PERANCANGAN FILM DOKUMENTER SEBAGAI MEDIA PROMOSI WISATA PASAR TRADISIONAL SURAKARTA “PASARKU BUDAYAKU”

PERANCANGAN FILM DOKUMENTER SEBAGAI MEDIA PROMOSI WISATA PASAR TRADISIONAL SURAKARTA “PASARKU BUDAYAKU”

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan

guna Mencapai Gelar Sarjana pada Jurusan Desain Komunikasi Visual

Oleh : YOHANES PRIMA KUSUMA PUTRA C0708078

DESAIN KOMUNIKASI VISUAL FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

PERSEMBAHAN

Dengan tulus kupersembahkan karya sederhana ini untuk :

Ibu dan Bapakku

MOTTO

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas segala rahmat dan bimbingan serta berkat yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan lancar, tak lupa pada kesempatan ini pula tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan baik materiil maupun spirituil kepada:

1. Drs. Riyadi Santosa.M.Ed.P.hD selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.

2. Drs. M. Suharto. M.Sn selaku Ketua Jurusan Desain Komunikasi Visual.

3. Drs. Bedjo Riyanto,M.Hum selaku Pembimbing I.

4. Arief Iman Santosa,S.Sn selaku Pembimbing II.

5. Esty Wulandari, S.Sos, M.Si Pembimbing Akademik.

6. Staf TU bidang akademik Jurusan Desain Komunikasi Visual.

7. Para Kepala Pasar dan para pedagang Pasar Gede, Pasar Klewer, Pasar Legi, Pasar Kembang

8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan konsep tugas akhir ini masih banyak kekurangan dan banyak hal yang harus penulis pelajari. Oleh karena itu penulis sangat mengharap adanya saran dan kritik yang membangun dan dapat membuat lebih baik.

Akhirnya penulis berharap bahwa apa yang telah penulis susun dapat memberi manfaat yang baik bagi siapa saja yang membaca.

Surakarta, 23 Januari 2013 Penulis,

Yohanes Prima Kusuma Putra

1. Media Utama Promosi Pasar Tradisional Surakarta ............. 125

2. Media Pendukung Promosi Pasar Tradisional Surakarta ...... 126

3. Merchandise .......................................................................... 128

F. Prediksi Biaya ............................................................................ 131

BAB V. VISUALISASI KARYA ............................................................. 134

BAB VI. PENUTUP .................................................................................... 150

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 151

LAMPIRAN ................................................................................................... 152

PERANCANGAN FILM DOKUMENTER SEBAGAI MEDIA PROMOSI WISATA PASAR TRADISIONAL SURAKARTA “PASARKU BUDAYAKU”

Yohanes Prima Kusuma Putra 1

Drs. Bedjo Riyanto,M.Hum, 2 Arief Iman Santosa,S.Sn 3

ABSTRAK

Yohanes Prima Kusuma Putra, 2013. Pengantar Tugas Akhir ini berjudul Perancangan Film Dokumenter Sebagai Media Promosi Wisata Pasar Tradisional Surakarta “Pasarku Budayaku”. Pasar tradisional merupakan salah satu kekuatan

ekonomi pendapatan daerah kota Surakarta. Seiring dengan perkembangannya, pasar kini telah menjadi salah satu tujuan wisata sebuah kota. Kota Surakarta adalah kota yang mempunyai sebuah kekuatan lokal dan tradisi yang sangat kuat, sehingga pemerintah kota ingin menciptakan sebuah pandangan baru tentang sebuah pasar tradisional, yaitu mengubah pandangan pasar tradisional dari hanya tempat jual beli saja, menjadi sebuah tempat wisata. Adapun permasalahan yang dikaji adalah bagaimana menciptakan media komunikasi visual yang menarik dan efektif guna menunjang rencana pemerintah kota Surakarta untuk mewujudkan pasar tradisional sebagai wisata dengan kekuatan lokal yang mengangkat sisi tradisional yang tujuan utamanya ialah untuk mempromosikan potensi pasar tradisional Surakarta sekaligus semakin menguatkan pecitraannya di mata masyarakat dan wisatawan yang rindu akan sebuah nilai historis dan tradisional.

Sejauh ini media promosi untuk menciptakan pasar wisata yang ada tidak digarap semaksimal mungkin, padahal pasar tradisonal Surakarta mempunyai potensi yang sangat kuat untuk dijadikan wisata yang bertumpu pada kekuatan tradisi. Media yang ada sekarang terkesan kurang aktif untuk menonjolkan potensi pasar tradisional sebagai pasar wisata, akan menjadi sangat disayangkan apabila tidak dikomunikasikan secara tepat kepada khalayak. Mengingat hal tersebut maka dirancanglah media promosi guna mengkomunikasikan potensi tersebut. Media komunikasi visual yang dibuat tidak sekedar bersifat informatif, tetapi juga interaktif dan persuasif. Media tersebut harus tetap memperhatikan nilai estetis, dengan mengangkat sisi artistik dan keunikan dari pasar tradisonal Surakarta. Diharapkan lewat media komunikasi tersebut mampu memenuhi kebutuhan akan informasi dan menarik minat pengunjung khususnya para wisatawan yang rindu akan wisata tradisional.

DESIGN OF DOCUMENTARY FILM AS A PROMOTIONAL TOUR TRADITIONAL MARKET SURAKARTA

"Pasarku Budayaku"

Yohanes Prima Kusuma Putra 4

Drs. Bedjo Riyanto,M.Hum, 5 Arief Iman Santosa,S.Sn 6

ABSTRACT

Yohanes Prima Kusuma Putra , 2013. This final task introduction is entitled The Making of Documentary Film as a Promotion Media of Traditional Market in Surakarta Tourism “Pasarku Budayaku”. Traditional market as one of the economical local income power in Surakarta. Along the growth of the city, traditional market becomeone of tourism destination. Surakarta already has it’s local

power and stong tradition in it, as the local government try to create a new view point of the traditional market, to change the vision of a market that only functioned as a buying and selling spot into a tourism object. As for the issues to study is about how to create an intereting and effective visual communication media to support the vision of local government of Surakarta to actualize traditional market as a tourism object with local power to promote traditional side. Wich the main idea is to promote the potention of Surakarta traditional market that also want to uphold the imaging in the eye that hunger of the value of history and tradition.

So far, promotion media to make the tourism market were uncultivated enough, besides Surakarta’s traditional market has story potention to be tourism

object that focusing on the power of tradition. Media now adays seems to be unattractive to show the potention of traditional market as tourism market, that is very unfortunate that it’s not well communicated to the people based on that issue, promotion media were planned to communicate the potention. The media is not only informatics but also interactive and persuasive. The media should consider the estetical value, that carry the artistic and unique point of the traditional market of Surakarta. It is expected that communication media can meet the need of information and attract visitors attention especially the tourist yearning of the traditional tourism.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan kota Solo adalah kota yang kini berkembang menjadi kota yang besar. Kota yang terkenal dengan kearifan

lokalnya ini menjadi ciri khas dari kota ini. Slogan “Spirit of Java” adalah salah satu bukti bahwa kota Solo mengambil budaya lokal dan kerifan lokal. Kota yang

dipimpin oleh wali kota Ir. Joko Widodo dan wakil wali kota FX Hadi Rudyatmo ini benar-benar membranding kota Solo dengan baik. Terbukti dengan berbagai acara yang bertema budaya selalu sukses terselenggara dan menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke kota Solo.

Dalam perkembangannya, kota Solo terus membranding diri sebagai kota yang dapat berkembang dengan keaslian yang dimiliki. Banyak sekali kelokalan yang ditonjolkan kota Solo, dan salah satunya adalah program Pemkot Surakarta yang terus mengembangkan ekonomi kota Solo lewat pasar tradisionalnya. Pengembangan ekonomi juga mempunyai permasalahan, karena menyangkut pendapatan daerah kota Solo, dan pasar tradisional adalah salah satu penyumbang terbesar ekonomi daerah dan lapangan kerja masyarakat kota Solo. Tetapi banyak kini berderet mini market yang menjadi pesaing pasar tradisional, dan menjadi pesaing yang cukup memberatkan pasar tradisional. Dengan permasalahan seperti

Dalam programnya, Pemkot Surakarta juga mempunyai konsep program branding kota Solo. Salah satunya bahwa Pemkot Surakarta berharap wisatawan yang berkunjung ke kota Solo, tidak ingin mengunjungi mall atau tempat hiburan yang banyak terdapat di kota-kota besar lainnya. Dalam program pemerintahan kota Solo, wisatawan dapat diharapkan mempunyai tujuan berwisata ke kota Solo karena kekayaan lokanya, misalnya wisatawan berkunjung ke kota Solo karena ingin melihat pasar tradisionalnya, ingin mencicipi makanan khas daerahnya, ingin belajar membantik, ingin berfoto di kawasan sejarah kota Solo, dsb.

Dengan program yang telah direncanakan Pemkot Surakarta, yaitu membranding kota Solo menjadi kota wisata tradisi dan lokal, penulis ingin melakukan campaign, yaitu dengan membranding pasar tradisonal di kota Solo sebagai pasar wisata dan pasar budaya. Pasar tradisional yang tidak hanya menjadi tempat jual beli saja, tetapi menjadi tempat wisata lokal tradisi yang ada di kota Solo. Mengacu dengan program kota Solo yang akan memajukan pasar tradisional sebagai pendapatan daerah yang besar dan sebagai tempat wisata pasar tradisional, maka penulis akan membuat sebuah film dokumenter tentang pasar tradisional kota Solo. Pasar-pasar yang diambil sebagai objek film adalah Pasar Gede, Pasar Klewer, Pasar Legi, dan Pasar Kembang. Pasar-pasar ini diambil karena mempunyai karakter pasar yang berbeda-beda. Pasar Gede adalah pasar tradisional terbesar di kota Solo, pusat pasar tradisional, dan pasar tradisional yang paling lengkap. Pasar Klewer adalah pasar yang mempunyai spesialisasi di pasar sandang atau pasar dengan spesialisasi di baju dan kain. Pasar Legi merupakan pasar yang berorientasi ke pasar kebutuhan rumah tangga (dapur) dan memiliki harga yang lebih murah dari pasar

Dengan landasan program kota Solo dan kesadaran sebagai warga kota Solo yang ingin memajukan ekonomi dan wisata kota Solo, maka penulis ingin membuat sebuah film dokumenter tentang pasar tradisional di kota Solo, sebagai media promosi untuk menarik wisatawan untuk datang ke kota Solo berwisata ke pasar tradisional kota Solo.

Dengan media videography yang akan dipilih penulis sebagai media promosi pasar tradisional kota Solo, penulis berharap target audience dan target market dapat melihat dan merasakan potensi wisata tradisional di kota Surakarta. Media ini dipilih karena sebuah pendokumentasian secara videography dapat memunculkan dan memperlihatkan secara nyata apa yang terjadi di sebuah objek, tidak hanya visual saja yang dapat menarik perhatian target, tetapi suara dan gerak dapat lebih memperkuat keingin tahuan wisatawan setelah melihat film dokumenter tersebut. Film dokumenter ini dipilih juga untuk menyentuh emosi dan memori target audience, sehingga dapat lebih memperkeuat keinginan para wisatawan untuk memasukkan dirinya ke dalam objek wisata kota Solo sehingga objek wisata kota Solo dapat selalu teringat di memori target audience yang melihat film dokumenter tersebut.

Semoga dengan perancangan film dokumenter ini, pasar tradisional di kota Solo dapat kembali terangkat eksistensinya dan dapat menjadi objek wisata pilihan yang ada di kota Solo. Sehingga kota Solo dapat menjadi kota tujuan wisata tradisional dengan memanfaatkan kekayaan lokalnya dan pasar tradisional menjadi sebuah ikon di kota Solo.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang telah dikaji dari uraian tentang pasar tradisional kota Solo adalah

1. Bagaimana mengenalkan potensi pasar tradisional kepada wisatawan dan target market melalui teknik videography (film dokumenter) yang tepat?

2. Bagaimana menyajikan karya videography (film dokumenter) sebagai sarana informasi dan promosi?

3. Bagaimana merancang komunikasi yang persuasif dalam film dokumenter “Pasarku Budayaku” ?

C. Tujuan Perancangan

1. Mengenalkan potensi pasar tradisional kepada wisatawan dan target market melalui teknik videography.

2. Menyajikan karya videography (film dokumenter) sebagai sarana informasi dan promosi.

3. Merancang komunikasi yang persuasif dalam film dokumenter “Pasarku

Budayaku ”.

D. Target Market Perancangan

Sebagai kota yang mempunyai kearifan lokal yang sangat kuat, kota Solo menjadi salah satu barometer pariwisata di Indonesia maupun dunia. Program pemerintah yang menjadikan kearifan lokal menjadi ikon wisata kota Solo, menjadi keunggulan tersendiri dibanding kota-kota lain di Indonesia. Salah satu kearifan lokal yang diambil adalah wisata pasar tradisional. Target market dari film dokumenter pasar tradisional sendiri adalah sebagai berikut:

1. Geografis

Sesuai dengan program pemerintah daerah kota Solo yang ingin memajukan perekonomian dan pariwisata dengan pasar tradisional, film dokumenter ini menjadikan pasar tradisional sebagai latar belakang dari film, karena pasar tradisional terlatak di daerah bisnis dan daerah pariwisata kota Solo.

Film dokumenter ini membidik wisatawan mancanegara pada khususnya dan wisatawan lokal pada umumnya.

2. Demografi dan Sosiografi

Merujuk pada pesonifikasi target di atas, target demografis dan sosiografis market film dokumenter “Pasarku Budayaku” akan diuraikan sebagai berikut:

a. Umur

: 17 - 60 tahun

b. Jenis kelamin

: laki-laki dan perempuan

c. Strata ekonomi sosial : semua kelas sosial

d. Tingkat Pendidikan

: semua kalangan pendidikan

3. Psikografi

E. Target Audience Perancangan

Target audience terbagi menjadi dua yaitu target primer dan target sekunder. Target primer adalah kelompok yang menjadi sasaran utama dari film dokumenter ini yaitu wisatawan mancanegara yang merupakan elemen terpenting dalam menjalan program pemerintah kota Solo. Sedangkan target sekunder adalah wisatawan lokal dan masyarakat yang dapat mempengaruhi target primer. Untuk lebih detailnya, segmentasi dari target audience adalah sebagai berikut :

1. Target primer

a. Demografi Usia

: Remaja dan Dewasa (17-60 Tahun) Jenis Kelamin

: Lelaki dan Perempuan

Kelas Sosial

: Semua kelas sosial

Agama

: Semua agama

b. Psikografis Secara psikografis, target audience perancangan promosi ini memfokuskan pada wisatawan mancangera yang merindukan wisata tradisi.

c. Geografis Masyarakat internasional

2. Target Sekunder

a. Demografi Usia

: Remaja dan Dewasa (17 – 60 Tahun)

Agama

: Semua agama

b. Psikografis Secara psikografis, target audience perancangan promosi ini memfokuskan pada masyarakat Solo yang telah luntur kesadarannya akan pasar tradisional dan lebih memilih belanja di supermarket.

c. Geografi Masyarakat kota Solo

F. Target Visual

Adapun target visual yang digunakan sebagai sarana dalam perancangan dan promosi adalah sebagai berikut :

1. Above the line Media lini atas, media yang tidak ada interaksi secara langsung dengan audience lebih untuk menjelaskan konsep atau ide dan untuk menciptakan brand image.

a. Spanduk

b. Billboard

c. Poster

d. Street Banner

e. Facebook (online)

f. Twitter (online)

2. Below the line 2. Below the line

b. Flyer

c. Merchandise (kaos, stiker, pin, pembatas buku, mug, kalender dinding)

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, data yang dikumpulkan adalah kata kata ,gambar dan bukan angka-angka. Hal itu disebabkan adanya penerapan penelitian kualitatif yang jenis temuan- temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistic atau bentuk hitungannya.

2. Lokasi Penelitian Merupakan tempat penelitian dilakukan. Lokasi penelitian yaitu di Kota Solo dan Sekitarnya Eks- Karesidenan Surakarta.

3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data digunakan empat macam teknik pengumpulan data yaitu :

a. Observasi Suatu penyelidikan yang dijalankan secara sitematis dan sengaja diadakan dengan menggunakan alat indra terutama mata terhadap kejadian kejadian yang langsung. Observasi yang dilakukan yaitu survey dan mendatangi lokasi tempat mengumpulkan data.

b. Kajian Pustaka Teknik pengumpulan data dengan menggunakan literatur literature yang relevan dengan penelitian serta menggunakan data dokumen yang telah ada

1) Kajian Literatur

Mencari data melalui buku atau media cetak lainnya.

2) Internet

Penelitian terhadap data yang ada lewat jaringan internet. Data tersebut biasanya artikel atau komentar komentar seseorang.

c. Wawancara Yaitu teknik pengumpulan data dengan cara bertanya langsung atau wawancara kepada responden secara mendalam.

Dari data tersebut akan diperoleh sebuah hipotesa yang kemudian akan menjadi dasar perancangan ini.

BAB II KAJIAN TEORI

A. Tinjauan tentang Film Dokumenter

1. Pengertian Film Dokumenter

Film dokumenter merupakan sebuah genre film yang mempunyai karakter untuk mendokumentasikan. Selain foto (fotografi), film juga mempunyai genre dokumenter. Di dalam kehidupan sehari-hari kita tidak akan lepas dari sebuah moment atau kejadian yang terekam di memori otak kita. Untuk mengenang dan melihat apa yang terjadi di sebuah peristiwa yang mengambil sebuah objek, manusia memerlukan sebuah media rekam untuk melihat moment apa yang terjadi di sebuah objek tertentu. Adapun pengertian film dokumenter dan ada banyak teori diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Himawan Pratista dalam buku “Memahami Film” menerangkan film

dokumenter adalah film yang berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata. Film dokumnter tidak mnciptakan suatu peristiwa atau kejadian namun merekam peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi atau otentik. (Pratista, 2008; 4)

b. Montase (Buletin Sinema Independen) dalam edisi ke-9 menerangkan

bahwa film dokumenter film dokumenter tidak seperti halnya film fiksi (cerita) merupakan sebuah rekaman peristiwa yang diambil dari kejadian yang nyata atau sungguh-sungguh terjadi.

Secara umum film dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: dokumenter, fiksi, dan eksprimental. Pembagian ini didasarkan atas cara brtuturnya yakni, naratif (cerita) dan non-naratif (non-cerita). Film fiksi memiliki struktur naratif yang jelas, sementara film dokumenter dan eksperimental tidak memiliki struktur naratif. Film dokumenter yang memiliki konsep realism (kenyataan) berada di kutub yang berlawanan dengan film eksperimental yang memiliki konsep formalism (abstrak). Sementara film fiksi berada persis di tengah-tengah dua kutub tersebut.

Berikut adalah uraian dan pengertian tentang film dokumenter. Kunci utama dari film dokumenter adalah penyajian fakta. Film dokumenter berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata. Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa atau kejadian namun merekam peristiwa yang sunguh-sungguh terjadi atau otentik. Tidak seperti film fiksi, film dokumenter tidak memiliki plot namun memilikistruktur yang umumnya didasarkan oleh tema atau argument dari sineasnya. Film dokumnter juga tidak memiliki tokoh protagonist dan antagonis, konflik serta penyelesaian seperti halnya film fiksi. Struktur bertutur film dokumenter umumnya sederhana dengan tujuan agar memudahkan penonton untuk memahami dan mmpercayai fakta-fakta yang disajikan. Contohnya adalah Nanook of the North (1919) yang dianggap sebagai salah satu film dokumenter tertua. Film ini dengan sederhana menggambarkan keseharian warga suku Eskimo di Kutub Utara. Film dokumenter dapat digunakan untuk berbagai macam maksud dan tujuan seperti informasi atau berita, biografi, pengetahuan, pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dsb.

benar-benar terjadi. Produksi film dokumenter jenis ini dapat dibuat dalam waktu yang singkat, hingga berbulan-bulan. Film dokumenter juga dapat merekrontuksi ulang sebuah peristiwa yang pernah terjadi.

Film dokumenter memiliki berapa karakter teknis yang khas yang tujuan utamanya untuk mendapatkan kemudahan, kecepatan, flesibilitas, efektifitas, serta otentisnya peristiwa yang akan direkam. Umumnya film dokumenter memiliki bentuk sederhana dan jarang sekali menggunakan efek visual. Jenis kamera umumnya ringan (kamera tangan) serta menggunakan lensa zoom, stock film cepat (sensitif cahaya), serta prekam suara portable (mudah dibawa) sehingga kemungkinan untuk pengambilan gambar dengan kru minim dua orang. Efek suara serta ilustrasi music juga jarang digunakan. Dalam memberikan informasi pada penontonnya sering menggunakan narator untuk membawakan narasi atau dapat pula menggunkan metode interview (wawancara).

2. Sejarah Film Dokumenter

Film dokumenter tidak seperti halnya film fiksi (cerita) merupakan sebuah rekaman peristiwa yang diambil dari kejadian yang nyata atau sungguh-sungguh terjadi. Definisi “dokumenter” sendiri selalu berubah sejalan dengan perkembangan film dokumenter dari masa ke masa. Sejak era film bisu, film dokumenter berkembang dari bentuk yang sederhana menjadi semakin kompleks dengan jenis dan fungsi yang semakin bervariasi. Inovasi teknologi kamera dan suara memiliki peran penting bagi perkembangan film dokumenter. Sejak awalnya film dokumenter hanya mengacu pada produksi yang menggunakan format film (seluloid) namun selanjutnya berkembang hingga kini menggunakan Film dokumenter tidak seperti halnya film fiksi (cerita) merupakan sebuah rekaman peristiwa yang diambil dari kejadian yang nyata atau sungguh-sungguh terjadi. Definisi “dokumenter” sendiri selalu berubah sejalan dengan perkembangan film dokumenter dari masa ke masa. Sejak era film bisu, film dokumenter berkembang dari bentuk yang sederhana menjadi semakin kompleks dengan jenis dan fungsi yang semakin bervariasi. Inovasi teknologi kamera dan suara memiliki peran penting bagi perkembangan film dokumenter. Sejak awalnya film dokumenter hanya mengacu pada produksi yang menggunakan format film (seluloid) namun selanjutnya berkembang hingga kini menggunakan

Sejak awal ditemukannya sinema, para pembuat film di Amerika dan Perancis telah mencoba mendokumentasikan apa saja yang ada di sekeliling mereka dengan alat hasil temuan mereka. Seperti Lumiere Bersaudara, mereka merekam peristiwa sehari-hari yang terjadi di sekitar mereka, seperti para buruh yang meninggalkan pabrik, kereta api yang masuk stasiun, buruh bangunan yang bekerja, dan lain sebagainya. Bentuknya masih sangat sederhana (hanya satu shot) dan durasinya pun hanya beberapa detik saja. Film-film ini lebih sering diistilahkan “actuality films”. Beberapa dekade kemudian sejalan dengan penyempurnaan teknologi kamera berkembang menjadi film dokumentasi perjalanan atau ekspedisi, seperti South (1919) yang mengisahkan kegagalan sebuah ekspedisi ke Antartika.

Tonggak awal munculnya film dokumenter secara resmi yang banyak diakui oleh sejarawan adalah film Nanook of the North (1922) karya Robert Flaherty. Filmnya menggambarkan kehidupan seorang Eskimo bernama Nanook di wilayah Kutub Utara. Flaherty menghabiskan waktu hingga enam belas bulan lamanya untuk merekam aktifitas keseharian Nanook beserta istri dan putranya, seperti berburu, makan, tidur, dan sebagainya. Sukses komersil Nanook membawa Flaherty melakukan ekspedisi ke wilayah Samoa untuk memproduksi film dokumenter sejenis berjudul Moana (1926). Walau tidak sesukses Nanook namun melalui film inilah pertama Tonggak awal munculnya film dokumenter secara resmi yang banyak diakui oleh sejarawan adalah film Nanook of the North (1922) karya Robert Flaherty. Filmnya menggambarkan kehidupan seorang Eskimo bernama Nanook di wilayah Kutub Utara. Flaherty menghabiskan waktu hingga enam belas bulan lamanya untuk merekam aktifitas keseharian Nanook beserta istri dan putranya, seperti berburu, makan, tidur, dan sebagainya. Sukses komersil Nanook membawa Flaherty melakukan ekspedisi ke wilayah Samoa untuk memproduksi film dokumenter sejenis berjudul Moana (1926). Walau tidak sesukses Nanook namun melalui film inilah pertama

Sukses Nanook juga menginspirasi sineas-produser Merian C. Cooper dan Ernest B. Schoedsack untuk memproduksi film dokumenter penting, Grass: A Nation's Battle for Life (1925) yang menggambarkan sekelompok suku lokal yang tengah bermigrasi di wilayah Persia. Kemudian berlanjut dengan Chang: A Drama of the Wilderness (1927) sebuah film dokumenter perjalanan yang mengambil lokasi di pedalaman hutan Siam (Thailand). Eksotisme film-film tersebut kelak sangat mempengaruhi produksi film (fiksi) fenomenal produksi Cooper, yaitu King Kong (1933). Di Eropa, beberapa sineas dokumenter berpengaruh juga bermunculan. Di Uni Soviet, Dziga Vertov memunc ulkan teori “kino eye”. Ia berpendapat bahwa kamera dengan semua tekniknya memiliki nilai lebih dibandingkan mata manusia. Ia mempraktekkan teorinya melalui serangkaian seri cuplikan berita pendek, Kino Pravda (1922), serta The Man with Movie Camera (1929) yang menggambarkan kehidupan keseharian kota-kota besar di Soviet. Sineas-sineas Eropa lainnya yang berpengaruh adalah Walter Ruttman dengan filmnya, Berlin - Symphony of a Big City ( 1927) lalu Alberto Cavalcanti dengan filmnya Rien Que les Heures.

b. Era Menjelang dan Masa Perang Dunia

Film dokumenter berkembang semakin kompleks di era 30-an.

Pemerintah, institusi, serta perusahaan besar mulai mendukung produksi film-film dokumenter untuk kepentingan yang beragam. Salah satu film yang paling berpengaruh adalah Triump of the Will (1934) karya sineas wanita Leni Riefenstahl, yang digunakan sebagai alat propaganda Nazi. Untuk kepentingan yang sama, Riefenstahl juga memproduksi film dokumenter penting lainnya, yakni Olympia (1936) yang berisi dokumentasi even Olimpiade di Berlin. Melalui teknik editing dan kamera yang brilyan, atlit-atlit Jerman sebagai simbol bangsa Aria diperlihatkan lebih superior ketimbang atlit-atlit negara lain.

Di Amerika, era depresi besar memicu pemerintah mendukung para sineas dokumenter untuk memberikan informasi seputar latar- belakang penyebab depresi. Salah satu sineas yang menonjol adalah Pare Lorentz. Ia mengawali dengan The Plow that Broke the Plains (1936), dan sukses film ini membuat Lorentz kembali dipercaya memproduksi film dokumenter berpengaruh lainnya, The River (1937). Kesuksesan film-film tersebut membuat pemerintah Amerika serta berbagai institusi makin serius mendukung proyek film-film dokumenter. Dukungan ini kelak semakin intensif pada dekade mendatang setelah perang dunia berkecamuk.

Perang Dunia Kedua mengubah status film dokumenter ke tingkat yang lebih tinggi. Pemerintah Amerika bahkan meminta bantuan industri film Hollywood untuk memproduksi film-film

publik dapat menyaksikan kejadian dan peristiwa di medan perang melalui film dokumenter serta cuplikan berita pendek yang diputar secara reguler di teater-teater. Beberapa sineas papan atas Hollywood, seperti Frank Capra, John Ford, William Wyler, dan John Huston diminta oleh pihak militer untuk memproduksi film-film dokumenter Perang. Capra misalnya, memproduksi tujuh seri film dokumenter panjang bertajuk, Why We Fight (1942-1945) yang dianggap sebagai seri film dokumenter propaganda terbaik yang pernah ada. Capra bahkan bekerja sama dengan studio Disney untuk membuat beberapa sekuen animasinya. Sementara John Ford melalui The Battle of Midway (1942) dan William Wyler melalui Memphis Belle (1944) keduanya juga sukses meraih piala Oscar untuk film dokumenter terbaik.

c. Era Pasca Perang Dunia

Pada era setelah pasca Perang Dunia Kedua, perkembangan film dokumenter mengalami perubahan yang cukup signifikan. Film dokumenter makin jarang diputar di teater-teater dan pihak studio pun mulai menghentikan produksinya. Semakin populernya televisi menjadikan pasar baru bagi film dokumenter. Para sineas dokumenter senior, seperti Flaherty, Vertov, serta Grierson sudah tidak lagi produktif seperti pada masanya dulu. Sineas-sineas baru mulai bermunculan dan didukung oleh kondisi dunia yang kini aman dan damai makin memudahkan film-film mereka dikenal dunia

membantu mereka melakukan berbagai inovasi teknik. Tema dokumenter pun makin meluas dan lebih khusus, seperti observasi sosial, ekspedisi dan eksplorasi, liputan even penting, etnografi, sen idan budaya, dan lain sebagainya. Sineas Swedia, Arne Sucksdorff menggunakan lensa telefoto dan kamera tersembunyi untuk merekam kehidupan satwa liar dalam The Great Adventure (1954); Oceanografer Jeacques Cousteau memproduksi beberapa seri film dokumenter kehidupan bawah laut, seperti The Silent World (1954); Observasi kota tampak melalui karya Frank Stauffacher, Sausalito (1948) serta Francis Thompson, N.Y., N.Y. (1957). Mengikuti gaya eksotis Flaherty, John Marshall memproduksi The Hunters (1956) mengambil lokasi di gurun Kalihari di Afrika. Lalu Robert Gardner memproduksi salah satu film antropologis penting, Dead Birds (1963) yang menggambarkan suku Dani di Indonesia dengan ritual perangnya. Di Perancis, beberapa sineas berpengaruh seperti Alan Resnais, Georges Franju, serta Chris Marker lebih terfokus pada masalah seni dan budaya. Resnais mencuat namanya setelah filmnya, Van Gogh (1948) meraih penghargaan di Venice dan Academy Award. Franju memproduksi beberapa film dokumenter berpengaruh seperti Blood of the Beast (1948) dan Hotel des invalides (1951). Sementara Marker memproduksi Sunday in Peking (1956) dan Letter from Siberia (1958).

d. Direct Cinema d. Direct Cinema

dikenal dengan banyak istilah, seperti “candid” cinema, “uncontrolled” cinema, hingga cinéma vérité (di Perancis), namun secara umum dikenal dengan istilah Direct Cinema. Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya tren ini, yakni gerakan Neorealisme Italia yang menyajikan keseharian yang realistik, inovasi teknologi kamera 16mm yang lebih kecil dan ringan, inovasi perekam suara portable, serta pengisi acara televisi yang popularitasnya semakin tinggi. Pendekatan Direct Cinema terutama banyak digunakan sineas asal Amerika, Kanada, dan Perancis.

Di Amerika, pengusung Direct Cinema yang paling berpengaruh adalah Robert Drew, seorang produser yang juga jurnalis foto. Drew membawahi beberapa sineas dokumenter berpengalaman seperti, Richard Leacock, Don Pannebaker, serta David dan Albert Maysles. Drew memproduksi film-film dokumenter yang lebih ditujukan untuk televisi, satu diantaranya yang paling berpengaruh adalah Primary (1960). Film ini menggambarkan kontes politik antara John Konnedy dan Hubert Humprey di Wisconsin. Drew bersama para asistennya merekam momen demi momen secara spontan. Secara

ketika tengah bersantai di hotel. Dalam perkembangan Leacock, Pannebaker, dan Maysles meninggalkan perusahaan milik Drew dan membentuk perusahaan mereka sendiri. Beberapa diantaranya memproduksi film-film dokumenter penting, seperti What’s Happening! The Beatles in New York (1964) arahan Maysles Bersaudara yang dianggap merupakan film dokumenter Amerika pertama tanpa penggunaan narasi sama sekali. Di Perancis, salah satu pengusung cinéma vérité yang paling berpengaruh adalah Jean Rouch. Salah satu karyanya yang dianggap paling berpengaruh (bahkan di dunia) adalah Cronicle of a Summer (1961). Rouch berkolaborasi dengan sosiologis, Edgar Morin menggunakan pendekatan baru cinéma vérité, yakni tidak hanya semata-mata

melakukan observasi dan bersimpati namun juga provokasi. “You push these people to confess themselves… it’s very strange kind of confession in front of the camera, where the camera is, l et’s say, a mirror, and also a window open to the outside ” ungkap Rouch. Dalam filmnya tampak Morin berdiskusi dengan pelajar serta para pekerja di Kota Paris tentang kehidupan mereka dengan melayangkan

pertanyaan kunci, “Are you happy?”. Rouch membiarkan subyeknya mendefinisikan sendiri masalah mereka secara alamiah melalui

performa mereka di depan kamera.

Sejak pertengahan 60-an, pengembangan teknologi kamera 16mm dan 35 mm yang semakin canggih serta ringan makin Sejak pertengahan 60-an, pengembangan teknologi kamera 16mm dan 35 mm yang semakin canggih serta ringan makin

e. Warisan Direct Cinema dan Perkembangannya Hingga Kini Dalam perkembangannya, Direct Cinema terbukti sebagai kekuatan yang berpengaruh sepanjang sejarah film dokumenter. Berbagai pengembangan serta inovasi teknik serta tema bermunculan dengan motif yang makin bervariasi. Salah satu bentuk variasi dari

Direct Cinema yang paling populer adalah “rockumentaries” (dokumentasi musik rock). Rockumentaries memiliki bentuk serta jenis yang beragam. Let it Be (1970) memperlihatkan grup musik legendaris The Beatles yang tengah mempersiapkan album mereka. Woodstock: Three Days of Peace & Music (1970) garapan Michael Wadleigh merupakan dokumentasi dari festival musik tiga hari di sebuah lahan pertanian yang menampilkan beberapa musisi rock papan atas. Woodstock sering dianggap sebagai film dokumenter musik terbaik sepanjang masa dan menjadi dasar berpijak bagi film-

Spinal Tap (1984) merupakan sebuah parodi rockumentary yang terbukti paling sukses komersil pada masanya.

Tradisi Direct Cinema juga tampak pada film-film kontroversial karya Fredrick Wiseman. Film-filmnya banyak bersinggungan dengan kontrol sosial, berkait erat dengan birokrasi dan bagaimana masyarakat dibuat frustasi olehnya. Dalam film debutnya, High School (1968) memperlihatkan bagaimana para siswa berontak melawan birokrasi di sekolah mereka. Maysles Bersaudara memproduksi film “Direct Cinema” Amerika berpengaruh, Salesman (1966) yang menggambarkan seorang salesman yang gagal. Sejak era 70-an, format film dokumenter mulai berubah melalui kombinasi pendekatan Direct Cinema, kompilasi footage, narasi, serta iringan musik. Salah satu sineas yang mempelopori format kombinasi ini adalah Emile De Antonio melalui film anti perangnya, Vietnam: In

the Year’s of the Pig (1969). Dalam perkembangannya format ini mendominasi gaya film dokumenter selama beberapa dekade ke depan. Munculnya format digital juga semakin memudahkan siapa pun untuk memproduksi film dokumenter. Kritik sosial dan politik, lingkungan hidup, serta keberpihakan kaum minoritas masih menjadi menu utama tema film dokumenter beberapa dekade ke depan.

Beberapa sineas dokumenter berpengaruh muncul selama periode 70-an hingga kini. Erol Morris memproduksi film-film dokumenter unik dengan tema dan subyek yang tak lazim, seperti

buruh, yakni, Harlan County, USA (1976) dan American Dream (1990). Michael Moore gemar melakukan kritik sosial dan politik melalui film-filmnya Roger and Me (1989), Bowling for Columbine (2001), Fahrenheit 9/11 (2004) serta Sicko. Kevin Rafferty dikenal melalui film-filmnya seperti The Atomic Café (1982) dan The Last Cigarettes (1999). Pendekatan eksotis Flaherty juga masih tampak dalam film peraih Oscar, March of the Penguins (2005) yang tercatat sebagai film dokumenter terlaris sepanjang masa. Selama sejarah perkembangannya, film dokumenter terbukti dapat lebih manipulatif ketimbang film-film fiksi komersil. Film dokumenter melalui penyajian dan subyektifitasnya seringkali cenderung menggiring kita untuk memihak. Masalah etika dan moral selalu dipertanyakan. Sineas dokumenter seyogyanya tidak hanya mampu menyajikan fakta namun juga kebenaran (http://montase.blogspot.com)

3. Dokumenter dan “Pembungkusnya”

Melakukan perjalanan dengan mencatat berbagai peristiwa melalui berbagai cara tentunya memiliki keasyikan tersendiri, Seperti yang dilakukan oleh Christopher Columbus sampai Ibnu Batuta, mereka memiliki jurnal perjalanan yang pada akhirnya menjadi bukti kehebatan sejarah kehidupan mereka, yaitu tentang filosofi dan keinginan mereka untuk menceritakan apa yang mereka lihat dan rasakan.

Perkembangan teknologi saat ini semakin memudahkan kita untuk saling berhubungan satu sama lain. Melalui foto atau video, kita dapat membuat catatan Perkembangan teknologi saat ini semakin memudahkan kita untuk saling berhubungan satu sama lain. Melalui foto atau video, kita dapat membuat catatan

Kita tidak perlu melalukan perjalanan menuju Timbuktu atau Papua New Guinea seperti yang dilakukan Kira Salak seorang penulis traveling yang mendapatkan penghargaan dari National Geographic Emerging Explorer dan PEN Award, karena mendokumentasikan kisah perjalanan baik melalui tulisan, foto, ataupun video merupakan pengalaman personal masing-masing orang. Sekalipun kita sama-sama menuliskan perjalanan dari Jakarta ke Bandung, tentu saja gaya mengemas tulisan akan berbeda satu sama lain. Mengapa orang melakukan catatan perjalanan baik dalam bentuk tulisan (blog), foto, maupun video, karena itu semua merupakan suatu usaha untuk “membungkus” kenangan atau menyimpan sejarah dari apa yang kita alami. Sewaktu melakukan perjalanan berkeliling Asia dan Eropa, selain melakukan penulisan dalam blog, juga melakukan dokumentasi dalam bentuk video untuk merekam setiap perjalanan yang saya tempuh. Membuat film dokumenter boleh dibilang gampang-gampang susah. Membuat film dokumenter diperlukan kepekaan insting yang kuat karena si pembuat film tidak mengolah set dan adegan. Semua kembali kepada sang sineas bagaimana ia mampu mengolah apa yang ia lihat melalui teknik-teknik bahasa visual yang bisa mewujudkan apa yang ia rasakan dan lihat.

Film dokumenter boleh jadi tidak semurni yang kita tonton. Entah banyak atau sedikit, selalu ada faktor “tangan-tangan” sineas yang mengolah rupa “adegan” sesuai tuntutan yang ada. Ide untuk membuat film dokumenter yang Film dokumenter boleh jadi tidak semurni yang kita tonton. Entah banyak atau sedikit, selalu ada faktor “tangan-tangan” sineas yang mengolah rupa “adegan” sesuai tuntutan yang ada. Ide untuk membuat film dokumenter yang

Cara yang unik dalam kasus diatas juga dilakukan stasiun TV Hongkong (RHTK). Saat mereka mengolah sebuah traveling show di kota-kota menarik di Asia, cara yang mereka lakukan agar lebih masuk ke kultur bersangkutan adalah dengan memakai host (pembawa acara) setempat. (http://montase.blogspot.com)

B. Tinjauan tentang Komunikasi

1. Pengertian Komunikasi

Pada hakekatnya dalam kehidupan sehari-hari tidak akan lepas dari komunikasi. Hal tersebut dikarenakan komunikasi merupakan hal yang paling dasar yang pasti dilakukan oleh setiap manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Adapun pengertian komunikasi ada banyak teori diantaranya adalah sebagai berikut:

a. M. Gani dalam buku “Komunikasi dalam Praktek” menerangkan

bahwa komunikasi adalah hubungan dengan kata-kata, surat atau pesan, pertukaran pikiran atau opini. (Gani, 1978; 41)

b. William Albig dalam buku “Tanya Jawab Dasar-Dasar Jurnalistik”

menerangkan bahwa komunikasi adalah proses pengoperan lambang- lambang yang berarti. (Albig, 1978; 52)

c. Noel Gist dalam buku “Tanya Jawab Dasar-Dasar Jurnalistik” menerangkan bahwa komunikasi adalah proses yang mana seorang komunikator mengoper c. Noel Gist dalam buku “Tanya Jawab Dasar-Dasar Jurnalistik” menerangkan bahwa komunikasi adalah proses yang mana seorang komunikator mengoper

2. Proses Komunikasi

Menurut Courtland dan Jhon V. Thil proses komunikasi terbagi menjadi lima tahap, yaitu:

a. Pengiriman mempunyai suatu ide atau gagasan.

b. Ide atau gagasan diubah menjadi suatu pesan.

c. Proses pemindahan pesan.

d. Penerima menerima pesan.

e. Penerima memberi tanggapan dan mengirim umpan balik kepada pengirim. Dari pengertian komunikasi di atas tampak adanya komponen atau unsur- unsur yang dicakup yang merupakan syarat terjadinya komunikasi. Dalam bahasa komunikasi komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut:

a. Komunikator :

Orang yang menyampaikan pesan

b. Pesan

Pernyataan yang didukung oleh lambang

c. Komunikan

Orang yang menerima pesan

d. Media

Sarana atau saluran yang mendukung pesan

e. Efek

Dampak sebagai pengaruh dari pesan

f. Decoding : Proses ketika komunikan mengartikan simbol- simbol

g. Encoding

Penulisan dalam bentuk sandi yang merupakan proses pengungkapan pendapat yang berhubungan dengan produk dalam bentuk-bentuk simbol.

Hal penting dalam komunikasi adalah bagaimana caranya agar pesan yang disampaikan komunikator itu menimbulkan dampak atau efek tertentu pada komunikan.

3. Sarana dan Alat Komunikasi

Mengenai sarana komunikasi atau alat komunikasi sebagian besar kita telah mengetahuinya, dalam komunikasi kita membaginya menjadi dua bagian yaitu:

a. Komunikasi secara Non Visual Maksudnya adalah komunikasi yang dilakukan dengan media selain visual atau alat pengelihatan. Media komunikasi secara non visual diantaranya adalah: alat bunyi-bunyian, radio, tape recorder, dan lain-lain.

b. Komunikasi secara Visual Maksudnya adalah komunikasi yang menggunakan alat yang bisa ditangkap secara visual atau indera penglihatan. Alat-alat visual adalah alat-alat yang dapat memperlihatkan rupa atau bentuk yang kita kenal sebagai alat peraga.

1) Alat visual dua dimensional Alat visual dua dimensional adalah alat yang dapat memperlihatkan rupa atau bentuk pada bidang dua dimensional. Pada bidang transparan, contohnya: slide, lembaran transparan untuk overhead projector. Pada bidang yang tidak transparan contohnya: poster, gambar majalah, koran, dan lain-lain.

2) Alat visual tiga dimensional Disebut tiga dimensional karena memiliki ukuran panjang, lebar dan tinggi, contohnya; Dealer Help, Packaging, Totem Sign dan lain

4. Hambatam Komunikasi

Hambatan komunikasi disebabkan oleh dua faktor, yaitu hambatan yang ditimbulkan oleh komunikan dan komunikator. Proses komunikasi berlangsung dalam konteks situasional. Hal ini bahwa komunikator harus memperhatikan situasi ketika komunikasi sedang berlangsung, terutama situasi yang dihubungkan dengan faktor-faktor sosiologis dan antropologis.

a. Hambatan Sosiologis Hambatan sosiologis adalah hambatan yang disebabkan karena adanya berbagai golongan dan lapisan masyarakat, yang menimbulkan perbedaan dalam satus sosial, agama, ideologi, tingkat pendidikan, tingkat kekayaan dan sebagainya yang semuanya dapat menjadi hambatan bagi kelancaran komunikasi.

b. Hambatan Antropologis Hambatan antropologis adalah hambatan yang ditimbulkan karena kekurangtahu an mengenai masalah “siapa” komunikan yang dijadikan sasaran. “siapa” di sini bukan berarti nama yang disandang, melainkan ras apa, bangsa apa, atau suku apa. Dengan mengenal dirinya akan mengenal pilar kebudayaannya, kebiasaan dan bahasanya yang hal tersebut sering menjadikan hambatan dalam komunikasi.

c. Hambatan Psikologis Hambatan ini terjadi karena faktor psikologis yang dialami oleh komunikator. Hal ini biasanya disebabkan karena komunikator sebelum melancarkan komunikasi tidak mengkaji diri komunikasi terlebih dahulu.

bingung, marah, merasa kecewa, iri hati, serta beberapa tanda-tanda/kondisi psikologis lainnya.

d. Hambatan Sematis Kalau hambatan sosiologis, antropologis dan psikologis terdapat pada pihak komunikan, maka hambatan sematis terdapat pada diri komunikator. Faktor semantis menyangkut bahasa yang dipergunakan komunikator sebagai “alat” untuk menyalurkan pikiran dan perasaan kepada komunikan. Dalam komunikasi seorang komunikator harus benar-benar memperhatikan gangguan sematis ini, sebab salah ucap atau salah tulis dapat menimbulkan salah pengertian atau salah tafsir yang pada gilirannya bisa menimbukan salah komunikasi.

e. Hambatan Mekanis Hambatan mekanis dapat sering dijumpai pada media yang digunakan dalam melakukan proses antar komunikasi.

f. Hambatan Ekologi Hambatan yang terjadi akibat gangguan lingkungan terhadap proses berlangsungnya komunikasi. Biasa pada proses komunikasi tatap muka.

5. Komunikasi yang Efektif

Dalam memberikan informasi yang tepat, diperlukan aktivitas komunikasi yang efektif antara media promosi dan film dokumenter dengan penonton film dok umenter “Pasarku Budayaku”. Agar dapat mencapai apa yang menjadi tujuan dari komunikasi itu (kembalinya hasrat masyarakat kota Solo untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya di pasar tradisional dan menjadikan pasar tradisional di

Komunikasi yang efektif, menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, paling tidak menimbulkan 5 hal, yaitu:

a. Pengertian Pengertian artinya penerimaan yang cermat dari isi stimuli seperti yang dimaksud oleh komunikator. Kegagalan menerima isi pesan secara cermat disebut kegagalan komunikasi primer (primary breakdown in communication).

b. Kesenangan Tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan informasi dan membentuk pengertian. Komunikasi yang dimaksudkan untuk menimbulkan kesenangan, lazim disebut komunikasi fatis (phatis communications).

c. Mempengaruhi Sikap Tujuan yang paling sering dari dilakukannya komunikasi adalah untuk

mempengaruhi orang lain. Persuasi didefinisikan sebagai “proses mempengaruhi pendapat, sikap dan tindakan orang dengan menggunakan

manipulasi psikologis sehingga orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya sendiri”.

d. Hubungan Sosial yang Baik Komunikasi juga ditujukan untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Kebutuhan sosial adalah kebutuhan untuk menumbuhkan dan mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan orang lain dalam hal interaksi dan asosiasi (inclusion), pengendalian dan kekuasaan (control), dan kasih sayang (affection).

e. Tindakan e. Tindakan

Merujuk pada pengertian-pengertian di atas mengenai komunikasi dalam upaya memenuhi kebutuhan kegiatan-kegiatan bisnis dan menjadi destinasi dalam berkesplorasi yang dapat diukur keefektifannya, melalui salah satu aspek efek

komunikasi yaitu “tidakan”. Tindakan yang dimaksud di sini adalah tindakan yang dilakukan oleh masyarakat koa Solo yang kembali menjadikan pasar

tradisional sebagai tempat bertransaksi jual beli barang kebutuhan pokok mereka dan para wisatawan yang merindukan sebuah suasana yang tradisional di kota Solo yaitu pasar tradisional sebagai tempat wisata.

Kata efektifitas itu sendiri secara umum sering diartikan sebagai hasil yang dikehendaki dari suatu tindakan atau pekerjaan. Suatu tindakan atau pekerjaan dapat dikatakan efektif bila tindakan atau pekerjaan itu mamberikan suatu hasil yang dikehendaki.

Dalam Ensiklopedi Indonesia dikemukakan bahwa “efektifitas adalah menunjukkan pada taraf tercapainya tujuan. Suatu usaha dikatakan efektif kalau usaha itu mencapai tujuan”.

Tercapainya tujuan atau sasaran yang dikehendaki berarti merupakan unsur pokok dari efektifitas, sebagaimana dikatakan oleh Barnard bahwa “Yang kami

artikan sebagai efektifitas adalah pencaipaian sasaran yang telah disepakati atas usaha bersama. Tingkat pendapat sasaran itu menunjukkan tingkat efektifitas.”

(Gibson, Ivancevich, Donelly, 1987; 27) Jadi dengan demikian efektifitas dapat diartikan sebagai keberhasilan dalam (Gibson, Ivancevich, Donelly, 1987; 27) Jadi dengan demikian efektifitas dapat diartikan sebagai keberhasilan dalam