Analisis Yuridis Terhadap Produk Hukum T

(1)

UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS HUKUM

TUGAS MAKALAH KE-IV

Analisis Yuridis Terhadap Produk Hukum Tentang Produk Hukum yang Mengalami Kekurangan Yuridis

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Politik Hukum Oleh:

NAMA : Rizky P. P. Karo Karo NIM : 15/376209/PHK/08625 Magister : Hukum Bisnis

YOGYAKARTA 2015


(2)

ii

Kata Pengantar

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmatnya segala halangan dan hambatan dalam pembuatan tugas mata kuliah ini dapat terselesaikan dengan baik. Bagi Penulis, Tugas mata kuliah Politik Hukum dengan judul Analisis Yuridis Terhadap Produk Hukum Tentang Produk Hukum yang Mengalami Kekurangan Yuridis bukanlah hanya sekedar tugas perkuliahan saja atau hanya untuk mencari nilai saja, melainkan Penulis sadar dengan tugas ini, Penulis dapat lebih berpikir, bereflkesi tentang pembentukan hukum nasional yang baik, dan sangat berguna bagi Penulis setelah Penulis menyelesaikan jenjang perkuliahan S-2 ini jika Penulis berkecimpung sebagai drafter Peraturan Perundang-undangan.

Penulisan tugas mata kuliah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu Penulis berharap kritik dan saran dari para Pembaca agar Penulis dapat menulis dengan lebih baik dan lebih kritis lagi.

Penulisan tugas mata kuliah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu Penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. M.Hawin, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; 2. Prof.Muchsan, selaku Dosen pada mata kuliah Politik Hukum;

3. Ke-2 Orang tua saya yang bekerja keras dan berdoa untuk keberhasilan Puteranya; 4. Teman-teman S-2 Magister Hukum Bisnis atas segala bantuan dan keceriaannya 5. Kepada para pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu


(3)

ii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI ii

BAB I. PENDAHULUAN 1

I.1. Latar Belakang Masalah 1

I.2. Rumusan Masalah 2

I.3. Tujuan Penulisan 2

BAB II. PEMBAHASAN MASALAH 3

II.1 Asas-Asas Pembentukan Produk Hukum 3

A. Asas yang Bersifat Formal 3

1. Asas Tujuan yang Jelas 3

2. Asas Organ/Lembaga Yang Tepat 3

3. Asas Perlunya Pengaturan 3

4. Asas Dapat Dilaksanakan 4

5. Asas Konsensus 4

B. Asas-Asas yang Bersifat Materiil 4

1. Asas Terminologi dan Sistematika Yang Jelas 4

2. Asas Dapat Dikenali 5

3. Asas Perlakuan Yang Sama di Depan Hukum 5

4. Asas Kepastian Hukum 5

5. Asas Pelaksanaan Hukum Sesuai dengan Keadaan 5

II.2. Ketetapan Tata Usaha Negara 5

A. Unsur-unsur Ketetapan 7

1. Pernyataan Kehendak Sepihak Secara Tertulis 7

2. Dikeluarkan Oleh Pemerintah 8

3. Berdasarkan Peraturan 8


(4)

iii

4. Bersifat Konkrit, Individual 8

5. Menimbulkan Akibat Hukum 8

B. Syarat-Syarat Pembuat Ketetapan yang sah 8

C. Akibat Hukum dari Ketetapan yang Sah 12

II.3. Akibat Produk Hukum yang Memiliki Kekurangan Yuridis 12

A. Ketetapan Yang Mengandung Kekurangan 14

B. Ketetapan yang Batal Karena Hukum 15

C. Ketetapan yang batal (nietig) 15

D. Pendapat Para Ahli Mengenai 16

Ketetapan yang Mengalami Kekurangan

E. Akibat Ketetapan yang Mengalami Kekurangan 16

BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN 18

KESIMPULAN 18

SARAN 19


(5)

1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

Hans Kelsen1 mengatakan bahwa hukum termasuk dalam sistem norma yang dinamik

(nomodynamics) karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga atau

otoritas-otoritas yang berwenang membentuknya, sehingga dalam hal ini tidak dapat dilihat dari segi isi norma tersebut, tetapi dari segi berlakunya atau pembentukannya. Hukum adalah sah apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya dan berdasarkan norma yang lebih tinggi sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah/inferior dapat dibentuk oleh norma yang lebih tinggi (superior) , dan hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu hierarki.

Menurut Maria Farida2 dalam kaitannya dengan norma hukum menyebutkan bahwa, ada beberapa kategori norma hukum dengan melihat pada pelbagai bentuk dan sifatnya, yakni: a. Norma hukum umum dan norma hukum individual, kalau dilihat dari alamat yang

dituju;

b. Norma hukum abstrak dan norma hukum konkrit, jika dilihat dari hal yang diatur; c. Norma hukum yang einmahlig dan norma hukum yang dauerhaftig, dilihat dari segi

berlakunya;

d. Norma hukum tunggal dan norma hukum berpasangan dilihat dari wujudnya Menurut Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata

Dalam membuat ketetapan harus diperhatikan beberapa ketentuan hukum, baik yang tercantum dalam Hukum Tata Negara seperti tentang kewenangan badan-badan kenegaraan

1 Hans Kelsen, 1945, General Theory of Law and State¸ New York, Rusell&Rusell, hlm.112-113

2 Maria Farida, 1998, Ilmu Perundang-undangan (Dasar-dasar dan Pembentukannya), Yogyakarta : Kanisius,


(6)

2

tinggi dan tertinggi, dan badan-badan administrasi negara dan tentang tujuan suatu undang-undang, maupun yang tercantum dalam Hukum Administrasi Negara tentang tata cara atau prosedur administrasi pembuatan suatu ketetapan.

Namun adakalanya, suatu ketetapan yang dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara mengalami kekurangan yuridis, dimana hal ini menimbulkan efek tidak baik bukan hanya bagi kepastian hukum namun juga bagi kemanfaatan umum. Dan ketetapan tersebut tentu saja menjadi tidak sah.

Tulisan ini mencoba mengemukakan asas-asas pembentukan produk hukum, syarat ketetapan menjadi sah, menganalisis secara yuridis tentang produk hukum yang mengalami kekurangan yuridis

I.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut, maka Penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa saja asas-asas pembentukan produk hukum yang baik? 2. Apa syarat pembentukan ketetapan yang sah?

3. Bagaimana akibat hukum dari ketetapan yang mengalami kekurangan yuridis? I.3. Tujuan Penulisan

Adapaun tujuan penulisan Penulis adalah sebagai berikut:

1. Ingin mengetahui asas-asas pembentukan produk hukum yang baik 2. Ingin mengetahui syarat pembentukan ketetapan yang sah

3. Ingin mengetahui akibat hukum dari ketetapan yang mengalami kekurangan yuridis 4. Ingin memenuhi tugas mata kuliah “PolitikHukum”


(7)

3 BAB II

PEMBAHASAN MASALAH II.1 Asas-Asas Pembentukan Produk Hukum

Menurut Van der Vlies dalam bukunya Yuliandri3, untuk membentuk suatu produk hukum yang baik harus memperhatikan 2 (dua) asas, yakni asas-asas yang bersifat formal, dan asas-asas yang bersifat materiil.

A. Asas yang Bersifat Formal 1. Asas Tujuan yang Jelas

Pembuat undang-undang pertama-tama perlu memberikan uraian tentang keadaan yang ingin diatasi oleh peraturan. Lalu dikemukakan perubahan apa yang melalui peraturan itu dikehendaki terjadi atas situasi nyata yang ada serta harus diuraikan bagaimana ketentuan dalam peraturan itu akan menimbulkan perubahan tersebut.

2. Asas Organ/Lembaga Yang Tepat

Asas ini menghendaki agar suatu organ dapat memberi penjelasan, bahwa pembuatan suatu peraturan tertentu memang berada dalam kewenangannya. Hal ini juga memberi alasan bagi organ pembuat undang-undangn, untuk tidak melimpahkan kewenangannya tersebut kepada organ lain.

Di Indonesia, menurut Pasal 5, Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945, kewenangan pembuat undang-undang berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden, dan untuk materi-materi tertentu juga melibatkan Dewan Perwakilan Daerah. Untuk melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya, Presiden dapat membentuk Peraturan Pemerintah. Dalam hal kegentingan yang memaksa, Presiden juga dapat membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

3. Asas Perlunya Pengaturan

Perencanaan undang-undang, lazimnya didahului dengan menyusn naskah akademik. Memperisapkan naskah akademik adalah salah satu quality control yang sangat menentukan kualitas suatu produk hukum. Naskah akademik memuat seluruh informasi yang diperlukan

3 Yuliandri, cetakan ke-3, 2011, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik Gagasan


(8)

4

untuk mengetahui landasan pembuatan sutu peraturan perundang-undangan, termasuk tujuan dan isinya.

4. Asas Dapat Dilaksanakan

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan-jaminan bagi dapat dilaksanakannya apa yang dimuat dalam peraturan. Suatu aturan harus didukung oleh kondisi sosial yang cukup, sarana memadai bagi organ yang akan melaksanakan suatu peraturan, dukungan keuangan yang cukup, dan sanksi yang sesuai.

5. Asas Konsensus

Yang dimaksud konsensus menurut A Hamid S.Attamini4:

“... adanya ‘kesepakatan rakyat’ untuk melaksanakan kewajiban dan menanggung akibat yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Hal ini mengingat pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah dianggap sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan-tujuan yang ‘disepakati bersama’ oleh pemerintah dan rakyat.”

B. Asas-Asas yang Bersifat Materiil

1. Asas Terminologi dan Sistematika Yang Jelas

Peraturan perundang-undangan yang jelas, dapat dicapai dengan berbagai cara,diantaranya adalah:

1. Orang dapat menginginkan kejelasan maksimal dari setiap peraturan;

2. Orang dapat pula langsung menghubungkan kejelasan yang diinginkan itu dengan materi dan keahlian pihak-pihak yang menjadi sasaran peraturan yang bersangkutan.

4 A Hamid S.Attamini, 1993, Hukum tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan (


(9)

5 2. Asas Dapat Dikenali

Menurut Bagir Manan5, peraturan perundang-undangan adalah kaidah hukum yang mudah dikenali, mudah diketemukan kembali, dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis, bentuk, jenis, dan tempatnya jelas, begitu pula pembuatnya.

3. Asas Perlakuan Yang Sama di Depan Hukum

Peraturan tidak boleh ditujukan kepada suatu kelompok tertentu, di dalam suatu peraturan tidak boleh ada pembedaan, efek suatu peraturan tidak boleh menimbulkan ketidaksamaan (diskriminasi), dan dalam hubungan antara antara suatu peraturan dan peraturan lainnya tidak boleh menimbulkan kontradiksi.

4. Asas Kepastian Hukum

Setiap kebijakan publik dan peraturan perundang-undangan harus selalu dirumuskan, ditetapkan, dan dilakanakan berdasarkan prosedur baku yang telah melembaga dan diketahui oleh masyarakat umum, serta terdapat ruang untuk mengevaluasinya.

5. Asas Pelaksanaan Hukum Sesuai dengan Keadaan

Asas ini bermaksud memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-hal tertentu sehingga dengan demikian peraturan perundang-undangan dapat juga memberikan jalan keluar selain bagi masalah umum, juga masalah yang bersifat khusus.

II.2. Ketetapan Tata Usaha Negara

Menurut H.D.van Wijk dalam Ridwan HR6, Definisi ketetapan atau beschikking adalah keputusan pemerintahan untuk hal yang bersifat konkrit dan individual (tidak ditujukan untuk umum) dan sejak dulu telah dijadikan instrumen yuridis pemerintahan yang utama.

Menurut Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

5 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1987, Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum

Nasional, Bandung : Armico, hlm. 341


(10)

6

Penulis akan memaparkan dalam bentuk tabel bagian yang tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Angka Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986

No Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004

a Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata

1 Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata

b Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum

2 Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum

c Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan

3 Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan

d Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan yang lain yang bersifat hukum pidana

4 Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan yang lain yang bersifat hukum pidana

e Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

5 Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku f Keputusan Tata Usaha Negara

mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

6 Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia


(11)

7 g Keputusan Panitia Pemilihan, baik

di pusat ataupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum

7 Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik dipusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum

A. Unsur-unsur Ketetapan

Menurut Ridwan HR terdapat 6 unsur-unsur ketetapan yakni: 1. Pernyataan Kehendak Sepihak Secara Tertulis

Pernyataan kehendak sepihak yang dituangkan dalam bentuk tertulis muncul dikarenakan:

1. Ditujukan ke dalam (naar binnen gericht), yakni ketetapan berlaku ke dalam lingkungan administrasi sendiri;

2. Ditujukan ke luar (naar buiten gericht), yang berlau bagi warga negara atau badan hukum perdata.

Berdasar Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU 5/1986, Penetapan tertulis menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN. Namun unsur penetapan tertulis ada pengecualian. Pengecualian yang terdapat pada Pasal 3 UU 5/1986 yakni:

1) Apabila Badan atau Pejabat Tat Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara;

2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan kepuutsan yang dimaksud; 3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan

jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan Keputusan tersebut.


(12)

8 2. Dikeluarkan Oleh Pemerintah

Berdasarkan Pasal 1 angka (1) UU 5/1986, tata usaha negara adalah administrasi yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Dalam penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan” ialah kegiatan yang bersifat eksekutif. Hal tersebut berarti pemerintahan adalah bagian dari organ dan fungsi pemerintahan, selain organ dan fungsi pembuatan undang-undang dan peradilan.

3. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku

Menurut Ridwan HR7, pembuatan dan penerbitan ketetapan harus didasarkan pada

peraturan perundang-undangan yang berlaku atau harus didasarkan pada wewenang pemerintahan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Tanpa dasar kewenangan tersebut, Pemerintah atau tata usaha negara tidak dapat membuat dan menerbitkan ketetapan atau ketetapan itu menjadi tidak sah.

4. Bersifat Konkrit, Individual

Berdasar pada Pasal 1 angka (3) UU 5/1986, ketetapan bersifat konkrit, individual dan final. Dalam penjelasan disebutkan bahwa konkrit berarti obyek yang diputuskan KTUN adalah tidak abstrak tapi dapat ditentukan; individual berarti KTUN tidak ditujukan untuk umum; final berarti sudah terakhir dan menimbulkan akibat hukum

5. Menimbulkan Akibat Hukum

Akibat hukum yang dimaksud adalah muncul atau lenyapnya hak dan kewajiban bagi subyek hukum tertentu. Akibat hukum yang lahir dari tindakan hukum, dalam hal ini akibat dikeluarkannya ketetapan, berarti muncul atau lenyapnya hak dan kewajiban bagi subyek hukum tertentu segera setelah adanya ketetapan tertentu. Misalkan, surat ketetapan pengangkatan akan menimbulkan akibat hukum yang berupa lahirnya hak dan kewajiban bagi Pegawai Negeri.

B. Syarat-Syarat Pembuat Ketetapan yang sah

Menurut Kuntjoro Purbopranoto8, terdapat syarat materiil dan syarat formil:

7Ibid, hlm.117

8 Kuntjoro Purbopranoto, 1975, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi


(13)

9 a. Syarat-syarat materiil terdiri dari:

1) Organ pemerintahan yang membuat ketetapan harus berwenang;

2) Karena ketetapan suatu pernyataan kehendak/wilsverklaring, maka ketetapan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis/geen juridische

gebreken in de wilsvorming, seperti penipuan/bedrog, paksaan/dwang, atau

suap/omkoping, kesesatan/dwaling.

3) Ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan tertentu;

4) Ketetapan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan – peraturan lain, serta isi dan tujuan ketetapan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.

b. Syarat-syarat formil terdiri dari:

1) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya ketetapan dan berhubung dengan cara dibuatnya ketetapan harus dipenuhi; 2) Ketetapan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya ketetapan itu; 3) Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan ketetapan itu harus dipenuhi; 4) Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan

dibuatnya dan diumumkannya ketetapan itu harus diperhatikan.

Jika syarat materiil dan syarat formil ini telah dipenuhi, maka ketetapan itu sah menurut hukum (rechtsgeldig), artinya dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada baik secara prosedural/formil ataupun materiil.

Dan sebaliknya, jika satu atau beberapa persyaratan itu tidak terpenuhi, maka ketetapan tersebut mengandung kekurangan dan menjadi tidak sah. Menurut A.M. Donner dalam Ridwan HR9 mengemukakan akibat-akibat ketetapan yang tidak sah

adalah:

1) Ketetapan itu harus dianggap batal sama sekali;


(14)

10 2) Berlakunya ketetapan itu dapat digugat:

a. Dalam banding (beroep);

b. Dalam pembatalan oleh jabatan (amtshalve vernietiging) karena bertentangan dengan undang-undang;

c. Dalam penarikan kembali (intrekking) oleh kekuasaan yang berhak (competent) mengeluarkan ketetapan itu;

3) Dalam hal ketetapan tersebut, sebelum dapat berlaku, memerlukan persetujuan (peneguhan) suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka persetujuan itu tidak diberi.

4) Ketetapan itu diberi tujuan lain daripada tujuan permulaannya (conversie)

Menurut Van der Wel terdapat enam akibat suatu ketetapan yang mengandung kekurangan, yakni:

1) Batal karena hukum;

2) Kekurangan itu menjadi sebab atau menimbulkan kewajiban untuk membatalkan ketetapan itu untuk sebagainya atau seluruhnya;

3) Kekurangan itu menyebabkan bahwa alat pemerintah yang lebih tinggi dan yang berkompeten untuk menyutujui atau meneguhkannya, tidak sanggup memberi persetujuan atau peneguhan itu;

4) Kekurangan itu tidak mempengaruhi berlakunya ketetapan;

5) Karena kekurangan itu, ketetapan yang bersangkutan dikonversi ke dalam ketetapan lain;

6) Hakim sipil menganggap ketetapan yang bersangkutan tidak mengikat.

Ketetapan yang sah tidak dengan sendirinya berlaku, karena untuk berlakunya suatu ketetapan harus memperhatikan tiga hal yakni sebagai berikut:

1) Jika berdasarkan peraturan dasarnya terhadap ketetapan itu tidak memberi kemungkinan mengajukan permohonan banding bagi yang dikenai ketetapan, maka ketetapan itu mulai berlaku sejak diterbitkan (ex nunc);


(15)

11

2) Jika berdasarkan peraturan dasarnya terdapat kemungkinan untuk mengajukan banding terhadap ketetapan yang bersangkutan, maka keberlakuan ketetapan itu tergantung dari proses banding itu.

Menurut Kranenburg&Vegting dalam Ridwan HR10, terdapat 4 cara mengajukan permohonan banding terhadap ketetapan yakni:

1) Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan pembatalan ketetapan pada tingkat banding; dimana kemungkinan itu ada;

2) Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada Pemerintah supaya ketetapan itu dibatalkan;

3) Pihak yang dikenai ketetapan itu dapat mengajukan masalahnya kepada hakim agar ketetapan itu dinyatakan batal karena bertentangan dengan hukum;

4) Pihak yang dikenai ketetapan itu dapat ,apabila karena tidak memenuhinya ketetapan itu, berusaha untuk memperoleh keputusan dari hakim seperti yang dimaksud angka (3).

Batas waktu mengajukan banding ditentukan dalam peraturan dasarnya. Jika batas waktu banding telah berakhir dan tidak digunakan oleh mereka yang dikenai ketetapan itu, aka ketetapan itu mulai berlaku sejak saat berakhirnya batas waktu banding itu.

Jika ketetapan itu memerlukan pengesahan dari orang pemerintahan yang lebih tinggi, maka ketetapan itu berlaku setelah mendapatkan pengesahan. Terdapat 3 pendapat mengenai pengesahan, yakni11:

1) Karena berhak untuk memberikan persetujuan, Pemerintah menjadi pembuat undang-undang, jadi merupakan hak pengukuhan;

2) Hak memberikan persetujuan adalah hak placet, artinya melepaskan tanggung jawab;

3) Persetujuan adalah tindakan terus menerus, artinya tidak dapat berakhir pada saat diberikan, tetapi dapat ditarik kembali selama yang disetujuinya masih berlaku.

10Ibid, hlm.126-127 11Ibid¸hlm127


(16)

12 C. Akibat Hukum dari Ketetapan yang Sah

Ketetapan yang sah dan telah dapat berlaku dengan sendirinya akan memiliki kekuatan hukum formil (formeel rechtskracht) dan kekuatan hukum materiil (materiele rechtskracht). Kekuatan hukum formil suatu ketetapan ialah pengaruh yang dapat diadakan oleh karena adanya ketetapan itu.

Suatu ketetapan mempunyai kekuatan hukum formil jika ketetapan itu tidak lagi dapat dibantah oleh suatu alat hukum/rechtsmiddel. Menurut Bachsan Mustafa12, ketetapan memiliki

kekuatan hukum formil dalam dua hal:

1) Ketetapan yang telah mendapat persetujuan untuk berlaku dari alat negara yang lebih tinggi yang berhak memberikan persetujuan tersebut;

2) Suatu ketetapan dimana permohonan untuk banding terhadap ketetapan itu ditolak atau karena tidak menggunakan hak bandingnya dalam jangka waktu yang ditentukan oleh undang-undang.

Sedangkan ketetapan yang mempunyai kekuatan hukum materiil adalah pengaruh yang dapat diadakan oleh karena isi ketetapan itu. Suatu ketetapan memiliki kekuatan hukum materiil, kalau ketetapan itu tidak lagi dapat ditiadakan oleh alat negara yang membuatnya.

Ketetapan yang sah dan sudah dinyatakan berlaku juga akan melahirkan prinsip praduga rechtmatig. Asas praduga rechtmatig ini membawa konsukuensi bahwa setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh Pemerintah tidak untuk dicabut kembali, kecuali setelah ada pembatalan/vernietiging dari pengadilan.

Konsukuensi rechmatig ini adalah pada dasarnya ketetapan yang telah dikeluarkan tidak dapat ditunda pelaksanaanya, walaupun ada keberatan (bezwaar), banding (beroep), perlawanan (bestreden) atau gugatan terhadap suatu ketetapan oleh pihak yang dikenai ketetapan tersebut.

II.3. Akibat Produk Hukum yang Memiliki Kekurangan Yuridis

Jika suatu Keputusan Pejabat Administrasi Negara dibuat dengan tidak merujuk pada syarat sahnya suatu keputusan, maka keputusan tersebut tidak dapat diterima menjadi bagian dari ketertiban hukum.


(17)

13

Kewenangan Pejabat Administrasi Negara yang membuat Keputusan ditentukan oleh: 1. Kompetensi materi. Pokok yang menjadi obyek keputusan/ketetapan harus masuk

komptensi Pejabat Administrasi Negara yang membuatnya;

2. Batas lingkungan wilayah. Tempat/wilayah berlakunya suatu keputusan; 3. Batas tempo. Jangka waktu berlakunya suatu keputusan;

4. Qourum. Jumlah anggota yang harus hadir agar keputusan yang dibuat menjadi sah. Dalam tidak berwenangnya Pejabat Administrasi Negara mengeluarkan Keputusan tersebut, maka keputusan bisa menjadi batal mutlak, dan pembatalannya bisa berlaku surut. Artinya seluruh akibat dari keputusan tadi batal sama sekali dan tuntutan pembatalan bisa dilakukan oleh semua orang melalui gugatan, dalam hal ini gugatan ke Pengadilan.

Penulis berpendapat bahwa orang atau badan hukum perdata dapat meminta pembatalan kepada Hakim PTUN dalam hal haknya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Hal tersebut juga diatur tegas dalam Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Berikut Penulis paparkan isi Pasal tersebut.

Pasal 53 ayat (1). “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadlan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.”

Pasal 53 ayat (2). “Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat tu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Jika tidak berwenangnya Pejabat Tata Usaha Negara mengeluarkan Keputusan, maka Keputusan tersebut dapat menjadi batal mutlak/batal dan pembatalannya bisa berlaku surut. Yang berarti akibat dari keputusan tadi batal sama sekali dan tuntutan pembatalan bisa dilakukan oleh semua orang.


(18)

14

Ajaran pembatalan tersebut dianalogikan dari hukum perdata. Disamping batal mutlak, terdapat pula ajaran batal nisbi. Artinya permintaan pembatalan dari perbuatan itu hanya bisa dituntut oleh orang-orang tertentu. Dan terdapat keputusan yang menjadi batal karena hukum, maksudnya bahwa akibat dari keputusan itu untuk sebagian atau seluruhnya bagi hukum dianggap tidak pernah ada tanpa diperlukan suatu pembatalan oleh hakim atau atasan Pejabat Publik yang mengeluarkan keputusan.

A. Ketetapan Yang Mengandung Kekurangan

E.Utrecht dalam bukunya “Pengantar Hukum Administrasi Negara Indoesia”, berpendapat sebagai berikut:

“Menerima tidaknya suatu ketetapan yang mengandung kekurangan sebagai ketetapan yang sah (rechtsgeldig) pada umumnya bergantung pada hal, apakah syarat yang tidak dipenuhi itu merupakan Bestaanvoorwaarde atau tidak untuk adanya ketetapan itu.” Bestaanvoorwaarde adalah syarat yang harus dipenuhi agar sesuatu itu ada. Apabila syarat itu tidak dipenuhi, maka sesuatu itu dianggap tidak ada

Menurut van Der Pot dalam Bachsan Mustafa13 menyebutkan bahwa terdapat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi agar suatu ketetapan menjadi sah. Syarat tersebut adalah

1. Ketetapan harus dibuat oleh badan atau organ yang berwenang membuatnya (bevoged);

2. Karena ketetapan itu adalah suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), maka pembentukan kehendak itu tidak boleh mengandung kekurangan yuridis, yaitu tidak boleh mengandung paksaan, kekeliruan, dan penipuan;

3. Ketetapan itu harus dibentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus juga memperhatikan tata cara (prosedur) membuat ketetapan itu, bila tata cara itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut;

4. Isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.

13 Bachsan Mustafa, cetakan pertama, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia¸ Bandung : PT. Citra


(19)

15

Utrecht menanggapi pendapat van Der Pot tersebut dengan mengatakan14

“bahwa bilamana salah satu syarat tidak dipenuhi, belum tentulah ketetapan yang bersangkutan menjadi ketetapan yang tidak sah.”

dimana pendapat Utrecht ini telah sesuai dengan syarat yang dapat merupakan

bestaanvoorwarde.

Kalau syarat yang merupakan bestaanvoorwarde ini tidak dipenuhi, maka dapat dikatakan bahwa ketetapan menjadi tidak sah. Ketetapan yang tidak sah dapat merupakan:

1. Ketetapan yang batal karena hukum (nietig rechtswage);

2. Ketetapan yang batal (nietig), dapat batal mutlak ataupun batal nisbi; 3. Ketetapan yang dapat dibatalkan (vernietig baar)

B. Ketetapan yang Batal Karena Hukum

Ketetapan yang batal karena hukum adalah ketetapan yang isinya menetapkan adanya akibat suatu perbuatan itu untuk sebagian atau seluruhnya dianggap tidak aa, tanpa diperlukan keputusan hakim atau Badan Administrasi Negara yang berwenang untuk menyatakan batalnya ketetapan tersebut, jadi ketetapan itu batal sejak dikeluarkannya.

C. Ketetapan yang batal (nietig)

Ketetapan yang batal adalah ketetapan yang pembatalannya atau batalnya harus dengan putusan hakim ataupun oleh badan administrasi negara yang lebih tinggi dari badan administrasi negara yang mengeluarkan ketetapan tersebut. Hal tersebut menandakan bahwa bagi hukum, perbuatan yang dilakukan itu dianggap tidak ada dan akibat perbuatannya juga dianggap tidak pernah ada.

Status hukum atau kedudukan hukum dari orang atau orang-orang yang disebut dalam ketetapan itu dikembalikan ke kedudukan hukum semula sebelum ketetapan itu dikeluarkan. Ketetapan yang dibatalkan adalah ketetapan yang dinyatakan batal oleh hakim atau oleh badan administrasi negara yang berwenang. Bahwa bagi hukum,perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai pada waktu pembatalan.


(20)

16

Pengertian batal dan dapat dibatalkan adalah suatu hal yang penting bagi akibat sesuatu perbuatan yang oleh hakim dibatalkan karena mengandung kekurangan. Mengenai batal

(nietig) yang dilakukan oleh hakim atau oleh baadan Administrasi Negara terdapat 2 (dua)

macam batal, yakni: (1). Batal mutlak (absoluut nietig); (2). Batal Nisbi (relatief nietig). Batal mutlak adalah pembatalan perbuatan itu dapat dituntunt oleh setiap orang. Sedangkan batal nisbi adalah apabila pembatalan perbuatan itu hanya dapat dituntut oleh seseorang atau beberapa orang tertentu saja.

D. Pendapat Para Ahli Mengenai Ketetapan yang Mengalami Kekurangan Menurut Utrecht15 adalah:

Bahwa ketetapan yang tidak sah dapat membawa akibat bagi hukum tidak pernah ada, jadi kedudukan hukum dari yang bersangkutan dibawa kembali kepada kedudukan hukum sebelum ketetapan itu dibuat, dalam bahasa hukumnya disebut tidak sah atau ex tunc (ongeldigheids ex tunct), yakni tidak sah juga untuk waktu sebelum pembatalan, jadi kedudukan hukum dari yang bersangkutan tidak dibawa kembali ke dalam sebelum ketetapan itu dibuat, dalam bahasa hukumnya di sebut tidak sah ex nunc (ongeldigheids ex nunc) yakni tidak sah untuk kemudian saja. Suatu pembatalan ex nunc tidak berlaku surut, hanya berlaku kemudian saja.

Menurut Van der Wel16 adalah

“suatu ketetapan yang menetapkan sesuatu yang sungguh-sungguh tidak mungkin dapat dilaksanakan dapat dianggap batal sama sekali. Mengenai ketetapan-ketetapan lainnya kita harus melihat apakah kekurangan yang bersangkutan adalah kekurangan “esensial” atau kekurangan yang “bukan esensial”, kekurangan yang bukan esensial tidak dapat mempengaruhi berlakunya ketetapan. Mengenai kekurangan esensial harus dilihat beratnya kekurangan. Jika kekurangan itu dirasakan begitu berat sehingga ketetapan yang bersangkutan sebetulnya tidak berupa ketetapan, maka ketetapan yang bersangkutan itu dapat dianggap batal sama sekali.

Apabila kekurangan itu tidak begitu berat, maka ketetapan yang bersangkutan dapat dianggap batal terhadap subyek hukum yang mempunyai alat untuk menggungat berlakunya ketetapan itu.

E. Akibat Ketetapan yang Mengalami Kekurangan

15Ibid, hlm. 91 16Ibid, hlm.92


(21)

17

Menurut Prof. Donner17, terdapat akibat dari ketetapan Tata Usaha Negara yang mengalami kekurangan, yakni:

1. Ketetapan itu harus dianggap batal sama sekali; 2. Berlakunya ketetapan dapat digugat :

a. dalam bandingan;

b. dalam pembatalan karena jabatan (ambtshalvevernieteging) karena bertentangan dengan undang-undang, oleh pejabat yang tingkatnya lebih tinggi dari pejabat yang membuat ketetapan tersebut;

c. dalam penarikan kembali (interekking) oleh kekuasaan yang berhak (competent) mengeluarkan ketetapan tersebut;

3. dalam hal ketetapan tersebut sebelum dapat berlaku memerlukan persetujuan suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka persetujuan tidak dapat diberikan; 4. ketetapan itu diberikan suatu tujuan lain daripada tujuan semula/konversi atau

ketetapan itu dikonversi ke dalam suatu ketetapan lain.

Menurut van der Wel18, terdapat 6 akibat ketetapan yang mengalami kekurangan, yakni:

1. batal karena hukum (van Rechtswege Nietig);

2. kekurangan itu menjadi sebab atau menimbulkan kewajiban membatalkan ketetapan yang bersangkutan untuk sebagaian atau untuk seluruhnya;

3. kekurangan itu menyebabkan bahwa alat Administrasi Negara yang lebih tinggi dan yang berkompeten untuk menyetujui atau mengukuhkannya tidak sanggup memberikan persetujuan atau pengukuhan itu;

4. kekurangan itu tidak mempengaruhi berlakunya ketetapan;

5. karena kekurangan itu, maka ketetapan yang bersangkutan dikonversi ke dalam suatu ketetapan lain;

6. hakim sipil (biasa) menganggap ketetapan yang bersangkutan tidak mengikat

17Ibid, hlm.94 18Ibid, hlm.95


(22)

18

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN

Dari paparan diatas, maka Penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Asas-asas pembentukan produk hukum yang baik terdiri dari 2 asas yakni asas materiil dan asas formil. (1). Asas materiil terdiri dari asas terminologi dan sistematika yang jelas; asas dapat dikenali; asas perlakuan yang sama di depan hukum; asas kepastian hukum, dan asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan. Sedangkan (2). asas formil terdiri dari: asas Tujuan yang Jelas, asas organ/lembaga yang tepat, asas perlunya pengaturan, asas dapat dilaksanakan, asas konsensus. Untuk membentuk produk hukum yang baik dan agar tidak mengalami kekurangan yuridis, maka pembuat kebijakan, pembuat peraturan harus memperhatikan asas-asas-asas pembentukan produk hukum yang baik.

2. Syarat pembentukan ketetapan yang sah adalah terdri dari (a). Syarat-syarat materiil terdiri dari: Organ pemerintahan yang membuat ketetapan harus berwenang;Karena ketetapan suatu pernyataan kehendak/wilsverklaring, maka ketetapan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis; Ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan tertentu;Ketetapan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan – peraturan lain, serta isi dan tujuan ketetapan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.

Dan terdiri dari (b). Syarat-syarat formil terdiri dari: Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya ketetapan dan berhubung dengan cara dibuatnya ketetapan harus dipenuhi; Ketetapan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya ketetapan itu; Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan ketetapan itu harus dipenuhi; Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya ketetapan itu harus diperhatikan.


(23)

19

Menurut Van der Wel, terdapat enam akibat keputusan yang tidak sah, yakni: (1). Keputusan itu menjadi batal karena hukum; (2). Kekurang itu menjadi sebagab atau menimbulkan kewajiban untuk membatalkan keputusan itu untuk sebagiannya atau seluruhnya; (3). Kekurangan itu menyebabkan alat pemerintah yang lebih tinggi dan yang berkompeten untuk menyetujui atau menangguhkannya tidak sanggup memberi persetujuan atau peneguhan itu; (4). Kekurangan itu tidak mempengaruhi berlakunya keputusan; (5). Karena kekurangan itu keputusan itu dikonversi ke dalam keputusan lain; (6). Hakim sipil menganggap keputusan yang bersangkutan tidak mengikat.

Menurut Philipus M. Hadjon dalam “Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintah (Bestuurshandeling) membedakn 3 (jenis) akibat hukum suatu keputusan yang tidak sah yakni: Nietigheid van rechtwage ( Batal karena hukum ) ; (2). Nietig (batal); (3). Vernietifbaar (dapat dibatalkan).

1. Nietigheid van rechtwage (batal karena hukum). Bagi hukum akibat sautu

perbuatan dianggap tidak ada tanpa adanya suatu keputusan yang membatalkan perbuatan tersebut.

2. nietig (batal). Bagi hukum perbuatan yang dilakukan dianggap tidak ada

konsukensinya bagi hukum akibat perbuatan itu dianggap tidak pernah ada.

3. vernietifbaar (dapat dibatalkan). Bagi hukum perbuatan yang dilakukan dan

akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh Hakim PTUN. Saran

Pejabat Tata Usaha Negara, dan Aparatur Sipil Negara lainnya seyogyanya memperhatikan peraturan perundang-undangan terkait, atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi jika ingin merancang suatu produk hukum agar tidak terjadi kekurangan yuridis, dan haruslah pembuat produk tersebut adalah orang yang berwenang mengeluarkan produk hukum tersebut.


(24)

20

DAFTAR PUSTAKA Buku

Attamini, A Hamid S, 1993, Hukum tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan

Kebijakan ( Hukum Tata Pengaturan ), Jakarta : Fakultas Hukum UI

Farida, Maria, 1998, Ilmu Perundang-undangan (Dasar-dasar dan Pembentukannya), Yogyakarta : Kanisius

HR, Ridwan , cetakan kedua, 2003, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press

Kelsen, Hans, 1945, General Theory of Law and State¸ New York, Rusell&Rusell

Manan, Bagir dan Magnarm Kuntana, 1987, Peraturan Perundang-undangan dalam

Pembinaan Hukum Nasional, Bandung : Armico

Mustafa, Bahsan, 1990, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara¸ Bandung:Citra Aditya

Mustafa, Bachsan, cetakan pertama, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia¸ Bandung : PT. Citra Aditya Bakti

Purbopranoto, Kuntjoro, 1975, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan

Administrasi Negara, Alumni, Bandung

Yuliandri, cetakan ke-3, 2011, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang

Baik Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta:

PT.RajaGrafindo Persada

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.


(1)

15

Utrecht menanggapi pendapat van Der Pot tersebut dengan mengatakan14

“bahwa bilamana salah satu syarat tidak dipenuhi, belum tentulah ketetapan yang bersangkutan menjadi ketetapan yang tidak sah.”

dimana pendapat Utrecht ini telah sesuai dengan syarat yang dapat merupakan

bestaanvoorwarde.

Kalau syarat yang merupakan bestaanvoorwarde ini tidak dipenuhi, maka dapat dikatakan bahwa ketetapan menjadi tidak sah. Ketetapan yang tidak sah dapat merupakan:

1. Ketetapan yang batal karena hukum (nietig rechtswage);

2. Ketetapan yang batal (nietig), dapat batal mutlak ataupun batal nisbi;

3. Ketetapan yang dapat dibatalkan (vernietig baar)

B. Ketetapan yang Batal Karena Hukum

Ketetapan yang batal karena hukum adalah ketetapan yang isinya menetapkan adanya akibat suatu perbuatan itu untuk sebagian atau seluruhnya dianggap tidak aa, tanpa diperlukan keputusan hakim atau Badan Administrasi Negara yang berwenang untuk menyatakan batalnya ketetapan tersebut, jadi ketetapan itu batal sejak dikeluarkannya.

C. Ketetapan yang batal (nietig)

Ketetapan yang batal adalah ketetapan yang pembatalannya atau batalnya harus dengan putusan hakim ataupun oleh badan administrasi negara yang lebih tinggi dari badan administrasi negara yang mengeluarkan ketetapan tersebut. Hal tersebut menandakan bahwa bagi hukum, perbuatan yang dilakukan itu dianggap tidak ada dan akibat perbuatannya juga dianggap tidak pernah ada.

Status hukum atau kedudukan hukum dari orang atau orang-orang yang disebut dalam ketetapan itu dikembalikan ke kedudukan hukum semula sebelum ketetapan itu dikeluarkan. Ketetapan yang dibatalkan adalah ketetapan yang dinyatakan batal oleh hakim atau oleh badan administrasi negara yang berwenang. Bahwa bagi hukum,perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai pada waktu pembatalan.


(2)

16

Pengertian batal dan dapat dibatalkan adalah suatu hal yang penting bagi akibat sesuatu perbuatan yang oleh hakim dibatalkan karena mengandung kekurangan. Mengenai batal

(nietig) yang dilakukan oleh hakim atau oleh baadan Administrasi Negara terdapat 2 (dua)

macam batal, yakni: (1). Batal mutlak (absoluut nietig); (2). Batal Nisbi (relatief nietig).

Batal mutlak adalah pembatalan perbuatan itu dapat dituntunt oleh setiap orang. Sedangkan batal nisbi adalah apabila pembatalan perbuatan itu hanya dapat dituntut oleh seseorang atau beberapa orang tertentu saja.

D. Pendapat Para Ahli Mengenai Ketetapan yang Mengalami Kekurangan

Menurut Utrecht15 adalah:

Bahwa ketetapan yang tidak sah dapat membawa akibat bagi hukum tidak pernah ada, jadi kedudukan hukum dari yang bersangkutan dibawa kembali kepada kedudukan hukum sebelum ketetapan itu dibuat, dalam bahasa hukumnya disebut tidak sah atau ex tunc (ongeldigheids ex tunct), yakni tidak sah juga untuk waktu sebelum pembatalan, jadi kedudukan hukum dari yang bersangkutan tidak dibawa kembali ke dalam sebelum ketetapan itu dibuat, dalam bahasa hukumnya di sebut tidak sah ex nunc (ongeldigheids ex nunc) yakni tidak sah untuk kemudian saja. Suatu pembatalan ex nunc tidak berlaku surut, hanya berlaku kemudian saja.

Menurut Van der Wel16 adalah

“suatu ketetapan yang menetapkan sesuatu yang sungguh-sungguh tidak mungkin dapat dilaksanakan dapat dianggap batal sama sekali. Mengenai ketetapan-ketetapan lainnya kita harus melihat apakah kekurangan yang bersangkutan adalah kekurangan “esensial” atau kekurangan yang “bukan esensial”, kekurangan yang bukan esensial tidak dapat mempengaruhi berlakunya ketetapan. Mengenai kekurangan esensial harus dilihat beratnya kekurangan. Jika kekurangan itu dirasakan begitu berat sehingga ketetapan yang bersangkutan sebetulnya tidak berupa ketetapan, maka ketetapan yang bersangkutan itu dapat dianggap batal sama sekali.

Apabila kekurangan itu tidak begitu berat, maka ketetapan yang bersangkutan dapat dianggap batal terhadap subyek hukum yang mempunyai alat untuk menggungat berlakunya ketetapan itu.

E. Akibat Ketetapan yang Mengalami Kekurangan

15Ibid, hlm. 91 16Ibid, hlm.92


(3)

17

Menurut Prof. Donner17, terdapat akibat dari ketetapan Tata Usaha Negara yang mengalami kekurangan, yakni:

1. Ketetapan itu harus dianggap batal sama sekali;

2. Berlakunya ketetapan dapat digugat :

a. dalam bandingan;

b. dalam pembatalan karena jabatan (ambtshalvevernieteging) karena bertentangan dengan undang-undang, oleh pejabat yang tingkatnya lebih tinggi dari pejabat yang membuat ketetapan tersebut;

c. dalam penarikan kembali (interekking) oleh kekuasaan yang berhak (competent) mengeluarkan ketetapan tersebut;

3. dalam hal ketetapan tersebut sebelum dapat berlaku memerlukan persetujuan suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka persetujuan tidak dapat diberikan;

4. ketetapan itu diberikan suatu tujuan lain daripada tujuan semula/konversi atau ketetapan itu dikonversi ke dalam suatu ketetapan lain.

Menurut van der Wel18, terdapat 6 akibat ketetapan yang mengalami kekurangan, yakni:

1. batal karena hukum (van Rechtswege Nietig);

2. kekurangan itu menjadi sebab atau menimbulkan kewajiban membatalkan ketetapan yang bersangkutan untuk sebagaian atau untuk seluruhnya;

3. kekurangan itu menyebabkan bahwa alat Administrasi Negara yang lebih tinggi dan yang berkompeten untuk menyetujui atau mengukuhkannya tidak sanggup memberikan persetujuan atau pengukuhan itu;

4. kekurangan itu tidak mempengaruhi berlakunya ketetapan;

5. karena kekurangan itu, maka ketetapan yang bersangkutan dikonversi ke dalam suatu ketetapan lain;

6. hakim sipil (biasa) menganggap ketetapan yang bersangkutan tidak mengikat

17Ibid, hlm.94 18Ibid, hlm.95


(4)

18

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN

Dari paparan diatas, maka Penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Asas-asas pembentukan produk hukum yang baik terdiri dari 2 asas yakni asas materiil dan asas formil. (1). Asas materiil terdiri dari asas terminologi dan sistematika yang jelas; asas dapat dikenali; asas perlakuan yang sama di depan hukum; asas kepastian hukum, dan asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan. Sedangkan (2). asas formil terdiri dari: asas Tujuan yang Jelas, asas organ/lembaga yang tepat, asas perlunya pengaturan, asas dapat dilaksanakan, asas konsensus.

Untuk membentuk produk hukum yang baik dan agar tidak mengalami kekurangan yuridis, maka pembuat kebijakan, pembuat peraturan harus memperhatikan asas-asas-asas pembentukan produk hukum yang baik.

2. Syarat pembentukan ketetapan yang sah adalah terdri dari (a). Syarat-syarat materiil terdiri dari: Organ pemerintahan yang membuat ketetapan harus berwenang;Karena ketetapan suatu pernyataan kehendak/wilsverklaring, maka ketetapan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis; Ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan tertentu;Ketetapan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan – peraturan lain, serta isi dan tujuan ketetapan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.

Dan terdiri dari (b). Syarat-syarat formil terdiri dari: Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya ketetapan dan berhubung dengan cara dibuatnya ketetapan harus dipenuhi; Ketetapan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya ketetapan itu; Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan ketetapan itu harus dipenuhi; Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya ketetapan itu harus diperhatikan.


(5)

19

Menurut Van der Wel, terdapat enam akibat keputusan yang tidak sah, yakni: (1). Keputusan itu menjadi batal karena hukum; (2). Kekurang itu menjadi sebagab atau menimbulkan kewajiban untuk membatalkan keputusan itu untuk sebagiannya atau seluruhnya; (3). Kekurangan itu menyebabkan alat pemerintah yang lebih tinggi dan yang berkompeten untuk menyetujui atau menangguhkannya tidak sanggup memberi persetujuan atau peneguhan itu; (4). Kekurangan itu tidak mempengaruhi berlakunya keputusan; (5). Karena kekurangan itu keputusan itu dikonversi ke dalam keputusan lain; (6). Hakim sipil menganggap keputusan yang bersangkutan tidak mengikat.

Menurut Philipus M. Hadjon dalam “Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintah (Bestuurshandeling) membedakn 3 (jenis) akibat hukum suatu keputusan yang tidak sah yakni: Nietigheid van rechtwage ( Batal karena hukum ) ; (2). Nietig (batal); (3). Vernietifbaar (dapat dibatalkan).

1. Nietigheid van rechtwage (batal karena hukum). Bagi hukum akibat sautu

perbuatan dianggap tidak ada tanpa adanya suatu keputusan yang membatalkan perbuatan tersebut.

2. nietig (batal). Bagi hukum perbuatan yang dilakukan dianggap tidak ada

konsukensinya bagi hukum akibat perbuatan itu dianggap tidak pernah ada.

3. vernietifbaar (dapat dibatalkan). Bagi hukum perbuatan yang dilakukan dan

akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh Hakim PTUN.

Saran

Pejabat Tata Usaha Negara, dan Aparatur Sipil Negara lainnya seyogyanya memperhatikan peraturan perundang-undangan terkait, atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi jika ingin merancang suatu produk hukum agar tidak terjadi kekurangan yuridis, dan haruslah pembuat produk tersebut adalah orang yang berwenang mengeluarkan produk hukum tersebut.


(6)

20

DAFTAR PUSTAKA Buku

Attamini, A Hamid S, 1993, Hukum tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan

Kebijakan ( Hukum Tata Pengaturan ), Jakarta : Fakultas Hukum UI

Farida, Maria, 1998, Ilmu Perundang-undangan (Dasar-dasar dan Pembentukannya), Yogyakarta : Kanisius

HR, Ridwan , cetakan kedua, 2003, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press

Kelsen, Hans, 1945, General Theory of Law and State¸ New York, Rusell&Rusell

Manan, Bagir dan Magnarm Kuntana, 1987, Peraturan Perundang-undangan dalam

Pembinaan Hukum Nasional, Bandung : Armico

Mustafa, Bahsan, 1990, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara¸ Bandung:Citra Aditya

Mustafa, Bachsan, cetakan pertama, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia¸ Bandung : PT. Citra Aditya Bakti

Purbopranoto, Kuntjoro, 1975, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan

Administrasi Negara, Alumni, Bandung

Yuliandri, cetakan ke-3, 2011, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang

Baik Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta:

PT.RajaGrafindo Persada

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5