Perubahan Warna Tepung Kentang Atlantik Selama Penyimpanan Dan Pendugaan Umur Simpannya

(1)

PERUBAHAN WA PENYIMPAN

FAK

WARNA TEPUNG KENTANG ATLANTIK SE ANAN DAN PENDUGAAN UMUR SIMPANNY

SKRIPSI

BINTANG ENDAH LESTARI F24061059

AKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010

0 SELAMA


(2)

1

Atlantic Potato Flour Discoloration During Storage and Shelf Life

Prediction

Bintang Endah Lestari1), C.C. Nurwitri1), dan Tatang Hidayat2) 1)

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, PO. Box 220. Bogor 16002, Indonesia 2) Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Pasca Panen

The effect of packaging and temperature storage on color quality attribute of potato fluor was investigated. Color quality is measured by the value of brightness (L*) using Chromameter Minolta CR-200, browning index, whiteness index, enzyme polyphenol oxidase activity, water content of starch during storage and organoleptic quality. Estimation of shelf life was measured using the method ASLT (Accelerated Storage Studies) semi-empirical Arrhenius equation in the varied storage temperatures (20oC, 30oC, and 40oC) and two types of packaging (polypropylene and low density polyethylene).

It was found that shelf life of potato flour in lower temperature storage resulted in better color retention. Potato flour shelf life based on the parameters of brightness and browning index is at a temperature of 30oC storage box that is 4 month 24 days.Packaging and storage methods had obvious effect on the product quality.

Keywords : Browning, Potato flour, Shelf life, Accelerated Storage Studies, whiteness index, Packaging


(3)

2 Bintang Endah Lestari. F24061059. Perubahan Warna Tepung Kentang Atlantik Selama Penyimpanan Dan Pendugaan Umur Simpannya. Di bawah bimbingan C.C. Nurwitri danTatang Hidayat. 2010

RINGKASAN

Warna pada tepung kentang sangat berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan oleh konsumen. Produk tepung adalah salah satu cara untuk memperpanjang ketersedian sepanjang tahun, dan mengatasi perubahan-perubahan fisiologis dan biokimia yang dapat mengakibatkan penurunan mutu. Keunggulan tepung umbi seperti kentang adalah kandungan serat pangan yang tinggi, yaitu 13-15% terdiri atas serat pangan larut (4.5-5.5%) dan serat pangan tidak larut (8.5-10.0%), dengan daya cerna pati in vitro rendah yaitu 50-65%.

Penyerapan air oleh produk selama penyimpanan akan mempengaruhi laju reaksi pencoklatan. Untuk memperoleh kondisi suhu ruang penyimpanan dan kemasan yang terbaik dalam mempertahankan warna tepung selama penyimpanan maka dilakukan perlakuan pengemasan dan suhu penyimpanan tepung kentang. Tepung kentang disimpan dengan dua jenis kemasan polyprophylene (PP) dan low density polyethylene (LDPE) serta tiga suhu penyimpanan 20oC, 30oC, 40oC. Perubahan warna pada produk kering seperti tepung terjadi dalam waktu yang relatif panjang. Oleh karena itu, dalam penelitian ini perubahan warna diamati dan diukur umur simpannya dengan metode ASLT (Accelerated Storage Studies) semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius.

Penyimpanan tepung dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah karakteristik tepung kentang yaitu : karakteristik kecerahan, indeks pencoklatan, aktivitas polifenol oksidase (PPO), dan proksimat. Tahap berikutnya adalah karakteristik kemasan PP dan LDPE. Setelah dikarakterisasi tepung kentang dikemas dengan dua jenis kemasan tersebut masing-masing dengan berat 100 gram. Kemudian disimpan pada tiga suhu penyimpanan (20oC, 30oC, 40oC).

Perubahan warna diuji dengan pengukuran kecerahan (L*) dengan menggunkan Chromameter Minolta C-200, indeks pencoklatan, aktivitas PPO, dan perubahan kadar air tepung selama penyimpanan. Pendugaan umur simpan


(4)

3 dilakukan dengan penyimpanan produk pada tiga suhu yang berbeda (20oC, 30oC, dan 40oC) serta mutu organoleptik (warna, konsistensi, dan penerimaan umum).

Hasil pengukuran menunjukkan nilai kecerahan tertinggi pada akhir masa penyimpanan terdapat pada tepung kentang yang dikemas dengan kemasan PP dan disimpan pada suhu 20oC yaitu sebesar 97.28. Nilai kecerahan terendah terdapat pada tepung kentang yang dikemas dengan kemasan LDPE dan disimpan di suhu 40oC yaitu 95,23. Kadar air tertinggi selama 12 minggu penyimpanan adalah 7.83% pada tepung kentang yang dikemas dengan LDPE dan disimpan pada suhu 30oC. Nilai kadar air terendah adalah 3.56% pada tepung kentang yang dikemas dengan PP dan disimpan pada suhu 40oC karena terjadi proses pengeringan.

Berdasarkan penelitian dapat dilihat bahwa dalam produk tepung kentang masih terdapat aktivitas polifenol oksidase yang menyebabkan pencoklatan. Tepung kentang pada kemasan LDPE memiliki indeks pencoklatan lebih besar dibandingkan dengan kemasan PP. Nilai indeks pencoklatan pada akhir masa penyimpanan pada suhu 30oC untuk kemasan PP sebesar 0.064 sedangkan pada kemasan LDPE sebesar 0.066. Nilai indeks pecoklatan tepung kentang pada kemasan LDPE yang disimpan pada suhu 40oC sebesar 0.180 sedangkan pada kemasan PP sebesar 0.081.

Setiap parameter yang digunakan dalam pendugaan umur simpan memberikan dugaan umur simpan yang berbeda-beda. Akan tetapi, dalam penelitian ini ditentukan parameter yang digunakan sebagai pembatas penolakan produk adalah parameter warna atau kecerahan. Penelitian ini menunjukkan bahwa umur simpan tepung kentang yaitu pada suhu 20oC dengan kemasan LDPE adalah 6 bulan 27 hari, pada suhu 30oC 3 bulan 27 hari, pada suhu 40oC 2 bulan 8 hari. Tepung kentang yang dikemas dengan kemasan PP pada suhu 20oC adalah 6 bulan 19 hari, pada suhu 30oC 5 bulan 7 hari, dan pada 40oC 4 bulan 5 hari.


(5)

4 PERUBAHAN WARNA TEPUNG KENTANG ATLANTIK SELAMA

PENYIMPANAN DAN PENDUGAAN UMUR SIMPANNYA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

BINTANG ENDAH LESTARI F24061059

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010


(6)

5 Judul skripsi : Perubahan Warna Tepung Kentang Atlantik Selama

Penyimpanan Dan Pendugaan Umur Simpannya Nama : Bintang Endah Lestari

NIM : F24061059

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Ir. C. C. Nurwitri, DAA) (Ir. Tatang Hidayat, MSi)

NIP 19580504 198503.2.001 NIP 19621108 199003.1.001

Mengetahui : Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.) NIP 19650814 199002.1.001


(7)

6 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Perubahan Warna Tepung Kentang Atlantik Selama Penyimpanan dan Pendugaan Umur Simpannya adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2010 Yang membuat pernyataan

Bintang Endah Lestari F24061059


(8)

7 © Hak cipta milik Bintang Endah Lestari, tahun 2010

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(9)

8

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 April 1988. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, pasangan Sudirman Sudia Permana dan Misdijah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2000 di SD Sukatani 4 Depok, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTP 7 Depok hingga tahun 2003. Penulis menamatkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 99, Jakarta pada tahun 2006. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur SPMB pada tahun 2006.

Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, diantaranya menjadi pengurus BEM-F (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian IPB), Majalah Peduli Pangan EMULSI sebagai kepala departemen Human Reseacrh and Development, pengurus HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) sebagai kepala departemen Human Reseacrh and Development, anggota FPC (Food Processing Club)Himitepa bidang bakery, anggota KOPMA (Koperasi Mahasiswa) IPB, serta aktif di berbagai kepanitiaan, seperti “Indonesian Food Expo 2007”, “Masa Perkenalan Departeman ITP (BAUR) tahun 2008”, “Pelatihan HACCP” tahun 2008. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian di Balai Besar Pasca Panen Cimanggu Bogor dengan judul “Perubahan Warna Tepung Kentang Selama Penyimpanan dan Pendugaan Umur Simpannya” di bawah bimbingan Ir. C.C. Nurwitri A., DEA dan Ir. Tatang Hidayat, M.Si.


(10)

9

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadapan Allah SWT atas karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Perubahan Warna Tepung Kentang Atlantik Selama Penyimpanan dan Pendugaan Umur Simpannya dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen, Cimanggu Bogor sejak Desember 2009 sampai Juni 2010.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ir. C.C. Nurwitri A., DEA atas saran serta bantuan moril yang diberikan selaku dosen pembimbing utama.

2. Ir. Tatang Hidayat, M.Si. selaku dosen pembimbing kedua dari balai besar pasca panen yang telah menyediakan semua fasilitas selama penelitian.

3. Se;uruh staf balai besar pasca panen atas bantuan yang diberikan selama penelitian berlangsung.

4. Teman-teman ITP angkatan 43 yang selalu membantu dan memberikan semangat selama masa kuliah.

5. Temen-teman pondok nuansa sakinah yang telah memberikan dorongan moril dan semangat selama masa kuliah.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan.

Bogor, Oktober 2010

Bintang Endah Lestari


(11)

10

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………...………... iii

DAFTAR ISI………... iv

DAFTAR TABEL………... vii

DAFTAR GAMBAR………... viii

DAFTAR LAMPIRAN………..………... x

I PENDAHULUAN……….………... 1

A LATAR BELAKANG………... 1

B TUJUAN PENELITIAN……....……….. 2

C MANFAAT PENELITIAN….………. 2

II TINJAUAN PUSTAKA………….………... 3

A. KENTANG………..………... 3

B TEPUNG KENTANG... 5

C. REAKSI PENCOKLATAN………... 6

D. E. PENGEMASAN………...……….……….. 10

UMUR SIMPAN….………..……….. 12

III METODOLOGI PENELITIAN……....………... 17

A. BAHAN DAN ALAT………..……….……….…. 17

B. WAKTU DAN TEMPAT…………...………... 17

C. METODE PENELITIAN……….………... 18

1. Tahap Persiapan Sampel.………….……….…. 18

1.1 Pembuatan Tepung Kentang………... 18

1.2 Karakterisasi Tepung Kentang……….…... 19

1.3 Karakterisasi Kemasan………... 19


(12)

11

2. Penyimpanan Tepung Kentang………....……….……… 19

2.1. Kondisi Penyimpanan………..………... 19

2.2. Perubahan Selama Penyimpanan... 19

2.3. Penentuan Kadar Kritis….……….... 20

2.4. Pendugaan Umur Simpan Metode Arrhenius……….... 20

D. METODE ANALISIS………..………... 22

1. Analisis Warna Dengan Chromameter... 22

2. Analisis Kadar Air Bahan... 22

3. Analisis Aktivitas Polifenol Oksidase... 23

4. Analisis Indeks Pencoklatan... 23

5. Uji Organoleptik... 23

6. Analisis Proksimat... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………..… 26

A. KARAKTERISTIK TEPUNG DAN KEMASAN... 26

1. Karakteristik Tepung Kentang..……….. 26

2. Karakteristik Kemasan……. ……….. 28

B. PERUBAHAN MUTU PRODUK SELAMA PENYIMPANAN... 29

1. Pengukuran Kadar Air... 29

2. Pengukuran Warna... 31

3. Whiteness Index (WI)……….... 33

4. Indeks Pencoklatan... 35

5. Aktivitas Polifenol Oksidase (PPO)... 38

6. Kadar Proksimat... 40

7. Organoleptik... 42

7.1 Warna... 41

7.2 Tekstur... 42

7.3 Penerimaan Umum... 44

C. PENDUGAAN UMUR SIMPAN... 45


(13)

12

1. Penentuan Orde Reaksi... 45

2. Penentuan Nilai Kritis... 46

3. Pendugaan Umur Simpan berdasarkan parameter warna... 47

4. Pendugaan Umur Simpan berdasarkan parameter indeks pencoklatan.. 50

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 54

A. KESIMPULAN... 54

B. SARAN... 54

VI. DAFTAR PUSTAKA... 55

VII. LAMPIRAN... 59


(14)

13

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jumlah produksi dan luas panen kentang di Indonesia…….………..…….. 3

Tabel 2. Syarat mutu kentang berdasarkan SNI.………. 4

Tabel 3. Komposisi dan nilai gizi kentang per 100 gram……….... 5

Tabel 4. Perbedaan permeabilitas uap air dan gas plastik……… 11

Tabel 5. Karakteristik awal tepung kentang sebelum penyimpanan……… 26

Tabel 5. Hasil uji karakteristik kemasan PP dan LDPE……….. 28

Tabel 6. Karakteristik tepung kentang pada akhir masa penyimpanan….…………. 40

Tabel 7. Nilai mean dan SD uji hedonik terhadap kecerahan warna tepung kentang……….. 42

Tabel 8. Nilai mean dan SD uji hedonik terhadap tekstur tepung kentang……. 43

Tabel 9. Nilai mean dan SD uji hedonik terhadap penerimaan umum tepung kentang………... 44

Tabel 10.Orde reaksi tepung kentang selama penyimpanan... 45

Tabel 11.Nilai T, 1/T, k, dan ln k pada kemasan LDPE……... 89

Tabel 12.Nilai T dan k persamaan Arrhenius kemasan LDPE……... 90

Tabel 13. Nilai T, 1/T, k, dan ln k pada kemasan PP…... 90

Tabel 14.Nilai T dan k persamaan Arrhenius kemsan PP…... 90

Tabel 15.Nilai T, 1/T, k, dan ln k pada kemasan LDPE……... 91

Tabel 16.Nilai T dan k persamaan Arrhenius kemasan LDPE……... 91

Tabel 17.Nilai T dan k persamaan Arrhenius kemsan PP…... 91

Tabel 18.Nilai T dan k persamaan Arrhenius kemsan PP…... 91


(15)

14

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Reaksi antara gugus aldehid glukosa dengan gugus amino lisin yang terikat pada protein (reaksi Maillard awal)……….

8

Gambar 2. Reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino pada protein (reaksi Maillard lanjutan)………....

9

Gambar 3. Diagram alir pembuatan tepung kentang... 18 Gambar 4. Diagram alir pendugaan umur simpan tepung... 21 Gambar 5. Grafik kadar air dalam kemasan PP pada beberapa suhu dan lama

penyimpanan………...

29

Gambar 6. Grafik kadar air dalam kemasan LDPE pada beberapa suhu dan lama penyimpanan...

30

Gambar 7. Grafik kecerahan L* dalam kemasan PP pada beberapa suhu dan lama penyimpanan...

31

Gambar 8. Grafik kecerahan L* dalam kemasan LDPE pada beberapa suhu dan lama penyimpanan…...

32

Gambar 9. Grafik kecerahan WI dalam kemasan PP pada beberapa suhu dan lama penyimpanan…...

34

Gambar 10. Grafik kecerahan WI dalam kemasan LDPE pada beberapa suhu dan lama penyimpanan…...

34

Gambar 9. Grafik indeks pencoklatan dalam kemasan PP pada beberapa suhu dan lama penyimpanan …..………...

36

Gambar 10. Grafik indeks pencoklatan dalam kemasan LDPE pada beberapa suhu dan lama penyimpanan….………...

36

Gambar 11. Grafik aktivitas PPO tepung kentang dalam kemasan PP pada beberapa suhu dan lama penyimpanan ………..…...

38

Gambar 12. Grafik aktivitas PPO tepung kentang dalam kemasan LDPE pada beberapa suhu dan lama penyimpanan...

39

Gambar 13. Regresi linear perubahan nilai L* dalam kemasan LDPE ...……... 47 Gambar 14. Grafik hubungan antara ln k dan 1/T parameter nilai L* dalam

kemasan LDPE………..


(16)

15 Gambar 15. Regresi linear perubahan nilai L* dalam kemasan PP……….... 49 Gambar 16. Grafik hubungan antara ln k dan 1/T parameter nilai L* dalam

kemasan PP.………..………..

49

Gambar 17. Regresi linear perubahan nilai indeks pencoklatam dalam kemasan LDPE ...……...

50

Gambar 18. Grafik hubungan antara ln k dan 1/T parameter nilai IB dalam kemasan LDPE………..……….

51

Gambar 19. Regresi linear perubahan nilai IB dalam kemasan PP…...……... 52 Gambar 20. Grafik hubungan antara ln k dan 1/T parameter nilai IB dalam

kemasan PP.………..………..

52


(17)

16

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kemasan……..……….………… 59 Lampiran 2. Rekapitulasi data hasil pengamatan warna (kecerahan L*) untuk

setiap kemasan dan suhu penyimpanan…………...…...

60

Lampiran 3. Rekapitulasi data hasil pengamatan kadar air untuk setiap kemasan dan suhu penyimpanan……..……….

61

Lampiran 4. Rekapitulasi data hasil pengamatan aktivitas PPO untuk setiap kemasan dan suhu penyimpanan ……….

62

Lampiran 5. Rekapitulasi data hasil pengamatan indeks pencoklatan untuk setiap kemasan dan suhu penyimpanan ………

63

Lampiran 6. Rekapitulasi data hasil pengamatan whiteness index (WI) untuk setiap kemasan dan suhu penyimpanan……….

64

Lampiran 7. Hasil analisis interaksi suhu, kemasan, dan lama penyimpanan terhadap tepung kentang……….

65

Lampiran 8. Rekapitulasi data hasil uji rangking hedonik tepung kentang minggu kedua…………..………...

69

Lampiran 9. Rekapitulasi data hasil uji rangking hedonik tepung kentang minggu keempat..……….………

71

Lampiran 10. Rekapitulasi data hasil uji rangking hedonik tepung kentang minggu keenam…..……….………

73

Lampiran 11. Rekapitulasi data hasil uji rangking hedonik tepung kentang minggu kedelapan...……….………

75

Lampiran 12. Rekapitulasi data hasil uji rangking hedonik tepung kentang minggu kesepuluh...……….………

77

Lampiran 13. Rekapitulasi data hasil uji rangking hedonik tepung kentang minggu kedua belas……….

79

Lampiran 14. Hasil analisi dengan Friedman test untuk tepung kentang setiap dua minggu………..

81


(18)

17 Lampiran 16. Contoh perhitungan Whiteness index (WI)……….. 86

Lampiran 17. Perhitungan orde reaksi………...…. 87

Lampiran 18. Persamaan garis dan tabel hasil perhitungan nilai k kecerahan (L*)…..………

88

Lampiran 19. Persamaan garis dan tabel hasil perhitungan nilai k indeks pencoklatan……….……….

90


(19)

18

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penelitian ini dikembangkan atas pemikiran bahwa warna pada tepung kentang sangat berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan oleh konsumen. Konsumen akan menggunakan persepsi awal yang dapat dilihat terhadap produk. Persepsi terhadap mutu produk merupakan persepsi relatif dan dikaitkan dengan harapan yang berdasarkan pada pengalaman. Penilaian mutu bahan pangan dilakukan berdasarkan ciri fisik seperti penampilan warna, ukuran, dan bentuk.

Kentang dewasa ini menjadi salah satu bahan pangan yang banyak dibutuhkan. Berdasarkan pada data Ditjen Hortikultura konsumsi per kapita kentang di Indonesia terus meningkat, pada tahun 2005 konsumsinya sebanyak 1.92kg dan pada tahun 2008 konsumsinya meningkat menjadi 2.08kg. Produk tepung adalah salah satu cara untuk memperpanjang ketersediaan sepanjang tahun, dan mengatasi perubahan-perubahan fisiologis dan biokimia yang dapat mengakibatkan penurunan mutu. Selain itu, bentuk kentang akan lebih mudah diolah menjadi berbagai produk pangan dibandingkan dengan bentuk utuh.

Penyerapan air oleh produk selama penyimpanan akan mempengaruhi laju reaksi pencoklatan. Oleh karena itu, penyimpanan tepung perlu dipertimbangkan penggunaan bahan kemasan yang mempunyai kemampuan yang baik sebagai barrier terhadap uap air dan oksigen dari luar sehingga dapat menekan laju reaksi pencoklatan. Namun, perubahan warna pada produk kering seperti tepung terjadi dalam waktu yang relatif panjang. Oleh karena itu, dalam penelitian ini umur simpan diukur dengan metode ASS (Accelerated Storage Studies) semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius.

Penelitian ini bertujuan melihat dampak kondisi penyimpanan terhadap perubahan warna tepung kentang dan memperoleh pendugaan umur simpan terbaik untuk mempertahankan warna tepung kentang dengan metode pendugaan Arrhenius.


(20)

19

B.TUJUAN PENELITIAN

1. Penentuan kondisi suhu penyimpanan terbaik untuk mempertahankan warna tepung kentang.

2. Pemilihan bahan pengemas terbaik untuk mempertahankan warna tepung kentang.

3. Penentuan umur simpan tepung kentang dalam kemasan dengan metode pendugaan Arrhenius.

C. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah diperoleh kondisi suhu ruang penyimpanan dan kemasan yang terbaik dalam mempertahankan warna tepung yang berubah karena reaksi pencoklatan selama penyimpanan. Selain itu, untuk perkiraan umur simpan tepung kentang. Informasi dan data yang diperoleh diharapkan dapat dimanfaatkan oleh industri rumah tangga.


(21)

20

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.KENTANG

Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman dari suku Solanaceae yang memiliki umbi batang yang dapat dimakan yang disebut kentang pula. Kentang merupakan tanaman tahunan yang berasal dari daerah subtropika, berkeping dua (dikotil), berbatang lemah berkembangbiakan secara vegetatif dengan umbi. Umbi kentang terbentuk dari perbesaran bagian ujung stolon dan berfungsi sebagai tempat cadangan makanan. Bentuk dan ukuran umbi kentang bervariasi dan pada umumnya mempunyai berat sekitar 300 gram (FAO 2008). Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) dapat digolongkan ke dalam divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Solanales, familia Solanaleaceae, genus Solanum, spesies Solanum tuberosum (Anonim c 2009)

Kentang dapat tumbuh dengan baik di dataran tinggi antara 500-3.000 m dpl dengan suhu relatif 20°C dan kelembaban udara 80-90%, penyinaran matahari cukup dengan waktu penyinaran relatif pendek, curah hujan 1.500 mm per tahun, ditanam pada tanah subur dan bersolum dalam (1-2 m) dengan pH 5.0-7.0 serta memiliki drainase yang baik (Anonim b 2009). Produksi kentang di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Tabel 1).

Tabel 1. Jumlah produksi dan luas panen kentang di Indonesia Tahun Luas Panen

(Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Ton/Ha)

2006 59.748 1011911 16.9

2005 61.557 1009619 16.4

2004 65.420 1027040 16.4

2003 65.923 10001979 15.3

2002 57.332 893824 15.6

2001 55.971 831140 14.8

2000 73.068 977349 13.4

(BPS 2006)


(22)

21 Berdasarkan SNI-01-3175-1992, umbi kentang digolongkan berdasarkan ukuran, yaitu :

1. Kentang ukuran kecil : kentang dengan berat < 50 gram per umbi, 2. Kentang ukuran sedang : kentang dengan berat 51-100 gram per umbi, 3. Kentang ukuran besar : kentang dengan berat 101-300 gram per umbi, 4. Kentang ukuran sangat besar : kentang dengan berat > 301 gram per umbi. Penggolongan kentang berdasarkan syarat mutu dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Syarat mutu kentang berdasarkan SNI

Karakteristik Syarat

Mutu I Mutu II

Warna dan bentuk Seragam Seragam

Ukuran Seragam Seragam

Permukaan Rata -

Kadar kotoran % (bb/bb maksimal) 2.5 2.5

Kentang cacat % (bb/bb) 5 10

Ketuaan Tua Cukup tua

(SNI-01-3175-1992)

Komposisi utama umbi kentang adalah air 75-80%, pati 16-20%, dan protein 2.0-2.5% (FAO 2008). Komposisi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya varietas, keadaan tanah, pupuk, umur umbi ketika dipanen, waktu, dan suhu penyimpanan. Kentang memiliki kadar air yang cukup tinggi, sekitar 78%, sumber vitamin C dan B1 serta beberapa jenis mineral seperti fospor, zat besi, dan kalium. Karbohidrat merupakan zat gizi terbesar yang dikandung kentang. Selain itu, kentang juga mengandung protein serta thiamin dan niasin. Dalam 100 g kentang terkandung 83 kalori. Kandungan gizi kentang per 100 g BDD disajikan dalam Table 3.


(23)

22 Tabel 3. Komposisi dan nilai gizi kentang per 100 gram

Kandungan Presentase

Energi (Kal) 83.00

Air (g) 77.80

Karbohidrat (g) 19.10

Protein (g) 2.00

Lemak (g) 0.10

Serat (g) 0.03

Fosfor (mg) 56.00

Kalsium (mg) 11.00

Besi (mg) 0.70

Vitamin C (mg) 16.00

Vitamin B1 (mg) 0.09

Vitamin B2 (mg) 0.03

(Wirakusuma 2001)

Kentang (Solanum tuberosum) mudah sekali mengalami pencoklatan (browning), bila penanganannya kurang baik. Reaksi antara senyawa organik dengan udara akan menghasilkan warna coklat gelap. Reaksi oksidasi ini dipercepat oleh adanya logam serta enzim (Winarno 1997).

B.TEPUNG KENTANG

Kentang merupakan komoditas yang mudah mengalami pencoklatan setelah dikupas. Hal ini disebabkan oksidasi dengan udara sehingga terbentuk reaksi pencoklatan oleh pengaruh enzim yang terdapat di dalam bahan pangan tersebut (Sutrisno 1994). Untuk menghindari terbentuknya warna coklat dapat dilakukan pengolahan bahan baku. Teknologi pengolahan bahan baku ini mencakup teknik pembuatan granula, pembuatan pati, teknik separasi atau ekstraksi, dan teknik pembuatan tepung (Widowati 2009).

Teknologi tepung merupakan salah satu proses alternatif produk yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur atau dibuat komposit,


(24)

23 diperkaya zat gizi atau difortifikasi, dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang ingin serba praktis (Hartoyo 2001). Tepung digolongkan menjadi dua, yaitu tepung tunggal adalah tepung yang dibuat dari satu jenis bahan pangan, dan tepung komposit yaitu tepung yang dibuat dari dua atau lebih bahan pangan (Widowati 2009).

Tepung kentang adalah bahan yang tidak berbeda secara signifikan dari tepung gandum sehubungan dengan penampilan fisik dan komposisi kimia (Yanez 2007). Keunggulan tepung aneka umbi adalah kandungan serat pangan yang tinggi, yaitu 13-15% terdiri atas serat pangan larut (4.5-5.5%) dan serat pangan tidak larut (8.5-10.0%), dengan daya cerna pati in vitro rendah yaitu 50-65% (Hartoyo 2001). Pada umumnya tepung aneka umbi memiliki indeks glikemik rendah dan pati resisten tinggi dan kaya oligosakarida, sehingga dapat membantu dalam pencegahan primer timbulnya penyakit degeneratif.

Tepung kentang dimanfaatkan oleh industri pengolahan makanan sebagai pengental, pengikat, pembentuk, bahan anti lengket atau bahan agar-agar (Erabaru 2009). Tepung ini juga dipakai dalam produk-produk jadi seperti kudapan, daging olahan, makanan panggang, mie, saus, gravies kuah daging dan sup (Erabaru 2009).

C.REAKSI PENCOKLATAN

Tepung kentang merupakan produk yang bersifat higroskopis. Penyerapan air oleh produk selama penyimpanan dapat mempengaruhi laju reaksi pencoklatan. Tingkat penerimaan produk dapat juga dipengaruhi oleh perubahan warna. Pada beberapa jenis produk, perubahan warna akan menunjukkan tingkat nilai gizi maksimum yang diterima. Reaksi pencoklatan umumnya dibagi menjadi dua yaitu pencoklatan enzimatis dan pencoklatan non-enzimatis. Reaksi pencoklatan enzimatis terjadi karena adanya aktivitas enzim polifenol oksidase. Pencoklatan non-enzimatis terdiri dari reaksi maillard, reaksi karamelisasi, dan reaksi pencoklatan akibat oksidasi vitamin C (Winarno 1997).

Reaksi pencoklatan enzimatik terhadap senyawa fenolik dikatalisis oleh enzim polifenol oksidase (Murano 2003). Enzim ini menggunakan molekul


(25)

24 oksigen dalam memproduksi kuinon dan melanin, yang pada interaksi dengan konstituen lainnya menghasilkan pigmen coklat (Prohp 2009). Enzim adalah molekular protein yang spesifik yaitu polipeptida yang disusun oleh asam-asam amino. Enzim adalah katalis biologi yang akan mempercepat reaksi kimia. Enzim bekerja spesifik terhadap substratnya, subtrat akan berikatan dengan sisi aktif enzim sebelum terjadinya reaksi (Murano 2003). Senyawa-senyawa fenolik diantaranya adalah katekin dan turunannya, seperti tirosin, asam kafeat, asam klorogenat, dan leukoantosianin (Winarno 1997).

Enzim polifenol oksidase dapat mengkatalisis dua tipe reaksi yakni hidroksilasi (aktifitas kresolase) dan dehidrogenasi (aktifitas katekolase). Tipe reaksi pertama adalah hidroksilasi monofenol menjadi o-difenol. Sedangkan tipe kedua adalah oksidasi o-difenol menjadi kuinon (Naczk dan Shahidi 2004 diacu dalam Mintarti 2009). Katekolase mengkatilisi reaksi oksidasi orto-difenol menjadi orto-quinon; orto-quinon dengan orto difenol akan terhidroksilasi membentuk trihidroksi benzena; kemudian trihidroksi benzena bereaksi dengan orto-quinon membentuk hidroksi quinon yang akhirnya berpolimerisasi membentuk warna merah kemudian coklat (Palupi dan Prangdimurti 2007).

Enzim polifenol oksidase dapat diinaktivasi dengan perlakuan panas dengan suhu 900 C atau dengan pengeluaran sebagian kandungan air bahan melalui proses pemekatan atau pengeringan. Metode lain untuk adalah dengan menurunkan pH jaringan lebih kecil daripada pH optimum enzim polifenol oksidase yang berkisar antara 4.0-7.0. Asam yang dapat ditambahkan untuk menurunkan pH adalah asam sitrat, malat, askorbat, dan asam fosfat (Syamsir 2008).

Reaksi penting lainnya dalam pembentukan warna coklat adalah reaksi pencoklatan non-enzimatis. Pencoklatan non enzimatis yang terjadi diantaranya adalah reaksi Maillard dan karamelisasi. Reaksi Maillard terjadi karena adanya gugus karbonil bebas (C = O) dan asam amino. Reaksi ini dibagi menjadi tiga reaksi kimia yaitu kondensasi, rearrangement (penyusunan kembali), dan polimerisasi.


(26)

25 Gambar 1. Reaksi antara gugus aldehid glukosa dengan gugus amino lisin yang

terikat pada protein (reaksi Maillard awal) (Palupi dan Prangdimurti 2007)

Tahap awal dari reaksi Maillard adalah kondensasi antara α-amino dari asam amino atau protein dengan gugus karbonil dari gula pereduksi. Tahap ini disebut reaksi karbonilamino dan produk awal yang terbentuk akan kehilangan air, membentuk basa Schiff diikuti dengan siklisasi menghasilkan glikosilamin yang tersubstitusi N. Senyawa ini sangat labil sehingga mengalami isomerisasi menjadi asam fruktosamino (1-amino-1-deoksi-1-ketosa). Reaksi ini disebut Amadori rearrangement.

Selanjutnya, setidaknya ada 3 jalur pembentukan warna coklat melanoidin dalam reaksi Maillard. Pertama, melalui senyawa Amadori yang diubah menjadi 1.2-eneaminol dan 2.3-enediol. Kedua, kondensasi aldol yang merupakan jalur alternatif. Ketiga, degradasi Strecker yang tidak secara langsung membentuk pigmen tapi menyediakan senyawa pereduksi penting untuk pembentukan warna coklat (Palupi dan Prangdimurti 2007).

H | (HCOH)4 | HCOH | HC=O | + | NH2 | Prot

-H2O

H | (HCOH)4 | C=O HCH | NH | Prot H | (HCOH)4 | HCOH | CH | N | Prot Schift Base Deoksi-ketosil (senyawa Amadori) Glukosa + lisin

(lisin terikat pada protein)

Amadori rearrangement


(27)

26 Gambar 2. Reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino pada protein (reaksi

Maillard lanjutan) (Palupi dan Prangdimurti 2007).

Reaksi pencoklatan mudah terjadi pada proses pengolahan pangan. Pengolahan yang melibatkan proses pemanasan akan memicu terjadinya reaksi pencoklatan. Selain itu, luas permukaan yang bereaksi dengan oksigen berpengaruh pada kecepatan reaksi pencoklatan. Reaksi Maillard tidak hanya dapat terjadi dengan adanya oksigen, namun reaksi ini juga terjadi tanpa adanya oksigen. Konsentrasi yang lebih rendah dari methylfurfural 5-hidroksi, penanda kunci Maillard pada sampel yang disimpan pada suhu 30oC dalam kehadiran oksigen, menunjukkan bahwa reaksi non-enzimatik yang sensitif terhadap oksigen (Frank et al. 2004) .

CH3 | C=O

| C=O

| CHOH

Pemecahan Karbonil, dikarbonil

rantai pendek

HC=O C=O

CH2

CHOH Dehidrasi 5-hidroksi metil-2-furaldehid Metil

dikarbamil intermediet

3-Deoksi heksason intermediet

Asam amino Gula Pereduksi

Degradasi Strecker Dikarbonil Strecker aldehid

+ Senyawa

amino Senyawa deoksi-ketosil

Pembentukan Melanoidin;

Polimerisasi senyawa-senyawa intermediet; produksi N-heterosiklis

+


(28)

27 Reaksi Maillard mempengaruhi seluruh indra penerimaan pada makanan selama penyimpanan dan pengolahan (Frank et al. 2004). Pengolahan dilakukan untuk memperpanjang umur simpan suatu produk. Proses pengolahan apa yang akan dilakukan, bergantung pada berapa lama umur simpan produk yang diinginkan, dan berapa banyak perubahan mutu produk yang dapat diterima.

D.PENGEMASAN

1. Fungsi dan Peranan Kemasan

Pengemasan dapat memperlambat kerusakan produk, memperpanjang umur simpan, dan menjaga atau meningkatkan kualitas dan keamanan pangan (Coles et al. 2003). Pengemasan produk bubuk instan sebaiknya menggunakan pengemas yang memiliki nilai permeabilitas uap air sangat kecil (Arpah et al. 2002).

Secara umum kemasan pangan mempunyai fungsi sebagai berikut yaitu (Siswono 2008):

• Melindungi produk terhadap pengaruh fisik, seperti pengaruh mekanik, dan cahaya; melindungi produk terhadap pengaruh kimiawi (permiasi gas, kelembaban udara/uap air)

• Melindungi produk terhadap pengaruh biologi (bakteri, kapang) • Mempertahankan keawetan dan mutu produk

• Memudahkan penanganan (penyimpanan, transportasi, penumpukan, distribusi)

• Sebagai media informasi produk dan media promosi • Memberikan bentuk dan daya tarik produk

2. Jenis-jenis Kemasan

Kemasan yang dapat digunakan harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni dapat mempertahankan mutu produk dari kerusakan kimia, kerusakan biologi, dan kerusakan fisik. Kemasan pangan yang banyak digunakan adalah plastik karena plastik bersifat inert, tahan terhadap bahan kimia anorganik, termasuk asam, alkali dan pelarut organik, sehingga membuat plastik cocok untuk kemasan pangan (Coles et al. 2003). Namun, kemasan plastik memiliki


(29)

28 permeabilitas terhadap gas, uap air, cairan, ion-ion, dan molekul terlarut yang menembus bahan pangan (Coles et al. 2003).

Faktor yang mempengaruhi konstanta permeabilitas pada kemasan plastik antara lain adalah jenis permeabilitas, ada tidaknya ikatan silang (cross linking), suhu, bahan tambahan (plasticer), jenis polimer film, sifat dan besar molekul gas, serta kelarutan bahan (Herawati 2008). Perbedaan permeabilitas uap air dan gas pada plastik dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Perbedaan permeabilitas uap air dan gas plastik Jenis

Produk

Permeabilitas (cc.mm/detik.cm2, cmHg) Air (25oC) O2 (30oC) CO2(30oC) N2(30oC)

LDPE 800 55 352 19

HDPE 130 10.6 35 2.7

PP 650 23 92 -

PVC 1560 1.2 10 0.4

(Mathlouthi 1994)

a. Polietilen (PE)

Polietilen (PE) adalah plastik yang memiliki stuktur sederhana, dibuat dengan penambahan polimerisasi dari gas etilen pada suhu tinggi dan tekanan reaktor. Dua jenis polietilen yaitu polietilen densitas rendah (low-density polyethylene / LDPE) dan polietilen densitas tinggi ( high-density polyethylene / HDPE). Polietilen densitas rendah relatif lemas dan kuat, digunakan antara lain untuk pembuatan kantong kemas, tas, botol, industri bangunan, dan lain-lain. Polietilen densitas tinggi sifatnya lebih keras, kurang transparan dan tahan panas sampai suhu 1000C (Azizah 2009).

Polietilen sangat mudah dikelim dengan penambahan panas. Plastik PE adalah penghalang kelembaban dan uap air yang baik. Namun, bukan penghalang yang baik untuk lemak atau minyak dan gas seperti karbon dioksida dan oksigen. LDPE memiliki kekuatan tarik dan kekuatan sobek yang baik, tahan panas hingga 60oC. LDPE memiliki daya tahan yang baik terhadap bahan kimia seperti asam, alkali, dan larutan anorganik, tetapi sensitif terhadap hidrokarbon dan halogenasi hidrokarbon, minyak, dan lemak (Coles et al. 2003).


(30)

29 b. Polipropilen (PP)

Polipropilen (PP) merupakan bahan kemasan fleksibel yang sedikit lebih kaku daripada PE, kuat dan lebih ringan daripada PE. Stabil pada suhu tinggi dan memiliki permukaan yang halus (Azizah 2009). Polipropilen memiliki densitas yang lebih rendah (900 kg m-3) dan memiliki titik lunak lebih tinggi (140oC-150oC) dibandingkan polietilen, permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang, tahan terhadap lemak dan bahan kimia, tahan gores, dan stabil pada suhu tinggi, serta memiliki kilap yang bagus dan kecerahan tinggi (Robertson 1993). Beberapa sifat utama polipropilen antara lain:

1. Ringan (densitas 0.9 g/cm3) dan mudah dibentuk

2. Mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari polietilen dan tidak bisa digunakan untuk kemasan beku karena rapuh pada suhu -30oC.

3. Lebih kaku daripada polietilen dan tidak gampang sobek.

4. Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang dan tidak baik untuk mengemas produk yang mudah teroksidasi.

5. Tahan terhadap suhu tinggi (150oC)

6. Titik lebur tinggi sehingga tidak bisa dibuat kantong dengan sifat kelim panas yang baik.

7. Tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak. Tidak terpengaruh pelarut pada suhu kamar kecuali HCl.

8. Pada suhu tinggi polipropilen dapat bereaksi dengan benzene, siliken, toluene, terpektin, dan asam nitrat kuat.

E.UMUR SIMPAN

Pengemasan akan mempengaruhi umur simpan. Umur simpan suatu produk ditentukan oleh tiga faktor yaitu: a) karakteristik produk, b) lingkungan tempat produk berada selama distribusi dan c) karakteristik kemasan. Umur simpan suatu produk akan berubah oleh: a) perubahan komposisi dan bentuknya, b) perubahan lingkungan dan c) sistem kemasan (Herawati 2008). Produk kering mengalami


(31)

30 kerusakan karena menyerap kadar air, hal ini dapat memicu kerusakan yang kompleks karena dapat menyebabkan reaksi deteriorasi yang lainnya (Syamsir 2008).

Salah satu fungsi pengemasan adalah memperlambat proses deteriorasi atau penurunan mutu dengan mempertahakan stabilitas, kesegaran, dan penerimaan konsumen dari produk atau memperpanjang umur simpan (Arpah dan Syarief 2000). Tingkat deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan sedangkan laju deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan. Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat disebabkan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis atau lainnya seperti proses fisik dalam penyerapan uap air atau gas dari sekeliling (Arpah dan Syarief 2000).

Analisis kuantitatif reaksi deteriorasi yang berlangsung pada produk selama proses pengemasan dan penyimpanan dapat dilakukan dengan cara pengukuran terhadap tingkat efek deteriorasi yang berlangsung. Analisis yang dilakukan meliputi analisis fisik, kimia serta organoleptik. Perubahan tingkat efek deterioratif kemudian dihubungkan dengan perubahan mutu produk atau lebih tepat dengan istilah usable quality. Usable quality akan menurun selama penyimpanan. Penurunan ini akan sampai pada saat kualitas produk yang diharapkan tidak dimiliki lagi (Arpah dan Syarief 2000).

Pada saat setelah selesai diproduksi, usable quality dari produk adalah 100%. Penurunan usable quality disebabkan oleh reaksi deteriorasi yang berlangsung dalam produk. Usable quality dari produk dapat berupa atribut seperti tekstur, flavor, warna, panampakan khusus, nilai gizi atau berupa standar mikrobiologi. Atribut tersebut disebut atribut kadaluwarsa atau umur simpan (Arpah dan Syarief 2000).

Sistem penentuan umur simpan bahan pangan dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu metode konvensional, metode akselerasi kondisi penyimpanan dan metode nilai waktu paruh (Half Value Point). Metode konvensional menitik-beratkan pada pengaruh kadar air dan perubahan yang terjadi pada produk dalam kondisi penyimpanan normal. Metode akselerasi atau Accelerated Shelf Life


(32)

31 Testing (ASLT) adalah kondisi penyimpanan dilakukan dengan cara mempercepat laju reaksi deteriorasi selama penyimpanan. (Arpah dan Syarief 2000).

Model yang diterapkan pada penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan yaitu: 1) pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air kritis atau afinitas air sebagai kriteria kadaluarsa dan 2) pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika yang pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk pangan.

1. Reaksi Ordo Nol

Tipe kerusakan yang mengikuti kinetika reaksi orde nol mencangkup reaksi kerusakan enzimatis, pencoklatan enzimatis, dan oksidasi lemak. Menurut Labuza (1982), kerusakan bahan pangan dapat mengikuti pola dimana n=0 yang menunjukkan suatu penurunan konstan ditunjukkan dengan persamaan (1.1) berikut :

-dA

dt

=

k (1.1)

Secara matematika, bila persamaan tersebut diintegralkan dapat diperoleh persamaan (1.2) untuk menghitung umur simpan dengan menggunakan persamaan orde nol.

dA

At

Ao

= -

k

A = Ao – kt

t

=

(1.2)

keterangan :

t = waktu

Ao = konsentrasi awal Ac = konsentrasi kritis k = laju reaksi

Plot antara perubahan konsentrasi [A] dengan waktu [t] untuk reaksi orde nol memberikan garis lurus dengan nilai kemiringan (slope) = k


(33)

32 2. Reaksi Ordo Satu

Menurut Labuza (1982), umur simpan pada beberapa kasus tidak mengikuti degradasi dengan kecepatan konstan. Kerusakan bahan pangan dapat mengikuti pola dimana n=1 yang menunjukkan suatu penurunan eksponensial kecepatan kerusakan sebagai penurunan mutu. Maka untuk menghitung umur simpan dengan menggunakan persamaan orde satu dapat dilakukan dengan persamaan (1.3) berikut ini:

dA

dt = k[A]

= -

k

ln

= - kts

ln A – ln Ao = -kt

ln A = -kt + ln Ao

t

ln A -ln A

k

(1.3)

keterangan :

t = waktu

Ao = konsentrasi awal Ac = konsentrasi kritis k = laju reaksi

Plot antara perubahan logaritma konsentrasi [A] dengan waktu [t] untuk reaksi orde satu memberikan garis lurus dengan slope = - k

Tipe-tipe kerusakan yang mengikuti orde satu adalah 1. Ketengikan

2. Pertumbuhan mikroba dan kematian mikroba 3. Produksi off-flavor oleh mikroba

4. Kerusakan vitamin 5. Kerusakan mutu protein


(34)

33 3. Model Arrhenius

Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu produk pangan. Apabila keadaan suhu penyimpanan tetap atau dianggap tetap maka perumusan masalahnya bisa sederhana yaitu untuk menduga laju penurunan mutu cukup dengan menggunakan persamaan Arrhenius (1.4) (Syarief dan Halid, 1993).

k = ko e –E/RT

ln k = ln ko – (E/R)(1/T) (1.4) Dimana : k = konstanta penurunan mutu

ko = konstanta (tidak tergantung pada suhu) E = Energi aktivasi

R = Konstanta gas (1.986 kal/mol 0K) T = Suhu mutlak (0C+273)

Asumsi-asumsi untuk menggunakan model Arrhenius adalah(Syarief dan Halid 1993) : perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja, tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu, proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari proses-proses yang terjadi sebelumnya, dan suhu selama penyimpanan tetap atau dianggap tetap.

Keuntungan dari metode akselerasi adalah waktu pengujian yang dibutuhkan relatif singkat, namun memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi. Pendekatan Arrhenius dilakukan dengan menunjukkan kertergantungan konstanta laju reaksi terhadap suhu. Ketergantungan reaksi terhadap suhu tersebut dapat dilihat dari nilai Ea (energi aktivasi).

Energi aktivasi dari beberapa reaksi kimia digolongkan menjadi tiga golongan. Golongan pertama adalah golongan dengan nilai Ea rendah (2 – 15 Kkal/mol). Kedua, golongan nilai Ea sedang (15 – 30 Kkal/mol). Ketiga, golongan dengan nilai Ea tinggi (50 – 100 Kkal/mol). Reaksi pencoklatan baik Maillard, perubahan pigmen, dan pembentukan pigmen tergolong dalam golongan reaksi dengan nilai Ea sedang dan dapat berlangsung baik pada suhu ruang (Arpah dan Syarief 2000).


(35)

34

III. METODELOGI PENELITIAN

A. ALAT DAN BAHAN

Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah peralatan proses seperti alat blansir, slicer, rak-rak pengering, tray dryer, hammer mill, spektrofotometer, chromameter, oven, desikator, tanur listrik, neraca analitik, jangka sorong digital, ekstraksi soxhlet, alat destilasi, timbangan, pembakar bunsen, plastik wadah, baskom, labu Kjeldahl 30 ml, labu lemak, cawan alumunium, cawan porselen kertas saring, termometer, dan aneka alat gelas.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas bahan baku berupa umbi dari varietas kentang Atlantik yang diambil dari Pengalengan dan Garut, bahan kimia untuk pengolahan tepung seperti larutan sodium bisulfit, bahan kimia untuk analisis mutu yaitu K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO4, Larutan

NaOH-Na2S2O3, HCl 0,02 N, H2SO4, 2%, aseton, alkohol 80%, buffer phospat 50mM

pH 6,6, larutan pirogalol 0,2 M, NaOH 1N, pelarut heksan, aquades, indikator fenol red, indikator phenolftalin.

B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini akan dilaksanakan selama lima bulan yaitu mulai dari bulan Desember 2009 hingga bulan Maret 2010. Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen, Cimanggu, Bogor dan Laboratorium SEAFAST Center, LPPM IPB.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu tahap persiapan sampel, tahap simulasi penyimpanan, penentuan nilai kritis, dan tahap pendugaan umur simpan. Setiap tahap dilakukan dengan menggunakan sampel duplo dan dua kali ulangan.


(36)

35 1.Tahap Persiapan Sampel

1.1 Pembuatan Tepung Kentang

Persiapan sampel dilakukan dengan memilih tepung kentang terbaik dari perlakuan pencegahan pencoklatan pada penelitian sebelumnya. Pembuatan tepung kentang dapat dilihat pada diagram alir berikut :

Gambar 3. Diagram alir pembuatan tepung kentang Umbi kentang

Blanching selama 5 menit

Pengirisan umbi kentang dengan ketebalan 2 mm Pengupasan dan pencucian umbi

Proses pembilasan dan penirisan

Perendaman dalam larutan sodium bisulfit dengan konsentrasi 750 ppm, selama 15 menit

Irisan kentang

Pengeringan dengan alat pengering rak (tray dryer) suhu 60oC, sampai kadar airnya ±5%

Penepungan dengan hammer mill 80 mesh Irisan kentang kering

Tepung kentang


(37)

36 1.2 Karakteristik Tepung Kentang

Tepung kentang dipilih yang memiliki karakteristik warna terbaik dan tidak melampaui batas residu sulfit yang diperbolehkan pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Tepung kentang yang dihasilkan kemudian dilakukan análisis proksimat. Selain itu, dilakukan analisis kadar air, warna (kecerahan), aktivitas PPO, dan indeks pencoklatan.

1.3 Karakteristik Kemasan

Karakteristik yang diuji meliputi ketebalan, densitas, gramature, laju transmisi gas oksigen (O2TR, oxygen transmission rate), dan laju

transmisi uap air (WVTR, water vapor transmission rate). Pemilihan penggunaan jenis kemasan didasarkan pada karakteristik kemasan yang dinilai cukup baik bagi perlindungan produk serta ketersediaan kemasan tersebut di pasar.

2. Penyimpanan Tepung Kentang 2.1Kondisi Penyimpanan

Tepung kentang yang telah ditimbang kemudian dikemas dengan pengemas plastik polietilen (LDPE) dan polipropilen (PP) masing-masing seberat 100 gram. Tiap perlakuan kemudian disimpan pada suhu 20oC, 30oC, dan 40oC. Penyimpanan tepung kentang dilakukan dalam inkubator yang suhunya dipertahankan tetap. Penyimpanan dilakukan selama 12 minggu dengan periode analisis setiap 2 minggu.

2.2Perubahan Selama Masa Simpan

Parameter pengamatan produk tepung selama penyimpanan meliputi : kadar air, warna, aktivitas PPO, indeks pencoklatan, dan uji organoleptik. Pengamatan organoleptik tepung menggunakan Hedonic Scale Scoring meliputi warna, konsistensi, dan tingkat penerimaan.


(38)

37 2.3Penentuan Nilai Kritis

Penentuan parameter kritis mutu tepung kentang didasarkan pada perubahan mutu tepung kontrol selama penyimpanan dengan cara menyimpan tepung dalam keadaan terbuka selama masa penyimpanan 12 minggu. Tepung disimpan pada suhu ruang berkisar 35-37% dengan kelembaban relatif diatas 80%. Pada kondisi tersebut parameter uji yang lain diamati untuk menentukan nilai kritisnya. Parameter mutu yang diamati meliputi : kadar air, warna (kecerahanan), aktivitas PPO, indeks pencoklatan.

2.4Pendugaan Umur Simpan Dengan Metode Arrhenius

Pendugaan umur simpan dengan metode Arrhenius dilakukan pada kondisi penyimpanan dengan suhu tetap atau dijaga tetap. Tahap penentuan umur simpan dalam penelitian ini adalah :

a. Memplotkan data hasil analisis pada orde 0 (persamaan linier) dan pada orde 1 (persamaan eksponensial)

b. Memilih orde reaksi berdasarkan pada nilai R2 terbesar dari persamaan yang telah dihasilkan.

c. Mentabulasi nilai parameter persamaan Arrhenius : k, ln k, dan 1/T (K) dan memplotkan dengan ln k sebagai variable sumbu y dan 1/T sebagai variable sumbu x.

d. Menentukan nilai k0 dan k masing-masing suhu penyimpanan dengan

bantuan persamaan Arrhenius. k = ko e –E/RT

ln k = ln ko – (E/R)(1/T)

Dimana : k = konstanta penurunan mutu

ko = konstanta (tidak tergantung pada suhu) E = Energi aktivasi

R = Konstanta gas (1.986 kal/mol 0K) T = Suhu mutlak (0C+273)

e. Menghitung umur simpan.


(39)

38 Tepung kentang

(terbaik)

Pemilihan kemasan dan kondisi terbaik

Pendugaan umur simpan (metode Arrhenius)

Analisis mutu tepung tiap 2 minggu, parameter yang diamati : kadar air,

warna, aktivitas PPO, indeks pencoklatan, organoleptik,

Penyimpanan tepung

suhu penyimpanan : suhu (20, 30, dan 40)oC

Pengemasan tepung jenis kemasan : LDPE dan PP Analisis awal produk meliputi : kadar

air, warna, aktivitas PPO, indeks pencoklatan, organoleptik, dan

proksimat

Gambar 4. Diagram alir pendugaan umur simpan tepung.

Pendugaan umur simpan dihitung berdasarkan pengamatan selama 12 minggu. Parameter analisis diamati setiap 2 minggu dalam waktu 5 hari dari hari pengamatan. Tahapan penelitian umur simpan tepung kentang dapat dilihat pada Gambar 4.


(40)

39 D. Metode Analisis

1. Warna Menggunakan Metode Hunter (Hutching 1999)

Pengukuran warna tepung dilakukan dengan chromameter Minolta Model CR-200. Pengukuran warna pada setiap perlakuan dilakukan sebanyak tiga kali dengan parameter warna L, a, b. sebelum dilakukan pengukuran, peralatan dikalibrasi dengan menggunakan standar warna putih berupa plat standar. Nilai L, a, b, digunakan untuk memperoleh indeks keputihan tepung (whiteness index-WI) (Bolin dan Huxsoll, 1991)

WI = 100 – (( 100-L*)2 + (a*)2 + (b*)2)1/2

2. Kadar Air dan Kadar Bahan Kering (AOAC 1995)

Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Langkah awal pengukuran kadar air dengan mengeringkan cawan alumunium pada suhu 100 0C selama 15 menit, kemudian dikeringkan di dalam desikator selama 10 menit. Cawan alumunium kemudian ditimbang dengan menggunakan neraca analitik. Sebanyak 2-10 gram sampel ditimbang dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobot kosongnya. Kemudian dikeringkan dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot konstan.

Kadar air (% berat basah (bb)) = W-(W1-W2) x 100 W

Kadar air (%berat kering (bk)) = W-(W1-W2) x 100 W1-W2

Kadar bahan kering = 100 - % kadar air

Keterangan: %wb = kadar air per bobot basah

%db = kadar air per bobot kering

W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g) W1 = bobot contoh + cawan kering kosong (g) W2 = bobot cawan kosong (g)


(41)

40 3. Pengukuran aktivitas polifenol oksidase (PPO) (Park 2004)

Sebanyak 12,5 gram sampel dihomogenisasi dalam 62,5 ml buffer fosfat 50 mM pada pH 6,6 selama 3 menit. Homogenat disentrifuse pada kecepatan 2500 rpm selama 20 menit, dan supernatan digunakan untuk assay enzim polifenol oksidase (PPO). Seluruh tahapan dilakukan dalam suhu rendah. Kemudian sebanyak 0,1 ml supernatan diambil dan ditambahkan dengan 0,9 ml buffer fosfat lalu diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruang 25oC, sebagai substrat ditambahkan 1 ml pirogalol 0,2 M. Aktivitas enzim ditunjukkan sebagai laju perubahan OD (Optical Density) pada panjang gelombang 420 nm/ml ekstrak.

4. Pengukuran Indeks Pencoklatan (Leeratanarak et al. 2005)

Sampel sebanyak 2 gram diekstrak dengan 20 ml larutan asam asetat 2% dan kemudian disaring dengan kertas saring Whatman No 3, Maidstone, Englland. Hasil filtrat penyaringan dicampur dengan aseton dalam perbandingan 1:1 dan dilakukan penyaringan kembali. Absorbansi dari filtrat yang dihasilkan kemudian diukur pada panjang gelombang 420 nm menggunakan spektrofotometer. Hasil pengukuran dinyatakan dalam kerapatan optik.

5. Uji Organoleptik (Poste et al. 1991)

Uji yang dilakukan adalah uji rating hedonik. Panelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih sebanyak 30 orang. Data yang dihasilkan dianalisis dengan SPSS 18, apabila terdapat perbedaan yang nyata maka dilakukan uji lebih lanjut menggunakan metode uji Duncan dengan taraf kepercayaan 95%. Data akan diolah dengan uji Friedman’s. Skala yang digunakan adalah skala 1 hingga 5 dengan rincian sebagai berikut: 5 = paling disukai

4 = disukai 3 = biasa/netral 2 = tidak suka

1 = paling tidak disukai


(42)

41 6. Analisis Proksimat (AOAC 1995)

6.1Analisis Kadar Abu (AOAC 1995)

Cawan porselen dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600oC, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

Kadar abu (% b.b) = c - (a - b) x 100 % c

Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g)

c = berat sampel awal (g)

6.2Kadar Protein metode Kjeldahl (AOAC 1995)

Sampel sebanyak ± 100 mg ditimbang (A) dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1,9 ± 0,1 g K2SO4. 40 ± 10 mg HgO,

dan 3,8 ± 0,1 ml H2SO4 ditambahkan batu didih pada labu lalu sampel

didihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Labu erlenmeyer 125 ml diisi dengan 5 ml H3BO4 dan ditambahkan dengan 4

tetes indikator, kemudian diletakan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam baik dalam larutan H3BO. Larutan NaOH-Na2S2O3

sebanyak 8-10 ml ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya ± 15 ml di dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Dilakukan perhitungan jumlah nitrogen setelah sebelumnya diperoleh jumlah volume (ml) blanko.

Jumlah N = (ml HCl-ml Blanko × NHCl× 14,007 ×100)/A


(43)

42 6.3Kadar Lemak metode Soxhlet (AOAC 1995)

Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Ditimbang sebanyak ± 5 g sampel (B) dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor.

Pelarut heksan dituang ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemak ditimbang (C) dan dilakukan perhitungan kadar lemak.

Kadar lemak (%) = C-A

B 100% Keterangan : A = berat labu kering (g)

B = berat sampel (g) C =berat labu + lemak (g)

6.4Kadar karbohidrat by Difference (AOAC, 1995)

Karbohidrat dihitung berdasarkan metode by difference dengan perhitungan sebagai berikut :

Kadar karbohidrat (%) = 100% - (P+A+Ab+L) Keterangan :

P = kadar protein (%bb) A = kadar air (%bb)

Ab = kadar abu (%bb) L = kadar lemak (%bb)


(44)

43

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

E. Karakteristik Tepung Kentang dan Kemasan

1. Karakteristik Tepung Kentang

Tepung kentang memiliki karakteristik yang khas antara lain berupa butiran-butiran halus agak kasar, memiliki warna yang khas tidak seperti tepung terigu yang berwarna putih. Tepung kentang dikarakterisasi untuk mengetahui keadaan awal produk sebelum disimpan sehingga dapat dilakukan pendugaan umur simpan melalui identifikasi kerusakan-kerusakan yang terjadi selama penyimpanan produk tersebut. Karakteristik yang diuji pada tepung kentang meliputi kadar air, kecerahan (nilai L*), indeks pencoklatan, dan aktivitas polifenol oksidase (PPO). Hasil karakteristik awal tepung kentang dapat dilihat dalam Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik awal tepung kentang sebelum penyimpanan

Karakteristik Nilai

Kadar air (%) 4.78

Kecerahan (L*) 97.95

Indeks pencoklatan 0.006

Aktivitas PPO (unit/g sampel) 177.631

Kadar protein (%) 9.23

Kadar lemak (%) 0.74

Kadar abu (%) 1.22

Karbohidrat (by difference) (%) 84.03 Residu sulfit mg/Kg 227,15

Berdasarkan tabel di atas diperoleh data bahwa kadar air kentang setelah proses penepungan menjadi tepung kentang sebesar 4.78%. Penepungan dilakukan untuk memperpanjang umur simpan yaitu dengan mengurangi aktivitas air. Hal ini mencegah pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim tetapi


(45)

44 tidak menginaktivasinya (Fellows 2000). Kadar air yang rendah dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme seperti bakteri, kapang, dan khamir. Mikroba yang tahan pada kondisi kering seperti tepung kentang adalah kapang dan beberapa jenis bakteri (Muchtadi 2000). Mikroba yang diawasi keberadaannya pada tepung kentang adalah Eschericia coli,

Bacillus aureus, dan kapang (SNI 7388:2009).

Kadar protein tepung kentang sebesar 9.23%. Apabila dibandingkan dengan kandungan protein tepung terigu yang ada maka tepung kentang tergolong dalam tepung jenis soft (kandungan protein 8 % - 9 %) (Bogasari 2010). Jenis tepung berpengaruh pada jenis produk olahannya. Tepung jenis soft menyerap sedikit air dan gula maka produk yang dibuat dari jenis tepung ini menjadi lebih renyah (Bogasari 2010). Kandungan terbesar dalam tepung kentang adalah karbohidrat yaitu sebesar 84.03%, karbohidrat akan bermanifestasi dalam reaksi pencoklatan kentang selama penyimpanan karena dapat dipecah menjadi gula pereduksi.

Kecerahan tepung kentang diukur menggunakan chromameter Minolta CR-200 dan diperoleh nilai L* sebesar 97.95. Pada notasi Hunter nilai L* menyatakan warna kecerahan, dengan nilai dari 0 (hitam gelap) sampai 100 (putih terang). Nilai yang ditunjukkan dari hasil pengukuran menunjukkan bahwa karakteristik warna tepung kentang putih mendekati putih terang (Francis 2000). Tepung kentang yang digunakan dalam penelitian ini memiliki indeks pencoklatan sebesar 0.006. Indeks pencoklatan sangat mempengaruhi warna tepung kentang. Warna tepung akan mempengaruhi warna produk yang dihasilkan. Apabila tepung kentang yang digunakan memiliki indeks pencoklatan yang tinggi maka produk yang dihasilkan akan berwarna kusam.

Reaksi pencoklatan terjadi secara enzimatis dan non enzimatis. Reaksi pencoklatan enzimatis terjadi karena konversi senyawa fenolat menjadi melanin dengan bantuan enzim polifenol oksidase (PPO). Nilai aktivitas PPO tepung kentang yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 177.631 unit/g sampel. Tepung kentang yang telah dikarakterisasi sifat awalnya kemudian dikemas dengan kemasan berbeda.


(46)

45 2. Karakteristik Kemasan

Pada penelitian ini digunakan dua jenis kemasan yaitu kemasan plastik jenis Polyprophylene (PP) dan Low Density Polyethylene (LDPE). Penggunaan plastik sebagai kemasan tepung kentang erat hubungannya dengan pengaruh lingkungan yang dapat mempercepat kerusakan tepung. Kerusakan yang terjadi berkaitan dengan sifat transmisi cahaya, permeabilitas terhadap gas dan udara, permeabilitas terhadap uap air, dan konduktivitas panas.

Permeabilitas dari suatu film kemasan adalah laju kecepatan atau transmisi permean melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan tertentu, sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu (Sofyan 2010).

Jenis kemasan yang diharapkan untuk tepung kentang adalah jenis kemasan yang dapat dapat menekan laju transmisi uap air dari lingkungan. Selain itu jenis kemasan yang dapat melindungi tepung selama penyimpanan, transportasi, dan penumpukan. Kemasan yang digunakan juga sesuai dengan bentuk penanganan dan pemasarannya. Oleh karena itu, dipilih kemasan plastik jenis LDPE dan PP. Jenis kemasan LDPE dan PP kemudian dikarakteristik sehingga didapat seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil uji karakteristik kemasan PP dan LDPE

Jenis kemasan LDPE PP

Ketebalan (mm) 0.0782 0.0863

Gramatur (g/m2) 71.0150 79.2000 Densitas (g/m3) 0.9081 0.9177 O2TR (cc/m2/24 jam ) 87.6388 67.9188

WVTR (g/m2/24 jam) 4.7725 3.6305 (Linatas 2010)

Karakteristik kemasan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Linatas (2010). Kemasan PP mempunyai sifat menghalangi uap air dan gas yang baik dan lebih kuat dibandingkan dengan kemasan LDPE. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.


(47)

46 nilai WVTR dan O2TR kemasan PP lebih rendah dibandingkan dengan LDPE.

Kemasan pangan yang berbeda akan menyebabkan perubahan mutu yang berbeda pada bahan pangan selama penyimpanan.

F. Perubahan Mutu Produk Selama Penyimpanan

1. Pengukuran Kadar Air

Kadar air adalah persentase kandungan air dari suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis) (AOAC 1984). Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis 100 persen, sedangkan kadar air berat kering lebih dari 100 persen. Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan (Winarno 1997). Perubahan kadar air tepung kentang pada berbagai kemasan yang disimpan pada suhu 20oC, 30oC, dan 40oC dapat dilihat pada Lampiran 2. Grafik hubungan antara lama penyimpanan dan kadar air dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.

Gambar 5. Kadar air tepung kentang dalam kemasan PP pada beberapa suhu dan lama penyimpanan

R² = 0,954 R² = 0,954

R² = 0,581 0,00

2,00 4,00 6,00 8,00 10,00

0 5 10 15

K

ad

ar

ai

r

(%

)

Waktu (minggu)

kemas PP; suhu 20 kemas PP; suhu 30 kemas PP; suhu 40


(48)

47 Gambar 6. Kadar air tepung kentang dalam kemasan LDPE pada beberapa

suhu dan lama penyimpanan

Perubahan kadar air tepung kentang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya sifat higroskopis dan kemasan. Higrokopis adalah kemampuan suatu zat untuk menyerap molekul air dari lingkungannya. Higroskopis merupakan salah satu karakteristik penting dari produk yang didehidrasi atau dikeringkan. Jika kelembaban relatif lingkungan tinggi, bahan akan menyerap sejumlah air dari lingkungan untuk menyesuaikan dengan kelembaban relatif lingkungan. Hal ini menyebabkan nilai kadar air mengalami peningkatan.

Perubahan kadar air tepung kentang selama penyimpanan dipengaruhi oleh interaksi suhu penyimpanan dan kemasan. Peningkatan kadar air ini menyebabkan peningkatan laju reaksi pencoklatan tepung kentang. Semakin tinggi kadar air tepung kentang maka indeks pencoklatan tepung semakin tinggi. Hal ini menyebabkan kecerahan tepung semakin menurun. Nilai kadar air tertinggi selama 12 minggu penyimpanan adalah 7.83% pada tepung kentang yang dikemas dengan LDPE dan disimpan pada suhu 30oC. Nilai kadar air terendah adalah 3.56% pada tepung kentang yang dikemas dengan PP dan disimpan pada suhu 40oC.

Jumlah uap air yang dapat bertransmisi melalui kemasan dipengaruhi oleh permeabilitas kemasan tersebut. Permeabilitas uap air yang tinggi menyebabkan jumlah uap air yang dapat bertransmisi melalui kemasan tersebut tinggi (Thompson 1998). Laju transmisi uap air pada kemasan LDPE lebih besar dari kemasan PP. Hal ini menyebabkan laju peningkatan kadar air pada

R² = 0,307 R² = 0,978

R² = 0,885

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00

0 5 10 15

K

ad

ar

ai

r

(%

)

Waktu (minggu)

kemas LDPE; suhu 40 kemas LDPE; suhu 20 kemas LDPE; suhu 30


(49)

48 kemasan LDPE lebih tinggi dibandingkan kemasan lain yang memiliki transmisi uap air lebih kecil (Thompson 1998). Standar maksimum kadar air tepung di pasaran menurut SNI 3751.2009 maksimum sebesar 14%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kadar air tepung kentang selama penyimpanan masih berada di bawah standar nilai maksimum.

Tepung kentang yang dikemas dalam suhu tinggi (40oC) mengalami proses pengeringan selama penyimpanan. Suhu penyimpanan berkolerasi dengan uap air, jika suhu penyimpanan tinggi maka uap air akan bergerak keluar dari bahan sehingga kadar air bahan menurun. Pada suhu rendah laju reaksi berjalan lambat dibanding suhu tinggi (Purwanti 2004). Perubahan kadar air seperti yang ditunjukkan Gambar 5 dan 6 menunjukkan arah kemiringan atau slope yang berbeda. Hal ini menyebabkan kadar air tidak dapat digunakan sebagai parameter kritis dalam pendugaan umur simpan.

2. Pengukuran Warna

Warna bahan pangan selama penyimpanan akan mengalami perubahan yang dipengaruhi karakteristik kemasan dan kondisi penyimpanan. Hal tersebut dapat dilihat dari penurunan nilai L* (kecerahan) menggunakan chromameter Minolta CR-200 selama penyimpanan. Perubahan warna tepung kentang dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.

Gambar 7. Nilai L* (kecerahan) dalam kemasan PP pada beberapa suhu dan lama penyimpanan

R² = 0,961

R² = 0,944 R² = 0,814

96,20 96,40 96,60 96,80 97,00 97,20 97,40 97,60 97,80 98,00 98,20

0 20 40 60 80 100

K

ec

er

ah

an

(

L

*)

Waktu (minggu)

kemas PP; suhu 20 kemas PP; suhu 30 kemas PP; suhu 40


(50)

49 Gambar 8. Nilai L* (kecerahan) dalam kemasan LDPE pada beberapa suhu dan

lama penyimpanan

Sistem notasi Hunter menggunakan tiga dimensi warna, yaitu L* menyatakan warna kecerahan, dengan nilai dari 0 (hitam gelap) sampai 100 (putih terang). a* menyatakan warna kromatik campuran merah - hijau dengan nilai + a* untuk warna merah 0-100 dan nilai –a* untuk warna hijau 0-(-80); b* menyatakan warna kromatik campuran biru - kuning dengan nilai +b* dari 0-70 untuk warna biru dan –b* dari nilai 0 – (-0-70) untuk warna kuning (Bintoro et al. 2006). Tepung kentang mengalami perubahan warna dari putih cerah menjadi gelap (putih kecoklatan) selama penyimpanan.

Reaksi pencoklatan dapat menyebabkan warna produk menjadi gelap atau penurunan kecerahan yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya (Gerrad dan Fayle 2002):

a. Pigmen-pigmen alami biasanya mengalami perubahan kimia sebagaimana yang terjadi pada proses pematangan buah-buahan. Pigmen juga sangat sensitif terhadap perubahan kimia dan fisika selama pengolahan, terutama panas yang sangat berpengaruh terhadap pigmen bahan pangan.

b. Warna disebabkan oleh reaksi kimia antara gula dan asam amino dari protein yang dikenal sebagai reaksi pencoklatan atau reaksi Maillard.

Kadar air yang terus meningkat selama penyimpanan dapat mempercepat laju reaksi pencoklatan dan meningkatkan indeks pencoklatan tepung dan menurunkan kecerahan tepung kentang. Suhu penyimpanan tinggi meningkatkan laju reaksi pencoklatan sehingga tepung menurun nilai

R² = 0,973

R² = 0,870

R² = 0,930 95,00

95,50 96,00 96,50 97,00 97,50 98,00 98,50

0 20 40 60 80 100

K

ec

er

ah

an

(

L

*)

Waktu (minggu)

kemas LDPE; suhu 20 kemas LDPE; suhu 30 kemas LDPE; suhu 40


(51)

50 kecerahannya. Kecepatan reaksi termasuk enzimatik dan non-enzimatik rata-rata meningkat dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu 10oC (Sampebatu 2009).

Interaksi yang terjadi antara kemasan dan suhu penyimpanan mempengaruhi kecerahan tepung. Laju transmisi O2 dan uap air kemasan PP

lebih kecil jika dibandingkan dengan kemasan LDPE sehingga PP memberikan perlindungan terhadap peningkatan laju reaksi lebih baik dibanding LDPE. Tepung kentang yang dikemas dengan kemasan PP dan disimpan pada suhu 20oC paling baik dalam mempertahankan kecerahannya. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai L* pada akhir masa penyimpanan yaitu sebesar 97.28. Nilai L* tersebut mengalami penurunan yang kecil jika dibandingkan dengan nilai pada awal penyimpanan yaitu sebesar 97.94. Penurunan intensitas kecerahan terbesar terjadi pada tepung kentang yang dikemas dengan kemasan LDPE dan disimpan pada suhu 40oC. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai kecerahan (L*) yang sebesar 95.39.

Warna tepung akan berpengaruh terhadap warna pangan olahan atau produk yang dihasilkan. Warna tepung yang putih akan menghasilkan produk yang kuning kecokelatan sedangkan warna tepung yang agak kekuningan akan menghasilkan produk yang warnanya lebih cokelat.

3. Whiteness Index (WI)

Whiteness Index (WI) adalah suatu nilai yang mengkolerasikan peringkat visual keputihan suatu benda yang memiliki permukaan putih yang ditunjukkan oleh satu nilai. Metode yang umum digunakan untuk pengukuran whiteness index adalah CIE whiteness Index. Tingkat warna putih ini dikorespondenkan dengan preferensi konsumen untuk produk seperti gula, beras dan tepung.

Berdasarkan hasil pengukuran whiteness index pada tepung kentang didapatkan grafik WI selama masa simpan 12 minggu dalam Polyprophylene (PP) dan Low Density Polyethylene (LDPE). Grafik WI tepung kentang tidak menunjukkan tren perubahan yang stabil, sehingga didapatkan nilai R2 yang kecil yaitu dibawah 46,1%. Sehingga diramalkan bahwa pengaruh lama waktu penyimpanan terhadap perubahan WI hanya sebesar <46,1%.


(52)

51 Gambar 9. Nilai WI dalam kemasan PP pada beberapa suhu dan lama

penyimpanan

Gambar 10. Nilai WI dalam kemasan PP pada beberapa suhu dan lama penyimpanan

Namun, pada pengukuran kecerahan tepung kentang selama penyimpanan 12 minggu dalam kemasan PP dan LDPE menunjukkan lama waktu dan kondisi penyimpanan berpengaruh terhadap kecerahan tepung kentang. Tepung kentang yang disimpan dalam kemasan PP dan disimpan dalam suhu 20oC, 30oC, dan 40oC mengalami penurunan. Nilai R2 yang diperoleh berkisar dari 95.7% sampai 98.2%. Hal ini menunjukkan bahwa waktu dan kondisi penyimpanan berpengaruh sebesar 95.7% sampai 98.2% pada perubahan kecerahan tepung kentang. Demikian pula pada tepung kentang yang disimpan pada kemasan LDPE PP dan disimpan dalam suhu 20oC, 30oC, dan 40oC. Pada kondisi ini ditunjukkan bahwa waktu dan dan kondisi penyimpanan berpengaruh sebesar 89,5% sampai 96,9%.

R² = 0,461 R² = 7E-05

R² = 0,000

87 88 89 90 91 92

0 2 4 6 8 10 12 14

W h it e n e ss I n d e k s waktu (minggu)

pp 20 pp 30 pp 40

R² = 0,063

R² = 0,209 R² = 0,170 87 88 89 90 91 92 93

0 2 4 6 8 10 12 14

W h it e n e ss I n d e k s waktu (minggu)

LDPE 20 LDPE 30 LDPE 40


(53)

52 Warna putih tepung juga dipengaruhi oleh dua jenis parameter yaitu nilai lightness dan yellowness. Nilai lightness salah satunya dipengaruhi oleh besar partikel tepung sedangkan nilai yellowness dipengaruhi oleh kandungan xantofil dan karoten dalam bahan (Croes 1961). Nilai lightness adalah nilai yang menjelaskan tingkat kercerahan bahan dengan nilai 0 untuk warna hitam dan 100 untuk warna putih. Pengukuran warna yang dilakukan dengan alat Chromameter menunjukkan bahwa nilai kecerahan warna yang makin kecil akan mengarah kearah warna coklat- kehitaman dan jika nilai kecerahan warna kearah besar maka akan berwarna kuning kearah putih (lebih cerah) (Bintoro et al. 2006). Namun, nilai lightness tidak cukup untuk menilai keputihan suatu bahan (Croes 1961). Oleh karena itu dilakukan pengukuran derajat pencoklatan pada penelitian tepung kentang.

4. Indeks Pencoklatan

Pencoklatan pada bahan pangan atau produk dapat diukur dengan beberapa cara. Pada tingkat paling sederhana melalui pemeriksaan visual dan dibandingkan dengan sampel standar atau dengan analisis citra. Pada tingkat berikutnya dengan sistem ekstrak. Bahan pangan diekstrak kemudian diukur tingkat pencoklatannya dengan menggunakan absorbansi pada panjang gelombang yang dipilih (420-470 nm) (Gerrad dan Fayle 2002). Hasil dari perubahan indeks pencoklatan berhubungan dengan perubahan warna tepung kentang, terutama perubahan warna kemerahan (kecoklatan) (Leeratanarak et al. 2005). Perubahan indeks pencoklatan dihasilkan dari adanya perubahan baik secara enzimatis maupun non enzimatis.

Reaksi pencoklatan enzimatis dipengaruhi oleh permeabilitas kemasan dan suhu penyimpanan. Pencoklatan enzimatis terjadi karena adanya reaksi enzim dengan substrat berupa senyawa fenolik dengan adanya O2. Reaksi

penting lainnya dalam pembentukan warna coklat adalah reaksi pencoklatan non enzimatis atau Maillard. Reaksi ini terjadi antara gula pereduksi yang merupakan degradasi karbohidrat kompleks dengan gugus amin membentuk kuinon. Reaktifitas kuinon berperan dalam pembentukan melanin yang berwarna coklat.


(1)

Lampiran 15. SNI tepung terigu

jenis uji satuan persyaratan

Keadaan:

serbuk normal (bebas bau asing) putih khas terigu

a. Bentuk -

b. Bau -

c. Warna -

Benda asing, serangga dalam semua bentuk stadia dan potongan yang tampak

- tidak ada

Kehalusan, lolos ayakan 212

$m (mesh No 70) (b/b) % min 95

Kadar Air (b/b) % maks. 14,5

Kadar Abu (b/b) % maks. 0,70

Kadar Protein (b/b) % min. 7,0

Keasaman

mg KOH/

100 g maks 50 Falling number (atas dasar detik min. 300

kadar air 14 %)

Besi (Fe) mg/kg min. 50

Seng (Zn) mg/kg min. 30

Vitamin B1 (tiamin) mg/kg min. 2,5 Vitamin B2 (riboflavin) mg/kg min. 4

Asam folat mg/kg min. 2

Cemaran logam:

a. Timbal (Pb) mg/kg maks. 1,0

b. Raksa (Hg) mg/kg maks. 0,05

c. Kadmium (Cd) mg/kg maks. 0,1

Cemaran Arsen mg/kg maks. 0,50

Cemaran mikroba:

a. Angka lempeng total koloni/g maks. 1 x 106

b. E. coli APM/g maks. 10

c. Kapang koloni/g maks. 1 x 104

d. Bacillus cereus koloni/g maks. 1 x 104


(2)

Lampiran 16. Contoh perhitungan Whiteness index (WI)

Whiteness index dari pengukuran dengan menggunakan chromameter dihitung berdasarkan rumus :

WI = 100 – (( 100-L*)2 + (a*)2 + (b*)2)1/2

Contoh : (tepung kentang penyimpanan suhu 20oC kemasan PP penyimpanan minggu ke-2)

Nilai L* = 97,90 Nilai a* = -1,86 Nilai b* = 11,34

Nilai-nilai tersebut kemudian dimasukan ke dalam rumus whiteness index yaitu :

WI = 100 – (( 100-97,90)2 + (-1,86)2 + (11,34)2)1/2 WI = 100 – (4,41 + 3,4596 + 128,5956) 1/2

WI = 100 – (136,4652) ½ WI = 100 – (11,6818) WI = 88,3182

WI = 88,32

Setelah dilakukan perhitungan whiteness index pada semua hasil pengamatan nilai L*, a*, b* sampel tepung kentang, dilakukan plot pada grafik hubungan antara waktu penyimpanan dan perubahan nilai WI.


(3)

y = 0,001x + 0,008 R² = 0,895 0,000

0,010 0,020 0,030

0 5 10 15

n il a i L* waktu

Hubungan nilai L* dan waktu

y = 0,096x - 4,810 R² = 0,803

-6,00 -4,00 -2,00 0,00

0 5 10 15

ln

L*

waktu

Hubungan ln L* dan waktu Lampiran 17. Perhitungan orde reaksi

Orde reaksi nol :

Orde reaksi diperoleh berdasarkan persamaan garis dari parameter mutu yang diamati. Persamaan garis tersebut diperoleh dengan memplot nilai parameter mutu pada sumbu y dan waktu penyimpanan pada sumbu x.

Contoh (indeks pencoklatan kemasan PP suhu penyimpanan 20oC)

Orde reaksi satu :

Orde reaksi diperoleh berdasarkan persamaan garis dari parameter mutu yang diamati. Persamaan garis tersebut diperoleh dengan memplot nilai parameter mutu menjadi nilai ln pada sumbu y dan waktu penyimpanan pada sumbu x.

Berdasarkan pada hasil nilai R2 persamaan garis yang diperoleh maka dipilih orde reaksi yang memiliki nilai R2 lebih besar.

waktu Nilai L* PP,20oC

0 0.006 14 0.010 28 0.016 42 0.018 56 0.018 70 0.020 84 0.022

waktu Nilai L* Ln (L*) PP,20oC PP,20oC

0 0,006 -5,12

2 0,010 -4,61

4 0,016 -4,14

6 0,018 -4,02

8 0,018 -4,02

10 0,020 -3,91

12 0,022 -3,82


(4)

Lampiran 18 Persamaan garis dan tabel hasil perhitungan nilai k untuk nilai L*

Berdasarkan Gambar 13 perubahan nilai L* dalam kemasan LDPE diperoleh persamaan garis lurus dari masing-masing suhu penyimpanan, yaitu:

Suhu 20 oC y = 97.93 – 0.066x R2 = 0.973 Suhu 30 oC y = 97.76 – 0.076x R2 = 0.870 Suhu 40 oC y = 97.66 – 0.204x R2 = 0.930 Contoh perhitungan :

Berdasarkan persamaan garis diatas nilai slope (k) diubah menjadi bentuk ln k sedangkan nilai suhu (T) diubah menjadi 1/T (Tabel 11).

Tabel 11 Nilai T, 1/T, k, dan ln k pada kemasan LDPE.

Suhu (oC) T (K) 1/T Slope (k) Ln k

20 293 0.00341 0.066 -2.7181

30 303 0.00330 0.076 -2.5770

40 313 0.00319 0.204 -1.5896

Berdasarkan tabel diatas dibuat grafik plot hubungan antara ln k (sumbu y) dan 1/T (sumbu x) sehingga diperoleh grafik seperti berikut :

Sehingga diperoleh persamaan garis y = 14.64 – 5130x R2 = 0.828

Nilai slope dari persamaan tersebut merupakan nilai –Ea/R dari persamaan Arrhenius sehingga diperoleh energi aktivasi sebagai berikut :

-Ea/R = -5130 R = 1.986 kal/mol K Ea = 2583.08157 kal/mol -4,0000

-3,0000 -2,0000 -1,0000 0,0000

0,00315 0,0032 0,00325 0,0033 0,00335 0,0034 0,00345

ln

k

1/T

ln k


(5)

Nilai intersept dari persamaan di atas merupakan nilai ln k0, sehingga : Ln k0 = 14.64

k0 = 2.280716 x 106

dengan demikian persamaan Arrhenius untuk laju perubahan warna (L*) pada tepung kentang adalah:

k = 2.280716 x 106.e-5130 (1/T)

Tabel 12 Nilai T dan k persamaan Arrhenius kemasan LDPE.

Suhu (oC) T (K) k

20 293 0.05678

30 303 0.10119

40 313 0.17381

Setelah diperoleh nilai k maka dilakukan perhitungan dengan rumus

t =

sehingga diperoleh umur simpan: Suhu 20oC atau 293 K : t = 97.95– .1

0.05678 = 208 hari = 6 bulan 27 hari

Suhu 30oC atau 303 K : t = 97.95– .1

0.10119 = 116 = 3 bulan 27 hari

Suhu 40oC atau 313 K : t = 97.95– .1

0.17381 = 68 = 2 bulan 8 hari

Berdasarkan Gambar 15 diperoleh persamaan garis lurus perubahan nilai L* dalam kemasan PP dari masing-masing suhu penyimpanan, yaitu:

Suhu 20 oC y = 98.00 – 0.059x R2 = 0.961 Suhu 30 oC y = 97.88 – 0.075x R2 = 0.944 Suhu 40 oC y = 97.70 – 0.094x R2 = 0.814

Tabel 13 Nilai T, 1/T, k, dan ln k pada kemasan PP. Suhu (oC) T (K) 1/T Slope (k) Ln k

20 293 0.00341 0.059 -2.8302

30 303 0.00330 0.075 -2.5903

40 313 0.00319 0.094 -2.3645

Tabel 14 Nilai T dan k persamaan Arrhenius kemsan PP.

Suhu (oC) T (K) k

20 293 0.05909

30 303 0.07515

40 313 0.09413


(6)

Lampiran 19 Persamaan garis dan tabel hasil perhitungan nilai k untuk indeks pencoklatan

Berdasarkan Gambar 17 diperoleh persamaan garis lurus dari masing-masing suhu penyimpanan, yaitu:

Suhu 20 oC y = 0.005 + 0.002x R2 = 0.982 Suhu 30 oC y = 0.004 + 0.004x R2 = 0.978

Suhu 40 oC y = 0.013x R2 = 0.957

Tabel 15 Nilai T, 1/T, k, dan ln k pada kemasan LDPE. Suhu (oC) T (K) 1/T Slope (k) Ln k

20 293 0.00341 0.002 -6.21461

30 303 0.00330 0.004 -5.52146

40 313 0.00319 0.013 -4.34281

Tabel 16 Nilai T dan k persamaan Arrhenius kemasan LDPE.

Suhu (oC) T (K) k

20 293 0.00199

30 303 0.00522

40 313 0.01288

Berdasarkan Gambar 19 diperoleh persamaan garis lurus dari masing-masing suhu penyimpanan, yaitu:

Suhu 20 oC y = 0.008 + 0.001x R2 = 0.895 Suhu 30 oC y = 0.001 + 0.004x R2 = 0.914 Suhu 40 oC y = 0.009 + 0.005x R2 = 0.969

Tabel 17 Nilai T, 1/T, k, dan ln k pada kemasan PP. Suhu (oC) T (K) 1/T Slope (k) Ln k

20 293 0.00341 0.001 -6.90776

30 303 0.00330 0.004 -5.52146

40 313 0.00319 0.005 -5.29832

Tabel 18 Nilai T dan k persamaan Arrhenius kemsan PP.

Suhu (oC) T (K) k

20 293 0.00196

30 303 0.00276

40 313 0.00605