Pertanggungjawaban Pidana Peserta (deelneming) Dalam Demonstrasi Yang Bersifat Anarki.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PESERTA
(DEELNEMING) DALAM DEMONSTRASI YANG BERSIFAT ANARKI
(STUDI PUTUSAN ATAS NAMA TERDAKWA
ROBERT SANTONI SITORUS)
S K R I P S I
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
IMMANUEL L TOBING NIM : 060200214
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
(2)
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PESERTA
(DEELNEMING) DALAM DEMONSTRASI YANG BERSIFAT ANARKI
(STUDI PUTUSAN ATAS NAMA TERDAKWA
ROBERT SANTONI SITORUS)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
IMMANUEL L TOBING NIM : 060200214
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Abul Khair, SH, M. Hum NIP: 196107021989031001
DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II
Prof. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum Nurmalawaty, SH, M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
(3)
ABSTRAKSI
Immanuel L Tobing*
Prof. Saffrudin Kalo, SH, M.Hum** Nurmalawaty, SH, M,Hum***
Skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Peserta (deelneming) Dalam Demonstrasi Yang Bersifat Anarki” membahas tentang bagaimana sesungguhnya pertanggungjawaban seorang peserta yang turut serta dalam demonstrasi yang bersifat anarki yang menyebabkan terganggunya ketertiban umum bahkan membuat adanya korban yang meninggal pada saat demonstrasi itu terjadi.
Hal inilah yang melatarbelakangi ketertarikan penulis untuk menulis skripsi ini dengan beberapa permasalahan yaitu bagaimanakah perkembangan demokrasi di Indonesia sebelum dan sesudah era reformasi, Bagaimanakah Tinjauan Demonstrasi Yang Bersifat Anarki Dalam Hukum Positif Indonesia dan Bagaimana Pertanggungjawaban Peserta (Deelneming) Dalam Demonstrasi Yang Bersifat Anarki. Penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalaha-permasalahan di atas adalah penelitian hokum normatif dengan menggunakan putusan pengadilan sebagai pembahasan. Penelitian hokum ini juga disebut dengan penelitian kepustakaan disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan dan juga dengan menggunakan putusan pengadilan.
Demonstrasi yang bersifat anarki melanggar Pasal 146, 192, 193, 200, 201 KUHP dan tentunya melanggar Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Demonstrasi anarki ini sering terjadi karena adanya kepentingan bagi sekelompok orang yang menyebabkan pemaksaan kehendak agar kehendak yang diinginkan sekelompok orang itu dapat tercapai, selain itu kurangnya pemahaman dari arti sebuah kemerdekaan menyampaikan pendapat yang menyebabkan kemerdekaan ini disalah gunakan sehingga terjadi demonstrasi yang bersifat anarki.
*
Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara
**
Dosen Pembimbing I dan Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara
***
Dosen pembimbing II dan Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara
(4)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas berkat dan anugerahNya, penulis dapat menyelesaikan menyusun skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Peserta (deelneming) Dalam Demonstrasi Yang Bersifat Anarki”
Penyusunan ini dilakukan untuk memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Medan
Untuk orang tua penulis yang sangat mendukung dan senantiasa memberi masukan atas pengerjaan skripsi ini. Dan untuk seluruh keluarga yang turut membantu atas penyelesaian skripsi ini, hanya beribu terima kasih yang dapat penulis ucapkan
Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Rasa terima kasih dan penghargaan ini penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;
2. Bapak Abul Khair, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana;
3. Bapak Prof. Safruddin kalo, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I penulis yang banyak membantu dan memberikan saran dalam penyiapan judul diawal pembuatan skripsi ini, dan membimbing penulis dalam menyiapkan skripsi ini serta membantu penulis dikala mengalami kesulitan;
(5)
4. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II penulis yang banyak membantu dan memberikan saran dalam penyiapan judul diawal pembuatan skripsi ini, dan membimbing penulis dalam menyiapkan skripsi ini serta membantu penulis dikala mengalami kesulitan;
5. Bapak M. Hayat, SH, M.Hum selaku Dosen Akademik penulis, dimana telah banyak membantu penulis selama di bangku perkuliahan; 6. Untuk semua Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
terutama Dosen Jurusan Hukum Pidana;
7. Untuk orangtua yang paling saya cintai, untuk bapak B.S.L Tobing dan mama E. Saragih, terima kasih buat doa dan dukungannya serta kasih saying yang diberikan kepada penulis selama ini dari membesarkan anakmu hingga mendapatkan gelar Sarjana Hukum ini, hanya ucapan terima kasih dan doa yang dapat penulis berikan;
8. Untuk kakak dan adik saya, Riris Tobing dan Togi Tobing atas bantuan dan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 9. Keluarga Saragih dan Lumban tobing atas doa dan dukungannya;
10.Untuk anak-anak GTz yang dasyat (Andri Manurung, Christian Sitompul, Janky Sihotang, Donris Sihaloho, Tondy Sianturi, Frans Daniel Sitorus, Archiman Simbolon, Raza Gurusinga, Chipnus) yang telah banyak membantu penulis dalam hal-hal semasa kuliah dan
(6)
membantu penulis dalam penulisan skripsi ini, terima kasih sahabat-sahabatku, pertemanan yang paling dasyhat kudapat dari kalian semua; 11.Untuk pacar saya Julieta Santi Simorangkir yang banyak membantu
perkuliahan penulis dan penulisan skripsi dan yang telah memberikan semangat dan doa bagi penulis menyelesaikan skripsi ini;
12.Untuk teman-teman seangkatan stambuk 2006 (Ruth Ginting, David butar-butar khusunya dan semua anak grup D), terima kasih atas
doa dan dukungannya;
13.Untuk teman-teman akrabku di soho (Ricky Matondang, Egy Arjuna Ginting, Tesa, Ode Silalahi dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu) terima kasih buat semua bantuan di dalam segala hal dan doa serta dukungannya;
14.Untuk teman-teman dan semua kakanda-kakanda di Wamar(Jery, David, BaDronk, Putra, Nimrot, semuanya) terima kasih buat pengalaman dan dukungan serta doa dari semua;
15.Untuk teman-teman, kakanda-kakanda, adinda-adinda segerakan GMKI Komisariat Hukum USU terima kasih buat segala pengalaman dan doanya;
16.Untuk kakak-kakak saya 05 (kak juita, kak adel, kak grace)yang telah banyak membantu dan mendukung saya dalam menulis skripsi ini, terima kasih juga buat doa dan bantuannya member masukan kepada saya.
(7)
Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan mamfaat bagi yang membacanya, meskipun penulis menyadari kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.
Medan, Nopember 2010 Penulis,
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAKSI ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... vi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah Penelitian ... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5
D. Keaslian Penulisan ... 6
E. Tinjauan Kepustakaan ... 6
1. Pertanggungjawaban Pidana ... 6
2. Pengertian Demonstrasi ... 8
3. Pengertian Anarki ... 10
4. Tinjauan Penyertaan (Deelneming) ... 12
F. Metode Penelitian ... 23
G. Sistematika Penulisan ... 24
BAB II : PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA YANG DITUANGKAN DALAM UNJUK RASA (DEMONSTRASI) SEBAGAI HAK DALAM MENGEMUKAKAN PENDAPAT ... 27
(9)
A. Sejarah Perkembangan Demokrasi di Indonesia ... 27 B. Unjuk Rasa Sebelum Reformasi ... 30 C. Unjuk Rasa Setelah Reformasi ... 32
BAB III : PENGATURAN HUKUM TERHADAP
DEMONSTRASI YANG BERSIFAT ANARKI DI DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA ... 35 A. Pengaturan Terhadap Demonstrasi yang Bersifat
Anarki di Dalam KUHP ... 35 B. Pengaturan Terhadap Demonstrasi yang Bersifat
Anarki di Luar KUHP ... 40 BAB IV : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PESERTA
(DEELNEMING) DALAM DEMONSTRASI YANG
BERSIFAT ANARKI SERTA ANALISIS KASUSNYA ... 50 A. Sistem Pemidanaan Dalam Deelneming ... 50
1. Pembagian Penyertaan di Dalam KUHP ... 50 2. Sistem Pemidanaan/Pembebanan Tanggung Jawab
Pidana ... 55
B. Putusan Pengadilan Negeri No.
1.778/Pid.B/2009/PN.Mdn ... 58 C. Putusan Pengadilan Tinggi No.
740/PID/2009/PT-MDN ... 72 D. Putusan Kasasi No. 411/K/Pid/2010 ... 73 E. Analisa Kasus ... 73
(10)
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 82
A. Kesimpulan ... 82
B. Saran ... 83
(11)
ABSTRAKSI
Immanuel L Tobing*
Prof. Saffrudin Kalo, SH, M.Hum** Nurmalawaty, SH, M,Hum***
Skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Peserta (deelneming) Dalam Demonstrasi Yang Bersifat Anarki” membahas tentang bagaimana sesungguhnya pertanggungjawaban seorang peserta yang turut serta dalam demonstrasi yang bersifat anarki yang menyebabkan terganggunya ketertiban umum bahkan membuat adanya korban yang meninggal pada saat demonstrasi itu terjadi.
Hal inilah yang melatarbelakangi ketertarikan penulis untuk menulis skripsi ini dengan beberapa permasalahan yaitu bagaimanakah perkembangan demokrasi di Indonesia sebelum dan sesudah era reformasi, Bagaimanakah Tinjauan Demonstrasi Yang Bersifat Anarki Dalam Hukum Positif Indonesia dan Bagaimana Pertanggungjawaban Peserta (Deelneming) Dalam Demonstrasi Yang Bersifat Anarki. Penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalaha-permasalahan di atas adalah penelitian hokum normatif dengan menggunakan putusan pengadilan sebagai pembahasan. Penelitian hokum ini juga disebut dengan penelitian kepustakaan disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan dan juga dengan menggunakan putusan pengadilan.
Demonstrasi yang bersifat anarki melanggar Pasal 146, 192, 193, 200, 201 KUHP dan tentunya melanggar Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Demonstrasi anarki ini sering terjadi karena adanya kepentingan bagi sekelompok orang yang menyebabkan pemaksaan kehendak agar kehendak yang diinginkan sekelompok orang itu dapat tercapai, selain itu kurangnya pemahaman dari arti sebuah kemerdekaan menyampaikan pendapat yang menyebabkan kemerdekaan ini disalah gunakan sehingga terjadi demonstrasi yang bersifat anarki.
*
Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara
**
Dosen Pembimbing I dan Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara
***
Dosen pembimbing II dan Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara
(12)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa yang sedang berkembang dan sedang menuju tahap peralihan untuk menjadi bangsa yang lebih maju tentu memiliki berbagai macam rencana-rencana pembangunan jangka panjang. Rencana-rencana pembangunan tersebut tidak terlepas dari tujuan negara yaitu “Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia” maka dilaksanakanlah pembangunan nasional yang meliputi segenap aspek kehidupan bangsa, dimana semuanya itu ditujukan untuk terwujudnya masyarakat adil dan makmur seperti yang dicita-citakan bersama.
Pembangunan di bidang hukum tersebut harus juga didukung dengan peningkatan kualitas penegak hukum beserta sarana dan prasarananya, agar tercipta kesadaran, kepatuhan, ketaatan dan kedisiplinan hukum di dalam budaya hidup masyarakat.
Kenyataan memperlihatkan bahwa di dalam pergaulan hidup masyarakat tidak jarang terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum, makin banyak orang melakukan perbuatan-perbuatan pidana dengan berbagai dalih penyebab perbuatan tersebut dilakukan. Kesemuanya itu mencerminkan perilaku yang tidak terpuji, bukan saja dilihat dari norma-norma hukum, juga dari kaedah-kaedah sosial yang hidup dan berkembang di dalam pergaulan masyarakat.
(13)
Sejak bergulirnya reformasi Tahun 1998 wacana dan gerakan demokrasi terjadi secara massif dan luas di Indonesia. Hampir semua negara di dunia menyakini demokrasi sebagai “tolak ukur tak terbantah dari keabsahan politik”. Keyakinan bahwa kehendak rakyat adalah dasar utama kewenangan pemerintah menjadi basis tegak kokohnya sistem politik demokrasi.1 Dari sudut bahasa (etimologis), demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu Demos yang berarti rakyat dan Cratos yang berarti pemerintahan atau kekuasaan. Jadi secara bahasa,
demos-cratein atau demos-cratos berarti pemerintahan rakyat atau kekuasaan
rakyat.2
Aksi massa atau demonstrasi merupakan salah satu hak rakyat yang dilindungi oleh negara dalam konstitusi dasar dan Undang-undang. Kemerdekaan menyampaikan pendapat ini merupakan sarana bagi rakyat untuk mengapai tujuannya. Sebagian rakyat mengakui bahwa demonstrasi merupakan salah satu cara yang efektif untuk mencapai kepentingannya. Perubahan yang ingin dicapai oleh sebagian masyarakat masih meyakini bahwa kekuatan massa yang tidak bersenjata mampu untuk mempengaruhi kebijakan. Jika dikaji secara konstisional, demonstrasi merupakan hak yang harus dilindungi oleh pemerintah. Namun di sisi lain, orang yang melakukan demonstrasi juga harus menaati peraturan perundang-undangan lainya yang berlaku.
Zamroni dalam buku paradigma baru pendidikan kewarganegaraan menyebutkan adanya kultur atau nilai demokrasi antara lain :
1
Dwi Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2006, hal, 60.
2
(14)
1. Toleransi
2. Kebebasan mengunngkapkan pendapat 3. Menghormati perbedaan pendapat
4. Memahami keanekaragaman dalam masyarakat 5. Terbuka dan komunikasi
6. Menjunjung nilai dan martabat kemanusiaan 7. Percaya diri
8. Tidak menggantungkan pada orang lain 9. Saling menghargai
10.Mampu mengekang diri 11.Kebersamaan
12.Keseimbangan3
Demonstrasi yang terjadi belakangan ini pada dasarnya semakin marak sejak jatuhnya rezim orde baru, dalam kaitan ini masyarakat Indonesia sudah mulai banyak yang melihat, mendengar bahkan terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan demonstrasi. Tetapi aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang mulai marak akhir-akhir ini terkadang disertai juga dengan tindakan yang tidak bertanggungjawab yaitu dengan melakukan pengerusakan fasilitas umum, yang tentunya bertentangan dengan tujuan dari unjuk rasa atau demonstrasi itu sendiri.
Setiap pengunjuk rasa tidak lagi menunjukan citra menjunjung tinggi demokrasi, banyak para demonstran yang hanya melakukan demontrasi untuk
3
(15)
memperjuangkan kepentingan kelompoknya sendiri bukan kepentingan bersama. Pengunjuk rasa juga tidak lagi memperhatikan hal-hal yang sudah diatur dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1998 yang dimana di dalamnya mengatur segala hal untuk mengemukakan pendapat di muka umum. Akibat-akibat yang ditimbulkan dari aksi demontrasi akhir-akhir ini juga telah membawa keresahan di dalam masyarakat, dimana banyak jatuhnya korban, terjadinya kerusuhan-kerusuhan yang sangat menggangu ketertiban banyak orang serta pengrusakan sarana dan prasarana yang ada.
Dari setiap akibat-akibat yang sangat meresahkan tersebut seharusnya membawa kepada kita semua untuk menumbuhkan rasa kesadaran yang tinggi untuk ikut serta dalam mengatasi demonstrasi yang bersifat anarki ini. Ini bukanlah tugas dari aparat semata, akan tetapi kita semua diharapkan turut serta untuk mengatasi hal-hal yang sudah sangat mencoreng citra demokrasi Negara kita.
Dengan uraian di atas, maka penulis ingin mengadakan pembahasan yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul : “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PESERTA (DEELNEMING) DALAM DEMONSTRASI YANG BERSIFAT ANARKI (STUDI PUTUSAN ATAS NAMA ROBERT SANTONI SITORUS)”.
B. Perumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di dalam latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah :
(16)
1. Bagaimanakah Perkembangan Demokrasi Sebelum dan Sesudah Era Reformasi?
2. Bagaimanakah Tinjauan Demonstrasi yang Bersifat Anarki Dalam Hukum Positif Indonesia?
3. Bagaimana Pertanggungjawaban Peserta (Deelneming) Dalam Demonstrasi yang Bersifat Anarki?
C. Tujuan dan Mamfaat Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui : 1. Untuk mengetahui perkembangan demokrasi di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pengaturan demonstrasi yang bersifat anarki di dalam hukum positif Indonesia.
3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban peserta (Deelneming) dalam demonstrasi yang bersifat anarki.
Selain tujuan-tujuan tersebut di atas, penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya :
1. Secara Teoritis
Hasil Pembahasan ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu hukum, khususnya hukum pidana yang terkait dengan perbuat anarki di dalam demonstrasi.
2. Secara Praktis
Pembahasan ini diharapkan bermanfaat untuk :
a. Bagi Masyarakat Indonesia untuk memberi masukan dalam menyampaikan pendapat tanpa perbuatan yang anarki.
(17)
b. Aparat hukum, sebagai sumbangan pemikiran untuk penanganan masyarakat yang melakukan demonstrasi di Kota Medan.
D. Keaslian Penulisan
Sepanjang pengetahuan penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada yang mengangkat Skripsi dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Peserta (Deelneming) Dalam Demonstrasi Yang Bersifat Anarki (Studi Putusan No. 1.778/Pid.B/2009/PN.MDN)”. Permasalahan maupun penyajiannya merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri. Skripsi ini didasarkan pada refrensi buku-buku, informasi dari media cetak dan elektronik serta fakta yang diperoleh dari data berdasarkan hasil pencarian yang dilakukan penulis. Berdasarkan alasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa skripsi yang penulis kerjakan ini adalah asli.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban Pidana dalam hukum pidana Indonesia adalah pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan, asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah tidak dipidana jika tidak melakukan kesalahan (geen
starf zonder schuld; Actus non facit reum mens sit rea) dan di dalam KUHP
kesalahan dapat kita lihat pada setiap pasal. Pertanggungjawaban dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang tersebut, tapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta
(18)
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya4. Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang terdapat pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana, kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara pembuat dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan.
Seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana hanya jika terdapat kesalahan pada dirinya. Sebab azas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah : ”Tidak dipidananya jika tidak ada kesalahan”.
Menurut Utrecht bahwa pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana itu terdiri atas tiga anasir :5
a. Kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid) dari si pembuat;
b. Suatu sikap psychis pembuat berhubung dengan kelakuannya yakni : 1) Kelakuan disengaja- anasir sengaja atau
2) Kelakuan adalah suatu sikap kurang berhati-hati atau kealpaan c. Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban
pidana pembuat anasir toerekenbaarheid
Pendapat Utrecht tersebut sesuai dengan pendapat Roeslan Saleh yang mengikuti pendapat Moelijatno bahwa pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, sedangkan unsur-unsur kesalahan adalah :
4
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media, 2006, hal, 63. 5
Sofyan Sastrawidjadja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai dengan Alasan
(19)
a. Mampu bertanggungjawab;
b. Mempunyai kesengajaan atau kealpaan; c. Tidak adanya alasan pemaaf 6
2. Pengertian Demonstrasi
Di dalam Undang–undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) dikatakan bahwa, “ Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran”.7 Dari pengertian demonstrasi menurut Undang-undang tersebut, demonstrasi juga berarti unjuk rasa.
Demonstrasi adalah sebuah gerakan yang dilakukan sekumpulan orang dihadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau menentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak. Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh kelompok masyarakat yang menentang kebijakan Pemerintah. Namun unjuk rasa juga dilakukan oleh kelompok-kelompok lainnya dengan tujuan lainnya. Unjuk rasa kadang dapat menyebabkan pengrusakan terhadap benda-benda. Hal ini dapat terjadi akibat keinginan menunjukkan pendapat para pengunjuk rasa yang berlebihan.
Sesuai dengan pengertian dari demonstrasi seperti terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, bahwa demonstrasi juga merupakan unjuk rasa. Demonstrasi merupakan bentuk ekspresi berpendapat. Unjuk rasa
6
Ibid, hal. 180. 7
Pasal 1 ayat (3) UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat
(20)
melalui demonstrasi adalah hak warga negara. Tetapi, inilah hak yang bisa mengerikan, karena umumnya demonstrasi yang melibatkan ribuan orang yang berlangsung dengan tanpa arah yang dapat berujung anarki sehingga menimbulkan tindak pidana. Demonstrasi adalah hak demokrasi yang dapat dilaksanakan dengan tertib, damai, dan intelek. Sebuah contoh yang sangat bagus, yang mestinya juga ditiru oleh mereka yang gemar unjuk rasa, yang senang turun ke jalan.
Demonstrasi merupakan sebuah media dan sarana penyampaian gagasan atau ide-ide yang dianggap benar dan berupaya mempublikasikannya dalam bentuk pengerahan masa. Demonstrasi juga merupakan sebuah sarana atau alat sangat terkait dengan tujuan digunakannya sarana atau alat tersebut dengan cara penggunaannya. Sebagaimana misalnya internet, dapat digunakan sebagai alat komunikasi tetapi dapat juga digunakan untuk mencuri biar cepat kaya.
Demonstrasi bisa bernilai positif, dapat juga bernilai negatif. Ini artinya bahwa ketika demonstrasi itu menjunjung tinggi demokrasi, maka dipandang sebagai hal positif dan mempunyai nilai dimata masyarakat. Namun ketika demonstrasi mengabaikan demokrasi maka dipandang masyarakat sebagai hal yang tercela atau negatif. Demonstrasi adalah salah satu sarana demokrasi. Artinya, demonstrasi harus berhenti ketika pendapat mereka harus sudah disampaikan.
Demonstrasi adalah salah satu diantara sekian banyak cara menyampaikan pikiran atau pendapat. Sebagai cara, kegiatan itu perlu selalu dijaga dan dipelihara
(21)
agar hal ini tidak berubah menjadi tujuan. Menjadi tugas dan kewajiban kita untuk mengingatkan bahwa demonstrasi akan diakhiri ketika pandangan dan pendapat itu disampaikan. Walau kadangkala terasa tipis batasnya, tetapi patut dipahami, demonstrasi yang disertai unsur kekerasan dan pemaksaan, akan mudah tergelincir dalam domain politik praktis yang kurang baik.8
3. Pengertian Anarki
Kata “anarki” berasal dari bahasa Yunani, awalan (atau a), berarti “tidak”, “ingin akan”, “ketiadaan”, atau “kekurangan”, ditambah archos yang berarti “suatu peraturan”, “pemimpin”, “kepala”, “penguasa”, atau “kekuasaan”. Atau, seperti yang dikatakan Peter Kropotkin, anarki berasal dari kata Yunani yang berarti “melawan penguasa”.9
Meski kata-kata Yunani anarchos dan anarchia seringkali diartikan “tidak memiliki pemerintah” atau “ada tanpa pemerintah”, seperti yang dapat dilihat, arti orisinil anarkisme yang tepat bukanlah sekedar “tidak ada pemerintah”. “Anarki” berarti “tanpa suatu peraturan” atau lebih umum lagi, “tanpa kekuasaan”, dan dalam pemahaman inilah kaum anarkis terus menggunakan kata ini.
Di Indonesia, istilah anarki, anarkis atau anarkisme digunakan oleh media massa untuk menyatakan suatu tindakan perusakan, perkelahian atau kekerasan massal. Padahal menurut para pencetusnya, yaitu William Godwin, Pierre-Joseph Proudhon, dan Mikhail Bakunin, anarkisme adalah sebuah ideologi yang
8
http://www.niasisland.com/home/discuss_resp_inq.php?category_code_option=DC&s_c ategory_code=DC&s_code=000147&code_option=000147&menu_name_option=%22Demonstras i%20adalah%22&process=Add&i=last&norp=20, diakses tanggal 30 Agustus 2010.
9
http://oborbambunetzine.blogspot.com/p/apa-itu-anarki.html, diakses pada tanggal 30 Agustus 2010
(22)
menghendaki terbentuknya masyarakat tanpa negara, dengan asumsi bahwa negara adalah sebuah bentuk kediktatoran legal yang harus diakhiri10.
Negara menetapkan pemberlakuan hukum dan peraturan yang sering kali bersifat pemaksaan, sehingga membatasi warga negara untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Kaum anarkis berkeyakinan bila dominasi negara atas rakyat terhapuskan, hak untuk memanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya manusia akan berkembang dengan sendirinya. Rakyat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa campur tangan negara.
Sebagian besar media massa telah menggeserkan makna dalam penggunaan kata anarki dan anarkis. Anarki (dari kata anarchy), artinya ialah suatu keadaan dimana tidak ada kontrol kekuasaan atau hukum atau ketiadaan pemerintah/penguasa. Sedangkan kata anarkis bermakna orang (kata benda, bukan kata sifat) sebagai terjemahan dari kata anarchist, yang artinya penganut paham anarkisme. Kemudian ada kata anarkik (dari kata anarchic) yang bermakna kurang lebih tindakan atau perilaku dari kaum anarkis11. Selanjutnya ada kata anarkisme (dari anarchism) yang bermakna paham atau ide atau ajaran tentang peniadaan atau pembatalan kontrol kekuasaan pada masyarakat atau negara, yang oleh kaum anarkis dicitakan untuk mengganti sistem ini dengan sustu sistem
voluntir atau kesukarelaan, atau paham akan sistem masyarakat berbasis
kooperasi. Sedangkan makna anarkistik, adalah kondisi atau situasi yang ingin diciptakan oleh paham anarkisme.
10
Ibid
11 Ibid
(23)
Jadi, jika di media massa disebutkan istilah demontrasi anarkis, ini bermakna sebuah demontrasi yang dilakukan para anarkis atau para penganut paham anarkisme (sekali lagi, kata anarkis bukan kata sifat, tetapi kata benda). Jika yang dimaksudkan oleh beberapa media massa adalah demontrasi yang bersifat anarki, maka seharusnya kata yang digunakan adalah anarkistik (kata sifat).
4. Tinjuan Penyertaan (Deelneming) a. Pengertian Penyertaan (Deelneming)
Penyertaan (Deelneming) diatur dalam buku kesatuan tentang aturan umum, Bab V Pasal 55-62 KUHP. Makna dari istilah ini adalah bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan kata lain adalah bahwa ada dua orang atau lebih yang mengambil bahagian untuk mewujudkan tindak pidana.12
Menurut Van Hamel dalam Moch. Anwar, penyertaan adalah ajaran pertanggungjawaban atau pembagian pertanggungjawaban dalam hal suatu tindak pidana yang menurut pengertian perundang-undangan, dapat dilaksanakan oleh seorang pelaku dengan tindakan secara sendiri.13
Pokok persoalan pada penyertaan adalah bagaimana hubungan antara peserta-peserta itu. Dalam hal ini harus dibedakan hubungan antara seseorang
12
E Y Kanter, S R Sianturi SH, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapan, Storya Grafika, Jakarta, 2002, hal. 336.
13
Moch. Anwar, Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku Pertama KUHP, Alumni, Bandung, 1982, hal. 3.
(24)
menyuruh terhadap yang disuruh, dengan hubungan yang menggerakan terhadap yang digerakkan, hubungan antara seseorang dengan orang lain yang melakukan suatu tindak pidana.
Pengertian turut serta dalam melakukan peristiwa pidana (delik), seiring pembuat (pleger) dibantu oleh seorang lain dan justru karena turut sertanya orang lain ini, yang menurut kata POMPE14 “bijdragebaan het sraftbare feit, voorzover
zij niet bestaan in het plegen”. Memberi bantuan tetapi tidak membuat, maka
peristiwa pidana itu mungkin dilakukan.
Sehubungan dengan ini, UTRECHT15 mengatakan bahwa “Pelajaran umum turut serta ini dibuat untuk menghukum mereka yang bukan melakukan atau bukan pembuat. Pelajaran umum turut serta ini justru tidak dibuat untuk menghukum orang-orang yang perbuatannya memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana yang bersangkutan. Pelajaran ini justru dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yamg memungkinkan Pembuat melakukan peristiwa pidana, biarpun pembuat mereka itu sendiri tidak memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana tersebut. Sekalipun mereka bukan Pembuat yaitu perbuatan mereka tidak memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana, mereka masih juga dapat dituntut pertanggungjawaban atas dilakukannya peristiwa pidana itu. Karena tanpa turut sertanya mereka sudah tentu peristiwa pidana itu tidak pernah terjadi. Inilah rasio Pasal 55 KUHPidana.
14
Ibid. 15
(25)
b. Bentuk-bentuk Penyertaan (Deelneming)
1) Mereka Yang Melakukan Tindak Pidana (Plegen)
Siapakah yang dimaksud dengan mereka yang melakukan atau dengan syarat-syarat apa seseorang yang terlibat dalam tindak pidana disebut dengan orang yang melakukan atau pembuat pelaksana (pleger).
Dalam tindak pidana formil, pembuat pelaksanaannya (pleger) adalah orang yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang sesuai dengan rumusan delik, sedangkan pada tindak pidana materiil,
pleger adalah orang yang dengan perbuatannya tersebut telah
menimbulkan akibat yang dilarang oleh Undang-undang.16
Menurut Simons17 dalam buku Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia bahwa maksud kalimat mereka yang melakukan suatu tindakan adalah petindak tunggal. Penggunaan kata jamak oleh para penganut ajaran yang menafsirkan sebagai petindak tunggal, adalah mengatakan sesuai dengan bahasa sehari-hari dimana sering dikatakan petindak-petindak.
Pada kenyataannya untuk menentukan orang pembuat tunggal, tidaklah terlalu sulit. Kriterianya cukup jelas, yaiutu secara umum ialah perbuatannya telah memenuhi semua unsur tindak pidana. Bagi tindak pidana formil, wujud perbuatannya adalah sama dengan perbuatan apa
16
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan dan Penyertaan, Raja Grafindo, Jakarta, 2002, hal 63.
17
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hal 583.
(26)
yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Sedangkan dalam tindak pidana materil perbuatan apa yang dilakukannya telah menimbulkan akibat yang dilarang oleh Undang-undang.
Tetapi apabila ada orang lain yang ikut terlibat serta ke dalam tindak pidana, baik secara fisik maupun psikis, apakah syarat dari seorang
dader harus juga menjadi syarat seorang pleger. Oleh karena seorang pleger itu adalah orang yang karena perbuatannyalah yang melahirkan
tindak pidana itu, tanpa ada perbuatan pembuat pelaksanaan ini tindak pidana itu tidak akan terwujud, maka dari sudut ini syarat seorang pleger harus sama dengan syarat seorang dader .
Perbedaan pleger dengan dader adalah, bagi seorang pleger masih diperlukan keterlibatan minimal seorang lainnya, baik secara psikis, misalnya terlibat dengan seorang pembuat penganjur misalnya dengan pembuat peserta atau pembuat pembantu. Jadi, seorang pleger diperlukan keterlibatan peserta lain dalam mewujudkan tindak pidana. Tetapi keterlibatan peserta lain ini, haruslah sedemikian rupa sehingga keterlibatan itu tidak semata-mata menentukan untuk terwujudnya tindak pidana yang dituju.
2) Mereka Yang Menyuruh Melakukan Orang Lain Untuk Melakukan Tindak Pidana ( Doen Plegen)
Undang-undang tidak menerangkan tentang siapa yang dimaksud yang menyuruh melakukan itu. Dalam mencari pengertian dan syarat dari
(27)
orang yang menyuruh melakukan (doen plegen), banyak ahli hukum merujuk pada keterangan yang ada di dalam MvT WvS Belanda, yang menyatakan bahwa “Yang menyuruh melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantara orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tinjuk pada kekerasan.18
Dari keterangan MvT itu dapat ditarik unsur-unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu :
a) Melakukan tindak pidana denga perantara orang lain sebagai alat di dalam tangannya.
b) Orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, tanpa kealpaan, tanpa tanggungjawab, oleh sebab keadaan :
(1) Yang tidak diketahuinya (2) Karena disesatkan ; dan
(3) Karena tunduk pada kekerasan.
Berdasarkan MvT tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa penentuan bentuk pembuat penyuruh lebih di tekankan pada ukuran objektif, ialah kenyataan tindak pidana itu dilakukan oleh orang lain yang ada dalam kekuasaannya sebagai alat, yang di buat tanpa kesalahan dan
18
Hanindyopoetra dan Naryono Artodibyo Hukum Pidana II Penyertaan, FHPM Universitas Brawijaya, Malang, 1975, hal. 33.
(28)
tanpa tanggungjawab. Walaupun sesungguhnya juga tetap memperhatikan hal-hal yang ternyata subyektif, yakni dalam hal tidak dipidananyapembuat materiilnya (orang yang disuruh melakukan) karena dia berbuat tanpa kesalahan, dan dalam hal tidak dipertanggungjawabkan karena keadaan batin orang yang dipakai sebagai alat itu, yakni tidak tahu dan tersesatkan, sesuatu yang subyektif. Sedangkan alasan karena tunduk pada kekerasan adalah bersifat objektif.
Dalam penyertaan berbentuk menyuruh melakukan ini terdapat seseorang yang ingin melakukan suatu tindak pidana, akan tetapi dia tidak melakukannya sendiri. Dia menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. Syarat yang terpenting dalam bentuk menyuruh melakukan adalah orang yang disuruh tersebut merupakan orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Jika diperinci syarat-syarat bentuk penyertaan menyuruh melakukan adalah sebagai berikut :19
a) Ada orang yang berkehendak melakukan tindak pidana; b) Orang tersebut tidak melakukannya sendiri;
c) Menyuruh orang lain untuk melakukan;
d) Orang yang disuruh adalah orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Loebby Loqman, siapa saja orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan itu harus kembali kepada masalah hal-hal yang
19
Loebby Loqman, Percobaan,Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Universitas Tarumanegara,Jakarta, 1996 hal 60.
(29)
meniadakan pidana seperti yang diatur di dalam KUHP, yaitu sebagai berikut :20
a) Mereka yang termasuk dalam kategori Pasal 44 KUHP, yaitu mereka yang jiwanya tidak tumbuh dengan sempurna dan
jiwanya dipengaruhi oleh penyakit.
b) Demikian pula jika menyuruh seorang anak yang belum mampu bertanggungjawab untuk melakukan tindak pidana. c) Orang yang disuruh melakukan (plegen), melakukan perbuatan
itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan (overmacht) seperti diatur dalam Pasal 48 KUHP. d) Menyuruh melakukan dengan penyesatan dalam kaitannya
dengan Pasal 50 maupun KUHP, yaitu orang yang disuruh melakukan suatu perbuatan telah melakukan perbuatan tersebut untuk melaksanakan pemukulan itu secara pisik.
e) Orang yang disuruh melakukan suatu perbuatan telah melakukan perbuatan tersebut karena adanya kesalahpahaman. Bentuk menyuruh melakukan dapat pula terjadi karena orang yang disuruh itu tidak mempunyai kesengajaan.
3) Mereka Yang Ikut Serta Dalam Suatu Tindak Pidana (Medeplegen) Menurut MvT pelaku peserta (medeplegen) adalah orang yang langsung mengambil bagian dalam pelaksanaan perbuatan yang oleh Undang-undang dilarang dan diancam dengan hukuman atau melakukan
20
(30)
perbuatan-perbuatan atau salah satu perbuatan yang merupakan bagian dari sesuatu tindak pidana.21
Berdasarkan kepada laporan tentang pembentukan Pasal 55 KUHP lebih tegas lagi dijelaskan, bahwa perbuatan ikut serta adalah penyertaan pada perbuatan-perbuatan yang merupakan unsur-unsur konstitutif dari suatu kejahatan. Unsur-unsur konstitutif dari suatu kejahatan tidak selalu hanya terdiri atas perbuatan, tetapi kadang-kadang juga atas suatu keadaan.22
Syarat yang diperlakukan agar dapat dikatakan telah terjadi suatu
medeplegen adalah :
a) Harus ada kesadaran kerja sama dari setiap peserta, para peserta menyadari akan dilakukannya suatu tindak pidana. Mereka sadar bahwa mereka bersama-sama akan melakukan tindak pidana. Dalam membentuk kesadaran kerja sama itu tidak harus jauh sebelumnya dilakukannya tindak pidana, jadi tidak perlu ada sebelumnya suatu perundingan untuk merencanakan tindak pidana. Kesadaran kerjasama itu dapat terjadi pada saat terjadinya peristiwa.
b) Kerja sama dalam tindak pidana harus secara fisik. Semua peserta dalam ikut serta harus bersama-sama secara fisik melakukan tindak pidana itu. Namun tidak perlu semua peserta memenuhi secara persis seperti apa yang termuat sebagai unsur
21
Moch. Anwar, Op.Cit, hal. 18.
22 Ibid.
(31)
tindak pidana. Dalam kasus diatas, kedua terdakwa tidak memenuhi unsur dalam ikut serta dalam tindak pidana (medeplegen) karena secara fisik kedua terdakwa tidak melakukan unsur tindak pidana. Kedua terdakwa hanya sebagai penghubung dan tidak memenuhi unsur tindak pidana (secara fisik ikut dalam tindak pidana), dengan demikian unsur ini tidak terpenuhi.23
Sehubungan dengan 2 (dua) syarat yang diberikan tersebut, maka arah kesengajaan bagi pembuat peserta (medeplegen) ditunjukan kepada dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu :
a) Kesengajaan yang ditujukan dalam hal kerjasama untuk mewujudkan tindak pidana, ialah berupa keinsyafan/kesadaran seseorang peserta terhadap peserta lainnya mengenai apa yang diperbuat oleh masing-masing dalam rangka mewujudkan tindak pidana yang sama-sama dikehendaki;
b) Kesengajaan yang ditunjukkan dalam hal mewujudkan perbuatannya menuju penyelesaian tindak pidana. Disini kesengajaan pembuat peserta adalah sama dengan kesengajaan pembuat pelaksana, ialah sama-sama ditujukan pada penyelesaian tindak pidana.
4) Mereka Yang Menggerakan Orang Lain Untuk Melakukan Tindak Pidana (uitloken)
23
(32)
Prof. Van Hamel merumuskan uitloken itu sebagai bentuk penyertaan atau ikut serta yaitu :
“Kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang, karena telah bergerak, orang tersebut kemudian telah dengan sengaja melakukan tindak pidana yang bersangkutan”.24
Dari rumusan itu dapat diketahui bahwa antara menyuruh melakukan dengan menggerakkan orang lain itu terdapat persamaan yaitu orang yang menyuruh dan orang yang menggerakkan itu sama-sama tidak melakukan sendiri tindak pidana yang ditujunya, melainkan dengan perantaraan orang lain. Adapun perbedaan antara doen plegen dengan
uitloken itu antara lain :
a) Orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana di dalam
doen plegen itu harus merupakan orang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan, sedangkan orang yang telah digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu haruslah merupakan orang yang sama keadaannya dengan orang yang telah menggerakkan yaitu dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya;
b) Cara-cara yang dapat dipergunakan oleh seseorang yang telah menyuruh melakukan suatu tindak pidana dalam doen plegen
24
(33)
itu tidak ditentukan dalam Undang-undang, sedangkan cara-cara yang harus dipergunakan oleh seseorang yang telah menggerakkan orang lain dalam uitloken itu telah ditentukan secara limitative oleh Undang-undang.25
Menurut Moch. Anwar, yang dimaksud dengan pembujukkan (uitloken) adalah :26
a) Setiap perbuatan menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman;
b) Dalam membujuk itu harus dipergunakan cara-cara atau daya upaya bagaimana disebutkan dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2
Menurut Loebby Loqman, syarat penyertaan dalam bentuk menggerakkan ini adalah sebagai berikut :
a) Ada orang yang berkehendak melakukan suatu tindak pidana; b) Orang tersebut tidak melakukannya sendiri;
c) Dengan suatu daya upaya yang telah ditentukan secara limitative dalam Undang-undang;
d) Menggerakkan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana yang dikehendaki;
e) Orang yang digerakkan dalam melakukan tindak pidana adalah orang yang dapat dipertanggungjawabkan.27
25
Ibid, hal. 607-608 26
(34)
F. Metode Penelitian 1.Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data-data sekunder dan bahan-bahan yang berhubungan dengan penelitian yang diperoleh dari berbagai sumber dengan melakukan pengumpulan data-data tertulis28 yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana peserta demonstrasi yang bersifat anarki di Pengadilan Negeri Medan.
2. Sumber Data
Sumber data dari bahan skripsi ini diambil dari data sekunder. Yang dimaksud dengan data sekunder adalah :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu ketentuan-ketentuan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Bahan-bahan hukum primer dalam tulisan ini diantaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer. Bahan hukum primer ini merupakan informasi-informasi yang didapat dari majalah, koran, karya tulis ilmiah dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.
27
Loebby. Loqman, Op.Cit, hal. 71-72.
28
(35)
c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi dari penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder seperti kamus dan lain sebagainya. Adapun ciri-ciri umum dari data sekunder adalah sebagai berikut:
a. Pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera
b. Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian, tidak mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan, pengelolaan, analisa maupun kontruksi data
c. Tidak terbatas oleh waktu maupun tempat29 3. Metode Pengumpulan data
Studi kepustakaan dengan mempelajari berbagai literature dan buku-buku serta data-data dari Pengadilan Negeri Medan tentang pertanggungjawaban pidana peserta demonstrasi yang bersifat anarki.
4. Analisis data
Data yang diperoleh dari kepustakaan, yaitu pengolahan data yang menghasilkan data deskriptif dan yang dinyatakan baik secara tertulis maupun lisan dan dari keseluruhan data yang diperoleh.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini dibuat dalam bentuk skripsi yang terdiri dari lima bab yaitu :
29
(36)
Bab I : Ini diawali dengan latar belakang penelitian, yang berisi alasan-alasan penulis mengambil judul sebagaimana tercantum di atas. Uraian– uraian dalam bab ini ditujukan sebagai penjelasan awal mengenai terminologi-terminologi yang digunakan untuk mengemukakan permasalahan dalam mengidentifikasi masalah sebagai proses signifikasi pembahasan. Disamping itu untuk mempertegas pembahasan dicantum pula maksud dan tujuan serta kegunaan penelitian.
Bab II : Berisi sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia yang menguraikan perjalanan masa-masa di Indonesia yang mengawali langkah demokrasi tersebut. Serta menguraikan perbedaan demonstrasi yang terjadi sebelum reformasi dengan demonstrasi sesudah reformasi.
Bab III : Berisi pengaturan-pengaturan terhadap demonstrasi yang dilakukan yang bersifat anarki. Penulis menguraikan pengaturan yang berkaitan dengan demonstrasi yang bersifat anarki yang diatur di dalam hukum positif di Indonesia.
Bab IV : Berisi analisis yuridis terhadap hasil penelitian. Berdasarkan studi kasus ditambah dengan data-data yang saling berkaitan satu sama lainnya dari berbagai literatur yang ada sehingga dalam bab ini penulis berusaha menjawab indentifikasi masalah yang ada pada Bab III. Hal-hal yang diuraikan dalam Bab ini penulis menggabungkan teori yang berkaitan serta data yang didapat sehingga pada akhirnya dapat suatu kesimpulan.
(37)
Bab V : Yang merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan yang dikemukakan berdasarkan permasalahan yang telah dibahas dan dianalisis, dalam bab ini juga dikemukakan berbagai saran dari penulis yang dihasilkan penelitian yang dilakukan oleh penulis.
(38)
BAB II
PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA YANG
DITUANGKAN DALAM UNJUK RASA (DEMONSTRASI)
SEBAGAI HAK DALAM MENGEMUKAKAN PENDAPAT
A. Sejarah Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Pada intinya, yang banyaklah yang menang dan yang banyak dianggap sebagai suatu kebenaran.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances30.
Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang tepatnya diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata,
30
http://materikuliah.net/artikel/perkembangan-demokrasi-di-indonesia.aspx, diakses tanggal 03 September 2010.
(39)
yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini disebabkan karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara31.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap
31
(40)
lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.
Semenjak kemerdekaan 17 Agustus 1945, UUD 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila.
Selama 25 Tahun berdiri Republik Indonesia ternyata bahwa masalah pokok yang kita hadapi adalah bagaimana, dalam masyarakat yang beranekaragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi disamping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis.
Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia dapat dibagi dalam tiga masa yaitu :
1. Masa republik Indonesia I, yaitu masa demokrasi yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan demokrasi parlementer.
2. Masa republik Indonesia II, yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menimpang dari demokrasi konstitusional
(41)
yang secara fomil merupakan landasannya, dan menunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat.
3. Masa Republik Indonesia III, yaitu masa demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi yang menonjolkan sistem Presidensil.32
B. Unjuk Rasa Sebelum Reformasi
Perkembangan demokrasi di Indonesia diawali pada tahun 1945. Kemerdekaan Indonesia membawa sistem demokrasi di Indonesia, dimana presiden sebagai kepala Negara tidak secara mutlak memiliki kekuasaan. Akan tetapi presiden bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai wakil rakyat di dalam pemerintahan.33
Demokrasi di Indonesia mengalami transisi yang sangat berbeda antara era sebelum reformasi dengan era sesudah reformasi.Demokrasi. Sebelum reformasi dapat dilihat pada masa orde baru.
Demokrasi pada masa orde baru belum mutlak terjadi di Indonesia, dimana pada masa orde baru demokrasi yang seharusnya menjadi hak rakyat masih dibatasi oleh besarnya kekuasaan dari pemerintah. Pada masa orde baru, angkatan-angkatan bersenjata di Indonesia masih menjadi penghalang besar bagi rakyat dalam mewujudkan demokrasi yang salah satu perwujudannya dapat dilakukan dalam hal hak untuk kebebasan menyampaikan pendapat.
Di masa orde baru rakyat belum terbuka secara luas untuk menyampaikan pendapat. Kekuasaan angkatan-angkatan bersenjata yang menjadi alat
32 Ibid 33
Asvi Warman Adam, Habibie, Prabowo dan Wiranto Bersaksi, Media Kita, Jakarta, 2006, hal 21.
(42)
pemerintahan dijadikan alat oleh pemerintahan sebagai penghalang rakyat mewujudkan demokrasi di Indonesia. Karena kokohnya kekuasaan menghalangi rakyat bebas berpendapat, membuat rakyat menjadi takut dalam menyampaikan pendapat.
Di dalam sistem demokrasi rakyat mempunyai hak mengawasi pemerintahan agar berjalan sesuai konstitusional dari Negara tersebut. Namun di Indonesia ketakutan yang telah melanda rakyat membuat rakyat tidak dapat menyampaikan pendapat yang membawa Negara ini kearah yang lebih baik.
Diakhir masa orde baru rakyat keluar dan memberanikan diri secara bersama-sama melakukan unjuk rasa terhadap apa yang telah dilakukan pemerintah selama masa orde baru. Setiap elemen masyarakat secara bersama-sama keluar kejalan untuk melakukan unjuk rasa dan berani melawan angkatan-angkatan bersenjata Indonesia untuk satu tujuan melakukan reformasi.
Diakhir masa orde baru banyak unjuk rasa-unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat untuk menentang pemerintahan orde baru. Salah satu unjuk rasa tersebut dapat kita lihat dari unjuk rasa trisakti. Unjuk rasa tersebut banyak dikenal dengan nama tragedi trisakti. Tragedi trisakti ini meletus pada tanggal 12 Mei 1998. Unjuk rasa ini dilakukan oleh mahasiwa, akan tetapi lagi-lagi angkatan bersenjata menjadi lawan dari rakyat dalam unjuk rasa ini. Dalam unjuk rasa ini 4
(43)
mahasiswa tewa akibat peluru tajam.34 Tragedi ini menjadi pemicu bagi rangkaian kerusuhan atau unjuk rasa yang lebih besar.
C. Unjuk Rasa Setelah Reformasi
Sejak pemerintahan Soeharto berakhir di tahun 1998, turut berubah pula paradigma hubungan sipil-militer di negeri ini. Negeri kita sebelumnya amat didominasi oleh militer, dan memang hal ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa Indonesia itu sendiri.
Setelah reformasi bergulir, saluran demokrasi dan prasyarat Indonesia menjadi negara demokratis terbuka lebar. Kebebasan berpendapat secara lisan atau tulisan, baik melalui media cetak maupun media elektronik mengalami kemajuan yang sangat pesat. Namun, terkadang ada yang menyalah artikan kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut. Dengan mengartikan semua hal boleh diungkap walaupun melanggar etika, moralitas, dan hukum.
Sebagai negara demokrasi, tentunya Indonesia menganut prinsip bahwa rakyat adalah penentu utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seluruh bangsa Indonesia dijamin dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2). Oleh karena itu, berbagai hak-hak yang melekat dalam diri warga negara dijamin sepenuhnya oleh negara atau Undang-undang.
Undang-undang Dasar 1945 memberikan jaminan konstitusional terhadap kemerdekaan mengemukakan pendapat. Dalam Pasal 28 UUD 1945, dinyatakan secara tegas bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan
34
Habibie, Detik-Detik yang Menentukan : Jalan Panjang Menuju Demokrasi THC Mandiri, Jakarta, 2006, hal 32.
(44)
undang.” Kemudian dalam Pasal 28E Ayat (3) menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Kedua pasal tersebut membuktikan bahwa UUD 1945 memberikan jaminan bahwa mengemukakan pendapat adalah hak asasi yang dijamin oleh Undang-undang.
Dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1998 yang mengatur tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, dinyatakan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan dan tulisan secara bebas serta bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian, Pasal 5 menyatakan “Warga negara yang menyampaikan pendapatnya di muka umum berhak mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum.”35
Perkembangan demokrasi ini membawa kepada keadaan maraknya aksi unjuk rasa atau demonstrasi seperti nya sudah bukan hal yang baru dan aneh lagi bagi kamu. Hampir setiap hari orang bisa melihat aksi unjuk rasa di televisi. Berbagai aksi demonstrasi digelar di mana-mana. Mereka turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasinya masing-masing. Mulai dari aksi buruh, aksi guru, sampai aksi yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa. Bahkan tak kalah menariknya, terkadang unjuk rasa dilakukan oleh ibu-ibu dan mengajak serta anak-anak.
Akan tetapi demonstrasi yang semakin marak terjadi itu sering berakhir anarki. Masyarakat sering melakukan hal-hal yang membuat terjadi bentrok antara aparat dengan warga sipil. Masyarakat sering tidak mematuhi asas-asas
35
(45)
menyampaikan pendapat di muka umum, yang asas-asas itu adalah sebagai berikut :
1. Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban 2. Asas musyawarah dan mufakat
3. Asas kepastian hukum dan keadilan 4. Asas proporsionalitas
5. Asas manfaat36
Rakyat bebas untuk melakukan unjuk rasa untuk menyampaikan pendapatnya, akan tetapi unjuk rasa itu harus mempunyai etika individual bukan demi suatu kepentingan suatu kelompok. Masyarakat, dalam melakukan unjuk rasa harus demi kepentingan rakyat banyak, sehingga tercipta suatu demokrasi yang berjalan dengan baik.
Sebagai warga negara yang mengetahui arti demokrasi, pasti akan menyambut baik nilai kebebasan itu dengan sikap dan perilaku positif. Adapun sikap dan perilaku tersebut, antara lain :
1. Bebas tetapi bertanggung jawab;
2. Jujur dan berani mengungkapkan pendapat; 3. Ikhlas menerima perbedaan dan berlapang dada; 4. Menghargai orang lain;
5. Aktif dan kreatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
36
(46)
BAB III
PENGATURAN HUKUM TERHADAP DEMONSTRASI
YANG BERSIFAT ANARKI DI DALAM
HUKUM POSITIF INDONESIA
A. Pengaturan Terhadap Demonstrasi Yang Bersifat Anarki di Dalam KUHP
Demonstrasi merupakan salah satu bagian dari kehidupan demokrasi di suatu Negara karena demonstrasi merupakan salah satu cara untuk mengungkapkan pendapat di muka umum.
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak diatur secara jelas tentang demonstrasi, akan tetapi di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diatur tentang ketentuan dalam hal merusak fasilitas umum.
Pada umumnya Demonstrasi yang bersifat anarki berkahir dengan pengrusakan fasilitas umum, hal ini menyebabkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dikaitkan dalam suatu tindakan demonstrasi yang bersifat anarki.
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat beberapa pasal yang terkait dengan demonstrasi yang bersifat anarki yaitu :
1. Pasal 146 KUHP
“Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan mencerai-beraikan persidangan Badan pembuat Undang-undang,
(47)
pemerintah atau perwakilan rakyat yang dibentuk oleh atau atas kekuasaan negara, memaksa untuk mengambil atau tidak mengambil keputusan, atau mengusir ketua atau seorang anggota dari persidangan itu, dihukum dengan penjara selama-lamanya Sembilan tahun”37
Penjelasan :
Kekerasan dalam arti mempergunakan kekuatan atau kekuasaan yang agak besar secara tidak sah. Kekerasan atau ancaman dengan kekerasan itu tidak saja terhadap pada orang, tetapi juga pada barang, misalnya dengan jalan membakar rumah tempat sidang dan sebagainya
Persiapan dalam arti rapat pleno, baik terbuka maupun dengan pintu tertutup, bukan rapat bagian-bagian dari badan tersebut
Badan pembuat Undang-undang dalam arti badan pemerintah itu baik pemerintah pusat, maupun dari pemerintah daerah seperti propinsi, kabupaten, kota besar, kota kecil dan sebagainya, demikian pula “Dewan Perwakilan Rakyat” tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2. Pasal 192 KUHP
“Barangsiapa dengan sengaja membinasakan, membuat hingga tidak dapat dipakai lagi, atau merusakkan sesuatu pekerjaan untuk lalu lintas bagi umum, merintangi sesuatu jalan umum, baik jalan darat maupun di jalan
37
(48)
air, atau merintangi sesuatu tindakan yang diambil untuk keselamatan bagi pekerjaan atau jalan yang serupa itu dihukum:
1e. Penjara selama-lamanya Sembilan tahun, jika perbuatan itu dapat mendatangkan bahaya bagi keselamatan lalu lintas;
2e. Penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika perbuatan itu dapat mendatangkan bahaya bagi keselamatan lalu lintas dan ada orang mati lantaran itu. (K,U,H,P, 35, 165, 206, 336, 406, 408)”38
Penjelasan :
Pasal ini mengancam hukuman pada orang yang sengaja (delik
dolus) membinasakan atau merusak pekerjaan (alat) untuk lalu lintas
umum atau merintangi jalan umum (di darat atau di air), atau merintangi tindakan yang diambil guna keselamatan pekerjaan atau jalan yang serupa itu, yang dapat mendatangkan akibat-akibat seperti yang tersebut pada sub 1 dan 2 dalam pasal itu.
3. Pasal 193 KUHP
“Barangsiapa karena salahnya, sesuatu pekerjaan untuk lalu lintas bagi umum menjadi binasa, tidak terpakai lagi atau rusak, sesuatu jalan, baik jalan darat mupun di air, terhalang atau tindakan yang diambil untuk keselamatan bagi pekerjaan atau jalan itu jadi tidak berguna dihukum:
38
(49)
1e. Penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda Rp. 4.500,- kalau lantaran hal itu lalu lintas jadi berbahaya;
2e. Penjara selama-lamanya satu tahun dan empat bulan, atau kurungan
selama-lamanya satu tahun jika hal itu berakibat matinya orang (KUHP 35, 206, 359, 409, 494).”39
Penjelasan :
Pasal ini merupakan delik culpa (kurang hati-hati, karena salahnya). Orang yang sengaja membuat rintangan di tengah jalan umum, sehingga dapat membahayakan lalu lintas umum, dapat dihukum menurut Pasal 192, akan tetapi seorang yang kelupaan menyingkirkan barang-barangnya yang berada ditengah jalan pada waktu malam, sehingga dapat mendatang bahaya lalu lintas, akan dikenakan Pasal 193.
4. Pasal 200 KUHP
“Barangsiapa dengan sengaja membinasakan atau merusakkan sesuatu rumah (gedung) atau bangunan-bangunan, dihukum;
1e. Penjara selama-lamanya dua belas tahun kalau perbuatan itu dapat mendatangkan bahaya umum bagi barang;
2e. Penjara selama-lamanya lima belas tahun kalau perbuatan itu dapat mendatangkan bahaya bagi orang lain;
39
(50)
3e. Penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, kalau perbuatan itu dapat mendatangkan bahaya bagi maut bagi orang lain dan ada orang mati lantaran perbuatan itu
(KUHP 35, 165, 226, 336, 382, 410)”40 Penjelasan :
Adapun unsur penting dari pasal ini supaya dapat dihukum, maka perbuatan tersebut dalam pasal ini harus dilakukan dengan “sengaja” dan harus mendatangkan akibat-akibat sebagaimana termaktub pada sub 1 sampai dengan 3 dalam pasal ini. Apabila dilakukan dengan tidak sengaja, atau karena salahnya (kurang hati-hati atau alpa), maka ini merupakan “delik culpa” dan dikenakan Pasal 201.
Kata “bangunan” dalam pasal ini adalah terjemahan dari bahasa Belanda Getimmerte. Merusak rumah sendiri dapat pula dihukum menurut pasal ini, asal menimbulkan akibat-akibat yang tersebut pada sub bab 1 sampai dengan 3.
5. Pasal 201 KUHP
“Barangsiapa karena salahnya, sesuatu rumah (gedung) atau bangunan-bangunan jadi binasa atau rusak, dihukum:
40
(51)
1e. Penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,- kalau perbuatan itu menimbulkan bahaya umum bagi barang;
2e. Penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau kurungan selam-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,- kalau perbuatan itu menimbulkan bahaya maut bagi
orang lain;
3e. Penjara selama-lamanya satu tahun, kalau ada orang mati lantaran itu. (K,U,H,P, 35, 206, 395)”41
Penjelasan :
Perbuatan dalam pasal ini adalah sama dengan Pasal 200, bedanya bahwa 200 dilakukan dengan “sengaja” (delik dolus), sedang Pasal 201 dilakukan karena salahnya (delik culpa), ancaman hukuman dalam Pasal 200 adalah lebih berat.
B. Pengaturan Terhadap Demonstrasi yang Bersifat Anarki di Luar KUHP
Selain dapat dikaitkan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana demonstrasi yang bersifat anarki dapat dikaitakan dengan Undang-undang
41
(52)
yang diatur dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
1. Tinjauan Umum tentang demonstrasi menurut Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan mengemukakan Pendapat di Muka Umum
Undang-undang ini mengatur serta menjamin kebebasan untuk mengemukakan pendapat di muka umum. Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga Negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.42
Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi :
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang".43 Kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut sejalan dengan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk
42
Undang-Undang No. 9 Tahun 1998, Op.Cit, Pasal 1 (1).
43
(53)
mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas".44
Perwujudan kehendak warga negara secara bebas dalam menyampaikan pikiran secara lisan dan tulisan dan sebagainya harus tetap dipelihara agar seluruh layanan sosial dan kelembagaan baik infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas dari penyimpangan atau pelanggaran hukum yang, bertentangan dengan maksud, tujuan dan arah dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum sehingga tidak menciptakan disintegrasi sosial, tetapi justru harus dapat menjamin rasa aman dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, maka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sejalan dengan ketentuan peraluran perundang-undangan yang berlaku dan prinsip hukum intemasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang antara lain menetapkan sebagai berikut :
a. Setiap orang memiliki kewajiban terhadap masyarakat yang memungkinkan pengembangan kepribadiannya secara bebas dan penuh;
b. Dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang ditentukan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasanorang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang
44
(54)
adil bagi moralitas, ketertiban. serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakaat yang demokratis;
c. Hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh dijalankan secara bertentangan dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa.45 Dikaitkan dengan pembangunan bidang hukum yang meliputi materi hukum, aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum, budaya hukum dan hak asasi manusia. pemerintah Republik Indonesia berkewajiban mewujudkannya dalam bentuk sikap politik yang aspiratif terhadap keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum.
Bertitik tolak dari pendekatan perkembangan hukum, baik yang dilihat dari sisi kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan hubungan antar bangsa, maka kcmerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus berlandaskan:
a. Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban; b. Asas musyawarah dan mufakat;
c. Asas kepastian hukum dan keadilan; d. Asas proporsionalitas;
e. Asas manfaat.46
Kelima asas tersebut merupakan landasan kebebasan yang bertanggungjawab dalam berpikir dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Berlandaskan atas kelima asas kemerdekaan menyampaikan
45
Ibid, Pasal 29. 46
(55)
pendapat di muka umum tersebut maka pelaksanaannya diharapkan dapat mencapai tujuan untuk :
a. Mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945; b. Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan
berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;
c. Mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi;
d. Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kebmpok.47
Sejalan dengan tujuan di atas rambu-rambu hukum harus memiliki karakteristik otonom, responsif dan mengurangi atau meninggalkan karakteristik yang represif. Dengan berpegang teguh pada karakteristik tersebut, maka Undang-undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. merupakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat regulatif. sehingga di satu sisi dapat melindungi hak warga negara sesuai dengan Pasal 28 Undang undang Dasar 1945. dan di sisi lain dapat mencegah tekanan-tekanan, baik fisik maupun psikis, yang dapat mengurangi jiwa dan makna dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum.
47
(56)
Undang-undang ini mengatur bentuk dan tata cara penyampaian pendapat di muka umum. dan tidak mengatur penyampaian pendapat melalui media massa, baik cetak maupun elektronika dan hak mogok bekerja di lingkungan kerjanya.
Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak dari setiap warga Negara, akan tetapi warga Negara juga harus dapat melaksanakan kewajibannya sebagai Negara agar setiap warga Negara dapat mendapatkan hak-hak yang dimilikinya. Adapun hak yang dimiliki setiap warga Negara dalam menyampaikan pendapatnya adalah sebagai berikut :
a. Mengeluarkan pikiran secara bebas;
Pengertian mengeluarkan pikiran secara bebas adalah mengeluarkan pendapat, pandangan, kehendak, atau perasaan yang bebas dari tekanan fisik, psikis, atau pembatasan yang tidak bertentangan dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang No. 9 Tahun 1998.
b. Memperoleh perlindungan hukum.48
Dalam hal memperoleh perlindungan hukum termasuk di dalamnya adalah jaminan keamanan.
Selain hak-hak yang diuraikan di atas, setiap warga Negara juga wajib melaksanakan kewajiban serta dapat bertanggung jawab seperti berikut ini :
a. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain; b. Menghonnati aturan-aturan moral yang diakui umum;
48
(57)
c.Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Menjaga dan menghonnati keamanan dan ketertiban umum; dan e. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.49
Dalam pelaksanaan demonstrasi selain dari masyarakat atau setiap peserta dari demonstrasi itu sendiri peran aparat juga diharapkan dalam menjaga keamanan dan kelancaran jalannya demonstrasi agar tetap terjaga dengan aman. Aparat mempunyai kewajiban dan tanggung jawab antara lain :
a. Melindungi hak asasi manusia; b. Menghargai asas legalitas;
c. Menghargai asas praduga tidak bersalah; d. Menyelenggarakan keamanan.50
Ada beberapa bentuk penyampaian pendapat di muka umum yaitu : a. Unjuk rasa atau demonstrasi;
b. Pawai; c. Rapat umum; d. Mimbar bebas.
Penyampaian pendapat di muka umum seperti yang diuraikan di atas wajib mengajukan pemberitahuan kepada polri, agar aparat kepolisian dapat menyiapkan pengamanan terhadap aksi-aksi dalam menyampaikan pendapat di muka umum agar tidak terjadi kerusuhan. Pemberitahuan ini
49
Ibid, Pasal 6. 50
(58)
dilakukan oleh yang bersangkutan, dalam hal ini adalah pemimpin ataupun penanggung jawab dari aksi-aksi tersebut. Pemberitahuan kepada pihak polri di sampaikan selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum aksi tersebut dilaksanakan.
Adapun surat pemberitahuan yang diajukan kepada polri memuat beberapa hal yaitu :
a. Maksud dan tujuan; b. Tempat, lokasi dan rute; c. Waktu dan lama;
d. Bentuk;
e. Penanggungjawab;
f. Nama dan alamat organisasi, kelompok ataupun perorangan; g. Alat peraga yang dipergunakan;
h. Jumlah peserta.51
Di dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1998 ini juga mengatur sanksi-sanksi, baik terhadap peserta demonstrasi maupun orang-orang yang menghalangi setiap orang yang ingin menyampaikan pendapatnya di muka umum. Adapun sanksi-sanksi yang diatur di dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1998 adalah :
a. Pasal 15 Undang-undang No. 9 Tahun 1998
“Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dapat dibubarkan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
51
(59)
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10 dan Pasal 11”.
Ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 6 tersebut adalah kewajiban serta tanggung jawab dari setiap peserta, ketentuan di dalam Pasal 9 ayat (1) adalah bentuk-bentuk penyampaian pendapat di muka umum, Pasal 9 ayat (2) adalah tempat-tempat yang tidak diperbolehkan menyampaikan melakukan aksi-aksi dalam menyampaikan pendapat di muka umum seperti lingkungan kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau darat, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional serta pengecualian pada hari besar nasional. Ketentuan dalam Pasal 10 adalah semua aksi yang termasuk dalam penyampaian di muka umum harus dilaporkan kepada pihak polri. Ketentuan Pasal 11 adalah hal-hal yang dimuat dalam surat pemberitahuan kepada polri.
b. Pasal 16 Undang-undang No. 9 Tahun 1998
“Pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hokum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangn yang berlaku”
c. Pasal 17 Undang-undang No. 9 Tahun 1998
“Penanggung jawab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
(60)
dalam Pasal 16 Undang-undang ini dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku ditambah dengan 1/3 (satu per tiga) dari pidana pokok”
d. Pasal 18 Undang-undang No. 9 Tahun 1998
“(1) Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan”
(61)
BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PESERTA
(DEELNEMING) DALAM DEMONSTRASI YANG BERSIFAT
ANARKI
SERTA ANALISIS KASUSNYA
A. Sistem Pemidanaan/Pembebanan Tanggung Jawab Dalam Deelneming 1. Pembagian penyertaan di dalam KUHP
Adapun pembagian penyertaan di dalam KUHP yang diatur di dalam Pasal 55 dan 56 adalah sebagai berikut :
a. Pembuat (dader) terdiri dari : 1) Pelaku (pleger)
Pleger adalah orang yang melakukan sendiri suatu perbuatan yang
memenuhi semua unsur delik. Perbedaan dengan dader adalah pleger dalam melakukan tindak pidana masih diperlukan keterlibatan orang lain minimal 1 orang, misalnya pembuat peserta, pembuat pembantu, atau pembuat penganjur. Dalam tindak pidana formil, plegernya adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana. Dalam tindak pidana materiil, plegernya adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh Undang-undang.52
2) Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger) Unsur-unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu :
52
(62)
a) Melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di dalam tangannya (yang ada dalam kekuasaannya)
b) Orang lain itu berbuat :
(1) Tanpa kesengajaan (contoh mengedarkan uang palsu)
(2) Tanpa kealpaan (contoh menyiramkan air panas kepada pemulung)
(3) Tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan : (a) Yang tidak diketahuinya
(b) Karena disesatkan (kekeliruan/kesalahpahaman) (c) Karena tunduk pada kekerasan
Orang yang disuruh melakukan itu tidak dapat dipidana, sebab-sebabnya :
a) Orang yang disuruh melakukan tindak pidana, tetapi apa perbuatan yang dilakukannya tidak dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana. b) Orang itu memang melakukan satu tindak pidana tetapi ia tidak dapat
dipidana karena ada satu atau beberapa alasan yang menghilangkan kesalahan.
3) Orang yang turut serta melakukan (medepleger)
Mereka yang turut serta melakukan (medepleger), adalah setiap orang yang sengaja berbuat dalam melakukan tindak pidana. Ada 2 syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana:
(63)
a) Kerjasama yang disadari antara para pelaku, hal mana merupakan suatu kehendak bersama antara mereka.
b) Mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu (kerjasama secara fisik)53
4) Penganjur (uitloker)
Orang yang sengaja menganjurkan (uitlokker), unsur-unsurnya adalah
a) Unsur obyektif :
(1) Unsur perbuatan, adalah menganjurkan orang lain melakukan perbuatan caranya ialah :
(a) Memberikan sesuatu (b) Menjanjikan sesuatu
(c) Menyalahgunakan kekuasaan (d) Menyalahgunakan martabat (e) Kekerasan/ancaman
(f) Penyesatan
(g) Memberi kesempatan (h) Memberi sarana (i) Memberi keterangan. b) Unsur subyektif: dengan sengaja.
Ada 5 syarat dari seorang pembuat penganjur :
53
(64)
(1) Kesengajaan si pembuat penganjur yang harus ditujukan pada 4 hal :
(a) Ditujukan pada digunakannya upaya2 penganjuran
(b) Ditujukan pada mewujudkan perbuatan menganjurkan beserta akibatnya
(c) Ditujukan pada orang lain untuk melakukan perbuatan (apa yang dianjurkan). Kesengajaan itu hrs ditujukan agar orang lain itu melakukan tindak pidana.
(d) Ditujukan pada orang lain yang mampu bertanggung jawab atau dapat dipidana. (hal ini penting untuk membedakan dengan pembuat penyuruh (doen pleger)
(2)Dalam melakukan perbuatan meganjurkan harus menggunakan cara-cara menganjurkan, sebagaimana Pasal 55 (1) angka 2. Tidaklah boleh dengan menggunakan upaya lain, misalnya menghimbau. Hal ini yang membedakan antara pembuat penganjur dengan pembuat penyuruh. Pada pembuat penyuruh dapat menggunakan segala cara, asalkan pembuat materiilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
(3)Terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan (pembuat pelaksanaannya) untuk melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan adalah disebabkan langsung oleh digunakannya upaya-upaya penganjuran oleh si pembuat penganjur. Di sini terjadi hubungan sebab akibat. Sebab adalah
(65)
digunakan upaya penganjuran, dan akibat adalah terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan. Jadi jelaslah inisiatif dalam hal penganjuran selalu dan pasti berasal dari pembuat penganjur. Hal ini pula yang membedakan dengan bentuk pembantuan. Pada pembantuan (Pasal 56) inisiatif untuk mewujudkan tindak pidana selalu berasal dari pembuat pelaksananya, dan bukan dari pembuat pembantu.
(4)Orang yang dianjurkan (pembuat pelaksanaanya) telah melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang dianjurkan (5) Orang yang dianjurkan adalah orang yang memiliki
kemampuan bertanggung jawab. a. Pembantu (medeplichttige)
Pasal 56 KUHP Dipidana sebagai pembantu kejahatan :
1) mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
2) mereka yang sengaja memberi kesempatan,sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.54
Menurut pasal 56, bentuk pembantuan atau pembuat pembantu dibedakan antara:
1) pemberi bantuan sebelum dilaksanakannya kejahatan;dan
2) pemberi bantuan pada saat berlangsungnya pelaksanaan kejahatan.
54
(66)
2. Sistem pemidanaan/Pembebanan Tanggung Jawab Pidana
Sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai sIstem pemberian atau penjatuhan pidana. SIstem pemberian atau penjatuhan pidana (sistem pemidanaan) dapat dilihat dari dua sudut yaitu :
a. Dari sudut fungsional (dari sudut bekerjanya atau prosesnya)sistem pemidanaan dapat diartikan :
1) Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi pidana.
2) Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Dengan pengertian demikian, maka sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana.
b. Dari sudut norma-substantif (hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai :
1) Keseluruhan sistem aturan hukum pidana materil untuk pemidanaan 2) Keseluruhan sistem aturan hukum pidana materil untuk penjatuhan
pidana55.
Dengan pengertian demikian, maka keseluruhan peraturan perundang- undangan (“statutory rules”) yang ada di dalam KUHP maupun UU khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari “aturan umum” (“general rules”).56
55
www.legalitas.com, dikases pada tanggal 14 Oktober 2010
56 Ibid
(1)
(dua) tahun. Dari pertimbangan hakim di atas, penulis berkesimpulan bahwa apa yang dijatuhkan oleh hakim sangatlah tepat. Terdakwa yang bekerja sebagai penjaga malam mungkin kurang mengerti apa arti sebuah demontrasi, terdakwa ikut hanya karena diajak oleh seorang temannya dan terdakwa dijanjikan uang saku. Namun apa yang dilakukan oleh terdakwa adalah salah dihadapan hukum dan sudah sepatutnyalah terdakwa dihukum.
3. Putusan Kasasi No. 411 K/Pid/2010
Dalam permohonan kasasi tidak terdapat perubahan dari putusan Pengadilan Tinggi dimana terdakwa dinyatakan tetap bersalah “turut serta dengan kekerasan membubarkan suatu sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara”
Barang bukti dari pengadilan tingkat pertama juga tidak ada penambahan dan perubahan, barang bukti yang digunakan adalah foto terdakwa dan foto-foto saat kejadian terjadi.
Dalam permohonan kasasi terdakwa tetap dihukum selama 2 (dua) tahun yang dinyatakan tetap bersalah.
Penulis berkesimpulan bahwa apa yang dijatuhkan kepada terdakwa dalam putusan ini sudah tepat, melihat perbuatan yang dilakukan terdakwa yang mengakibatkan bubarnya suatu sidang atas nama pemerintah. Pembubaran yang dilakukan terdakwa dan massa demonstrasi tersebut dilakukan dengan cara pemaksaan yang menimbulkan kerusuhan dan pengrusakan sarana dan prasarana
(2)
Perbuatan dari terdakwa haruslah dihukum karena perbuatan terdakwa bertentangan dengan hukum
(3)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Demokrasi di Indonesia mengalami transisi di masa reformasi dimana kemedekaan dalam hal mengemukakan pendapat di muka umum semakin terbuka lebar dan di jamin di dalam Undang-undang, seiring dengan munculnya Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum. Munculnya Undang-undang ini semakin menjamin kemerdekaan setiap golongan masyarakat yang ingin turut serta mengawasi pemerintah agar tercipta keadilan dan pemerintahan yang bersih.
2. Peserta (deelneming) dalam demonstrasi yang bersifat anarki sebagai salah seorang yang ikut dalam demonstrasi yang menggangu ketertiban umum dapat dihukum dan dimintakan pertanggungjawabannya atas akibat yang ditimbulkan dari perbuatan demonstrasi yang bersifat anarki. Pertanggungjawaban yang dapat dikenakan seperti Pasal 146 KUHP yaitu dengan memaksa membubarkan sidang suatu badan atas nama pemerintah. Dalam suatu aksi demonstrasi melibatkan banyak orang, sehingga terdapat suatu “mededaderschap” atau turut melakukan yang terdapat dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Tujuan pertanggungjawaban ini dimaksudkan agar setiap orang memahami bahwa kemerdekaan mengemukakan
(4)
dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum, sehingga setiap orang yang memiliki peran di dalam demonstrasi menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya di dalam keikutsertaannya dalam demonstrasi tersebut.
B. Saran
1. Adanya pengaturan yang lebih khusus lagi terhadap setiap orang yang ikut serta di dalam aksi demonstrasi yang bersifat anarki agar setiap masyarakat semakin jera dengan hal-hal yang diperbuat di dalam aksi demonstrasi yang menimbulkan hal-hal yang bersifat anarki. Sehingga perbuatan-perbuatan anarki di dalam demonstrasi tidak semakin mencoreng citra demokrasi yang telah dibentuk seluruh rakyat Indonesia.
2. Adanya sosialisaisi kepada setiap golongan masyarakat terhadap pemahaman kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum, sehingga setiap golongan masyarakat tidak mudah terhasut oleh orang-orang yang berniat mencorang-orang citra demokrasi demi suatu kepentingan sekelompok orang.
3. Adanya suatu peran serta dari pihak kepolisian yang mengatur jalannya demonstrasi agar dapat terjaga dengan lancar dan aman, dan perlunya dibina hubungan baik antara peserta demonstrasi dengan pihak kepolisian agar tercipta suatu hubungan yang harmonis yang mengurangi kemungkinan terjadinya hal-hal yang bersifat anarki.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku-Buku
Adam, Asvi Warman, Habibie, Prabowo dan Wiranto Bersaksi, Media Kita, 2006
Anwar, Moch., Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku Pertama KUHP, Alumni, Bandung, 1982
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan dan Penyertaan, RajaGrafindo, Jakarta, 2002
Habibie, Detik-Detik yang Menentukan:Jalan Panjang Menuju Demokrasi THC Mandiri, Jakarta, 2006
Hanindyopoetra dan Naryono Artodibyo Hukum Pidana II Penyertaan, FHPM Universitas Brawijaya, Malang, 1975
Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media, 2006
Kanter, E Y,Sianturi, S R, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapan, Storya Grafika, Jakarta, 2002
Kivlan Zen, Integrasi TNI AD, Institue for Policy Studies, 2004
Loqman, Loebby, Percobaan,Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Universitas Tarumanegara, 1996
P.A.F. Lamintang: Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, CV.Sinar Baru Bandung,1984
Sastrawidjadja, Sofyan, Hukum Pidana Asas Hukum Pidana Sampai dengan Alasan Peniadaan Pidana, Armico, Bandung, 1995
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pers, Jakarta, 2006 Soesilo. R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1988 Utrecht. E, Hukum Pidana I, Universitas, Bandung, 1968
(6)
II. Peraturan Hukum
Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemederkaan Menyampaikan Pendapat
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Dekralasi Universal Hak-hak Manusia III. Internet
http://www.niasisland.com/home/discuss_resp_inq.php?category_code_opti on=DC&s_category_code=DC&s_code=000147&code_option=0001 47&menu_name_option=%22Demonstrasi%20adalah%22&process= Add&i=last&norp=20
http://oborbambunetzine.blogspot.com/p/apa-itu-anarki.html
http://materikuliah.net/artikel/perkembangan-demokrasi-di-indonesia.aspx www.legalitas.com