Perlindungan Pihak Tertanggung Dalam Asuransi Terhadap Tuntutan Ganti Kerugian dari Pihak Ketiga (Studi pada PT Asuransi Intra Asia)

(1)

PERLINDUNGAN PIHAK TERTANGGUNG DALAM

ASURANSI TERHADAP TUNTUTAN GANTI

KERUGIAN DARI PIHAK KETIGA

(Studi pada PT Asuransi Intra Asia)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan

Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

ARMANSYAH PUTRA LUMBAN GAOL 110200079

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN PIHAK TERTANGGUNG DALAM

ASURANSI TERHADAP TUNTUTAN GANTI

KERUGIAN DARI PIHAK KETIGA

(Studi pada PT Asuransi Intra Asia)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan

Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh :

ARMANSYAH PUTRA LUMBAN GAOL 110200079

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

Disetujui Oleh,

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. HASIM PURBA, S.H.,M.Hum. NIP.196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

SINTA ULI, S.H., M.Hum. MULHADI, S.H., M.Hum.


(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

NAMA : ARMANSYAH PUTRA LUMBAN GAOL

NIM : 110200079

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN

JUDUL SKRIPSI : PERLINDUNGAN PIHAK TERTANGGUNG DALAM

ASURANSI TERHADAP TUNTUTAN GANTI

KERUGIAN DARI PIHAK KETIGA (Studi pada PT Asuransi Intra Asia) Dengan ini menyatakan :

1. Skripsi yang saya tulis adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, 25 Juni 2015

ARMANSYAH PUTRA LUMBAN GAOL 110200079


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini

berjudul “PERLINDUNGAN PIHAK TERTANGGUNG DALAM ASURANSI

TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DARI PIHAK KETIGA” yang didalamnya membahas tentang hal-hal yang menyebabkan tertanggung dituntut dari pihak ketiga, perlindungan tertanggung terhadap tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga, dan penyelesaian atas tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga. Penulisan skripsi ini juga merupakan salah satu syarat bagi setiap mahasiswa untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, baik itu disebabkan literatur maupun pengetahuan penulis sehingga pembuatan skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Dengan lapang hati penulis selalu menerima kritik, saran maupun masukan yang bersifat membangun dari berbagai pihak.

Selama poses penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(5)

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan;

6. Ibu Sinta Uli, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Kekhususan Dagang sekaligus merupakan Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu kepada penulis untuk membimbing, memberi nasehat dan motivasi kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini;

7. Bapak Mulhadi, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya dalam membimbing, memberi nasehat, dan motivasi kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini;

8. Ibu Rabiatul Syariah, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 9. Bapak Alwan, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasehat Akademik

penulis;

10. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya yang telah mendidik dan membimbing penulis selama tujuh semester dalam menempuh pendidikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11. Khusus kepada orang tua saya tercinta yaitu Bapak Alanuddin Lumban Gaol dan Ibu Zuraidah Simatupang serta kedua Abang saya Alex


(6)

Febrianto dan Arifai Lumban Gaol yang telah memberikan dukungan Moril dan Materil kepada penulis;

12. Kepada Bapak Ir. Himler Nababan, selaku Kepala Cabang Medan PT Asuansi Intra Asia telah memberikan kesempatan pada penulis melaksanakan riset dengan wawancara untuk penyelesaian skripsi penulis; 13. Kepada teman-teman sekalian yaitu Meilany Silitonga, Eliezer,

Arif, Yogi, Yudha, Imran dan seluruh teman-teman stambuk 2011 yang tidak dapat penulis sebut satu per satu, terima kasih atas doa dan juga dukungan semangat dalam perkuliahan selama ini;

14. Dan segenap pihak yang membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan dukungan kalian selama ini.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Bila ada kesalahan dan kekurangan dalam skripsi ini penulis mohon maaf dan kepada Allah SWT penulis mohon ampun, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, 25 Juni 2015

Armansyah Putra Lumban Gaol 110200079


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penulisan ... 3

D. Manfaat Penulisan ... 4

E. Metode Penelitian ... 5

F. Sistematika Penulisan ... 7

G. Keaslian Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PIHAK TERTANGGUNG DAN ASURANSI A. Pengertian Hak dan Kewajiban Pihak Tertanggung ... 11

B. Jenis-Jenis dan Dasar Hukum Asuransi ... 13

C. Prinsip-Prinsip Dasar dan Syarat Sahnya Perjanjian Asuransi ... 17

BAB III PIHAK KETIGA DALAM ASURANSI A. Pengertian dan Dasar Hukum Pihak Ketiga dalam Perjanjian Asuransi ... 47

B. Tanggung Jawab Hukum Pihak Ketiga dalam Asuransi ... 52


(8)

BAB IV PERLINDUNGAN PIHAK TERTANGGUNG DALAM ASURANSI TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DARI PIHAK KETIGA (STUDI : PT Asuransi Intra Asia)

A. Hal-Hal yang Menyebabkan Tertanggung Dituntut Ganti Kerugian oleh Pihak Ketiga ... 65 B. Perlindungan Hukum Pihak Tertanggung terhadap Tuntutan Ganti

Kerugian dari Pihak Ketiga ... 67 C. Penyelesaian atas Tuntutan Ganti Kerugian Pihak Ketiga Terhadap

Tertanggung ... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 81

A. Kesimpulan ... 82 B. Saran ... 82 DAFTAR PUSTAKA ... 83 LAMPIRAN


(9)

ABSTRAK

Armansyah Putra Lumban Gaol *) Sinta Uli, SH, M.Hum.**) Mulhady, SH, M.Hum.***)

Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untk memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggu ng jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegan polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti. Skripsi ini berjudul Perlindungan Pihak Tertanggung dalam Asuransi Terhadap Tuntutan Ganti Kerugian dari Pihak Ketiga. Di dalam skripsi ini, permasalahan yang dibahas adalah hal-hal yang menyebabkan tertanggung dituntut ganti kerugian oleh pihak ketiga, perlindungan pihak tertanggung terhadap tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga, penyelesaian atas tuntutan ganti kerugian pihak ketiga terhadap tertanggung.

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini adalah penelitian normatif empiris. Penelitian ini dilakukan dengan membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum dan identifikasi hukum (hukum tidak tertulis), dimaksudkan untuk mengetahui hukum yang berlaku dalam masyarakat. Analisis data dilakukan secara kualitatif yang digambarkan secara deskriptif, rangkaian kegiatan analisis data dimulai setelah terkumpulnya data sekunder, kemudian disusun menjadi sebuah pola dan dikelompokkan secara sistematis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Hal-hal yang menyebabkan tertanggung dituntut ganti kerugian oleh pihak ketiga yaitu karena adanya perbuatan melawan hukum dan/atau wanprestasi yang dilakukan tertanggung sehingga pihak ketiga mengalami kerugian sesuai yang diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Penanggung memberikan jaminan perlindungan kepada tertanggung terhadap adanya tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga sesuai dengan polis yang sudah disepakati. Hal yang dijamin oleh penanggung adalah kewajiban tertanggung membayar ganti rugi atau kompensasi atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga. Terhadap tuntutan ganti kerugian pihak ketiga kepada tertanggung, tertanggung akan mengajukan klaim kepada penanggung. Penyelesaian terhadap klaim tersebut, adalah pembayaran ganti rugi jika klaim dijamin oleh polis. Bentuk penyelesaiannya berupa pembayaran cash

(tunai), Repair (perbaikan), Replacement (Penggantian), Reinstatement

(Mengembalikan Seperti Semula). Apabila terjadi sengketa maka dapat diselesaikan melalui Mediasi, Arbitrase, dan Pengadilan.

Kata kunci : Perlindungan, Tertanggung, Asuransi

*)

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**)

Dosen Pembimbing I

***)


(10)

ABSTRAK

Armansyah Putra Lumban Gaol *) Sinta Uli, SH, M.Hum.**) Mulhady, SH, M.Hum.***)

Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untk memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggu ng jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegan polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti. Skripsi ini berjudul Perlindungan Pihak Tertanggung dalam Asuransi Terhadap Tuntutan Ganti Kerugian dari Pihak Ketiga. Di dalam skripsi ini, permasalahan yang dibahas adalah hal-hal yang menyebabkan tertanggung dituntut ganti kerugian oleh pihak ketiga, perlindungan pihak tertanggung terhadap tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga, penyelesaian atas tuntutan ganti kerugian pihak ketiga terhadap tertanggung.

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini adalah penelitian normatif empiris. Penelitian ini dilakukan dengan membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum dan identifikasi hukum (hukum tidak tertulis), dimaksudkan untuk mengetahui hukum yang berlaku dalam masyarakat. Analisis data dilakukan secara kualitatif yang digambarkan secara deskriptif, rangkaian kegiatan analisis data dimulai setelah terkumpulnya data sekunder, kemudian disusun menjadi sebuah pola dan dikelompokkan secara sistematis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Hal-hal yang menyebabkan tertanggung dituntut ganti kerugian oleh pihak ketiga yaitu karena adanya perbuatan melawan hukum dan/atau wanprestasi yang dilakukan tertanggung sehingga pihak ketiga mengalami kerugian sesuai yang diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Penanggung memberikan jaminan perlindungan kepada tertanggung terhadap adanya tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga sesuai dengan polis yang sudah disepakati. Hal yang dijamin oleh penanggung adalah kewajiban tertanggung membayar ganti rugi atau kompensasi atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga. Terhadap tuntutan ganti kerugian pihak ketiga kepada tertanggung, tertanggung akan mengajukan klaim kepada penanggung. Penyelesaian terhadap klaim tersebut, adalah pembayaran ganti rugi jika klaim dijamin oleh polis. Bentuk penyelesaiannya berupa pembayaran cash

(tunai), Repair (perbaikan), Replacement (Penggantian), Reinstatement

(Mengembalikan Seperti Semula). Apabila terjadi sengketa maka dapat diselesaikan melalui Mediasi, Arbitrase, dan Pengadilan.

Kata kunci : Perlindungan, Tertanggung, Asuransi

*)

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**)

Dosen Pembimbing I

***)


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan catatan sejarah, cikal bakal lahirnya asuransi sebenarnya telah dimulai sejak masa Babilonia, 4000-3000 SM, yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Seiring dengan perputaran waktu, pada tahun 1668 M, di Coffee House London, berdirilah Lloyd of London sebagai penanda cikal bakal lahirnya asuransi konvensional.1

Adapun awal mula masuknya bisnis asuransi ke Indonesia terjadi pada saat Indonesia masih berada pada masa penjajahan Belanda. Pada saat itu, Indonesia masih disebut sebagai Hindia Belanda. Awal masuknya bisinis asuransi tersebut seiring dengan keberhasilan bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan. Pada saat itu, keberadaan asuransi dibutuhkan guna menjamin kelangsungaan usaha yang ada.

Perkembangan asuransi di Indonesia sendiri sebenarnya dapat dibagi dalam dua kurun waktu, yaitu pada zaman kolonialisme 1942 dan zaman sesudah Perang Dunia II atau biasa juga disebut sebagai Zaman Kemerdekaan. Bisnis asuransi di Indonesia sempat mengalami kemandekan pada saat pendudukan bala tentara Jepang selama kurang lebih selama tiga setengah tahun.

Jenis asuransi yang telah diperkenalkan di Hindia Belanda pada saat itu masih sangat terbatas, sebagian besar hanya terdiri dari asuransi kebakaran dan

1


(12)

pengangkutan. Pada saat itu, asuransi kendaraan bermotor, asuransi tanggung jawab, atau varian-varian jenis asuransi lainnya masih belum diperkenalkan.

Asuransi sendiri membawa misi ekonomi sekaligus sosial dengan adanya premi yang dibayarkan oleh pihak tertanggung kepada pihak penanggung, yakni perusahaan asuransi, dengan jaminan adanya transfer of risk, yaitu pengalihan risiko oleh pihak tertanggung kepada pihak penanggung.2

Bisa juga dipahami bahwa asuransi merupakan mekanisme pengalihan risiko dimana individu atau kegiatan bisnis memindahkan ketidakpastian yang dimungkinkan dengan cara membayar premi kepada pihak perusahaan asuransi. Hingga kemudian, setelah memasuki masa kemerdekaan, asuransi kembali berkembang di Indonesia sampai saat ini dengan berbagai jenis dan varian yang semakin kompleks.

Pada era modern saat ini, mulailah varian-varian asuransi tumbuh dan berkembang didalam kehidupan masyarakat dan secara garis besar, asuransi dapat dipetakan menjadi dua yaitu asuransi jiwa dan asuransi kerugian. Asuransi jiwa, meliputi asuransi kecelakaan, asuransi kesehatan, dan asuransi kredit. Asuransi kerugian sendiri, meliputi asuransi kebakaran, asuransi laut, asuransi kendaraan bermotor, dan asuransi tanggung jawab.3

Asuransi kerugian merupakan salah satu bentuk usaha asuransi yang bergerak dalam bidang jasa penanggulangan risiko yang disebabkan oleh kerugian, kehilangan manfaat, maupun tanggung jawab hukum.4

2

Ibid., hal. 15. 3

Ibid., hal. 13. 4


(13)

Didalam asuransi kerugian pada prakteknya sering sekali dijumpai adanya tuntutan pihak ketiga kepada tertanggung atas kerugian yang dialaminya karena kesalahan yang dilakukan oleh tertanggung. Misalnya, dalam sewa menyewa rumah dimana tertanggung mengasuransikan rumah yang telah disewanya untuk pemilik rumah selaku pihak ketiga atas bahaya kebakaran. Ketika rumah tersebut mengalami kebakaran akibat kesalahan penyewa (tertanggung), pemilik rumah (pihak ketiga) menuntut ganti rugi atas kerugian yang dialaminya.

Berdasarkan uraian diatas penulis berkeinginan mengupas persoalan seputar bagaimana perlindungan yang diberikan pihak asuransi kepada tertanggung atas tuntutan ganti rugi dari pihak ketiga yang ditujukan kepadanya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis memilih

“P

erlindungan Pihak

Tertanggung Dalam Asuransi Terhadap Tuntutan Ganti Kerugian Dari

Pihak Ketiga

sebagai judul dari skripsi penulis.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang dibahas adalah: 1. Hal-hal apa sajakah yang menyebabkan tertanggung dituntut oleh pihak

ketiga

2. Bagaimanakah perlindungan tertanggung terhadap tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga

3. Bagaimanakah penyelesaian atas tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga C. Tujuan Penulisan


(14)

1. Untuk mengetahui hal-hal yang menyebabkan pihak ketiga menuntut ganti kerugian kepada tertanggung dalam asuransi

2. Untuk mengetahui perlindungan pihak tertanggung terhadap tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga

3. Untuk mengetahui penyelesaian atas tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga terhadap tertanggung.

D. Manfaat Penulisan

Berdasarkan tujuan penulisan yang dinyatakan diatas, terbentuklah manfaat utama dari penulisan ini adalah :

1. Secara teoritis, hasil penelitian pada skripsi ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk :

a. Megembangkan wawasan ilmu pengetahuan khususnya mengenai hukum Asuransi Indonesia.

b. Menambah informasi kepada para pembaca agar dapat mengetahui perlindungan pihak tertanggung dalam asuransi atas tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga.

c. Memperkaya khasanah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai Asuransi khususnya berkenaan dengan perlindungan pihak tertanggung dalam asuransi terhadap tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga.

2. Secara praktis, hasil penelitian menjadi sumbangsih dan bahan masukan terhadap perkembangan hukum positif dan memberikan sumbangan pemikiran untuk dijadikan sebagai bahan acuan hukum asuransi


(15)

khususnya tentang perlindungan pihak asuransi dalam asuransi terhadap tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

penelitian Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Penelitian yuridis normatif membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.5 Penelitian Yuridis empiris adalah penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum tidak tertulis), dimaksudkan untuk mengetahui hukum yang berlaku dalam masyarakat.6 Dalam hal ini penulis melakukan penelitian berupa studi lapangan dengan melakukan wawancara pada salah satu staff teknik di PT Asuransi Intra Asia.

2. Data dan Sumber Data

Data dan sumber data yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undagngan di bidang hukum asuransi, antara lain Kitab Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yakni hasil karya para ahli hukum berupa

5

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 24 6


(16)

buku dan pendapat-pendapat para sarjana yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.

Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi Pustaka, yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan cara menggali sumber-sumber tertulis, baik dari instansi yang terkait, maupun buku literatur yang ada relevansinya dengan maslah penelitian yang digunakan sebagai kelengkapan penelitian.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Metode pengumpulan data ini dilakukan dengan cara mengunjungi langsung objek penelitian. Penelitian dilakukan di Kantor PT Asuransi Intra Asia. Untuk melengkapi data-data penelitian, maka dilakukan dengan

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yang digambarkan secara deskriptif, rangkaian kegiatan analisis data dimulai setelah terkumpulnya data sekunder, kemudian disusun menjadi sebuah pola dan dikelompokkan secara sistematis. Analisis data lalu dilanjutkan dengan membandingkan data sekunder terhadap data primer untuk mendapat penyelesaian permasalahan yang diangkat.


(17)

F. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa tahapan yang disebut dengan Bab dimana masing-masing Bab dibagi dalam beberapa sub bab yang masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri.

Bab I merupakan Pendahuluan, berisi uraian latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, sistmatika penulisan dan keaslian penulisan.

Bab II merupakan bab yang membahas mengenai tinjauan umum tentang pihak tertanggung dan asuransi. Bab II ini meliputi pengertian hak dan kewajiban tertanggung, jenis-jenis dan dasar hukum asuransi, serta prinsip-prinsip dasar dan syarat sahnya perjanjian asuransi.

Bab III merupakan bab yang membahas mengenai pihak ketiga dalam asuransi. Bab III ini mencakup pengertian dan dasar hukum pihak ketiga dalam perjanjian asuransi, tanggung jawab hukum pihak ketiga dan kedudukan hukum pihak ketiga dalam asuransi, dan hak pihak ketiga dalam memperoleh ganti kerugian.

Bab IV merupakan bab yang membahas mengenai perlindungan pihak tertanggung dalam asuransi terhadap tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga (studi: PT Asuransi Intra Asia). Bab ini mencakup tentang hal-hal yang menyebabkan tertanggung dituntut ganti kerugian oleh pihak ketiga, perlindungan pihak tertanggung terhadap tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga, dan


(18)

penyelesaian atas tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga.

Bab V merupakan bagian penutup dari skripsi ini, yang akan mengemukakan kesimpulan dan saran dari bagian awal penulisan skripsi hingga bagian akhir dari penulisan skripsi ini.

Demikian gambaran isi skripsi ini. Untuk melengkapi pada bagian akhirnya, penulis akan menambahkan daftar kepustakaan dan lampiran yang dianggap perlu pada skripsi ini.

G. Keaslian Penulisan

Penulisan Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang penulis lakukan sendiri. Penelitian ini dilakukan penulis dengan mengambil panduan dari beberapa buku-buku dan sumber lainnya yang mempunyai hubungan dengan judul skripsi penulis, serta sumber riset dari lapangan yaitu di PT Asuransi Intra Asia. Skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN PIHAK TERTANGGUNG DALAM ASURANSI TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DARI PIHAK

KETIGA” telah diperiksa melalui Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Judul skripsi ini belum pernah ditulis oleh siapapun di Fakultas Hukum dan jika ada kemiripan maupun hampir sama, tetapi memiliki data yang berbeda dari substansi maupun bentuknya.

Adapun judul skripsi yang telah ada di Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu :

Nama : Andar R. Panjaitan NIM : 070200187


(19)

Judul : Perlindungan Hukum Kepada Tertanggung dari Perusahaan Asuransi yang Pailit

Nama : Risman Ernawati NIM : 890200155

Judul : Pelaksanaan Klaim Asuransi Beasiswa Eksklusif Terhadap Tertangung yang Meninggal Dunia (studi kasus pada PT. Asuransi Bumi Asih Jaya Medan)

Nama : Marolop H.O. Gultom NIM : 920200145

Judul : Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Asuransi Jiwa Bersama sebagai Proteksi bagi Tertanggung (studi kasus pada Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putea 1912 Cabang Medan)

Nama : Rumunita Tarigan NIM : 9402000212

Judul : Perjanjian antara Penanggulangan dan Tertanggung Terhadap Produk Asuransi Jiwa Beasiswa Berencana di Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912

Nama : M. Fera Sarjono NIM : 980200087

Judul : Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perjanjian Asuransi Pendamping Sebagai Proteksi bagi Tertanggung (studi kasus pada asuransi AXA Life Cabang Medan).


(20)

Skripsi ini untuk mengetahui tentang pihak tertanggung dan asuransi, pihak ketiga dalam asuransi, dan perlindungan pihak tertanggung dalam asuransi terhadap tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga. Penulisan skripsi ini disusun berdasarkan literatur yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang membahas mengenai asuransi. Oleh karena itu penulisan skripsi ini asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral dan akademik.


(21)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PIHAK TERTANGGUNG DAN

ASURANSI

A. Pengertian Hak dan Kewajiban Pihak Tertanggung

Asuransi Konvensional Menurut Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, dimana penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan yang tidak diharapkan, yang mungkin akan diderita karena

suatu peristiwa yang tidak pasti”.7

Yusuf Shofie mengutarakan bahwa bisnis perasuransian di Indonesia hampir sama tuanya dengan bisnis perbankan.8

Pengertian tertanggung adalah perorangan atau badan hukum tertentu, menurut definisi dalam masing-masing polis, yang telah mengajukan aplikasi asuransi secara tertulis kepada penanggung dan telah memenuhi segala ketentuan dan syarat penutupan yang ditetapkan, misalnya dalam hal pembayaran.9 Sebagai contoh, dalam Director’s and Officer’s Liability Insurance, tertanggung adalah para direktur dan pejabat perusahaan (misalnya presiden direktur dan komisaris), baik yang pernah, sedang, maupun akan duduk di jabatan tersebut. Dalam Medical malpractice, tertanggung adalah rumah sakit, para dokter, serta praktisi medis. Dalam Profesional Identity, tertanggung adalah para professional yang telah

7

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. 8

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 161. 9

Tuti Rastuti, Aspek Hukum Perjanjian Asuransi, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2011, hal. 138.


(22)

memiliki sertifikasi atau izin kerja yang diakui secara hukum, seperti dokter, pengacara, akuntan, arsitek, insinyur, dan lain-lain.

Tertanggung merupakan pihak yang kedudukannya sangat penting disamping penanggung. Sebab ia dapat menentukan kehendak secara bebas, apakah akan melanjutkan perjanjian pertanggungan ataukah akan menghentikannya.

Adapun hak-hak dari tertanggung itu antara lain :

1. hak untuk menunjuk orang yang akan menerima uang pertanggungan 2. hak untuk merubah siapa-siapa yang menjadi tertunjuk dalam

batas-batas tertentu

3. hak untuk menebus kembali polis

4. hak untuk mengubah polis menjadi bebas premi

5. hak untuk mengadakan pengawasan terhadap penanggung 6. hak untuk menggadaikan polis.10

Untuk mengalihkan suatu risiko kepada pihak lain (penanggung), tertanggung mempunyai beberapa kewajiban disamping juga mempunyai hak. Salah satu kewajiban membayar premi.

Kewajiban lain dari seorang tertanggung dapat juga disebutkan antara lain: 1. Kewajiban untuk memberitahukan kepada penanggung hal-hal yang perlu

diberitahukan dengan benar (Pasal 251, 283, dan 654 KUHD);

2. Berusaha untuk menghindari timbulnya kerugian atau setidak-tidaknya ia berusaha untuk memperkecil kemungkinan timbulnya kerugian (Pasal 283 dan 655 KUHD);

3. Kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam polis sebagai suatu perjanjian asuransi dalam rangka adanya kebebasan berkontrak antara pen

10

Abdul Muis, Hukum Asuransi dan Bentuk-Bentuk Perasuransian, Fakultas Hukum


(23)

anggung dengan tertanggung.11

Tentang Kewajiban pembayaran premi ini dari tertanggung kepada penanggung telah disinggung dalam Pasal 246 KUHD sebagai suatu prestasi dari pihak tertanggung kepada penanggung. Bahkan dinyatakan lagi dalam Pasal 256 sub 7 bahwa di dalam polis harus dinyatakan jumlah uang premi yang harus dibayar tertanggung kepada penanggung. Apabila uang premi tidak dibayar tertanggung maka penanggung dapat menuntut melalui pengadilan agar tertanggung dihukum untuk membayar uang premi itu.

Premi ini biasanya ditentukan dalam suatu presentase dari jumlah yang dipertanggungkan, dimana dalam presentase tercermin penilaian risiko dari penanggung. Penilaian atau penghargaan dari penaggung mengenai risiko ini, dapat berbeda-beda pada beberapa penanggung, akan tetapi selalu dikuasai oleh hukum penawaran dan permintaan.

B.Jenis-Jenis dan Dasar Hukum Asuransi

Jenis-jenis asuransi menurut pembagian klasik ada dua jenis asuransi yaitu asuransi sejumlah uang (sommen verzekering) dan asuransi ganti kerugian (schade verzekering).12 Dalam perkembangannya usaha perasuransian muncul satu jenis asuransi lagi yaitu asuransi varia (varia verzekering).13

Dikatakan asuransi sejumlah uang karena besarnya uang asuransi sudah ditentukan sebelumnya tanpa perlu ada suatu hubungan antara kerugian yang diderita dengan besarnya jumlah uang yang diberikan penanggung.

11

Ibid, hal. 31. 12

Ibid., hal. 11. 13


(24)

Berbeda halnya dengan asuransi kerugian, disini ganti rugi yang diberikan penanggung kepada tertanggung harus seimbang dengan kerugian yang diderita dan kerugian itu adalah akibat dari peristiwa untuk mana asuransi itu diadakan. Perusahaan asuransi kerugian merupakan perusahaan asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tagging jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.14

Asuransi varia disebut juga dengan asuransi campuran karena merupakan campuran (kombinasi) unsur-unsur yang ada dalam asuransi sejumlah uang dan asuransi ganti kerugian.15 Timbulnya ganti rugi yang akan dibayar oleh penanggung tidak lagi digantungkan pada besar kecilnya kerugian tetapi sudah ditentukan besarnya jumlah uang.

KUHD membagi asuransi dalam lima jenis, yaitu : 1. Asuransi kebakaran

2. Asuransi yang mengancam hasil-hasil pertanian disawah 3. Asuransi jiwa

4. Asuransi di lautan dan perbudakan

5. Asuransi perbudakan darat dan di sungai-sungai serta di perairan-perairan pedalaman.16

Adapun yang menjadi dasar hukum asuransi adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang Hukum Dagang (KUHD), dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

14

Herman Darmawi, Manajemen Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hal. 101.

15

Abdul Muis, Op.Cit, hal. 11. 16


(25)

Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:

a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau

b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.17

Menurut Molenggraaff, Asuransi kerugian ialah persetujuan satu pihak, penanggung-mengikatkan diri terhadap yang lain, tertanggung untuk mengganti kerugian yang dapat diderita oleh tertanggung, karena terjadinya suatu peristiwa yang telah ditunjuk, dan yang belum tentu serta kebetulan, pula tertanggung berjanji untuk membayar premi.18

Asuransi Kerugian terbagi atas beberapa jenis asuransi, salah satunya Asuransi Tanggung Jawab. Pengertian Asuransi Tanggung Jawab adalah produk asuransi yang memberikan jaminan perlindungan kepada tertanggung, terhadap risiko yang timbul karena adanya tuntutan dari pihak lain (pihak ketiga),

17

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian. 18

Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan, Perusahaan, dan Asuransi, PT Alumni,


(26)

sehubungan dengan aktivitas personal/perusahaan milik tertanggung. Produk Asuransi tanggung jawab tidak terlepas dari Tanggung Jawab Hukum pihak ketiga(TJH).

Tanggung Jawab Hukum pihak ketiga adalah kewajiban menurut polis yang harus dipenuhi tertanggung terhadap pihak ketiga, apabila risiko-risiko yang dijamin oleh polis menyebabkan pihak ketiga tersebut mengalami kerugian. Hal yang dijamin oleh asuransi tanggung jawab adalah kewajiban tertanggung membayar ganti rugi atau kompensasi atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.

Kerugian-kerugian yang diderita oleh orang lain (pihak ketiga) karena perbuatan seseorang adalah menjadi tanggung jawab seseorang tersebut. Tanggung jawab ini adalah menurut hukum, artinya bahwa apabila karena perbuatan seseorang atau kelalaian seseorang, orang lain menderita kerugian maka menurut hukum harus bertanggung jawab atas kerugian itu.

Ganti rugi atau kompensasi diberikan kepada pihak ketiga sehubungan dengan kerusakan harta benda(property damage), cedera badan (Bodily Injury),

kerugian keuangan (financial loss), atau kehilangan keuntungan (Consequential loss) yang dideritanya.

Menurut ketentuan Pasal 264 KUHD, pertanggungan tidak hanya dapat diadakan untuk kepentingan sendiri, tetapi juga untuk kepentingan pihak ketiga (verzekering voor rekening van een derde, insurance for the liability of the third party), baik berdasarkan kuasa umum atau khusus, maupun diluar pengetahuan pihak ketiga itu.


(27)

C. Prinsip-Prinsip Dasar dan Syarat Sahnya Perjanjian Asuransi

Prinsip mendasar yang harus dimiliki adalah prinsip adanya itikad baik atau

utmost go faith atau uberrimai fides.19 Perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD. Sebagai perjanjian khusus, maka selain asas-asas hukum perjanjian pada umumnya, dalam perjanjian asuransi mengharuskan diterapkannya prinsip-prinsip perjanjian asuransi sebagai berikut:

1. Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (Insurable Interest) 2. Prinsip iktikad baik (Utmost Goodfaith)

3. Prinsip keseimbangan (Idemniteit Principle) 4. Prinsip Subrogasi (Subrogation Principle) 5. Prinsip Sebab Akibat (Causaliteit Principle) 6. Prinsip kontribusi (Contribution Principle) 7. Prinsip kausa proksimal (Cause Principle).20 1. Insurable Interest

Insurable Interest atau kepentingan yang dapat diasuransikan merupakan syarat mutlak untuk dapat diadakan kontrak asuransi. Ketiadaan Insurable Interest

menyebabkan kontrak asuransi ilegal, atau batal demi hukum. Insurable Interest

sebagaimana dinyatakan oleh Chris Parsons, David Green, and Mike Mead (1995)

merupakan “legal right to insure arising out of financial relationship, recognized at law, between the insured and the subject-matter of insurance”, Insurable Interest merupakan hak hukum bagi seseorang untuk mengasransikan subject-matter of insurance (objek pertanggungan) karena adanya hubungan atau kepentingan keuangan yang diakui hukum antara tertanggung dengan subject-matter of insurance.21

19

Ketut Sendra, Klaim Asuransi Gampang, BMAI, Jakarta, 2009, hal. 53. 20

Tuti Rastuti, Op.Cit, hal. 47. 21

Kun Wahyu Wardana, Hukum Asuransi Proteksi Kecelakaan Transportasi, CV.


(28)

Lebih lanjut, seseorang dikatakan memiliki kepentingan atas obyek yang diasuransikan apabila ia menderita kerugian keuangan akibat kehilangan atau kerusakan atas obyek yang diasuransikan tersebut. Menurut M. Suparman Sastrawidjaja, diharuskan ada Insurable Interest dalam perjanjian asuransi dengan maksud untuk mencegah agar asuransi tidak menjadi permainan dan perjudian.22

Hal itu disebabkan, apabila seseorang yang tidak mempunyai kepentingan terhadap suatu obyek asuransi, dapat mengasuransikan obyek tersebut, maka akibatnya, tanpa menderita kerugian orang tersebut akan mendapat ganti kerugian apabila terjadi peristwa yang tidak dikehendaki menimpa obyek yang dimaksud.

Sri Rejeki Hartono, memberikan metode bagaimana mendeteksi apakah seseorang mempunyai Insurable Interest atau tidak, dengan menggunakan indikator sebagai berikut:

a. Seberapa jauh keterkaitan tertanggung terhadap benda/obyek perjanjian asuransi terhadap terjadinya peristiwa yang diperjanjikan.

b. Apakah peristiwa yang terjadi menyebabkan kerugian atau tidak terhadap tertanggung.23

Adapun penerapan Insurable Interest ini bisa berbeda-beda. Tergantung jenis asuransinya.

1. Life Insurance

Sejatinya setiap orang memiliki Insurable Interest yang tidak tergantung batas atas dirinya dan secara teori setiap orang dapat mengasuransikan dirinya untuk sejumlah nilai pertanggungan berapapun. Dalam praktek, kemampuan

22

Ibid 23


(29)

seseorang untuk membayar premi akan membatasi jumlah uang pertanggungan yang diinginkan. Disamping seseorang memilik Insurable Interest atas dirinya sendiri, seseorang yang hidup dalam ikatan perkawinan dapt pula memiliki

Insurable Interest atas pasangan hidupnya. Sang suami dapat mengasuransikan istrinya, demikian sebaliknya

2. Property Insurance

Insurable Interest untuk asuransi harta benda relatif lebih mudah diidentifikasi dengan menggunakan pendekatan kepemilikan,. Pemilik dari harta benda pasti akan mengalami kerugian apabila harta benda miliknya mengalami kerusakan atau musnah.

Dalam kaitan dengan Part or Joint Owners, kepemilikan atas sebagian harta benda dapat mengasuransikan harat benda tersebut secaa penuh. Ini tidak berarti bahwa pihak yang mengasuransikan akan memperoleh ganti rugi atas hilang atau rusaknya harta benda secara penuh pula. Ganti rugi yang diterima tetap disesuaikan dengan bagian atau kerugian yang diderita atas kepemilikan bersama tersebut. Sebagai contoh badan Trustee dapat mengasuransikan dalam jumlah penuh harta benda yang diamanahkan kepadanya.

Dalam hal terjadi Klaim, maka kelebihan atas sejumlah kepentingannya harus diserahkan kepada pihak lain yang juga memiliki kepentingan yang sama. 3. Mortgagees & Mortgagors

Mortgage sangat popular dalam transaksi pembelian rumah. Mortgage


(30)

tak bergerak untuk menjamin pembayaran suatu hutang dengan kentuan bahwa penyerahan itu akan dibatalkan pada waktu pembayaran.

Adapun para pihak yang terlibat dalam mortgage adalah Mortgage(pemberi pinjaman atau pemegang surat hipotek) dan mortgagor(pembeli atau orang yang berhutang dengan jaminan hipotek). Kedua belah pihak memiliki insurable insurance. Mortgagor sebagai pemilik rumah dan mortgagee sebagai kreditor.

Kepentingan mortgagee sebatas jumlah uang yang dipinjamkan. Biasanya pihak mortgagee memasukkan klausul dalam perjanjian asuransinya bahwa

mortga gee juga menjadi pemilik atas rumah dimaksud. 4. Executor & Trustee

Executor & Trustee sering memiliki hak atas asuransi harta benda yang berada dalam penguasaannya. Secara hukum mereka bertanggung jawab atas harta benda yang dititipkan, sehingga menimbulkan atau memberikan insurable insurance pada mereka terhadap harta benda yang dititpkan

5. Bailees

Seorang bailee adalah orang yang bertanggung jawab atas barang-barang milik orang lain yang dititipkan kepadanya baik karena atas dasar fee maupun tidak. Pemilik Rumah Gadai, pemilik Laundry, pemilik bengkel adalah contoh

bailee dan masing-masing bertanggung jawab atas barang yang diserahkan oleh pemiliknya(sebagai barang jaminan untuk rumah gadai, barang yang dicuci untuk

laundry, diperbaiki untuk bengkel), yang membuat mereka harus bertanggung jawab atas hilang atau rusaknya barang milik konsumen mereka.


(31)

6. Agents

Seorang prinsipal atau majikan memiliki Insurable Insurance atas agennya dan dapt mengasuransikan atas namanya.

7. Marine Insurance

Hukum Inggris memberi batasan autentik untuk kepentingan yang dapat diasuransikan dalam Pasal 5 marine Insurance Act 1906 di bidang asuransi laut. Pasal tersebut menyatakan bahwa tertanggung mempunyai kepentingan yang dapat diasuransikan jika ia dapat menikmati keselamatan barangnya atau dapat menderita kerugian jika barang tersebut musnah atau rusak.

2. Utmost Good Faith

Prinsip Utmost Good Faith yaitu kewajiban tertanggung menginformasikan segala sesuatu yang diketahuinya mengenai objek yang dipertanggungkan secara benar.24

Praktik asuransi sebagai suatu sarana pengendalian risiko telah berkembang selama bertahun-tahun, sehingga telah menjadi suatu ilmu pengetahuan yang semakin rumit dan butuh pengkajian lebih dalam. Ilmu asuransi telah dikembangkan melalui berbagai cara, sarana, dan teknis perasuransian yang mencakep bidang-bidang dokumentasi, penjaminan (underwriting), pemasaran, klaim, dan sebagainya.

Pengertian dari Utmost Good Faith atau Uberrima Fides diterjemahkan

sebagai “itikad baik yang terbaik”.25

Dalam kontrak asuransi , itikad baik saja belum cukup tapi dituntut yang terbaik dari itikad baik dari calon tertanggung atau

24

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika , Jakarta, 2008, hal.162.

25


(32)

tertanggung. Penalarannya sebagaimana disimpulkan oleh Scrutton L J dalam

perkara Rozannes V. Bowen bahwa “as the underwriter knows nothing and the man who comes to him to ask him to insure knows everything, it is the duty of the

assured…. To make a full disclosure to the underwriter without being asked of all

the material circumstances”.

Dikarenakan tertanggung yang dinilai lebih memahami tentang obyek yang akan dipertanggungkan, maka tertanggung harus mengungkapkan seluruh fakta material (material facts) yang berkaitan obyek pertanggungan tersebut secara akurat dan lengkap kepada underwriter.

Baik diminta atau tidak diminta, sepanjang fakta material tersebut dinilai dapat mempengaruhi keputusan underwriter untuk menerima atau menolak risiko yang akan dipertanggungkan, maka wajib hukumnya bagi calon tertanggung dinilai memenuhi underwriting standards, maka permohonan penutupannya akan diterima dengan premi standar, tapi jika calon tertanggung gagal atau tidak dapat memenuhi underwriting standards, maka underwriter akan menolak atau dapat menerima dengan mengenakan premi yang lebih mahal.

Jadi Good Faith-nya terletak pada itikad baik untuk selalu menjawab atau mengungkapkan secara jujur setiap pertanyaan yang disampaikan oleh

underwriter. Sedangkan “Utmost” adalah menekankan pada inisiatif dari tertanggung untuk menggunakan juga fakta pentng yang tidak dipertanyakan atau diminta oleh underwriter. Tatkala ia menyadari bahwa fakta tersebut akan memperbesar risiko dari obyek pertanggungan.


(33)

Menurut Gunarto, prinsip Utmost Good Faith menyangkut kewajiban yang harus dipenuhi para pihak sebelum kontrak ditutup dan bukan dalam rangka pelaksanaan kontrak yang sudah ditutup seperti itikad baik yang dimaksud Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.26

Untuk asuransi laut di Inggris hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 18

marine Insurance Act 1906, yang menyatakan bahwa principle of utmost good faith harus diindahkan atau dilaksanakan sebelum kontrak. Salah satu contohnya ialah ketika tertanggung meminta suransi barang muatan kapal yang semula diakui bernilai £2.800, padahal nilai sebelumnya ternyata hanya £970. Karena penilaian berlebihan tersebut berasal dari tertanggung, maka penanggung berhak membatalkan polis atau menolak membayar klaimnya. Tapi pendapat berbeda disampaikan oleh Chris Parsons, David Green, dan Mike Mead, bahwa durasi kewajiban untuk memberikan fakta-fakta penting bisa berbeda, tidak selalu sebelum kontrak asuransi dilakukan. Berikut perbedaan mengenai kewajiban untuk memberikan fakta-fakta penting tersebut berlaku, yaitu:

1. Common Law. Bermula saat negosiasi kontrak dilakukan dan berakhir pada saar kontrak disetujui oleh para pihak

2. Contractual Duty. Mensyaratkan tidak menyembunyikan fakta-fakta

penting selama kontrak masih berlaku dan memberikan hak kepada penanggung menolak untuk meng-underwrite perubahan yang terjadi. 3. Position at renewal. Keharusan untuk mengungkapkan fakta-fakta penting

tergantung jenis kontraknya:

a. Long-term business: untuk jenis asuransi (asuransi jiwa dan asuransi kesehatan), penanggung diwajibkan untuk menerima premi perpanjangan kontrak jika tertanggung menghendaki untuk memperpanjang kontraknya dan tidak ada kewajiban untuk mengungkapkan fakta-fakta material pada saat perpanjangan

26


(34)

b. Other business: untuk jenis asuransi lain, pada saat perpanjangan tetap dibutuhkan persetujuan dari penanggung dengan mengungkapkan kembali fakta-fakta penting.

4. Alternations to the contract. Pada saat terjadi peubahan pada kontrak asuransi antara lain mengenai peningkatan niai pertanggungan atau perubahan deskripsi dari obyek pertanggungan, berlaku kewajiban untuk mengungkapkan fakta-fakta penting. Ketentuan ini juga berlaku bagi long-term business dan other business.27

Pendapat senada juga dikemukakan AM Hasan Ali, yang mencoba mengambil intisari penerapan Utmost Good Faith bahwa kewajiban untuk memberikan fakta-fakta penting tersebut berlaku:

1. Sejak perjanjian mengenai perjanjian asuransi dibicarkan sampai kontrak asuransi selesai dibuat, yaitu pada saat para pihak menyetujui kontrak tersebut.

2. Pada saat perpanjangan kontrak tersebut

3. Pada saat terjadi perubahan pada kontrak asuransi dan mengenai hal-hal yang ada kaitannya dengan perubahan-perubahan itu.28

Dari berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata kunci dari penerapan Utmost Good Faih adalah kejujuran atau itikad baik yang harus selalu ada dari tertanggung untuk mengungkapakan fakta material yang dinilai akan berpengaruh terhadap keputusan seorang underwriter. Dan idealnya prinsip tersebut berlaku sebelum dan selama kontrak asuransi tersebut masih berlaku.

Sebenarnya prinsip ini bukanlah hal yang baru dikenal. Prinsip ini merupakan bahasa lain dari penerapan norma dan etika yang memang seharusnya menjadi bagian yang integral dari diri seorang manusia yang beradab.

27

Kun Wahyu Wardana, Op.Cit,hal. 36. 28


(35)

Selain itu, menurut Kepler A. Marpaung sangat sering terjadi kesalhpahaman atas penerapan prinsip ini dalam bisis asuransi. Utmost Good Faith seolah-olah hanya menjad kewajiban tertanggung, sedangkan penanggung tidak perlu atau seakan-akan tidak memiliki kewajiban untuk beritikad baik kepada tertanggung.

Banyak penanggung mengklaim bahwa tertanggung tidak melaksanakan itikad baik (breach of utmost good faith) sehingga klaim asurangsi yang diajukan ditolak perusahaan asuransi. Dalam banyak kasus, sering kali nit baik tertanggung untuk melakukan sesuatu berkaitan dengan klaim asuransi menjadi boomerang karena ternyata tindakan itu dianggap melanggar ketentuan kontrak.

Dalam setiap perjanjian asuransi unsur saling percaya antara penanggung dan tertanggung akan memberikan segala keteranggannya secara benar. Di lain pihak, tertanggung juga percaya bahwa kalau terjadi peristiwa penanggung akan membayar ganti rugi.

Disisi lain, si tertanggung sendiri kadang tidak mengetahui bahwa niat baik itu ternyata bakal merugikannya. Hal semacam ini inilah yang pada akhirnya menjadi gray area timbunya konflik dari tuntutan ganti rugi.

Sepintas penerapan Utmost Good Faith dinilai tidak berimbang. Seolah-olah kewajiban untuk beritikad baik hanya menjadi beban tertanggung. Tapi sejatinya tidak demikian. Karena dalam asuransi pun berlaku asas Reciprocal Duty (kewajiban timbale balik). Penanggung pun harus bersikap yang sama terhadap tertanggung. Penanggung tidak boleh menyembunyikan informasi yang mengiring tertanggung masuk kedalam kontrak yang berat sebelah.


(36)

Adalah menjadi kewajiban si penanggung untuk menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan kontrak asuransi, termasuk sebelum dimulai kontrak. Apabila si penanggung tidak menjelaskan hak dan kewajiban si tertanggung, maka penanggung telah melanggar prinsip Utmost Good Faith. Karena itu, kelak terjadi klaim dan merugikan kepentingan tertanggung, maka penanggung dapat dituntut dan harus bertanggung jawab atas ganti rugi yang diderita tertanggung.

Adapun bentuk dari penerapan Reciprocal Duty bagi penanggung, antara lain:

1. Tidak menyembunyikan informasi dari tertanggung bahwa tertanggung berhak atas discount premi Asuransi kebakaran atas pemasangan

speinkle (alat pemadam kebakaran) pada bangunan;

2. Tidak menerima penutupan asuransi yang diketahui tidak terjamin atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang beraku;

3. Tidak memberikan pernyataan yang tidak benar selama melakukan negosiasi kontrak.

3. Idemniteit Principle

Penerapan Idemniteit Principle dalam asuransi sekaligus menjadi pembeda bahwa asuransi tidak identik dengan perjudian. Dalam perjudian, tidak dikenal ganti rugi bagi yang kalah. Kerugian akibat kekalahan yang diterima oleh penjudi adalah konsekuensi yang harus diterima.Sedangkan dalam asuransi, ganti rugi merupakan tujuan. Bahwa asuransi merupakan risk transfer mechanism.29 Mengalihkan atau membagi risiko yang kemungkinan diderita atau dihadapi oleh

29


(37)

tertanggung ataus suatu peristiwa yang tidak dikehendaki dan belum pasti terjadi. Harapannya, beban financial tertanggung menjadi lebih pasti. Fixed cost dalam bentuk premi.

Namun satu hal yang perlu digarisbawahi dalam prinsip Indemnity, tertanggung tidak diperkenankan unutk memperoleh keuntungan dari ganti rugi yang diberikan oleh penanggung. Besarnya ganti rugi yang diterima oleh tertanggung harus seimbang atau sama dengan kerugian yang dideritanya.

Untuk menciptakan keseimbangan antara kerugian dengan ganti rugi, maka harus diketahui terlebih dahulu berapa nilai atau harga dari obyek yang diasuransikan. Dengan dasar tersebut, maka Idemniteit Principle hanya berlaku bagi asuransi yang kepentingannya dapat dinilai dengan uang, yaitu asuransi umum (generalinsurance) yang berkaitan dengan kerugian material.

Adapun kepentingan didalam asuransi jumlah (manfaat) seperti dalam asuransi jiwa yang tidak dapat diukur secara financial kerugian yang diderita, prinsip indemnity tidak berlaku. Bentuk kontraknya agreement to pay a specified sum. Besar yang dibayarkan kepada tertanggung ditentukan oleh berapa nilai pertanggungan (manfaat) yang dikehendaki dan kesanggupan dari tertanggung dalam mebayar preminya. Semakin besar nilai pertanggungan yang dikehendaki, maka semakin besar pula premi yang harus dibayarkan.

Dalam penerapan Idemniteit Principle, terdapat beberapa metode pembayaran/pengganti kerugian, antara lain:

1. Tunai (cash). Ganti rugi dibayarkan dalam bentuk sejumlah uang sesuai dengan nilai kerugian yang diderita tertanggung. Misalnya santunan dalam Asuransi Kecelakaan Diri, atau biaya perbaikan yang dibayarkan kepada tertanggung atas kendaraannya yang rusak akibat kecelakaan;


(38)

2. Perbaikan (repair). Penanggung menunjuk bengkel tertentut untuk memperbaiki kerusakan kendaraan tertanggung. Jadi, tertanggung tidak perlu membayar biaya perbaikan kendaraan tersebut;

3. Membangun kembali (reinstate). Biasanya metode ini berlaku unutk kerugian terhadap property. Misalnya bangunan yang diasuransikan rusak atau terbakar. Maka penaggung bertanggung jawab untuk membangun kembali bangunan tersebut;

4. Mengganti (replace). Dalam hal mesin-mesin, atau kendaraan mengalami kerusakan total (total loss) yang tidak mungkin diperbaiki atau bias juga karena hilang dicuri, maka penaggung akan memberikan penggantian sesuai dengan spesifikasi mesin atau kendaraan tersebut.30

4. Subrogation Principle

Subrogasi merupakan pendukung konsep indemnity karena subrogasi mencegah tertanggung untuk mendaatkan recovery lebih dari kerugian yang dideritanya. Sehingga subrogasi disebut juga Corollary of indemnity.31

Subrogasi merupakan peralihan hak dari tertanggung kepada penanggung untut menuntut ganti rugi kepada pihak lain yang mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap obyek pertanggungan dari tertanggung sesaat setelah penanggung membayar ganti rugi tersebut kepada tertanggung sesuai jaminan polis.32 Tapi satu hal yang perlu digarisbawahi, subrogasi ini hanya berlaku untuk

contract of indemnity.

Pemahaman tersebut senada dengan ketentuan dalam Pasal 284 KUHD yang mengatur subrogasi sebagai berikut:

“ seorang penanggung yang telah membayar kerugian suatu barang yang

diasuransikan, menggantikan kerugian dalam segala hak yang dipeolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut dan

30

Kun Wahyu Wardana, Op.Cit, hal. 40. 31

Kun Wahyu Wardana, Op.Cit, hal. 41. 32


(39)

tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap orang-orang ketiga itu”

Namun penerapan pasla ini sepatutnya tidak mutlak dan kaku. Agar tertanggung tidak dirugikan. Sebab jika kerugian yang diderita tertanggung seluruhnya sudah dikompensasikan oleh penanggung, meamang tidak menjadi masalah. Akan tetapi, bagaimana jka kerugian yang diderita oleh tertanggung hanya diganti sebagian oleh penaggung. Apakah hak tertanggung untuk meminta

recovery atas selisih kurang tersebut kepada pihak yang menimbulkan kerugian, kemudian ikut tercabut juga dan kemudian menjadi keuntungan bagi penanggung karena bisa mendapatkan recovery melebihi dari nilai ganti rugi yang diberikan kepada tertanggung. Tentu penafsiran ini tidak sejalan dengan prinsip asuransi di satu sisi dan merugikan kepentingan tertanggung di sisi lain.

Oleh karena itu Diplock L J menandaskan dalam kasus Glen Line V. Attorney General (1930) bahwa “….the simple principle which I apply is that the

insurer cannot recover under rhe doctrine of subrogation…. Anything more than

he had paid”. Maknanya penerapan subrogasi pun tidak rigid. Apabila penggantian kerugian hanya sebagian saja diberikan oleh penaggung, maka tertanggung mensubrogasi haknya hanya untuk sejumlah kerugian yang telah di

recovery dari penanggung. Hak-hak selebihnya dari tertanggung terhadap pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya kerugian, masih tetap dipegang tertanggung.33

33


(40)

Sejatinya prinsip subrogasi ini timbul karena dalam hukum berlaku Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengharuskan pihak yang menyebabkan kerugian tersebut bertanggung jawab dengan mengganti kerugian tersebut kepada pihak yang dirugikan. Atau dalam bahasa lain, pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyebabkan kerugian.

Dengan demikian, apabila tertanggung mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak ketiga, maka penanggung setelah memberikan ganti kerugian kepada tertanggung, maka penanggung menggantikan kedudukan tertanggung dalam mengajukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut.34

5. Causaliteit Principle

Causaliteit Principle/Proximate Principle merupakan salah satu prinsip penting dalam penyelesaian santunan. Dengan menggunakan prinsip ini, maka suatu peristiwa dapat ditentukan penyebabnya. Penggantian kerugian oleh Perusahaan Asuransi hanya akan dibayarkan apabila peristiwa yang dominan menimbulkan kerugian itu termasuk dalam jaminan Polis Asuransi yang bersangkutan.35

Adapun pengertian Proximate Cause sebagaimana dikutip dari pandangan

hakim dalam kasus Pawsey V. Scotttish Union and National (1908) adalah “the active, efficient cause that sets in motion a train of events which brings about a result, without intervention of any forcestarted and working activelyfrom a new and independent source”. Secara bebas diterjemahkan bahwa Proximate Cause

merupakan sebab utama yang aktif dan efisien yang menyebabkan timbulnya

34

Tuti Rastuti, Op.Cit, Hal. 52. 35


(41)

suatu kerugian dalam suatu rangkaian peristiwa yang terjadi secara berkesinambungan dan tidak terputus-putus oleh suatu peristiwa lainnya yang berasal dari luar, atau tidak terputus oleh suatu sebab yang baru.36

Untuk memudahkan memahaminya, cara kerja proximate cause ini sama

dengan ‘efek domino’ dalam permainan kartu domino yang ditegakkan dan

disusun memanjang seperti ular. Apabila kartu domino yang tertimpa kartu domino sebelumnya akan terjatuh dan menimpa kartu berikutnya. Demikian seterusna hingga seluruh kartu domino itu terjatuh sampai kartu domino terakhir.

Sepanjang tidak ada intervensi untuk menghentikan efek domino tersebut, dengan menahan atau mengambil kartu domino dari tengah, maka proximate cause dari terjatuhnya kartu domino terakhir adalah kartu domino yang paling awal dijatuhkan.

Namun dalam praktek, terkadang tidak semudah itu menentukan

proximate cause dari suatu peristiwa. Sebagai ilustrasi, kasus yang sering kali dijadikan rujukan dalam berbagai literatur asuransi adalah kasus Leyland Shipping Co. V. Norwiich Union Fire Insurance Society Ltd (1918).

Ketika itu sedang berkecamuk perang. Kapal milik Leyland Shipping Co

mengalami kerusakan parah dibagian tubuh lambung dsebabkan hantaman torpedo musuh. Akibatnya kapal tersebut terancam tenggelam. Nahkoda kapal yang meyadari bahaya tersebut, berupaya mengarahkan kapal ke pelabuhan terdeka untuk diperbaiki. Usahanya berhasi, tapi baru saja pekerjaan perbaikan dimulai, badai mulai berhembus dengan kuat dan mulai menerjang pelabuhan.

36


(42)

Syah Bandar menyadari kemungkinan kapal tersebut akan karam di pelabuhan semakin pasti. Karena badai terus menghantam pelabuhan yang menyebabkan air laut masuk ke dalam kapal melalui lubang yang menganga di lambung kapal yang belum sempat diperbaiki. Dikhawatirkan jika kapal tersebut karam di pelabuhan, maka akan menghalangi kapal-kapal lain untuk bersandar. Untuk menghindarkan hal tersebut, Syah Bandar kemudian memaksa kapal tersebut ke luar dari pelabuhan.

Namun tak lama berselang setelah kapal berlayar menjauhi pelabuhan, akhirnya karam dihantam badai. Dalam kasus peril manakah yang menjadi

proximate cause yang menyebabkan kerusakan pada lambung kapal atau karena badai yang menyebabkan air laut masuk ke dalam kapal hingga tenggelam.

Sepintas mungkin akan menyimpulkan bahwa badailah yang menjadi penyebab tenggelamnya kapal tersebut. Jadi badai adalah hakim House of Lord,

UK dalam putusannya berpendapat bahwa: “what does proximate here mean? To treat proximate cause as if it was the cause which is proximate in time is, as I have said, out of the question. The cause which is truly proximate is that which is proximate in efficiency. That efficiency may have been preserved although other causes may meantime have sprung up which have yet not destroyed remains the real efficient cause to which that can be ascribed ”. Proximate cause tidak semata-mata ditentukan oleh suatu sebab yang terjadi dalam waktu dekat atau yang terdekat dari suatu peristiwa. Tapi ditentukan oleh efisiensi dari suatu sebab.


(43)

Bisa saja efisiensi suatu sebab tetap eksis meski sebab lain timbul dalam rangkaian peristiwa tersebut.37

Dalam kasus tersebut menjadi penting untuk menentukan proximate cause-nya apakah karena perang atau badai. Karena polis asuransi kapal tersebut mengecualikan peril yang disebabkan perang.

Memang benar bahwa pada saat air laut masuk melalui lubang dilambung kapal yang menyebabkan kapal tenggelam. Tapi harus diingat bahwa kerusakan yang ditimbulkan torpedo sama sekali belum sirna. Efektifitas peril masih terus berlangsung hingga tenggelamnya kapal. Bahkan masuknya air laut adalah melalui kerusakan kapal yang disebabkan torpedo. Dengan demikian klaim

Leyland Shipping ditolak. Karena peril perang yang dikecualikan dalam polis. 6. Contribution Principle

Apabila dalam suatu polis ditandatangani oleh beberapa peanggung, maka masing-masing penanggung itu menurut imbangan dari jumlah untuk mana mereka menandatangani polis, memikul hanya harga yang sebenarnya dari kerugian itu yang diderita oleh tertanggung.

Prinsip kontribusi ini terjadi apabla ada asuransi berganda (double insurance) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 KUHD, yang menyatakan sebagai berikut:

“Apabila dalam satu-satunya polis, meskipun pada hari-hari yang berlainan, oleh berbagai penanggung yang melebihi harga, maka mereka itu bersama-sama, menurut keseimbangan daripada jumlah-jumlah untuk mana mereka telah

37


(44)

menandatangani polis tadi, memikul hanya harga sebenarnya yang

dipertanggungkan”.38

Tertanggung dapat saja mengasuransikan harta benda yang sama pada beberapa perusahaan asuransi. Namun bila terjadi kerugian atas objek yang diasuransikan, maka secara otomatis berlaku konsep kontribusi. Prinsip kontribusi berarti bahwa, apabila penanggung telah membayar penuh ganti rugi yang menjadi hak tertanggung, maka penanggung berhak menuntut perusahaan-perusahaan lain yang terlibat suatu pertanggungan (secara bersama-sama menutup asuransi harta benda milik tertanggung) untuk membayar bagian kerugian masing-masing yang besarnya sebanding dengan jumlah pertanggungan yang ditutupnya.

Prinsip kontribusi atau saling menanggung ini pada hakikatnya bukan hanya berlaku dalam hal asuransi, melainkan juga berlaku dalam hal reasuransi. Hubungan mendasar antara penanggung pertama dan penanggung ulang prinsip ganti kerugian yang juga menganut ketentuan tolak ukur ganti kerugian dan ketentuan lainnya yang telah dijelaskan, kontribusi juga dipakai sebagai dasar menentukan pembagian risiko dan/atau sesi kepada para pihak yang bersangkutan termasuk pembagian beban klaim yang harus ditanggng bersama seusai dengan saham atau penyertaannya dalam hal asuransi, ko-asuransi dan reasuransi.

Dalam hal asuransi dibawah harga kontribusi dilaksanakan antara penanggung dan tertanggung. Sebab, dalam hal ini tertanggung dianggap ikut serta menanggung sebagian risiko atas kepentingan yang dipertanggungkan,

38


(45)

sedangkan dalam hal reasuransi, kontribusi dilaksanakan antara penanggung pertama dan pihak penanggung ulang.

7. Cause Principle

Prinsip penyebab utama yang aktif dan efisien menimbulkan suatu kerugian dalam suatu kejadian.Apabila kepentingan yang diasuransikan mengalami musibah atau kecelakaan, maka pertama-tama kami akan mencari sebab-sebab yang aktif dan efisien yang menggerakkan suatu rangkaian peristiwa tanpa terputus sehingga pada akhirnya terjadilah musibah atau kecelakaan tersebut.

Suatu prinsip yang digunakan untuk mencari penyebab kerugian yang aktif dan efisien adalah: “Unbroken Chain of Events” yaitu suatu rangkaian mata rantai peristiwa yang tidak terputus.39

Perjanjian asuransi atau pertanggungan merupakan salah satu perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD.40 Sebagai suatu perjanjian, maka ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian dalam KUHPrdt berlaku juga bagi perjanjian asuransi. Karena perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus, maka disamping ketentuan sayarat-syarat sah suatu perjanjian, berlaku juga syrat – syarat khusus yang diatu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Supaya sahnya suatu perjanjian asuransi atau pertanggungan haruslah memenuhi semua syarat-syarat yang disebut untuk sesuatu perjanjian. Dalam Pasal 1320 Kitab

39

http://tripakarta.co.id/new/profil/sejarah-dan-pengertian-dasar-asuransi/, diakses pada tanggal 3 Januari 2015.

40

Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,


(46)

Undang-Undang Hukum Perdata untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal.41

Syarat-syarat yang dikemukakan diatas juga merupakan syarat sah untuk mengadakan Asuransi Tanggung Jawab. Berikut dibawah ini akan diuraikan satu persatu syarat-syarat tersebut ditambah dua syarat-syarat sah pertanggungan lainnya.

1. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya (Persetujuan Kehendak)

Antara pihak-pihak yang mengadakan pertanggungan harus ada persetujuan kehendak (consensus, toestemming, meeting of minds). Artinya kedua belah pihak menyetujui tentang benda yang menjadi objek perjanjian dan tentang syarat-syarat tertentu yang berlaku bagi perjanjian tersebut.

Apa yang disetujui oleh pihak penanggung, disetujui juga oleh pihak tertanggung. maka menurut Pasal 1321 KUH Perdata maka adanya paksaan, kekeliruan dan penipuan dari persesuaian kehendak menyebabkan persesuaian kehendak itu tidak berlaku. Dengan demikian tercapai suatu pengertian yang sama antara kedua belah pihak tentang syarat-syarat yang berlaku bagi perjanjian itu.

41


(47)

2. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan

Kedua belah pihak yang mengadakan pertanggungan harus cakap melakukan perbuatan hukum (bekwaam, authorized). Artunya kedua belah pihak itu sudah dewasa, tidak dibawah pengampuan (curatele), tidak dalam keadaan sakit ingatan, tidak dalam keadaan Pailit. Demikian juga apabila pihak-pihak itu mewakili pihak lain mengadakan pertanggungan perlu menyebutkan untuk kepentingan itu.

Kedua belah pihak dapat berupa manusia pribadi dan dapat juga berupa badan hukum, biasanya berbentuk suatu badan usaha. Pihak penanggung selalu dalam bentuk badan usaha yang pekerjaannya bergerak dalam bidang pertanggungan.

3. Suatu Hal Tertentu

Dalam setiap pertanggungan harus ada benda yang dipertanggungkan

(voorwerp der verzekering, object of insurance). Karena yang

mempertanggungkan benda itu adalah tertanggung, maka tertanggung harus mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan benda yang dipertanggungkan itu. Dikatakan ada hubungan langsung, apabila tertanggung memiliki benda tersebut. Dikatakan ada hubungan yang tidak langsung, apabila tertanggung mempunyai kepentingan atas benda tersebut.

Pihak tertanggung harus dapat membuktikan bahwa ia betul-betul memiliki atau mempunyai kepentingan atas benda yang dipertanggungkan itu. Apabila ia tidak dapat membuktikannya, mengakibatkan timbul anggapan bahwa ia tidak mempunyai kepentingan apa-apa, Hal mana mengakibatkan


(48)

pertanggungan batal (nietig, null and coid). Undang-undang tidak akan mentolerir orang yang tidak mempunyai kepentingan dalam pertanggungan.

Walaupun orang yang mengadakan pertanggungan itu tidak mempunyai kepentingan atas benda yang dipertanggungkan, ia harus menyebutkan untuk kepentingan siapa pertanggungan itu diadakan. Dianggap tidak mempunyai kepentingan, orang yang mempertanggungkan benda yang dilarang oleh undang-undang. Jika diadakan pertanggungan juga, pertanggungan itu batal (Pasal 599 KUHD).

4. Suatu Sebab yang Halal

Yang dimaksud dengan sebab (causa) yang halal (diperbolehkan) disini adalah bahwa isi dari perjanjian pertanggungan itu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Misalnya isi pertanggungan itu ialah mempertanggungkan benda yang dilarang undang-undang, disini tidak ada causa yang halal.

5. Pembayaran premi (premie betaling, premium payment)

Asuransi ialah suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai pengganti (substitusi) kerugian-kerugian besar yang beum pasti.42

Untuk mengadakan suatu perjanjian asuransi ada kewajiban-kewjiban yang harus dipenuhi oleh tertanggung salah satunya pembayaran premi. Premi ini biasanya ditentukan dalam suatu presentase dari jumlah yang diasuransikan, di dalam presentase mana tercermin penilaian risiko dari penanggung. Penilaian atau

42

Abbas Salim, Asuransi dan Manajemen Risiko, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 1.


(49)

penghargaan dari penanggung mengenai risiko dapat berbeda-beda pada beberapa penanggung, akan tetapi tetap selalu dikuasai oleh hukum penawaran dan permintaan.

Asuransi itu adalah perjanjian timbal balik, maka kedua belah pihak harus berprestasi. Penanggung menerima peralihan risiko atas benda yang dipertanggungkan, sedangkan tertanggung harus membayar sejumlah premi sebagai imbalannya. Besar atau kecil jumlah premi bukan soal penting. Hal terpenting adalah kedua belah pihak telah mencapai suatu persetujuan. Jika premi dibayar, risiko beralih. Jika premi tidak dibayar, risiko tidak beralih.

6. Kewajiban Pemberitahuan

Kewajiban pemberitahuan (notificatie, notification) ini ada pada tertanggung. Tertanggung wajib memberitahukan kepada penanggung tentang keadaan benda yang dipertanggungkan. Kewajiban ini dilakukan pada saat mengadakan persetujuan. Jika tertanggung lalai, mengakibatkan pertanggungan itu batal.

Kewajiban pemberitahuan Pasal 251 KUHD ini tidak digantungkan kepada apakah karena ada iktikad baik atau tidak dari tertanggung. Apabila tertanggung keliru memberitahukan, tanpa disengaja, juga mengakibatkan batalnya pertanggungan, kecuali apabila pihak-pihak telah memperjanjikan lain. Biasanya perjanjian semacam itu dinyatakan dengan tegas di dalam polis dengan

klausula “sudah diketahui”.

Mengenai syarat nomor 1 diatur lebih lanjut khusus untuk perjanjian pertanggungan di dalam KUHD. Menurut Pasal 1321 KUH Perdata (BW), maka


(50)

adanya paksaan, kekeliruan, dan penipuan dari persesuaian kehendak menyebabkan persesuaian kehendak itu tidak berlaku.

Pembentukan Undang-Undang menganggap bahwa peraturan ini masih kurang cukup untuk member perlindungan bagi penanggung sehingga diatur lagi dalam Pasal 251 KUHD yaitu tentang keharusan adanya pemberitahuan dari semua keadaan-keadaan yang diketahui oleh si tertanggung mengenai benda yang dipertanggungkan. Dan mengenai syarat nomor 4 itu dipandang hanya ada, apabila di dalam pertanggungan itu ada kepentingan yang dipertanggungkan.

Perjanjian pertanggungan itu adalah bebas dalam bentuknya. Untuk terjadinya perjanjian itu tidak diahruskan adanya syarat-syarat yang lebih dari apa yang tlah ditetapkan di dalam Pasal 1320 BW. Menurut Pasal 257 KUHD perjanjian pertanggungan itu ada, segera setelah tercapai persesuaian kehendak antara kedua belah pihak.

Untuk berlaku sah perjanjian asuransi atau pertanggungan, tidak tergantung pada adanya suatu syarat formalitas atau akta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sifat perjanjian pertanggungan itu adalah konsensuil. Akan tetapi adalah bijaksana apabila dibuat suatu akta. Sebab perjanjian sedemikian itu adalah mengenai nilai keuangan yang jumlahnya sangat besar dari tentang pemberitahuan dari semua keadaan-keadaan yang diketahui oleh si tertanggung mengenai benda yang dipertanggungkan adalah sangat diperlukan.

Sehingga adalah sangat baik dan bijaksana apabila misalnya pihak-pihak dapat membuktikan secara tertulis bahwa telaha ada perjanjian pertanggungan pada saat timbulnya kerugian. Dalam hal ini penaggung dilindungi oleh


(51)

Undang-Undang dengan mengatakan bahwa pembuktian tentang adanaya suatu pertanggungan tidak dapat dibuktikan terhadapnya selain dengan suatu pembuktian tidak terulis.

Ketentuan yang disebut dalam Pasal 255 KUHD yang berbunyi: pertanggungan harus diadakan secara tertulis dengan sepucuk akta yang bernama polis, adalah seolah-olah menggambarkan, bahwa Perjanjian Pertanggungan itu baru berlaku sah kalau terjadinya adalah dengan suatu polis. Sehingga dapat dikatakan bahwa polis itu merupakan suatu syarat untuk adanya perjanjian itu (bestaanvoorwaarde).

Akan tetapi kalau membaca apa yang ditentukan dalam Pasal 257 ayat 1 KUHD, maka gambaran dari Pasal 255 itu tadi akan menjadi hilang. Sebab Pasal 257 ayat 1 itu menetapkan bahwa Perjanjian Pertanggungan itu telah ada, segera setelah diadakan hak-hak dan kewajiban timbale balik dari penanggung dan tertanggung mulai sejak saat itu, bahkan sebelum polis ditanda tangani.

Dari Pasal 257 ayat 1 ini bahwa polis itu bukan merupakan syarat untuk adanya perjanjian pertanggungan, akan tetapi merupakan hanya suatu alat pembuktian saja. Lebih lanjut dapat didasarkan atas ketentuan di dalam Pasal 258 ayat 1 KUHD yang menetapkan : Bahwa untuk membuktikan diadakannya perjanjian itu diharuskan pembuktian dengan surat, akan tetapi semua upaya pembuktian akan diperkenankan, bilamana ada permulaan pembuktian dengan surat.

Bahwa adanya perjanjian itu harus dibuktikan dengan surat. Yang dimaksud pertama-tama dengan surat di sini ialah polis yang disebutkan di dalam


(52)

Pasal 255 ayat 1 KUHD, sedangkan upaya-upaya pembuktian lain, yaitu yang disebutkan didalam Pasal 1866 BW, dapat diperkenankan bila telah ada permulaan pembuktian dengan surat.

Suatu pandangan yang jauh, masih diberikan oleh undang-undang yaitu pengaturan mengenai tenggang yang harus diindahkan antara diikatnya perjanjian pertanggungan itu dengan penyerahan dari polis. Dalam jarak waktu antara keduanya itu, mengenai janji-janji (bedingen) khusus dan syarat-syarat yang dibuat berhubungan dengan pertanggungan, itu dapat dibuktikan dengan semua upaya pembuktian, lihat Pasal 258 ayat2 KUHD.

Hanya ada suatu pengecualian, yaitu mengenai janji pada beberapa pertanggungan yang harus tegas-tegas disebutkan didalam polis (seperti yang disebut dalam Pasal 272 ayat 2, 263 ayat 2 dan 606 KUHD) harus dibuktikan deidalam jarak waktu itu dengan suatu tulisan jika terjadi suatu perselisihan mengenai hal itu.

Pasal 255 KUHD ayat (1) mengatakan bahwa perjanjian pertanggungan harus diadakan dengan membuat suatu akta, yang disebut polis. Polis merupakan suatu bukti yang sempurna (vollegigbewijs) tentang apa yang mereka perjanjikan di dalam perjanjian pertanggungan itu, dan tanpa polis, pembuktian akan menjadi sulit dan terbatas.

Polis menurut Pasal 259 ayat (1) KUHD harus ditawarkan kepada penanggung supaya ditandatangani dan di dalam waktu 24 jam setelah ditawarkan harus diserahkan kembali kepada tertanggung. Dari bunyi Pasal 259 KUHD, maka dapat disimpulkan bahwa pembentuk undang-undang berpendapat bahwa yang


(1)

Pada dasarnya keberadaan APS telah diakui sejak tahun 1970, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang ini dinyatakan, “penyelesaian perkara diluar pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase), tetap diperbolehkan”70, dalam Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang ini juga menyebutkan bahwa, “ketentutan dalam ayat 1 tidak menutup kemungkinan untuk penyelesaian perkara perdata secara perdamaian”.

Untuk mewujudkan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 telah didirikan Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang selanjutnya disebut BANI. BANI memiliki peraturan prosedur arbitrase sendiri dan menyediakan suatu panel arbitrase.

Sampai saat ini belum ada ketentuan perundang-undangan yang secara tegas mengatur Negosiasi, Mediasi, dan Konsiliasi, hanya saja dalam dunia bisnis, praktik APS bertumpu pada etika bisnis, karena penyelesaian alternatif bukan badan peradilan resmi (ordinary court) yang memiliki kewenangan memaksa. Sedangkan arbitrase sudah memiliki dasar hukum dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sengketa asuransi dapat terjadi apabila perusahaan menolak semua atau sebagian klaim atau tuntutan yang diajukan tertanggung, atau artinya perusahaan asuransi dan tertanggung gagal mencapai kesepakatan dalam penyelesaian klaim asuransi

Sengketa klaim asuransi dapat dibagi kedalam 2 (dua) kelompok, yaitu:

70

Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.


(2)

1. Sengketa mengenai dijamin tidaknya suatu klaim (policy liability) 2. Sengketa mengenai besarnya ganti rugi atau jumlah kalim (quantum of

indemnity)

Faktor-faktor yang sering menyebabkan terjadi sengketa klaim asuransi antara lain:

1. Keterlambatan pembayaran premi

2. Risiko penyebab terjadinya kerugian (proximate cause) tidak dijamin dalam polis asuransi

3. Ada sebagian objek asuransi yang seharusnya turut dijamin/diasuransikan, tetapi ternyata tidak ikut diasuransikan

4. Nilai pertanggungan tidak penuh

5. Pelanggaran terhadap itikad baik berupa misrepresentation atau non-disclosure fakta material

6. Terjadi perubahan yang material pada objek asuransi 7. Pelanggaran warranty

8. Tertanggung atau pihak yang mengajukan klaim tidak mempunyai insurable interest atau objek asuransi yang mengalami kerugian

9. Ada dugaan tertanggung melakukan arson/moral hazard

10.Tertanggung tidak dapat menyetujui perhitungan besarnya/jumlah ganti kerugian (klaim) yang diajukan atau ditawarkan oleh perusahaan asuransi

11.Ada lebih dari satu orang/badan usaha sebagai pihak yang berhak menerima pembayaran klaim

12.Nilai tukar mata uang asing (rate of exchange)

13.Tertanggung terlambat melaporkan/mengajukan klaim.71

Apabila sengketa atau perselisihan belum terselesaikan dengan dua cara yaitu Mediasi dan Arbitrase, maka cara terakhir yang dapat ditempuh para pihak yaitu melalui pengadilan.

71

Hasil riset wawancara dengan Bapak Rufian Rizal, Staf Teknik, PT Asuransi Intra Asia Medan pada tanggal 10 maret 2015.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan keterangan-keterangan yang telah dipaparkan oleh penulis di atas, maka penulis menarik beberapa kesimpulan, diantaranya :

1. Hal-hal yang menyebabkan tertanggung dituntut ganti kerugian oleh pihak ketiga yaitu karena adanya perbuatan melawan hukum dan/atau wanprestasi yang dilakukan tertanggung sehingga pihak ketiga mengalami kerugian.

2. Penanggung memberikan jaminan perlindungan kepada tertanggung terhadap adanya tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga sesuai dengan polis yang sudah disepakati. Hal yang dijamin oleh penanggung adalah kewajiban Tertanggung membayar ganti rugi atau kompensasi atas kerugian yang diderita oleh Pihak Ketiga

3. Dalam hal tuntutan ganti kerugian pihak ketiga terhadap tertanggung, tertanggung akan mengajukan klaim kepada penanggung agar penanggung membayar atau memberikan ganti rugi atas kerugian yang diderita pihak ketiga sesuai dengan polis yang telah disepakati. Penyelesaian terhadap tuntutan ganti rugi tersebut, adalah pembayaran ganti rugi jika klaim dijamin oleh polis. Bentuk penyelesaiannya berupa pembayaran cash (tunai), Repair (perbaikan), Replacement (Penggantian), Reinstatement (Mengembalikan Seperti Semula). Apabila terjadi sengketa maka dapat diselesaikan melalui Mediasi, Arbitrase, dan Pengadilan.


(4)

B. Saran

1. Dalam hal-hal yang menyebabkan tertanggung dituntut ganti rugi oleh pihak ketiga, sebaiknya tertanggung menghindari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan pihak ketiga mengalami kerugian

2. Perlindungan yang diberikan penanggung kepada tertanggung sebaiknya dilakukan dengan prosedur yang lebih sederhana, sehingga pihak ketiga dapat memperoleh ganti rugi sesegera mungkin sesuai polis yang telah disepakati

3. Penyelesaian terhadap tuntutan ganti kerugian yang diberikan kepada pihak ketiga, hendaknya penanggung benar-benar memperhatikan dengan cermat polis yang sudah disepakati, apakah pihak ketiga dijamin polis atau tidak. Apabila terdapat sengketa klaim guna pemberian ganti rugi, maka sebaiknya dilakukan proses mediasi atau arbitrase terlebih dahulu, kemudian jika tidak ditemukan jalan keluar atas sengketa tersebut, barulah kemudian sengketa itu dibawa ke pengadilan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Darmawi, Herman. 2000. Manajemen Asuransi, Bumi Aksara: Jakarta. Farodis, Zian. 2014. Buku Pintar Asuransi, Laksana: Jakarta.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika: Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir. 2006. Hukum Asuransi Indonesia, PT Citra Aditya Bakti: Jakarta.

Muis, Abdul. 2005. Hukum Asuransi dan Bentuk-Bentuk Perasuransian, Fakultas Hukum USU: Medan.

Miru, Ahmad, dan Sakka Pati. 2009. Hukum Perikatan, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Rastuti, Tuti. 2011. Aspek Hukum Perjanjian Asuransi, Pustaka Yustisia: Jogjakarta.

Salim, Abbas. 2007. Asuransi dan Manajemen Risiko, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Sendra, Ketut. 2009. Klaim Asuransi Gampang, BMAI: Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 2008. Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia: Jakarta.

Sofie, Yusuf. 2003. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT Citra Aditya Bakti: Bandung.

Subekti. 2000. Hukum Perjanjian, Intermasa: Jakarta.

Sugiyanto. 2009. Hukum Asuransi Maritim-Protection and Indemnity, Salemba Humanika: Jakarta.

Syahrani, Riduan. 2014. Kata-Kata Mempelajari Ilmu Hukum, PT Alumni: Bandung.

Wardana, Kun Wahyu. 2005. Hukum Asuransi-Proteksi Kecelakaan Transportasi, CV Mandar Maju: Bandung.


(6)

II. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Dagang

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

III.Internet

http://tripakarta.co.id/new/profil/sejarah-dan-pengertian-dasar-asuransi/ , diakses pada tanggal 3 Januari 2015.

http://sikapiuangmu.ojk.go.id/id/article/119/asuransi-tanggung-gugat, diakses pada 3 Januari 2015.

http://business-law.binus.ac.id/2015/01/27/mengungkit-kembali-konsep-melawan-hukum/, diakses pada 4 Januari 2015.

http://www.academia.edu/4994825/Wanprestasi_dan_ganti_rugi, diakses pada 4 Januari 2015.

http://asuransi-tanggunggugat.blogspot.com/2013/07/asuransi-tanggung-gugat.html, diakses pada tanggal 12 maret 2015.

http://asuransi-tanggunggugat.blogspot.com/2013/07/asuransi-tanggung-gugat.html, diakses pada tanggal 14 maret 2015.

http://asuransi-tanggunggugat.blogspot.com/2013/07/asuransi-tanggung-jawab-hukum.html, diakses pada 4 Januari 2015.