan pada pemahaman atau penilaian dari masing-masing orang, yang pada hakikatnya berbeda-beda. Oleh karena itu, metode kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri.

.

Pada penelitian ini, penarikan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Teknik ini bisa diartikan sebagai suatu proses pengambilan sampel dengan menentukan terlebih dahulu jumlah sampel yang hendak diambil, kemudian pemilihan sampel dilakukan dengan berdasarkan tujuan-tujuan tertentu, asalkan tidak menyimpang dari ciri-ciri sampel yang ditetapkan37

a. Dari kecamatan Sibabangun, lokus penelitian akan dilakukan di 2 Desa yaitu Desa Simanosor dan Desa Hutagur-gur,

. Adapun kriteria informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah :

35

Moleong, Lexy J.2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Hal. 3

36

Sanafiah Faisal. Format Penelitian Sosial Dasar-dasar Aplikasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995. Hal. 20

37


(33)

b. Di desa Simanosor ada 5 Gereja, yaitu: HKBP Simanosor, BNKP Simanosor, GPDI Simanosor, GKPI Simanosor dan Gereja Katolik Simanosor. Peneliti akan meneliti 4 Gereja yang ada di desa Simanosor. Yakni, HKBP Simanosor, BNKP Simanosor, GPDI Simanosor dan Gereja Katolik Simanosor.

c. Di desa Hutagur-gur ada 6 Gereja, yaitu: HKBP Hutagur-gur, BNKPI Hutagur-gur, GKII Hutagur-gur, GPI Sibira-bira, GPDI Gunung Serasi dan Katolik Singali-ngali. Peneliti akan meneliti 3 Gereja dari desa Hutagur-gur, yakni: HKBP Hutagur-gur, BNKPI Hutagur-gur dan GKII Hutagur-gur.

d. Pemimpian Gereja baik itu Pendeta atau Sintua. e. Jemaat yang berperan aktif dalam pelayanan Gereja.

f. Jemaat yang tempat tinggalnya (rumah) yang dekat dengan Gereja. g. Dalam satu Gereja akan diwawancarai 3 informan atau Jemaat dan

1 orang pengurus Gereja serta Pimpinan Gereja.

h. Calon wakil rakyat yang mendatangi Gereja untuk meminta dukungan (sesuai dengan informasi yang diperoleh dari Jemaat maupun dari pengurus Gereja).

i. Jika informasi atau data yang diperoleh dari informan atau nara sumber dianggap sudah cukup mewakili bagi peneliti, maka kagiatan wawancara akan diakhri.


(34)

Berdasarkan uraian di atas, jumlah informan ditentukan pada saat penelitian berlangsung. Karena penelitian kualitatif jarang ditentukan jumlah informannya hanya dilihat sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian akan dilaksanakan di:

a) Gereja-gereja di 2 Desa kecamatan Sibabangun b) Jemaat Gereja

c) Kantor DPRD

Lokasi penelitian ini dipilih dengan tujuan untuk mendapatkan data dan informasi dari narasumber yang terkait dalam penelitian ini. peneliti juga akan mendatangi Kantor Camat Sibabangun untuk mendapatkan data tentang profil kecamatan Sibabangun tersebut.

Pemilihan lokasi penelitian ditentukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Metode purposive sampling dilakukan dengan cara mengambil subyek bukan didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Penelitian ini dilakukan di kecamatan Sibabangun. Lokasi tersebut saya pilih sebagai tempat penelitian dengan pertimbangan sebagai berikut : 1. Dilokasi penelitian terdapat fenomena bahwa ada pengurus Gereja yang

secara pasif terlibat dalam politik praktis yaitu menjadi agen pendongkrak suara calon elit politik tertentu dengan berbagai motif, yakni:


(35)

a) Pengurus Gereja maupun pimpinan Gereja menjadi agen mobilisasi dalam pemenangan calon elit politik tertentu dikarenakan adanya sejumlah dana yang diberikan oleh calon elit politik tersebut dalam bentuk ucapan syukur.

b) Dikarenakan adanya Ikatan Marga (kesukuan) c) Persamaan Kepercayaan

d) Kepentingan Pribadi

e) Karena satu organisasi yakni STM

f) Karena calon anggota DPRD tersebut merupakan warga dari kampung itu sendiri.

2. Peneliti mendapatkan kemudahan akses untuk masuk dan

mewawancarai kedalam lokasi-lokasi tersebut karena berada di lingkungan para jemaat tersebut.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan peneliti dalam hal ini adalah menggunakan teknik Data Primer dan Data sekunder. Adapun pengertian dari data primer dan data sekunder adalah sebagai berikut:

a) Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya. Dalam pengambilan data, penulis mengumpulkan data dengan cara Interview (wawancara). Wawancara merupakan alat rechecking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Teknik


(36)

wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in-depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama38

Interview adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk-dijawab secara lisan pula. Ciri utama dari interview adalah kontak langsung dengan tatap muka (face to face relation ship) antara si pencari informasi (interviewer atau informan hunter) dengan sumber informasi (interviewee)

.

39

Adapun yang menjadi narasumber dalam penelitian ini adalah: Pengurus Gereja (baik Pendeta maupun Penatua-penatua Gereja), Jemaat Gereja dan Anggota DPRD Tapanuli Tengah. Pemilihan narasumber dimaksudkan agar kebutuhan informasi terkait dengan judul penelitian dapat terpenuhi sesuai objek penelitian yaitu Agama dan Politik. Studi kasus Gereja sebagai agen sosialisasi dan mobilisasi suara dalam pemilahan DPRD di Tapanuli Tengah Kecamatan Sibabangun pada tahun 2014.

.

38

HB, Sutopo. 2006, Metode Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS Press. Hal. 72

39


(37)

b) Teknik data sekunder

Teknik data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari lapangan. Pengumpulan data Sekunder dalam pengamatan ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen yaitu dengan mengumpulkan data-data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen, jurnal dan internet yang dianggap relevan dengan masalah.


(1)

dan perilaku yang diamati35. Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta serta fenomena yang diselidiki36

Jenis penelitian ini sifatnya subyektif, hal ini menitik beratkan pada pemahaman atau penilaian dari masing-masing orang, yang pada hakikatnya berbeda-beda. Oleh karena itu, metode kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri.

.

Pada penelitian ini, penarikan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Teknik ini bisa diartikan sebagai suatu proses pengambilan sampel dengan menentukan terlebih dahulu jumlah sampel yang hendak diambil, kemudian pemilihan sampel dilakukan dengan berdasarkan tujuan-tujuan tertentu, asalkan tidak menyimpang dari ciri-ciri sampel yang ditetapkan37

a. Dari kecamatan Sibabangun, lokus penelitian akan dilakukan di 2 Desa yaitu Desa Simanosor dan Desa Hutagur-gur,

. Adapun kriteria informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah :

35

Moleong, Lexy J.2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Hal. 3

36

Sanafiah Faisal. Format Penelitian Sosial Dasar-dasar Aplikasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995. Hal. 20

37


(2)

b. Di desa Simanosor ada 5 Gereja, yaitu: HKBP Simanosor, BNKP Simanosor, GPDI Simanosor, GKPI Simanosor dan Gereja Katolik Simanosor. Peneliti akan meneliti 4 Gereja yang ada di desa Simanosor. Yakni, HKBP Simanosor, BNKP Simanosor, GPDI Simanosor dan Gereja Katolik Simanosor.

c. Di desa Hutagur-gur ada 6 Gereja, yaitu: HKBP Hutagur-gur, BNKPI Hutagur-gur, GKII Hutagur-gur, GPI Sibira-bira, GPDI Gunung Serasi dan Katolik Singali-ngali. Peneliti akan meneliti 3 Gereja dari desa Hutagur-gur, yakni: HKBP Hutagur-gur, BNKPI Hutagur-gur dan GKII Hutagur-gur.

d. Pemimpian Gereja baik itu Pendeta atau Sintua. e. Jemaat yang berperan aktif dalam pelayanan Gereja.

f. Jemaat yang tempat tinggalnya (rumah) yang dekat dengan Gereja. g. Dalam satu Gereja akan diwawancarai 3 informan atau Jemaat dan

1 orang pengurus Gereja serta Pimpinan Gereja.

h. Calon wakil rakyat yang mendatangi Gereja untuk meminta dukungan (sesuai dengan informasi yang diperoleh dari Jemaat maupun dari pengurus Gereja).

i. Jika informasi atau data yang diperoleh dari informan atau nara sumber dianggap sudah cukup mewakili bagi peneliti, maka kagiatan wawancara akan diakhri.


(3)

Berdasarkan uraian di atas, jumlah informan ditentukan pada saat penelitian berlangsung. Karena penelitian kualitatif jarang ditentukan jumlah informannya hanya dilihat sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian akan dilaksanakan di:

a) Gereja-gereja di 2 Desa kecamatan Sibabangun b) Jemaat Gereja

c) Kantor DPRD

Lokasi penelitian ini dipilih dengan tujuan untuk mendapatkan data dan informasi dari narasumber yang terkait dalam penelitian ini. peneliti juga akan mendatangi Kantor Camat Sibabangun untuk mendapatkan data tentang profil kecamatan Sibabangun tersebut.

Pemilihan lokasi penelitian ditentukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Metode purposive sampling dilakukan dengan cara mengambil subyek bukan didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Penelitian ini dilakukan di kecamatan Sibabangun. Lokasi tersebut saya pilih sebagai tempat penelitian dengan pertimbangan sebagai berikut : 1. Dilokasi penelitian terdapat fenomena bahwa ada pengurus Gereja yang

secara pasif terlibat dalam politik praktis yaitu menjadi agen pendongkrak suara calon elit politik tertentu dengan berbagai motif, yakni:


(4)

a) Pengurus Gereja maupun pimpinan Gereja menjadi agen mobilisasi dalam pemenangan calon elit politik tertentu dikarenakan adanya sejumlah dana yang diberikan oleh calon elit politik tersebut dalam bentuk ucapan syukur.

b) Dikarenakan adanya Ikatan Marga (kesukuan) c) Persamaan Kepercayaan

d) Kepentingan Pribadi

e) Karena satu organisasi yakni STM

f) Karena calon anggota DPRD tersebut merupakan warga dari kampung itu sendiri.

2. Peneliti mendapatkan kemudahan akses untuk masuk dan mewawancarai kedalam lokasi-lokasi tersebut karena berada di lingkungan para jemaat tersebut.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan peneliti dalam hal ini adalah menggunakan teknik Data Primer dan Data sekunder. Adapun pengertian dari data primer dan data sekunder adalah sebagai berikut:

a) Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya. Dalam pengambilan data, penulis mengumpulkan data dengan cara Interview (wawancara). Wawancara merupakan alat rechecking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Teknik


(5)

wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in-depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama38

Interview adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk-dijawab secara lisan pula. Ciri utama dari interview adalah kontak langsung dengan tatap muka (face to face relation ship) antara si pencari informasi (interviewer atau informan hunter) dengan sumber informasi (interviewee)

.

39

Adapun yang menjadi narasumber dalam penelitian ini adalah: Pengurus Gereja (baik Pendeta maupun Penatua-penatua Gereja), Jemaat Gereja dan Anggota DPRD Tapanuli Tengah. Pemilihan narasumber dimaksudkan agar kebutuhan informasi terkait dengan judul penelitian dapat terpenuhi sesuai objek penelitian yaitu Agama dan Politik. Studi kasus Gereja sebagai agen sosialisasi dan mobilisasi suara dalam pemilahan DPRD di Tapanuli Tengah Kecamatan Sibabangun pada tahun 2014.

.

38

HB, Sutopo. 2006, Metode Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS Press. Hal. 72

39


(6)

b) Teknik data sekunder

Teknik data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari lapangan. Pengumpulan data Sekunder dalam pengamatan ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen yaitu dengan mengumpulkan data-data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen, jurnal dan internet yang dianggap relevan dengan masalah.