xix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Talasemia merupakan penyakit hemolitik kronik oleh karena kelainan genetik yang diturunkan secara autosomal resesif dengan karakteristik terjadi penurunan
atau pengurangan produksi rantai globin Setianingsih,1999; Lucarelli,2005. Akibat dari rantai globin yang kurang maka akan terbentuk eritrosit yang mudah
rapuh, sehingga terjadi anemia dengan berbagai macam derajatnya. Penyakit talasemia dijelaskan pertama kali oleh Cooley 1925, semula ditemukan di
sekitar Laut Tengah, menyebar sampai mediteran, Afrika, Timur Tengah, India, Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada tahun 2003 tidak kurang dari 300.000
bayi dengan kelainan berat penyakit ini dilahirkan setiap tahun di dunia sedangkan jumlah penderita heterozigotnya tidak kurang dari 250 juta orang
Wahidiyat, 2003. Jumlah penderita talasemia mayor di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 8 juta orang. Di Pusat Talasemia Jakarta pada akhir bulan
Maret 2007 tercatat 1264 pasien dengan 80-100 pasien baru setiap tahun Setiabudy, 2007.
Sampai saat ini belum ditemukan obat yang menyembuhkan secara genetik. Transfusi diberikan untuk mempertahankan kadar hemoglobin diatas 10
gdl untuk kebutuhan tumbuh kembang. Akan tetapi pemberian secara berulang akan berisiko terjadi penumpukan zat besi dalam tubuh di berbagai organ
misalnya jantung, hati, otak, ginjal dan kelenjar endokrin Weatherall, 1998; Nathan, 2003. Banyak penelitian yang sudah dilakukan mengenai hubungan
xx penumpukan zat besi hemosiderosis dengan gangguan fungsi organ.
Penumpukan zat besi pada jantung akan menyebabkan gangguan kontraktilitas otot jantung dan irama jantung, tergantung pada banyaknya besi yang tertimbun
di serabut otot. Toksisitas besi terhadap jantung terjadi akibat penimbunan besi dalam sel miokardium dan jaringan perenkim sehingga akan menyebabkan reaksi
katalisis yang membentuk hidroksi radikal bebas. Hal tersebut berakibat terjadinya peroksidasi lipid di mitokondria, lisosom dan membran sel yang akan
mengakibatkan kerusakan sel, kematian jaringan serta akhirnya kerusakan organ. Timbunan besi pada otot jantung akan menimbulkan kekakuan pada otot jantung,
Deposit besi pada miokardium selanjutnya akan menimbulkan gangguan fungsi
ventrikel, yang dapat menimbulkan kardiomiopati dan gagal jantung yang merupakan penyebab utama kematian pada pasien talasemia mayor Nathan,
2003. Penelitian dampak feritin terhadap gangguan fungsi jantung masih
kontroversi. Pada penelitian Renny Suwarniaty dkk. tahun 2006 didapatkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara lama transfusi dengan rasio EA
2.5, namun tidak didapatkan hubungan antara kadar serum feritin dengan gangguan fungsi ventrikel kiri pada pasien talasemia mayor yang mendapatkan
transfusi secara multipel Suwarniaty, 2007. Hasil penelitian ini ditunjang dengan penelitian Fajar Subroto dkk. tahun 2003 yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara tinggi kadar feritin dengan terjadinya disfungsi jantung Subroto, 2003. Ashena, Ghafurian, Ehsani, 2007 memperoleh hasil yang sama yaitu tidak
ada hubungan antara kadar feritin dengan gangguan fungsi diastolik Ashena,
xxi 2007. Muhammad Ali dkk. Tahun 2006 di RS Ciptomangunkusumo
mendapatkan hasil berlawanan, pada talasemia mayor terjadi fungsi ventrikel kiri yang abnormal, dan tingginya kadar feritin mempengaruhi abnormalitas fungsi
diastolik Ali, 2006. Prevalensi gangguan jantung yang ditemukan di RSCM sebesar 29 Subroto, 2003. Di seluruh dunia lebih dari 70 pasien talasemia
mayor meninggal karena gagal jantung akibat timbunan besi ini Penaell, 2006. Sampai tahun 2008 didapatkan 45 orang penderita talasemia di Bagian
Anak RS. Dr. Moewardi Surakarta, dan penelitian mengenai fungsi jantungnya belum pernah dilakukan. Penggunaan deferoksamin di RS. Dr. Moewardi
Surakarta sampai saat ini belum memadai. Peneliti ingin mengetahui hubungan kadar feritin dengan gangguan fungsi jantung diastolik dan fungsi sistolik pada
penderita talasemia anak di RS. Dr. Moewardi Surakarta.
B. Rumusan Masalah