B.Ter Haar Bzn Terjemahan K.Ng.Soebakti Poesponoto,Asas-Asas dan Susunan

anggota daripada ikatan bersikap dan bertingkah laku dan bertindak sebagai suatu kesatuan, beberapa orang berbuat apa, semuanya beruntung atau merugi adalah suatu aturan batin yang menyebabkan bahwa beberapa orang atau golongaan orang mempunyai hak mendahulu, hak lebih atau kekuasaan adalah barang, tanah, air, tanaman, kuil dan bangunan yang harus dipelihara secara bersama-sama oleh angota ikatan dan yang harus dipertahan kan oleh meraka secara bersama-sama” 12 Selanjutnya B. Ter Haar Bzn menjelaskan “ masyarakat hukum adat adalah kelom- pok masyarakat yang teratur, menetap disuatu daerah tertentu,mempunyai kekuasaan sen- diri dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terli- hat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami hidup dan kehidupan da- lam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun dian- tara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah timbul dan tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya Dalam dimensi dan analisis yuridis normatif perangkat peraturan perundang-undang an yang berlaku, Negara Republik Indonesia dengan jelas dan tegas mengakui, menghor- mati dan melindungi eksistensi keberadaan masyarakat hukum adat berikut dengan hak ulayat terhadap tanah, hutan dan kehutanan yang ada disekitarnya di Indonesia. Dalam UUD 45 Amandemen II, Pasal 18B ayat 2 menyatakan :“Negara mengakui dan meng- hormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepan- jang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Nega ------------------------------------

12. B.Ter Haar Bzn Terjemahan K.Ng.Soebakti Poesponoto,Asas-Asas dan Susunan

Hukum Adat,Cetakan Kedelapan,Penerbit Pradnya Paramita,Jakarta, 1985, hal 27-28 jang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Nega ra kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang”. Kemudian di dalam Pasal 28 I ayat 3 menyatakan “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional di hormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” Penjabaran dari dimensi yuridis normatif yang diatur dalam UUD 45 ini dituangkan ke beberapa perangkat perundangan di Indonesia antara lain peraturan perundangan Un- dang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 2 ayat 9 menyatakan bahwa: “ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkem- bangan masyarakat dan Prinsip Negara Kesatuan RI NKRI” Dimensi yuridis normatif lain menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak-Hak Asasi Manusia HAM, Pasal 6 ayat 1 menyatakan “dalam rangka penegakan hak-hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus di perhatikan dan dilindungi oleh hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”. Selanjutnya Pasal 6 ayat2 menyatakan “identitas budaya masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum adat termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman” Kerangka teoretisbedasarkan analisis yiridis normatif lain dapat dikaji dari UUPA pa- da Pasal 3 yang menyatakan “dengan mengingat ketentuan-ketentuan pada Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu dari masyarakat hu- kum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang lebih ting gi”.Kemudian dalam Pasal 5 memposisikan hukum adat sebagai hukum agraria yang ber- laku atas bumi,air dan ruang angkasa.Artinya masyarakat hukum adat dan hukumnya me- miliki kedudukan yang tinggi dalam hukum agraria nasional. Kemudian dalam Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasio- nal BPN No. 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Masalah Hak U- layat Masyarakat Adat, dalam Bab I, Pasal 1 ayat 1 Hak Ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat selanjutnya disebut hak ulayat,adalah kewenangan yang menu- rut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”. Pasal 1 ayat 2“Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapathak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa “masya- rakat hukum adat adalah sekelompok orang terikat oleh tatanan hukum adatnya seba- gai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan. Dan tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ula- yat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu” Prinsip-prinsip pokok tentang Kedudukan Hak Ulayat dan Masyarakat Hukum Adat nya diatur dalam Pasal 2, 3 dan 4 Pasal 2 ayat 1“Pelaksanaan Hak Ulayat sepanjang pa- da kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat. Pada Pasal 2 ayat 2 menyatakan “ Hak Ula- yat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila : a. Terdapat disekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai wargabersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan sehari-hari. b. Terdapat tanah ulayat yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari. c. Terdapat tatanan hukum adat pengurusan,penguasaan dan penggunaan tanah ula- yat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut”. Pasal 3 “Pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 tidak lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat di- tetapkannya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 6 : d. Sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut UUPA. e. Merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh ins- tansi Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku”. Pasal 4 ayat 1 Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanah ulayat sebagai- mana dimaksud dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan : a. Oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftarkan sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA b. Oleh instansipemerintah,badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan UUPA beradasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku”. Pasal 4 ayat 2 “Pelepasan hak ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai,dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu habis atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hal hukum adat itu ada sesuai dengan ketentuan Pasal 2”. Pasal 4 ayat 3 “ dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat 2 Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang diberikan oleh Negara dan perpanjangan serta pembaharuannya tidak boleh melebihi jangka waktu penggunaan tanah yang diperoleh dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Selanjutnya dimensi juridis normatif lain mengatur tentang hukum adat berikut de- ngan hak ulayat terhadap tanah,hutan dan kehutanan disekitarnyadapat dilihat dan di ana- lisis pada Undang-Undang No 5 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Kehutanan dan saat ini Undang-Undang tersebut telah diganti dengan terbitnya Undang-Undang No. 41 Ta - hun 1999 Tentang Kehutanan yang selanjutnya disebut dengan UUK. UUK ini secara eksplisit disebutkan bahwa status hutan ini hanya ada 2 dua macam yaitu hutan Negara dan hutan hak. Hutan adat disebutkan sebagai hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Padahal dalam kenyataannya hutan adat telah ada sejak zaman nenek moyang leluhur dan sebelum Negara RI merdeka dan berdiri pada tanggl 17 Agus- tus 1945, mungkin disebabkan karena pengakuan terhadap eksistensi danatau kebe- radaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya sendiri masih tidak konsisten. Ketidakkonsistenan tersebut dikarenakan belum ada kriteria yang baku mengenai keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya di suatu wilayah. Dalam Pasal 1 ayat 6 Ketentuan Umumnya mengatur dan menyatakan bahwa “ Hu- tan Adat adalah hutan Negara yang berada dalam kawasanwilayah masyarakat hukum adat.Sehingga walaupun hutan adapt diklasifikasikan sebagai kawasan hutan Negara teta- pi sebenarnya, Negara masih mengakui adanya wilayah masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 67 ayat 2 diatur bahwa “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. B. Kedudukan Hak Ulayat Tanah Adat Dalam Masyarakat Adat dan Peraturan Perundangan di Indonesia. Seperti telah disebutkan bahwa pengakuan tentang keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya tertuang dalam pasal 18 B ayat 2 dan pasal 28 i ayat 3, namun dalam kenyataannya pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisonal yang biasa disebut Hak Ulayat,seringkali tidak konsisten dalam pelak- sanaan pembangunan nasional. Titik berat hak ulayat adalah penguasaan atas tanah adat beserta seluruh isinya oleh masyarakat hukum adat.Penguasaan disini bukanlah dalam ar- ti memiliki tetapi hanya sebatas mengelola saja. Tanah dalam makna hukum adalah bahagian dari dan melekat pada permukaan bumi untuk kehidupannya manusia sebagai individu maupun kelompok sampai kini belum da- pat melepaskan diri dari tanah untuk berbagai keperluan, karena tanah merupakan : 7. Tempat untuk mencari kebutuhan hidup manusia, seperti tempat beburu, memungut hasil hutan, areal pertanian, peternakan, pertambangan, industri, dsb. 8. Tempat berdirinya persekutuan hukum adat, desa,kecamatan, kabupatenkota, provin- si dan negara serta merupakan tempat tinggal dan tempat mencari nafkah kehidupan warga penduduk masyarakat adat. 9. Harta kekayaan yang sangat berharga yang bersifat tetap, karena tanah walau apapun yang terjadi padanya tidak akan mengalami perubahan. 10. Salah satu alat pemersatu persekutuan, bangsa dan negara. 11. Harga diri dari persekutuan, bangsa dan negara serta warganya. 12. Tempat dikebumikannya warga yang telah meninggal dunia. 13. Tempat bermukimnya roh-roh pelindung persekutuan masyarakat adat. 14. Dan sebagainya. Masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul lelu- hur nenek moyang secara turun temurun di atas suatu wilayah teritorial adat,yang memi- liki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, memiliki budaya tradisional yang diatur oleh hukum adat dan memiliki lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidu- pan masyarakat. Dari definisi ini, setidaknya ada 3 tiga aspek yang merupakan ciri-ciri masyarakat adat yaitu pertama ada sekelompok orang yang hidup dalam satu wilayah tertentu sebagai subjek hukum, kedua, ada basis materi bahan nafkah kebutuhan hidup dankehidupan dari sumber daya alam yang bersumber dari proses subjek ini membangun peradaban dan ketiga,ada organisasi dan tata susunan rakyat serta tata aturan yang mere- ka buat secara bersama. Menurut Surojo Wignjodipuro, “hak persekutuan atas tanah ini disebut Hak Pertua- nan. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut “beschikkingsrecht”. Istilah ini dalam baha- sa Indonesia merupakan suatu pengertian yang baru, satu dan lain karena dalam bahasa Indonesia juga dalam bahasa daerah-daerah istilah yang dipergunakan semuanya pe- ngertiannya adalah lingkungan kekuasaan,sedangkan“beschikkingsrecht”. Itu menggam- barkan tentang hubungan antara persekutuan organisasi dan tanah itu sendiri. Kini azimnya dipergunakan istilah “hak ulayat” sebagai terjemahannya “beschikkingsrecht”. Istilah-istilah daerah yang berarti lingkungan kekuasaan, wilayah kekuasaan ataupun tanah yang merupakan wilayah yang dikuasai persekutuan adalah a.l : “patuanan”Am- bon, “panyampeto”Kalimantan,“wewengkon”Jawa, prabumian” Bali, “pawatasan” Kalimantan,”totabuan”Bolaang Mangondow,“limpo” Sulawesi Selatan,“nurut” Bu- ru, “ulayat” Minangkabau”.13 Tanah ulayat adalah suatu bidang tanah yang padanya melengket hak ulayat dari suatu persekutuan hukum adat. Dengan demikian untuk menentukan apakah suatu bidang tanah tertentu adalah tanah ulayat atau bukan, pertama-tama kita harus memper- hatikan apakah ada persekutuan hukum adat yang berkuasa atas tanah itu. Persekutuan hukum adat sering pula disebut orang sebagai masyarakat hukum adat,namun persekutu- an hukum adat bukanlah sekedar sekelompok orang yang berkumpul saja. Persekutuan hukum adat sering pula disebut orang sebagai masyarakat hukum adat, namun perseku- tuan hukum adat bukanlah sekedar sekelompok orang yang berkumpul saja. Persekutuan --------------------------------

13. Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Cetakan Kesepu-