Uji Presisi Penentuan Batas Deteksi LOD dan Batas Kuantitasi LOQ Analisis Data Secara Statistik

kemudian diinjeksikan ke sistem KCKT menggunakan vial autosampler sebanyak 10 µl. dideteksi pada panjang gelombang 265 nm dengan laju aliran 1 mlmenit dan dihitung kadarnya. Kadar dapat dihitung dengan mensubtitusikan luas area sampel pada Y dari persamaan regresi : Y = aX + b. 3.5.3 Penentuan Uji Validasi 3.5.3.1 Uji Akurasi Uji akurasi dengan parameter persen perolehan kembali Recovery dilakukan secara Standard Addition Method dengan membuat konsentrasi analit Ibuprofen 60 mcgml dan baku pembanding 20 mcgml, perlakuan sama dengan perlakuan sampel. Menurut WHO 1992 persen perolehan kembali dapat dihitung dengan rumus: Perolehan kembali 100 x C B A − = Keterangan : A = Konsentrasi sampel yang diperoleh setelah penambahan bahan baku B = Konsentrasi sampel sebelum penambahan bahan baku C = Konsentrasi baku yang ditambahkan

3.5.3.2 Uji Presisi

Menurut Rohman 2007, uji presisi ditentukan dengan parameter Relatif Standar Deviasi RSD dengan rumus: 100 x X SD RSD = Universitas Sumatera Utara Keterangan: RSD = Standar Deviasi Relatif SD = Standar deviasi X = Kadar rata-rata sampel

3.5.3.3 Penentuan Batas Deteksi LOD dan Batas Kuantitasi LOQ

Menurut WHO 1992, untuk menentukan batas deteksi LOD dan batas kuantitasi LOQ digunakan rumus: 2 2 − − = n Yi Y SB Slope SB x LOD 3 = Slope SB x LOQ 10 = Keterangan: SB = Simpangan baku LOD = Batas Deteksi LOQ = Batas Kuantitasi

3.5.3.4 Analisis Data Secara Statistik

Untuk menghitung Standar Deviasi SD digunakan rumus: 1 − − = ∑ n X X SD Keterangan: SD = Standar deviasi X = Kadar sampel Universitas Sumatera Utara X = Kadar rata-rata sampel n = Jumlah perlakuan Kadar dapat dihitung dengan persamaan garis regresi dan untuk menentukan data diterima atau ditolak digunakan rumus: t hitung n SD X X − = Dengan dasar penolakan apabila t hitung ≥ t tabel Untuk mencari kadar sebenarnya dengan α = 0,01, dk = n - 1, dapat digunakan rumus: n SD x t X dk 2 1 1 α µ − ± = Keterangan: μ = Kadar sebenarnya X = Kadar sampel n = Jumlah perlakuan t = Suatu harga tergantung pada derajad kebebasan dan tingkat kepercayaan dk = Derajat kebebasan Universitas Sumatera Utara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Kondisi Kromatografi untuk Mendapatkan Hasil Analisis yang Optimum

4.1.1 Penentuan Perbandingan Fase Gerak Pada awal penentuan perbandingan fase gerak di lakukan dengan cara menyuntikkan larutan 20 mcgml Ibuprofen kedalam sistem KCKT dengan variasi perbandingan fase gerak Metanol - Air 40:60, 50:50 dan 60:40, dideteksi pada panjang gelombang 265 nm, dengan laju alir 1 mlmenit. Adapun parameter yang perlu diperhatikan yaitu theoretical plate, tailing factor, resolusi dan waktu retensi. Hasil orientasi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Lampiran 4 Hal. 23. Tabel 1 . Hasil optimasi perbandingan fase gerak Metanol-Air NO Perbandingan Fase Gerak Metanol-Air Laju alir mlmenit Waktu retensi menit Theoritical plate Tailing Factor Resolusi 1. 40 : 60 1 2,50 2826 1,21 1,33 2. 50 : 50 1 2,62 2507 1,64 1,14 3. 60 : 40 1 2,83 2263 1,43 1,08 Dari tabel diatas dapat dilihat perbandingan fase gerak yang terbaik adalah 40 : 60, karena memberikan theoretical plate yang lebih tinggi dan tailing factor yang lebih kecil, serta memberikan waktu retensi yang lebih cepat. Menurut Rohman 2009, theoretical plate yang tinggi disyaratkan untuk pemisahan yang baik. Kolom yang baik akan mempunyai theoretical plate yang tinggi. Selain itu kinerja kromatografi yang baik adalah jika kromatogram memberikan harga tailing factor TF = 1, jika harga TF 1 menunjukkan bahwa Universitas Sumatera Utara