Sindrom Koroner Akut SKA .1 Definisi Sindrom Koroner Akut

16 4. Erosi pada plak tanpa ruptur Terjadinya penyempitan juga dapat di sebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dari lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia Trisnohadi, 2009.

2.2.6.2 Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST STEMI

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid Alwi, 2009. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid lipid rich core. Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis kolagen, ADP, efinefrin, serotonin memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboxan A2 vasokontriktor lokal yang poten. Selain aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIbIIIa Alwi, 2009. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut integrin seperti faktor von Willebrand vWF dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul 17 multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi Alwi, 2009. Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik Alwi, 2009.

2.2.6.3 Infark Miokard Tanpa Elevasi Segmen ST NSTEMI

NSTEMI dapat di sebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner di awali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat di jumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF α, dan IL-6. Selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaran hsCRP di hati Sjaharuddin, 2009. 2.2.7 Gambaran Klinis Sindrom Koroner Akut 2.2.7.1. Gambaran Klinis Angina Tak Stabil 1. Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang bertambah dari biasa. 2. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. 18 3. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. 4. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas Trisnohadi, 2009.

2.2.7.2 Gambaran Klinis Infark Miokard Tanpa Elevasi Segmen ST STEMI

1. Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala di epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar. 2. Nyeri tumpul,rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. 3. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahawa mereka yang memiliki gejala dengan onset baru angina beratterakselerasi memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri pada waktu istirahat. 4. Gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik. 5. Gejala tidak khas seperti dispneu ,mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun Harun et al., 2009.

2.2.7.3 Gambaran Klinis Infark Miokard Dengsn Elevasi Segmen ST STEMI

1. Nyeri dada dengan lokasi substernal, retrosternal, dan prekordial. 2. Sifat nyeri seperti rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir. 3. Penjalaran biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggunginterskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan. 4. Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat, atau obat nitrat. 19 5. Gejala yang menyertai seperti mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas dan lemas Alwi, 2009. 2.2.8 Diagnosis Sindrom Koroner Akut 2.2.8.1 Anamnesis Diagnosa adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat dan tepat dan didasarkan pada tiga kriteria, yaitu; gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG elektrokardiogram dan evaluasi biokimia dari enzim jantung. Nyeri dada tipikal angina merupakan gejala kardinal pasien SKA. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan SKA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien SKA Departemen Kesehatan, 2006. Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut : 1. Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial 2. Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir. 3. Penjalaran ke : leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggunginterskapula, dan dapat juga ke lengan kanan. 4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat 5. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan 6. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan lemas Departemen Kesehatan, 2006 Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan antara gejala APTSNSTEMI dan STEMI. Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda-tanda gagal ventrikel kiri akut. Gejala yang tidak tipikal seperti rasa lelah yang tidak jelas, nafas pendek, rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi, terutama pada wanita, penderita diabetes dan pasien lanjut usia. Kecurigaan harus lebih besar pada pasien dengan faktor risiko kardiovaskular 20 multipel dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan diagnosis Departemen Kesehatan, 2006. Tabel 2.1. Tiga Penampilan Klinis Umum Departemen Kesehatan, 2006. Klasifikasi AP dari CCS classification No Patogenesis Penampilan Klinis Umum 1 Angina saat istirahat Angina terjadi saat istirahat dan terus menerus, biasanya lebih dari 20 menit 2 Angina pertama kali Angina yang pertama kali terjadi, setidaknya CCS Kelas III 3 Angina yang meningkat Angina semakin lama makin sering, semakin lama waktunya atau lebih mudah tercetus

2.2.8.2. Pemeriksaan Fisik

Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari APTSNSTEMI. Hipertensi tak terkontrol, anemia, tirotoksikosis, stenosis aorta berat, kardiomiopati hipertropik dan kondisi lain, seperti penyakit paru. Keadaan disfungsi ventrikel kiri hipotensi, ronki dan gallop S3 menunjukkanprognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan juga penderita penyakit jantung koroner PJK Departemen Kesehatan, 2006.

2.2.8.3. Elektrokardiografi

EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis. Rekaman yang dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Gambaran diagnosis dari EKG adalah : 1. Depresi segmen ST 0,05 mV 2. Inversi gelombang T, ditandai dengan 0,2 mV inversi gelombang T yang simetris di sandapan prekordial. 3. Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block BBB dan aritmia jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan 21 adanya perubahan segmen ST. Namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan diagnosis APTSNSTEMI Departemen Kesehatan, 2006. Pemeriksaaan EKG 12 sadapan pada pasien SKA dapat mengambarkan kelainan yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk evaluasi lebih lanjut, dengan berbagai ciri dan katagori: 1. Angina pektoris tidak stabil: depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri, tidak dijumpai gelombang Q. 2. Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T Departemen Kesehatan, 2006.

2.2.8.4. Petanda Biokimia Jantung

Petanda biokimia seperti troponin I TnI dan troponin T TnT mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dari pada CKMB. Troponin C, TnI dan TnT berkaitan dengan konstraksi dari sel miokrad. Susunan asam amino dari Troponin C sama dengan sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan TnT berbeda. Nilai prognostik dari TnI atau TnT untuk memprediksi risiko kematian, infark miokard dan kebutuhan revaskularisasi dalam 30 hari, adalah sama. Kemampuan dan nilai dari masing-masing petanda jantung dapat dilihat pada Tabel 2 Departemen Kesehatan, 2006 Kadar serum creatinine kinase CK dan fraksi MB merupakan indikator penting dari nekrosis miokard. Keterbatasan utama dari kedua petanda tersebut adalah relative rendahnya spesifikasi dan sensitivitas saat awal 6 jam setelah onset serangan. Risiko yang lebih buruk pada pasien tanpa segment ST elevasi lebih besar pada pasien dengan peningkatan nilai CKMB Departemen Kesehatan, 2006. 22 Tabel 2.2. Petanda Biokimia Jantung Untuk Evaluasi dan Tatalaksana SKA tanpa Elevasi Segmen ST Departemen Kesehatan, 2006 Petanda Keunggulan Kekurangan Rekomendasi klinik Troponin Jantung - Modalitas yang kuat untuk stratifikasi risiko - Sensitivitas dan spesitifitas yanglebih baik dari CKMB - Deteksi serangan infark miokard sampai dengan 2 minggu setelah terjadi - Bermanfaat untuk seleksi pengobatan - Deteksi reperfusi - Kurang sensitif pada awal terjadinya seranganonset 6 jam dan membutuhkan penilaian ulang pada 6-12 jam, jika hasil negatif. - Kemampuan yang terbatas untuk mendeteksi infark ulangan yang terlambat. -Tes yang bermanfaat untuk mendiagnosis kerusakan miokard, dimana klinisi harus membiasakan diri dengan keterbatasan penggunaan pada laboratorium RS masing-masing. CK-MB - Cepat, efisiensi biaya dan tepat - Dapat mendeteksi awal infark - Kehilangan spesifitas pada penyakit otot jantung dan kerusakan otot miokard akibat bedah - Kehilangan sensitifitas saat awal infark miokard akut onset 6 jam atau sesudahnya setelah onset 36 jam dan untuk kerusakan otot jantung minor terdeteksi dengan Troponin. - Standar yang berlaku dan masih dapat diterima sebagai tes diagnostik pada sebagaian besar kondisi Mioglobin - Sensitifitas tinggi - Bermanfaat untuk deteksi awal infark miokard - Deteksi reperfusi - Sangat bermanfaat dalam menilai infark miokard - Spesifitas yang rendah dalam menilai kerusakan dan penyakit otot rangka - Penurunan yang cepat ke nilai normal, sensitif untuk kejadian yang terlambat normal kembali dalam 6 jam - Tidak digunakan sebagai satusatunya petanda diagnostik karena kelemahan pada spesifitas jantung 23 Meskipun mioglobin tidak spesifikasi untuk jantung, tapi memiliki sensitifitas yang tinggi. Dapat terdeteksi secara dini 2 jam setelah onset nyeri. Tes negative dari mioglobin dalam 4-8 jam sangat berguna dalam menetukan adanya nekrosis miokard. Meskipun demikian mioglobin tak dapat digunakan sebagai satu satunya petanda jantung untuk mengidentifikasi pasien dengan NSTEMI. Peningkatan kadar CKMB sangat erat berkaitan dengan kematian pasien dengan SKA tanpa elevasi segmen ST, dan naiknya risiko dimulai dengan meningkatnya kadar CKMB diatas normal. Meskipun demikian nilai normal CKMB tidak menyingkirkan adanya kerusakan ringan miokard dan adanya risiko terjadinya perburukan penderita Departemen Kesehatan, 2006. Troponin khusus jantung merupakan petanda biokimia primer untuk SKA. Sudah diketahui bahwa kadar troponin negatif saat 6 jam harus diulang saat 6- 12 jam setelah onset nyeri dada. Pemeriksaan troponin jantung dapat dilakukan di laboratorium kimia atau dengan peralatan sederhana bediside. Jika dilakukan di laboratorium, hasilnya harus dapat diketahui dalam waktu 60 menit Departemen Kesehatan, 2006. Tabel 2.3. Spektrum Klinis Sindrom Koroner Departemen Kesehatan, 2006 Jenis Nyeri Dada EKG Enzim Jantung APTS Angina pada waktu istirahataktivitas ringan CCS III-IV. Cresendo angina. Hilang dengan nitrat Depresi segmen T Inversi gelombang T Tidak ada gelombang Q Tidak meningkat NSTEMI Lebih berat dan lama 30 menit. Tidak hilang dengan nitrat, perlu opium. Depresi segmen ST Inversi gelombang T Meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal STEMI Lebih berat dan lama 30 menit tidak hilang dengan nitrat, perlu opium Hiperakut T Elevasi segmen T Gelombang Q Inversi gelombang T Meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal. 24 2.2.9 Tatalaksana Sindrom koroner akut 2.2.9.1 Evaluasi Awal Langkah pertama dalam penanganan pasien dengan keluhan nyeri dada bertujuaan untuk menegakkan diagnosis kerja dengan cepat dan memilih tatalaksana yang tepat. Berdasarkan kwalitas nyeri dada, anamnesa dan pemeriksaan fisik terarah serta gambaran EKG, pasien dikelompokan menjadi salah satu dari : STEMI, NSTEMI dan kemungkinan diagnosis SKA rendah Juzar et al., 2012.

2.2.9.2 Penanganan Awal

Penanganan awal dimulai saat diagnosis angina pektoris tidak stabil dan STEMI ditegakan atau bahkan dicurigai terhadap SKA cukup tinggi, meliputi : 1. Atasi nyeri dada akibat iskemia. 2. Melakukan penilaian status hemodinamik dan perbaiki kelainannya. Sebagai contoh hipertensi dan takikardia merupakan keadaan yang meningkatkan kebutuhan konsumsi oksigen, dan bisa diatasi dengan pemberian penyekat beta dan nitrogliserin intravena. 3. Risiko untuk terjadi komplikasi diestimasi menggunakan stratifikasi risiko dini. 4. Berdasarkan estimasi stratifikasi risiko diatas, strategi tatalaksana ditentukan antara strategi invasif angiografi koroner dengan tujuan revaskularisasi atau konservatif medikamentosa. 5. Inisiasi terapi antitrombolitik antiplatelet dan antikoagulan untuk mencegah terjadinya trombosis baru dan embolisasi dari plak aterosklerosis yang ruptur atau erosi. 6. Pemberian penyekat beta untuk mencegah terjadinya iskemia berulang dan aritmia ventrikular maligna Juzar et al., 2012. Penangan awal diikuti dengan pemberian beberapa terapi medikamentosa yang telah terbukti dapat memperbaiki prognosis jangka panjang seperti dibawah ini : 25 1. Pemberian antiplatelet jangka panjang untuk menurunkan risiko trombosis arteri koroner berulang. 2. Penyekat beta 3. Statin Juzar et al., 2012. Terapi Anti-Iskemia dan Analgesik 1. Oksigen dianjurkan bila saturasi OЇ perifer 90. 2. Nitrogliserin, isosorbid dinitrat diberikan secara sublingual dan dilanjutkan dengan pemberian kontinu melalui intravena, manfaat nitrogliserin antara lain : a. Dilatasi arteri koroner b. Dilatasi system venavenodilator akan menurunkan preloadvolume ventrikel dan tekanan baji arteri pulmonalis, sehingga berguna pada pasien dengan kongesti pulmonal. c. Dilatasi arteri sistemik, mengurangi afterload sehingga konsumsi oksigen menurun. d. Terminasi angina variantangina prinzmetalangina vasospasme. e. Meningkatkan aliran darah melalui kolateral Juzar et al., 2012. Pemberian nitrat bentuk apapun harus dihindari pada keadaan- keadaan dibawah ini : a. Tekanan darah sistolik ≤ 90 mmHg atau penurunan tekanan 30mmHg dari baseline. Hipotensi pada iskemia miokard dapat mengakibatkan kerusakan miokard yang lebih luas. b. Dicurigai terdapat infark miokard ventrikel kanan. c. Pasien masih dalam pengaruh penyekat diesterase inhibitor seperti sildenafil, karena dapat menyebabkan hipotensi berat. d. Kardiomiopati hipertropik dengan obstruksi alur keluar ventrikel. e. Stenosis katup aorta yang berat Juzar et al., 2012. 26 Dosis dan cara pemberian : a. Sublingual nitrogliserin 0.4 mg atau isosorbide dinitrat ISDN 5mg setiap 5 menit. b. Nitrogliserin intravena digunakan bila angina tidak teratasi dengan pemberian sublingual. Nitrogliserin diberikan dengan dosis awal 5mcgmenit ditingkatkan secara titrasi sebesar 5 mcgmenit setiap 3-5 menit. Bila tidak ada response pada dosis 20 mcg dapat ditingkatkan dengan sebesar 10-20 mcgmenit hingga dosis maksimal 400 mcgmenit. ISDN diberikan dengan dosis awal 1 mgjam ditingkatkan secara titrasi sebesar 1 mgjam setiap 3-5 menit hingga dosis maksimal 10 mgjam Juzar et al., 2012. 3. Morphine diberikan untuk mengatasi nyeri dada dan ansietas dengan dosis awal 2-4 mg, dapat ditingkatkan hingga 8 mg dan diulang setiap 5-15 menit. Namun efek samping depresi nafas di antisipasi pada dosis tinggi. 4. Penyekat beta secara kompetitif mengambat efek katekolamin terhadap miokard dengan cara menurunkan laju jantung, kontraktilitas dan tekanan darah, sehingga konsumsi oksigen oleh miokard menurun Juzar et al., 2012. Agen Antiplatelet Peran aktivasi dan agregasi platelet sangat besar pada propagasi trombus, sehingga merupakan target utama pada penanganan pasien SKA. Pemberian antiplatelet harus dilakukan secepatnya untuk mengurangi risiko komplikasi iskemia akut dan kejadian aterotrombosis berulang. Saat ini ada tiga kelas antiplatelets, yaitu : 1. Penghambat siklo oksiginase COX1 : Aspirin 2. Penyekat reseptor P2Y12 : Clopigogrel, Prasugrel dan Ticagrelor. 3. Penyekat reseptor GPIIbIIIa : Abxicimab, eptifibatide dan tirofiban Juzar et al., 2012. Rekomendasi penggunaan antiplatelets pada pasien dengan APTS dan NSTEMI : 27 1. Semua pasien tanpa kontraindikasi, dosis awal 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg untuk jangka panjang. 2. Penyekat reseptor P2YІЇ diberikan secepatnya dan diberikan untuk 12 bulan, kecuali ada kontraindikasi, seperti pendarahan. 3. Penyekat Pompa Proton PPI di kombinasi dengan pemberian dual antiplatelets DAPT pada pasien dengan riwayat pendarahan gastrointestinal. 4. Pemberhentian penyekat reseptor P2Y12 sebelum 12 bulan sejak kejadian ACS, perlu dihindari kecuali ada indikasi klinis. 5. Ticagrelor loading 18 mg, dosis pemeliaraan 2 × 90 mg untuk semua pasien dengan risiko sedang dan berat peningkatan enzim petanda jantung. 6. Prasugrel loading 60 mg, dosis pemeliharaan 1× 10 mg pada pasien yang anatomi koroner telah diketahui dan dilakukan PCI, kecuali mempunyai faktor risiko untuk terjadi perdarahan masif dan kontraindikasi lainnya. Saat artikel ini ditulis prasugrel tidak tersedia di Indonesia. 7. Clopidogrel loading 300mg, dosis pemeliharaan 1×75 mg untuk pasien yang tidak mendapatkan ticagrelor dan prasugrel. 8. Loading clopidogrel 600 mg dianjurkan untuk pasien yang menjalani strategi invasif dan tidak mendapat ticagrelor dan prasugrel. 9. Pada pasien dengan penyekat reseptor P2YІЇ dan perlu menjalani operasi mayor termasuk Coronary Arterial Bypass Graft, CABG, bila memungkinkan ditunda selama 5 hari clopidogrel dan ticagrelor atau 7 hari prasugrel. 10. Kombinasi aspirin dengan NSAID tidak dianjurkan Juzar et al., 2012. Penyekat Glycoprotein IIbIIIa Ada tiga GPIIbIIIa yang digunakan pada pasien SKA: Abxicimab Reopro, eptifibatide Integrilin dan Tirofiban Aggrastat. Sebagai antiplatelet ternyata keuntungan dalam menurunkan angka kematian dan infark miokard hanya terlihat pada pasien yang menjalani strategi invasif dilakukan PCI, sedangkan pada 28 pasien menjalani strategi konservatif hasilnya tidak lebih baik dibandingkan placebo. Perlu diingat bahwa pengunaan GIIbIIIa akan meningkatkan kejadian perdarahan mayor, sehingga potensi keuntungannya harus dinilai bersama dengan risiko perdarahannya. Pada pasien dengan risiko perdarahan yang tinggi usia lanjut, riwayat perdarahan gastrointestinal keuntungan penggunaan GIIbIIIa jadi berkurang Juzar et al., 2012. Antikoagulan Antikoagulan diberikan untuk mencegah generasi thrombin dan aktivitasnya. Banyak studi telah membuktikan bahwa kombinasi antikoagulan dan antiplatelet sangat efektif dalam mengurangi serangan jantung akibat trombosis. Kombinasi kedua agen akan lebih efektif dari hanya pemberian salah satu agen saja. Ada beberapa macam antikoagulan, yaitu : 1. Penghambat thrombin indirek unfractionated heparin UFH, Low molecular weight heparin LMWH. 2. Penghambat faktor Xa indirek : LMWH dan Fondaparinux 3. Penghambat faktor Xa direk : Bivalirudin Juzar et al., 2012. Rekomendasi penggunaan antikoagulan : 1. Semua pasien dan dikombinasi dengan terapi antiplatelet. 2. Fondaparinux 2.5 mg subkutan setiap hari. 3. Pada pasien yang telah menggunakan fondaparinux, bila akan dilakukan PCI memerlukan tambahan UFH 85 iukg bolus tunggal atau 60 iukg bila mendapatkan GP IIBIIIa. 4. Enoxaparin 1 mgkg dua kali perhari bila fondaparinux tidak tersedia. 5. Bila Fondaparinux atau anoxaparin tidak tersedia, berikan UFH 85 iukg dengan target aPTT 50-70s. 6. Pada pasien dengan strategi konservatif antikoagulan diberikan hingga pasien dipulangkan. 7. Setelah menjalani PCI, pertimbangkan untuk menghentikan antikoagulan Juzar et al., 2012. 29 Revaskukarisasi Koroner Pasien dengan NSTEMI mempunyai spektrum yang luas dan heterogen, mulai dari risiko rendah hingga risiko tinggi; sehingga stratifikasi risiko menjadi penting. Pada pasien dengan risiko rendah, pendekatan terbaik dengan medikamentosa strategi konservatif. Namun pada pasien dengan risiko tinggi menjalani kematian dan kejadian kardivaskular, pemeriksaan angiografi koroner dengan tujuan untuk revaskularisasi strategi invasif telah terbukti mengatasi simptom, memperpendek hari perawatan dan memperbaiki prognosis. Penilaiaan stratifikasi risiko menjadi bahagian penting untuk menentukan strategi yang optimal untuk setiap pasien. Pasien dinyatakan berisiko sangat tinggi dan membutuhkan pendekatan invasif mendesak dalam 2 jam, bila ditemukan salah satu tanda dibawah ini; 1. Angina pektoris yang tidak dapat diatasi dengan medikamentosa. 2. Gagal jantung yang berat. 3. Instabilitas hemodinamik. 4. Aritmia ventricular maligna. Metode revaskularisasi yang dipilih antara metoda PCI percutaneous coronary intervention dan metoda bedah pintas koroner coronary artery bypass graft , CABG tegantung banyak faktor, yaitu: kondisi pasien adanya gambaran risiko tinggi, penyakit komorbid dan berat serta banyaknya lesi berdasarkan hasil angiografi koroner Juzar et al., 2012. Sekitar setengah pasien NSTEMI memperlihatkan hasil angiografi koroner penyempitan pada satu pembuluh darah lesi “culprit”. Pada keadaan ini angiografi dilanjutkan dengan tindakan PCI menggunakan stent. Namun 50 dari pasien NSTEMI memperlihatkan penyempitan arteri koroner yang multiple, sehingga keputusan untuk menggunakan metoda revaskularisasi PCI atau CABG menjadi lebih kompleks Juzar et al., 2012. Intervensi koroner perkuatan PCI Intervensi koroner perkutan PCI umumnya menggunakan stentcincin untuk mengurangi kejadian oklusi tiba-tiba abrupt closure dan penyempitan 30 kembali. Tipe cincin dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu : stent bersalut obat DES : drug eluting stent dan cincin tanpa salutan obat BMS : bare metal stent. Drug eluting stent lebih unggul dalam menurunkan kejadian restenosis, namum memerlukan dual antiplatelet DAPT, yaitu aspirin dan penghambat P2Y12 selama minimal 12 bulan. Penghentian DAPT secara premature meningkatkan risiko in stent trombosis dengan manifestasi SKA. Kejadian restenosis lebih tinggi pada penggunaan BMS,DAPT dapat diberikan minimal 12 bulan. Pemilihan tipe cincin hendaknya mempertimbangkan kepatuhan pasien minum DAPT jangka panjang dan memungkinkan untuk menggunakan DAPT selama 12 bulan, tidak ada riwayat perdarahan gastro-intestinal atau tidak membutuhkan operasi mayor lainya Juzar et al., 2012. Intervensi bedah : Coronary artery bypass graft CABG Pemilihan waktu untuk CABG dipertimbangkan berdasarkan symptom, hemodinamik, anatomi koroner dan iskemia. Seperti diuraikan terdahulu, menekan proses trombosis merupakan target terapi antiplatelet dan antikoagulan, sehingga bila pasien menjalani CABG risiko perdarahan dan komplikasi perioperatif lebih tinggi. Secara umum bila memungkinkan, CABG dilakukan setelah minimal 48-72 jam Juzar et al., 2012.

2.2.9.3 Tatalaksana jangka panjang

Pasien dengan SKA non ST elevasi memiliki risiko tinggi untuk berulangnya iskemia setelah fase awal. Oleh sebab itu, prevensi sekunder secara aktif sangat penting sebagai tatalaksana jangka panjang, yang mencakup : 1. Perbaikan gaya hidup seperti : berhenti merokok, aktivitas fisik teratur, dan diet. 2. Penurunan berat badan pada pasien obese dan kelebihan berat badan overweight. 3. Kontrol tekanan darah. 4. Tatalaksana diabetes. 5. Intervensi terhadap profil lipid 31 a. Statin direkomendasikan pada semua pasien dengan SKA tanpa ST elevasi, diberikan hari ke 1-4, dengan tujuan menstabilisasi dinding plak aterosklerosis, efek pleitropik. b. Disarankan terapi penurunan level lipid secara intensif dengan target LDL100 mgdL 6. Meneruskan pemakaian anti-platelet. 7. Pemakaian penyekat beta : harus diberikan pada semua pasien, termasuk pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang menurunkan, dengan atau tanpa gejala gagal jantung. 8. Angiotensin Converting Enzyme ACE inhibitor : diindikasikan sebagai terapi jangka panjang pada semua pasien dengan LVEF ≤ 40. 9. Penghambat reseptor angiotensin ARB: harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak toleran terhadap ACE inhibitor danatau dengan gagal jantung atau infark miokard dengan LVEF 40. 10. Antagonis reseptor aldosteron: harus dipertimbangkan pada pasien pasca infark miokard yang telah mendapat ACE inhibitor dan beta bloker dan LVEF40 dan dengan diabetes atau gagal jantung, tanpa disfungsi renal atau hiperkalemia. 11. Rehabilitasi dan kembali ke aktivitas fisik Juzar et al., 2012. Setelah suatu SKA tanpa elevasi ST, direkomendasi penilaiaan kapasitas funsional. Berdasarkan status kardiovaskuler dan penilaian kapasitas fisik fungsional tersebut, pasien diberi informasi mengenai waktu dan level aktivitas fisik yang direkomendasikan, termasuk rekreasi, kerja, dan aktivitas seksual. Pasien pasca SKA tanpa elevasi ST dapat disarankan menjalani uji latih jantung dengan EKG atau suatu pemeriksaan stress non invasif untuk iskemia yang setara, dalam 4-7 minggu setelah perawatan Juzar et al., 2012.

2.2.9.4 Tatalaksana Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST STEMI

Terapi reperfusi bertujuan membatasi luasnya daerah infark miokard, hal yang sangat menentukan prognosis pasien. Bila STEMI terjadi dalam waktu 12 jam setelah awitan simptom, maka reperfusi perlu dilakukan secepatnya. Tetapi 32 bila STEMI sudah melampaui 12 jam dari awitan symptom, tidak ada lagi jaringan yang bisa diselamatkan, infark miokard telah komplit dan keluhan pasien hilang. Terapi reperfusi hanya diberikan kalau masih ada tanda-tanda iskemia berupa nyeri dada, elevasi segmen ST, atau terjadi left bundle branch block baru. Ada dua jenis strategi reperfusi, pertama dengan intervensi koroner perkutan primer primary PCI dan kedua secara medikamentosa dengan obat fibrinolitik Irmalita, 2012. Intervensi koroner perkutan primer Primary PCI merupakan pilihan pertama, karena hasil studi memperlihatkan angka kematian lebih rendah dibanding fibrinolitik. Dianjurkan untuk melakukan PCI sedini mugkin, idealnya kurang dari 90 menit sejak keluhan nyeri dada timbul. Pilihan reperfusi perlu mempertimbangkan waktu awitan dari STEMI, fasilitas, sumber daya dan demografi. Sekitar 50 kasus STEMI mempunyai penyempitan lebih dari satu arteri koroner multivessel. Intervensi koroner perkutan pada STEMI hanya dilakukan pada lesi culprit, yaitu lesi di arteri yang berhubungan dengan daerah infark. Pada syok kardiogenik, lesi non culprit dapat dipertimbangkan untuk diintervensi. Kelebihan PCI primer, dapat mengidentikasi lesi culprit terkait infark dan anatomi koroner yang lainya. Pada PCI primer dianjurkan untuk menggunakan stent, guna menurunkan kejadian trombosis. Rescue PCI , angiografi koroner dengan tujuan revaskularisasi dilakukan segera pada kasus fibrinolitik yang tidak berhasil. Rescue PCI dilakukan bila terdapat tanda-tanda iskemia secara klinis nyeri dada berulang atau perubahan segmen ST atau kapasitas latihan rendah atau stress test farmakologik memperlihatkan tanda-tanda iskemia Juzar et al, 2012. Rekomendasi antitrombotik pada pasien yang menjalani PCI primer : 33 Terapi antiplatelet 1. Aspirin 2. Penyekat P2Y12 ADP prasugrel 40 mg, ticagrelor 180 mg atau Clopidogrel 600 mg. 3. GPIIbIIa hanya digunakan sebagai bail out bila saat tindakan memperlihatkan beban trombus yang tinggi Juzar et al., 2012. Terapi antikoagulan 1. Unfractioned heparin 70-100 uikg pada pasien yang tidak mendapatkan enoxaparin atau bivalirudin Juzar et al., 2012. Terapi reperfusi medikamentosa fibrinolitik Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang sangat penting, terutamanya bila PCI primer tidak dapat dilakukan karena masalah fasilitas sumberdaya dan demografi. Keuntungan terbesar bila dilakukan dalam 6 jam pertama. Terapi fibrinolitik dinyatakan berhasil bila angina berkurang, resolusi amplituda segmen ST 50 dan dijumpai aritmia reperfusi. Risiko untuk terjadinya stroke hemoragik cukup rendah yaitu 1. Semua pasien post fibrinolitik idealnya dirujuk ke fasilitas kesehatan dengan kemampuan PCI. Pasien yang gagal terapi fibrinolitik dengan kriteria angina disertai dengan resolusi segmen ST 50, perl u dilakukan “rescue PCI” secepatnya Juzar et al., 2012. Rekomendasi terapi antitrombotik untuk pasien yang mendapatkan fibrinolisis : 1. Terapi fibrinolisis untuk semua tanpa kontraindikasi yang datang 12 jam. 2. Pada pasien yang datang dalam waktu 2 jam dengan infark miokard luas dan risiko perdarahan yang rendah, bila prediksi waktu yang dibutuhkan hingga tiba di meja katerisasi 90 menit. 3. Fibrin spesifik agen merupakan pilihan pertama Juzar et al., 2012. 34 Antiplatelets 1. Aspirin dan clopidogrel Juzar et al., 2012. Antithrombin co-terapi fibrinolisis 1. Antikoagulan post fibrinolitik hingga revaskularisasi atau dipulangkan. 2. Enoxaparin IV diikuti dengan subkutan. 3. Unfractionated heparin bolus. 4. Pasien dengan streptokinase fondaparinux IV dan bolus setelah 24 jam Juzar et al., 2012. Terapi medical postreperfusi 1. Aspirin 81 mghari harus dimakan seumur hidup. 2. Clopidogrel 600 mg dosis loading diikuti 75 mhari. Semua pasien yang mendapatkan drug-eluting stents melanjutkan clopidogrel selama minimal 1 tahun. Pada yang mendapatkan bare-metal stents clopidogrel dilanjutkan sampai minimal 1 bulan, idealnya 1 tahun. 3. Penyekat Beta harus dimulai pada semua pasien tanpa kontraindikasi yang datang dengan STEMI dalam 24 jam pertama dan pada kebanyakan kasus dilanjutkan seumur hidup. Sebaiknya dimulai dengan obat kerja pendek seperti Lopresor; ketika dosis optimum tercapai berdasarkan laju nadi dan tekanan darah yang diinginkan, obat kerja panjang sekali sehari dapat diberikan. Pada pasien dengan disfungsi LV, dapat diberikan carvedilol 3,25 mg dua kali sehari untuk dititrasi bila dapat ditoleransi. Beta bloker harus dihindari pada pasien dengan STEMI Killip II, III, atau IV atau dengan hipotensi, bradikardia, atau syok. 4. ACE inhibitors harus dimulai dalam 24 jam pertama. Sebaiknya dimulai dengan obat kerja pendek captopril pada 24 jam pertama sampai dosis maksimum tercapai. Setelah pasien dapat mentoleransi dosis ini, obat kerja panjang sekali sehari dapat diberikan misalnya lisinopril. Inisiasi ACE inhibitor harus dilanjutkan seumur hidup pada pasien dengan fraksi ejeksi 40 dan paling sedikit 1 bulan pada semua pasien. Inisiasi ACE 35 inhibitor dihubungkan dengan peningkatan awal kreatinin, namun pada banyak kasus merupakan transien. Pertimbangkan ARB bila terdapat kontraindikasi ACE inhibitor. 5. Terapi insulin direkomendasikan untuk kontrol gula darah pada semua pasien yang dirawat di CVCU, berikan insulin-drip bila kadar gula darah 200 mgdL. Hindari penggunaan glucophage pada pre dan post-PCI karena obat ini berhubungan dengan asidosis laktat. 6. Statin harus dimulai pasca reperfusi setelah hemodinamik pasien stabil. Dapat diberikan atorvastatin 80 mghari. Low density lipoprotein cholesterol LDL-C harus dikurangi sampai 60-70 mgdL pada semua pasien dengan STEMI. Namun ada beberapa bukti bahwa terapi statin dosis tinggi memiliki efek pleiotropic diluar level LDC-C. 7. Amiodarone dapat dipertimbangkan pada pasien dengan disritmia, sebaiknya dihindari pada pasien muda. Umumnya terapi beta bloker agresif cukup adekuat untuk mengatasi masalah aritmia pada STEMI Juzar et al., 2012. Terapi bedah Tindakan bedah CABG tidak lazim dilakukan untuk revaskularisasi awal dan segera pada STEMI tanpa komplikasi. Namun, setelah upaya awal dengan PCI atau reperfusi fibrinolitik telah dilakukan, nyeri dada menetapberulang, atau anatomi koroner risiko tinggi stenosis left-main atau triple –vessel pada diabetes atau terjadi komplikasi mekanis rupture septum ventrikel, rupture muskulus papilaris intervensi bedah patut dipertimbangkan. Pada kondisi seperti ini, sebaiknya menunggu paling sedikit 24 jam setelah STEMI dan setelah hemodinamik stabil. Topangan mekanik dengan intra-aortic ballon pump IABP dibutuhkan sebagai jembatan untuk pembedahan pada kasus nyeri dada menetap, aritmia, dan hemodinamik tidak stabil Juzar et al., 2012. 1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Penyakit kardiovaskular adalah penyebab nomor satu dari kematian secara global. Secara epidemiologi, pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 17,5 juta orang yang meninggal karena penyakit kardiovaskular, merepresentasikan 31 dari keseluruhan kematian secara global. Dari angka kematian tersebut, diestimasi sebanyak 7,4 juta orang meninggal akibat penyakit jantung koroner dan 6,7 juta orang meninggal akibat stroke berdasarkan data World Health Oganization WHO, 2015. Menurut “Global Status Report on Noncommunicable Diseases” data WHO, 2014 menunjukkan bahwa dari 56 juta kematian yang terjadi di dunia pada tahun 2012, sebanyak 38 juta disebabkan oleh penyakit tidak menular PTM yang terdiri dari penyakit kardiovaskular, kanker, dan penyakit pernafasan kronis. Proporsi penyebab kematian PTM pada tahun 2012 menunjukan penyakit kardiovaskular merupakan penyebab terbesar 46.2 diikuti kanker 21.7, sedangkan penyakit pernafasan kronis, penyakit pencernaan dan PTM yang lain bersama-sama menyebabkan sekitar 10.7 kematian, serta 4 kematian disebabkan diabetes mellitus. Di Indonesia, berdasarkan laporan WHO pada ‘Noncommunicable Dieseases NCD Country Profiles 2014 ’ didapatkan bahawa penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian tertinggi, yaitu sebesar 37 dari angka kematian total. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2014, menyatakan prevalensi penyakit jantung di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Riskesdas tahun 2007, penyakit jantung menjadi salah satu penyebab utama kematian. Prevalensi secara nasional mencapai 7,2. Kematian akibat penyakit jantung, hipertensi dan stroke mencapai 31,9 sedangkan angka kematian karena penyakit kardiovaskular di rumah sakit yaitu sekitar 6-12. 2 Sementara itu, data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan terdapat peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner dan gagal jantung berdasarkan wawancara seiring peningkatan umur responden. Di Sumatera Utara, provinsi dengan prevalensi penyakit jantung korone r pada umur ≥ 15 tahun menurut diagnosis doktergejala ialah 1,1. Manakala menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011, penyakit jantung iskemik mempunyai proporsi sebesar 5,1 dari seluruh penyakit penyebab kematian dan penyakit jantung mempunyai angka proporsi 4,6 dari seluruh kematian. Sindrom koroner akut SKA adalah terminologi yang digunakan pada keadaan gangguan aliran darah koroner parsial hingga total ke miokard secara akut. Berbeda dengan angina pektoris stabil, gangguan aliran ke miokard pada SKA bukan disebabkan oleh penyempitan yang statis namun terutama akibat pembentukan trombus di dalam arteri koroner yang bersifat dinamis Juzar et al., 2012. Infark miokard akut dengan elevasi ST ST elevation myocardial infarction=STEMI dan tanpa elevasi ST Non ST elevation myocardial infarction=NSTEMI merupakan bahagian dari spektrum sindrom koroner akut SKA yang terdiri dari angina pektoris tak stabil unstable angina=UA, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST. Infark miokard akut IMA merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju. Laju mortalitas awal 30 hari pada IMA adalah 30 dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai Rumah Sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30 dalam dua dekade terakhir, sekitar 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meningggal dalam tahun pertama setelah IMA Alwi, 2009. Menurut pedoman American College of Cardiology ACC dan American Heart Association AHA perbedaan angina pektoris tak stabil UA dan infark miokard akut tanpa elevasi ST NSTEMI ialah apakah iskemia yang timbul cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada miokardium dan adanya petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa Trisnohadi, 2009. Diagnosis NSTEMI ditegakan jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukan bukti 3 adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung Harun et al., 2009. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri dada, yang menjadi salah satu gejala yang paling sering didapatkan pada pasien yang datang ke IGD, diperkirakan 5,3 juta kunjungantahun. Kira-kira 13 darinya disebabkan oleh UANSTEMI, dan merupakan penyebab tersering kunjungan ke rumah sakjt RS pada penyakit jantung. Angka kunjungan ke RS untuk pasien UANSTEMI semakin meningkat, sementara angka infark miokard dengan elevasi STEMI menurun Harun et al., 2009. The American Heart Association AHA, 2014 memperkirakan bahawa sebanyak 625,000 orang yang didiagnosa dengan SKA pada tahun 2010. Daripada jumlah tersebut, diperkirakan sebanyak 363,000 adalah laki-laki dan 262,000 adalah perempuan. Manakala data dari European Society of Cardiology ECS, 2012 angka kejadian NSTEMI lebih sering dibandingkan dengan STEMI yang mengalami penurunan. Namun angka kejadian berbeda-beda di tiap negara. Oleh karena tingginya tingkat kejadian sindrom koroner akut, maka banyak penelitian dilakukan untuk menurunkan insiden, salah satunya mengenai gambaran sindrom koroner akut. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik unt uk membuat penelitian mengenai ‘Gambaran pasien sindrom koroner akut di RSUP Haji Adam Malik, Medan pada tahun 2014’.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dilakukan penelitian untuk memberikan informasi mengenai bagaimana gambaran pasien sindrom koroner akut di RSUP Haji Adam Malik, Medan pada tahun 2014?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui “gambaran pasien sindrom koroner akut di RSUP Haji Adam Malik, Medan pada tahun 2014”. 4

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui karakteristik pasien sindrom koroner akut. 2. Mengetahui prevalensi masing-masing dari tipe sindrom koroner akut yang diderita pasien.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk : 1. Peneliti Dapat menambah pengetahuan peneliti terhadap gambaran pasien sindrom koroner akut dan menambah wawasan peneliti mengenai kejadian sindrom koroner akut di RSUP Haji Adam Malik sebagai rumah sakit rujukan di Kota Medan. 2. RSUP Haji Adam Malik Dapat memberikan informasi mengenai gambaran terjadinya sindrom koroner akut dalam periode satu tahun terakhir sebagai bahan evaluasi dalam penanggulangan terjadinya penyakit kardiovaskular di masyarakat. 3. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa tentang gambaran pasien sindrom koroner akut dan dapat dijadikan bahan masukan bagi mahasiswa kedokteran. 4. Masyarakat Memberikan informasi yang jelas mengenai gambaran pasien sindrom koroner akut sehingga menjadi pengetahuan bagi masyarakat dan membantu masyarakat dalam melakukan pencegahan dan menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya. ii ABSTRAK Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian nomor satu secara global. Salah satu penyakit kardiovaskuler itu adalah Sindrom Koroner Akut SKA. SKA yang merupakan keadaan gawat darurat dari Penyakit Jantung Koroner PJK yang terdiri dari: infark miokard akut dengan elevasi segment ST STEMI, infark miokard akut tanpa elevasi segment ST NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil APTS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pasien sindrom koroner akut di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan bentuk cross sectional study dan pendekatan retrospective menggunakan data rekam medik. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien dengan sindrom koroner akut yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik, Medan pada periode 1 Januari 2014 – 31 Desember 2014. Data penelitian dipilih menggunakan teknik purposive sampling dengan mengunakan rumus dan didapatkan sebanyak 85 sampel. Analisis data dilakukan dengan program SPSS. Dari penelitian ini diperoleh hasil jumlah pasien SKA terbanyak yaitu pada tipe STEMI sebanyak 43 pasien 50,6, diikuti NSTEMI sebanyak 25 pasien 29,4, dan paling sedikit yaitu APTS sebanyak 17 pasien 20. Dari 85 pasien SKA yang diteliti lebih banyak terjadi pada kelompok usia 40-60 tahun sebanyak 60 pasien 70,6, jenis kelamin laki-laki 65 pasien 76,5, dan agama Islam 50 pasien 58,8 . Hanya 13 pasien 15,3 memiliki riwayat penyakit jantung dalam keluarga. Didapati persentase frekuensi kejadian SKA yang mempunyai kebiasaan merokok, hipertensi, dislipidemia, dan diabetes melitus dari persentase yang terbesar hingga persentase terkecil sebagai berikut hipertensi 64 pasien 75,3, merokok 56 pasien 65,9, diabetes melitus 48 pasien 56,5, dan dislipidemia 44 pasien 51,8. Dari penelitian ini diperoleh gambaran pasien sindrom koroner akut di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014 terbanyak pada tipe STEMI, kelompok umur 40-60 tahun, dan pada beragama Islam. Sebagian besar penderita SKA mempunyai kebiasaan merokok, hipertensi, dislipidemia, dan diabetes melitus. Kata kunci : Sindroma Koroner Akut, Infark Miokard Akut iii ABSTRACT Cardiovascular diseases are the number one cause of death globally. One of the cardiovascular disease is Acute Coronary Syndrome ACS. ACS is a state of emergency from Coronary Heart Disease CHD consists of : ST Elevation myocardial infarction STEMI, Non ST Elevation myocardial infarction NSTEMI, and Unstable Angina Pectoris UAP. The aim of this study is to determine description of patients with acute coronary syndrome in Adam Malik Medan Hospital in 2014. Descriptive research has been conducted with a a cross-sectional study and a retrospective approach using medical record. The population in this study were hospitalized patients with acute coronary syndrome in Adam Malik Medan Hospital from period January 1st 2014-December 31st 2014. By using simple purposive sampling technique, samples was identified by using formula and 85 samples were obtained. Data was analyzed using SPSS computer program. From the results of this study, obtained the highest number of ACS patients that is the type of STEMI as many as 43 patients 50,6, followed by as many as 25 patients 29,4 NSTEMI and APTS patients 17 20. Out of 85 ACS patients, obtained the most group of age is between 40-60 years old 60 patients 70,6, male patients 65 76,5, and Islam religion patients 50 58,8. Only 13 patients 15,3 were having cardiovascular disease history in family. Data was analyzed, it show the frequency of smoking habits, hypertension, diabetes mellitus and dyslipidemia from the most to the least are as follow respectively, hypertension 64 patients 75,3, smoking habits patients 56 65,9, diabetes mellitus patients 48 56,5 and dyslipidemia patients 44 51,8. From the results of this study, description of patients with acute coronary syndrome in Adam Malik Medan Hospital in 2014 obtained the highest number of patients that is the type of STEMI, age between 40-60 years old, Islam religion. ACS patients are mostly having smoking habits, hypertension, dyslipidemia and diabetes mellitus. Keyword: Acute Coronary Syndrom, Acute Myocardial Infarction KARYA TULIS ILMIAH GAMBARAN PASIEN SINDROM KORONER AKUT DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN PADA TAHUN 2014 Oleh : RAJEVEN AL PUSPANATHAN 120100530 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 i