komponen tidak menguap. Oxygenated hydrocarbon terdapat dalam jumlah kecil namun amat menentukan aroma dan flavour dari lada.
Menurut Purseglove et al. 1981, kadar alkaloid penyebab rasa pedas beberapa macam lada hampir sama yaitu antara 4 - 10 persen. Alkaloid
tersebut terdiri atas piperin mayoritas, piperyline, piperettine, piperoline A, piperolein B dan piperanine. Menurut Nuryani 1996, pada lada persentase
kandungan minyak atsiri, oleoresin dan piperin berbeda-beda. Hal ini ditentukan oleh varietas, lingkungan area tumbuh, masa panen tingkat
kematangan saat pemanenan, metode pengolahan serta kondisi dan waktu penyimpanan.
C. FISIOLOGI PASCAPANEN
Pemanenan lada memiliki waktu yang berbeda-beda tergantung jenis produk lada yang akan dibuat. Menurut Syakir 1996, lada hijau di panen
sekitar 5 bulan sesudah pembungaan, cirinya adalah teksturnya yang masih cukup keras, berwarna hijau dan apabila ditekan mengeluarkan cairan. Lada
hitam dipanen sekitar 7 - 8 bulan setelah pembungaan, cirinya adalah apabila butir-butir buah mencapai ukuran normal, cukup keras sehingga sukar
dihancurkan dengan tangan dan berwarna hijau tua sedangkan lada putih dipanen sekitar 8 - 9 bulan setelah pembungaan, saat butir-butir lada berwarna
hijau kekuningan hingga kemerahan. Biasanya apabila dalam sebuah tandan terdapat 1 - 2 butir lada berwarna kuning maka tandan tersebut sudah dapat
dipetik. Pematangan dan perkembangan buah akan menyebabkan terjadinya
perubahan turgor sel, hal tersebut disebabkan karena perubahan komposisi dinding sel pada buah Winarno, 1979 demikian juga pada lada. Hal ini
mengakibatkan buah kehilangan kekerasannya dan menjadi lebih lunak setelah matang. Dibandingkan dengan lada hitam dan lada putih tekanan turgor pada
lada hijau relatif lebih tinggi sehingga tekstur buahnya masih cukup keras
Syakir, 1996. Saat pematangan klorofil yang menyebabkan warna hijau
buah berubah menjadi kuning karena terdegradasi. Winarno 1979, juga
5
menyatakan pematangan juga ditandai dengan menurun kandungan asam- asam organik pada buah dan sayuran.
D. PENANGANAN PASCAPANEN
Kegiatan pascapanen meliputi beberapa hal, diantaranya pembersihan, pemipilan, penggunaan bahan kimia, pengeringan, pengemasan dan
penyimpanan. Pada penelitian ini penanganan pascapanen lada hijau yang dijadikan sebagai faktor perlakuan meliputi dua hal yaitu penggunaan bahan
kimia dan pengeringan.
1. Penggunaan Bahan Kimia
Eskin et al. 1971, menyatakan pemetikan buah lada saat pemanenan sangat memungkinkan terjadinya luka atau memar. Kondisi
tersebut dapat menyebabkan terjadinya pencoklatan enzimatik yang terlihat sebagai gejala penampakan perubahan warna menjadi gelap.
Enzim yang diketahui bertanggung jawab dalam proses pencoklatan enzimatik adalah fenolase o-difenol: oksigen oksireduktase, EC 1.10.3.1.
Menurut Eskin et al. 1971, kompleks fenolase dapat dibedakan menjadi dua macam reaksi yaitu, fenol hidroksilase atau kreolase dengan
substrat monofenol dan polifenol oksidase atau katekolase dengan substrat difenol. Masing-masing reaksi akan mengakibatkan pencoklatan pada lada.
Kreolase mengkatalisis monofenol melalui reaksi hidroksilasi menjadi difenol dengan penambahan gugus hidroksil pada posisi orthonya Gambar
2. Reaksi pada oksidasi monofenol adalah reaksi yang berjalan lambat karena harus mengalami reaksi hidroksilasi sebelum terjadi reaksi
oksidasi. Katekolase mengkatalis difenol melalui reaksi oksidasi menjadi bentuk kuinon dengan penghilangan hidrogen Gambar 3. Kuinon yang
terbentuk akan terpolimerisasi menjadi melanin yang berwarna coklat. Menurut Eskin et al. 1971, agar reaksi pencoklatan dapat dikatalis
oleh enzim fenolase harus juga tersedia senyawa Cu dan oksigen. Oksigen dibutuhkan dalam reaksi oksidasi sebagai akseptor hidrogen sedangkan Cu
berperan sebagai ko-enzim. Terjadinya reaksi pencoklatan enzimatik
6
melibatkan perubahan bentuk kuinol menjadi kuinon. Reaksi ini bergantung pada ketersediaan enzim fenolase, oksigen dan ko-enzim Cu.
OH OH
+[O] OH
kreolase
monofenol difenol
Gambar 2. Reaksi hidroksilasi monofenol Eskin et al.,1971
OH O
OH O
-2H + H
2
O katekolase
kuinol kuinon
Gambar 3. Reaksi oksidasi difenol Eskin et al.,1971
Menurut Variar et al. 1988 enzim alami yang diambil dari lada hijau berhasil mengkatalis substrat 4-metil catechol,
reaksi oksidasi tersebut aktif pada rentang pH 3 - 8,5 dan optimum pada pH 7. Enzim
polifenoloksidase pada lada lebih banyak terdapat pada bagian kulit dibandingkan pada bagian daging buah, hal tersebut ditunjukan dari
aktivitas spesifik enzim pada bagian kulit lima kali lebih tinggi dibandingkan pada bagian daging buah.
Menurut Alains et al. 1991, hilangnya warna hijau akibat reaksi pencoklatan enzimatik disebabkan karena rusaknya struktur klorofil.
Klorofil juga akan mengalami degradasi akibat perlakuan panas maupun pengasaman. Rusaknya struktur pada klorofil tersebut dikarenakan
7
hilangnya ion Mg
2+
sehingga terjadi perubahan senyawa klorofil menjadi senyawa feopitin atau feoporbid Gambar 4.
Gambar 4. Mekanisme degradasi klorofil Alains et al.,1991
Pencegahan reaksi pencoklatan enzimatik merupakan pencegahan aktivitas polifenol oksidase terhadap substrat dan oksigen Whitaker,
1995. Pencegahan reaksi pencoklatan enzimatik dapat dilakukan dengan penambahan sulfit, penghilangan oksigen, metilasi substrat fenolase dan
penambahan asam. Reaksi pencoklatan enzimatik dapat dihambat dengan mengurangi oksigen, salah satu caranya yang efektif adalah dengan
perendaman Eskin et al., 1971. Proses pengeringan lada hijau akan menyebabkan terjadinya reaksi browning enzimatik. Untuk
menanggulangi hal tersebut biasanya dilakukan proses blanching dan penanganan dengan sulfur dioksida sebelum dikeringkan untuk meng-
inaktivasi enzim Purseglove et al., 1981. Pemanasan pada suhu di atas 50
o
C juga dapat mencegah pencoklatan enzimatik karena pada suhu tersebut enzim mulai terdenaturasi. Aplikasi
penambahan sulfit untuk mencegah reaksi pencoklatan enzimatik sangat efektif namun dapat menyebabkan asmatik sehingga dikembangkan
penelitian dengan menggunakan asam organik diantaranya adalah asam sitrat dan asam askorbat Sappers dan Miller, 1992. Asam organik
lainnya juga dapat digunakan sebagai senyawa inhibitor pada reaksi pencoklatan enzimatik dengan mempertimbangkan keefektifan dan
-fitol -fitol
-Mg
2+
-Mg
2+
klorofilid hijau
klorofil hijau
feopitin hijau kecoklatan
Feoporbid coklat
klorofilase
8
keamanan penggunaannya pada manusia, beberapa asam tersebut adalah asam sitrat, asam malat dan asam tartrat.
2.1. Asam Sitrat
Menurut Doores 1990, efek dari asam sitrat dan garamnya dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan mikroba seperti
bakteri, khamir dan kapang. Dalam aplikasinya asam sitrat dapat bertindak sebagai pengawet Winarno, 1992. Asam sitrat juga
mudah dicerna, tidak beracun dan mempunyai rasa yang menyenangkan sehingga banyak digunakan sebagai pengawet pada
industri makanan dan farmasi Furia, 1981. Doores 1990 menyatakan asam sitrat memiliki rumus molekul C
6
H
8
O
7
serta larut dalam air dan alkohol. Rumus bangun asam sitrat disajikan pada
Gambar 5.
Gambar 5. Rumus bangun asam sitrat Anonymous, 2007 Menurut Doores 1990, selain sebagai pengawet pada
mayoritas makanan berkarbonasi asam sitrat juga digunakan sebagai flavour karena memberikan rasa sitrus yang kuat. Secara komersial
asam sitrat dikombinasikan sebagai zat antioksidan dan retardan dari
9
reaksi browning, plasticizer, emulsifier dan mengurangi proses panas dengan menurunkan pH. Asam sitrat dan sodium sitrat dapat
menghambat absorbsi kalsium pada saat tidak adanya vitamin D pada tubuh.
2.2. Asam Malat
Asam malat termasuk senyawa larut dalam air dan alkohol dengan rumus molekul C
4
H
6
O
5
. Asam malat dapat digunakan sebagai zat anti mikroba karena hubungannya dengan efek yang
ditimbulkan pada penurunan pH. Asam malat cukup efektif menghambat pertumbuhan Staphilococus aureus pada pH 3,98
Doores, 1990. Menurut Doores 1990, di pasaran asam malat dapat
digunakan sebagai flavouring agent, penguat flavour, adjuvant dan pengontrol pH dalam makanan kecuali makanan bayi. Asam malat
amat baik dalam mencegah pencoklatan pada buah serta sebagai zat antioksidan. Pengujian asam malat menunjukan pengaruh jangka
panjang. Pada tikus, asam malat dengan konsentrasi 50000 ppm menyebabkan penurunan pertumbuhan yang signifikan namun
dengan kondisi yang sama pada anjing tidak memberikan berpengaruh. Rumus bangun asam malat disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Rumus bangun asam malat Anonymous, 2007
10
2.3. Asam Tartrat
Asam tartrat biasa digunakan sebagai zat acidulan, leavening agent
, penguat flavour, flavouring agent, humektan, dan pengontrol pH namun terbatas penggunannya sebagai zat anti mikroba. Diantara
semua acidulan, asam tartrat paling mudah larut dan memiliki bau khas yang kuat Doores, 1990.
Doores 1990 menyatakan, asam tartrat hingga konsentrasi 1,2 persen dan sodium tartrat dengan konsentrasi asam sebanyak 5
persen tidak memberikan pengaruh buruk pada tikus. Dalam uji teratogenik hingga level 274 mgkg berat badan terhadap mice, tikus,
hamster dan kelinci tidak menunjukan adanya pengaruh buruk. Asam tartrat termasuk senyawa yang larut dalam air dan alkohol, dengan
rumus molekul C
4
H
6
O
6
. Rumus bangun asam tartrat disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Rumus bangun asam tartrat Anonymous, 2007
2. Pengeringan
Pencegahan kerusakan bahan pertanian dari serangan jamur, enzim dan aktivitas serangga dapat dilakukan dengan proses pengeluaran kadar
air menuju kadar air keseimbangan atau yang lebih lazim dikenal dengan istilah pengeringan Henderson, 1976. Menurut Earle 1969,
keseimbangan kadar uap air suatu bahan pangan ditentukan oleh suhu udara, kandungan dan keterikatan air dalam bahan serta adanya material
yang larut dalam air. Pengeringan dilakukan dengan penguapan melalui
11
energi panas dengan tekanan udara normal Henderson, 1976 hingga kadar air yang tersisa menyebabkan mikroorganisme tidak dapat tumbuh
Winarno, 1980. Purnomo 1995 menyatakan, selain kadar air kerusakan bahan juga
dipengaruhi oleh aktivitas air pada bahan tersebut a
w
. Kerusakan bahan pangan yang meliputi kerusakan kimiawi, enzimatik, mikrobiologi
maupun kombinasi dari ketiganya membutuhkan sejumlah air selama prosesnya. Untuk menghambat atau menghentikan kerusakan pada bahan
dapat dilakukan dengan cara mengontrol a
w
hingga nilai kurang dari 0,2. Berdasarkan kurva sorpsi isotermis, pada daerah A dengan nilai a
w
Hubungan kadar air dan a
w
dapat dilihat pada kurva sorpsi isotermis Gambar 8.
Gambar 8. Bentuk umum kurva sorpsi isotermis Labuza dan Saltmarch dalam Purnomo, 1995
Menurut Earle 1969, Proses pengeringan dibagi menjadi tiga kategori yaitu pengeringan udara, pengeringan hampa dan pengeringan
beku. Pengeringan udara berhubungan langsung di bawah pengaruh tekanan atmosfir. Prosesnya terjadi dengan memindahkan panas hingga
menembus bahan pangan, baik dari udara maupun dari permukaan yang dipanaskan kemudian uap air yang ada pada bahan pangan dipindahkan ke
12
udara. Pada pengeringan hampa panas dipindahkan dengan cara konduksi serta kadang-kadang secara radiasi dan pengeringan beku dengan cara
menyublimasian uap air keluar dari bahan beku. Pada pengeringan dengan udara, laju bahan yang dikeringkan
tergantung dari besarnya kelembaban relatif udara. Kelembaban relatif didefinisikan sebagai perbandingan kelembaban udara tertentu dengan
kelembaban udara jenuh pada tekanan dan suhu yang sama. Laju perpindahan air tergatung pada kondisi udara, sifat bahan pangan dan
desain alat pengering. Apabila kandungan uap air dalam bahan menurun akibat penguapan maka laju perpindahan air pun akan menurun.
Pengeringan pada umumnya terjadi pada air permukaan bebas atau disebut sebagai laju pengeringan tetap Earle, 1969.
Menurut McCabe et al. 1999, peralatan pengeringan secara pokok dapat dibedakan menjadi dua, yaitu 1 Pengering adiabatikpengering
langsung, dimana zat padat yang dikeringkan bersentuhan langsung dengan gas panas biasanya udara; dan 2 Pengering non
adiabatikpengering tak langsung, dimana kalor yang digunakan berpindah ke zat padat dari suatu medium luar. Pengeringan langsung dapat
dibedakan berdasarkan cara kontak antara zat padat dan gas, yaitu: 1. Pengeringan dengan sirkulasi silang, gas ditiupkan melintasi
permukaan hamparan atau lembaran zat padat atau melintas satu atau dua sisi lembaran atau film sinambung;
2. Pengeringan sirkulasi tembus, gas ditiupkan melalui hamparan zat padat butiran kasar yang ditempatkan di atas ayak pendukung;
3. Zat padat disiramkan ke bawah melalui suatu arus gas yang bergerak perlahan-lahan ke atas;
4. Gas dialirkan melalui zat padat dengan kecepatan yang cukup untuk memfluidisasikan hamparan; dan
5. Zat padat seluruhnya dibawa ikut dengan arus gas berkecepatan tinggi dan diangkut dari perangkat campuran ke pemisah mekanik.
Menurut Brennan et al. 1969, alat pengering buatan banyak macamnya, diantaranya yaitu kiln drier, cabinet try drier, tunnel drier,
13
conveyor drier, pneumatic drier dan drum drier. Try drier terdiri atas
seperangkat rak berlubang tempat bahan dikeringkan, sumber panas dan kipas untuk mensirkulasikan udara panas. Taib et al. 1988, juga
berpendapat, energi panas yang dihasilkan dialirkan dengan bantuan kipas ke arah sejajar dengan letak bahan. Karena ketinggian tiap rak berbeda,
energi yang diterima oleh bahan juga tidak sama.
E. KARAKTERISTIK LADA HIJAU KERING DI PASAR
Karakteristik lada hijau kering di pasar meliputi beberapa hal, yaitu warna, kadar air, kadar minyak atsiri dan bulk density. Warna merupakan
parameter mutu yang penting pada lada hijau kering karena menentukan kesan awal penerimaan produk oleh konsumen. Parameter warna yang didapatkan
pada lada hijau kering di pasar adalah +2,79 yang diukur dengan notasi Hunter. Kadar air dan kadar minyak atsiri lada hijau kering memiliki nilai
kritis yang harus dipenuhi. Nilai kritis kadar air yaitu maksimal 12 persen sedangkan kadar minyak atsiri minimal 3 persen. Nilai bulk density lada hijau
kering masih dapat diterima pada nilai 200 hingga 400 gl www.alibaba.com. Karakteristik lada hijau kering di pasar disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik lada hijau kering di pasar
Parameter Nilai
Warna +2,79
2
Kadar air max.12
1
Kadar minyak atsiri min.3
1
Bulk density 250 - 400 gl
1 1
Natures PIC,
2
Borneo product’s Sumber: www.alibaba.com
14
DAFTAR PUSTAKA
Alains, Charles, dan G. Linden. 1991. Food Biochemistry. Ellis Horwood Limited, England.
Anonymous, 2007. www.biologia.edu.ar. 24 September 2007. Anonymous, 2007. www.answers.com. 30 Maret 2007
Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. I. Puspitasari dan S. Budiyanto. 1989. Analisis
Pangan. IPB Press, Bogor. Biro Pusat Statistika. 2007. www.bps.go.id. 22 September 2007
Brennan, J. G., J. R. Brutten., N. D. Cowel. dan A. E. V. Lily., 1969. Food
Engineering Operations. Elsevier Publishing, Amsterdam. Doores, S. 1990. pH Control Agents and Acidulans. di dalam: Food Additives.
A.L. Brannen, P. M. Davidson, dan S. Salminen ed. Marcel Dekker inc, New York
Earle, R. L., 1969. Satuan Operasi dalam Pengolahan Pangan. Terjemahan: Zein Nasution. Suara Hudaya,
Bogor. Eskin, N. A. M., H. M. Handerson, dan R. J. Townsend. 1971. Biochemistry of
Food. Academic Press, New York. Furia, T. E. 1981. Hand Book of Food Additives. CRC Press. Boca Raton, Florida
Francis, F. Jack. 1998. Food Colour. Di dalam: Food Analysis. S. Suzzana. ed..
Aspen publisher.inc, Maryland Guenther, E. 1972. The Essential Oil, Vol 1. Terjemahan. Semangat Ketaren.
Minyak Atsiri. Balai Pustaka. Jakarta Hidayat. T dan Rishaferi. 1994. Pengaruh Kondisi Blanching dan Sulfitasi
terhadap Mutu Lada Hijau Dehidrasi. Bul. LITTRI 9: 45. Henderson, S. M. dan Perry, R. L. 1976. Agriculture Process Engineering. The
Avi Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut. Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka. Jakarta
Labuza dan Saltmarch. 1995. dalam Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan
Peranannya dalam Pengawetan Pangan. UI Press. Jakarta
Meilgaard, M., GV Civille., dan BT. Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques
3rd Edition. CRC Press. New York. Mc Cabe, W. L., Julain C. dan S., Petter. H. 1986. Operasi Teknik Kimia.
Terjemahan, Erlangga, Jakarta.
Nair, G. K. 2006. Global Pepper Prices Remained Low Despite Drop in Output. www.thehindubusinessline.com
. 10 Agustus 2006 Nature’s, 2007. Dehydrated Green Pepper.
www.alibaba.com . 18 April 2007
Nuryani, Y. 1996. Klasifikasi dan Karakteristik Tanaman Lada. Monograf Tanaman Lada. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Balai
Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, Cimanggu, Bogor Pruthi. 1976. dalam Purseglove, J. W., E. G. Brown, C. L. Green dan S. R. J.
Robins,. Spices. Vol 2. Longman Inc., New York. Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. UI
Press. Jakarta Purseglove, J. W., E. G. Brown, C. L. Green dan S. R. J. Robins, 1981. Spices.
Vol 2. Longman Inc., New York. Sappers, G. M. dan R. L. Miller. 1992. dalam skripsi. Nita Budiarti. Pengaruh
Asam Organik dan Lama Perendaman Terhadap Pencoklatan Enzimatis Pada Proses Pengupasan Lada Putih Piper nigrum L. Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut PErtanian Bogor, Bogor.
Syakir, M. 1996. Budidaya Lada Perdu. Monograf Tanaman Lada. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Cimanggu, Bogor .
Syarif, R. dan A. Irawati. 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Medyatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Taib, G., E. G. Said, dan S. Wiraatmaja. 1988. Operasi Pengeringan Pada Hasil Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.
Variar, P.S., B. Pendharkar, A. Banerjee, dan C. Bandyopadhyay. 1988. Blackening in Green Pepper Berriers
. J. of Phytochemistry. 273 : 715- 717.
36
Whitaker, J. R. 1994. Principles of Enzymologi for the Food Science. Marcel Dekker. Inc. New York.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F.G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Teknologi Pangan. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
37
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah lada hijau segar yang didapatkan dari perkebunan lada di Serang, Banten. Bahan lainnya adalah asam sitrat,
asam malat dan asam tartrat sebagai zat anti pencoklatan dan toluen yang digunakan untuk pengukuran kadar air.
Peralatan yang digunakan adalah panci stainless steel, baskom, kompor, peniris dan pengering tipe rak untuk pengolahan lada hijau kering. Chromameter, tabung
destilasi minyak, tabung destilasi air Bidwell-Sterling, , pH meter, gelas ukur, timbangan, cawan petri, kondensor, labu didih, bunsen, mortar, erlenmeyer, hot plate,
piknometer dan, gelas piala untuk karakterisasi lada hijau segar dan lada hijau kering.
B. TAHAPAN PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan terdiri dari tiga tahap, yaitu 1 karakterisasi lada hijau segar, 2 pengolahan lada hijau kering, 3 karakterisasi lada hijau kering dan
4 evaluasi sensori. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.
Karakterisasi lada hijau segar: Uji warna, kadar air, kadar minyak atsiri, pH, bulk density
Mulai
Selesai Evaluasi sensori
Pengolahan lada hijau kering Karakterisasi lada hijau kering:
Uji warna, kadar air, kadar minyak atsiri, pH, bulk density
Gambar 9. Diagram alir tahapan penelitian