BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Sikap Terhadap Poligami
1. Sikap
a. Pengertian Sikap
Secara historis, istilah sikap digunakan pertama kali oleh Herbert Spencer pada tahun 1862, dimana pada masa itu sikap diartikan sebagai
status mental seseorang Azwar, 1995. Istilah sikap masih terus digunakan hingga saat ini. Menurut
Sarwono 1993, sikap merupakan kecenderungan untuk merespon terhadap suatu objek, orang atau situasi tertentu secara positif atau negatif.
Sikap mengandung suatu penilaian emosional atau afektif, komponen kognitif atau pengetahuan tentang objek itu, serta konatif atau
kecenderungan untuk bertindak Sarwono, dalam Dayakisni Hudaniah, 2006.
Gerungan 1996 juga memiliki pendapat yang sama dengan Sarwono mengenai sikap, namun lebih mengarahkan sikap pada suatu
kecenderungan untuk bertindak terhadap suatu hal atau objek. Sedangkan Walgito 1991 memberikan definisi sikap secara
lebih kompleks, yaitu suatu organisasi pendapat, keyakinan individu mengenai objek atau situasi yang relatif tetap dan disertai perasaan tertentu
yang memberikan dasar kepada individu tersebut untuk merespon atau berperilaku sesuai dengan cara yang dipilihnya.
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah keadaan mental yang meliputi perasaan afeksi, pemikiran
kognisi dan predisposisi tindakan konasi yang dimiliki seseorang melalui proses sosialisasi serta memiliki pengaruh terhadap respon
individu pada obyek atau situasi yang berkaitan dengannya. b.
Komponen Sikap Komponen sikap terdiri dari tiga komponen yang saling
menunjang, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif Azwar, 1995.
Komponen kognitif tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang mengenai objek sikap tertentu. Dari
pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan atau kepercayaan tertentu mengenai objek sikap tersebut. Kepercayaan timbul
dari apa yang telah kita lihat atau apa yang telah kita ketahui. Berdasarkan apa yang telah kita lihat, ada kemungkinan terbentuk suatu ide mengenai
sifat atau objek, dan berdasarkan ide itu kepercayaan akan terus berkembang. Pengalaman pribadi, hal-hal yang diceritakan orang, dan
kebutuhan emosional kita sendiri merupakan determinan utama dalam terbentuknya kepercayaan seseorang.
Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen afektif
dapat disebut sebagai perasaan yang dimiliki individu terhadap sesuatu. Reaksi emosional ini banyak dipengaruhi oleh kepercayaan yang ada
dalam diri seseorang terhadap suatu objek tertentu, dan bersifat evaluatif. Sedangkan komponen konatif menunjukkan bagaimana
kecenderungan perilaku individu berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Bagaimana seseorang berperilaku dalam situasi tertentu dan
bagaimana kepercayaan dan perasaan seseorang terhadap stimulus tertentu. Kecenderungan berperilaku secara konsisten dan selaras dengan
kepercayaan dan perasaan yang ada dalam diri individu akan membentuk sikap individual.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sikap mempunyai tiga komponen yaitu komponen kognitif, komponen afektif,
dan komponen perilaku. Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Komponen afektif
merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan perasaan menyangkut masalah emosional dan bersifat evaluatif, sedangkan
komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.
c. Faktor-faktor Pembentuk Sikap
Sikap terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Interaksi sosial itu meliputi hubungan antara individu dengan
lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis di sekelilingnya. Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu
terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah :
1. Pengalaman Pribadi
Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan atau penghayatan,
seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis. Sehubungan dengan hal ini, Middlebrook 1974
mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu objek psikologis, seseorang cenderung akan membentuk
sikap negatif terhadap objek tersebut. Pembentukan kesan atau tanggapan terhadap objek
merupakan proses kompleks dalam diri individu yang melibatkan individu yang bersangkutan, situasi dimana tanggapan itu
terbentuk, dan atribut atau ciri-ciri objektif yang dimiliki oleh stimulus. Untuk menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman
pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. 2.
Pengaruh Orang lain yang Dianggap Penting Orang lain di sekitar merupakan salah satu diantara
komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap seseorang. Seseorang yang dianggap penting, seseorang yang diharapkan
persetujuannya, seseorang yang tidak ingin dikecewakan, atau seseorang yang berarti akan banyak mempengaruhi pembentukan
sikap seseorang terhadap sesuatu. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. Pengaruh Kebudayaan
Seorang ahli psikologi yang terkenal, Skinner menekankan pengaruh lingkungan dalam membentuk pribadi seseorang.
Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pulalah yang memberi corak pengalaman individu-
individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya. 4.
Media Massa Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa
mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam menyampaikan informasi, media massa
membawa pesan-pesan yang bersifat sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Pesan-pesan sugestif yang dibawa
oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap
tertentu. 5.
Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu
sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap, hal ini dikerenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep
moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara yang boleh dan tidak boleh dilakukan diperoleh
dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Akhirnya konsep yang terbentuk akibat pemahaman-pemahaman
ikut berperan dalam menentukan sikap individu terhadap segala sesuatu.
6. Pengaruh Faktor Emosional
Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang suatu
bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian
dapat merupakan sikap yang sementara, namun dapat pula sebagai sikap yang bertahan lama.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap seseorang, yaitu melalui
pengalaman pribadi yang dialami sehari-hari, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan yang ada, juga media massa yang
memberikan berbagai informasi sehingga menimbulkan ide untuk bersikap. Disamping itu lembaga pendidikan dan lembaga agama serta
pengaruh faktor emosional individu juga ikut mempengaruhi terbentuknya sikap seseorang terhadap suatu objek.
2. Poligami
a. Pengertian Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, dari kata “Poly” berarti banyak dan “Gamein” berarti kawin atau menikah. Dalam
pengertian bahasa laterlag, poligami memiliki arti kawin banyak atau PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menikah beberapa kali dalam waktu yang bersamaan, bisa seorang pria menikah dengan banyak wanita atau seorang wanita menikah dengan
banyak pria, atau juga banyak pria menikah dengan banyak wanita Suprapto, 1990.
Menurut tinjauan Antropologi Sosial Sosio Antropologi, poligami mempunyai pengertian seorang pria menikah dengan banyak
wanita, atau sebaliknya. Pada dasarnya poligami dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Polyandri, yaitu pernikahan antara seorang wanita dengan beberapa
orang pria. 2.
Poligini, yaitu pernikahan antara seorang pria dengan banyak wanita.
Namun dalam perkembangannya, istilah poligini jarang sekali digunakan, bahkan bisa dikatakan istilah ini tidak dipakai lagi di
kalangan masyarakat, kecuali dikalangan antropolog saja. Maka istilah poligami secara langsung menggantikan istilah poligini.
Dengan melihat penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa pengertian dari poligami yaitu pernikahan antara seorang pria
dengan beberapa orang wanita. b.
Motivasi dan Tujuan Poligami Melihat pengertian dari poligami, yaitu pernikahan antara
seorang pria dengan beberapa orang wanita, maka tentu ada motivasi dibalik pernikahan yang “berbeda” ini.
Motivasi dan tujuan dari poligami dilakukan antara lain adalah Suprapto, 1990 :
1. Motivasi seksual, yaitu motivasi yang digunakan untuk
memberikan kepuasan seksual bagi yang bersangkutan. 2.
Motivasi ekonomi, yaitu motivasi yang menyangkut kebutuhan materi. Seseorang melakukan poligami untuk memperbesar
usahanya. Biasanya mereka menikah lagi dengan seseorang yang sudah sukses.
3. Motivasi politik, yaitu motivasi yang menyangkut kekuasaan
politik atau pertimbangan politis demi keuntungan pribadi yang bersangkutan.
4. Motivasi perjuangan, yaitu baik perjuangan politik, perjuangan
keagamaan, perjuangan ideologi dan sebagainya. 5.
Motivasi generasi, yaitu motivasi untuk mendapatkan keturunan. 6.
Motivasi kebanggaan diri, yaitu seseorang yang melakukan poligami beranggapan bahwa mereka yang dapat melaksanakan
poligami bukanlah sembarang orang, karena hanya orang-orang pilihan yang dapat melaksanakannya.
7. Motivasi keagamaan dan menalurikan sosial budaya tertentu, yaitu
motivasi untuk menjalankan hal-hal yang dianjurkan atau diperbolehkan oleh agama dan motivasi untuk terus menghidupkan
budaya tertentu yang sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka.
Ternyata pernikahan poligami memiliki beberapa motivasi dan tujuan, diantaranya yaitu motivasi seksual, motivasi ekonomi,
motivasi politik, motivasi perjuangan, motivasi generasi, motivasi kebanggaan diri dan motivasi keagamaan.
c. Dampak Poligami terhadap Wanita
Dampak yang umum dialami oleh istri atau wanita yang suaminya melakukan pernikahan poligami sangat beragam. Ada
dampak positif dan dampak negatif yang muncul pada diri wanita. Adapun dampak negatif pada diri wanita yang suaminya melakukan
pernikahan poligami yaitu Setiati, 2007 : 1.
Dalam diri istri akan muncul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat
ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya. 2.
Istri akan merasa terlantar secara ekonomi, sehingga sangat kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini dikarenakan
selama pernikahan, istri sudah mengalami ketergantungan secara ekonomi kepada suami.
3. Sering terjadi tindak kekerasan terhadap wanita dan anak-anak,
baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. 4.
Muncul perasaan tidak aman pada wanita, karena pada umumnya ada banyak laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu akan secara
diam-diam melakukan pernikahan dengan wanita lain di bawah tangan.
5. Kemungkinan terkena penyakit HIV atau AIDS lebih besar karena
dikawatirkan poligami memunculkan praktek porstitusi dengan berhubungan seks lebih dari satu pasangan.
Selain dampak negatif, adapun dampak positif yang dialami wanita atau istri, yaitu Setiati, 2007 :
1. Melatih sabar, yaitu berusaha memandang poligami sebagai bagian
dari tujuan Tuhan untuk menguji tingkat kesabaran dan kesolehan sebagai seorang wanita, istri, dan ibu dalam mengendalikan
amarah, cemburu dan hal-hal lain yang bersifat duniawi. 2.
Melatih ikhlas dalam berbagi kebahagiaan dengan wanita lain, yaitu berusaha memandang bahwa segala sesuatu di dunia ini
hanya bersifat sementara, dan lebih baik melatih diri untuk mengikhlaskan segala sesuatu sehingga kelak mendapat pahala
dimata Tuhan. 3.
Melatih berpasrah hati semata-mata karena Tuhan. 4.
Melatih hidup sehat dan bersih, yaitu dengan berpoligami istri menjaga agar suami terhindar dari hubungan seks bebas dan hidup
sehat juga bersih dimata Tuhan. 5.
Melatih diri untuk selalu meningkatkan kualitas, yaitu dengan berpoligami akan membuat setiap istri termotivasi untuk selalu
menjaga dan memperbaiki kualitas diri sehingga suami tidak lagi berusaha mencari wanita lain.
6. Melatih untuk tidak memiliki sifat dengki, karena dengan dengki
istri akan semakin depresi dan tidak akan menarik dimata suami maupun orang banyak. Maka dengan berpoligami, istri berlatih
untuk semakin mendekatkan diri pada Tuhan. Demikianlah telah diuraikan dampak positif dari poligami
yaitu, melatih kesabaran istri, melatih ikhlas, melatih berpasrah pada Tuhan, melatih hidup sehat dan bersih, dan juga melatih untuk tidak
memiliki sifat dengki dengan terus meningkatkan kualitas diri. Disamping itu juga dampak negatif dari poligami pada wanita, yaitu
munculnya perasaan inferior, tidak aman, kemungkinan terkena penyakit kelamin, dan muncul tindak kekerasan baik kekerasan fisik,
ekonomi, seksual maupun psikologis. Poligami akan membawa dampak positif atau negatif, hal itu tergantung dari bagaimana wanita
menikah memandang poligami. d.
Poligami dari Sudut Pandang Islam Umat Islam mengenal poligami sejak zaman Nabi
Muhammad. Ketika itu, poligami tidak menjadi perdebatan orang. Keputusan Nabi untuk melakukan poligami dengan wanita-wanita
diantaranya ada wanita janda dan perawan dilandasi oleh satu tujuan mulia, yaitu untuk melindungi, menjaga harkat dan martabat mereka
sebagai wanita di mata masyarakat Suprapto, 1990. Poligami dalam Islam adalah mubah boleh dan halal. Islam
pada dasarnya menganut sistem monogami, namun memberikan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kelonggaran dengan diperbolehkannya poligami terbatas. Islam tidak menutup rapat-rapat kemungkinan adanya laki-laki tertentu untuk
poligami, tetapi tidak semua laki-laki harus berbuat demikian, karena tidak semua memilki kemampuan untuk berpoligami Hamidy, 1983.
Dikatakan poligami terbatas karena poligami menurut Islam bukanlah poligami mutlak sebebas-bebasnya, tetapi dibatasi oleh
syarat-syarat tertentu sebagai berikut Hamidy, 1983 : 1.
Jumlah istri yang dipoligami paling banyak empat orang wanita. Seandainya salah satu diantaranya ada yang meninggal atau
dicerai, laki-laki tersebut bisa mencari ganti asalkan jumlahnya tidak melebihi empat orang pada waktu yang sama.
2. Laki-laki harus mampu berbuat adil pada istri-istrinya, lebih baik
jika laki-laki tersebut mampu dari segi ekonomi. Dengan adanya dua syarat diatas untuk dapat melaksanakan
poligami, maka dapat diketahui bahwa konsekuensi terberat adalah konsekuensi keadilan. Bersikap adil dalam poligami sesungguhnya
adalah hal yang tidak mudah. Hal ini karena bentuk perkawinan poligami tidak seperti dalam perkawinan monogamy, dimana suami
hanya memiliki satu orang istri dan hak-hak dalam tali perkawinan otomatis hanya menjadi milik istri seorang Hakeem, 2005.
Dalam perkawinan poligami, syarat mutlak yang harus dimiliki laki-laki suami adalah ia harus memiliki sikap adil yang
merata pada isti-istri yang dinikahinya. Sikap adil yang dimaksudkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tidak hanya pemerataan dalam pembagian waktu terhadap anak dan istri-istri secara bergilir, tetapi juga sesuai dengan yang diajarkan Nabi,
yaitu seorang suami harus bisa bersikap adil dalam pemberian materi, cinta, perhatian, kasih sayang, dan komunikasi Hakeem, 2005.
3. Sikap terhadap Poligami
Setelah mengetahui definisi dari sikap juga poligami, maka dapat diketahui sikap terhadap poligami, yaitu keadaan mental yang meliputi
perasaan atau afeksi, pemikiran atau kognisi dan predisposisi tindakan atau konasi, yang dimiliki seseorang terhadap pernikahan poligami.
B.
Wanita Menikah
1. Pengertian Wanita Menikah
Sebelum masuk ke dalam pengertian wanita menikah, akan diketahui terlebih dahulu definisi dari nikah. Nikah menurut Kartono
merupakan menifestasi dari ikatan janji setia antara pria dan wanita, yang memberikan pembatasan-pembatasan dan pertanggungan jawab tertentu,
baik pada sang suami maupun pada sang istri Kartono, 1992. Pernikahan dikatakan sah apabila pernikahan itu dilakukan menurut hukum
masyarakat atau agama dan kepercayaan Hamidy, 1983. Seorang wanita menikah biasanya berada pada tahap usia dewasa
dini, yaitu usia 18 tahun hingga 40 tahun. Pada usia tersebut biasanya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
seseorang mengawali perubahan dalam hidupnya dengan melakukan pernikahan. Pengertian wanita menikah menurut Undang-Undang Pokok
Perkawinan Nomor 1 1974, adalah seorang wanita yang telah melakukan proses pernikahan baik melalui jalur hukum maupun agama setiati, 2007.
Dari beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan, bahwa wanita menikah adalah seorang wanita yang telah melakukan proses
pernikahan baik melalui jalur hukum maupun agama, yaitu memiliki ikatan janji setia dengan suaminya yang masing-masing memiliki batasan
dan pertanggungan jawab tertentu
2. Konsep Peranan dalam Pernikahan
Konsep-konsep tentang peranan pria dan wanita dalam pernikahan menurut Mappiare 1983 dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
a. Konsep Tradisional
Konsep tradisional mengutamakan adanya pola perilaku yang memberikan perintah dan adanya penghargaan tinggi terhadap kaum
pria. Menurut konsep ini, wanita menjalankan pekerjaannya dengan sadar dan kuasa penuh untuk melayani keperluan suami dan anak-
anak. Sebagai ibu rumah tangga, wanita memberikan waktunya untuk memelihara dan melatih anak-anak, mengasuh anak sesuai dengan pola
masyarakat disekitarnya. b.
Konsep Moderat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Konsep ini bukanlah konsep yang ekstrim tradisional dan ekstrim perkembangan, namun berada ditengah-tengah. Konsep
moderat mengakui juga adanya individualitas seseorang yang mempunyai hak untuk mengembangkannya sendiri, namun tidaklah
mengutamakannya. Dengan begitu, wanita mempunyai hak untuk bekerja diluar rumah, akan tetapi peranan dan tugas pokoknya tetaplah
berpegang pada nilai luhur naluri kewanitaannya. c.
Konsep Perkembangan Konsep ini menekankan pada individualitas seseorang baik
suami maupun istri. Pada konsep ini, pria mengambil bagian dalam memelihara anak dan dalam tugas-tugas rumah tangga yang lain. Bagi
istri dan anak-anak tidak ada larangan untuk memperoleh penghasilan tambahan maupun pengembangan hobi di luar rumah. Wanita dalam
konsep ini mempunyai tugas dan kerja tersendiri dalam mengembangkan potensi-potensi mereka. Di rumah, mereka
mempunyai peranan sama dengan suami mereka. Ibu rumah tangga dalam konsep ini membimbing anak sesuai dengan kemampuan anak.
Demikianlah konsep peranan dalam pernikahan, yaitu konsep tradisional, konsep moderat, dan konsep perkembangan. Sedangkan
menurut Kartono 1992, wanita dalam pernikahan memiliki beberapa peranan, yaitu :
a. Peranan sebagai istri
Meliputi sikap hidup yang mantap, bisa mendampingi suami dalam berbagai situasi disertai rasa kasih sayang, kecintaan, loyalitas
dan kesetiaan, dan mendorong suami dalam karirnya. b.
Peranan sebagai partner seks Mendukung terciptanya hubungan seks yang memuaskan tanpa
adanya gangguan dan didasari oleh kehidupan psikis yang stabil dan adanya kesediaan untuk memahami partnernya.
c. Peranan sebagai ibu dan pendidik
Dapat memenuhi perannya dengan menciptakan iklim yang gembira dan bebas sehingga suasana rumah tangga menjadi semarak
dan dapat memberikan rasa aman, bebas, hangat, menyenangkan, serta penuh kasih sayang.
d. Peranan sebagai pengatur rumah tangga
Terdapat relasi formal dan pembagian kerja dimana suami sebagai pencari nafkah dan istri pengurus rumah tangga namun juga
dapat berperan serta dalam mencari nafkah. e.
Peranan sebagai partner hidup Menjadi seorang yang bijaksana, mampu berpikiran luas, dan
sanggup mengikuti karir suami. Dengan demikian, akan terdapat persamaan pandangan, perasaan, dan latar belakang kultural yang
sesuai dan sederajat, sehingga dapat mengurangi berbagai salah paham dan memperkecil resiko perselisihan dan perceraian.
Melihat penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa peranan wanita dalam pernikahan menurut Kartono, yaitu
peranan sebagai istri, partner seks, ibu dan pendidik, pengatur rumah tangga, dan sebagai partner hidup.
3. Perubahan-perubahan pada Wanita Menikah
Wanita, terutama para istri, banyak menghadapi masalah psikologis karena adanya berbagai perubahan yang dialami saat menikah,
antara lain perubahan peran sebagai istri dan ibu rumah tangga, bahkan juga sebagai ibu bekerja atau berperan ganda.
Bernard dalam Abbott, 1992 menyebutkan bahwa wanita menikah memiliki kesehatan mental yang lebih rendah dan dilaporkan
mengalami kecemasan, fobia, serta depresi jika dibandingkan dengan pria. Ia menjelaskan adanya tiga perubahan besar dalam kehidupan
wanita yang telah menikah, yang dikenal sebagai The Shock Theory of Marriage
, yaitu : a.
Perubahan yang menimbulkan dependensi pada wanita. Setelah menikah biasanya seorang wanita akan kehilangan
sebagian identitas pribadinya serta lebih mengutamakan mengikuti suaminya. Hal ini menimbulkan ketergantungan pada suami, yang
pada tingkat tertentu dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan kontrol diri serta rasa percaya dirinya, sehingga lebih mudah
mengalami rasa cemas, panik, frustasi, stress, maupun depresi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
b. Perubahan yang mempengaruhi harga diri.
Wanita yang telah menikah menyadari bahwa norma masyarakat lebih menganggap istri sebagai pendamping suami semata,
sehingga cenderung mengalah, mengikuti dan menyesuaikan diri dengan pola perilaku dan kebiasaan suami. Pergaulan dan kontak
sosial mereka juga menjadi lebih terbatas dibanding sebelum menikah. Hal ini turut mempengaruhi pula pada harga diri mereka.
c. Perubahan peran sebagai ibu rumah tangga.
Seorang istri yang tidak bekerja dapat menjadi frustasi akibat perannya sebagai ibu rumah tangga. Pada umumnya pekerjaan
mengurus rumah tangga adalah pekerjaan tanpa upah, terus-menerus tiada hentinya serta melelahkan. Tidak jarang rutinitas yang ada
menimbulkan kejenuhan dan rasa kesepian, terlebih lagi kerena lingkup sosial yang terbatas. Akibatnya ia menjadi makin tergantung
pada suami untuk mendapatkan dukungan finansial, emosional, dan perhatian, termasuk teman bertukar pikiran. Apabila kebutuhan
tersebut tidak terpenuhi, dapat membawa pada kondisi depresi. Setelah melihat penjelasan pada The Shock Theory of Marriage,
maka dapat diketahui bahwa ada tiga perubahan besar dalam kehidupan wanita yang telah menikah, yaitu perubahan yang menimbulkan
dependensi pada wanita, perubahan yang mempengaruhi harga diri, dan perubahan peran sebagai ibu rumah tangga.
C. Tingkat Pendidikan
1. Pengertian Tingkat Pendidikan
Sebelum membahas tingkat pendidikan, perlu untuk mengetahui pengertian dari pendidikan itu sendiri. Pengertian pendidikan menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991:232. Sedangkan menurut Drs. Sumadi Suryabrata 2002, pendidikan
adalah usaha manusia pendidik untuk dengan penuh tanggung jawab membimbing anak-anak didik ke kedewasaan. Melalui proses ini maka
seseorang akan memperoleh pengertian tentang dirinya dan lingkungannya. Melihat beberapa pengertian dari pendidikan, maka dapat
dikatakan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha yang dilaksanakan dengan sadar untuk mengubah tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik,
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Kualitas ini menentukan daya pikir, kreativitas, dan sikap dalam menghadapi setiap
permasalahan. Disamping itu perlu diketahui pula tujuan dari pendidikan. Salah
satunya adalah Benjamin S. Bloom dan kawan-kawan dalam Supratiknya, 2005 yang mengungkapkan bahwa tujuan dari pendidikan mencakup bidang
kognitif kecerdasan, pengetahuan, afektif nilai, sikap, budi pekerti dan psikomotorik kesehatan, keterampilan.
Setelah mengetahui definisi dari pendidikan beserta tujuannya, maka diketahui pula bahwa dalam proses pendidikan terdapat sebuah
tingkatan, dimana setiap individu dituntut untuk melewati setiap tingkatan- tingkatannya. Menurut UU Republik Indonesia No.20 tahun 2003 bab I
pasal 1, definisi tingkat pendidikan yaitu tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang
akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Tingkat pendidikan terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi
BabVI pasal 14, berikut penjelasan dari masing-masing tingkat pendidikan :
a. Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah
Dasar SD dan Madrasah Ibtidaiyah MI atau bentuk lain yang sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama SMP dan Madrasah
Tsanawiyah MTs, atau bentuk lain yang sederajat Pasal 17. b.
Pendidikan Menengah Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar, yang
terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas
SMA, Madrasah Aliyah MA, Sekolah Menengah Kejuruan SMK, dan Madrasah Aliyah Kejuruan MAK, atau bentuk lain yang sederajat
Pasal 18. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
c. Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma,
sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik,
sekolah tinggi, institut, atau universitas Pasal 19 20. Setelah melihat penjelasan mengenai tingkat-tingkat
pendidikan, maka dapat diketahui ada beberapa jenjang pendidikan, yaitu Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi.
2. Peranan Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan memiliki peranan yang cukup besar dalam pembentukan pribadi seseorang. Diketahui dari tingkat pendidikan yang
berbeda akan menghasilkan pribadi seseorang yang berbeda pula Monks dkk, 2001. Bertolak dari tujuan pendidikan yang mencakup bidang
kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dikemukakan oleh Benjamin S. Bloom dkk dalam Supratiknya, 2005, tingkat pendidikan juga
memberikan peranan dalam diri peserta didik mencakup ketiga bidang tersebut.
Tingkat pendidikan memberi pengaruh dalam bidang kognitif pada diri seseorang. Seperti dalam jurnal penelitian yang dilakukan oleh
Nurina Hakim Nuryoto mengenai memori lanjut usia ditinjau dari aktivitas dan tingkat pendidikan. Jurnal tersebut mengatakan bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin banyak pengalaman, sehingga akan berbeda dalam cara berfikir, bersikap dan
bertingkah laku bila dibandingkan dengan individu yang lebih rendah tingkat pendidikannya Nurina Hakim Nuryoto, 2005. Seseorang
dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki pengetahuan yang lebih luas dan mampu berfokus pada informasi yang paling relevan
untuk mengevaluasi kekuatan dan kelemahan alternatif jawaban dari setiap permasalahan yang sedang mereka hadapi. Hal ini juga sejalan dengan
pendapat UNESCO Kompas, 8 Februari 2000 yang mengatakan bahwa dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, seseorang akan lebih mampu
untuk menumbuhkan rasionalitas dan lebih berfikir kritis. Tingkat pendidikan juga turut mempengaruhi perkembangan
emosional anak-anak didiknya. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ratriana Yuliastuti dengan jurnalnya ‘Perbedaan Sikap Pria Terhadap
Pelecehan Seksual Ditinjau dari Tingkat Pendidikan’, mengatakan bahwa seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki
pertimbangan emosional, seperti memiliki nilai atau budi pekerti dan sikap yang lebih matang dibandingkan mereka dengan tingkat pendidikan yang
lebih rendah Yuliastuti, 2001. Hal ini sejalan dengan pendapat UNESCO Kompas, 8 Februari 2000 yang mengatakan bahwa dengan pendidikan
yang lebih tinggi seseorang akan lebih mampu belajar secara emosional, yaitu mereka mampu membentuk kesadaran bahwa mereka hidup bersama
orang lain, namun mampu menanamkan sikap toleransi, cinta damai, dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penghormatan terhadap hak asasi manusia. Disamping itu, masih menurut UNESCO, seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan
lebih mampu berkembang sebagai pribadi mandiri, berani untuk bersikap kritis dan penuh rasa harga diri.
Disamping bidang kognitif dan emosional, tingkat pendidikan juga mempengaruhi perilaku seseorang. Sesuai dengan jurnal penelitian
yang dilakukan oleh Muh. Ghazali 2003 mengenai perilaku memilih produk pembalut ditinjau dari tingkat pendidikan, mengatakan bahwa
perilaku muncul melalui proses mental yang terfokus dalam pembelajaran kognitif yaitu melalui tingkat-tingkat pendidikan. Hal ini sejalan dengan
pendapat Arivia yang mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh seseorang, maka seseorang akan semakin sadar
akan otoritas dirinya, seperti mampu mengambil keputusan sendiri dan berani menyatakan pemikiran atau pendapat yang berbeda, serta mampu
bertanggung jawab atas dirinya sendiri Arivia, 2006. Dengan demikian, seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mampu
menerobos setiap aturan yang bersifat dogmatis dalam masyarakat. Disamping itu menurut UNESCO, seseorang dengan tingkat pendidikan
lebih tinggi juga akan lebih memiliki keterampilan dalam keseharian hidup mereka yaitu dalam memecahkan setiap permasalahan yang mereka hadapi
secara pribadi UNESCO. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
D. Sikap Wanita Menikah terhadap Poligami Ditinjau dari Tingkat
Pendidikan
Wanita menikah adalah seorang wanita yang telah melakukan proses pernikahan baik melalui jalur hukum maupun agama, serta memiliki ikatan
janji setia dengan suaminya dan memiliki batasan juga pertanggungan jawab tertentu. Berkaitan dengan batasan dan pertanggungan jawab yang baru,
seorang wanita menikah akan mengalami banyak perubahan peranan Kartono, 1992. Mereka akan memiliki beberapa peranan baru, seperti
peranan sebagai istri yang mampu mendampingi suami dalam berbagai situasi, peranan sebagai partner sex sehingga mampu terciptanya hubungan seksual
dalam perkawinan, peranan sebagai ibu dan pendidik yang mampu menciptakan suasana keluarga yang hangat dan nyaman, peranan sebagai
pengatur rumah tangga dan peranan sebagai partner hidup Kartono, 1992. Semua peranan baru yang harus dilalui tersebut terkadang dirasa
berat oleh wanita menikah, sehingga banyak dari wanita menikah yang mengalami perubahan mental. Perubahan-perubahan yang muncul yaitu
mereka cenderung menjadi tergantung pada suaminya untuk mendapatkan dukungan finansial dan emosional. Ketergantungan pada wanita menikah
muncul akibat pergaulan dan lingkup sosial mereka yang terbatas. Disamping itu, perubahan juga muncul akibat adanya norma dalam masyarakat yang
memandang istri hanya sebagai pendamping suami semata, sehingga mereka cenderung lebih mengalah, mengikuti dan menyesuaikan diri dengan pola
perilaku dan kebiasaan suami. Hal ini pada akhirnya juga akan mempengaruhi harga diri atau konsep diri wanita menikah Bernard, dalam Abbott, 1992.
Dinamika perubahan pada wanita menikah diatas akan sangat mempengaruhi sikap wanita ketika memandang berbagai hal dalam
pernikahan, dan juga sikapnya terhadap pernikahan poligami. Dinamika perubahan tersebut juga memungkinkan munculnya perbedaan sikap terhadap
poligami pada wanita menikah dengan wanita yang belum menikah. Bertolak dari dinamika perubahan yang dialami wanita menikah, maka ada
kemungkinan wanita menikah akan cenderung lebih menerima atau bersikap positif terhadap pernikahan poligami.
Namun pembentukan sikap seseorang juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang tersebut. Diketahui bahwa dari tingkat
pendidikan yang berbeda akan menghasilkan individu yang berbeda pula Monks dkk, 2001. Disamping itu pendidikan juga diberikan untuk mengubah
tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik, dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup manusia yang meliputi daya pikir, kreativitas, dan sikap dalam
menghadapi setiap permasalahan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pendidikan akan sangat mempengaruhi perkembangan pribadi seseorang.
Bertolak dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi perkembangan pribadi dan sikap wanita menikah
terhadap poligami yang meliputi aspek kognitif, afektif dan konatif. Wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung akan
memiliki sikap yang berbeda dengan wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah
Wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memiliki karakteristik sebagai berikut : mereka memiliki
pengetahuan yang lebih luas, lebih kompleks dalam berfikir sehingga mampu mengevaluasi kekuatan dan kelemahan alternatif jawaban dari setiap
permasalahan yang sedang mereka hadapi. Disamping itu, mereka akan lebih mampu menerobos hal-hal yang bersifat dogmatis. Wanita menikah dengan
tingkat pendidikan yang lebih tinggi juga akan lebih mandiri, karena mereka memiliki keterampilan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu wanita
menikah dengan tingkat pendidikan lebih tinggi akan lebih memiliki toleransi terhadap orang lain, karena mereka memiliki tingkat emosional yang lebih
matang. Mereka juga lebih berani menyatakan pemikiran dan pendapat yang berbeda atau mampu membuat keputusan sendiri, dan lebih bertanggung
jawab. Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan
mempengaruhi perkembangan pribadi dan sikap wanita menikah yang meliputi tingkat kognitif, afektif dan konatif mereka. Dengan demikian,
tingkat pendidikan juga mempengaruhi pembentukan sikap wanita menikah terhadap pernikahan poligami. Pada wanita menikah dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, mereka memandang poligami secara lebih kompleks. Bertolak pada karakteristik wanita menikah dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi di atas, maka dapat diketahui bahwa wanita PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dimungkinkan cenderung menolak poligami, atau bersikap negatif terhadap pernikahan
poligami. Hal ini salah-satunya karena mereka lebih mampu berfikir kritis dan melampaui dogma agama atau tradisi dalam masyarakat, sehingga mereka
mampu mengevaluasi kekuatan dan kelemahan dari pernikahan poligami. Berbeda dengan sikap wanita menikah berpendidikan lebih tinggi,
sikap wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah dimungkinkan cenderung lebih menerima atau memiliki sikap yang positif
terhadap poligami. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah.
Karakteristik wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah adalah sebagai berikut : mereka kurang memiliki wawasan atau
pengetahuan, sehingga mereka cenderung terpenjara dalam dogma yang ada dalam masyarakat dimana mereka tinggal. Disamping itu, wanita menikah
dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah cenderung mudah terpengaruh orang lain disekitar mereka, terutama dengan orang yang mereka anggap
penting. Selain itu mereka juga cenderung statis dan tergantung pada orang lain disekitarnya. Dengan sifat yang tergantung pada orang lain tersebut,
membuat wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah cenderung takut dalam membuat keputusan sendiri.
Melihat karakteristik wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah, maka dapat diketahui bagaimana proses pembentukan
sikap wanita menikah tersebut terhadap pernikahan poligami. Wanita menikah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah memiliki kemungkinan untuk cenderung menerima poligami atau bersikap positif terhadap pernikahan
poligami. Hal ini salah satunya karena wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah cenderung dogmatis dan mengikuti anjuran dari
orang-orang yang berpengaruh, terutama suami. Disamping itu mereka kurang kompleks dalam melihat permasalahan mereka.
Dari uraian diatas, maka dapat diketahui bagaimana tingkat pendidikan mempengaruhi pembentukan sikap wanita menikah terhadap
poligami, yang akhirnya mungkin menghasilkan perbedaan sikap wanita menikah terhadap poligami. Yaitu antara wanita menikah dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi dengan wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah.
E. Hipotesis
Berdasarkan kerangka kajian teori yang ada, maka hipotesis yang muncul adalah : Ada perbedaan sikap terhadap poligami pada wanita menikah
ditinjau dari tingkat pendidikan. Wanita menikah dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki sikap yang lebih negatif terhadap poligami,
sedangkan wanita menikah dengan tingkat pendidikan lebih rendah memiliki sikap yang lebih positif terhadap poligami.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN