22
Sebuah ilmu mengkaji tanda – tanda di dalam masyarakat dapat dibayangkan, ia akan menjadi bagian psikologi sosial dan, sebagai
konsekuensinya, psikologi general, ia akan saya beri nama semiologi dari bahasa yunani semeion tanda. Semiologi akan menunjukkan hal – hal apa yang
membentuk tanda – tanda, kaidah – kaidah apa yang mengendalikannya. Saussure, 1986 : 16 dalam Budiman, 2005 :35.
2.1.8. Model Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes adalah salah satu tokoh semiotika komunikasi yang menganut aliran semiotika komunikasi struktrualisme Ferdinand De Saussure
lebih menekankan pada linguistik. Menurut Shldosvsky “ karya seni adalah karya – karya yang diciptakan
melalui teknik – teknik khas yang dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi karya yang seartistik mungkin” Budiman, 2003 : 11.
Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh seorang semiotikus
dalam mempelajari semua sistem tanda sosial lainnya. Semiologi adalah ilmu tentang bentuk, sebab ia mempelajari pemaknaan secara terpisah dari
kandungannya Kurniawan,2001 :156. Di dalam semiologi seseorang diberikan “kebebasan” di dalam memaknai sebuah tanda.
Roland Barthes mendasari kajian – kajian Barthes terhadap objek – objek kenyataan unsur kebudayaan yang sering ditelitinya. Cakupan kajian kebudayaan
Barthes sangat luas. Kajian itu meliputi Kesusastraan, perfilman, busana dan
23
berbagai fenomena kebudayaan lainnya. Sebuah garmen,sebuah mobil, sebuah film, sekeping musik, sebuah judul kepala surat kabar, ini semua memang
nampaknya objek – objek heterogen. Menurut Barthes Kurniawan 2001 : 89, analisis naratif struktural secara
metodologis berasal dari perkembangan awal atas apa yang disebut linguistik struktural sebagaimana pada perkembangan akhirnya dikenal semiologi teks atau
semiotika. Jadi, secara sederhana analisis naratif struktural dapat disebut juga sebagai semiologi teks karena memfokuskan diri pada naskah. Intinya sama, yakni
mencoba memahami makna suatu karya dengan menyusun kembali makna – makna yang tersebar dengan suatu cara tertentu.
Signifier penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna aspek material, yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau
dibaca. Signified petanda adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasaKurniawan, 2001 “ 30.
Pada setiap terbitannya Roland Barthes membahas “Mythology of the month” mitologi bulan ini, sebagaian besar dengan menunjukkan bagaimana
aspek denotatif tanda – tanda dalam budaya pop menyingkirkan konotasi yang pada dasarnya adalah “mitos – mitos’ yang dibangkitkan oleh sistem tanda yang
lebih luas yang membentuk masyarakat. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang
tanda adalah peran pembaca. Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda,membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara
panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sistem pemaknaan tataran kedua,
24
yang dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya.
gambar bagan 2.1
Gambar 2.1 Peta Tanda Barthes
Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, tanda
denotatif adalah juga penanda konotatif 4. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material. Hanya jika anda mengenal tanda “sign”, barulah
konotasi seperti harga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin. Jadi dalam konteks Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan
namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya Shobur, 2003 :68-69.
Salah satu konsep Barthes dalam Lelomali,2006:30 adalah foto seorang prajurit berkulit hitam sedang memberi hormat pada bendera
1.Signifier penanda
2.Signifed petanda
3.Denotatif sign tanda denotative 4. CONOTATIVE SIGNIFIER
PENANDA KONOTATIF 5. CONOTATIVE SIGNIFIED
PETANDA KONOTATIF 6. CONOTATIVE SIGN TANDA KONOTATIF
1.Signifier penanda
2.Signifed petanda
3.Denotatif sign tanda denotative 4. CONOTATIVE SIGNIFIER
PENANDA KONOTATIF 5. CONOTATIVE SIGNIFIED
PETANDA KONOTATIF 6. CONOTATIVE SIGN TANDA KONOTATIF
25
GAMBAR 2.2
Barthes menambahkan untuk menjelaskan makna dari gambar lebih jauh, second – order signification konotasi harus muncul dari pengalaman yang
dipunyai dan memiliki asosiasi konotasi yang telah dipelajari untuk memasangkan makna dengan tanda
Bagaimanapun juga konotasi tidak bisa lepas dari kultur dimana kita tinggal dan diantara tanda – tanda yang beroperasi sebagai system yang beroperasi
sebagai system interpretasi tanda ini membawa pada aspek yang dirujuk Barthes sebagai mitos. Di bawah mitos ini, tanda menjadi penanda tatanan kedua second
order signifier. Petandanya adalah perancis sebagai Negara besar, dimana semua anak negerinya, tanpa membedakan warna kulit, mengabdikan diri kepada
Perancis Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan
tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai 1. Penanda
2. Petanda 3. Tanda
Mitos Langue
Code I. PENANDA
II. PETANDA III.
TANDA Langue
Code 1. Foto prajurit
berkulit hitam memberi hormat
pada bendera Perancis
2. Prajurit berkulit hitam
memberi hormat pada bendera
Perancis
Mitos 3. Tanda
1. PRAJURIT BERKULIT HITAM MEMBERI HORMAT
PADA BENDERA PERANCIS II. KENEGARAAN
PERANCIS YANG BESAR, SEMUA ANAK
BERADA DALAM KESETARAAN
III. TANDA
26
pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos juga adalah suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat
memiliki beberapa penanda. Alasan dan pertimbangan Barthes menempatkan ideologi dengan mitos,
karena baik dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan penanda denotatif terjadi secara termotivasi. Ideologi ada selama kebudayaan ada,
dan itulah sebabnya Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya. Kebudayaan, mewujudkan dirinya di dalam teks – teks dan demikian
ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk kedalam teks dalam bentuk penanda penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut
pandang, dan lain – lain Shobur, 2003 : 70 - 71. Semiologi Roland Barthes, jelas sangat terkait dengan struktrualisme
adalah usaha untuk menunjukkan bagaimana makna literatur bergantung pada kode – kode yang diproduksi oleh wacana – wacana yang mendahului dari sebuah
budaya. Secara luas kode – kode budaya ini terlihat jelas bila kita mengkaji mitos – mitos yang tersebar dalam kehidupan keseharian.
Mitos menurut Barthes adalah sebuah sistem komunikasi yang dengan demikian merupakan sebuah pesan. Mitos kemudian tak mungkin dapat menjadi
sebuah obyek, sebuah konsep, atau sebuah ide karena mitos adalah sebuah mode penindasan yakni sebuah bentuk.
Mitos sebagai bentuk tidak dibatasi oleh obyek – obyek pesannya, tetapi dengan cara apa mitos menuturkan pesan itu. Dengan demikian ada batas – batas
formal dari mitos,tetapi dengan caraapa mitos menuturkan pesan itu. dengan
27
demikian ada batas – batas formal dari mitos, tetapi tidak ada batasan yang “substansial “.sejarah manusia mengkonversikan realitas ke dalam tuturan
speech dan manusia sendirilah yang menentukan hidup dan matinya bahasa mistis. Kuno atau tidak, mitologi hanya dapat memiliki sebuah landasan sejarah,
yakni tipe tuturan yang terpilih dari sejarah dan dia tidak mungkin dapat berkembang :dari hakikat” benda – benda Kurniawan,2001 : 183 - 184.
Di mata Barthes, suatu karya atau teks merupakan sebentuk konstruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah
rekonstruksi dari bahan – bahan yang tersedia, yang tidak lain adalah teks itu sendiri. Sebagai sebuah proyek rekonstruksi, maka pertama – tama teks tersebut
dipenggal – penggal terlebih dahulu menjadi beberapa “leksia” atau satuan bacaan tertentu. Leksia ini dapat berupa kata, beberapa kalimat, sebuah paragraph, atau
beberapa paragraph. Dengan memenggal teks itu maka penggarang tidak lagi jadi perhatian.
Teks bukan lagi menjdi milik penggarang, tetapi menjadi milik pembaca dan bagaimana pembaca memproduksi makna itu.
Produksi makna dari pembaca itu sendiri akan menghasilkan kejamakan. Tugas para semiolog atau pembaca kemudian adalah menunjukkan sebanyak
mungkin makna yang dihasilkan. Barthes menyebut proses ini sebagai semiolog yang memasuki “dapur makna” Kurniawan, 2001 93-94.
Cara kerja Barthes sebagai upaya untuk mengeksplisitkan kode – kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realitas. Barthes berpendapat bahwa
Sarrasine ini
28
Terangkai dalam kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode.
Lima Kode yang ditinjau Barthes adalah : 1.
Kode Hermenutik atau kode teka – teki. Berkisar pada harapan untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang
mincul dalam tes. Kode teka – teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional didalam narasi ada suatu kesinambungan antara
pemunculan suatu peristiwa teka – teki dan penyelesaian di dalam cerita.
2.Kode Semik atau kode konotatif Kode semik atau kode konotatif lebih menawarkan banyak sisi. Dalam proses
pembaca, pembaca menyusun tema suatu teks dengan melihat konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau
frase yang mirip. Jika melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita akan menemukan tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu
nama tertentu, akan dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menggangap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat
dan paling akhir. 3. Kode simbolik
Merupakan suatu pengkodean fiksi yang paling struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan
bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fenom dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf
29
oposisi psikoseksua yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah – istilah
retoris seperti antitetis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes
4. Kode paretik atau kode tindakan Kode Paretik atau kode tindakan dianggapnya sebagai perlengkapan utama
teks yang dibaca orang artinya antara lain, artinya semua teks yang bersifat naratif. Kita mengenal kode tindakan atau peristiwa karena dapat
memahaminya. Pada kebanyakan fiksi selalu mengharap lakuan di “isi” sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks.
5. Kode Gnomik atau Kode Kultural Kode ini merupakan acuan teks benda – benda yang sudah diketahui dan
dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya
adalah hal – hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu. Sobur, 2003:65-6.
Pendekatan Semiologi Dalam Film
Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural and Comunication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi.
Perspektif yang pertama melihat komunikasi sebagai transisi pesan. Sedangkan perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran
makna. Bagi perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan
30
pertukaran makna. Bagi perspektif yang kedua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiologi ilmu
tentang tanda dan makna, Fiske, 2006:9. Perspektif produksi dan petukaran makna memfokuskan bahasanya pada
bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang – orang disekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan
dengan peranan teks tersebut dalam budaya kita. Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antar
pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan. Untuk
itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan pendekatan semiologi.
Definisi semiologi yang umum adalah studi mengenai tanda – tanda Chandler, 2002:
www.aber.ac.uk studi ini tidak hanya mengarah pada
“tanda”dalam kehidupan sehari – hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda – tanda tersebut. Bentuk – bentuk tanda disini antara lain berupa kata – kata, images,
suara, gesture, dan objek. Bila kita mempelajari tanda tidak bisa memisahkan tanda yang satu dengan tanda yang lain membentuk suatu sistem, dan kemudian
disebut sistem tanda. Lebih sederhananya semiologi mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut John Fiske dan John Hartlye,
konsentrasi semologi adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda – tanda tersebut
dikomunikasikan dalam kode – kode. Chandler, 2002: www.aber.ac.uk
.
31
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiologi. Seperti dikemukakan Van Zoest 1993:109 dalam Sobur,
2004:128 Film dengan tanda semata – mata. Tanda – tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang
diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Karena itu, menurut Van Zoest,
bersamaan dengan tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu Van Zoest, 1993 : 109 dalam Sobur, 2004:128. Memang ciri gambar –
gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar – gambar yang dinamis dalam film merupakn ikonis bagi realitas yang dinotasikan.
Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda – tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek
yang digunakan. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara, kata yang diucapkan ditambah dengan suara – suara lain yang serentak mengiringi
gambar – gambar dan musik film. Sistem semiologi yang lebih penting dalam film adalah digunakannya tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang
menggambarkan sesuatu Sobur, 2004:128. Menurut Fiske dalam bukunya berjudul Television Cultural, analisis
semiotik pada sinema atau film layar lebar wide screen disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televisi. Fiske mengkategorikan sign pada film
ke dalam dua kategori, yakni kode – kode representasi reprensentational codes. Kode – kode tersebut bekerja dalam sebuah struktur hirarki yang kompleks.
Fiske, 1990:40 dalam Mawardhani, 2006:39. Analisis yang dilakukan pada film
32
2012 ini dapat terbagi menjadi beberap level, yaitu : 1.
Level Realitas reality Pada level ini, realitas dapat berupa penampilan, pakaian dan make-up yang
digunakan oleh pemain, lingkungan, perilaku, ucapan, gesture, ekspresi, suara, dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara
elektronik melalui kode – kode teknis http:www.questia.com
. Kode - kode sosial yang merupakan realitas yang akan diteliti dalam penelitian ini, dapat
berupa : a. penampilan, kostum dan make up yang digunakan oleh pemain dalam
film “2012”. Dalam penelitian ini pemeran yang menjadi pemimpin Negara menjadi objek penelitian. Bagaimana pakaian dan tata rias yang
digunakan, serta apakah kostum dan make up yang ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan kultural.
b. Lingkungan atau setting, yang ditampilkan dari seorang pemimpin tersebut, bagaimana simbol – simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan
makna didalamnya. c. Dialog, berupa apa saja makna dari kalimat – kalimat yang diucapkan
dalam dialog. 2.
Level Representasi representation Level representasi meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, dan
suara, yang ditransmisikan sebagai kode – kode representasi yang bersifat konvensional. Bentuk – bentuk representasi dapat berupa cerita, karakter,
action, dialog, setting, casting dan sebagainya http:www.questia.com
. Level
33
representasi meliputi : 1
Teknik Kamera : Jarak dan sudut pengambilan a.
Long Shot : Pengambilan yang menunjukkan semua bagian dari objek, menekankan pada background. Shot ini biasanya dipakai dalam tema –
tema sosial yang memperlihatkan banyak orang dalam shot yang lebih lama dan lingkungannya dari pada individu sebagai fokusnya.
b. Establishing Shot: Biasanya digunakan untuk membuka suatu adegan.
c. Medium Shot : Menunjukan subjek atau aktornya dan lingkungannya
dalam ruang yang sama. Biasanya digunakan untuk memperlihatkan kehadiran dua atau tiga aktor secara dekat.
d. Close Up : Menunjukan sedikit dari scene, seperti karakter wajah
dalam detail sehingga memenuh layar, dan mengaburkan objek dengan konteksnya. Pengambilan ini memfokuskan pada perasaan dan reaksi
dari seseorang, dan kadang kala digunakan dalam percakapan untuk menunjukkan emosi seseorang.
e. View Point : Jarak dan sudut nyata darimana kamera memandang dan
merekam objek. f.
Point of view : Sebuah pengambilan kamera yang mendekatkan posisinya pada pandangan seseorang yang ada, yang sedang
memperlihatkan aksi lain. g.
Selective focus : Memberikan efek dengan menggunakan peralatan optikal untuk mengurangi ketajaman dari image atau bagian lainnya.
Lainnya : Wide angle shot, title shot, angle shot, and two shot.
34
2 Manipulasi Waktu
Macamnya Sceen time, subjective times, compressed time, long take, simultaneous time, show motion, replay, flash back, flash forward,
overlapping action, universal time, ambiguous time.
3 Teknik Kamera : Perpindahan
a. Zoom : Perpindahan tanpa memindahkan kamera hanya lensa
difokuskan untuk mendekati objek. Biasanya untuk memberikan kejutan kepada penonton.
b. Following pan : Kamera berputar untuk mengikuti perpindahan objek.
Kecepatan perpindahan terhadap objek menghasilkan mood tertentu yang menunjukkan hubungan penonton dengan subjeknya.
c. Tracking dollying : Perpindahan kamera secara pelan maju atau
menjauhi objek berbeda dengan zoom. Kecepatan tracking mempengaruhi perasan penonton. Jika dengan cepat utamanya tracing
in menunjukkan ketertarikan, demikian sebaliknya. Lainnya :Surfaying pan, tilt naik turunnya kamera, crab perpindahan kamera
ke kiri atau ke kanan
4 Teknik Editing
a. Cut : Perubahan secara tiba – tiba dari suatu pengambilan sudut
pandang atau lokasi lainnya. Ada bermacam – macam cut yang
35
mempunyai efek untuk merubah scene, mempersingkat waktu, memperbanyak point of view, atau membentuk kesan terhadap image
atau ide. b.
Jump cut : Untuk membuat suatu adegan yang dramatis c.
Motived cut : Bertujuan untuk membuat penonton segera ingin melihat adegan selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya.
5 Penggunaan Suara
a. Comentar voice – over narration : Biasanya digunakan untuk
memperkenalkan bagian orang tertentu dari suatu program, menambah informasi yang tidak ada dalam gambar, untuk menginterpretasikan
kesan pada penonton dari suatu sudut pandang, menghubungkan bagian atau sequences dan program secara bersamaan.
b. Sound effect : Untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu kejadian.
c. Musik : Untuk mempertahankan kesan dari suatu fase untuk mengiringi
suatu adegan, warna emosional pada musik turut mendukung keadaan emosional suatu adegan.
6 Pencahayaan : Macamnya soft and hard lighting, dan backlighting
Cahaya menjadi unsur media visual, karena cahayalah informasi bisa dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsur teknis yang
membuat benda bisa dilihat. Mak penyajian film juga, pada mulanya, disebut sebagai “painting withlight”, melukis dengan cahaya. Namun
dalam perkembangannya bertutur dengan gambar, ternyata fungsinya
36
berkembang semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfir set dan bisa menunjang dramatik adegan.
Biran, 2006:43.
7 Grafis
Macamnya teks, diagram dan animasi.
8 Gaya bercerita
Macamnya Subjective treatment,
objective treatment, parallel
development, invisible editing, mise-en-scene, montage, talk to camera, and tone.
9 Segi dan format lainnya
Macamnnya shot, series, serial, talking heads, vox pop, dan interiextuality.
10 Mise – En – Scene
Kode – kode Mise – en – scene ialah alat – alat yang dipergunakan oleh pembuat film untuk merubah dan menyesuaikan pembacaan shot yang
akan kita lakukan. Mise – en – scene juga digunakan untuk mengungkapkan makna melalui suatu hubungan antar adegan yang terlihat
dengan suatu adegan lain. Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut
pada suara dan penataan musik yang ada pada level representasi, karena
37
keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi altruisme dalam film 2012.
3. Level Ideologi
Level ideologi dimana pengorganisasian kode – kode tersebut terdapat dalam suatu kesatuan coherence dan penerimaan social social acceptability
seperti kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas, matrealisme kapitalisme, individualisme, liberalisme, status, dan lainnya berkaitan dengan permasalahan
yang akan dibahas dalam penelitian ini, peneliti hanya akan memakai simbol – simbol yang ditampilkan dalam film dalam film 2012.
Beberapa ideology yang ada dan masih bertahan banyak sekali antara lain,: 1. Liberalisme yang mempunyai beberapa pokok pemikiran, tentang liberalisme
berpusat pada kebebasan individu, ideology ini berkembang sesuai dengan perkembangan sebuah Negara dan bisa dibatasi dengan adanya undang – undang
Negara, landasan pemikirannya adalah menusia pada hakikatnya adalah baik dan berbudi-pekerti, tanpa harus diadakannya pola-pola pengaturan yang ketat dan
bersifat memaksa terhadapnya. 2. Komunisme, yang mempunyai pokok pemikiran penghapusan kelas – kelas
dalam masyarakat serta menolak segala bentuk pemerintahan yang telah lampau baik yang tegas dan yang tidak. Suatu Negara yang menganut ideology ini harus
mempunyai system pemerintahan yang otoriter, 3. Sosialisme, mempunyai inti pemikiran kehidupan kolektif,kebersamaan dan
gotong – royong, dan filsafatnya adan ya kesederajatan dan pemerataan bagi tiap orang dalam suatu Negara,ideology ini mempunyai landasan pemikiran bahwa
38
masyarakat dan juga Negara adalah suatu pola kehidupan bersama – sama dan tidak bisa hidup sendir – sendiri, dengan adanya kerja sama maka ideology ini
memandang kehidupan akan lebih baik. Masih banyak lagi ideology yang ada antara lain ideology Marxisme, Komunis, Fasisme, Feminisme, Konservatisme,
Kapitalisme. Diantara sekian banyak ideology, Altruisme yang ada pada film ini termasuk dalam kategori ideology sosialis, karena altruisme yang bermakna lebih
mendahulukan kepentingan orang lain dari pada diri sendiri, mempunyai arti sama dengan pemikiran sosialis, yang ingin hidup bersama dengan saling gotong –
royong, maka dari itu film ini mengandung ideology sosialisme
2.2 Kerangka Berpikir