Latar Belakang. DR. Haposan Siallagan, SH, MH selaku PimpinanDekan Fakultas Hukum Universi-

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Hak Ulayat merupakan hak sejak zaman nenekmoyang leluhur masyarakat adat se- tempat dan merupakan hak purba, hak tradisional, turun-temurun serta berupa hak secara kolektif dalam suatu wilayah yang dimiliki oleh suatu masyarakat adat dimana hak ini di- akui dan dihormati oleh negara sesuai dengan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 yang selanjutnya disebut dengan UUD 45 termuat dalam Pasal 18 B dan ju- ga diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 juncto UU No.12 Tahun 2008 Tentang Pemerin- tah Daerah dalam Pasal 2 ayat 2. Diakui dan dihormati, maksudnya di sini adalah hak tradisional sendiri telah diakui entitas keberadaanya jauh sebelum bangsa Indonesia itu sendiri lahir. Sehingga hak tradi- sional yang dalam hal ini adalah Hak Ulayat masyarakat hukum adat bukanlah hak yang berasal dari pemberian negara. Sama halnya dengan tiga hak yang bersifat fundamental dan melekat dalam tiap diri manusia yakni hak untuk hidup, hak atas kebendaan dan hak kekeluargaan. Jadi dengan eksistensi dari pada pencabutan hak ulayat ini merupakan ins- konstitusional. Di dalam hukum adat, maka antara masyarakat hukum sebagai kesatuan dengan ta- nah yang didudukinya, terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan yang bersumber pa- da pandangan yang bersifat religio-magis. Hubungan yang erat dan bersifat religo-magis ini menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang ada dan hidup di- sekitarnya termasuk juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup dan tinggal di- sekitar tanah ulayat tersebut. Di berbagai daerahwilayah Indonesia berlaku hukum adat, hak ulayat terhadap tanah adat di lingkungan masyrakarat adat antara lain tentang pembukaan hutan untuk usaha perladangan dan pertanian lainnya, pengembalaan ternak, perburuan satwa liar dan pemu- ngutan hasil hutan serta diberbagai areal hutan dikelola secara lestari oleh masyarakat hu- kum adat sebagai sumber kehidupannya dengan segala kearifannya. Keberadaan berbagai praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat adat dikenal dengan berbagai istilah seperti Mamar di Nusa Tenggara Timur, Lembo pada masyarakat Dayak di Kalimantan Timur, Tembawang pada masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Repong pada masyarakat Peminggir di Lampung, TombangHarangan pada masyarakat Batak di Tapanuli Utara TobasaSamosir. Praktek tersebut menunjukkan bahwa masyarakat adat telah dan mampu mengelola sumberdaya alamtermasuk hutannya secara turun-temurun dan tradisional.Pola-pola ini di ketahui memiliki sistem yang sangat terkait dengan pengelolaan hutan alam, hutan tana- man, kebun dan usaha pertanian sehingga bentuknya sangat beranekaragam, dinamis, ter- padu yang menghasilkan berbagai manfaat bagi masyarakat dan lingkungan, baik secara ekonomi, sosial budaya, religi dan ekologi. Hak masyarakat hukum adat atas tanah tersebut disebut dengan hak pertuanan, perse- kutuan atau hak ulayat dan dalam literatur daftar buku bacaan hak ini disebut oleh Mr. CorneliusVanVollen Hoven dengan istilah ”beschikkingrecht. Istilah ini dalam kamus ba- hasa Indonesia merupakan suatu pengertian yang baru, satu dan lain karena dalam bahasa Indonesia juga dalam bahasa daerah-daerah semua istilah yang dipergunakan mengan- dung pengertian lingkungan kekuasaan, sedangkan beschikkingsrecht itu menggambar- kan tentang hubungan antara masyarakat hukum dan tanah itu sendiri. Kini lazimnya di pergunakan istilah hak ulayat sebagai terjemahan beschikkingsrecht. UUD 45 sebagai Hukum Dasar dan Dasar Hukum dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat tertuang dalamPasal 33 ayat 3 menyatakan bahwa bumi, air, udara dan ke- kayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Ketentuan ini merupakan dasar penguasaan oleh negara atas sumber-sumber agraria yang kemudian dikenal dengan konsep Hak Me- nguasai Negara HMN. Berbicara mengenai masyarakat adat atau masyarakat hukum adat, kita tidak bisa dile- paskan dengan adanya hak Ulayat. Hak Ulayat sebagai istilah teknis yuridis adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku kedalam maupun ke- luar.Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-haknya dinyatakan dalam Pasal 18 B ayat 2 UUD 45 Amandemen kedua kali menyebut bahwa ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI yang diatur dalam undang-undang”. Dan juga pada Pasal 28 i ayat 3 UUD 45 yang diamandemen Kedua menyebutkan bahwa ”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan perada- ban” Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa pengakuan tentang keberadaan masyara- kat hukum adat beserta hak ulayatnya tertuang dalam Pasal 18 B ayat 2 dan Pasal 28 i ayat 3 UUD 45, namun dalam kenyataannya pengakuan terhadap keberadan masyarakat hukum adat beserta dengan hak-hak tradisional yang biasa disebut dengan HakUlayat, se- ringkali tidak konsisten dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Titik berat Hak Ula- yat adalah penguasaan atas tanah adat beserta seluruh isinya oleh masyarakat hukum adat.Penguasaan disini bukanlah dalam artian memiliki, akan tetapi hanya sebatas menge- lola saja. Pada saat yang sama,bahkan telah berlangsung jauh lebih lama terdapatpelbagai sis- tem hukum dari masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan lain the other cultures selain state law hukum negara. Masyarakat mempertahankan sistem-sistem hukum tersebut se- cara dinamis sesuai dengan laju kebudayaannya. Sebagian pihak menganggap the other laws bagian dari masa lalu, namun sebagian lagi menyatakan bahwa mereka tetap eksis hingga kini. Dan sebagian lainnya menyatakan ada, namun semakin terkikis. Keberadaan nya acapkali dirasakana pada berbagai peristiwa hukum. Konsep ”unifikasi hukum” tetap didahulukan, maka keberadaan the other laws hukum-hukum masyarakat lokal menjadi terkendala. Kendalanya adalah : a.Dari sisi masyarakat pemilik hukum lokal,mereka semakin tidak leluasa dalam meng- implementasikan hukumnya. b.Dari sisi state, hukum-hukum lain ditanggapi sebagai ganjalan yang dapat mengham- bat proses pembangunan semesta Menurut H.Abdurrahman dengan judul karya ilmiahnya Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Yang Terabaikan Dan Memerlukan Perlindungan Hukum Dalam Sistem Hukum Nasional, mengatakan bahwa ”Badan Pembinaan Hukum Nasional BPHN sebagai sebuah Lembaga yang bernaung di bawah Kementerian Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia RI dahulu dikenal dengan Departemen Kehakiman RI, sudah memberikan perhatian yang cukup dengan mengutip hasil Simposium dan Seminar yang berskala Nasional serta kajian dan penelitian yang cukup intensif tentang masalah yang terabaikan dan memerlukan perhatian dan Perlindungan hukum” Selanjutnya H.Abdurrahman menjelaskan bahwa ”Ada beberapa pertemuan nasional yang membahas tentang hukum adat dan apa yang menjadi hak masyarakat yang menjadi pendukungnya antara lain : 1.Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional yang dilaksanakan bekerja sa- ma dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tanggal 15-17 Januari 19- 75 di Yogyakarta yang membahas topik-topik seperti Pengertian Hukum Adat, Hukum yang hidup dalam masyarakat living Law dan Hukum Nasional, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dalam Pembinaan Hukum Nasional, Hukum Adat dalam Perundang- undangan, Hukum Adat dalam Putusan Hakim, Penelitian dan Pengajaran. 2.Simposium Undang-Undang Pokok Agraria UUPA dan Kedudukan Tanah-Tanah A- dat Dewasa ini yang dilaksanakanbekerjasama Pemerintah Kalimantan Selatan dan Fa- kultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat tanggal 6-8 Oktober 1977 di Banjarma- sin yang antara lain membahas kedudukan tanah adat dewasa ini, UUPA dalam prak- tek serta permasalahannya.Beberapa pemikiran dalam usaha penyempurnaan peraturan pelaksanaan UUPA ditinjau dari segi perkembangan sosial ekonomi Perkembangan Hu- kum Tanah Adat melalui yurisprudensi dan studi kasus di beberapa daerah tentang pengaruh UUPA terhadap tanah-tanah Adat di beberapa daerah. 3.Simposium Integritas Hukum Adat kedalam Hukum Nasional selama 50 tahun terakhir, Jakarta 1995. 4.Seminar Revitaliasasi dan Reinterpretasi Nilai-Nilai Hukum tidak tertulis dalam Pem- bentukan dan Penemuan Hukum yang diselenggarakan bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan KantorWilayah Depertemen Hukum dan HAM Su- lawesi Selatan-Makassar,tgl 28-29 September 2005 yang membahas Hukum Adat seba- gai hukum yang hidup, Hukum Adat dalam perundang-undangan, Hukum Adat dalam putusan Hakim dan lain-lain” Lebih lanjut H. Abdurrahman menegaskan bahwa ”Pembahasan dan hasil pertemuan ilmiah tersebut perlu dikaji ulang dalam rangkamembicarakan perlindungan hukum terha- dap masyarakat adat di Indonesia”. 1 Martua Sirait sebagai PembicaraPenyaji pada acara Seminar Perencanaan Tata Ru- ang Secara Partisipatif yang diselenggarakan oleh WATALA Dan BAPPEDA Provinsi Lampung, menegaskan bahwa : ”Pengakuan keberadaan masyarakat adat sangat beragam dari sektor satu dengan sektor lain demikian pula bentuk-bentuk pengakuan keberadaan masyarakat adat oleh pemerintahan daerah yang berbeda. Selain itu juga kebijakan yang mengatur keberadaan masyarakat adat, terdapat pula kesepakatan-kesepakatan internasio- nal yang sebagian telah diratifikasi kedalam kebijakan perundang-undangan RI dan juga wacana-wacana di tingkat nasional mengenai bentuk pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat” 2 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehuta- nan termaksud menerapkan tujuan tersebut melaluipendekatan timber management atau ---------------------------------- 1. H. Abdurrahman, go idinden.php? action=public id, terbit 16-03-2012, hal 1-2. 2. Martua Sirait, Chip Fay A.Kusworo, Bagaimana Hak-Hak Masyarakat Hu- kum Adat Dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur.Materi Seminar Thema Bap- peda Prov. Lampung, 11-10-2000 di Bandar Lampung, hal 4 ecosystem management yang mengakomodasikan juga aspek sosial budaya, politik mau- pun ekonomi dan kelestarian fungsi lingkungan hidup yang berkelanjutan. Diberbagai wi- layah negara republik Indonesia berlaku hukum adat antara lain tentang pembukaan hutan untuk usaha perladangan dan pertanian lainnya, pengembangan dan pengembalaan ter- nak, pemburuan satwa liar dan pemungutan hasil hutan serta diberbagai areal hutan dike- lola secara lestari lingkungan yang berkelanjutan oleh masyarakat hukum adat sebagai sumber hidup dan kehidupan dengan segala kearifan lokalnya. Keberadaan berbagai praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat adat dikenal de- ngan berbagai daerah istilah misalnya saja di daerah masyarakat adat Batak dikenal de- ngan istilah ”tombang atau harangan”di daerah Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tobasa dan Samosir di wilayah Propinsi Sumatera Utara. Praktek tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sadar telah dan mampu mengelola sumber daya alam termasuk sumber hasil hutannya secara turun-temurun dari leluhur nenek moyangnya. Pola-pola ini diketahui memiliki sistem yang sangat terkait dengan pengelolaan dan pelestarian fungsi lingkungan hutan alam, hutan tanaman, kebun dan usaha pertanian sehingga bentuknya sangat beranekaragam, dinamis, terpadu yang menghasilkan berbagai manfaat bagi ma- syarakat dan lingkungan, baik secara ekonomi, sosial budaya,religi dan ekologis. Se- mentara UUPA tentang Pokok-Pokok Agraria telah mencoba mewujudkan pengakuan hukum adat dan hak ulayat, yang berarti hukum adat didudukan dalam sistem hukum nasional. Tetapi dalam praktek hukum penerapan maupun peraturan turunannya masih jauh dari harapan dan kenyataan. Menurut R.Soepomo dalam bukunya Bab-Bab Tentang Hukum Adat menegaskan bahwa ”Pemerintah Indonesia harus menghapuskan sifat banyak ragam dari kedudukan hukum tanah, dan menghapuskan pula Domein Theorie yang dikeluarkan oleh pemerintah kolo- nial Hindia Belanda menurut Teori ini bahwa semua tanah yang tidak dibawah hak milik Eropah atau hak milik agraria adalah menjadi domein hak negara, tanah yang tunduk pada sistem hukum adat ialah domein negara yang dibikin-bikin itu. Dalam Indonesia yang sedang bangkit, harus berlaku satu sistem undang-undang agraria saja dan hak subjektif atas tanah oleh orang-orang dengan tidak pandang golongan jenis bangsa atau kebangsa- an akan semata-mata diambil dari sistem agraria nasional Indonesia yang seragam” 3 Menurut DodyIndrawirawan, dkk, dalam Studi Penelitiannya berjudul Pelaksanaan Ke bijakan Hutan Kemasyarakatan HKm Di Provinsi Lampung menjelaskan bahwa : ”Sejak era reformasi terjadi perubahan paradigma dan cara berfikir dalam melihat dan mempersepsikan bagaimana mengelola hutan secara lebih baik di Indonesia. Pengelolaan hu- tan yang lebih baik menitikberatkan pada fungsi ekonomi komersial dan ekologis yang selama ini diterapkan secara rijd terbukti tidak mampu menjembatani kebutuhan sosial ekonomi subsistem masyarakat terutama mereka yang hidupnya memiliki ikatan historis saling berketergantungan dengaan ekosistem hutan di sekitar mereka. Selanjutnya Dody Indrawirawan dkk menguraikan penelitiannya bahwa ”Paradigma baru pembangunan kehutanan di Indonesia sejak tahun 2000 dapat dilihat antara lain :

a.Pergeseran penekanan dari aspek ekonomi orientasi pada labakeuntungan kepada

-------------------------------

3. R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Cetakan ke 17, Penerbit Pradnya Para-