Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul Serta Optimasi Formula Dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Campuran Susu Skim dan Tepung Bekatul

(1)

SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG BEKATUL SERTA OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MINUMAN

CAMPURAN SUSU SKIM DAN TEPUNG BEKATUL

Oleh : JANATHAN

F 24103062

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG BEKATUL SERTA OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MINUMAN

CAMPURAN SUSU SKIM DAN TEPUNG BEKATUL

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : JANATHAN

F 24103062

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Janathan. F24103062. Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul serta Optimasi Formula dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Campuran Susu Skim dan Tepung Bekatul. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS.

RINGKASAN

Peningkatan produksi beras di Indonesia selalu diupayakan dari tahun ke tahun, sehingga terjadi pula peningkatan hasil samping dari penggilingan dan penyosohan butir padi termasuk di dalamnya adalah dedak dan bekatul. Bekatul memiliki kandungan zat gizi yang cukup tinggi dan mengandung komponen bioaktif oryzanol yang menjadikan bekatul sebagai bahan baku yang potensial untuk dijadikan pangan fungsional. Oleh karena itu para peneliti merekomendasikan untuk mengembangkan produk pangan dari bekatul awet yang memiliki palatibilitas tinggi.

Penelitian ini terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap penentuan karakteristik tepung bekatul dari berbagai perlakuan, tahap formulasi dan optimasi minuman campuran susu skim dan tepung bekatul, serta tahap pendugaan umur simpan formula optimum minuman yang dihasilkan. Pada tahap pertama dilakukan tiga jenis perlakuan pengeringan bekatul setelah distabilkan dengan otoklaf, yaitu (1) pengeringan dengan oven, (2) pengeringan dengan pengering drum, serta (3) pengeringan dengan pengering drum yang disertai dengan proses bleaching pada tepung.

Dari hasil analisis fisik, diketahui tepung dari perlakuan kedua dipilih untuk digunakan dalam tahap formulasi minuman, karena memiliki karakteristik yang sesuai untuk diaplikasikan pada produk minuman. Tepung terpilih kemudian dianalisis sifat kimianya berupa kenaikan asam lemak bebas serta kandungan total tokoferol. Dari tahap penelitian ini juga diketahui bahwa penstabilan dengan otoklaf dapat meningkatkan pembentukan warna cokelat dan diketahui pula bahwa perlakuan perendaman dengan H2O2 selama 18 jam pada tepung bekatul

tidak menghasilkan perubahan kecerahan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan bekatul dalam bentuk segar.

Tepung bekatul pada perlakuan kedua ini memiliki densitas kamba sebesar 0.43 g/ml, densitas pemadatan 0.64 g/ml, aw 0.58, nilai kelarutan dalam air 1.44%,

nilai daya serap air 301.33%, serta kadar air sebesar 5.12%. Sifat kimia yang diamati berupa kenaikan asam lemak bebas sebagai indikator ketengikan sebesar 0.07% yang didapat setelah tepung diinkubasi 144 jam pada 35OC, serta kandungan tokoferol sebesar 217.61 mg/100 g minyak.

Tahap formulasi menggunakan bantuan program Design Expert 7 yang menghasilkan 15 formula yang akan diuji responnya terhadap perubahan campuran komponen yang digunakan. Terdapat tiga variabel yang digunakan dalam tahap formulasi ini, yaitu jumlah karagenan, jumlah tepung bekatul, serta jumlah formula dasar yang digunakan. Dari hasil analisis respon, diketahui terdapat dua respon yang memiliki signifikansi perubahan yang nyata terhadap perubahan campuran komponen yang dilakukan, yaitu respon warna sebelum diseduh dengan model polinomial cubic serta respon rasa dengan model polinomial berupa quadratic.


(4)

Program merekomendasikan tiga formula optimum, namun dipilih formula yang memiliki nilai desirability tertinggi sebesar 0.681 yaitu formula yang terdiri dari karagenan sebanyak 0.25%, tepung bekatul sebanyak 16.083%, dan formula dasar sebanyak 83.667%. Formula ini kemudian diuji coba melalui uji organoleptik dan diketahui bahwa formula optimum terpilih ini memiliki nilai respon yang lebih besar dibanding nilai prediksi respon oleh program. Selain itu, formula optimum terpilih ini juga tidak berbeda nyata untuk semua respon yang diujikan jika dibandingkan dengan produk komersial sejenis yang ada di pasaran.

Dari hasil analisis proksimat, diketahui formula optimum terpilih ini memiliki kadar air sebesar 3.94%, kadar abu 5.16%, lemak 2.72%, protein 18.79%, karbohidrat 69.71%, serta memiliki kandungan serat pangan total sebesar 5.25%. Kandungan vitamin E minuman hasil konversi sebesar 4.79 mg per 100 gram produk, nilai aw sebesar 0.414, pH 5.50, serta mengandung total mikroba

sebesar 8.6 x 103 koloni/ml.

Tahapan terakhir dari penelitian ini adalah tahap pendugaan umur simpan produk minuman dengan metode percepatan (Arrhenius) menggunakan tiga perlakuan suhu, yaitu 35, 45, dan 55OC. Parameter yang digunakan dalam tahap pendugaan umur simpan ini adalah warna, aroma, dan penampakan fisik produk minuman dalam bentuk bubuk.

Dari hasil perhitungan diketahui bahwa umur simpan produk minuman fungsional ini berbeda untuk tiap parameter yaitu warna, aroma dan penampakan fisik. Hal ini disebabkan tejadinya kerusakan yang disebabkan oleh komponen yang berbeda-beda untuk masing-masing parameter. Dari ketiga parameter ini, aroma mengalami perubahan yang paling cepat dan memiliki umur simpan yang paling singkat pada suhu yang sama, yaitu sekitar 14.25 bulan pada suhu 27OC, sehingga dapat disimpulkan parameter kerusakan yang paling dominan pada produk minuman fungsional ini adalah perubahan aroma.


(5)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG BEKATUL SERTA OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MINUMAN

CAMPURAN SUSU SKIM DAN TEPUNG BEKATUL

Oleh : JANATHAN

F 24103062

Dilahirkan pada tanggal 12 Juni 1985 di Bagan Siapi-api

Tanggal lulus : 28 September 2007

Menyetujui,

Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS. Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen


(6)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di Bagan Siapi-api, Riau pada tanggal 12 Juni 1985. Penulis merupakan anak ke-7 dari tujuh bersaudara pasangan Ridwan Maryam dan Rosma. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di SD Negeri 007 Labuhbaru Pekanbaru pada tahun 1991-1997, dilanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan SLTP Negeri 3 Pekanbaru pada tahun 1997-2000, serta SMU Negeri 8 Pekanbaru pada tahun 2000-2003. Pada tahun 2003, penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, di antaranya menjadi pengurus Himitepa divisi Public Relation pada tahun 2006, pengurus Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Riau (IKPMR) Bogor, Pengurus Rukun Keluarga Pelajar Mahasiswa Bengkalis (RKPMB) Bogor, serta pengurus Food Chat Club Himitepa IPB. Kepanitiaan yang pernah diikuti penulis antara lain kepanitiaan Gebyar Budaya Melayu tahun 2004, Suksesi Himitepa tahun 2004 serta Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan (LCTIP) tahun 2005. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul “Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul serta Optimasi Formula dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Campuran Susu Skim dan Tepung Bekatul”, di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirobbil ’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor.

Selama melaksanakan penelitian dan menyusun skripsi ini, penulis telah mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing yang banyak memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis.

2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc dan Dr. Ir. Sukarno, MSc atas kesediaannya sebagai dosen penguji.

3. Bapak, ibu, kakak-kakak, dan abang-abangku yang tiada henti-hentinya memberikan doa, kasih sayang, nasehat dan semangat.

4. Pakcik (Alm.), Makcik, dan keluarga di Jakarta, terimakasih atas bantuan dan nasehatnya selama ini.

5. Sahabat yang selalu ada dan setia mendengarkan : Widyanto, Mia, Yeni, Tika, Gilang, Adith, Helmi, Pegi, Zaldi, Mitoel, Tilo, Rucitra , serta Evanda. Terimakasih yang tak terhingga atas perhatiannya selama ini.

6. Teman-teman angkatan 40 : Wayan, Gonggo, Ade, Widi, Iin, Anis, Abdy, Martin, Ados, Arie, Adie, Dian, Olla, Nunu, Oboth, Tuti, Indah, Wati, Oneth, Rial, Steph, Nooy, Iin, Mona, Vina, Andal, Dion, serta teman-teman angkatan 41 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

7. Mbak Tina, terimakasih banyak atas bantuannya. Iis, Imel, Wili, dan Rama, terimakasih telah banyak mengingatkan. Ibnu, Lucia, Adam, serta teman-teman SMA : Asen, Ade, Choy, terimakasih pula atas bantuannya.

8. Teman-teman seperjuangan satu bimbingan (Rina, Ican, dan Arga) terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama ini.

9. Para laboran/teknisi : Bu Rubiyah, Pak Koko, Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Iyas, Pak Nur, terimakasih atas kerjasamanya.


(8)

10.Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna dan mungkin terdapat kekurangan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, September 2007


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. BEKATUL ... 3

B. STABILISASI BEKATUL PADI ... 8

B. PRODUK PANGAN DARI BEKATUL ... 11

D. SUSU SKIM ... 13

E. UMUR SIMPAN ... 16

F. MIXTURE EXPERIMENT ... 18

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 21

A. BAHAN DAN ALAT ... 21

B. METODE PENELITIAN ... 21

1. Penentuan Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul ... 21

a. Analisis Sifat Fisik ... 22

1). Densitas Kamba ... 22

2). Densitas Padat ... 22

3). Kelarutan dalam Air ... 24

4). Daya Serap Air ... 24

5). Aktivitas Air (aw ) ... 24

6). Pengukuran Warna ... 25

b. Analisis Sifat Kimia ... 25

1). Penentuan Jumlah Asam Lemak Bebas ... 26


(10)

3). Analisis Kualitatif Residu H2O2 ... 26

2. Formulasi Minuman Fungsional ... 27

a. Kadar Air Metode Oven ... 28

b. Kadar Abu ... 28

c. Kadar Lemak ... 28

d. Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldhal ... 29

e. Kadar Serat Pangan ... 29

f. Total Mikroba dengan Metode Tuang... 31

g. Pengukuran Viskositas dengan Viskometer Brookefield .. 31

h. Uji Organoleptik ... 32

3. Pendugaan Umur Simpan Metode Arrhenius ... 32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

A. Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul ... 35

B. Penentuan Variabel Minuman ... 50

1. Penetapan Formula Dasar ... 50

2. Penentuan Batas Maksimum dan Minimum Penambahan Tepung Bekatul ... 51

3. Penentuan Batas Maksimum dan Minimum Penambahan Karagenan ... 52

4. Konversi Input Formula Rancangan ... 53

C. Formulasi dan Optimasi Minuman ... 54

1. Rancangan Formulasi ... 54

2. Analisis Respon ... 55

a. Analisis Respon Warna Sebelum Diseduh ... 56

b. Analisis Respon Rasa Setelah Diseduh ... 61

c. Analisis Respon Lainnya ... 66

d. Optimasi Formula... 67

e. Uji Coba Formula Optimum ... 71

f. Uji Hedonik Produk Pembanding ... 72

g. Analisis Formula Optimum ... 74

D. Pendugaan Umur Simpan Produk ... 78


(11)

SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG BEKATUL SERTA OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MINUMAN

CAMPURAN SUSU SKIM DAN TEPUNG BEKATUL

Oleh : JANATHAN

F 24103062

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG BEKATUL SERTA OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MINUMAN

CAMPURAN SUSU SKIM DAN TEPUNG BEKATUL

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : JANATHAN

F 24103062

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(13)

Janathan. F24103062. Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul serta Optimasi Formula dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Campuran Susu Skim dan Tepung Bekatul. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS.

RINGKASAN

Peningkatan produksi beras di Indonesia selalu diupayakan dari tahun ke tahun, sehingga terjadi pula peningkatan hasil samping dari penggilingan dan penyosohan butir padi termasuk di dalamnya adalah dedak dan bekatul. Bekatul memiliki kandungan zat gizi yang cukup tinggi dan mengandung komponen bioaktif oryzanol yang menjadikan bekatul sebagai bahan baku yang potensial untuk dijadikan pangan fungsional. Oleh karena itu para peneliti merekomendasikan untuk mengembangkan produk pangan dari bekatul awet yang memiliki palatibilitas tinggi.

Penelitian ini terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap penentuan karakteristik tepung bekatul dari berbagai perlakuan, tahap formulasi dan optimasi minuman campuran susu skim dan tepung bekatul, serta tahap pendugaan umur simpan formula optimum minuman yang dihasilkan. Pada tahap pertama dilakukan tiga jenis perlakuan pengeringan bekatul setelah distabilkan dengan otoklaf, yaitu (1) pengeringan dengan oven, (2) pengeringan dengan pengering drum, serta (3) pengeringan dengan pengering drum yang disertai dengan proses bleaching pada tepung.

Dari hasil analisis fisik, diketahui tepung dari perlakuan kedua dipilih untuk digunakan dalam tahap formulasi minuman, karena memiliki karakteristik yang sesuai untuk diaplikasikan pada produk minuman. Tepung terpilih kemudian dianalisis sifat kimianya berupa kenaikan asam lemak bebas serta kandungan total tokoferol. Dari tahap penelitian ini juga diketahui bahwa penstabilan dengan otoklaf dapat meningkatkan pembentukan warna cokelat dan diketahui pula bahwa perlakuan perendaman dengan H2O2 selama 18 jam pada tepung bekatul

tidak menghasilkan perubahan kecerahan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan bekatul dalam bentuk segar.

Tepung bekatul pada perlakuan kedua ini memiliki densitas kamba sebesar 0.43 g/ml, densitas pemadatan 0.64 g/ml, aw 0.58, nilai kelarutan dalam air 1.44%,

nilai daya serap air 301.33%, serta kadar air sebesar 5.12%. Sifat kimia yang diamati berupa kenaikan asam lemak bebas sebagai indikator ketengikan sebesar 0.07% yang didapat setelah tepung diinkubasi 144 jam pada 35OC, serta kandungan tokoferol sebesar 217.61 mg/100 g minyak.

Tahap formulasi menggunakan bantuan program Design Expert 7 yang menghasilkan 15 formula yang akan diuji responnya terhadap perubahan campuran komponen yang digunakan. Terdapat tiga variabel yang digunakan dalam tahap formulasi ini, yaitu jumlah karagenan, jumlah tepung bekatul, serta jumlah formula dasar yang digunakan. Dari hasil analisis respon, diketahui terdapat dua respon yang memiliki signifikansi perubahan yang nyata terhadap perubahan campuran komponen yang dilakukan, yaitu respon warna sebelum diseduh dengan model polinomial cubic serta respon rasa dengan model polinomial berupa quadratic.


(14)

Program merekomendasikan tiga formula optimum, namun dipilih formula yang memiliki nilai desirability tertinggi sebesar 0.681 yaitu formula yang terdiri dari karagenan sebanyak 0.25%, tepung bekatul sebanyak 16.083%, dan formula dasar sebanyak 83.667%. Formula ini kemudian diuji coba melalui uji organoleptik dan diketahui bahwa formula optimum terpilih ini memiliki nilai respon yang lebih besar dibanding nilai prediksi respon oleh program. Selain itu, formula optimum terpilih ini juga tidak berbeda nyata untuk semua respon yang diujikan jika dibandingkan dengan produk komersial sejenis yang ada di pasaran.

Dari hasil analisis proksimat, diketahui formula optimum terpilih ini memiliki kadar air sebesar 3.94%, kadar abu 5.16%, lemak 2.72%, protein 18.79%, karbohidrat 69.71%, serta memiliki kandungan serat pangan total sebesar 5.25%. Kandungan vitamin E minuman hasil konversi sebesar 4.79 mg per 100 gram produk, nilai aw sebesar 0.414, pH 5.50, serta mengandung total mikroba

sebesar 8.6 x 103 koloni/ml.

Tahapan terakhir dari penelitian ini adalah tahap pendugaan umur simpan produk minuman dengan metode percepatan (Arrhenius) menggunakan tiga perlakuan suhu, yaitu 35, 45, dan 55OC. Parameter yang digunakan dalam tahap pendugaan umur simpan ini adalah warna, aroma, dan penampakan fisik produk minuman dalam bentuk bubuk.

Dari hasil perhitungan diketahui bahwa umur simpan produk minuman fungsional ini berbeda untuk tiap parameter yaitu warna, aroma dan penampakan fisik. Hal ini disebabkan tejadinya kerusakan yang disebabkan oleh komponen yang berbeda-beda untuk masing-masing parameter. Dari ketiga parameter ini, aroma mengalami perubahan yang paling cepat dan memiliki umur simpan yang paling singkat pada suhu yang sama, yaitu sekitar 14.25 bulan pada suhu 27OC, sehingga dapat disimpulkan parameter kerusakan yang paling dominan pada produk minuman fungsional ini adalah perubahan aroma.


(15)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG BEKATUL SERTA OPTIMASI FORMULA DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MINUMAN

CAMPURAN SUSU SKIM DAN TEPUNG BEKATUL

Oleh : JANATHAN

F 24103062

Dilahirkan pada tanggal 12 Juni 1985 di Bagan Siapi-api

Tanggal lulus : 28 September 2007

Menyetujui,

Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS. Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen


(16)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di Bagan Siapi-api, Riau pada tanggal 12 Juni 1985. Penulis merupakan anak ke-7 dari tujuh bersaudara pasangan Ridwan Maryam dan Rosma. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di SD Negeri 007 Labuhbaru Pekanbaru pada tahun 1991-1997, dilanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan SLTP Negeri 3 Pekanbaru pada tahun 1997-2000, serta SMU Negeri 8 Pekanbaru pada tahun 2000-2003. Pada tahun 2003, penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, di antaranya menjadi pengurus Himitepa divisi Public Relation pada tahun 2006, pengurus Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Riau (IKPMR) Bogor, Pengurus Rukun Keluarga Pelajar Mahasiswa Bengkalis (RKPMB) Bogor, serta pengurus Food Chat Club Himitepa IPB. Kepanitiaan yang pernah diikuti penulis antara lain kepanitiaan Gebyar Budaya Melayu tahun 2004, Suksesi Himitepa tahun 2004 serta Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan (LCTIP) tahun 2005. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul “Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul serta Optimasi Formula dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Campuran Susu Skim dan Tepung Bekatul”, di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS.


(17)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirobbil ’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor.

Selama melaksanakan penelitian dan menyusun skripsi ini, penulis telah mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing yang banyak memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis.

2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc dan Dr. Ir. Sukarno, MSc atas kesediaannya sebagai dosen penguji.

3. Bapak, ibu, kakak-kakak, dan abang-abangku yang tiada henti-hentinya memberikan doa, kasih sayang, nasehat dan semangat.

4. Pakcik (Alm.), Makcik, dan keluarga di Jakarta, terimakasih atas bantuan dan nasehatnya selama ini.

5. Sahabat yang selalu ada dan setia mendengarkan : Widyanto, Mia, Yeni, Tika, Gilang, Adith, Helmi, Pegi, Zaldi, Mitoel, Tilo, Rucitra , serta Evanda. Terimakasih yang tak terhingga atas perhatiannya selama ini.

6. Teman-teman angkatan 40 : Wayan, Gonggo, Ade, Widi, Iin, Anis, Abdy, Martin, Ados, Arie, Adie, Dian, Olla, Nunu, Oboth, Tuti, Indah, Wati, Oneth, Rial, Steph, Nooy, Iin, Mona, Vina, Andal, Dion, serta teman-teman angkatan 41 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

7. Mbak Tina, terimakasih banyak atas bantuannya. Iis, Imel, Wili, dan Rama, terimakasih telah banyak mengingatkan. Ibnu, Lucia, Adam, serta teman-teman SMA : Asen, Ade, Choy, terimakasih pula atas bantuannya.

8. Teman-teman seperjuangan satu bimbingan (Rina, Ican, dan Arga) terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama ini.

9. Para laboran/teknisi : Bu Rubiyah, Pak Koko, Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Iyas, Pak Nur, terimakasih atas kerjasamanya.


(18)

10.Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna dan mungkin terdapat kekurangan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, September 2007


(19)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. BEKATUL ... 3

B. STABILISASI BEKATUL PADI ... 8

B. PRODUK PANGAN DARI BEKATUL ... 11

D. SUSU SKIM ... 13

E. UMUR SIMPAN ... 16

F. MIXTURE EXPERIMENT ... 18

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 21

A. BAHAN DAN ALAT ... 21

B. METODE PENELITIAN ... 21

1. Penentuan Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul ... 21

a. Analisis Sifat Fisik ... 22

1). Densitas Kamba ... 22

2). Densitas Padat ... 22

3). Kelarutan dalam Air ... 24

4). Daya Serap Air ... 24

5). Aktivitas Air (aw ) ... 24

6). Pengukuran Warna ... 25

b. Analisis Sifat Kimia ... 25

1). Penentuan Jumlah Asam Lemak Bebas ... 26


(20)

3). Analisis Kualitatif Residu H2O2 ... 26

2. Formulasi Minuman Fungsional ... 27

a. Kadar Air Metode Oven ... 28

b. Kadar Abu ... 28

c. Kadar Lemak ... 28

d. Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldhal ... 29

e. Kadar Serat Pangan ... 29

f. Total Mikroba dengan Metode Tuang... 31

g. Pengukuran Viskositas dengan Viskometer Brookefield .. 31

h. Uji Organoleptik ... 32

3. Pendugaan Umur Simpan Metode Arrhenius ... 32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

A. Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul ... 35

B. Penentuan Variabel Minuman ... 50

1. Penetapan Formula Dasar ... 50

2. Penentuan Batas Maksimum dan Minimum Penambahan Tepung Bekatul ... 51

3. Penentuan Batas Maksimum dan Minimum Penambahan Karagenan ... 52

4. Konversi Input Formula Rancangan ... 53

C. Formulasi dan Optimasi Minuman ... 54

1. Rancangan Formulasi ... 54

2. Analisis Respon ... 55

a. Analisis Respon Warna Sebelum Diseduh ... 56

b. Analisis Respon Rasa Setelah Diseduh ... 61

c. Analisis Respon Lainnya ... 66

d. Optimasi Formula... 67

e. Uji Coba Formula Optimum ... 71

f. Uji Hedonik Produk Pembanding ... 72

g. Analisis Formula Optimum ... 74

D. Pendugaan Umur Simpan Produk ... 78


(21)

2. Uji Organoleptik Aroma ... 81

3. Uji Organoleptik Penampakan Fisik ... 83

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

A. KESIMPULAN ... 86

B. SARAN ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 88


(22)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komposisi kimia bekatul ... 4 Tabel 2. Kandungan protein pada susu skim ... 15 Tabel 3. Nilai zat gizi susu skim ... 15 Tabel 4. Perbandingan nilai L (Lightness) tepung bekatul ... 37 Tabel 5. Perbandingan nilai warna bekatul segar dan bekatul stabil .... 38 Tabel 6. Perbandingan nilai L (lightness) bekatul segar dan bekatul

yang distabilisasi ... 39 Tabel 7. Nilai densitas kamba tepung bekatul... 42 Tabel 8. Nilai densitas padat tepung bekatul... 43 Tabel 9. Nilai kadar air tepung bekatul ... 44 Tabel 10. Nilai aw tepung bekatul ... 45

Tabel 11. Nilai kelarutan dalam air tepung bekatul ... 46 Tabel 12. Nilai daya serap air tepung bekatul ... 47 Tabel 13. Karakteristik kimia tepung bekatul ... 49 Tabel 14.Konversi komponen minuman ... 54 Tabel 15. Formula optimum yang disarankan beserta nilai

desirabilitynya ... 68 Tabel 16. Nilai respon yang diprediksikan program Design Expert

version 7 ... 72 Tabel 17. Nilai skor produk optimal dan pembanding ... 73 Tabel 18. Mutu minuman campuran susu skim dan tepung bekatul ... 74 Tabel 19. Perbandingan beberapa kandungan zat gizi produk optimal

dan komersil ... 77 Tabel 20. Nilai k dan ln k uji organoleptik warna ... 79 Tabel 21. Nilai k dan ln k uji organoleptik aroma ... 81 Tabel 22. Nilai k dan ln k uji organoleptik penampakan fisik ... 83


(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Skema penstabilan bekatul ... 23 Gambar 2. Proses pembuatan bekatul ... 35 Gambar 3. Grafik uji hedonik parameter rasa pada variasi persentase

formula dasar ... 51 Gambar 4. Grafik uji penerimaan parameter rasa pada variasi

persentase tepung bekatul ... 52 Gambar 5. Grafik uji penerimaan terhadap parameter kekentalan pada

variasi persentase karagenan ... 53 Gambar 6. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon

warna sebelum diseduh ... 59 Gambar 7. Grafik countour plot hasil uji respon warna sebelum

diseduh ... 60 Gambar 8. Grafik tiga dimensi hasil uji respon warna sebelum

diseduh ... 61 Gambar 9. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon

rasa ... 64 Gambar 10. Grafik countour plot hasil uji respon rasa ... 65 Gambar 11. Grafik tiga dimensi hasil uji respon rasa ... 66 Gambar 12. Grafik countour plot desirability formula optimum terpilih 70 Gambar 13. Grafik tiga dimensi desirability formula optimum terpilih . 70 Gambar 14. Minuman campuran susu skim dan tepung bekatul ... 78 Gambar 15. Grafik hubungan ln k uji organoleptik warna dengan suhu

(1/T) ... 80 Gambar 16. Grafik hubungan ln k uji organoleptik aroma dengan suhu

(1/T) ... 82 Gambar 17. Grafik hubungan ln k uji organoleptik penampakan fisik


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Hasil uji Anova pengaruh konsentrasi NaHSO3 terhadap

nilai L ... 95 Lampiran 2. Hasil uji Anova pengaruh konsentrasi NaHSO3 terhadap

nilai a ... 96 Lampiran 3. Hasil uji Anova pengaruh konsentrasi NaHSO3 terhadap

nilai b ... 97 Lampiran 4. Hasil uji Anova pengaruh konsentrasi NaHSO3 terhadap

nilai ho ... 98 Lampiran 5. Hasil uji Anova nilai L bekatul segar dan bekatul

berbagai perlakuan stabilisasi ... 99 Lampiran 6. Hasil uji Anova densitas kamba berbagai perlakuan

stabilisasi ... 100 Lampiran 7. Hasil uji Anova densitas padat berbagai perlakuan

stabilisasi ... 101 Lampiran 8. Hasil uji Anova kadar air berbagai perlakuan stabilisasi .. 102 Lampiran 9. Hasil uji Anova nilai aw berbagai perlakuan stabilisasi .... 103

Lampiran 10. Hasil uji Anova kelarutan dalam air berbagai perlakuan

stabilisasi ... 104 Lampiran 11. Hasil uji Anova daya serap air berbagai perlakuan

stabilisasi ... 105 Lampiran 12. Hasil uji Anova pengaruh karagenan terhadap

viskositas ... 106 Lampiran 13. Formula yang disarankan beserta hasil responnya ... 107 Lampiran 14. Formulir uji hedonik produk sebelum diseduh ... 108 Lampiran 15. Formulir uji hedonik produk setelah diseduh... 109 Lampiran 15. Formulir uji hedonik produk setelah diseduh... 109 Lampiran 16. Fits summary respon warna sebelum diseduh ... 110 Lampiran 17. ANOVA dan persamaan polinomial respon warna

sebelum diseduh ... 111 Lampiran 18. Fits summary respon rasa ... 112 Lampiran 19. ANOVA dan persamaan polinomial respon rasa ... 113 Lampiran 20. Skor uji coba formula optimum dan uji hedonik produk

komersil untuk parameter sebelum diseduh ... 114 Lampiran 21. Skor uji coba formula optimum dan uji hedonik produk

komersil untuk parameter setelah diseduh ... 115 Lampiran 22. Nilai warna minuman fungsional pada suhu 35°C ... 116 Lampiran 23. Nilai warna minuman fungsional pada suhu 45 °C ... 116 Lampiran 24. Nilai warna minuman fungsional pada suhu 55 °C ... 117 Lampiran 25. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter nilai

L minuman fungsional ... 118 Lampiran 26. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter nilai

a minuman fungsional ... 119 Lampiran 27. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter nilai


(25)

Lampiran 28. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter nilai

ho minuman fungsional ... 121 Lampiran 29. Formulir uji skoring ... 122 Lampiran 30. Nilai organoleptik penyimpanan (parameter warna) ... 123 Lampiran 31. Nilai organoleptik penyimpanan (parameter aroma) ... 124 Lampiran 32. Nilai organoleptik penyimpanan (parameter

penampakan fisik) ... 125 Lampiran33. Pendugaan umur simpan minuman fungsional

berdasarkan parameter warna ... 126 Lampiran 34. Pendugaan umur simpan minuman fungsional

berdasarkan parameter aroma ... 127 Lampiran 35. Pendugaan umur simpan minuman fungsional

berdasarkan parameter penampakan fisik ... 128 Lampiran 36. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter

organoleptik warna minuman fungsional ... 129 Lampiran 37. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter

organoleptik aroma minuman Fungsional ... 130 Lampiran 38. Uji Anova dan uji lanjut Duncan untuk parameter

organoleptik penampakan fisik minuman fungsional ... 131 Lampiran 39. Hasil uji t-test produk pembanding parameter warna

sebelum diseduh ... 132 Lampiran 40. Hasil uji t-test produk pembanding parameter aroma

sebelum diseduh ... 132 Lampiran 41. Hasil uji t-test produk pembanding parameter

penampakan fisik sebelum diseduh ... 133 Lampiran 42. Hasil uji t-test produk pembanding parameter aroma

setelah diseduh ... 133 Lampiran 43. Hasil uji t-test produk pembanding parameter rasa

setelah diseduh ... 134 Lampiran 44. Hasil uji t-test produk pembanding parameter


(26)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pemanfaatan sumber daya pertanian di beberapa negara berkembang yang masih terbatas memerlukan peningkatan usaha pemberdayaan yang lebih intensif. Salah satu usaha pemberdayaan sumber daya pertanian tersebut adalah dengan rekayasa penganekaragaman cara pengolahan yang bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatannya sehingga penerimaan masyarakat terhadap beberapa jenis bahan pangan tersebut meningkat.

Damardjati dan Oka (1989) melaporkan bahwa dalam penggilingan padi dihasilkan produk utama berupa beras sebesar 60-66%, hasil samping berupa bekatul 8-12% dan menir sebesar 5-8%. Beras merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga banyak upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi beras dari tahun ke tahun. Sejalan dengan peningkatan produksi beras, terjadi pula peningkatan hasil samping dari penggilingan dan penyosohan butir padi termasuk di dalamnya adalah dedak dan bekatul.

Proses penyosohan beras di Indonesia umumnya dilakukan dengan satu tahap, dengan hasil samping dedak dan bekatul. Namun, sering dijumpai adanya campuran serpihan sekam di dalam dedak. Hal ini mengakibatkan konotasi yang kurang tepat untuk dedak apabila dihubungkan sebagai bahan pangan. Bekatul merupakan bagian dedak yang telah diayak untuk

memisahkan bagian sekamnya (Damardjati et al., 1987).

Dengan pertimbangan ketersediaan yang cukup serta nilai gizi bekatul yang tinggi yaitu protein 12.0-15.6%, lemak 15.0-19.7%, karbohidrat 34.1-52.3%, abu 6.6-9.9%, dan serat kasar 7.0-11.4% (Luh, 1991) serta kaya akan vitamin, maka hasil samping itu cukup potensial untuk dikembangkan menjadi

bahan pangan. Penelitian Kahlon et al. (1994) juga melaporkan nilai tambah

bekatul berupa sifat fungsional penurunan kadar kolesterol dalam darah. Menurut Juliano (1985), bahan pangan yang relatif banyak mengandung serat

bekatul akan mempermudah atau mempercepat transit time yaitu kecepatan


(27)

banyak serat memiliki transit time yang pendek yaitu 14-24 jam, dan cenderung menyebabkan buang air besar lebih teratur.

Kebutuhan pasar terhadap produk alami yang sehat dan murni diperkirakan akan terus meningkat, sehingga pemanfaatan bekatul sebagai bahan baku minuman fungsional sangat potensial untuk dikembangkan. Minuman fungsional yang disuplementasi tepung bekatul diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai minuman alternatif untuk kesehatan. Untuk itu perlu diketahui formulasi dan metode yang tepat, serta sifat minuman selama penyimpanan yang menentukan penerimaan konsumen terehadap minuman ini.

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui karakteristik tepung bekatul hasil beberapa metode penstabilan, menentukan formula yang tepat untuk membuat minuman campuran susu skim dan tepung bekatul, menentukan formula optimal dan pengujiannya, serta menentukan umur simpan produk minuman yang dihasilkan.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. BEKATUL

Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang berasal dari berbagai varietas padi. Varietas padi yang ditanam petani dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan genetik yaitu bulu (javanika), indika lokal, dan pengembangan (unggul baru). Selama dua dasawarsa terakhir varietas-varietas unggul berkembang dengan pesat sehingga areal penyebaran varietas-varietas padi lokal makin terdesak (Siwi dan Kartowinoto, 1989). Namun secara umum sifat fisik dan fisikokimia beras dari ketiga kelompok padi tersebut tidak berbeda (Damardjati, 1983).

Sebutir gabah terdiri atas pembungkus pelindung luar, sekam, dan karyopsis atau buah (beras pecah kulit). Beras pecah kulit terdiri atas lapisan

luar atau perikarp, seed coat dan nucellus, lembaga, dan endosperm.

Endosperm terdiri dari kulit ari (aleuron) dan endosperm sesungguhnya yang terdiri dari lapisan sub-aleuron dan endosperm pati. Lapisan aleuron sendiri berbatasan dengan lembaga. Sekam terdapat sekitar 20% dari berat padi, dengan kisaran 16-28%. Penyebaran bobot beras pecah kulit adalah perikarp

1-2%, aleuron + nucellus dan pembungkus biji 4-6%, lembaga 1%, scutellum

2%, endosperm 90-91% (Juliano, 1993).

Pada proses penyosohan bagian perikarp, tegmen, lapisan aleron dan lembaga dipisahkan dari beras sosoh (giling). Pada pengilingan padi di Indonesia yang menggunakan satu tahap, dedak merupakan hasil penyosohan pertama dan bekatul sebagai hasil penyosohan kedua atau akhir. Dedak lebih sesuai sebagai bahan baku pakan, sedangkan bekatul sangat baik untuk bahan pangan. Dedak terdiri atas lapisan dedak sebelah luar dari butiran-butiran padi dengan sejumlah lembaga biji, sedangkan bekatul adalah lapisan dedak sebelah dalam dari butiran padi termasuk sebagian kecil endosperm berpati (Damardjati et al., 1990).


(29)

Tabel 1. Komposisi kimia bekatul

Komponen Jumlah

Protein (%) 12.0-15.6

Lemak (%) 15.0-19.7

Serat kasar (%) 7.0-11.4

Karbohidrat (%) 34.1-52.3

Abu (%) 6.6-9.9

Kalsium (mg/g) 0.3-1.2

Magnesium (mg/g) 5.0-13.0

Fosfor (mg/g) 11.0-25.0

Silika (mg/g) 5.0-11.0

Seng (µg/g) 43.0-258.0

Thiamin/B1 (µg/g) 12.0-24.0

Riboflavin/B2 (µg/g) 1.8-4.0

Sumber : Luh (1991)

Komponen kimia bekatul terdiri dari protein 12.0-15.6%, lemak 15.0-19.7%, karbohidrat 34.1-52.3%, abu 6.6-9.9%, dan serat kasar 7.0-11.4% (Luh, 1991). Komponen kimia secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1. Kandungan lemak bekatul yang relatif tinggi menyebabkan bekatul kurang tahan lama, cepat berbau dan menjadi tengik. Kandungan asam lemak bebas akan meningkat 1% setiap jam pada penyimpanan di suhu kamar (Barber dan Benedito de Barber, 1980). Reaksi ketengikan diakibatkan oleh hidrolisis enzimatik lipase dan ketengikan oksidatif. Pada bekatul, ketengikan terjadi akibat lipase yang menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak bebas dioksidasi oleh enzim lipoksigenase menjadi bentuk peroksida, keton dan aldehid, sehingga bekatul menjadi tengik (Juliano, 1985). Ketengikan yang tinggi berpengaruh terhadap penerimaan organoleptik bekatul sebagai bahan pangan.

Lipase yang terdapat di dalam bekatul termasuk ke dalam golongan triasilgliserol lipase, yang terdiri dari dua jenis yaitu lipase dengan bobot molekul 40.000 dan lipase dengan bobot molekul 33.000. Lipase bekatul memiliki sifat yang sama dengan lipase lapisan terluar biji padi tanpa sekam (Mukherjee dan Hills, 1994).

Menurut Luh (1980), bekatul mengandung senyawa saponin yang dapat menyebabkan rasa pahit. Saponin adalah senyawa aktif yang menimbulkan


(30)

busa jika dikocok di dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah (Robinson, 1991).

Saponin merupakan suatu senyawa yang termasuk ke dalam golongan glikosida yang apabila dihidrolisis secara sempurna akan menghasilkan gula dan satu fraksi non gula yang disebut sapogenin atau genin. Gula yang terdapat di dalam saponin jumlah dan jenisnya bervariasi, antara lain adalah glukosa, galaktosa, arabinosa, ramnosa, serta galakturonat dan glukoronat. Sapogenin dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sapogenin triterpenida dan streoida. Saponin streoida adalah turunan dari inti dasar metil tetrasiklik terpenida dan mempunyai 27 atom karbon, sedangkan sapogenin triterpenida mempunyai inti karbon naftalen, yaitu 1,2,7 trimetil naftalen (Cheeke dan Shull, 1985).

Bekatul mempunyai sifat fungsional penurunan kolesterol dari status hiperkolesterolemik, yang ditunjukkan oleh penelitian pada hewan percobaan dan manusia. Mekanisme yang mendasari hal ini adalah absorbsi/reabsorbsi

dietary dan atau lipid endogenous pada jalur gastrointestinal dan peningkatan ekskresi asam empedu. Efek kesehatan ini menimbulkan keinginan untuk mengkomersialkan nilai tambah bekatul pada produk-produk seperti sereal sarapan, extruded snack, roti, cookies, serta minuman (Kahlon et al., 1994).

Juliano (1985) melaporkan bahwa disamping mempunyai nilai gizi yang tinggi, bekatul juga mengandung beberapa zat anti gizi. Menurut Luh (1991), zat anti gizi tersebut adalah tripsin inhibitor, asam fitat, dan hemaglutinin. Masalah gizi yang dapat ditimbulkan oleh asam fitat adalah : (1) senyawa ini sulit dicerna, sehingga fosfor dalam asam fitat tidak dapat digunakan oleh tubuh, (2) memiliki kemampuan untuk mengkelat elemen-elemen mineral (Ca, Mg, Fe, dan Zn), dan (3) bereaksi dengan protein membentuk senyawa kompleks. Tripsin inhibitor adalah senyawa yang mempunyai kemampuan untuk menghambat aktivitas proteolitik dari enzim tripsin, sehingga menurunkan kemampuan protein untuk dapat dicerna. Zat anti gizi terakhir adalah hemaglutinin yang mampu mengaglutinasi sel darah merah (Muchtadi, 1989).


(31)

Dari segi gizi, bekatul merupakan bagian yang menghasilkan energi, kaya akan serat, serta mengandung protein tertinggi, bahkan mengandung

asam amino lisin yang lebih tinggi dibandingkan beras (Damayanthi et al.,

2006). Di samping zat gizi, bekatul juga mengandung komponen bioaktif, yaitu zat gizi yang di dalam tubuh bekerja di luar fungsi tradisionalnya (sebagai karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral) untuk kesehatan atau sering disebut dengan komponen bioaktif pangan.

Komponen bioaktif tersebut adalah antioksidan tokoferol (vitamin E),

tokotrienol, oryzanol, dan pangamic acid (vitamin B15). Tokoferol,

tokotrienol dan oryzanol merupakan komponen penyusun minyak bekatul padi, yang jumlahnya tidak besar, yaitu 2-5% dari minyak bekatul padi kasar, tergabtung dari varietas padinya. Komponen ini bersifat sebagai antioksidan dan memberikan manfaat bagi kesehatan manusia Serat pangan dan senyawa antioksidan dalam bekatul berguna antara lain sebagai zat hipokolesterolemik atau dapat menurunkan kadar kolesterol darah, mencegah terjadinya kanker,

dan memperlancar sekresi hormonal (Kahlon et al.,1994).

Lemak merupakan komponen utama bekatul yang kadarnya sedikit lebih tinggi dibanding protein. Sekitar 80% dari lemak padi terkonsentrasi di dalam bekatul dan sepertiga darinya terdapat di dalam embrio. Minyak yang diperoleh dari bekatul dolaporkan sebagai salah satu minyak makan yang terbaik di antara minyak yang ada, dan sudah dijual di beberapa negara. Asam lemak pada minyak bekatul menunjukkan kandungan asam lemak esensial (oleat, linoleat, dan linolenat). Senyawa lain yang penting adalah kandungan tokoferol yang bersifat antioksidan untuk mempertahankan ketengikan minyak akibat oksidasi. Di samping tokoferol, antioksidan lain yang penting adalah

oryzanol yang merupakan ester dari asam ferulat (Damayanthi et al., 2006).

Tokoferol (vitamin E) ditemukan oleh Evans dan Bishop pada tahun 1922. Beberapa fungsi vitamin E yang erat hubungannya dengan sifat antioksidan adalah memperlambat proses penuaan, melindungi vitamin A dari oksidasi di dalam usus sehingga dapat meningkatkan proses penyerapan vitamin A. Menurut Linder (1992) manfaat lain dari vitamin E sebagai


(32)

antioksidan adalah mencegah kerusakan dinding-dinding sel seperti kerapuhan sel-sel darah merah pada manusia sehingga mencegah terjadinya hemolisis.

Kebutuhan vitamin E direkomendasikan oleh National Research

Council (NRC) USA, di dalam Recommended Daily Allowance (RDA). Besarnya kebutuhan dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan usia (Tabel 5). Bahan pangan yang banyak mengandung vitamin E biasanya terdapat pada bahan pangan nabati seperti minyak sayur-sayuran, sayuran hijau, biji-bijian dan terutama berlimpah jumlahnya pada kecambah (deMan, 1997). Produk pangan hewani yang umumnya mengandung vitamin E antara lain susu, telur, dan sebagainya (deMan, 1997).

Oryzanol adalah komponen berharga dari bagian tidak tersabunkan. Komponen ini memiliki sifat antioksidan dengan aktivitas yang lebih tinggi dibanding tokoferol dan dinyatakan dapat memicu pertumbuhan manusia,

membantu sirkulasi \darah, dan memicu sekresi hormon. Struktur kimia γ

-oryzanol adalah keluarga dari ester asam ferulat dari triterpenoid alkohol tidak

jenuh. Pada minyak bekatul padi, γ-oryzanol telah diidentifikasi berfungsi

sebagai antioksidan dan bersifat menyembuhkan berbagai penyakit manusia.

Telah diidentifikasi, yang termasuk ke dalam γ-oryzanol adalah cycloartenyl

ferulate, campesteryl ferulate, cycloartanyl ferulate, beta sitosteryl ferulate, dan 2,4 methylene cycloartenyl ferulate yang memiliki aktivitas tertinggi (Damayanthi et al., 2006).

Saunders (1990) menyatakan bahwa keuntungan fisiologis dari bekatul padi sebagai sumber bahan pangan adalah karena kandungan gizinya dan sifat dari oryzanol. Efek hipokolesterolemik bekatul dan beberapa fraksinya (neutral detergent fiber, hemiselulosa, minyak bekatul padi, dan bahan tak tersabunkan) telah banyak diobservasi baik pada hewan percobaan maupun

manusia (Kahlon et al., 1996; Cheng, 1993; Nestel, 1990).

Seetharamaiah dan Chandrasekhara (1989) melaporkan minyak bekatul padi menurunkan secara nyata kadar kolesterol total, bebas, esterifikasi, LDL, dan VLDL serum dibandingkan dengan ransum minyak kacang tanah 10%, sebaliknya kolesterol HDL menjadi lebih tinggi. Penambahan oryzanol 0.5% ke ransum yang mengandung minyak bekatul padi menunjukkan penurunan


(33)

lebih jauh secara nyata total kolesterol serum. Kemampuan minyak bekatul padi menurunkan kadar kolesterol disebabkan adanya oryzanol dan komponen lainnya dari bahan yang tidak dapat disabunkan.

B. STABILISASI BEKATUL PADI

Stabilisasi bekatul sangat berhubungan dengan adanya enzim lipase yang terdapat pada lapisan biji dan lapisan melintang pada beras. Untuk

memperoleh bekatul bersifat food grade dengan mutu yang tinggi, seluruh

komponen penyebab kerusakan harus dikeluarkan atau dihambat. Stabilisasi bekatul untuk menghasilkan bekatul awet dilakukan dengan prinsip meniadakan aktivitas lipase. Proses penghilangan aktivitas enzim lipase harus lengkap dan bersifat tidak dapat balik. Pada saat bersamaan, kandungan komponen berharga harus dijaga.

Terdapat tiga pendekatan dari segi teknik guna inaktivasi lipase bekatul. Pertama, pemanasan basah atau kering. Kedua, ekstraksi dengan pelarut organik untuk mengeluarkan minyak. Ketiga, denaturasi etanolik dari lipase

bekatul dan lipase dari bakteri dan kapang (Champagne et al., 1992).

Dari ketiga perlakuan tersebut, tampaknya hanya perlakuan pemanasan yang cocok dan aman untuk pengawetan bekatul. Ada tiga cara dalam proses

stabilisasi bekatul, yaitu : (a) pemanasan dengan kadar air tetap (

retained-moisture heating), bekatul dipanaskan di bawah tekanan tinggi untuk mencegah penurunan panas sampai selesai pemanasan. (b) pemanasan dengan

penambahan air (added-moisture heating), kadar air bekatul meningkat selama

pemanasan (menggunakan uap), kemudian dikeringkan, dan (c) pemanasan kering pada tekanan atmosfir (Sayre et al., 1982).

Dari ketiga metode pemanasan tersebut, pemanasan dengan tekanan tinggi dan kadar air tetap dapat dianggap cara terbaik. Metode ini dilakukan

berdasarkan pemanfaatan kadar air bekatul sebagai perantara panas (heat

transfer), denaturasi enzim dan sterilisasi. Dua metode yang tergolong proses ini adalah drum berputar dan ekstrusi. Dalam proses drum berputar, bekatul

dipanaskan pada suhu 110-120OC selama 5 menit dengan tekanan 0.3-0.5


(34)

didiamkan hingga dingin dan kering. Pada proses ekstrusi, suhu pemasak

ekstruder berkisar 130-140OC; densitas bekatul meningkat dari 0.3 menjadi

0.6 g/ml, dan kadar air menurun sebesar 5-8%. Keuntungan proses ini adalah karena tidak membutuhkan aliran uap dari luar, peralatannya relatif kecil dan kompak, serta mudah instalasi dan operasinya. Dengan demikian unit ini dapat digabungkan dengan unit penggilingan beras dengan sedikit modifikasi (Damardjati et al., 1990).

Stabilisasi bekatul padi komersial di Amerika Serikat dilakukan dengan

ekstruder pada suhu 125-135OC selama 1-3 detik, kadar air 11-15% (Randall

et al., 1985). Damardjati dan Luh (1986) berdasarkan prosedur Randall et al. (1985) telah mempelajari pengawetan bekatul dengan ekstruder. Penggunaan ekstruder sistem ulir tunggal dengan tipe alat Brady Crop Cooker, model 2160, dilengkapi dengan motor elektrik 100 HP, telah memberikan hasil yang memuaskan dalam proses pengawetan bekatul. Kondisi proses yang optimal

adalah suhu 130OC pada kadar air bekatul 12-13%, dilanjutkan dengan

pemanasan pada suhu 97-99OC selama 3 menit, kemudian didinginkan dengan

hembusan udara suhu kamar.

Pemanasan kering dapat dilakukan dengan proses sangrai (roasting)

pada suhu 100-110 OC, dan proses ini relatif sederhana, mudah dan murah.

Akan tetapi proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama (20-30 menit), pemanasannya tidak merata, disamping kemungkinan terjadi kerusakan bahan, juga mikroba dan serangga tidak terbasmi semua, serta enzim lipase juga tidak rusak sehingga apabila kadar air bahan meningkat selama penyimpanan (>7%) akan terjadi lagi kegiatan hidrolisa lemak (Juliano, 1985).

Perlakuan pemanasan basah umumnya lebih efektif dibandingkan pemanasan kering. Inaktivasi lipase pada bekatul basah dapat dilakukan pada

suhu 100OC selama 3 menit (Barber dan Benedito de Barber, 1980). Proses

pemanasan bekatul basah umumnya dilakukan dengan pengukusan (pemanasan dengan uap) selama 10-30 menit, pengeringan produk hingga kadar air 3-12% dan pendinginan. Pengukusan optimum adalah selama 15

menit pada suhu 100OC atau selama 5 menit pada suhu 115OC. Pengeringan


(35)

Otoklaf telah dikenal sejak tahun 1830 sebagai suatu alat untuk memanaskan makanan kaleng dan merupakan gabungan dari ketel bertutup dengan uap panas. Otoklaf digunakan untuk sterilisasi alat dan bahan pangan. Pada bahan pangan, sterilisasi harus cukup mematikan mikroorganisme yang paling tahan panas yaitu spora bakteri patogen tanpa menimbulkan kerusakan gizi dan penampakan (Winarno, 1992).

Uap panas yang dihasilkan sangat baik digunakan untuk mendestruksi mikroba dengan cara menginaktivasi beberapa enzim penting yang terdapat pada mikroba. Untuk menginaktifkan enzim dan membunuh mikroba pada

bahan pangan digunakan otoklaf dengan suhu 121OC selama 15-20 menit

(Winarno, 1992).

Proses pemanasan basah menggunakan otoklaf memberikan waktu pemanasan yang lebih pendek, lebih efektif dalam sterilisasi dan pencegahan kegiatan enzim yang permanen. Namun proses pemanasan basah membutuhkan investasi yang mahal dan membutuhkan keterampilan yang

tinggi (Damardjati et al., 1990). Proses stabilisasi ini harus segera dilakukan

segera setelah bekatul diperoleh dari penggilingan gabah.

Aktivitas enzim lipase dan lipoksigenase akan hancur akibat denaturasi oleh proses panas selama proses stabilisasi bekatul. Namun, panas dapat meningkatkan reaksi oksidasi non enzimatik. Pengolahan panas menyebabkan penyebaran kembali minyak, penghancuran antioksidan endogenous dan peningkatan luas permukaaan yang terpapar oksigen. Denaturasi hemoprotein katalase dan peroksidase ditemukan pada beras pecah kulit yang mengalami pemanasan. Pembukaan lipatan enzim ini menyebabkan pemaparan lebih besar dari grup heme ke substrat minyak, sehingga zat besi mengawali oksidasi. Kerusakan oksidasi enzimatik dan non enzimatik di dalam padi diperlambat dengan menjaga kadar oksigen yang rendah melalui pengemasan yang optimum selama penyimpanan (Kao dan Luh, 1991).


(36)

C. PRODUK PANGAN DARI BEKATUL

Terdapat hubungan yang kuat antara jenis pangan yang dikonsumsi dengan kesehatan tubuh seseorang. Salah satu contohnya adalah konsumsi lemak khususnya asam lemak jenuh yang terlalu banyak, tetapi sebaliknya konsumsi serat, sayuran, dan buah yang rendah dapat mengakibatkan penyakit jantung dan kanker. Saat ini pengetahuan tentang peranan berbagai komponen pangan pada pencegahan dan pengobatan penyakit tertentu, yang disebut dengan komponen bioaktif pangan, telah berkembang sedemikian pesatnya. Seiring dengan hal tersebut, teknologi-termasuk bioteknologi dan rekayasa genetik-telah menciptakan penemuan sains, inovasi produk dan produksi massal. Pengembangan ini menghasilkan bertambah besarnya jumlah produk yang berpotensi bagi kesehatan, yang disebut dengan pangan fungsional. Istilah pangan fungsional ditujukan bagi makanan yang dapat melindungi dan mengobati penyakit (Goldberg, 1994).

Bekatul memiliki kandungan zat gizi yang cukup tinggi dan ditambah dengan komponen bioaktif oryzanol menjadikan bekatul sebagai bahan baku yang berpotensi untuk dijadikan pangan fungsional. Oleh karena itu para peneliti merekomendasikan untuk mengembangkan produk pangan dari

bekatul awet yang memiliki palatibilitas tinggi (Damardjati et al., 1987).

Secara khusus juga direkomendasikan untuk memanfaatkan minyak bekatul di dalam bahan pangan karena adanya kandungan tokoferol dan oryzanol (McCaskill dan Zhang, 1999).

Selama ini bekatul padi sebagai hasil samping penggilingan padi bersifat limbah dan dimanfaatkan sebagai makanan ternak (pakan) dengan nilai ekonomi yang rendah. Sebenarnya bekatul padi dapat dipakai sebagai bahan baku industri farmasi dan makanan manusia. Dengan penemuan lembaga Eykman Jakarta, bekatul padi dapat diekstrak untuk sumber vitamin B. Untuk makanan manusia, bekatul padi dapat dicampur dengan bahan lain pada pembuatan biskuit, kue dan minuman fungsional. Penggunaan bekatul secara komersial di luar negeri baru pada pengekstrakan bekatul untuk minyak goreng dan bahan pembuatan sabun (Tangenjaya, 1991).


(37)

Pemanfaatan bekatul yang telah diawetkan dengan ekstruder sebagai makanan sarapan sereal dilaporkan oleh Damardjati dan Luh (1986). Tepung beras : bekatul dari perbandingan 90 : 10 sampai dengan 30 : 70 dicampur lalu diekstrusi pada kadar air 21%. Hasilnya berbentuk ekstrudat yang terbagi dua

yaitu irregular round untuk kadar bekatul sedang (10-30%) dan oblonglong

rectangular untuk kadar bekatul tinggi (50-70%). Peningkatan penambahan bekatul sampai 30% akan menurunkan viskositas awal, indeks penyerapan air, sebaliknya meningkatkan indeks kelarutan air dan densitas kamba.

Substitusi bekatul padi 15% pada terigu dilaporkan memberikan hasil

yang optimal terhadap penerimaan cookies dan roti manis metode dough

sponge dan straight dough. Substitusi ini meningkatkan kandungan serat pangan (hemiselulosa, selulosa, dan lignin) dan niasin pada produk (Muchtadi

et al., 1995). Substitusi tepung bekatul padi varietas IR 64 terhadap tepung terigu atau tepung beras pada bolu kukus memberikan penerimaan yang baik dengan substitusi hingga 45% sedangkan besar substitusi pada risoles,

nagasari, dan cucur masing-masing sebesar 55% (Damayanthi et al., 2001).

Terdapat lebih dari 100 perusahaan yang menjual atau mengembangkan produk pangan fungsional dan lebih dari 70% produk tersebut berupa minuman. Penyebaran kandungan dalam berbagai pangan fungsional yang potensial adalah serat pangan (40%), kalsium (20%), oligosakarida (20%), bakteri asam laktat (10%) dan bahan lain (10%) (Goldberg, 1994).

Kebanyakan pangan fungsional dikembangkan dalam bentuk minuman,

seperti Fibe Min yang merupakan minuman ringan terlaris di Jepang produksi

Otsuka Pharmaceuticals. Minuman ini mengandung suplemen serat pangan, mineral, dan vitamin. Bekatul sebagai sumber serat dan vitamin yang cukup baik dapat dikembangkan sebagai minuman fungsional yang dapat memberikan efek fisiologis bagi tubuh.

Pangan, termasuk minuman fungsional didefinisikan sebagai suatu makanan atau minuman yang dimodifikasi dengan ditambahkan satu atau lebih komponen bahan alami. Minuman fungsional, dapat menguntungkan kesehatan di samping adanya zat-zat nutrisi, dan secara tidak langsung berfungsi dalam pencegahan dan pengobatan penyakit (Goldberg, 1994).


(38)

Departemen Kesehatan Jepang telah mengidentifikasi minimal terdapat 12 komponen yang dipertimbangkan dapat meningkatkan kesehatan, yaitu serat kasar makanan, oligosakarida, gula alkohol, asam amino, peptida dan protein, glikosida, alkohol, isoprenoid, vitamin, kolin, bakteri asam laktat, mineral,

PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid), fitokimia, dan antioksidan (Goldberg,

1994).

Suatu produk dapat dikategorikan dalam kelompok pangan fungsional bila berupa pangan dan dikonsumsi sebagai bahan pangan sehari-hari, mempunyai fungsi tertentu saat dicerna atau selama proses metabolisme di dalam tubuh dan mengandung komponen bioaktif. Suatu produk pangan fungsional juga harus memiliki 3 fungsi dasar yaitu : (1) sensorik (warna dan penampilan menarik, serta citarasa enak); (2) nutrisional (bernilai gizi tinggi); dan (3) fisiologis (dapat memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi tubuh). Fungsi fisiologis tersebut meliputi pencegahan timbulnya penyakit, peningkatan daya tahan tubuh, pengatur kondisi ritme fisik tubuh, perlambatan proses aging, dan penyembuhan kembali (Goldberg, 1994).

Menurut Hilliam (2000), pemasaran produk pangan fungsional memiliki kecepatan pertumbuhan sebesar 15-20% per tahun. Hal tersebut didukung oleh semakin banyaknya masyarakat yang tertarik akan pangan fungsional. Menurut Milner (2000), hal tersebut dikarenakan biaya kesehatan makin mahal, banyaknya penemuan-penemuan oleh ilmuwan di bidang pangan dan kesehatan yang menarik, serta adanya perundang-undangan yang melindungi dan mengatur tentang penggunaan makanan sehat.

D. SUSU SKIM

Susu terbagi atas dua bagian utama yaitu krim susu dan skim susu. Pemisahan krim dan skim susu dapat dilakukan dengan cara mekanik atau gravitasi. Krim adalah bagian susu yang muncul ke permukaan sewaktu susu didiamkan pada suhu tertentu atau dengan pemisahan secara mekanik. Krim dapat diolah lebih lanjut menjadi mentega atau es krim.

Susu skim diproses dengan cara menghilangkan kebanyakan atau semua lemak susu dari susu utuh. Persentase semua komponen, dengan pengecualian


(39)

lemak susu dan vitamin larut lemak, secara proporsional lebih besar dibandingkan komponen susu utuh yang menjadi bahan bakunya. Standar susu skim bervariasi dengan rentang jumlah lemak susu maksimum 0.1 sampai 0.5% (Hargrove dan Alford, 1983).

Susu skim kering disebut juga susu kering non lemak. Produk ini dibuat

dari susu skim yang telah dipanaskan sampai 75-95OC, kemudian

dikonsentrasikan sampai mengandung 35-45% padatan, dan selanjutnya

dikeringkan menggunakan spray drier. Suhu pengeringan yang digunakan

adalah 260OC dengan waktu yang relatif singkat setelah susu disemprotkan

dengan tekanan yang tinggi, sehingga terbentuk kabut dalam ruang pengering (Warner, 1975).

Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal setelah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua komponen gizi dari susu yang tidak dipisahkan, kecuali lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (Buckle et al., 1987).

Karena telah dipisahkan dari lemaknya, maka susu skim hanya mengandung 0.5-2% lemak (Varnam dan Sutherland, 1994). Protein susu merupakan penyusun terbesar pada susu skim. Protein susu dapat diklasifikasikan menjadi dua grup utama, yaitu kasein dan protein whey. Kasein merupakan fraksi utama protein yang mengendap saat susu segar

diasamkan pada pH 4.6 pada suhu 20oC. Kasein menyusun 76-86% dari total

protein susu skim dan terdapat pada susu dalam bentuk partikel koloidal, misel, yang mengandung kalsium, fosfat, sitrat, dan magnesium (Thomphson

et al., 1965).

Protein non-kasein yang tertinggal setelah pengendapan kasein disebut protein whey atau serum protein. Whey protein ini menyusun 14-24% dari

total protein susu skim (Thomphson et al., 1965). Protein whey bersifat labil

terhadap panas di mana denaturasi protein terjadi pada suhu 80oC. Hal ini

berbeda dengan kasein yang stabil pada suhu diatas 140oC. Kandungan protein


(40)

Tabel 2. Kandungan protein pada susu skim

Protein Jenis Jumlah (% skim total)

Kasein αs-kasein 45-55

-kasein 25-35

Γ- kasein 3-7

kappa-kasein 8-15

Whey - lactoglobuline 7-12

- lactalbumin 2-5

Blood serum albumin 0.7-1.3

Sumber : Rimbawan, 1977

Penggunaan susu skim dalam berbagai produk makanan memiliki keuntungan yaitu (1) mudah dicerna dan dapat dicampur dengan makanan padat atau semi padat, (2) susu skim mengandung nilai gizi yang tinggi, protein susu mengandung asam amino esensial (3) susu skim dapat disimpan

lebih lama daripada whole milk karena kandungan lemaknya yang sangat

rendah. Walaupun susu skim merupakan sumber protein yang baik, susu skim memiliki kekurangan yaitu rendahnya energi yang dikandung (Anonim, 1983 yang dikutip Liana, 1987). Nilai gizi susu skim dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai zat gizi susu skim

Nilai gizi Jumlah

Kalori (cal) 36

Protein (g) 3.5

Lemak (g) 0.1

Karbohidrat (g) 5.1

Kalsium (mg) 123

Fosfor (mg) 97

Besi (mg) 0.1

Vitamin B1 (mg) 0.04


(41)

Susu skim dapat dikonsumsi oleh orang yang menginginkan nilai kalori rendah di dalam makanannya, karena susu skim hanya mengandung 55% dari seluruh energi susu, dan skim juga digunakan dalam pembuatan keju dengan lemak rendah dan yoghurt. Susu skim seharusnya tidak digunakan untuk makanan bayi tanpa adanya pengawasan gizi karena tidak adanya lemak dan

vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (Buckle et al., 1987).

E. UMUR SIMPAN

Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam

produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan,

sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi (Syarief dan Halid, 1993). Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu makanan tidak lagi dapat diterima ini disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa. Lebih lanjut ditambahkan bahwa bahan pangan tersebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus.

Institut of Food Technologist mendefinisikan umur simpan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk masih berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa,

aroma, tekstur, dan nilai gizi. Adapun National Food Processor Association

mendefinisikan umur simpan sebagai berikut: suatu produk dianggap berada pada kisaran umur simpannya bilamana kualitas produk tersebut secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah, 2001).

Pentingnya penentuan umur simpan adalah untuk menyampaikan dan menunjukkan kepada konsumen bahwa industri memberikan kepastian atau jaminan kepada konsumen bahwa hanya produk-produk dengan kualitas (mutu) yang tertentu saja yang dijual ke pasar, yaitu produk yang masih memiliki daya guna seperti yang diharapkan/dijanjikan. Jadi, penentuan


(42)

kadaluarsa ini berkaitan dengan tingkat keyakinan industri terhadap tingkah laku mutu yang diproduksinya (Hariyadi, 2004).

Menurut Ellis (1994), penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa penurunan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor tersebut. Oleh karena itu, dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut.

Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis produknya. Untuk produk berlemak parameternya berupa ketengikan. Produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin (misalnya susu pasteurisasi) parameternya berupa pertumbuhan mikroba. Produk berwujud bubuk, cair atau kering yang diukur adalah kadar airnya. Untuk satu produk, yang diuji tidak semua parameter, melainkan salah satu saja, yaitu yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen.

Sistem penentuan umur simpan secara konvensional membutuhkan waktu yang lama karena penetapan kadaluarsa pangan dengan metode ESS (Extended Storage Studies) dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya sehingga tercapai mutu kadaluarsa. Untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan tersebut, maka digunakan

metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) atau metode akselerasi. Pada

metode ini kondisi penyimpanan diatur diluar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arpah dan Syarief, 2000). Penggunaan metode akselerasi harus disesuaikan dengan keadaan dan faktor yang mempercepat kerusakan produk yang bersangkutan.

Salah satu metode ASLT adalah metode Arrhenius. Metode ini dilakukan dengan menyimpan bahan atau produk pangan dengan kemasan

akhir pada minimal tiga suhu, yaitu 37OC, 45OC, dan 55OC. Kemudian tabulasi

data dari penurunan mutu berdasarkan parameter mutu tertentu tersebut dimasukkan ke dalam persamaan Arrhenius, yaitu :


(43)

k = ko . e-Ea/RT

dimana k = konstanta penurunan mutu

ko = konstanta (tidak tergantung pada suhu)

Ea = energi aktivasi

T = suhu mutlak (OK)

R = konstanta gas (1.986 kal/molOK)

Dengan mengubah persamaan di atas menjadi : ln k = ln ko + (-Ea/R) 1/T

dapat ditentukan nilai k dan umur simpan masing-masing bahan atau produk pangan pada berbagai suhu penyimpanan.

F. MIXTURE EXPERIMENT

Penggabungan beberapa ingredien atau bahan baku untuk menghasilkan suatu produk pangan yang dapat dinikmati, di mana hasil akhir dari produk tersebut dipengaruhi oleh persentase atau proporsi relatif masing-masing ingredien yang ada dalam formulasi. Selain itu, penggabungan beberapa

ingredien dalam mixture experiment bertujuan melihat apakah pencampuran

dua komponen atau lebih tersebut dapat menghasilkan produk akhir dengan sifat yang lebih diinginkan dibandingkan dengan penggunaan ingredien tunggalnya dalam menghasilkan produk yang sama (Cornell, 1990).

Penggunaan mixture experiment dalam merancang percobaan untuk

memperoleh kombinasi yang optimal ini mampu menjawab permasalahan jika

dilihat dari segi waktu (mengurangi jumlah trial and error) dan biaya

(Cornell, 1990). Menurut Ma’arif et al. (1989), optimasi adalah suatu

pendekatan normatif untuk mengidentifikasikan penyelesaian terbaik dalam pengambilan keputusan suatu permasalahan. Melalui optimasi, permasalahan akan diselesaikan untuk mendapatkan hasil yang terbaik sesuai dengan batasan yang diberikan.

Mixture experiment (ME) merupakan suatu metode perancangan percobaan yang merupakan kumpulan dari teknik matematika dan statistika dimana variabel respon diasumsikan hanya tergantung pada proporsi relatif dari ingredien penyusunnya, bukan dari jumlah total campuran ingredien


(44)

tersebut. Salah satu tujuan penggunaan perancangan percobaan ini adalah untuk mengoptimalkan respon yang diinginkan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa variabel respon merupakan fungsi dari proporsi relatif setiap komponen atau bahan penyusun dalam suatu formula (Cornell,1990).

Menurut Cornell (1990), ME terdiri atas enam tahap utama, yaitu menentukan tujuan percobaan, memilih komponen-komponen penyusun campuran, mengidentifikasi batasan-batasan pada komponen campuran, mengidentifikasi variabel respon yang akan dihitung, membuat model yang sesuai untuk mengolah data dari respon, dan memilih desain percobaan yang sesuai. ME ini sering digunakan untuk menentukan dan menyelesaikan persamaan polinomial secara simultan. Persamaan tersebut, dapat ditampilkan

dalam suatu contour plot, baik berupa gambar dua dimensi (2-D) maupun

grafik tiga dimensi (3-D) yang dapat menggambarkan bagaimana variabel uji mempengaruhi respon, menentukan hubungan antar variabel uji, dan menentukan bagaimana kombinasi seluruh variabel uji mempengaruhi respon.

Persamaan polinomial ME dapat memiliki berbagai macam orde, antara

lain mean, linear, quadratic, cubic, dan special cubic. Namun model

persamaan polinomial yang sering digunakan adalah model polinomial ordo

linear dan quadratic. Model ordo linear dengan dua variabel uji dapat dilihat

pada persamaan (1) sedangkan model ordo quadratic dengan dua variabel uji

dapat dilihat pada persamaan (2).

Y = b0 + b1X1 + b2X2 ... (1)

Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b11X12 + b22X22 + b12X1X2 ...(2)

Persamaan model polinomial dengan ordo linear seringkali

memberikan deskripsi bentuk geometri (3-D) permukaan respon yang kurang memadai. Oleh karena itu, penggunaan model polinomial dengan ordo

quadratic lebih dianjurkan dalam formulasi (Cornell, 1990).

Rancangan mixture experiment ini dalam program komputer Design

Expert version 7 dinamakan dengan mixture design. Program Design Expert version 7 ini adalah suatu program yang mempunyai berbagai metode rancangan percobaan dan analisis data untuk statistik. Metode rancangan


(45)

mixture design techniques, dan combine design. Desain faktorial merupakan suatu rancangan percobaan untuk mengidentifikasi faktor perlakuan yang

sangat penting dan berpengaruh pada suatu penelitian. Response Surface

Methodology (RSM) yaitu suatu metode rancangan percobaan untuk

menemukan rancangan proses yang ideal. Mixture design techniques yaitu

rancangan untuk mencari formula optimal pada berbagai formula yang dibuat. D-optimal combine design yaitu suatu metode pada program DX 7 yang

bertujuan untuk menggabungkan (combine) variabel-variabel proses,

campuran komponen, dan faktor yang berpengaruh dalam satu desain, sehingga dapat menghasilkan suatu kondisi proses dan formula yang optimal.

Rancangan D-optimal combine merupakan gabungan antara RSM

dengan optimal combine. Rancangan ini berfungsi menemukan formula

optimum yang diinginkan formulator. Untuk mencapai kondisi tersebut, harus ditentukan respon atau parameter produk yang menjadi ciri penting sehingga

dapat meningkatkan mutu produk. Respon yang dipilih ini menjadi input data

yang selanjutnya diproses oleh rancangan RSM D-optimal combine sehingga


(1)

Sowbhagya (2007), jenis pigmen ini lebih banyak terdapat di lapisan bagian luar. Semakin ke lapisan dalam biji, jumlahnya semakin berkurang. Hal ini berarti warna beras (endosperm) dan tepung bekatul sangat dipengaruhi oleh tingkat penyosohan yang dilakukan pada beras.

Namun sebaliknya, pigmen flavonoid yang banyak terdapat pada bran atau kulit bagian dalam biji, tidak dapat dibleaching oleh bleaching agent biasa. Jenis pigmen ini relatif stabil, dapat menjadi tidak berwarna pada pH asam, namun akan menjadi berwarna kuning pada pH tinggi (Hoseney, 1998). Hal inilah yang menyebabkan proses bleaching dengan hidrogen peroksida yang dilakukan tidak berlangsung seperti yang diharapkan. Tabel 3. Karakteristik tepung hasil

beberapa perlakuan stabilisasi Karakter

fisik

Perla-kuan 1

Perla-kuan 2

Perla-kuan 3 Densitas

kamba (g/ml)

0.47 0.43 0.31 Densitas

padat (g/ml)

0.66 0.64 0.52 Kadar air

(%) 3.63 5.12 4.79

Nilai aw 0.37 0.58 0.55

Kelarutan dalam air (%)

0.51 1.44 1.54 Daya

serap air (%)

252.06 301.33 370.15

Hasil proses stabilisasi bekatul ini kemudian dipertimbangkan untuk ditambahkan ke dalam minuman berbahan dasar susu skim. Pertimbangan yang digunakan adalah karakteristik fisik-fungsional tepung yang dihasilkan dan kesesuaian dengan aplikasinya pada produk. Mengingat tepung terpilih kemudian akan ditambahkan ke minuman berbahan dasar susu skim, maka dapat dipilih tepung dari perlakuan kedua dan ketiga dengan nilai daya serap air dan kelarutan dalam air yang cukup besar.

Namun dari hasil analisis warna sebelumnya, diketahui bahwa perlakuan bleaching dengan H2O2 (perlakuan 3) tidak

memberikan hasil peningkatan nilai kecerahan yang cukup signifikan. Perlakuan 3 ini juga menggunakan bahan

H2O2 yang cukup berbahaya, meskipun

dalam analisis residu kualitatif diketahui residu H2O2 telah hilang akibat pencucian,

perendaman, dan pengeringan. Selain itu, pertimbangan yang digunakan adalah tingkat kemudahan proses pengolahan dan biaya, dimana perlakuan ketiga memiliki tahap pengerjaan yang lebih rumit dan membutuhkan biaya yang lebih besar. Seperti yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, proses bleaching juga dapat merusak banyak vitamin yang sebenarnya tidak rusak akibat panas saat penggilingan (Saiz et al., 2007). Oleh karena itu, tepung dari perlakuan kedua dipilih untuk diaplikasikan ke produk yang akan dibuat.

Tepung dari perlakuan kedua ini kemudian dianalisis sifat kimianya, berupa tingkat kenaikan asam lemak bebas (ALB) serta kandungan total tokoferol. Kenaikan ALB perlu diketahui karena kadar ALB pada bekatul segar dapat meningkat dari 1-3% menjadi 70% dalam satu bulan. Kadar ALB bergantung pada kerusakan permukaan, kadar air, dan suhu penyimpanan. Kecepatan pembentukan ALB meningkat di bawah kondisi kelembaban tinggi (Damayanthi, 2002).

Tabel 4. Karakteristik kimia tepung bekatul

Parameter Bekatul segarb

Bekatul pengering

ovenb

Bekatul pengering

drum Kenaikan

ALB (%)a 23% 2.07% 0.07% Kadar

total tokoferol (mg/100 g minyak)

264.71 216.28 217.61

a Dihitung dengan membandingkan

nilai asam lemak bebas sampel hari ke-0 dengan asam lemak bebas sampel yang telah diinkubasi selama 6 hari (144 jam) pada suhu 35OC.

b

Damayanthi (2002)

Kadar tokoferol bekatul setelah proses perlu diketahui karena tokoferol merupakan salah satu komponen bioaktif berharga yang terkandung di dalam bekatul. Damayanthi (2002) telah meneliti kadar total tokoferol pada bekatul yaitu 264.71 pada bekatul segar dan 216.28 mg/100 g minyak bekatul pada bekatul yang dikeringkan dengan oven. Perbandingan kenaikan nilai ALB dan total


(2)

tokoferol tepung terpilih yang dihasilkan dibandingkan dengan nilai dari hasil penelitian Damayanthi (2002) disajikan dalam Tabel 4 di atas.

B. FORMULASI DAN OPTIMASI MINUMAN

Pada tahap perancangan formula, digunakan kisaran maksimum dan minimum dari jumlah komponen yang didapat pada penelitian pendahuluan yang dilakukan secara trial dan error. Kisaran komponen yang digunakan adalah karagenan sebesar 0.25-0.52%, tepung bekatul sebesar 12.73-16.84% serta formula dasar sebesar 82.91-86.75%. Tiga variabel ini merupakan kendala bahan dalam pembuatan rancangan percobaan. Rancangan formula yang disarankan program Design Expert version 7 adalah sebanyak 15 formula.

Output dari proses ini dinamakan respon. Pemilihan respon dilakukan berdasarkan karakteristik yang akan berubah akibat perubahan proporsi relatif dari komponen-komponennya. Respon-respon ini yang akan diukur dan dioptimasi sehingga diperoleh formula optimum. Respon-respon pada penelitian ini berupa respon uji organoleptik yang meliputi respon warna sebelum diseduh, aroma sebelum diseduh, penampakan fisik sebelum diseduh, aroma setelah diseduh, rasa, serta penampakan fisik setelah diseduh. Respon-respon ini dipilih agar dapat diperoleh formula yang dapat menghasilkan minuman dengan mutu yang baik.

a. Analisis Respon Warna Sebelum diseduh

Warna merupakan parameter pertama yang terlihat oleh konsumen, sehingga parameter ini dapat menjadi acuan pertama yang digunakan konsumen dalam menilai mutu suatu produk pangan. Pada beberapa jenis produk, perubahan warna dapat menunjukkan perubahan nilai gizi, sehingga perubahan warna dapat dijadikan sebagai indikator untuk menunjukkan tingkat nilai gizi maksimum yang dapat diterima (Arpah, 2001). Oleh karena itu, perubahan warna yang signifikan dapat digunakan untuk memperkirakan lama penyimpanan dan keadaan mutu produk. Respon ini diuji

secara organoleptik dengan uji hedonik menggunakan 30 panelis yang dapat mengkonsumsi atau menyukai produk susu seduhan.

Hasil nilai respon warna sebelum diseduh adalah berkisar antara 6.64 hingga 8.456. Nilai kesukaan warna sebelum diseduh terendah yaitu 6.64 (berkisar antara agak tidak suka hingga netral) berasal dari formula 10 yang menggunakan tepung bekatul dengan konsentrasi tertinggi, yaitu 16.705%, dan formula dasar paling rendah yaitu 82.91%, dan karagenan yang sedang yaitu 0.385%. Tepung bekatul yang berwarna cokelat muda dengan konsentrasi yang tinggi dan kandungan formula dasar yang berwarna putih cerah dengan konsentrasi terendah memungkinkan produk minuman fungsional yang dihasilkan menjadi berwarna cokelat muda sehingga kurang disukai panelis. Nilai kesukaan terhadap warna sebelum diseduh tertinggi yaitu 8.456 (berkisar antara netral hingga agak suka) berasal dari formula 3 yang menggunakan tepung bekatul yang rendah yaitu 12.865% serta formula dasar tertinggi sebesar 86.75% dan karagenan 0.37%. Penggunaan tepung bekatul yang cukup rendah dan formula dasar yang tinggi dengan kandungan karagenan dalam ukuran sedang menghasilkan warna yang cukup cerah sehingga banyak panelis yang menyukainya. Nilai rata-rata (mean) dari respon warna sebelum diseduh adalah 7.80 (berkisar antara agak suka hingga netral), dengan standar deviasi 0.23.

b. Analisis Respon Rasa Setelah Diseduh

Rasa merupakan persepsi dari sel pengecap meliputi rasa asin, manis, asam, dan pahit yang diakibatkan oleh bahan yang terlarut dalam mulut (Meilgaard et al., 1999). Rasa dimasukkan sebagai respon karena penambahan tepung bekatul dapat menyebabkan perubahan rasa, dimana minuman yang dihasilkan memiliki aftertaste pahit. Menurut Belitz dan Grosch (1987), penyebab rasa pahit mungkin disebabkan oleh teroksidasinya asam lemak, mengingat komposisi asam lemak pada bekatul berupa asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat. Rasa pahit juga mungkin ditimbulkan oleh peptida yang tidak terhidrolisis sempurna selama hidrolisis enzimatik protein seperti tiramin.


(3)

Selain itu, Menurut Luh (1991), rasa pahit pada bekatul disebabkan oleh adanya senyawa saponin. Saponin adalah senyawa aktif yang menimbulkan busa jika dikocok di dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah.

Semakin banyak tepung bekatul yang digunakan sebagai bahan baku, maka rasa pahit yang timbul akan makin terasa, serta rasa manis minuman akan semakin berkurang. Hasil nilai respon rasa berkisar antara 5.0 hingga 8.907. Nilai kesukaan rasa terendah yaitu 5.0 (agak tidak suka hingga netral) berasal dari formula 10 yang menggunakan tepung bekatul paling banyak, yaitu 16.705%, dan formula dasar paling sedikit, yaitu 82.91%, serta karagenan yang cukup yaitu 0.385%.

Kandungan tepung bekatul yang tinggi dengan formula dasar yang rendah memungkinkan produk yang dihasilkan menjadi terasa pahit sehingga tidak disukai panelis. Sebaliknya, nilai kesukaan rasa tertinggi yaitu 8.907 (berkisar antara netral hingga agak suka) berasal dari formula 5 yang menggunakan tepung bekatul dengan konsentrasi terendah (12.73%) dan formula dasar tertinggi (86.75%), serta karagenan yang tinggi (0.52%). Penggunaan tepung bekatul yang rendah dan formula dasar yang tinggi memungkinkan produk yang dihasilkan terasa sedikit lebih manis sehingga banyak panelis menyukainya. Nilai rata-rata (mean) dari respon rasa adalah 7.01 (berkisar antara netral hingga agak tidak suka), dengan standar deviasi 0.49.

c. Optimasi Formula

Formula dari proses optimasi yang disarankan oleh program Design Expert version 7 adalah 3 formula, tetapi yang dipilih adalah formula pertama karena memiliki nilai desirability tertinggi. Formula yang disarankan oleh program dan nilai desirabilitynya dapat dilihat pada Tabel 5. Formula optimum pertama (selanjutnya disebut formula optimum terpilih) memiliki komposisi karagenan sebanyak 0.25%, tepung bekatul sebanyak 16.083%, dan formula dasar sebanyak 83.667%.

Tabel 5. Formula optimum yang disarankan beserta nilai desirabilitynya Formula

optimum Kara-genan

(%)

Tepung bekatul (%)

Formula dasar (%)

Desire-ability 1 0.25 16.08 83.66 0.681 2 0.455 14.96 84.57 0.511 3 0.452 13.75 85.79 0.468 Formula optimum terpilih ini diprediksi akan menghasilkan minuman fungsional dengan warna sebelum diseduh dengan skor kesukaan 8.7161, aroma sebelum diseduh dengan skor kesukaan 7.01698, penampakan fisik sebelum diseduh dengan skor kesukaan 7.81884, aroma setelah diseduh sebesar 9.77556, rasa sebesar 7.70139, dan penampakan fisik setelah diseduh sebesar 7.68299. Nilai desirability dari formula optimum ini adalah 0.681, yang artinya formula tersebut akan menghasilkan produk yang memiliki karakteristik yang paling optimal dan sesuai dengan keinginan kita sebesar 68.10%.

d. Analisis Proksimat

Data proksimat minuman dengan formula optimum ini memenuhi syarat mutu proksimat susu bubuk SNI 01-2970-1999 yang dikhususkan pada susu bubuk rendah lemak, kecuali pada kandungan protein sebesar 18.79 ± 0.26 yang lebih rendah dibanding SNI yaitu minimal 26%. Hal ini dapat dipahami, karena produk minuman ini menggunakan susu skim bubuk yang sebagian bahannya disubstitusi dengan maltodekstrin, tepung bekatul, serta bahan lainnya untuk dibandingkan lagi dengan produk awalnya (SNI 01-2970-1999) sehingga kadar protein awal susu tanpa lemak (minimal 34%) menjadi berkurang.

Gambar 1. Minuman campuran susu skim dan tepung bekatul


(4)

Tabel 6. Mutu minuman campuran susu skim dan tepung bekatul

Parameter Produk SNI susu bubuk* Air (%) 3.94 ± 0.04 Maks. 4.0 Abu (%) 5.16 ± 0.01 Maks. 9.0 Lemak (%) 2.72 ± 0.03 1.5 - <26.0 Protein (%) 18.79 ±

0.26 Min. 26.0 Karbohidrat

(by difference)

69.71 ±

0.33 -

Serat pangan 5.25 ± 0.07 -Vitamin E

(mg/100g) 1.01 ± 0.01 - aw (31.4

O

C) 0.414 ±

0.005 -

pH 5.50 ± 0.01 -

Total mikroba (koloni/ml)

8.6 x 103 Maks. 5x105 * SNI susu bubuk (SNI 01-2970-1999)

C. PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK

Tahapan terakhir dari penelitian ini adalah penentuan umur simpan produk berdasarkan metode Arrhenius untuk menentukan umur simpan produk berdasarkan beberapa parameter kerusakan produk. Institute of Food Technologist mendefinisikan umur simpan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk masih berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi (Arpah, 2001).

Arah kerusakan produk diketahui dengan cara menyimpan produk yang telah dikemas pada inkubator dengan suhu yang tinggi (70OC) dan diamati setiap hari dengan mengambil satu sampel tiap harinya hingga didapat kerusakan dominan yang mempengaruhi penerimaan produk.

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa kerusakan yang terjadi pada bubuk minuman fungsional ini adalah perubahan warna yang menjadi lebih gelap, penggumpalan, serta adanya off flavor sehingga yang dijadikan parameter kerusakannya adalah warna, aroma, dan penampakan fisik untuk produk sebelum diseduh melalui uji organoleptik. Adapun uji untuk produk setelah diseduh tidak dilakukan karena dari penerimaan produk

bubuk (sebelum diseduh), konsumen telah mengetahui apakah produk tersebut masih dapat diterima atau tidak. Dengan kata lain, bubuk (sebelum diseduh) menjadi impresi awal bagi konsumen untuk menilai apakah produk masih layak konsumsi atau tidak.

Umur simpan produk minuman ini berbeda untuk tiap parameter dan relatif panjang untuk semua parameter yaitu warna, aroma dan penampakan fisik. Hal ini disebabkan tejadinya kerusakan yang disebabkan oleh komponen yang berbeda-beda untuk masing-masing parameter. Namun dari ketiga parameter ini, aroma mengalami perubahan yang paling cepat dan memiliki umur simpan yang paling singkat pada suhu yang sama, yaitu sekitar 14.25 bulan pada suhu 27OC, sehingga dapat disimpulkan parameter kerusakan yang paling dominan pada produk minuman ini adalah perubahan aroma.

Off flavor yang terbentuk sebagaimana halnya juga warna, juga disebabkan oleh terbentuknya produk-produk hasil reaksi Maillard. Seperti yang disebutkan oleh Syarief dan Halid (1993), bahwa reaksi Maillard juga menimbulkan perubahan citarasa, baik yang diinginkan maupun tidak.

Umur simpan minuman dapat ditingkatkan pula dengan cara mengganti kemasan dengan permeabilitas yang lebih kecil, seperti laminasi kertas, foil, dan plastik. Kemasan seperti ini mampu melindungi produk kering seperti susu kering dari udara, cahaya, dan penetrasi air atau uap air. Pemberian kemasan sekunder dan atau tersier pun dapat memperpanjang umur simpan produk.

Selain itu, kebanyakan produk susu dikemas di bawah kondisi vakum dan dimasukkan gas inert. Perlakuan ini dapat meningkatkan umur simpan produk. Produk ini pun akan memiliki umur simpan yang lebih panjang apabila bobot produk diperbanyak, karena dapat mengurangi penetrasi panas terhadap produk.

KESIMPULAN

Tepung bekatul hasil pengering drum tanpa perlakuan bleaching (perlakuan 2) dipilih dan digunakan dalam tahap formulasi karena memiliki karakteristik yang tepat untuk digunakan dalam minuman fungsional.


(5)

Tepung ini memiliki densitas kamba sebesar 0.43 g/ml, densitas pemadatan 0.64 g/ml, aw

0.58, nilai kelarutan dalam air 1.44%, nilai daya serap air 301.33%, serta kadar air sebesar 5.12%. Sifat kimia yang diamati berupa kenaikan asam lemak bebas sebagai indikator ketengikan sebesar 0.07% yang didapat setelah tepung diinkubasi 144 jam pada 35OC, serta kandungan total tokoferol sebesar 217.61 mg/100 g minyak.

Formula minuman optimum yang terpilih melalui program Design Expert version 7 adalah minuman fungsional dengan komposisi karagenan sebanyak 0.25%, tepung bekatul sebanyak 16.083%, dan formula dasar sebanyak 83.667%. Formula optimum ini memiliki nilai desirability sebesar 0.681, yang artinya formula tersebut akan menghasilkan produk yang memiliki karakteristik yang paling optimal dan sesuai dengan keinginan kita sebesar 68.10%.

Dari hasil analisis proksimat, diketahui formula minuman optimum ini memiliki kadar air sebesar 3.94%, kadar abu 5.16%, lemak 2.72%, protein 18.79%, karbohidrat 69.71%, serta memiliki kandungan serat pangan total sebesar 5.25%. Kandungan vitamin E minuman sebesar 4.79 mg per 100 gram produk, nilai aw sebesar 0.414, pH 5.50,

serta mengandung total mikroba sebesar 8.6 x 103 koloni/ml.

Umur simpan produk minuman ini berbeda untuk tiap parameter yaitu warna, aroma dan penampakan fisik. Hal ini disebabkan tejadinya kerusakan yang disebabkan oleh komponen yang berbeda-beda untuk masing-masing parameter. Dari ketiga parameter ini, aroma mengalami perubahan yang paling cepat dan memiliki umur simpan yang paling singkat pada suhu yang sama, yaitu sekitar 14.25 bulan pada suhu 27OC, sehingga dapat disimpulkan

parameter kerusakan yang paling dominan pada produk minuman ini adalah perubahan aroma.

DAFTAR PUSTAKA

Arpah, M. dan Syarief, R. 2000. Evaluasi Model-model Pendugaan Umur Simpan Pangan dari Difusi Hukum Fick Unidireksional. Bul. Teknol. dan Industri Pangan. XI. 1-11.

Badan Standarisasi Nasional. 1999. SNI Susu Bubuk (SNI 01-2970-1999). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Belitz, H. D. dan Grosch, W. 1987. Food Chemistry. Springer-Verlag, Berlin.

Bhattacharya, K. R. dan Sowbaghya, C. M. 2007. A Colorimetric Bran Pigment Method for Determining the Degree of Milling Rice. http : // www.interscience.wiley.com. [ 25 Agustus 2007].

Champagne, E.T., Hron, R.J., dan Abraham, G. 1992. Utilizing Ethanol to Produce Stabilized Brown Rice Products. JAOCS 69 (3) : 205-208.

Damardjati, D.S. dan Oka, M. 1989. Evaluation of Rice Quality Characteristics Preferred by Indonesian Urbans Consumers. Prac. Of 22nd ASEAN Seminar on Grain Postharvest Research and Development Priorities for the Nineties. Surabaya, 29-31 Agustus 1989.

Damayanthi, E. 2002. Karakteristik Bekatul Padi (Oryza sativa) Awet serta Aktivitas Antioksidan dan Penghambatan Proliferasi Sel Kanker secara in vitro dari Minyak dan Fraksinya. Disertasi. Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Hidayati, P. W. 2003. Mempelajari Pengaruh Penambahan Hidrogen Peroksida (H2O2) dan Kitosan Sebagai Bahan

Penjernih pada Proses Pembuatan Tepung Karagenan dari Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Hoseney, R. C. 1998. Principles of Cereal Science and Technology, 2nd edition. America Association of Cereal Chemists Inc., St. Paul.

Juliano, B.O. 1985. Rice Bran. Di dalam : Juliano, B.O. Rice : Chemistry and Technology. AACC, St Paul.

Luh, S. 1991. Rice Production and Utilization. The AVI Publishing Company, Westport.

Kahlon, T.S., Chow, F.I., dan Sayre, R.N. 1994. Cholesterol-Lowering Properties of Rice Bran. J. Cereal Food World vol. 39 (2) : 99-102.


(6)

Meilgaard, M., Civille, G. V. dan Carr, B. T., 1999. Sensory Evaluation Techniques. 3rd Ed. CRC Press, New York.

Saiz, A. I.,Manrique, G. D. dan Fritz, R. 2007. The Bleaching of Flour. http : // www.cat.inist.fr.com. [ 25 Agustus 2007].

Syarief, R. Dan Halid, Y. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan, Bandung.