KARAKTERISTIK BEKATUL SEGAR DAN TERSTABLISASI

18

B. KARAKTERISTIK BEKATUL SEGAR DAN TERSTABLISASI

Karakterisasi bekatul segar dan terstabilisasi yang dilakukan meliputi sifat kimia, fungsional, dan mikrobiologi. Proses stabilisasi mengakibatkan perubahan kimia bekatul Tabel 4. Tabel 4. Sifat kimia bekatul segar dan terstabilisasi Parameter a Bekatul segar Bekatul Terstabilisasi 5 menit 10 menit 15 menit Kadar air Mak 12 6,86 4,94 5,15 5,30 Kadar protein bk Min 8 13,72 11,47 11,19 10,95 Kadar lemak bk Min 3 16,84 10,92 10,18 10,74 Kadar abu bk Mak 10 7,43 7,26 7,42 7,43 Serat kasar bk Mak 10 7,25 7,05 7,38 6,78 Karbohidrat by difference bk - 47,9 58,36 58,68 58,8 TBA mg malonaldehidkg bahan - 0,68 0,11 0,23 0,49 Sumber : a : SNI 01-4439-1998 Keterangan : bk : basis kering Kadar air bekatul segar berada dalam kisaran standar SNI Tabel 4. Kadar air bekatul segar dipengarui oleh proses pengeringan gabah sebelum digiling, penggilingan, pengemasan, penyimpanan, dan distribusinya. Kadar air gabah kering giling berkorelasi positif dengan kadar air bekatul segar. Proses pemanasan basah dapat meningkatkan kadar air bekatul Tabel 2. Kadar air yang tinggi dapat mempercepat terjadinya proses hidrolisis, oksidasi, dan pertumbuhan bakteri. Proses pengeringan diperlukan untuk menurunkan kadar air bekatul. Proses pengeringan dapat menurunkan kadar air bekatul dari 6,86 menjadi 4,94 pemanasan 5 menit, 5,15 pemanasan 10 menit, dan 5,3 pemanasan 15 menit. Lama pemanasan basah meningkatkan kadar air bekatul. Kadar air bekatul dengan lama pemanasan 15 menit lebih besar dibandingkan 10 dan 5 menit. Oleh karena itu, lama pengeringan yang sama menghasilkan kadar air pengeringan yang berbeda. Protein bekatul segar sebesar 13,72 , hasil tersebut berada dalam standar SNI Tabel 4. Proses stabilisasi dapat menurunkan kadar protein bekatul. Penurunan protein disebabkan adanya komponen albumin yang 19 terlarut saat pemanasan. Ini sesuai dengan Houston 1972 bahwa, proses pemanasan bahan dimungkinkan dapat menghilangkan sebagian kecil protein yang larut air. Perhitungan protein berdasarkan jumlah N yang terkandung dalam bahan Winarno, 2002. Tinggi rendahnya protein pada bekatul dipengaruhi oleh komposisi germ pada bekatul. Tingginya konsentrasi germ pada bekatul dapat meningkatkan protein bekatul karena germ mempunyai kadar protein lebih tinggi dari lapisan lain yaitu sebesar 14,1-20,6 Champage et al., 2001. Bagian embrio mengandung amino N empat kali lebih banyak dibandingkan dengan bekatul. Hasil analisis lemak bekatul segar sebesar 16,84 , nilai ini masuk dalam standar SNI Tabel 4. Kadar lemak bekatul terstabilisasi berkisar antara 10,74 - 10,92 . Penurunan kadar lemak disebabkan adanya uap air yang terserap selama pemanasan. Meningkatnya kandungan air menyebabkan terjadinya hidrolisis. Proses hirolisis memecah molekul lemak menjadi gliserol dan asam lemak bebas ALB. Gliserol dalam pengujian kadar lemak tidak ikut terekstrak sehingga kadar lemak bekatul segar lebih besar dibandingkan bekatul terstabilisasi. Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral dalam bahan. Hasil analisis kadar abu sebesar 7,43 dan bekatul terstabilisasi mempunyai kisaran antara 7,26-7,43 . Nilai ini masuk dalam standar Tabel 4. Pemanasan suhu tinggi tidak dapat menghilangkan kandungan mineral dalam bekatul. Proses stabilisasi yang dilakukan pada suhu 105ºC tidak mengurangi kadar mineral dalam bekatul. Menurut Orthoefer 2001, konsentrasi mineral tergantung proses penggilingan, iklim, tanah, varietas, dan lokasi biji. Houston 1972 menyatakan bahwa kandungan mineral utama bekatul adalah fosfor, kemudian diikuti potasium, magnesium, dan silikon Hasil analisis serat kasar bekatul segar sebesar 7,25 sedangkan bekatul terstabilisasi berkisar antara 6,78-7,38 . Penurunan kadar serat bekatul disebabkan karena pemanasan yang dilakukan dapat melunakkan struktur serat sehingga penambahan asam dan basa saat pengujian dapat melarutkan beberapa bagian serat. 20 Pada penelitian ini, kadar karbohidrat diukur secara by difference, yaitu analisis kadar karbohidrat melalui perhitungan. Hasil analisis karbohidrat bekatul segar didapatkan sebesar 47,9 . Proses pemanasan dan pengeringan menyebabkan peningkatan kadar karbohidrat bekatul Tabel 4. Jumlah karbohidrat dalam bekatul sebenarnya tidak berubah selama pemanasan. Menurut Ramesh 1999, kandungan karbohidrat cenderung stabil dibandingkan dengan komponen lain ketika dilakukan pemanasan. Peningkatan persentase karbohidrat dikarenakan terjadi penurunan pada komponen yang lain. Malonaldehid termasuk komponen utama dari nilai TBA thiobarbituric acid yang digunakan untuk mengetahui derajat oksidasi lemak Rahman, 1999. Nilai TBA yang semakin tinggi menunjukan bahan tersebut semakin tengik. Hasil pengujian nilai TBA bekatul segar sebesar 0,68 mg malonoldehidkg bahan. Selama ini belum ada standar yang menyebutkan besarnya nilai TBA dapat dikatakan tengik, sehingga perlu adanya pengujian odor. Berdasarakan uji panelis, bau bekatul segar masih disukai oleh panelis. Nilai TBA bekatul terstabilisasi berkisar antara 0,11-0,49 malonoldehidkg bahan. Penurunan nilai TBA bekatul terjadi setelah proses stabilisasi bekatul. Stabilisasi bekatul menyebabkan inaktivasi enzim lipase sehingga pembentukan aldehid terhambat. Proses pengeringan menyebabkan komponen aldehid yang bersifat volatil ikut menguap bersama air. Hal tersebut menyebabkan penurunan nilai TBA bekatul terstabilisasi. Berdasarkan analisis ragam Lampiran 4, parameter nilai TBA berbeda nyata pada perlakuan lama pemanasan. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama pemanasan 5 dan 10 menit berbeda nyata dengan lama pemanasan 15 menit Lampiran 5. Nilai TBA bekatul terstabilisasi selama 5 dan 10 menit berturut-turut sebesar 0,11 dan 0,23 mg malonaldehidkg bahan, sedangkan pada lama pemanasan 15 menit sebesar 0,49 mg malonaldehidkg bahan. Peningkatan waktu pemanasan meningkatkan nilai TBA bekatul. Pemanasan basah dapat mempercepat terjadinya reaksi hidrolisis sehingga menghasilkan aldehid yang lebih besar. 21 Selain analisis kimia, juga dilakukan analisis sifat fungsional dan mikrobiologi. Hasil analisis disajikan pada Tabel 5 Tabel 5. Hasil analisis sifat fungsional dan mikrobiologi bekatul segar dan terstabilisasi Parameter Bekatul segar Bekatul terstabilisasi 5 menit 10 menit 15 menit Kelarutan suhu 70°C 11,95 14,95 21,32 16,14 Swelling power suhu 70°C 5,96 5,97 6,47 6,59 Freeze thaw stability sineresis 95,50 96,73 96,48 95,13 TPC kolonig 1,65 x 10 6 E. coli APMg - - - - Kelarutan merupakan kemampuan bahan untuk larut. Semakin tinggi nilai kelarutan bahan menunjukkan semakin banyak komponen bahan tersebut larut dalam air. Kelarutan bekatul segar sebesar 11,95 dan bekatul terstabilisasi sebesar 14,95-21,32 . Proses stabilisasi dapat meningkatkan kelarutan bekatul. Pemanasan bekatul menyebabkan kerusakan jaringan sehingga komponen dalam bekatul larut dalam air. Berdasarkan Rahman 1999, pemanasan yang berlebihan dapat merusak struktur sehingga nutrisi yang larut air misalnya beberapa mineral, vitamin, dan pektin dapat ikut keluar. Swelling power merupakan pengembangan volume bekatul dalam air. Hasil analisis swelling power bekatul segar sebesar 5,96 . Nilai swelling power bekatul dipengarui oleh kadar seratnya. Serat mempunyai gugus polar –OH sehingga dapat berikatan dengan air dengan membentuk ikatan hidrogen. Bekatul hasil stabilisasi mempunyai swelling power sebesar 5,97- 6,59 . Peningkatan swelling power bekatul terstabilisasi disebabkan karena pemanasan dapat meningkatkan keporosan serat sehingga pengikatan air semakin besar. Pengujian freeze thaw stability digunakan untuk melihat ketahanan bekatul disimpan dalam suhu beku -15 o C. Persentase sineresis menunjukkan banyaknya air yang memisah setelah dilakukan thawing. Hasil analisis freeze thaw stability bekatul segar sebesar 95,5 sineresis dan bekatul terstabilisasi antara 95,13-96,73 sineresis. Sifat freeze thaw stability berhubungan 22 dengan kandungan serat bekatul. Jumlah serat sebelum dan sesudah stabilisasi relatif tetap, sehingga sifat freeze thaw stabilitynya relatif tetap. Tidak berbedanya sifat freeze thaw stability bekatul segar dengan hasil stabilisasi menunjukkan bahwa proses stabilisasi tidak mengubah sifat freeze thaw stability bekatul. Analisis water retention capacity digunakan untuk mengetahui kemampuan bahan untuk menahan air pada pemanasan 60-95°C. Suhu pemanasan berpengaruh terhadap nilai WRC bekatul segar maupun bekatul terstabilisasi Gambar 9. Gambar 9. Pengaruh suhu pemanasan terhadap nilai WRC pada bekatul segar dan terstabilisasi Kenaikan nilai WRC bekatul segar dan terstabilisasi terjadi seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan. Pemanasan menyebabkan popi-pori bekatul semakin membesar sehingga kemampuan penyerapan air meningkat. Pada pemanasan suhu antara 65-95ºC terjadi kenaikan penyerapan air. Hal ini diduga karena pemanasan dapat meningkatkan kemampuan serat untuk berikatan dengan air. Nilai ORC menunjukkan kemampuan bekatul dalam menyerap minyak setelah pemanasan antara 65-95ºC. Gambar 10 menunjukkan pengaruh suhu pemanasan terhadap nilai ORC pada bekatul segar dan bekatul terstabilisasi. 5 10 15 20 25 30 65 70 75 80 85 90 95 W ater R eten to n C ap ac ity Suhu Pemanasan°C 5 menit 10 menit 15 menit segar 23 Gambar 10. Pengaruh suhu pemanasan terhadap nilai ORC pada bekatul segar dan terstabilisasi Berdasarkan Gambar 10, kemampuan bekatul menyerap minyak cenderung tetap untuk semua suhu pengamatan. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan serat dalam berikatan dengan minyak. Proses stabilisasi menyebabkan peningkatan penyerapan minyak oleh bekatul terstabilisasi dibandingkan dengan bekatul segar. Proses stabilisasi dapat meningkatkan keporousan serat. Serat yang poros dapat diisi oleh minyak yang dicampurkan dalam bekatul. Hasil analisis TPC menunjukkan jumlah keseluruhan mikroorganisme yang ada pada bahan makanan. Berdasarkan analisis, didapatkan total mikroorganisme sebesar 1,65 x 10 6 kolonig. Nilai tersebut melewati batas yang tertera dalam SNI terhadap tepung beras yaitu 10 6 kolonig. Tingginya nilai tersebut diduga karena kontaminasi saat proses penggilingan, penyimpanan, maupun distribusi. Pada bekatul terstabilisasi, tidak ditemukan adanya koloni mikroorganisme. Penurunan jumlah mikroorganisme disebabkan adanya pengaruh pemanasan suhu 105°C. Pada suhu 105°C, pertumbuhan mikroba dapat terhambat bahkan tidak dapat tumbuh mati. Jumlah bakteri E. coli merupakan batas pencemaran bahan pangan. Adanya kandungan bakteri E. coli dalam bahan pangan dapat membahayakan konsumen. Hasil analisis tidak menunjukkan adanya koloni E coli baik pada bekatul segar maupun bekatul terstabilisasi sehingga bekatul segar aman untuk dikonsumsi langsung. 5 10 15 20 25 30 35 40 65 70 75 80 85 90 95 Oil R eten to n C ap ac ity Suhu Pemanasan°C 5 menit 10 menit 15 menit segar 24 Pemilihan produk yang akan digunakan dalam pendugaan umur simpan bardasarkan pada nilai TBA dan kadar air terendah. Produk yang dihasilkan dengan lama pemanasan 5 menit menjadi produk terpilih dengan nilai TBA sebesar 0,11 mg malonaldehidkg bahan dan kadar air sebesar 4,94 . Kadar air yang rendah digunakan untuk mencegah proses hidrolisis lemak. Nilai TBA yang rendah menunjukkan ketengikan bekatul yang rendah.

C. PERUBAHAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN