Model Semiotika Roland Barthes

22 Sebuah ilmu mengkaji tanda – tanda di dalam masyarakat dapat dibayangkan, ia akan menjadi bagian psikologi sosial dan, sebagai konsekuensinya, psikologi general, ia akan saya beri nama semiologi dari bahasa yunani semeion tanda. Semiologi akan menunjukkan hal – hal apa yang membentuk tanda – tanda, kaidah – kaidah apa yang mengendalikannya. Saussure, 1986 : 16 dalam Budiman, 2005 :35.

2.1.8. Model Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes adalah salah satu tokoh semiotika komunikasi yang menganut aliran semiotika komunikasi struktrualisme Ferdinand De Saussure lebih menekankan pada linguistik. Menurut Shldosvsky “ karya seni adalah karya – karya yang diciptakan melalui teknik – teknik khas yang dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi karya yang seartistik mungkin” Budiman, 2003 : 11. Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh seorang semiotikus dalam mempelajari semua sistem tanda sosial lainnya. Semiologi adalah ilmu tentang bentuk, sebab ia mempelajari pemaknaan secara terpisah dari kandungannya Kurniawan,2001 :156. Di dalam semiologi seseorang diberikan “kebebasan” di dalam memaknai sebuah tanda. Roland Barthes mendasari kajian – kajian Barthes terhadap objek – objek kenyataan unsur kebudayaan yang sering ditelitinya. Cakupan kajian kebudayaan Barthes sangat luas. Kajian itu meliputi Kesusastraan, perfilman, busana dan 23 berbagai fenomena kebudayaan lainnya. Sebuah garmen,sebuah mobil, sebuah film, sekeping musik, sebuah judul kepala surat kabar, ini semua memang nampaknya objek – objek heterogen. Menurut Barthes Kurniawan 2001 : 89, analisis naratif struktural secara metodologis berasal dari perkembangan awal atas apa yang disebut linguistik struktural sebagaimana pada perkembangan akhirnya dikenal semiologi teks atau semiotika. Jadi, secara sederhana analisis naratif struktural dapat disebut juga sebagai semiologi teks karena memfokuskan diri pada naskah. Intinya sama, yakni mencoba memahami makna suatu karya dengan menyusun kembali makna – makna yang tersebar dengan suatu cara tertentu. Signifier penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna aspek material, yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified petanda adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasaKurniawan, 2001 “ 30. Pada setiap terbitannya Roland Barthes membahas “Mythology of the month” mitologi bulan ini, sebagaian besar dengan menunjukkan bagaimana aspek denotatif tanda – tanda dalam budaya pop menyingkirkan konotasi yang pada dasarnya adalah “mitos – mitos’ yang dibangkitkan oleh sistem tanda yang lebih luas yang membentuk masyarakat. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca. Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda,membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sistem pemaknaan tataran kedua, 24 yang dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya. gambar bagan 2.1 Gambar 2.1 Peta Tanda Barthes Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif 4. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material. Hanya jika anda mengenal tanda “sign”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin. Jadi dalam konteks Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya Shobur, 2003 :68-69. Salah satu konsep Barthes dalam Lelomali,2006:30 adalah foto seorang prajurit berkulit hitam sedang memberi hormat pada bendera 1.Signifier penanda 2.Signifed petanda 3.Denotatif sign tanda denotative 4. CONOTATIVE SIGNIFIER PENANDA KONOTATIF 5. CONOTATIVE SIGNIFIED PETANDA KONOTATIF 6. CONOTATIVE SIGN TANDA KONOTATIF 1.Signifier penanda 2.Signifed petanda 3.Denotatif sign tanda denotative 4. CONOTATIVE SIGNIFIER PENANDA KONOTATIF 5. CONOTATIVE SIGNIFIED PETANDA KONOTATIF 6. CONOTATIVE SIGN TANDA KONOTATIF 25 GAMBAR 2.2 Barthes menambahkan untuk menjelaskan makna dari gambar lebih jauh, second – order signification konotasi harus muncul dari pengalaman yang dipunyai dan memiliki asosiasi konotasi yang telah dipelajari untuk memasangkan makna dengan tanda Bagaimanapun juga konotasi tidak bisa lepas dari kultur dimana kita tinggal dan diantara tanda – tanda yang beroperasi sebagai system yang beroperasi sebagai system interpretasi tanda ini membawa pada aspek yang dirujuk Barthes sebagai mitos. Di bawah mitos ini, tanda menjadi penanda tatanan kedua second order signifier. Petandanya adalah perancis sebagai Negara besar, dimana semua anak negerinya, tanpa membedakan warna kulit, mengabdikan diri kepada Perancis Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai 1. Penanda 2. Petanda 3. Tanda Mitos Langue Code I. PENANDA II. PETANDA III. TANDA Langue Code 1. Foto prajurit berkulit hitam memberi hormat pada bendera Perancis 2. Prajurit berkulit hitam memberi hormat pada bendera Perancis Mitos 3. Tanda 1. PRAJURIT BERKULIT HITAM MEMBERI HORMAT PADA BENDERA PERANCIS II. KENEGARAAN PERANCIS YANG BESAR, SEMUA ANAK BERADA DALAM KESETARAAN III. TANDA 26 pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos juga adalah suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Alasan dan pertimbangan Barthes menempatkan ideologi dengan mitos, karena baik dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan penanda denotatif terjadi secara termotivasi. Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya. Kebudayaan, mewujudkan dirinya di dalam teks – teks dan demikian ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk kedalam teks dalam bentuk penanda penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain – lain Shobur, 2003 : 70 - 71. Semiologi Roland Barthes, jelas sangat terkait dengan struktrualisme adalah usaha untuk menunjukkan bagaimana makna literatur bergantung pada kode – kode yang diproduksi oleh wacana – wacana yang mendahului dari sebuah budaya. Secara luas kode – kode budaya ini terlihat jelas bila kita mengkaji mitos – mitos yang tersebar dalam kehidupan keseharian. Mitos menurut Barthes adalah sebuah sistem komunikasi yang dengan demikian merupakan sebuah pesan. Mitos kemudian tak mungkin dapat menjadi sebuah obyek, sebuah konsep, atau sebuah ide karena mitos adalah sebuah mode penindasan yakni sebuah bentuk. Mitos sebagai bentuk tidak dibatasi oleh obyek – obyek pesannya, tetapi dengan cara apa mitos menuturkan pesan itu. Dengan demikian ada batas – batas formal dari mitos,tetapi dengan caraapa mitos menuturkan pesan itu. dengan 27 demikian ada batas – batas formal dari mitos, tetapi tidak ada batasan yang “substansial “.sejarah manusia mengkonversikan realitas ke dalam tuturan speech dan manusia sendirilah yang menentukan hidup dan matinya bahasa mistis. Kuno atau tidak, mitologi hanya dapat memiliki sebuah landasan sejarah, yakni tipe tuturan yang terpilih dari sejarah dan dia tidak mungkin dapat berkembang :dari hakikat” benda – benda Kurniawan,2001 : 183 - 184. Di mata Barthes, suatu karya atau teks merupakan sebentuk konstruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah rekonstruksi dari bahan – bahan yang tersedia, yang tidak lain adalah teks itu sendiri. Sebagai sebuah proyek rekonstruksi, maka pertama – tama teks tersebut dipenggal – penggal terlebih dahulu menjadi beberapa “leksia” atau satuan bacaan tertentu. Leksia ini dapat berupa kata, beberapa kalimat, sebuah paragraph, atau beberapa paragraph. Dengan memenggal teks itu maka penggarang tidak lagi jadi perhatian. Teks bukan lagi menjdi milik penggarang, tetapi menjadi milik pembaca dan bagaimana pembaca memproduksi makna itu. Produksi makna dari pembaca itu sendiri akan menghasilkan kejamakan. Tugas para semiolog atau pembaca kemudian adalah menunjukkan sebanyak mungkin makna yang dihasilkan. Barthes menyebut proses ini sebagai semiolog yang memasuki “dapur makna” Kurniawan, 2001 93-94. Cara kerja Barthes sebagai upaya untuk mengeksplisitkan kode – kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realitas. Barthes berpendapat bahwa Sarrasine ini 28 Terangkai dalam kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode. Lima Kode yang ditinjau Barthes adalah : 1. Kode Hermenutik atau kode teka – teki. Berkisar pada harapan untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang mincul dalam tes. Kode teka – teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional didalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka – teki dan penyelesaian di dalam cerita. 2.Kode Semik atau kode konotatif Kode semik atau kode konotatif lebih menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembaca, pembaca menyusun tema suatu teks dengan melihat konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita akan menemukan tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, akan dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menggangap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling akhir. 3. Kode simbolik Merupakan suatu pengkodean fiksi yang paling struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fenom dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf 29 oposisi psikoseksua yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah – istilah retoris seperti antitetis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes 4. Kode paretik atau kode tindakan Kode Paretik atau kode tindakan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang artinya antara lain, artinya semua teks yang bersifat naratif. Kita mengenal kode tindakan atau peristiwa karena dapat memahaminya. Pada kebanyakan fiksi selalu mengharap lakuan di “isi” sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks. 5. Kode Gnomik atau Kode Kultural Kode ini merupakan acuan teks benda – benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal – hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu. Sobur, 2003:65-6. Pendekatan Semiologi Dalam Film Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural and Comunication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif yang pertama melihat komunikasi sebagai transisi pesan. Sedangkan perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Bagi perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan 30 pertukaran makna. Bagi perspektif yang kedua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiologi ilmu tentang tanda dan makna, Fiske, 2006:9. Perspektif produksi dan petukaran makna memfokuskan bahasanya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang – orang disekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam budaya kita. Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antar pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan. Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan pendekatan semiologi. Definisi semiologi yang umum adalah studi mengenai tanda – tanda Chandler, 2002: www.aber.ac.uk studi ini tidak hanya mengarah pada “tanda”dalam kehidupan sehari – hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda – tanda tersebut. Bentuk – bentuk tanda disini antara lain berupa kata – kata, images, suara, gesture, dan objek. Bila kita mempelajari tanda tidak bisa memisahkan tanda yang satu dengan tanda yang lain membentuk suatu sistem, dan kemudian disebut sistem tanda. Lebih sederhananya semiologi mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut John Fiske dan John Hartlye, konsentrasi semologi adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda – tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode – kode. Chandler, 2002: www.aber.ac.uk . 31 Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiologi. Seperti dikemukakan Van Zoest 1993:109 dalam Sobur, 2004:128 Film dengan tanda semata – mata. Tanda – tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Karena itu, menurut Van Zoest, bersamaan dengan tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu Van Zoest, 1993 : 109 dalam Sobur, 2004:128. Memang ciri gambar – gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar – gambar yang dinamis dalam film merupakn ikonis bagi realitas yang dinotasikan. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda – tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang digunakan. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara, kata yang diucapkan ditambah dengan suara – suara lain yang serentak mengiringi gambar – gambar dan musik film. Sistem semiologi yang lebih penting dalam film adalah digunakannya tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu Sobur, 2004:128. Menurut Fiske dalam bukunya berjudul Television Cultural, analisis semiotik pada sinema atau film layar lebar wide screen disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televisi. Fiske mengkategorikan sign pada film ke dalam dua kategori, yakni kode – kode representasi reprensentational codes. Kode – kode tersebut bekerja dalam sebuah struktur hirarki yang kompleks. Fiske, 1990:40 dalam Mawardhani, 2006:39. Analisis yang dilakukan pada film 32 2012 ini dapat terbagi menjadi beberap level, yaitu : 1. Level Realitas reality Pada level ini, realitas dapat berupa penampilan, pakaian dan make-up yang digunakan oleh pemain, lingkungan, perilaku, ucapan, gesture, ekspresi, suara, dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode – kode teknis http:www.questia.com . Kode - kode sosial yang merupakan realitas yang akan diteliti dalam penelitian ini, dapat berupa : a. penampilan, kostum dan make up yang digunakan oleh pemain dalam film “2012”. Dalam penelitian ini pemeran yang menjadi pemimpin Negara menjadi objek penelitian. Bagaimana pakaian dan tata rias yang digunakan, serta apakah kostum dan make up yang ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan kultural. b. Lingkungan atau setting, yang ditampilkan dari seorang pemimpin tersebut, bagaimana simbol – simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan makna didalamnya. c. Dialog, berupa apa saja makna dari kalimat – kalimat yang diucapkan dalam dialog. 2. Level Representasi representation Level representasi meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, dan suara, yang ditransmisikan sebagai kode – kode representasi yang bersifat konvensional. Bentuk – bentuk representasi dapat berupa cerita, karakter, action, dialog, setting, casting dan sebagainya http:www.questia.com . Level 33 representasi meliputi : 1 Teknik Kamera : Jarak dan sudut pengambilan a. Long Shot : Pengambilan yang menunjukkan semua bagian dari objek, menekankan pada background. Shot ini biasanya dipakai dalam tema – tema sosial yang memperlihatkan banyak orang dalam shot yang lebih lama dan lingkungannya dari pada individu sebagai fokusnya. b. Establishing Shot: Biasanya digunakan untuk membuka suatu adegan. c. Medium Shot : Menunjukan subjek atau aktornya dan lingkungannya dalam ruang yang sama. Biasanya digunakan untuk memperlihatkan kehadiran dua atau tiga aktor secara dekat. d. Close Up : Menunjukan sedikit dari scene, seperti karakter wajah dalam detail sehingga memenuh layar, dan mengaburkan objek dengan konteksnya. Pengambilan ini memfokuskan pada perasaan dan reaksi dari seseorang, dan kadang kala digunakan dalam percakapan untuk menunjukkan emosi seseorang. e. View Point : Jarak dan sudut nyata darimana kamera memandang dan merekam objek. f. Point of view : Sebuah pengambilan kamera yang mendekatkan posisinya pada pandangan seseorang yang ada, yang sedang memperlihatkan aksi lain. g. Selective focus : Memberikan efek dengan menggunakan peralatan optikal untuk mengurangi ketajaman dari image atau bagian lainnya. Lainnya : Wide angle shot, title shot, angle shot, and two shot. 34 2 Manipulasi Waktu Macamnya Sceen time, subjective times, compressed time, long take, simultaneous time, show motion, replay, flash back, flash forward, overlapping action, universal time, ambiguous time. 3 Teknik Kamera : Perpindahan a. Zoom : Perpindahan tanpa memindahkan kamera hanya lensa difokuskan untuk mendekati objek. Biasanya untuk memberikan kejutan kepada penonton. b. Following pan : Kamera berputar untuk mengikuti perpindahan objek. Kecepatan perpindahan terhadap objek menghasilkan mood tertentu yang menunjukkan hubungan penonton dengan subjeknya. c. Tracking dollying : Perpindahan kamera secara pelan maju atau menjauhi objek berbeda dengan zoom. Kecepatan tracking mempengaruhi perasan penonton. Jika dengan cepat utamanya tracing in menunjukkan ketertarikan, demikian sebaliknya. Lainnya :Surfaying pan, tilt naik turunnya kamera, crab perpindahan kamera ke kiri atau ke kanan 4 Teknik Editing a. Cut : Perubahan secara tiba – tiba dari suatu pengambilan sudut pandang atau lokasi lainnya. Ada bermacam – macam cut yang 35 mempunyai efek untuk merubah scene, mempersingkat waktu, memperbanyak point of view, atau membentuk kesan terhadap image atau ide. b. Jump cut : Untuk membuat suatu adegan yang dramatis c. Motived cut : Bertujuan untuk membuat penonton segera ingin melihat adegan selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya. 5 Penggunaan Suara a. Comentar voice – over narration : Biasanya digunakan untuk memperkenalkan bagian orang tertentu dari suatu program, menambah informasi yang tidak ada dalam gambar, untuk menginterpretasikan kesan pada penonton dari suatu sudut pandang, menghubungkan bagian atau sequences dan program secara bersamaan. b. Sound effect : Untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu kejadian. c. Musik : Untuk mempertahankan kesan dari suatu fase untuk mengiringi suatu adegan, warna emosional pada musik turut mendukung keadaan emosional suatu adegan. 6 Pencahayaan : Macamnya soft and hard lighting, dan backlighting Cahaya menjadi unsur media visual, karena cahayalah informasi bisa dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsur teknis yang membuat benda bisa dilihat. Mak penyajian film juga, pada mulanya, disebut sebagai “painting withlight”, melukis dengan cahaya. Namun dalam perkembangannya bertutur dengan gambar, ternyata fungsinya 36 berkembang semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfir set dan bisa menunjang dramatik adegan. Biran, 2006:43. 7 Grafis Macamnya teks, diagram dan animasi. 8 Gaya bercerita Macamnya Subjective treatment, objective treatment, parallel development, invisible editing, mise-en-scene, montage, talk to camera, and tone. 9 Segi dan format lainnya Macamnnya shot, series, serial, talking heads, vox pop, dan interiextuality. 10 Mise – En – Scene Kode – kode Mise – en – scene ialah alat – alat yang dipergunakan oleh pembuat film untuk merubah dan menyesuaikan pembacaan shot yang akan kita lakukan. Mise – en – scene juga digunakan untuk mengungkapkan makna melalui suatu hubungan antar adegan yang terlihat dengan suatu adegan lain. Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut pada suara dan penataan musik yang ada pada level representasi, karena 37 keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi altruisme dalam film 2012. 3. Level Ideologi Level ideologi dimana pengorganisasian kode – kode tersebut terdapat dalam suatu kesatuan coherence dan penerimaan social social acceptability seperti kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas, matrealisme kapitalisme, individualisme, liberalisme, status, dan lainnya berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, peneliti hanya akan memakai simbol – simbol yang ditampilkan dalam film dalam film 2012. Beberapa ideology yang ada dan masih bertahan banyak sekali antara lain,: 1. Liberalisme yang mempunyai beberapa pokok pemikiran, tentang liberalisme berpusat pada kebebasan individu, ideology ini berkembang sesuai dengan perkembangan sebuah Negara dan bisa dibatasi dengan adanya undang – undang Negara, landasan pemikirannya adalah menusia pada hakikatnya adalah baik dan berbudi-pekerti, tanpa harus diadakannya pola-pola pengaturan yang ketat dan bersifat memaksa terhadapnya. 2. Komunisme, yang mempunyai pokok pemikiran penghapusan kelas – kelas dalam masyarakat serta menolak segala bentuk pemerintahan yang telah lampau baik yang tegas dan yang tidak. Suatu Negara yang menganut ideology ini harus mempunyai system pemerintahan yang otoriter, 3. Sosialisme, mempunyai inti pemikiran kehidupan kolektif,kebersamaan dan gotong – royong, dan filsafatnya adan ya kesederajatan dan pemerataan bagi tiap orang dalam suatu Negara,ideology ini mempunyai landasan pemikiran bahwa 38 masyarakat dan juga Negara adalah suatu pola kehidupan bersama – sama dan tidak bisa hidup sendir – sendiri, dengan adanya kerja sama maka ideology ini memandang kehidupan akan lebih baik. Masih banyak lagi ideology yang ada antara lain ideology Marxisme, Komunis, Fasisme, Feminisme, Konservatisme, Kapitalisme. Diantara sekian banyak ideology, Altruisme yang ada pada film ini termasuk dalam kategori ideology sosialis, karena altruisme yang bermakna lebih mendahulukan kepentingan orang lain dari pada diri sendiri, mempunyai arti sama dengan pemikiran sosialis, yang ingin hidup bersama dengan saling gotong – royong, maka dari itu film ini mengandung ideology sosialisme

2.2 Kerangka Berpikir