Perbedaan sikap wanita menikah terhadap poligami ditinjau dari tingkat pendidikan.

(1)

PERBEDAAN SIKAP WANITA MENIKAH TERHADAP

POLIGAMI DITINJAU DARI TINGKAT PENDIDIKAN

Priscilia Thea Novena 029114015 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan sikap wanita menikah terhadap poligami ditinjau dari tingkat pendidikan. Penelitian ini merupakan penelitian perbandingan. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan sikap yang signifikan pada wanita menikah terhadap poligami ditinjau dari tingkat pendidikan, dimana wanita menikah dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki sikap yang lebih negatif terhadap poligami, demikian sebaliknya.

Subjek dalam penelitian ini terdiri dari 20 wanita menikah dengan tingkat pendidikan tinggi, 20 wanita menikah dengan tingkat pendidikan menengah, dan 20 wanita menikah dengan tingkat pendidikan dasar. Data diperoleh dengan menggunakan skala sikap terhadap poligami. Daya diskriminasi skala menggunakan batas nilai ≥ 0,3 dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,978. Data penelitian dianalisis menggunakan One Way Anova, dan dalam menentukan diterima atau ditolaknya hipotesis, dilakukan dengan cara melihat besar F hitung dan signifikansinya.

Dari perhitungan menunjukkan nilai F sebesar 22,883, dengan p (sig.) 0,00 (p < 0,01). Dengan demikian hipotesis dalam penelitian ini diterima. Artinya ada perbedaan sikap yang sangat signifikan pada wanita menikah terhadap poligami ditinjau dari tingkat pendidikan, dimana wanita menikah dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki sikap yang lebih negatif terhadap poligami, dan wanita yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah cenderung memiliki sikap yang lebih positif terhadap poligami.


(2)

THE ATTITUDE DIFFERENCES OF MARRIED WOMEN TO

POLYGAMY AS OBSERVED FROM EDUCATIONAL LEVEL

Priscilia Thea Novena 029114015 Faculty of Psychology Sanata Dharma University

Yogyakarta

The purpose of this research was to see the differences of attitude of married women to polygamy as observed from educational level. This research was a comparison research. The Hypothesis of this research was there were some significant differences on the attitude of married women to polygamy as observed from educational level, where the high educated married women tend had more negative sense of attitude to polygamy, vice versa.

The subject in this research contains of 20 married women with high education, 20 married women with medium-education, and 20 married women with low education. The data were collected using attitude to polygamy scale. Discrimination scale power was limited in ≥ 0,3 with the reliability coefficient 0,978. The research data is measured using One Way Anova, and to determine whether hypothesis could be accepted or unaccepted, it was done by sawing the value of F-count and its significance.

From the counting it showed that the value of F is 22,883 with p (sig.) 0,00 (less than 0,01). As a result the hypothesis of this research was accepted. It means that there was a significant difference on the attitude of married women to polygamy as observed from educational level, where the high educated married women tent had more negative sense of attitude to polygamy, and the lower educated married women tend had more positive sense of attitude to polygamy.


(3)

PERBEDAAN SIKAP WANITA MENIKAH TERHADAP POLIGAMI DITINJAU DARI TINGKAT PENDIDIKAN

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

PRISCILIA THEA NOVENA 029114015

JURUSAN PSIKOLOGI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007


(4)

(5)

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Penulis


(7)

Kau membentuk hidupku dari dalam rahim ibuku Kau mengenal hatiku

lebih dari yang aku tahu

Kau siapkan diriku Tuhan

Tuk nyatakan sgala rancanganMu bagiku….

Kunyanyikan…keindahanMu Tuhan atas kebaikanMu dalam hidupku… Kunantikan…keajaibanMu Tuhan

yang pasti kan terjadi di dalam hidupku

Sbab itu ku memuji namaMU…..

“ Tetapi aku mau menyanyikan kekuatanMu

Pada waktu pagi aku mau bersorak sorai

karena kasih setiaMu

Sebab Engkau telah menjadi kota bentengku

Tempat pelarianku pada waktu kesesakanku ”

( Mazmur 59 : 17 )


(8)

Sssh……suatu bisikan

Gema yang lembut, tetapi….. Oh…, begitu jelas

Perempuan itu berkata

Hari-hari yang berirama pun… Berhenti lalu mendengarkan Dalam nalurinya…

Menjadi kehidupan….. Ibuku,…….

Saudara perempuanku,…. Diriku sendiri,…..

Perempuan penuh misteri dan kelembutan Perempuan itu memasuki

Keberadaan yang satu dan yang lain sama Yang membuat utuh dan penuh

Jiwa yang bijak

“Damn..!!” laki-laki berkata “Kelembutan pergilah..!!

Layanilah,…kebutuhanku yang menggebu… Masaklah dan cucilah pakaianku

Tetapi jangan sampai orang lain tahu.. Bohonglah….dan cintailah aku saja…!!” Laki-laki itu tertidur

Kebenaran mengalir…..dari bibirnya,..ia berkata… “Kekuasaanku dapat menutupi kelemahanku”

“Kekerasanku dapat menyembunyikan rasa maluku” Suatu kedipan atau cahaya,….

Sebuah tangisan..? Sebuah senyuman…? Perempuan itu tahu dan membawa,.. Kedamaian…!!!


(9)

Karya kecil ini

kupersembahkan untuk..

¤ Tuhan Yesus Kristus…Terang dari segala terang

¤ Bunda Maria…yang selalu setia mendampingi dan

menguatkan aku

¤ Papa dan mama…cinta terbesar dalam hidup aku

¤ Mba Lia & de Theo…Kasih terindah dalam hidup aku

¤ Wedhasmara…partner sejati dalam setiap proses menuju cita &

cinta

dan untuk semua perempuan di dunia ini…..

‘ be sensitive & figt’r girls !!!


(10)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Priscilia Thea Novena

Nomor Mahasiswa : 029114015

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Perbedaan Sikap Wanita Menikah Terhadap Poligami Ditinjau Dari Tingkat Pendidikan beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 28 Februari 2008

Yang menyatakan


(11)

PERBEDAAN SIKAP WANITA MENIKAH TERHADAP

POLIGAMI DITINJAU DARI TINGKAT PENDIDIKAN

Priscilia Thea Novena 029114015 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan sikap wanita menikah terhadap poligami ditinjau dari tingkat pendidikan. Penelitian ini merupakan penelitian perbandingan. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan sikap yang signifikan pada wanita menikah terhadap poligami ditinjau dari tingkat pendidikan, dimana wanita menikah dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki sikap yang lebih negatif terhadap poligami, demikian sebaliknya.

Subjek dalam penelitian ini terdiri dari 20 wanita menikah dengan tingkat pendidikan tinggi, 20 wanita menikah dengan tingkat pendidikan menengah, dan 20 wanita menikah dengan tingkat pendidikan dasar. Data diperoleh dengan menggunakan skala sikap terhadap poligami. Daya diskriminasi skala menggunakan batas nilai ≥ 0,3 dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,978. Data penelitian dianalisis menggunakan One Way Anova, dan dalam menentukan diterima atau ditolaknya hipotesis, dilakukan dengan cara melihat besar F hitung dan signifikansinya.

Dari perhitungan menunjukkan nilai F sebesar 22,883, dengan p (sig.) 0,00 (p < 0,01). Dengan demikian hipotesis dalam penelitian ini diterima. Artinya ada perbedaan sikap yang sangat signifikan pada wanita menikah terhadap poligami ditinjau dari tingkat pendidikan, dimana wanita menikah dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki sikap yang lebih negatif terhadap poligami, dan wanita yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah cenderung memiliki sikap yang lebih positif terhadap poligami.


(12)

THE ATTITUDE DIFFERENCES OF MARRIED WOMEN TO

POLYGAMY AS OBSERVED FROM EDUCATIONAL LEVEL

Priscilia Thea Novena 029114015 Faculty of Psychology Sanata Dharma University

Yogyakarta

The purpose of this research was to see the differences of attitude of married women to polygamy as observed from educational level. This research was a comparison research. The Hypothesis of this research was there were some significant differences on the attitude of married women to polygamy as observed from educational level, where the high educated married women tend had more negative sense of attitude to polygamy, vice versa.

The subject in this research contains of 20 married women with high education, 20 married women with medium-education, and 20 married women with low education. The data were collected using attitude to polygamy scale. Discrimination scale power was limited in ≥ 0,3 with the reliability coefficient 0,978. The research data is measured using One Way Anova, and to determine whether hypothesis could be accepted or unaccepted, it was done by sawing the value of F-count and its significance.

From the counting it showed that the value of F is 22,883 with p (sig.) 0,00 (less than 0,01). As a result the hypothesis of this research was accepted. It means that there was a significant difference on the attitude of married women to polygamy as observed from educational level, where the high educated married women tent had more negative sense of attitude to polygamy, and the lower educated married women tend had more positive sense of attitude to polygamy.


(13)

KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan tuntunan, penyertaan, dan kasihNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelas sarjana Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari keterbatasan yang dimiliki penulis, sehingga dengan bantuan dari berbagai pihaklah penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus yang agung dan ajaib, terima kasih Yesus untuk setiap langkah dan proses yang aku lalui. Jesus you are savior of my soul !!... “Saat sinar kasihMu bertemu dengan derai kesedihanKu, muncullah pelangi janjiMu ya Yesus”

2. Bapak Edy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi. 3. Ibu Sylvia Carolina MYM, S.Psi, M.Psi selaku Kepala Program Studi

Psikologi.

4. Ibu Titik Kristiyani, S.Psi selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas bimbingan ibu selama saya menjadi mahasiswa di fakultas psikologi Universitas Sanata Dharma.

5. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi & Ibu Tanti Arini, S.Psi M.Psi selaku dosen pembimbing akademik pengganti.


(14)

6. Ibu Nimas Eki S, S.Psi, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas kesabaran, perhatian, serta arahan yang senantiasa ibu berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Y. Heri Widodo, S.Psi, M.Psi & Bapak Agung Santoso, S.Psi yang selalu memberi kritikan, koreksi dan masukan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan baik.

8. Mas Gandung, Mas Muji, Mas Doni & Mba Nanik yang telah membantu dalam banyak hal dan memberi kemudahan bagi penulis selama penulis belajar di fakultas psikologi ini.

9. Pak Gi…terima kasih banyak atas senyuman, ketulusan dan semangat yang selalu bapak pancarkan di fakultas psikologi ini.

10. Bapak Budi Wiyono, selaku Kepala Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, Sleman Yogyakarta, yang telah banyak membantu penulis selama proses penulisan skripsi ini.

11. Ibu-ibu di Pedukuhan Kebur Lor dan Kidul Cangkringan Argomulyo Sleman Yogyakarta, yang telah bersedia mengisi skala penelitian ini. terima kasih banyak….

12. Papa & mama…terima kasih banyak untuk kasih sayang, cinta, dukungan, pengertian…semuaanya…Bangga, seneng, puji syukur thea bisa tumbuh di tengah keluarga ini.. Kasih mama papa banyak mengajarkan thea untuk menerima tanpa syarat..Cintaaaa banget sama mama papa! muaaacch…


(15)

13. Mbak Lia...terima kasih sudah menjadi kakak terbaikku! Bersama kamu mengajarkan aku untuk melihat betapa kedewasaan dan ketulusan hanya suatu pilihan dan kesadaran penuh untuk belajar..Sayaang kamu mbak! muaach…

14. Adekku yang tampan…Theo…Makasiih banget udah jadi adek sekaligus kakak untukku..Kedewasaanmu terkadang membuat aku terperangah!! seriuss….Bersama kamu, kadang aku berasa jadi kakak..tapi terkadang juga berasa jadi adek??...Proud of u!! muach… 15. Wedhasmara..sahabatku..saudaraku..partnerku..kekasihku..cintaku

(atau apalah namanya..buat aku ga penting..) makasiiiih bangeth!! Hon, makasiiiih bangeth buat kebersamaan, pengertian, dukungan, kritikan, masukan, koreksi, kasih, cinta,..semua..semuaanya..Hon, kebersamaan kita mengajarkan aku untuk terus berusaha mencintai dengan kebebasan..i ♥ u so much bujelku!!

16. Bapak & Ibu Bambang Widjokongko…terima kasih banyak untuk sambutan yang hangat, dukungan, doa serta perhatian om & tante…Mengenal om & tante mengajarkan thea untuk selalu berusaha menjadi lebih baik lagi…terima kasih …

17. Mas Uki Sadewa…terima kasih banyak atas persahabatan, doa dan kasih yang hangat…Terima kasih sudah menunjukkan bahwa psikologi adalah sebuah seni…Mengenal mas, membuat aku sadar bahwa belajar psikologi bukan hanya memindahkan informasi dari satu kepala ke kepala lainnya…hati tak tersentuh…jiwa tak


(16)

tersentuh...sistematis...ga berseni….Yang ada cuma hafalan lalu hilang setelah tujuan didapat..(ups ??..) Yang jelas mengenal mas membuat aku bergairah setiap bertemu individu dengan segala keunikannya…Yah, ternyata hanya dengan hati yang penuh kasih kita mampu memahami semua…Terima kasih banyak mas…sudah mengajarkan thea banyak hal…Kasih Yesus beserta kita semua…

18. Saudara-saudaraku di Asta Mistika…Bujelku, Djenking, Nopex, Aning, Wiwin, Mz.Nano’, Mz.Budi & Mz.Usman…Makasih banget buat dukungan, kebersamaan juga doanya…Jangan pernah lelah untuk selalu menengadah dan bersyukur... Nice to have friends like you !! 19. Sahabat-sahabatku yang cute2…Fista, Adjenk, Lita, Nopex, Mita,

Uciex, Ntrie, Lisna, Tanti, Lia juga Triza… Makasih…makasiih…banget. Mengenal kalian, menyadarkan aku untuk terus berproses..Semua sesi pertemuan yang kita lalui bareng menyentuh & mendewasakan... Buat keceriaan, kegilaan, keluhan, tangisan..ugh, full of colour bgt!! LoveUallGuys

20. Buat teman-teman seperjuangan…Fika, Galih, Cahya, Dewi, Echa, dkk smua..teman-temanku satu bimbingan…hihihi…ada banyak rasa yang kita alami yaa..Makasih buat support dan masukannya teman.. 21. Ga lupa & ga kalah puenting…Mz. Harry ‘kiting’… Ga ada dirimu,

skripsi gw nggatung mas… Tengkyu banggets… Upahmu besar di surga! amien……


(17)

22. The last but not the least…semua teman2 angkatan 2002…( suka deh sama kalian semua… )

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segenap kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang membangun untu menunjang kesempurnaan skripsi ini.

Yogyakarta,

Penulis

Priscilia Thea Novena


(18)

DAFTAR ISI

Halaman Judul... i

Halaman Persetujuan... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Pernyataan Keaslian Karya ... iv

Halaman Motto ... v

Halaman Persembahan ... vii

Abstrak ... viii

Abstract ... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi ... xv

Daftar Tabel ... xix

Daftar Bagan ... xx

Daftar Lampiran ... xxi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 11

C. TUJUAN PENELITIAN... 11

D. MANFAAT PENELITIAN... 11

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ... 13


(19)

1. Sikap... 13

a. Pengertian Sikap... 13

b. Komponen Sikap... 14

c. Faktor Pembentuk Sikap ... 16

2. Poligami ... 19

a. Pengertian Poligami ... 19

b. Motivasi dan Tujuan Poligami ... 20

c. Dampak Poligami terhadap Wanita... 22

d. Poligami dari Sudut Pandang Islam ... 24

3. Sikap Terhadap Poligami ... 26

B. WANITA MENIKAH... 26

1. Pengertian Wanita Menikah... 26

2. Konsep Peranan dalam Pernikahan... 27

3. Perubahan-perubahan pada Wanita Menikah... 30

C. TINGKAT PENDIDIKAN ... 32

1. Pengertian Tingkat Pendidikan ... 32

2. Peranan Tingkat Pendidikan ... 35

D. SIKAP WANITA MENIKAH TERHADAP POLIGAMI DITINJAU DARI TINGKAT PENDIDIKAN... 38

E. HIPOTESIS... 43

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 45

A. JENIS PENELITIAN ... 45

B. VARIABEL PENELITIAN ... 45


(20)

C. DEFINISI OPERASIONAL ... 45

1. Tingkat Pendidikan ... 45

2. Sikap terhadap Poligami ... 47

D. SUBJEK PENELITIAN... 48

E. METODE DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA ... 48

F. PENGUJIAN INSTRUMEN PENELITIAN ... 51

1. Uji Validitas ... 51

2. Daya Beda Item... 52

3. Uji Reliabilitas ... 54

G. PROSEDUR PENELITIAN... 56

H. TEKNIK ANALISIS DATA ... 57

1. Uji Asumsi ... 57

2. Uji Hipotesis Penelitian ... 57

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 58

A. PELAKSANAAN PENELITIAN... 58

B. HASIL PENELITIAN... 59

1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 59

2. Hasil Analisis Data... 60

a. Deskripsi Data ... 60

b. Hasil Uji Asumsi ... 60

1) Normalitas... 60

2) Homogenitas ... 62


(21)

d. Hasil Analisis Data Tambahan... 63

C. PEMBAHASAN ... 64

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 73

A. KESIMPULAN ... 73

B. SARAN ... 73

C. KETERBATASAN PENELITIAN... 74

Daftar Pustaka ... 76

Lampiran ... 79


(22)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Spesifikasi & Distribusi Item Skala Sikap Terhadap

Poligami Sebelum Uji Coba... 49 Tabel 2 Spesifikasi Item Skala Sikap terhadap Poligami

Setelah Uji Coba ... 53 Tabel 3 Spesifikasi & Distribusi Item Skala Sikap Terhadap

Poligami Untuk Penelitian ... 54 Tabel 4 Deskripsi Subjek Penelitian ... 59 Tabel 5 Analisis Statistik Deskriptif ... 60 Tabel 6 Hasil Perhitungan Uji Normalitas ... 61 Tabel 7 Homogeneous Subsets ... 63


(23)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Bagan Perbedaan Sikap Wanita Menikah Terhadap Poligami Ditinjau dari Tingkat Pendidikan ... 44


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Skala Sikap Uji Coba Penelitian Lampiran B Skala Sikap Penelitian

Lampiran C Data Uji Coba Penelitian

Lampiran D Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Lampiran E Data Penelitian

Lampiran F Hasil Uji Asumsi Lampiran G Hasil Uji Hipotesis Lampiran H Surat Ijin Penelitian


(25)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu bentuk pernikahan yang umum terjadi dan dipandang ideal oleh masyarakat adalah pernikahan yang terdiri dari satu orang suami dan satu orang istri, walaupun sebenarnya ada berbagai macam bentuk pernikahan. Salah satunya adalah bentuk pernikahan dimana terdapat satu orang suami dan beberapa orang istri. Bentuk pernikahan ini biasa disebut dengan pernikahan poligami. Pernikahan poligami sudah terjadi sejak zaman dahulu, yaitu sejak zaman raja-raja. Ada banyak raja yang memiliki istri lebih dari satu. Hal itu dilakukan untuk menjaga martabat raja dan untuk memperkuat kedudukan raja. Seperti halnya yang dialami oleh Raden Ajeng Kartini, ia menjadi istri keempat Bupati Rembang, Raden Adipati Djojo Adiningrat (Soeprapto, 1990). Pernikahan poligami terus berlanjut pada masa-masa awal kemerdekaan. Diawali dari masa pemerintahan Ir. Soekarno. Dunia mengenal Bung Karno sebagai seorang figur yang berpoligami, ketika ia menikahi Hartini dan Ratna Sari Dewi. Kemudian pada masa Orde Baru, yaitu masa pemerintahan Presiden Soeharto. Banyak pemimpin di pemerintahan saat itu yang memiliki istri lebih dari satu. Begitu juga pada masa reformasi, pernikahan poligami masih marak terjadi, seperti yang dilakukan oleh mantan Wakil Presiden Hamzah Haz (Femina, 2002). Pernikahan poligami masih


(26)

terus berlangsung hingga saat ini. Ada banyak kasus selebriti yang melakukan praktik poligami, seperti aktor Ray Sahetapy. Kasus poligami yang sempat sangat marak dibicarakan, yaitu kasus seorang ulama ternama K.H.Abdullah Gymnastiar atau lebih dikenal dengan nama Aa Gym, yang juga melakukan praktik poligami.

Dari banyak kasus praktik poligami yang terjadi, dapat diketahui ternyata poligami bukan hanya dilakukan oleh pejabat pemerintahan saja, tetapi juga oleh para selebritis bahkan oleh ulama atau pemuka agama yang seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat. Namun sesungguhnya pernikahan poligami selalu diwarnai oleh permasalahan, yaitu munculnya pro dan kontra. Pertama kali tercatat dalam sejarah modern adalah perjuangan yang dilakukan oleh Raden Ajeng Kartini, yang mengupayakan perubahan pada kaum wanita. Kartini tidak menginginkan wanita terus-menerus diinjak-injak dan dihina. Menurut Kartini, pernikahan poligami merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap wanita., walaupun pada akhirnya Kartini sendiri harus kalah dan mengalami pernikahan poligami, ketika ia dipaksa menjadi istri keempat Bupati Rembang oleh ayahnya (Arivia, 2006).

Tidak sampai disitu, pro dan kontra terhadap pernikahan poligami terjadi kembali pada zaman mantan Presiden Soekarno. Saat presiden pertama RI ini ingin menikah lagi dengan Hartini, walau masih mempertistri Ibu Fat yang berstatus Ibu Negara, masyarakat pada saat itu bersikap tegas terhadap tindakan yang diambil Bung Karno. Para wanita yang bergabung dalam organisasi wanita Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) melakukan


(27)

3

protes keras terhadap tindakan poligami yang dilakukan oleh Bung Karno. Ibu Fat pun menunjukkan sikap tegas, menolak dimadu, lalu hengkang dari Istana Negara (www.femina-online.com). Namun ternyata respon yang muncul saat itu bukan hanya penolakan dan protes keras terhadap praktik poligami. Ada banyak dukungan terhadap praktik poligami yang muncul dari fraksi Islam, seperti Partai Tarbiyah Indonesia (Perti), tokoh-tokoh dari Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Inndonesia), dan GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Mereka menolak keras RUU yang diusulkan oleh banyak fraksi wanita di parlemen pada saat itu, yang di dalamnya tercantum butir pelanggaran praktik poligami (Arivia, 2006).

Pro dan kontra terhadap pernikahan poligami masih terus berlanjut sampai pada masa mantan Presiden Soeharto. Banyaknya praktik poligami yang terjadi pada saat itu, mengundang protes keras dari banyak lembaga wanita. Akhirnya kompromi terhadap tuntutan kaum wanita itu tercapai dengan munculnya UU Perkawinan No.1/1974, dimana poligami tetap boleh dilakukan tetapi dengan syarat-syarat tertentu. Khusus untuk pegawai negeri sipil, juga diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.10/1983, yang mengatur izin perkawinan dan perceraian, termasuk syarat-syarat berpoligami (Soeprapto, 1990).

Namun ternyata munculnya UU Perkawinan No.1/1974 dan PP No.10/1983, tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat praktik poligami. Pro dan kontra masih terus mewarnai pernikahan poligami. Seperti kasus praktik poligami yang dilakukan oleh seorang ulama ternama,


(28)

Aa Gym. Keadaan tersebut semakin mengundang protes keras dari banyak pihak, terutama dari sejumlah LSM perempuan, antara lain Jurnal Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH-APIK, Solidaritas Perempuan, dan masih banyak lagi. Mereka mendeklarasikan pernyataan ‘Perempuan Menolak Praktik Poligami’, karena poligami merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan (Baswardono, 2006). Ternyata protes keras terhadap praktik poligami tidak hanya sampai disitu. Ada ribuan ungkapan kekecewaan kaum wanita yang disampaikan langsung lewat SMS ke ponsel Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istrinya, Ani Yudhoyono. Akhirnya Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono, melakukan revisi Undang-Undang Perkawinan, terutama pasal-pasal yang menyangkut izin berpoligami (Femina, 2006).

Namun ternyata semakin keras protes terhadap pernikahan poligami, semakin keras pula penolakan terhadap revisi UU Perkawinan, menyangkut izin berpoligami. Di Yogyakarta sendiri, sempat terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh beberapa organisasi massa. Mereka menolak pemerintah campur tangan terhadap praktik poligami. Ada banyak spanduk yang diantaranya bertuliskan ‘Kalau presiden tidak mau berpoligami, itu hak pribadi beliau. Tapi tak perlu mencampuri wilayah pribadi orang lain’ (Kompas, 2006). Itulah salah satu bentuk dukungan terhadap praktik poligami.

Demikianlah pernikahan poligami selalu menjadi hal yang kontroversial, selalu diwarnai dan diakhiri oleh pro dan kontra dari masyarakat luas. Mereka yang setuju maupun tidak setuju terhadap poligami mempunyai


(29)

5

alasan sendiri-sendiri. Ada beberapa alasan mengapa seseorang setuju atau pro terhadap pernikahan poligami, yaitu adanya keadaan istri yang mandul (steril) sedangkan suaminya subur (fertil), anggapan bahwa jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki, dan adanya anggapan umum yang memaklumi bahwa laki-laki lebih “bermata keranjang” dibanding wanita, juga pandangan bahwa poligami adalah benar di mata Al-Quran dan Hadis Nabi (Soeprapto, 1990 & Femina, 2006).

Sedangkan mereka yang tidak setuju atau kontra terhadap poligami juga memiliki beberapa alasan, yaitu mereka menganggap poligami menyebabkan perzinaan dan keretakan suatu rumah tangga, selain itu poligami adalah bentuk ketidak adilan pria terhadap wanita. Sangat mustahil pria mampu membagi perhatian dan kasih sayangnya kepada istri-istrinya secara adil. Poligami juga menyebabkan perhatian seorang ayah menjadi berkurang kepada anak-anaknya. Singkat kata, pernikahan poligami dapat dikategorikan sebagai tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Seperti diketahui, definisi kekerasan dalam rumah tangga meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan juga ekonomi (Soeprapto, 1990 & Femina, 2006).

Melihat penjelasan di atas, maka dapat diketahui ada banyak alasan untuk seseorang memilih pro atau kontra terhadap pernikahan poligami. Pro dan kontra ini merupakan cerminan dari sikap seseorang terhadap poligami. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap pro dan kontra tersebut, diantaranya adalah pengalaman pribadi, latar belakang kebudayaan,


(30)

faktor lingkungan, dan juga latar belakang agama maupun pendidikan (Azwar, 2000).

Pada penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengetahui adakah perbedaan sikap wanita menikah pada khususnya terhadap pernikahan poligami, ditinjau dari tingkat pendidikan. Hal ini dikarenakan faktor pendidikan masih belum begitu dibahas dalam penentuan sikap terhadap poligami. Disamping itu, lembaga pendidikan turut menentukan dalam proses pembentukan sikap seseorang terhadap suatu objek, dengan memberikan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri seseorang. Lemaga pendidikan membantu seseorang untuk melihat segi positif atau negative dari suatu objek, mengetahui dan memahami konsekuensi dari suatu sikap dan tindakan, dan mengevaluasi suatu kejadian. Dengan memiliki latar belakang pendidikan, seseorang akan lebih mampu melihat suatu permasalahan dengan lebih kompleks ( Azwar, 2000 ).

Disamping itu, permasalahan ini menjadi semakin menarik karena seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan pada kaum wanita, maka tingkat kesadaran maupun kekritisan kaum wanita juga semakin meningkat (Baswardono, 2006). Wanita dengan tingkat pendidikan lebih tinggi dapat melihat dengan lebih jelas bentuk-bentuk ketidakadilan yang bias gender dalam masyarakat. Mereka semakin sadar akan adanya ketimpangan struktur sosial budaya masyarakat yang merugikan wanita. Wanita seperti ini biasanya dapat melihat melampaui batas-batas dogma dan kepercayaan, sehingga


(31)

7

mereka akan menyikapi poligami secara lebih kritis, dan mampu memandangnya dalam banyak perspektif (Prabasmoro, 2006).

Berbeda dengan wanita yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah biasanya lebih mudah untuk terperangkap dalam pengaruh dogma dan kepercayaan. Saat suatu nilai sudah tertanam kuat, mereka akan berjuang mati-matian dalam membela nilai tersebut, tanpa menyadari bahwa nilai tersebut sebenarnya merupakan suatu opresi terhadap diri mereka. Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang mengakibatkan semakin sempitnya wawasan, sehingga wanita dengan tingkat pendidikan lebih rendah tidak akan mempunyai banyak referensi dalam memandang suatu permasalahan. Dengan demikian persepsi dan tingkah laku mereka akan sangat mudah dikendalikan oleh pihak-pihak di luar diri mereka, untuk mengambil keuntungan pribadi dengan memanfaatkan ketidaktahuan mereka (Prabasmoro, 2006).

Melihat keadaan tersebut, maka dapat diketahui bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan wanita, maka wanita semakin kritis dan mampu melihat melampaui batas-batas dogma dan kepercayaan. Disamping itu, mereka juga semakin mengenal dan memahami nilai-nilai kesetaraan gender. Hal tersebut menyadarkan mereka akan opresi yang dialaminya, seperti yang terjadi dalam pernikahan poligami. Semakin tinggi tingkat pendidikan wanita, maka akan membuat mereka semakin mewujudkan kesetaraan gender dan menolak adanya kekerasan terhadap wanita.


(32)

Bertolak dari penjelasan diatas, maka dapat diketahui bagaimana tingkat pendidikan mempengaruhi proses pembentukan sikap seseorang. Hal ini juga didukung dengan adanya jurnal penelitian yang mengatakan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi perkembangan pribadi dan sikap seseorang meliputi aspek kognitif, afektif dan konatif mereka ( Ghazali, 2003 ). Melihat penjelasan diatas, maka yang seharusnya terjadi adalah semakin tinggi tingkat pendidikan wanita, maka semakin mereka menolak poligami dan semakin rendah tingkat pendidikan wanita, maka akan semakin besar kemungkinan mereka menjadi korban praktik poligami. Fenomena inilah yang menarik minat peneliti untuk melihat apakah benar ada perbedaan sikap wanita menikah pada khususnya, terhadap poligami bila ditinjau dari latar belakang tingkat pendidikannya.

Peneliti memilih subjek wanita menikah karena wanita menikah memiliki permasalahan yang lebih kompleks. Ada perbedaan dalam menanggapi permasalahan dalam rumah tangga pada wanita yang sudah menikah dengan wanita yang belum menikah. Seorang yang belum menikah hanya akan menanggapi permasalahan dalam rumah tangga secara idealis, tanpa mengerti secara pasti bagaimana kompleksnya suatu pernikahan. Sedangkan mereka yang sudah menikah, akan lebih mengerti dan bersikap hati-hati dalam menyikapi suatu permasalahan dalam rumah tangga. Hal ini karena permasalah dalam suatu pernikahan tidak hanya menyangkut dua orang saja (suami dan istri), tetapi ada banyak pihak yang terkait dalam suatu


(33)

9

pernikahan yang juga harus diperhatikan dan dijaga keberadaan dan perasaannya (Kartono, 1977).

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui apakah ada perbedaan sikap terhadap poligami pada wanita menikah ditinjau dari tingkat pendidikan.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah perbedaan sikap terhadap poligami pada wanita menikah ditinjau dari tingkat pendidikan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi secara luas dan jelas bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pada ilmu Psikologi Sosial dan Psikologi Wanita.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Dunia Pendidikan

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran dan evaluasi seberapa besar peranan pendidikan dalam proses pembentukan sikap seseorang terhadap poligami pada kususnya.


(34)

b. Bagi Wanita Menikah ( Subjek Penelitian )

Penelitian ini diharapkan dapat memacu wanita menikah untuk terus mengoptimalkan diri mereka melalui pendidikan, sehingga mempu menentukan sikap yang terbaik bagi mereka.

c. Bagi Peneliti

Penelitian ini merupakan kesempatan untuk menganalisis, mengembangkan pengetahuan dan keterampilan penulis di bidang psikologi baik secara teoritik maupun aplikasinya.


(35)

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Sikap Terhadap Poligami 1. Sikap

a. Pengertian Sikap

Secara historis, istilah sikap digunakan pertama kali oleh Herbert Spencer pada tahun 1862, dimana pada masa itu sikap diartikan sebagai status mental seseorang (Azwar, 1995).

Istilah sikap masih terus digunakan hingga saat ini. Menurut Sarwono (1993), sikap merupakan kecenderungan untuk merespon terhadap suatu objek, orang atau situasi tertentu secara positif atau negatif. Sikap mengandung suatu penilaian emosional atau afektif, komponen kognitif atau pengetahuan tentang objek itu, serta konatif atau kecenderungan untuk bertindak (Sarwono, dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006).

Gerungan (1996) juga memiliki pendapat yang sama dengan Sarwono mengenai sikap, namun lebih mengarahkan sikap pada suatu kecenderungan untuk bertindak terhadap suatu hal atau objek.

Sedangkan Walgito (1991) memberikan definisi sikap secara lebih kompleks, yaitu suatu organisasi pendapat, keyakinan individu mengenai objek atau situasi yang relatif tetap dan disertai perasaan tertentu


(36)

yang memberikan dasar kepada individu tersebut untuk merespon atau berperilaku sesuai dengan cara yang dipilihnya.

Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah keadaan mental yang meliputi perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) yang dimiliki seseorang melalui proses sosialisasi serta memiliki pengaruh terhadap respon individu pada obyek atau situasi yang berkaitan dengannya.

b. Komponen Sikap

Komponen sikap terdiri dari tiga komponen yang saling menunjang, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif (Azwar, 1995).

Komponen kognitif tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang mengenai objek sikap tertentu. Dari pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan atau kepercayaan tertentu mengenai objek sikap tersebut. Kepercayaan timbul dari apa yang telah kita lihat atau apa yang telah kita ketahui. Berdasarkan apa yang telah kita lihat, ada kemungkinan terbentuk suatu ide mengenai sifat atau objek, dan berdasarkan ide itu kepercayaan akan terus berkembang. Pengalaman pribadi, hal-hal yang diceritakan orang, dan kebutuhan emosional kita sendiri merupakan determinan utama dalam terbentuknya kepercayaan seseorang.

Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen afektif


(37)

13

dapat disebut sebagai perasaan yang dimiliki individu terhadap sesuatu. Reaksi emosional ini banyak dipengaruhi oleh kepercayaan yang ada dalam diri seseorang terhadap suatu objek tertentu, dan bersifat evaluatif.

Sedangkan komponen konatif menunjukkan bagaimana kecenderungan perilaku individu berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Bagaimana seseorang berperilaku dalam situasi tertentu dan bagaimana kepercayaan dan perasaan seseorang terhadap stimulus tertentu. Kecenderungan berperilaku secara konsisten dan selaras dengan kepercayaan dan perasaan yang ada dalam diri individu akan membentuk sikap individual.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sikap mempunyai tiga komponen yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen perilaku. Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan perasaan menyangkut masalah emosional dan bersifat evaluatif, sedangkan komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.

c. Faktor-faktor Pembentuk Sikap

Sikap terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Interaksi sosial itu meliputi hubungan antara individu dengan lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis di sekelilingnya. Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu


(38)

terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah :

1. Pengalaman Pribadi

Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan atau penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis. Sehubungan dengan hal ini, Middlebrook (1974) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu objek psikologis, seseorang cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut.

Pembentukan kesan atau tanggapan terhadap objek merupakan proses kompleks dalam diri individu yang melibatkan individu yang bersangkutan, situasi dimana tanggapan itu terbentuk, dan atribut atau ciri-ciri objektif yang dimiliki oleh stimulus. Untuk menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat.

2. Pengaruh Orang lain yang Dianggap Penting

Orang lain di sekitar merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap seseorang. Seseorang yang dianggap penting, seseorang yang diharapkan persetujuannya, seseorang yang tidak ingin dikecewakan, atau seseorang yang berarti akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap seseorang terhadap sesuatu.


(39)

15

3. Pengaruh Kebudayaan

Seorang ahli psikologi yang terkenal, Skinner menekankan pengaruh lingkungan dalam membentuk pribadi seseorang. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pulalah yang memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya. 4. Media Massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam menyampaikan informasi, media massa membawa pesan-pesan yang bersifat sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.

5. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap, hal ini dikerenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara yang boleh dan tidak boleh dilakukan diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Akhirnya konsep yang terbentuk akibat pemahaman-pemahaman


(40)

ikut berperan dalam menentukan sikap individu terhadap segala sesuatu.

6. Pengaruh Faktor Emosional

Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara, namun dapat pula sebagai sikap yang bertahan lama.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap seseorang, yaitu melalui pengalaman pribadi yang dialami sehari-hari, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan yang ada, juga media massa yang memberikan berbagai informasi sehingga menimbulkan ide untuk bersikap. Disamping itu lembaga pendidikan dan lembaga agama serta pengaruh faktor emosional individu juga ikut mempengaruhi terbentuknya sikap seseorang terhadap suatu objek.

2. Poligami

a. Pengertian Poligami

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, dari kata “Poly” berarti banyak dan “Gamein” berarti kawin atau menikah. Dalam pengertian bahasa (laterlag), poligami memiliki arti kawin banyak atau


(41)

17

menikah beberapa kali dalam waktu yang bersamaan, bisa seorang pria menikah dengan banyak wanita atau seorang wanita menikah dengan banyak pria, atau juga banyak pria menikah dengan banyak wanita (Suprapto, 1990).

Menurut tinjauan Antropologi Sosial (Sosio Antropologi), poligami mempunyai pengertian seorang pria menikah dengan banyak wanita, atau sebaliknya. Pada dasarnya poligami dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Polyandri, yaitu pernikahan antara seorang wanita dengan beberapa orang pria.

2. Poligini, yaitu pernikahan antara seorang pria dengan banyak wanita.

Namun dalam perkembangannya, istilah poligini jarang sekali digunakan, bahkan bisa dikatakan istilah ini tidak dipakai lagi di kalangan masyarakat, kecuali dikalangan antropolog saja. Maka istilah poligami secara langsung menggantikan istilah poligini.

Dengan melihat penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa pengertian dari poligami yaitu pernikahan antara seorang pria dengan beberapa orang wanita.

b. Motivasi dan Tujuan Poligami

Melihat pengertian dari poligami, yaitu pernikahan antara seorang pria dengan beberapa orang wanita, maka tentu ada motivasi dibalik pernikahan yang “berbeda” ini.


(42)

Motivasi dan tujuan dari poligami dilakukan antara lain adalah (Suprapto, 1990) :

1. Motivasi seksual, yaitu motivasi yang digunakan untuk memberikan kepuasan seksual bagi yang bersangkutan.

2. Motivasi ekonomi, yaitu motivasi yang menyangkut kebutuhan materi. Seseorang melakukan poligami untuk memperbesar usahanya. Biasanya mereka menikah lagi dengan seseorang yang sudah sukses.

3. Motivasi politik, yaitu motivasi yang menyangkut kekuasaan politik atau pertimbangan politis demi keuntungan pribadi yang bersangkutan.

4. Motivasi perjuangan, yaitu baik perjuangan politik, perjuangan keagamaan, perjuangan ideologi dan sebagainya.

5. Motivasi generasi, yaitu motivasi untuk mendapatkan keturunan. 6. Motivasi kebanggaan diri, yaitu seseorang yang melakukan

poligami beranggapan bahwa mereka yang dapat melaksanakan poligami bukanlah sembarang orang, karena hanya orang-orang pilihan yang dapat melaksanakannya.

7. Motivasi keagamaan dan menalurikan sosial budaya tertentu, yaitu motivasi untuk menjalankan hal-hal yang dianjurkan atau diperbolehkan oleh agama dan motivasi untuk terus menghidupkan budaya tertentu yang sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka.


(43)

19

Ternyata pernikahan poligami memiliki beberapa motivasi dan tujuan, diantaranya yaitu motivasi seksual, motivasi ekonomi, motivasi politik, motivasi perjuangan, motivasi generasi, motivasi kebanggaan diri dan motivasi keagamaan.

c. Dampak Poligami terhadap Wanita

Dampak yang umum dialami oleh istri atau wanita yang suaminya melakukan pernikahan poligami sangat beragam. Ada dampak positif dan dampak negatif yang muncul pada diri wanita. Adapun dampak negatif pada diri wanita yang suaminya melakukan pernikahan poligami yaitu (Setiati, 2007) :

1. Dalam diri istri akan muncul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya. 2. Istri akan merasa terlantar secara ekonomi, sehingga sangat

kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini dikarenakan selama pernikahan, istri sudah mengalami ketergantungan secara ekonomi kepada suami.

3. Sering terjadi tindak kekerasan terhadap wanita dan anak-anak, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis.

4. Muncul perasaan tidak aman pada wanita, karena pada umumnya ada banyak laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu akan secara diam-diam melakukan pernikahan dengan wanita lain di bawah tangan.


(44)

5. Kemungkinan terkena penyakit HIV atau AIDS lebih besar karena dikawatirkan poligami memunculkan praktek porstitusi dengan berhubungan seks lebih dari satu pasangan.

Selain dampak negatif, adapun dampak positif yang dialami wanita atau istri, yaitu (Setiati, 2007) :

1. Melatih sabar, yaitu berusaha memandang poligami sebagai bagian dari tujuan Tuhan untuk menguji tingkat kesabaran dan kesolehan sebagai seorang wanita, istri, dan ibu dalam mengendalikan amarah, cemburu dan hal-hal lain yang bersifat duniawi.

2. Melatih ikhlas dalam berbagi kebahagiaan dengan wanita lain, yaitu berusaha memandang bahwa segala sesuatu di dunia ini hanya bersifat sementara, dan lebih baik melatih diri untuk mengikhlaskan segala sesuatu sehingga kelak mendapat pahala dimata Tuhan.

3. Melatih berpasrah hati semata-mata karena Tuhan.

4. Melatih hidup sehat dan bersih, yaitu dengan berpoligami istri menjaga agar suami terhindar dari hubungan seks bebas dan hidup sehat juga bersih dimata Tuhan.

5. Melatih diri untuk selalu meningkatkan kualitas, yaitu dengan berpoligami akan membuat setiap istri termotivasi untuk selalu menjaga dan memperbaiki kualitas diri sehingga suami tidak lagi berusaha mencari wanita lain.


(45)

21

6. Melatih untuk tidak memiliki sifat dengki, karena dengan dengki istri akan semakin depresi dan tidak akan menarik dimata suami maupun orang banyak. Maka dengan berpoligami, istri berlatih untuk semakin mendekatkan diri pada Tuhan.

Demikianlah telah diuraikan dampak positif dari poligami yaitu, melatih kesabaran istri, melatih ikhlas, melatih berpasrah pada Tuhan, melatih hidup sehat dan bersih, dan juga melatih untuk tidak memiliki sifat dengki dengan terus meningkatkan kualitas diri. Disamping itu juga dampak negatif dari poligami pada wanita, yaitu munculnya perasaan inferior, tidak aman, kemungkinan terkena penyakit kelamin, dan muncul tindak kekerasan baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Poligami akan membawa dampak positif atau negatif, hal itu tergantung dari bagaimana wanita menikah memandang poligami.

d. Poligami dari Sudut Pandang Islam

Umat Islam mengenal poligami sejak zaman Nabi Muhammad. Ketika itu, poligami tidak menjadi perdebatan orang. Keputusan Nabi untuk melakukan poligami dengan wanita-wanita (diantaranya ada wanita janda dan perawan) dilandasi oleh satu tujuan mulia, yaitu untuk melindungi, menjaga harkat dan martabat mereka sebagai wanita di mata masyarakat (Suprapto, 1990).

Poligami dalam Islam adalah mubah (boleh) dan halal. Islam pada dasarnya menganut sistem monogami, namun memberikan


(46)

kelonggaran dengan diperbolehkannya poligami terbatas. Islam tidak menutup rapat-rapat kemungkinan adanya laki-laki tertentu untuk poligami, tetapi tidak semua laki-laki harus berbuat demikian, karena tidak semua memilki kemampuan untuk berpoligami (Hamidy, 1983).

Dikatakan poligami terbatas karena poligami menurut Islam bukanlah poligami mutlak (sebebas-bebasnya), tetapi dibatasi oleh syarat-syarat tertentu sebagai berikut (Hamidy, 1983) :

1. Jumlah istri yang dipoligami paling banyak empat orang wanita. Seandainya salah satu diantaranya ada yang meninggal atau dicerai, laki-laki tersebut bisa mencari ganti asalkan jumlahnya tidak melebihi empat orang pada waktu yang sama.

2. Laki-laki harus mampu berbuat adil pada istri-istrinya, lebih baik jika laki-laki tersebut mampu dari segi ekonomi.

Dengan adanya dua syarat diatas untuk dapat melaksanakan poligami, maka dapat diketahui bahwa konsekuensi terberat adalah konsekuensi keadilan. Bersikap adil dalam poligami sesungguhnya adalah hal yang tidak mudah. Hal ini karena bentuk perkawinan poligami tidak seperti dalam perkawinan monogamy, dimana suami hanya memiliki satu orang istri dan hak-hak dalam tali perkawinan otomatis hanya menjadi milik istri seorang (Hakeem, 2005).

Dalam perkawinan poligami, syarat mutlak yang harus dimiliki laki-laki / suami adalah ia harus memiliki sikap adil yang merata pada isti-istri yang dinikahinya. Sikap adil yang dimaksudkan


(47)

23

tidak hanya pemerataan dalam pembagian waktu terhadap anak dan istri-istri secara bergilir, tetapi juga sesuai dengan yang diajarkan Nabi, yaitu seorang suami harus bisa bersikap adil dalam pemberian materi, cinta, perhatian, kasih sayang, dan komunikasi (Hakeem, 2005).

3. Sikap terhadap Poligami

Setelah mengetahui definisi dari sikap juga poligami, maka dapat diketahui sikap terhadap poligami, yaitu keadaan mental yang meliputi perasaan atau afeksi, pemikiran atau kognisi dan predisposisi tindakan atau konasi, yang dimiliki seseorang terhadap pernikahan poligami.

B. Wanita Menikah

1. Pengertian Wanita Menikah

Sebelum masuk ke dalam pengertian wanita menikah, akan diketahui terlebih dahulu definisi dari nikah. Nikah menurut Kartono merupakan menifestasi dari ikatan janji setia antara pria dan wanita, yang memberikan pembatasan-pembatasan dan pertanggungan jawab tertentu, baik pada sang suami maupun pada sang istri (Kartono, 1992). Pernikahan dikatakan sah apabila pernikahan itu dilakukan menurut hukum masyarakat atau agama dan kepercayaan (Hamidy, 1983).

Seorang wanita menikah biasanya berada pada tahap usia dewasa dini, yaitu usia 18 tahun hingga 40 tahun. Pada usia tersebut biasanya


(48)

seseorang mengawali perubahan dalam hidupnya dengan melakukan pernikahan. Pengertian wanita menikah menurut Undang-Undang Pokok Perkawinan Nomor 1 / 1974, adalah seorang wanita yang telah melakukan proses pernikahan baik melalui jalur hukum maupun agama (setiati, 2007).

Dari beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan, bahwa wanita menikah adalah seorang wanita yang telah melakukan proses pernikahan baik melalui jalur hukum maupun agama, yaitu memiliki ikatan janji setia dengan suaminya yang masing-masing memiliki batasan dan pertanggungan jawab tertentu

2. Konsep Peranan dalam Pernikahan

Konsep-konsep tentang peranan pria dan wanita dalam pernikahan menurut Mappiare (1983) dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : a. Konsep Tradisional

Konsep tradisional mengutamakan adanya pola perilaku yang memberikan perintah dan adanya penghargaan tinggi terhadap kaum pria. Menurut konsep ini, wanita menjalankan pekerjaannya dengan sadar dan kuasa penuh untuk melayani keperluan suami dan anak-anak. Sebagai ibu rumah tangga, wanita memberikan waktunya untuk memelihara dan melatih anak-anak, mengasuh anak sesuai dengan pola masyarakat disekitarnya.


(49)

25

Konsep ini bukanlah konsep yang ekstrim tradisional dan ekstrim perkembangan, namun berada ditengah-tengah. Konsep moderat mengakui juga adanya individualitas seseorang yang mempunyai hak untuk mengembangkannya sendiri, namun tidaklah mengutamakannya. Dengan begitu, wanita mempunyai hak untuk bekerja diluar rumah, akan tetapi peranan dan tugas pokoknya tetaplah berpegang pada nilai luhur naluri kewanitaannya.

c. Konsep Perkembangan

Konsep ini menekankan pada individualitas seseorang baik suami maupun istri. Pada konsep ini, pria mengambil bagian dalam memelihara anak dan dalam tugas-tugas rumah tangga yang lain. Bagi istri dan anak-anak tidak ada larangan untuk memperoleh penghasilan tambahan maupun pengembangan hobi di luar rumah. Wanita dalam konsep ini mempunyai tugas dan kerja tersendiri dalam mengembangkan potensi-potensi mereka. Di rumah, mereka mempunyai peranan sama dengan suami mereka. Ibu rumah tangga dalam konsep ini membimbing anak sesuai dengan kemampuan anak.

Demikianlah konsep peranan dalam pernikahan, yaitu konsep tradisional, konsep moderat, dan konsep perkembangan. Sedangkan menurut Kartono (1992), wanita dalam pernikahan memiliki beberapa peranan, yaitu :


(50)

Meliputi sikap hidup yang mantap, bisa mendampingi suami dalam berbagai situasi disertai rasa kasih sayang, kecintaan, loyalitas dan kesetiaan, dan mendorong suami dalam karirnya.

b. Peranan sebagai partner seks

Mendukung terciptanya hubungan seks yang memuaskan tanpa adanya gangguan dan didasari oleh kehidupan psikis yang stabil dan adanya kesediaan untuk memahami partnernya.

c. Peranan sebagai ibu dan pendidik

Dapat memenuhi perannya dengan menciptakan iklim yang gembira dan bebas sehingga suasana rumah tangga menjadi semarak dan dapat memberikan rasa aman, bebas, hangat, menyenangkan, serta penuh kasih sayang.

d. Peranan sebagai pengatur rumah tangga

Terdapat relasi formal dan pembagian kerja dimana suami sebagai pencari nafkah dan istri pengurus rumah tangga namun juga dapat berperan serta dalam mencari nafkah.

e. Peranan sebagai partner hidup

Menjadi seorang yang bijaksana, mampu berpikiran luas, dan sanggup mengikuti karir suami. Dengan demikian, akan terdapat persamaan pandangan, perasaan, dan latar belakang kultural yang sesuai dan sederajat, sehingga dapat mengurangi berbagai salah paham dan memperkecil resiko perselisihan dan perceraian.


(51)

27

Melihat penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa peranan wanita dalam pernikahan menurut Kartono, yaitu peranan sebagai istri, partner seks, ibu dan pendidik, pengatur rumah tangga, dan sebagai partner hidup.

3. Perubahan-perubahan pada Wanita Menikah

Wanita, terutama para istri, banyak menghadapi masalah psikologis karena adanya berbagai perubahan yang dialami saat menikah, antara lain perubahan peran sebagai istri dan ibu rumah tangga, bahkan juga sebagai ibu bekerja atau berperan ganda.

Bernard (dalam Abbott, 1992) menyebutkan bahwa wanita menikah memiliki kesehatan mental yang lebih rendah dan dilaporkan mengalami kecemasan, fobia, serta depresi jika dibandingkan dengan pria.

Ia menjelaskan adanya tiga perubahan besar dalam kehidupan wanita yang telah menikah, yang dikenal sebagai The Shock Theory of Marriage, yaitu :

a. Perubahan yang menimbulkan dependensi pada wanita.

Setelah menikah biasanya seorang wanita akan kehilangan sebagian identitas pribadinya serta lebih mengutamakan mengikuti suaminya. Hal ini menimbulkan ketergantungan pada suami, yang pada tingkat tertentu dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan kontrol diri serta rasa percaya dirinya, sehingga lebih mudah mengalami rasa cemas, panik, frustasi, stress, maupun depresi.


(52)

b. Perubahan yang mempengaruhi harga diri.

Wanita yang telah menikah menyadari bahwa norma masyarakat lebih menganggap istri sebagai pendamping suami semata, sehingga cenderung mengalah, mengikuti dan menyesuaikan diri dengan pola perilaku dan kebiasaan suami. Pergaulan dan kontak sosial mereka juga menjadi lebih terbatas dibanding sebelum menikah. Hal ini turut mempengaruhi pula pada harga diri mereka.

c. Perubahan peran sebagai ibu rumah tangga.

Seorang istri yang tidak bekerja dapat menjadi frustasi akibat perannya sebagai ibu rumah tangga. Pada umumnya pekerjaan mengurus rumah tangga adalah pekerjaan tanpa upah, terus-menerus tiada hentinya serta melelahkan. Tidak jarang rutinitas yang ada menimbulkan kejenuhan dan rasa kesepian, terlebih lagi kerena lingkup sosial yang terbatas. Akibatnya ia menjadi makin tergantung pada suami untuk mendapatkan dukungan finansial, emosional, dan perhatian, termasuk teman bertukar pikiran. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, dapat membawa pada kondisi depresi.

Setelah melihat penjelasan pada The Shock Theory of Marriage, maka dapat diketahui bahwa ada tiga perubahan besar dalam kehidupan wanita yang telah menikah, yaitu perubahan yang menimbulkan dependensi pada wanita, perubahan yang mempengaruhi harga diri, dan perubahan peran sebagai ibu rumah tangga.


(53)

29

C. Tingkat Pendidikan

1. Pengertian Tingkat Pendidikan

Sebelum membahas tingkat pendidikan, perlu untuk mengetahui pengertian dari pendidikan itu sendiri. Pengertian pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991:232). Sedangkan menurut Drs. Sumadi Suryabrata (2002), pendidikan adalah usaha manusia (pendidik) untuk dengan penuh tanggung jawab membimbing anak-anak didik ke kedewasaan. Melalui proses ini maka seseorang akan memperoleh pengertian tentang dirinya dan lingkungannya.

Melihat beberapa pengertian dari pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha yang dilaksanakan dengan sadar untuk mengubah tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik, bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Kualitas ini menentukan daya pikir, kreativitas, dan sikap dalam menghadapi setiap permasalahan.

Disamping itu perlu diketahui pula tujuan dari pendidikan. Salah satunya adalah Benjamin S. Bloom dan kawan-kawan (dalam Supratiknya, 2005) yang mengungkapkan bahwa tujuan dari pendidikan mencakup bidang kognitif (kecerdasan, pengetahuan), afektif (nilai, sikap, budi pekerti) dan psikomotorik (kesehatan, keterampilan).


(54)

Setelah mengetahui definisi dari pendidikan beserta tujuannya, maka diketahui pula bahwa dalam proses pendidikan terdapat sebuah tingkatan, dimana setiap individu dituntut untuk melewati setiap tingkatan-tingkatannya. Menurut UU Republik Indonesia No.20 tahun 2003 bab I pasal 1, definisi tingkat pendidikan yaitu tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Tingkat pendidikan terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi (BabVI pasal 14), berikut penjelasan dari masing-masing tingkat pendidikan :

a. Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat (Pasal 17).

b. Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar, yang terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat (Pasal 18).


(55)

31

c. Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas (Pasal 19 & 20).

Setelah melihat penjelasan mengenai tingkat-tingkat pendidikan, maka dapat diketahui ada beberapa jenjang pendidikan, yaitu Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi.

2. Peranan Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan memiliki peranan yang cukup besar dalam pembentukan pribadi seseorang. Diketahui dari tingkat pendidikan yang berbeda akan menghasilkan pribadi seseorang yang berbeda pula (Monks dkk, 2001). Bertolak dari tujuan pendidikan yang mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dikemukakan oleh Benjamin S. Bloom dkk (dalam Supratiknya, 2005), tingkat pendidikan juga memberikan peranan dalam diri peserta didik mencakup ketiga bidang tersebut.

Tingkat pendidikan memberi pengaruh dalam bidang kognitif pada diri seseorang. Seperti dalam jurnal penelitian yang dilakukan oleh Nurina Hakim & Nuryoto mengenai memori lanjut usia ditinjau dari aktivitas dan tingkat pendidikan. Jurnal tersebut mengatakan bahwa


(56)

semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin banyak pengalaman, sehingga akan berbeda dalam cara berfikir, bersikap dan bertingkah laku bila dibandingkan dengan individu yang lebih rendah tingkat pendidikannya (Nurina Hakim & Nuryoto, 2005). Seseorang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki pengetahuan yang lebih luas dan mampu berfokus pada informasi yang paling relevan untuk mengevaluasi kekuatan dan kelemahan alternatif jawaban dari setiap permasalahan yang sedang mereka hadapi. Hal ini juga sejalan dengan pendapat UNESCO (Kompas, 8 Februari 2000) yang mengatakan bahwa dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, seseorang akan lebih mampu untuk menumbuhkan rasionalitas dan lebih berfikir kritis.

Tingkat pendidikan juga turut mempengaruhi perkembangan emosional anak-anak didiknya. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ratriana Yuliastuti dengan jurnalnya ‘Perbedaan Sikap Pria Terhadap Pelecehan Seksual Ditinjau dari Tingkat Pendidikan’, mengatakan bahwa seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki pertimbangan emosional, seperti memiliki nilai atau budi pekerti dan sikap yang lebih matang dibandingkan mereka dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah (Yuliastuti, 2001). Hal ini sejalan dengan pendapat UNESCO (Kompas, 8 Februari 2000) yang mengatakan bahwa dengan pendidikan yang lebih tinggi seseorang akan lebih mampu belajar secara emosional, yaitu mereka mampu membentuk kesadaran bahwa mereka hidup bersama orang lain, namun mampu menanamkan sikap toleransi, cinta damai, dan


(57)

33

penghormatan terhadap hak asasi manusia. Disamping itu, masih menurut UNESCO, seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mampu berkembang sebagai pribadi mandiri, berani untuk bersikap kritis dan penuh rasa harga diri.

Disamping bidang kognitif dan emosional, tingkat pendidikan juga mempengaruhi perilaku seseorang. Sesuai dengan jurnal penelitian yang dilakukan oleh Muh. Ghazali (2003) mengenai perilaku memilih produk pembalut ditinjau dari tingkat pendidikan, mengatakan bahwa perilaku muncul melalui proses mental yang terfokus dalam pembelajaran kognitif yaitu melalui tingkat-tingkat pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Arivia yang mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh seseorang, maka seseorang akan semakin sadar akan otoritas dirinya, seperti mampu mengambil keputusan sendiri dan berani menyatakan pemikiran atau pendapat yang berbeda, serta mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri (Arivia, 2006). Dengan demikian, seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mampu menerobos setiap aturan yang bersifat dogmatis dalam masyarakat. Disamping itu menurut UNESCO, seseorang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi juga akan lebih memiliki keterampilan dalam keseharian hidup mereka yaitu dalam memecahkan setiap permasalahan yang mereka hadapi secara pribadi (UNESCO).


(58)

D. Sikap Wanita Menikah terhadap Poligami Ditinjau dari Tingkat Pendidikan

Wanita menikah adalah seorang wanita yang telah melakukan proses pernikahan baik melalui jalur hukum maupun agama, serta memiliki ikatan janji setia dengan suaminya dan memiliki batasan juga pertanggungan jawab tertentu. Berkaitan dengan batasan dan pertanggungan jawab yang baru, seorang wanita menikah akan mengalami banyak perubahan peranan (Kartono, 1992). Mereka akan memiliki beberapa peranan baru, seperti peranan sebagai istri yang mampu mendampingi suami dalam berbagai situasi, peranan sebagai partner sex sehingga mampu terciptanya hubungan seksual dalam perkawinan, peranan sebagai ibu dan pendidik yang mampu menciptakan suasana keluarga yang hangat dan nyaman, peranan sebagai pengatur rumah tangga dan peranan sebagai partner hidup (Kartono, 1992).

Semua peranan baru yang harus dilalui tersebut terkadang dirasa berat oleh wanita menikah, sehingga banyak dari wanita menikah yang mengalami perubahan mental. Perubahan-perubahan yang muncul yaitu mereka cenderung menjadi tergantung pada suaminya untuk mendapatkan dukungan finansial dan emosional. Ketergantungan pada wanita menikah muncul akibat pergaulan dan lingkup sosial mereka yang terbatas. Disamping itu, perubahan juga muncul akibat adanya norma dalam masyarakat yang memandang istri hanya sebagai pendamping suami semata, sehingga mereka cenderung lebih mengalah, mengikuti dan menyesuaikan diri dengan pola


(59)

35

perilaku dan kebiasaan suami. Hal ini pada akhirnya juga akan mempengaruhi harga diri atau konsep diri wanita menikah (Bernard, dalam Abbott, 1992).

Dinamika perubahan pada wanita menikah diatas akan sangat mempengaruhi sikap wanita ketika memandang berbagai hal dalam pernikahan, dan juga sikapnya terhadap pernikahan poligami. Dinamika perubahan tersebut juga memungkinkan munculnya perbedaan sikap terhadap poligami pada wanita menikah dengan wanita yang belum menikah. Bertolak dari dinamika perubahan yang dialami wanita menikah, maka ada kemungkinan wanita menikah akan cenderung lebih menerima atau bersikap positif terhadap pernikahan poligami.

Namun pembentukan sikap seseorang juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang tersebut. Diketahui bahwa dari tingkat pendidikan yang berbeda akan menghasilkan individu yang berbeda pula (Monks dkk, 2001). Disamping itu pendidikan juga diberikan untuk mengubah tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik, dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup manusia yang meliputi daya pikir, kreativitas, dan sikap dalam menghadapi setiap permasalahan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pendidikan akan sangat mempengaruhi perkembangan pribadi seseorang.

Bertolak dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi perkembangan pribadi dan sikap wanita menikah terhadap poligami yang meliputi aspek kognitif, afektif dan konatif. Wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung akan


(60)

memiliki sikap yang berbeda dengan wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah

Wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memiliki karakteristik sebagai berikut : mereka memiliki pengetahuan yang lebih luas, lebih kompleks dalam berfikir sehingga mampu mengevaluasi kekuatan dan kelemahan alternatif jawaban dari setiap permasalahan yang sedang mereka hadapi. Disamping itu, mereka akan lebih mampu menerobos hal-hal yang bersifat dogmatis. Wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi juga akan lebih mandiri, karena mereka memiliki keterampilan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu wanita menikah dengan tingkat pendidikan lebih tinggi akan lebih memiliki toleransi terhadap orang lain, karena mereka memiliki tingkat emosional yang lebih matang. Mereka juga lebih berani menyatakan pemikiran dan pendapat yang berbeda atau mampu membuat keputusan sendiri, dan lebih bertanggung jawab.

Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi perkembangan pribadi dan sikap wanita menikah yang meliputi tingkat kognitif, afektif dan konatif mereka. Dengan demikian, tingkat pendidikan juga mempengaruhi pembentukan sikap wanita menikah terhadap pernikahan poligami. Pada wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, mereka memandang poligami secara lebih kompleks. Bertolak pada karakteristik wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi di atas, maka dapat diketahui bahwa wanita


(61)

37

menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dimungkinkan cenderung menolak poligami, atau bersikap negatif terhadap pernikahan poligami. Hal ini salah-satunya karena mereka lebih mampu berfikir kritis dan melampaui dogma agama atau tradisi dalam masyarakat, sehingga mereka mampu mengevaluasi kekuatan dan kelemahan dari pernikahan poligami.

Berbeda dengan sikap wanita menikah berpendidikan lebih tinggi, sikap wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah dimungkinkan cenderung lebih menerima atau memiliki sikap yang positif terhadap poligami. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah.

Karakteristik wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah adalah sebagai berikut : mereka kurang memiliki wawasan atau pengetahuan, sehingga mereka cenderung terpenjara dalam dogma yang ada dalam masyarakat dimana mereka tinggal. Disamping itu, wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah cenderung mudah terpengaruh orang lain disekitar mereka, terutama dengan orang yang mereka anggap penting. Selain itu mereka juga cenderung statis dan tergantung pada orang lain disekitarnya. Dengan sifat yang tergantung pada orang lain tersebut, membuat wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah cenderung takut dalam membuat keputusan sendiri.

Melihat karakteristik wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah, maka dapat diketahui bagaimana proses pembentukan sikap wanita menikah tersebut terhadap pernikahan poligami. Wanita menikah


(62)

dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah memiliki kemungkinan untuk cenderung menerima poligami atau bersikap positif terhadap pernikahan poligami. Hal ini salah satunya karena wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah cenderung dogmatis dan mengikuti anjuran dari orang-orang yang berpengaruh, terutama suami. Disamping itu mereka kurang kompleks dalam melihat permasalahan mereka.

Dari uraian diatas, maka dapat diketahui bagaimana tingkat pendidikan mempengaruhi pembentukan sikap wanita menikah terhadap poligami, yang akhirnya mungkin menghasilkan perbedaan sikap wanita menikah terhadap poligami. Yaitu antara wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dengan wanita menikah dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah.

E. Hipotesis

Berdasarkan kerangka kajian teori yang ada, maka hipotesis yang muncul adalah : Ada perbedaan sikap terhadap poligami pada wanita menikah ditinjau dari tingkat pendidikan. Wanita menikah dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki sikap yang lebih negatif terhadap poligami, sedangkan wanita menikah dengan tingkat pendidikan lebih rendah memiliki sikap yang lebih positif terhadap poligami.


(63)

39

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti memilih untuk menggunakan jenis penelitian kuantitatif, dengan desain penelitian komparatif. Desain penelitian komparatif yaitu penelitian untuk membandingkan dua atau lebih sampel penelitian dan untuk melihat perbedaan dari kedua atau lebih sampel tersebut (Azwar, 2005). Dalam penelitian ini, peneliti akan melihat adakah perbedaan sikap wanita menikah terhadap poligami ditinjau dari tingkat pendidikan.

B. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : Tingkat pendidikan 2. Variabel tergantung : Sikap terhadap poligami

C. Definisi Operasional 1. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Adapun penjelasan dari masing-masing


(64)

tingkat pendidikan berdasar UU Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 Bab VI pasal 17, 18 & 19 sebagai berikut :

a. Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentik lain yang sederajat.

b. Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar, yang terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. c. Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tunggi. Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.


(65)

41

Tingkat pendidikan subjek dapat diketahui dari pertanyaan mengenai tingkat pendidikan yang telah disediakan pada skala penelitian.

2. Sikap terhadap poligami

Sikap terhadap poligami yaitu keadaan mental yang meliputi perasaan atau afeksi, pemikiran atau kognisi dan predisposisi tindakan atau konasi, yang dimiliki seseorang terhadap pernikahan poligami.

Skor skala yang didapat dari pengukuran menunjukkan sikap wanita menikah terhadap poligami. Semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek menunjukkan bahwa subjek memiliki sikap yang positif terhadap poligami atau menerima poligami, sebaliknya skor yang rendah menunjukkan bahwa subjek memiliki sikap yang negatif terhadap poligami atau menolak poligami.

D. Subjek Penelitian

Pemilihan subjek penelitian dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan purposive sampling, yaitu pemilihan sekelompok sampel berdasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai kaitan dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang telah diketahui sebelumnya dan sesuai dengan tujuan penelitian (Hadi, 2000). Subjek penelitian ini memiliki ketentuan sebagai berikut :


(66)

2. Beragama muslim, dengan pertimbangan agama Islam memperbolehkan poligami. Maka dengan pemilihan subjek dengan latar belakang agama yang sama, diharapkan tidak akan ada bias.

3. Bertempat tinggal di Pedukuhan Kebur Lor dan Kebur Kidul Cangkringan Argomulyo Sleman Yogyakarta, dengan alasan lokasi masih minim pengaruh media informasi dan juga berada dalam budayayang sama, sehingga pengaruh diluar tingkat pendidikan dapat dikontrol dalam pembentukan sikap subjek terhadap poligami.

E. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala, yaitu dengan menyebarkan skala berisi pernyataan-pernyataan yang harus diisi oleh subjek penelitian.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala sikap, yaitu pernyataan yang mengungkapkan komponen kognitif, afektif, dan konasi terhadap poligami. Skala disusun sendiri oleh peneliti dengan menggunakan skala Likert yang telah dimodifikasi dengan variabel yang akan diukur.

Skala sikap terhadap poligami ini terdiri dari 90 butir pertanyaan yang berisi 45 pernyataan favorabel dan 45 pernyataan unfavorabel. Dibawah ini tabel blue print skala sikap terhadap poligami :


(67)

43

Tabel 1

Spesifikasi & distribusi item skala sikap terhadap poligami Sebelum uji coba

No. Komponen Favorable Unfavorable Total

1 Kognitif 1, 7, 13, 19, 25, 31, 37, 43, 49, 55, 67,

73, 79, 85, 61 (15)

4, 10, 16, 22, 28, 34, 40, 46, 52, 58,

64, 70, 76, 82, 88 (15)

30

2 Afektif 5, 11, 17, 23, 29, 35, 41, 47, 53, 59, 65,

71, 77, 83, 89 (15)

2, 8, 14, 20, 26, 32, 38, 44, 50, 56,

62, 68, 74, 80, 86 (15)

30

3 Konatif 3, 9, 15, 21, 27, 33, 39, 45, 51, 57, 63,

69, 75, 81, 87 (15)

6, 12, 18, 24, 30, 36, 42, 48, 54, 60,

66, 72, 78, 84, 90 (15)

30


(68)

Skala sikap terhadap poligami tersebut disusun dengan menggunakan metode rating yang dijumlahkan (Summated Rating), yaitu metode penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respon sebagai dasar penentuan nilai skalanya (Azwar, 1999).

Skala penelitian ini setiap butir itemnya memuat empat kategori alternatif jawaban yaitu “Sangat Setuju” (SS), “Setuju” (S), “Tidak Setuju” (TS), “Sangat Tidak Setuju” (STS). Penskoran dalam penelitian ini adalah : 1. Pada pernyataan favorable, jawaban “SS” memperoleh skor 4, “S”

memperoleh skor 3, “TS” memperoleh skor 2, dan “STS” memperoleh skor 1.

2. Pada pernyataan unfavorable, jawaban “SS” memperoleh skor 1, “S” memperoleh skor 2, “TS” memperoleh skor 3, dan “STS” memperoleh skor 4.

Skor untuk tiap-tiap item pada skala dijumlahkan sehingga menjadi skor total. Semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek menunjukkan bahwa subjek memiliki sikap yang positif terhadap poligami, sebaliknya skor yang rendah menunjukkan bahwa subjek memiliki sikap yang negatif terhadap poligami.

Uji coba dilaksanakan mulai tanggal 10 Agustus 2007. Subjek Uji coba ini adalah wanita menikah di dua pedukuhan, yaitu Pedukuhan Teplok dan Kliwang Cangkringan Argomulyo Sleman Yogyakarta. Subjek dari Pedukuhan Teplok yaitu 5 wanita menikah dengan latar belakang pendidikan SD atau SLTP, 5 wanita menikah dengan latar belakang pendidikan SMU atau


(69)

45

SMEA, dan 5 wanita menikah dengan latar belakang pendidikan Perguruan Tinggi. Begitu juga dengan subjek dari Pedukuhan Kliwang, yaitu 5 wanita menikah dengan latar belakang pendidikan SD atau SLTP, 5 wanita menikah dengan latar belakang pendidikan SMU atau SMEA, dan 5 wanita menikah dengan latar belakang pendidikan Perguruan Tinggi. Dari seluruh skala yang dibagikan kembali dengan jumlah yang sama, dalam arti tidak ada skala yang gugur atau tidak diisi atau tidak lengkap. Jadi total subjek uji coba adalah 30 subjek.

F. Pengujian Instrumen Penelitian 1. Uji Validitas

Validitas mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukuran dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat ukur tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud pengukuran tersebut (Azwar, 2003).

Uji validitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan validitas isi. Validitas isi adalah validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgement. Pada penelitian ini professional judgement dilakukan oleh orang yang sudah ahli, yaitu oleh dosen pembimbing.


(70)

Validitas dilakukan guna mengetahui sejauhmana item-item tes mewakili komponen-komponen dalam keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur (aspek representasi) dan sejauhmana item-item tes mencerminkan ciri-ciri perilaku yang hendak diukur (aspek relevansi) (Azwar, 2003).

2. Daya Beda Item

Prosedur seleksi item didasarkan pada data empiris yaitu data hasil uji coba item. Kualitas item-item diukur dengan analisis butir, yang menggunakan parameter daya beda item. Daya beda item adalah sejauh mana item mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2003).

Indeks daya beda item merupakan konsistensi antar fungsi item dengan fungsi skala secara keseluruhan yang dikenal dengan istilah konsistensi item total. Pengujian daya beda item dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor skala yang akan menghasilkan koefisien korelasi total, yang disebut parameter daya beda item. Suatu item dikatakan memiliki daya beda item yang baik bila koefisien korelasi total mencapai nilai ≥0,30 (Azwar, 2003).

Dari hasil uji coba yang dilakukan terhadap 90 item skala sikap terhadap poligami ini mempunyai daya beda item berkisar antara 0,119 sampai dengan 0,795. Dalam uji coba ini terdapat 7 item yang gugur karena daya


(71)

47

bedanya berada di bawah 0,30 yaitu pada aitem nomor 1, 8, 31, 46, 50, 57, dan 82.

Tabel 2

Spesifikasi item skala sikap terhadap poligami Setelah uji coba

No. Komponen Favorable Unfavorable Total

1 Kognitif 13 13 26

2 Afektif 15 13 28

3 Konatif 14 15 29

Total 42 41 83

Melihat setelah dilakukan uji coba, ternyata jumlah item dalam tiap aspek tidak lagi sama, maka peneliti dengan dosen pembimbing melakukan pengurangan sebanyak 5 item supaya item dalam tiap aspek kembali seimbang. Disamping itu, pengurangan item ini dilakukan dengan asumsi bahwa 78 item yang terbaik masih mewakili setiap aspek yang hendak diukur dan dapat digunakan untuk mengukur sikap terhadap poligami yang dimiliki subjek penelitian.


(72)

Tabel 3

Spesifikasi & Distribusi item skala sikap terhadap poligami Untuk Penelitian

No. Komponen Favorable Unfavorable Total

1 Kognitif 7, 13, 19, 25, 37, 43, 49, 55, 67, 73, 79,

85, 61 (13)

4, 10, 16, 22, 28, 34, 40, 52, 58, 64,

70, 76, 88 (13)

26

2 Afektif 5*, 11, 17, 23, 29, 35, 41, 47, 53, 59, 65, 71, 77, 83, 89*

(13)

2, 14, 20, 26, 32, 38, 44, 56, 62, 68,

74, 80, 86 (13)

26

3 Konatif 3, 9, 15, 21, 27, 33, 39, 45, 51*, 63, 69,

75, 81, 87 (13)

6, 12, 18*, 24, 30, 36, 42, 48*, 54, 60,

66, 72, 78, 84, 90 (13)

26


(73)

49

Keterangan * = item yang dihilangkan.

3. Uji Reliabilitas

Reliabilitas dilakukan guna mengetahui sejauhmana pengukuran itu dapat memberikan hasil yang relatif tidak berbeda bila dilakukan pengukuran kembali terhadap subjek yang sama (Azwar,2003). Reliabilitas sebenarnya mengacu pada konsistensi atau keterpercayaan hasil ukur, yang mengandung kecermatan pengukuran. Dalam penelitian ini menggunakan metode reliabilitas konsistensi internal

Pengukuran yang tidak reliabel akan menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya karena perbedaan skor yang terjadi di antara individu lebih ditentukan oleh faktor eror (kesalahan) daripada faktor perbedaan yang sesungguhnya. Pengukuran yang tidak reliabel tentu tidak akan konsisten pula dari waktu ke waktu ( Azwar, 1999). Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang 0 – 1,00. Semakin koefisien reliabilitas mendekati 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya, sebaliknya semakin mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitasnya ( Azwar, 1999).


(74)

Dari hasil uji coba yang dilakukan, reliabilitas skala sikap terhadap poligami pada item yang terseleksi sebesar 0,978. Hal ini berarti bahwa skala sikap terhadap poligami memiliki keajegan yang tinggi, sehingga dapat dipercaya untuk mengungkapkan perbedaan sikap terhadap poligami pada wanita menikah ditinjau dari tingkat pendidikan. Setelah penelitian, juga didapat reliabilitas sebesar 0,973, maka dapat diketahui bahwa skala sikap terhadap poligami memiliki keajegan yang tinggi sehingga dapat dipercaya mampu mengungkapkan adanya perbedaan sikap terhadap poligami ditinjau dari tingkat pendidikan.

G. Prosedur Penelitian

Prosedur atau langkah-langkah yang diambil dalam penelitian ini adalah:

1. Membuat skala sikap terhadap poligami dengan menggunakan metode rating yang dijumlahkan (summated rating) untuk diuji cobakan pada kelompok uji coba yang memiliki karekteristik sama dengan kelompok subjek yang sesungguhnya.

2. Mengadakan uji coba skala sikap terhadap poligami pada subjek yang memiliki ciri-ciri sama dengan subjek penelitian.

3. Menganalisis item-item skala sikap terhadap poligami dan melihat reabilitas skala untuk mendapatkan butir yang sahih dan skala yang reliabel.


(75)

51

4. Menentukan subjek penelitian sesuai kriteria yaitu di Pedukuhan Kebur Lor dan Pedukuhan Kebur Kidul Cangkringan Sleman, kemudian diberikan skala sikap terhadap poligami yang sudah diuji kesahihan dan keandalannya.

5. Menganalisis data penelitian yang masuk dengan statistik anava untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan sikap wanita menikah terhadap poligami ditinjau dari tingkat pendidikan.

6. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis tersebut

H. Teknik Analisis Data 1. Uji Asumsi Analisis Data

Untuk memperoleh kesimpulan yang tidak menyimpang dari tujuan penelitian, maka terlebih dahulu dilakukan uji asumsi data penelitian yang meliputi :

a. Uji normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi sebaran variabel bebas dan variabel tergantung bersifat normal atau tidak.

b. Uji homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah varians dari sampel yang akan diuji tersebut adalah sama.


(76)

Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan One Way Anova. One Way Anova yaitu suatu cara pengujian untuk mengetahui perbedaan nyata rata-rata antar varian dari tiga kelompok sampel atau lebih akibat adanya satu faktor perlakuan (Supratiknya, 2000).


(1)

(2)

LAMPIRAN J

Deskripsi Jenis Pekerjaan

Subjek


(3)

Deskripsi Jenis Pekerjaan Subjek

Subjek Tk. Pendidikan Jns. Pkerjaan Skor Sikap

1 Pendidikan Dasar Petani 180 2 Pendidikan Dasar Petani 209 3 Pendidikan Dasar Petani 199 4 Pendidikan Dasar Petani 160 5 Pendidikan Dasar Petani 163 6 Pendidikan Dasar Petani 209 7 Pendidikan Dasar Petani 234 8 Pendidikan Dasar Petani 202 9 Pendidikan Dasar Petani 205 10 Pendidikan Dasar Petani 218 11 Pendidikan Dasar Ibu Rumah Tangga 176

12 Pendidikan Dasar Ibu Rumah Tangga 158 13 Pendidikan Dasar Ibu Rumah Tangga 184 14 Pendidikan Dasar Ibu Rumah Tangga 223 15 Pendidikan Dasar Ibu Rumah Tangga 154 16 Pendidikan Dasar Ibu Rumah Tangga 174 17 Pendidikan Dasar Ibu Rumah Tangga 201 18 Pendidikan Dasar Ibu Rumah Tangga 161


(4)

No Tk. Pendidikan Jns. Pkerjaan Skor Sikap

20 Pendidikan Dasar Wiraswasta 150 21 Pendidikan Menengah Petani 173 22 Pendidikan Menengah Petani 184 23 Pendidikan Menengah Petani 225 24 Pendidikan Menengah Petani 169 25 Pendidikan Menengah Petani 244 26 Pendidikan Menengah Petani 208 27 Pendidikan Menengah Petani 170 28 Pendidikan Menengah Ibu Rumah Tangga 160

29 Pendidikan Menengah Ibu Rumah Tangga 164 30 Pendidikan Menengah Ibu Rumah Tangga 154 31 Pendidikan Menengah Ibu Rumah Tangga 164 32 Pendidikan Menengah Ibu Rumah Tangga 162 33 Pendidikan Menengah Ibu Rumah Tangga 163

34 Pendidikan Menengah Wiraswasta 152 35 Pendidikan Menengah Wiraswasta 153 36 Pendidikan Menengah Wiraswasta 152 37 Pendidikan Menengah Guru 142 38 Pendidikan Menengah Guru 139 39 Pendidikan Menengah Guru 149 40 Pendidikan Menengah Guru 142


(5)

No Tk. Pendidikan Jns. Pkerjaan Skor Sikap

41 Pendidikan Tinggi Petani 154 42 Pendidikan Tinggi Petani 165 43 Pendidikan Tinggi Ibu Rumah Tangga 142

44 Pendidikan Tinggi Ibu Rumah Tangga 141 454 Pendidikan Tinggi Ibu Rumah Tangga 146 46 Pendidikan Tinggi Ibu Rumah Tangga 154 47 Pendidikan Tinggi Ibu Rumah Tangga 151 48 Pendidikan Tinggi Ibu Rumah Tangga 147

49 Pendidikan Tinggi Wiraswasta 139 50 Pendidikan Tinggi Wiraswasta 143 51 Pendidikan Tinggi Wiraswasta 139 52 Pendidikan Tinggi Guru 121 53 Pendidikan Tinggi Guru 133 54 Pendidikan Tinggi Guru 137 55 Pendidikan Tinggi Guru 116 56 Pendidikan Tinggi Guru 116 57 Pendidikan Tinggi Pegawai Negeri 98 58 Pendidikan Tinggi Pegawai Negeri 123 59 Pendidikan Tinggi Pegawai Negeri 101 60 Pendidikan Tinggi Pegawai Negeri 81


(6)

Norma Kategorisasi Sikap Terhadap Poligami

Skor Kategori

( μ + 1.0 σ ) ≤ X Tinggi ( μ - 1.0 σ ) ≤ X < ( μ + 1.0 σ ) Sedang

X< ( μ - 1.0 σ ) Rendah

Kategorisasi Sikap Terhadap Poligami

Skor Kategorisasi

234 ≤ X Tinggi 156 ≤ X < 234 Menengah X < 156 Rendah