Pemodelan Penyebaran Infeksi HIV pada Komunitas Injecting Drug Users (IDU)
PEMODELAN PENYEBARAN INFEKSI HIV PADA KOMUNITAS
INJECTING DRUG USERS
(IDU)
SKRIPSI
HAMKA SUTRA
100803063
DEPARTEMEN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
(2)
PEMODELAN PENYEBARAN INFEKSI HIV PADA KOMUNITAS
INJECTING DRUG USERS
(IDU)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai
gelar Sarjana Sains
HAMKA SUTRA
100803063
DEPARTEMEN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
(3)
PERSETUJUAN
Judul : Pemodelan Penyebaran Infeksi HIV pada Komunitas Injecting Drug Users (IDU)
Kategori : Skripsi
Nama : Hamka Sutra
Nomor Induk Mahasiswa : 100803063
Program Studi : Sarjana (S1) Matematika Departemen : Matematika
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara
Disetujui di Medan, April 2014
Komisi Pembimbing
Pembimbing 2, Pembimbing 1,
Dr. Esther S. M. Nababan, M.sc. Prof. Dr. Tulus, M.Si. Ph.D. NIP. 19610318 198711 2 001 NIP. 19620901 198803 1 002
Disetujui Oleh
Departemen Matematika FMIPA USU Ketua,
Prof. Dr. Tulus, M.Si. Ph.D. NIP. 19620901 198803 1 002
(4)
PERNYATAAN
PEMODELAN PENYEBARAN INFEKSI HIV PADA KOMUNITAS
INJECTING DRUG USERS (IDU)
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, April 2014
HAMKA SUTRA 100803063
(5)
PENGHARGAAN
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, atas semua kasih sayang dan limpahan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul Pemodelan Penyebaran Infeksi HIV Pada Komunitas Injecting Drug Users (IDU).
Terimakasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Tulus, M.Si. Ph.D. selaku pembimbing 1 dan Dr. Esther S. M. Nababan, M.Sc. selaku pembimbing 2 yang telah meluangkan waktunya selama penyusunan skripsi ini. Terimakasih kepada Prof. Dr. Tulus, M.Si. Ph.D. dan Dr. Mardiningsih, M.Si. selaku Ketua Departemen dan Sekretaris Departemen Matematika FMIPA-USU Medan, Dekan dan Pembantu Dekan FMIPA USU, seluruh Staf dan Dosen Matematika FMIPA USU, pegawai FMIPA USU dan rekan-rekan kuliah angkatan 2010 Matematika FMIPA USU. Akhirnya tidak terlupakan ucapan terimakasih kepada Ayahanda Khairuman (Alm) dan Ibunda Yulianis (Almh) serta saudara-saudari penulis Mazwanni, Elma Diana, Mizral, Ismar Rosidi, Safrillah dan Litriyanni yang selama ini memberikan bantuan baik secara materi maupun moral dan dorongan semangat yang diperlukan. Semoga Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa akan membalasnya.
(6)
PEMODELAN PENYEBARAN INFEKSI HIV PADA KOMUNITAS
INJECTING DRUG USERS (IDU)
ABSTRAK
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang dapat menyebabkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Sindrome) dan belum dapat disembuhkan. Penularan infeksi HIV pada komunitas pecandu narkoba suntik (Injecting Drug Users
/ IDU) sangat rentan terjadi melalui mekanisme pertukaran jarum suntik. Pemodelan penyebaran infeksi menggunakan asumsi bahwa pecandu yang sudah mengidap AIDS ikut berbagi jarum suntik dalam kmonuitas IDU. Kekuatan infeksi sangat dipengaruhi oleh mekanisme pertukaran jarum suntik dan untuk menganalisa perilaku penyebaran infeksi pada komunitas IDU terlebih dahulu menentukan basic reprodution ratio ( ) dan dua titik kesetimbangan dari model yaitu titik kesetimabngan bebas infeksi dan titik kesetimbangan epidemik. Kemudian ditentukan titik kestabilan dari titik kesetimbangan bebas infeksi tersebut dengan menggunakan teorema kestabilan Lyapunov. Kesimpulan dari penelitian menunjukkan bahwa jika > 1 maka infeksi HIV mewabah pada komunitas IDU dan sebaliknya jika ≤ 1 maka infeksi HIV tidak mewabah pada komunitas IDU.
Kata Kunci : infeksi HIV, komunitas IDU, kekuatan infeksi, basic reproduction ratio, titik kesetimbangan dan kestabilan.
(7)
MODELS FOR TRANSMISSION OF HIV INFECTION IN INJECTING DRUG USERS (IDU) COMMUNITY
ABSTRACT
HIV (Human Immunodeficiency Virus) is a virus that can cause AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) and can not be cured. Transmission of HIV infection in injecting drug addicts community (Injecting Drug Users / IDU) are vulnerable happen through needle exchange mechanism. Modeling the spread of infection using the assumption that addicts who already have AIDS participated in a community syringe sharing IDU. Infection is strongly influenced by the strength of needle exchange mechanism and to analyze the behavior of the spread of infection in the IDU community first determine the basic reprodution ratio ( ) and two equilibrium points of the model are free infection equilibrium and the equilibrium point of the epidemic. Then, determined point stability of the free infection equilibrium point by using Lyapunov stability theorem. Conclusions of the study indicate that if > 1 then the epidemic of HIV infection in the IDU community and otherwise if ≤ 1 then no epidemic of HIV infection in the IDU community.
Keywords : HIV infection, IDU community, the strength of the infection, basic reproduction ratio, the point of equilibrium and stability.
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
Persetujuan i
Pernyataan ii
Penghargaan iii
Abstrak iv
Abstract v
Daftar Isi vi
Daftar Tabel viii
Daftar Gambar ix
Daftar Lampiran x
Bab 1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Perumusan Masalah 3
1.3. Batasan Masalah 3
1.4. Tujuan Penelitian 3
1.5. Kontribusi Penelitian 4
1.6. Metodologi Penelitian 4
Bab 2. Tinjauan Pustaka
2.1. Sistem Persamaan Diferensial 6 2.1.1. Sistem Persamaan Diferensial Linier 7 2.1.2. Sistem Persamaan Diferensial Nonlinier 7 2.2. Kesetimbangan dan Kestabilan 7
2.3. Peluang 12
2.3.1. Peluang Bersyarat 12
2.4. Distribusi Poisson 13
2.4.1. Proses Poisson 15
2.5. Basic Reproduction Ratio 16
Bab 3. Pemodelan Penyebaran Infeksi HIV pada komunitas Injecting Drug Users
(IDU).
3.1. Pembentukan Model 19
3.2. Kekuatan Infeksi 23
3.3. Analisis Kualitatif Model 29
3.4. Basic Reproduction Ratio 34
3.5. Kesetimbangan dan Kestabilan Model 35 3.5.1. Titik Kesetimbanga Bebas Infeksi 36 3.5.2. Titik Kesetimbanga Epidemik 37 3.5.3. Kestabilan Titik kesetimbangan 38
(9)
Bab 4. Simulasi Pemodelan Penyebaran Infeksi HIV pada komunitas Injecting Drug Users (IDU).
4.1. Simulasi 1 : Dinamika 44
4.2. Simulasi 2 : Potret Fase pada saat 1 49 4.3. Simulasi 3 : Potret Fase pada saat > 1 51 Bab 5. Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan 55
5.2. Saran 56
(10)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel
3.1. Variabel dan parameter model 21
4.1. Nilai parameter pada simulasi 1 44 4.2. Penurunan terhadap dalam persentase 45 4.3. Kenaikan terhadap dalam persentase 47 4.4. Penurunan terhadap dalam persentase 48 4.5. Nilai parameter pada simulasi 2 49 4.6. Nilai parameter pada simulasi 3 51
(11)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar
3.1. Diagram penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU 21 4.1. Dinamika pada populasi susceptible 45 4.2. Dinamika pada populasi infectious 46 4.3. Dinamika pada populasi pengidap AIDS 48 4.4. Jumlah populasi susceptibles terhadap waktu saat 1 50 4.5. Jumlah populasi infectious terhadap waktu saat 1 50 4.6. Jumlah populasi Pengidap AIDSterhadap waktu saat 1 51 4.7. Jumlah populasi susceptibles terhadap waktu saat > 1 52 4.8. Jumlah populasi infectious terhadap waktu saat > 1 53 4.9. Jumlah populasi Pengidap AIDS terhadap waktu saat > 1 53
(12)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
Lampiran
1. Source Code Simulasi 1 : Dinamika 58 2. Source Code Simulasi 2 : Potret Fase pada saat 1 60 3. Source Code Simulasi 3 : Potret Fase saat 1 62
(13)
PEMODELAN PENYEBARAN INFEKSI HIV PADA KOMUNITAS
INJECTING DRUG USERS (IDU)
ABSTRAK
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang dapat menyebabkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Sindrome) dan belum dapat disembuhkan. Penularan infeksi HIV pada komunitas pecandu narkoba suntik (Injecting Drug Users
/ IDU) sangat rentan terjadi melalui mekanisme pertukaran jarum suntik. Pemodelan penyebaran infeksi menggunakan asumsi bahwa pecandu yang sudah mengidap AIDS ikut berbagi jarum suntik dalam kmonuitas IDU. Kekuatan infeksi sangat dipengaruhi oleh mekanisme pertukaran jarum suntik dan untuk menganalisa perilaku penyebaran infeksi pada komunitas IDU terlebih dahulu menentukan basic reprodution ratio ( ) dan dua titik kesetimbangan dari model yaitu titik kesetimabngan bebas infeksi dan titik kesetimbangan epidemik. Kemudian ditentukan titik kestabilan dari titik kesetimbangan bebas infeksi tersebut dengan menggunakan teorema kestabilan Lyapunov. Kesimpulan dari penelitian menunjukkan bahwa jika > 1 maka infeksi HIV mewabah pada komunitas IDU dan sebaliknya jika ≤ 1 maka infeksi HIV tidak mewabah pada komunitas IDU.
Kata Kunci : infeksi HIV, komunitas IDU, kekuatan infeksi, basic reproduction ratio, titik kesetimbangan dan kestabilan.
(14)
MODELS FOR TRANSMISSION OF HIV INFECTION IN INJECTING DRUG USERS (IDU) COMMUNITY
ABSTRACT
HIV (Human Immunodeficiency Virus) is a virus that can cause AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) and can not be cured. Transmission of HIV infection in injecting drug addicts community (Injecting Drug Users / IDU) are vulnerable happen through needle exchange mechanism. Modeling the spread of infection using the assumption that addicts who already have AIDS participated in a community syringe sharing IDU. Infection is strongly influenced by the strength of needle exchange mechanism and to analyze the behavior of the spread of infection in the IDU community first determine the basic reprodution ratio ( ) and two equilibrium points of the model are free infection equilibrium and the equilibrium point of the epidemic. Then, determined point stability of the free infection equilibrium point by using Lyapunov stability theorem. Conclusions of the study indicate that if > 1 then the epidemic of HIV infection in the IDU community and otherwise if ≤ 1 then no epidemic of HIV infection in the IDU community.
Keywords : HIV infection, IDU community, the strength of the infection, basic reproduction ratio, the point of equilibrium and stability.
(15)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang dapat menyebabkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Sindrome) yang menyerang sel darah putih yang bernama CD4 (sel T) sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang ringan sekalipun. Kasus infeksi HIV dan AIDS merupakan kasus penyakit yang sudah lama terjadi, namun hingga saat ini belum ditemukan obat untuk menyembuhkan penyakit ini.
Pertumbuhan HIV dalam tubuh manusia sangatlah cepat di awal terserang infeksi HIV. Setiap tahapan pertumbuhan virus HIV dapat menimbulkan gejala yang berbeda-beda. Gejala yang ditimbulkan memiliki ciri yang sama dengan gejala infeksi virus lainnya, sehingga membuat orang tidak menyadari bahwa dirinya sudah terinfeksi. Infeksi HIV menular ke manusia lain melalui kontak langsung dengan penderita, seperti melalui hubungan seks, tindik, donor darah dan pemakaian jarum suntik secara bergantian. Oleh karena itu, HIV dapat menyebar secara cepat di komunitas pecandu Narkoba (Narkotika dan Obat Terlarang) suntik dan pelaku seks bebas.
Menurut Nasronudin (2007), penyakit infeksi HIV masih merupakan masalah kesehatan global, termasuk di Indonesia. Masalah yang berkembang sehubungan dengan penyakit infeksi HIV adalah angka kejadian dan kematian yang masih tinggi. Meskipun telah dicapai berbagai kemajuan di bidang kedokteran dan farmasi, serta telah berbagai upaya pencegahan primer maupun sekunder, tetapi angka kesakitan dan kematiannya tetap tinggi.
Menurut WHO, hingga Desember 2000, dilaporkan 58 juta jiwa penduduk dunia terinfeksi HIV, dalam kurun waktu tersebut 22 juta jiwa meninggal atau 7.000
(16)
jiwa meninggal akibat AIDS setiap hari. Transmisi HIV masih tetap saja berlangsung hingga kini, 16.000 jiwa terinfeksi HIV baru setiap harinya.
Tingkat penularan HIV di Indonesia juga semakin meningkat, pada tahun 2010 sekitar 400.000 orang menjadi ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS) dan 100.000 orang meninggal akibat AIDS. Diproyeksikan bahwa pada tahun 2015 jumlah ODHA akan mencapai 1.000.000 dengan kematian 350.000 orang. Kesakitan dan kematian tersebut harus dicegah dan ditekan dengan mengubah perjalanan epidemologi HIV/AIDS di Indonesia demikian disampaikan Nafisah Mboi pada 1 Desember 2006 pada saat memperingati hari AIDS sedunia (Nasronudin.2007. hal 15).
Penelitian tentang Model Matematika Penyebaran Infeksi HIV pada komunitas IDU telah diteliti sebelumnya (Mardhiyah, I., 2012.). Model yang diperoleh adalah
= = Ʌ – S– ,
=
= – – .Dimana,
= menyatakan laju perubahan populasi pecandu susceptibles terhadap waktu t
= menyatakan laju perubahan populasi pecandu infectious terhadap waktu t
Ʌ = Laju pertambahan populasi IDU dari manusia biasa menjadi pecandu narkoba suntik (IDU)
= Laju kematian alami IDU per kapita
S = Ukuran populasi pecandu Susceptibles
= Ukuran populasi pecandu Infectious
= Laju perubahan dari terinfeksi menjadi HIV menjadi penyakit AIDS per kapita
= Kekuatan penyebaran infeksi (force of infection) dalam komunitas IDU
dengan asumsi bahwa pecandu yang menyadari sudah mengidap AIDS tidak ikut berbagi jarum suntik pada komunitas IDU. Komunitas pecandu narkoba suntik (IDU) merupakan kelompok beresiko tinggi untuk terkena infeksi HIV. Pola hidup pecandu narkoba suntik (IDU) yang setia kawan mendorong mereka untuk saling berbagi,
(17)
diantaranya saling berbagi jarum suntik (DIE / Drug Injecting Equipment). Maka peneliti mencoba untuk meneliti “Pemodelan Penyebaran Infeksi HIV pada Komunitas Injecting Drug Users (IDU)”. Dengan asumsi bahwa pecandu yang
menyadari sudah mengidap AIDS ikut berbagi jarum suntik pada komunitas IDU.
1.2 Perumusan Masalah
Permasalah yang dibahas pada penelitian ini adalah bagaimana penyebaran infeksi HIV dengan kekuatan infeksi yang dipengaruhi mekanisme pertukaran jarum suntik pada komunitas IDU.
1.3 Batasan Masalah
Penelitian tentang Analisis Pemodelan Penyebaran Infeksi HIV pada Komunitas
Injecting Drug Users ini dibatasi oleh :
1. Pecandu yang menyadari sudah mengidap AIDS ikut berbagi jarum suntik pada komunitas IDU
2. Infeksi HIV hanya menular melalui kontak langsung dengan penderita
3. Populasi pecandu tertutup (tidak ada proses migrasi), yaitu tidak ada pecandu yang masuk maupun keluar dari komunitas IDU
4. Infeksi HIV tidak dapat disembuhkan, sehingga dalam model tidak diperhatikan laju perubahan populasi pecandu yang sembuh (recovered)
5. Tidak ada masa inkubasi apabila terjadi proses penularan
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah memodelkan penyebaran infeksi HIV dengan kekuatan infeksi yang dipengaruhi mekanisme pertukaran jarum suntik pada komunitas IDU.
(18)
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menganalisis dinamika penyebaran infeksi HIV pada komunitas pengguna narkoba suntik dan dapat menjadi refrensi di dunia kesehatan sehingga dapat mengurangi dampak penularan HIV khususnya pada komunitas IDU.
1.6 Metodologi Penelitian
Langkah-langkah yang akan dilakukandalam penelitian ini antara lain
1. Menelaah dan mengidentifikasi berbagai refrensi yang berhubungan dengan topik penelitian
2. Menentukan hubungan antara penularan infeksi HIV dengan pengguna narkoba suntik
3. Membuat pemodelan penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU 4. Menentukan titik kesetimbangan dan kestabilan Model
5. Membuat simulasi Model dengan menggunakan MATLAB 6. Menarik kesimpulan
(19)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini dibahas mengenai tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini, khususnya yang diperlukan dalam Bab 3. Teori yang dibahas adalah teori yang mendukung pembentukan dan analisis sistem dinamik pemodelan penyebaran infeksi HIV pada komunitas Injecting Drug Users (IDU). Dalam bab ini dibahas mengenai sistem persamaan diferensial, kesetimbangan dan kesetabilan sistem, basic reproduction ratio, teori peluang dan distribusi Poisson.
Pecandu yang terinfeksi HIV yang belum menyadari bahwa sudah terinfeksi HIV ikut berbagi jarum suntik kepada kelompoknya, sehingga penyebaran HIV di komunitas pecandu narkoba suntik meningkat. Sekitar 56 persen laki-laki dan 36 persen perempuan pecandu narkoba suntik di Indonesia berbagi jarum suntik ketika menyuntik dan hanya 1,4 persen di antaranya merebus jarumnya sebelum digunakan kembali (Hugo, G., 2001).
Model penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU digunakan untuk mengetahui laju penyebaran suatu wabah penyakit dalam suatu populasi tertutup dan bersifat endemik. Oleh karena infeksi HIV sangat berbahaya hingga tidak ada yang sembuh dari infeksi HIV, maka model memperhatikan tiga kelompok individu yaitu kelompok individu yang sehat namun rentan dan dapat terinfeksi HIV (Susceptibles) atau disimbolkan dengan S, kelompok individu yang telah terinfeksi (Infectious) atau disimbolkan dengan I dan kelompok individu yang sudah menderita penyakit AIDS akibat infeksi HIV yang terlalu lama disimbolkan dengan A (AIDS).
Pembentukan pemodelan penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU sangat berkaitan erat dengan sistem persamaan diferensial. Selanjutnya, perlu dibahas mengenai kesetimbangan dan kestabilan sistem. Dalam komunitas IDU, biasanya terbentuk karakter sosial antar pecandu narkoba suntik (IDU) sehingga
(20)
memungkinkan mereka membentuk grup dalam komunitas IDU. Pembentukan grup dalam komunitas IDU berperan penting dalam kekuatan penyebaran infeksi HIV dikalangan komunitas IDU. Terdapat banyak kemungkinan dalam pembentukan grup dan mekanisme pertukaran jarum suntik dalam grup. Oleh karena itu, dalam pembahasan penelitian ini diperlukan pembahasan mengenai teori peluang yang menyangkut pembentukan grup dan mekanisme pertukaran jarum suntik (DIE) dalam komunitas IDU. Pembentukan grup dalam kmunitas IDU merupakan kejadian diskrit dengan banyak percobaan yang diasumsikan menuju tak hingga. Dengan demikian, distribusi Poisson dibahas untuk menjelaskan terjadinya pembentukan grup dan ukuran grup dalam komunitas IDU.
2.1 Sistem Persamaan Diferensial
Berikut ini diberikan sistem persamaan diferensial
= G(t,x), (2.1)
dengan x , t , = , G: D → merupakan fungsi kontinu di D.
Sistem persamaan diferensial (2.1) dikatakan sistem persamaan autonomous jika variabel t dinyatakan secara implisit, sedangkan jika variabel t dinyatakan secara eksplisit maka sistem persamaan (2.1) dikatakan sistem persamaan non- autonomous. Sistem persamaan autonomous dapat ditulis dalam bentuk
= G(x) (2.2)
Apabila sistem (1.2) dapat ditulis dalam bentuk
1 = + + + , 2 = + + + ,
, (2.3)
n= + + . . . + ,
dengan adalah bilangan riil maka sistem (2.2) merupakan sistem persamaan diferensial autonomous linier. Jika sistem (2.2) tidak dapat dibuat seperti bentuk linier
(21)
di (2.3), maka sistem (2.2) merupakan sistem persamaan diferensial autonomous
nonlinier.
Sistem persamaan diferensial dapat menunjukkan suatu dinamika (perubahan) dari suatu keadaan yang bergerak atau mengalami perubahan. Oleh karena itu, Sistem persamaan diferensial dapat direpresentasikan sebagai sistem dinamik dari suatu keadaan yang diperhatikan.
2.1.1 Sistem Persamaan Diferensial Linier
Sistem persamaan diferensial linier dapat dilihat dari bentuk persamaannya. Misalkan
x = , A = (2.4)
Maka sistem persamaan diferensial autonomous linier dalam persamaan (2.3) dapat ditulis sebagai
= Ax. (2.5)
2.1.2 Sistem Persamaan Diferensial Nonlinier
Misalkan sistem persamaan diferensial nonlinier orde satu dalam bentuk
= F(t,x), (2.6)
dengan x , t , = , F : D → merupakan fungsi yang nonlinier yang kontinu dan terdiferensialkan di D. Dalam penelitian ini variabel t dinyatakan secara implisit, sehingga sistem persamaan (2.6) dikatakan sistem persamaan diferensial autonomous nonlinier dan ditulis
(22)
2.2 Kesetimbangan dan Kesetabilan
Sistem persamaan diferensial memiliki perilaku yang berbeda-beda di setiap titik, namun terdapat titik kesetimbangan ketika sistem dalam keadaan setimbang (konstan). Melalui titik kesetimbangan, sistem dapat lebih muda diamati perilaku kestabilannya.
Definisi 2.1. (Titik Kesetimbangan)
Suatu titik x* disebut titik kesetimbangan dari sistem persamaan = F(x), x jika memenuhi persamaan F(x*) = 0.
Definisi 2.2. (Titik Kesetimbangan Hiperbolik)
Titik x* disebut titik kesetimbangan hiperbolik dari persamaan (2.7) jika memenuhi persamaan F(x*) = 0 dan matriks
=
Tidak mempunyai nilai eigen yang bagian riiilnya bernilai nol.
Hal yang sangat terkait dengan titik kesetimbangan adalah kestabilan dari titik tersebut. Kestabilan adalah bentuk perilaku sistem yang dilihat dari titik kesetimbangan sistem. Berikut ini definisi mengenai kestabilan titik kesetimbangan sistem.
Definisi 2.3. (Kestabilan Titik Kesetimbangan)
Misalkan x* adalah titik kesetimbangan dari = F(x) dan x0 adalah titik awal.
1. x* dikatakan stabil, jika untuk setiap > 0 terdapat ( ) > 0 sedemikian sehingga untuk setiap x0 dengan < , solusi (t, x0) dari ẋ = F(x) yang melalui x0 di t = 0 memenuhi pertidaksamaan > untuk setiap t≥ 0.
(23)
2. x* dikatakan stabil asimtotik, jika x* dan terdapat r > 0, sedemikian sehingga
→ 0 saat t→ untuk semua x0 yang memenuhi <
r.
3. x* dikatakan tidak stabil, jika terdapat suatu η > 0 sedemikian sehingga untuk sebarang > 0 terdapat sebuah x0 dengan < dan > 0 sedemikian sehingga > η.
Berdasarkan definisi (2.3), dapat disimpulkan bahwa sistem = F(x) dikatakan stabil pada titik kesetimbangan x* jika kondisi awal (x0) berada di sekitar x* sejauh dengan adalah bilangan positif terkecil maka sifat solusi sistem ( ) berada di sekitar titik kesetimbangan. Jika kondisi awal berada sangat dekat dengan x* dan solusi cenderung mendekati titik kesetimbangan x*, maka sistem dikatakan stabil asimtotik. Selain itu, jika sifat solusi sistem menjauh dari titik kesetimabangan x* akibat perubahan kecil pada kondisi awal, maka sistem dikatakan tidak stabil.
Untuk menganalisa kestabilan titik kesetimbangan disekitar titik tersebut, sistem persamaan nonlinier (2.7) harus dilinierkan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk menaksir perilaku kelinieran sistem (2.7) di sekitar titik kesetimbangan.
Linierisasi Sistem
Misalkan x* adalah titik kesetimbangan dari sistem persamaan (2.7) yaitu F(x) yang memiliki ekspansi deret Taylor di titik x* yang secara matemati dapat ditulis
F(x) = F( )
+
+
O(2.8)
Oleh karena x* merupakan titik kesetimbangan, maka F(x*) = 0. Dalam melinierkan persamaan (2.7), suku pada (2.8) yang mempunyai orde lebih besar dari satu dapat diabaikan. Dengan demikian, persamaan (2.8) dapat ditulis
F(x) =
. (2.9)
Berdasarkan persamaan (2.7) dan (2.9) diperoleh
(24)
Misalkan
y = dan =
dengan
=
Persamaan (2.10) dapat ditulis
ẏ = y, (2.11)
dengan matriks adalah matrik Jacobian dari persamaan (2.7) di titik x*. Selanjutnya bagiaan ruas kanan persamaan (2.11) disebut bagian linier dari fungsi nonlinier F(x) di titik x*. Dengan demikian, kestabilan titik kesetimbangan dapat dilihat melalui bagian liniernya.
Kestabilan titik kesetimbangan dari persamaan (2.7) dapat dianalisa dengan menggunakan nilai-nilai eigen dari matriks yang merupakan solusi atau akar-akar
karakteristik dari persamaan karakteristik det ( I – ) = 0. Persamaan karakteristik tersebut dapat ditulis
+ + ... + + = 0
dengan , , ..., , adalah konstanta dan akar-akar karakteristiknya adalah nilai eigen , , ..., . Nilai eigen tersebut dapat digunakan untuk menentukan kestabilan titik kesetimbangan lokal dari sistem persamaan (2.7) sesuai dengan teorema berikut ini.
Teorema 2.1.
Jika matriks pada sistem (2.7) adalah matriks koefisien dengan nilai eigen , , ..., , maka titik kesetimbangan x* dari sistem (2.7), dikatakan :
1. Stabil, jika Re( ) 0, untuk i = 1, 2, ..., n
(25)
3. Tidak stabil, jika Re( ) 0, untuk i = 1, 2, ..., n
dengan Re( ) adalah bagian riil dari x.
Teorema 2.1 dapat digunakan untuk menentukan kestabilan lokal suatu titik kesetimbangan. Titik kesetimbangan yang stabil atau stabil asimtotik hanya pada suatu daerah tertentu dalam lingkungan solusi sistem dikatakan stabil lokal atau stabil asimtotik lokal. Titik kesetimbangan dikatakan stabila global atau stabil asimtotik global jika titik kesetimbangan tersebut stabil atau stabil asimtotik pada setiap lingkungan solusi sistem. Berikut ini definisi solusi pada sistem
Definisi 2.4. (Solusi Periodik)
Misalkan x = Φ(t) merupakan solusi untuk persamaan = F(t,x), x D dan
misalkan terdapat bilangan positif terkecil T sedemikian sehingga Φ(t + T) = Φ(t)
untuk setiap t , maka Φ(t) disebut solusi periodik dari persamaan = F(t,x) dengan periodenya T.
Jika a* stabil asimtotik global maka solusi di sekitar a* cenderung menuju ke
a*. Namun jika terdapat solusi periodik pada sistem maka solusi yang berada di luar solusi periodik tidak cenderung menuju a* karena dibatasi oleh solusi periodik dalam sistem. Hal tersebut memberikan kesimpulan bahwa a* bersifat stabil asimtotik namun tidak secara global.
Definisi 2.5. (Kestabilan Lyapunov)
Misalkan x* adalah titik kesetimbangan dari sisetm = F(x) dan y adalah sebarang solusi.
1. x*(t) dikatakan stabil Lyapunov jika untuk setiap > 0 terdapat = ( ) > 0 sedemikian sehingga untuk solusi lain y(t) dengan < maka memenuhi pertidaksamaan < untuk setiap t > , . 2. x*(t) dikatakan stabil asimtotik, jika x* stabil Lyapunov dan terdapat
konstanta c > 0, sedemikian sehingga < c, maka memenuhi = 0 (Wiggins, S., 1990).
(26)
Teorema 2.2.
Misalkan z* adalah titik kesetimbangan untuk sistem (2.7) dan L : → merupakan fungsi definit positif terdiferensialkan pada lingkungan z* dalam himpunan , sedemikian sehingga
a. jika L(z*) = 0 dan (z) > 0 dengan z z* b. (z) 0 pada ,
maka z* dikatakan stabil, selanjutnya c. Jika memenuhi (z) < 0 pada ;
maka z* dikatakan stabil asimtotik, dengan
= ,
jika = maka pada kasus c, z* dikatakan stabil asimtotik global.
2.3 Peluang
Misalkan Ω merupakan suatu himpunan yang terdiri dari semua hasil yang mungkin
terjadi pada suatu percobaan acak. Ω disebut sebagai ruang contoh (sampel). Selanjutnya untuk setiap himpunan bagian dari Ω didefinisikan suatu fungsi peluang himpunan P dan P( ) menyatakan besar peluang bahwa merupakan hasil dari suatu percobaan acak. Jika 1, 2, 3, ... adalah himpunan-himpunan bagian dari Ω maka
dapat didefinisikan fungsi himpunan peluang, yaitu
Definisi 2.6.
Jika P( ) didefinisikan sebagai himpunan bagian dari himpunan Ω dan jika memenuhi
a. P( ) ≥ 0,
b. P(Ω) = 1,
c. P( 1 2 3 ) = P( 1) + P( 2) + P( 3) + , dengan himpunan i, i = 1, 2, 3, ..., sedemikian sehingga tidak ada dua himpunan, i dan j yang memiliki satu anggota yang sama yakni ( i ∩ j = Ø atau i dan j merupakan dua kejadian saling lepas i ≠ j), maka P dikatakan fungsi himpunan peluang dari hasil percobaan acak (Dudewicz, J.E., Mishra, N.S. 1995).
(27)
Kejadian 0 dan E dikatakan saling lepas jika 0 E =Ø, yakni jika 0 dan E
tidak dapat terjadi bersamaan. Misalkan E0,E2,E3, ... merupakan kejadian saling lepas
dengan Ei Ej = Ø untuk i ≠ j . jika 0, Ei dan E saling lepas maka berlaku aturan
penjumlahan :
1. P( 0 E) = P( 0) + P(E)
2. P( ) =
2.3.1 Peluang Bersyarat
Untuk sebarang kejadian dan E, peluang bersyarat diberikan E ditulis P( E), didefinisikan dengan :
P( E) = ; P(E) > 0. (2.12)
Berdasarkan persamaan (2.12) diperoleh
P( E) = P( E) P(E). (2.13)
Misalkan E0,E2,E3, ... merupakan kejadian saling lepas dengan Ei Ej = Ø untuk i ≠ j maka menurut hukum peluang total dan persamaan (2.13) maka
P(E) = . (2.14)
Selanjutnya kejadian A dan E dikatakan saing bebas jika P( E) = P( ) atau
P(E ) = P(E), sehingga berlaku P( E) = P( ) x P(E).
2.4 Distribusi Poisson
Distibusi Poisson merupakan salah satu distribusi peluang diskrit yang didasari oleh terjadinya percobaan Poisson. Percobaan Poisson adalah suatu percobaan yang menghasilkan nilai-nilai yang diskrit dari suatu variabel acak yang terjadi dalam suatu selang waktu atau suatu daerah tertentu. Berikut ini ciri-ciri percobaan Poisson
1. banyaknya hasil percobaan yang terjadi dalam suatu selang waktu atau daerah tertentu tidak bergantung pada banyaknya percobaan yang terjadi pada selang waktu atau daerah tertentu yang berbeda,
2. peluang terjadinya suatu percobaan dalam suatu selang waktu yang singkat atau daerah tertentu yang kecil sebanding dengan panjang selang waktu atau besarnya daerah tertentu tersebut, dan tidak bergantung pada percobaan yang terjadi di luar selang waktu atau di luar daerah tertentu tersebut,
(28)
3. peluang terambilnya lebih dari 1 hasil percobaan dalam suatu selang waktu yang singkat atau daerah tertentu yang kecil dapat diabaikan. (Walpole, R.E., 1995)
Misalkan :
N adalah banyaknya percobaan dari suatu populasi kejadian diskrit, v adalah nilai harapan banyaknya percobaan sukses, k adalah banyaknya percobaan sukses pada percobaan N dan p adalah peluang terjadinya percobaan sukses dalam suatu percobaan kejadian diskrit.
Peluang terjadinya percobaan sukses sebanyak k kali dalam N percobaan berdasarkan pendekatan distribusi Binomial adalah
Pp(k | N) = .
Selanjutnya, nilai harapan banyaknya percobaan sukses adalah
v = N p, sehingga diperoleh
Pv/N(k | N) = .
Untuk ukuran sampel N yang sangat besar, peluang terjadinya percobaan sukses sebanyak k kali dalam N percobaan menjadi :
Pv (k) =
= =
= 1.
.
.1Pv (k) =
Misalkan X adalah variabel acak banyaknya percobaan sukses dalam suatu kejadian diskrit. Dengan demikian, terbentuklah distribusi Poisson dengan parameter v > 0 untuk variabel acak X dengan pmf (probability mass function)
(29)
P(X = k) = , untuk k = 0, 1, 2, 3, ... (2.15)
Oleh karena itu, rata-rata atau nilai harapan dan variansi dari variabel acak X adalah
E[G = k] = = v, (2.16)
= var[X = k] = v. (2.17)
Distribusi Poisson merupakan salah satu distribusi untuk variabel acak yang diskrit. Distribusi Poisson dugunakan untuk peluang dari percobaan sukses yang ditentukan dan percobaan tersebut terjadi dalam suatu interval waktu atau daerah tertentu. Percobaan sukses yang diperhatikan dalam distribusi Poisson adalah kejadian yang terjadi dalam percobaan yang besar dan dilakukan berulang kali sehingga N →
. Selanjutnya dalam penelitian ini, kejadian pembuatan grup komunitas IDU merupakan percobaan diskrit yang mengikuti distribusi Poisson.
2.4.1 Proses Poisson
Proses kejadian pembentukan grup dalam komunitas IDU, nilainya berubah-ubah secara tidak pasti dan terkait dengan waktu. Oleh karena setiap variabel yang nilainya berubah-ubah secara tidak pasti terkait dengan waktu dikatakan mengikuti proses stokastik, maka pembahasan proses stokastik diperlukan pada bab ini. Misalkan Et adalah variabel acak dari suatu proses pada wakti t T = {0, 1, 2, 3, ...}.
Definisi 2.7.
Proses stokastik adalah koleksi dari variabel acak Et , dengan t adalah parameter bergerak pada himpunan indeks T (Taylor, H.M., S. Karlin, 1998)
Dengan demikian, proses kejadian pembuatan grup pada komunitas IDU yang merupakan percobaan Poisson yang mengikuti proses stokastik dapat dikatan sebagai proses Poisson.
(30)
Definisi 2.8. (Proses Poisson)
Suatu intensitas atau tingkat proses Poisson > 0 adalah sebuah nilai bilangan bulat proses stokastik {E(t); t≥ 0} dengan
1. untuk sebarang titik waktu t0 = 0 < t1 < t2 < ... < tn , dengan proses increments E(t1) –E(t0), E(t2) –E(t1), ..., E(tn) –E(tn-1) (2.18)
meruapakan variabel acak bebas,
2. untuk s ≥ 0 dan t > 0, variabel acak E(s + t) – E(s) berdistribusi Poisson sehingga
P(E(s + t) –E(s) = k) = , untuk k = 0, 1, 2, ..., 3. E(0) = 0, (Taylor, H.M., S. Karlin, 1998).
Berdasarkan definisi proses Poisson di atas dapat dibuktikan bahwa
E[E(t)] = t, (2.19)
var[E(t)] = t (2.20)
2.5 Basic Reproduction Ratio ( )
Dalam pemodelan epidemik penyakit, terdapat ukuran penyebaran penyakit pada populasi yang diperhatikan. Ukuran (rasio) diperhatikan untuk menganlisa model penyebaran epidemik penyakit dan selanjutnya disebut Basic Reproduction Ratio. Pada subbab ini, dijelaskan mengenai pengertian dasar dan metode penentuan Basic Reproduction Ratio yang dinotasikan dengan .
Definisi 2.9.
Basic Reproduction Ratio adalah rata-rata banyaknya kasus kedua (individu infectious
baru) yang disebabkan satu individu yang terinfeksi (infectious) selama masa terinfeksinya dalam keseluruhan populasi susceptibles dan pengidap AIDS.
Dalam penelitian ini, Basic Reproduction Ratio akan ditentukan dengan menggunakan metode operator generasi selanjutnya (the next generation operator).
(31)
Dalam metode ini, Basic Reproduction Ratio ( ) didefinisikan sebagai radius spektral dari operator generasi selanjutnya.
Definisi 2.10.
Misalkan Φ adalah matriks nxn dan , , ..., adalah nilai eigen dari matriks Φ , maka radius spektral dari matriks Φ didefinisikan sebagai
(Φ) = .
Metode Operator Generasi Selanjutnya
Metode operator generasi selanjutnya merupakan metode yang dilakukan dengan cara mengeompokkan populasi kedalam 3 kelompok individu yaitu kelompok individu yang tidak terinfeksi, kelompok individu terifeksi tetapi tidak menularkan, dan kelompok individu terinfeksi dan menularkan. Misalkan
1. Komponen X menyatakan kelas-kelas individu yang tidak terinfeksi penyakit yang sedang diobservasi
2. Komponen Y menyatakan kelas-kelas individu yang terinfeksi penyakit yang sedang diobservasi, tetapi tidak menularkan penykit tersebut
3. Komponen Z menyatakan kelas-kelas individu yang terinfeksi penyakit yang sedang diobservasi dan dapat menularkan penykit tersebut.
Dengan demikian, model epidemik suatu penyakit dapat dituliskan dalam bentuk = f (X, Y, Z),
= (X, Y, Z), (2.21)
= h (X, Y, Z),
dengan X , Y , dan Z ; r, s, n ≥ 0 ; dan h (X, 0, 0) = 0. Dalam metode operator generasi selanjutnya dimisalkan
= (X*, 0, 0) adalah titik kesetimbangan bebas-infeksi dari sistem persamaan (2.21), yang diperoleh dari persamaan f (X*, 0, 0) = 0, (X*, 0, 0) = 0, dan
(32)
diperoleh solusi Y = (X*, Z). Oleh karena itu, dapat diperoleh sebuah matriks berukuran nxn ,
Φ = h (X*, (X*, 0), 0).
Misalkan Φ dapat dituliskan dalam bentuk Φ = J – , dengan J ≥ 0, ( ≥ 0) dan ≥
0 adalah matriks diagonal. Dengan demikian didefinisikan sebagai radius spektral dari matriks J , sehingga berdasarkan Definisi 2.10, diperoleh
(33)
BAB 3
PEMODELAN PENYEBARAN INFEKSI HIV PADA KOMUNITAS IDU
Pada bab ini akan dibahas pemodelan penyebaran infeksi HIV pada komunitas
Injecting Drug Users (IDU). Berdasarkan penjelasan pada Bab 2 akan dilakukan analisa dinamik mengenai model penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU. Sebelum melakukan anlisa dinamik terhadap model penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU, dibahas mengenai pembentukan model. Pembentukan model didasari oleh asumsi yang sesuai dengan keadaan komunitas IDU dan sifat infeksi HIV.
Pada alur dinamika penyebaran infeksi HIV dalam komunitas IDU, terdapat faktor kekuatan infeksi. Faktor kekuatan infeksi memperhatikan asumsi-asumsi mekanisme pertukaran jarum suntik yang menyebabkan terjadinya penyebaran infeksi HIV di dalam komunitas IDU. Selanjutnya, perilaku sistem dinamik dibahas dengan mengamati turunan parsial fungsi kekuatan infeksi dan faktor yang mempengaruhi laju perubahan populasi pada komunitas IDU.
Untuk mengetahui pola penyebaran infeksi pada komunitas IDU melalui sistem dinamik, maka dicari basic reproduction ratio dan menentukan titik kesetimbangan dari sistem dinamik. Dengan demikian, melalui titik kesetimbangan dinamika penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU dapat diamati dengan menetukan kestabilannya melalui basic reproduction ratio.
3.1. Pembentukan Model
Dalam penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU, komunitas tersebut diasmusikan terdiri dari tiga kelompok individu pecandu narkoba, yaitu :
S(t) : Susceptibles : ukuran populasi individu yang sehat namun rentan dan dapat terinfeksi HIV pada waktu t, selanjutnya disebut ukuran populasi
susceptibles pada saat t.
(34)
(t) : AIDS : ukuran populasi individu yang sudah mengidap penyakit AIDS pada waktu t.
Pada penelitian ini diasumsikan total ukuran populasi “aktif” pecandu dalam komunitas IDU adalah
= S + I + .
Dengan demikian, peluang seorang “sharer” (pembagi jarum suntik) merupakan
seorang pecandu terinfeksi adalah
= = (3.1)
Asumsi Model
Dalam pemodelan penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU terdapat fakta yang diperhatikan yakni infeksi HIV tidak dapat disembuhkan, sehingga dalam model tidak diperhatikan laju perubahan populasi pecandu yang sembuh (recovered). Pemodelan penyebaran infeksi HIV pada komunitas pecandu pecandu narkoba suntik (IDU) sesuai model klasik epidemik SIR menggunakan asumsi :
1. Pecandu yang menyadari sudah mengidap AIDS ikut berbagi jarum suntik pada komunitas IDU.
2. Infeksi HIV hanya menular melalui kontak langsung dengan penderita.
3. Populasi pecandu tertutup (tidak ada proses migrasi), yaitu tidak ada pecandu yang masuk maupun keluar dari komunitas IDU.
(35)
Tabel 3.1 memuat variabel dan parameter yang digunakan dalam proses pembentukan model.
Tabel 3.1. Variabel dan parameter model
Simbol Definisi Simbol Syarat Satuan
S Ukuran populasi pecandu Susceptibles S > 0 Individu
I Ukuran populasi pecandu Infectious I ≥ 0 Individu Ukuran populasi pecanduyang sudah
mengidap AIDS
≥ 0 Individu Ukuran total pecandu “aktif” dalam
komunitas IDU
> 0 Individu
Laju pertambahan populasi IDU dari manusia biasa menjadi pecandu narkoba suntik (IDU)
> 0 Individu / waktu
Laju kematian alami IDU per kapita > 0 1/waktu Laju kematian alami pecandu yang
mengidap AIDS per kapita
> 0 1/waktu
Laju perubahan dari terinfeksi menjadi HIV menjadi penyakit AIDS per kapita
> 0 1/waktu
Kekuatan penyebaran infeksi (force of infection) dalam komunitas IDU
≥ 0 1/waktu
Proses penyebaran infeksi HIV di dalam komunitas IDU diasumsikan mengikuti diagram transmisi berikut
Gambar 3.1. Diagram penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU S
I S
(36)
Penurunan model penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU adalah sebagai berikut 1. Laju perubahan populasi susceptibles per satuan waktu dipengaruhi oleh laju pertambahan populasi IDU ( ). Populasi susceptibles sepanjang waktu t akan berkurang akibat laju kematian alami pada pecandu susceptibles ( S) dan pengaruh kekuatan penyebaran infeksi pada pecandu susceptibles
, sehingga dapat ditulis = – S– .
2. Laju perubahan populasi infectious per satuan waktu dipengaruhi oleh pertambahan populasi infectious sepanjang waktu t akibat kekuatan penyebaran infeksi pecandu susceptibles . Berkurangnya populasi
infectious per satuan waktu dipengaruhi faktor laju kematian alami pada pecandu infectious ( ) dan laju perubahan status pecandu yang terinfeksi HIV menjadi pengidap AIDS pada populasi infectious , sehingga dapat ditulis
= – – .
3. Laju perubahan populasi AIDS per satuan waktu dipengaruhi oleh pertambahan dan pengurangan populasi AIDS per satuan waktu. Pertambahan populasi AIDS per satuan waktu merupakan akibat laju perubahan status dari terinfeksi HIV menjadi pengidap AIDS terhadap populasi infectious ( ). Selain itu, berkurangnya populasi AIDS per satuan waktu dipengaruhi oleh laju kematian alami pada populasi AIDS ( ) dan laju kematian alami pada pecandu AIDS sebagai individu pengidap AIDS ( ), sehingga dapat ditulis
= – – .
Dengan demikian, pemodelan penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU adalah sebagai berikut
= – S– ,
= – – , (3.2)
= – – , dengan
(37)
menyatakan laju perubahan populasi pecandu susceptibles terhadap waktu t,
menyatakan laju perubahan populasi pecandu infectious terhadap waktu t,
menyatakan laju perubahan populasi pecandu yang sudah mengidap AIDS terhadap waktu t,
Berdasarkan sistem persamaan (2.3), diperoleh persamaan untuk laju
perubahan total populasi pecandu “aktif” terhadap waktu t, yaitu
= – – (3.3)
3.2. Kekuatan Infeksi
Kekuatan infeksi HIV merupakan potesi penyebaran infeksi HIV dari kelompok pecandi yang terinfeksi HIV (infectious) terhadap kelompok pecandu yang rentan terinfeksi HIV (susceptibles). Dalam penulisan ini, kekuatan infeksi HIV memperhatikan mekanisme pertukaran jarum suntik dikalangan pecandu narkoba suntik (IDU). Untuk mendefinisikan fungsi kekuatan infeksi diberikan asumsi mekanisme pertukaran jarum suntik sebagai berikut
1. semua individu (pecandu) masuk ke dalam grup secara acak,
2. ukuran grup dinotasikan dengan G, merupakan variabel acak berdistribusi Poisson dengan parameter v > 0. Jika G = k, maka posisi pecandu dinotasikan dengan i = 1, 2, 3, ..., k,
3. setiap grup memperoleh satu jarum suntik baru (yang tidak terinfeksi) pada penyuntikan pertama, selanjutnya jarum suntik digunakan secara terurut oleh setiap anggota grup, setelah itu jarum suntik dibuang,
4. pembuatan grup seorang pecandu terjadi mengikuti proses Poisson dengan parameter > 0 dengan asumsi tanpa dipengaruhi oleh pembuatan grup pecandu lain,
5. suatu jarum suntik dikatakan terinfeksi jika jarum suntik tersebut telah digunakan oleh pecandu yang terinfeksi dan yang sudah mengidap AIDS, 6. peluang seorang pecandu susceptibles ke-i berpotensi “membersihkan” jarum
(38)
dinotasikan sebagai = . Hal ini dikarenakan darah terinfeksi yang tersisa di ujung jarum suntik masuk seluruhnya ke dalam tubuh pecandu yang tidak terinfeksi tersebut,
7. sebarang pecandu susceptibles yang menggunakan jarum suntik terinfeksi diasumsikan terinfeksi HIV, tetapi pecandu tersebut memungkinkan membuat jarum suntik menjadi “bersih” untuk pecandu urutan selanjutnya,
8. pecandu susceptibles menjadi terinfeksi hanya dikarenakan berbagi jarum suntik dalam grup,
9. peluang seorang pecandu menjadi terinfeksi (dan langsung dapat menularkan) jika terdapat paparan HIV adalah ,
10.kejadian pecandu ke-i tidak terinfeksi saling bebas dengan kejadian pecandu
ke-i tidak berpotensi “membersihkan” jarum suntik dari sisa darah yang
terinfeksi,
11.kejadian pecandu ke-i terinfeksi saling bebas dengan kejadian pecandu setelahnya (pecandu lain) tidak terinfeksi dan tidak berpotensi
“membersihkan” jarum suntik dari sisa darah terinfeksi,
12.kejadian pecandu ke-i adalah pecandu terinfeksi dan dapat menularkan infeksi HIV kepada pecandu setelahnya saling lepas dengan kejadian pecandu yang lain.
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, fungsi dari kekuatan infeksi HIV dalam grup pada komunitas IDU dapat didefinisikan sebagai berikut
= (3.4)
dengan merupakan peluang seorang pecandu terpapar HIV yakni peluang bahwa seorang pecandu memasukkan jarum suntik yang terinfeksi ke dalam tubuhnya. Dengan demikian, dapat dikatakan sebagai potensi (penyebaran) seorang pecandu dalam grup dapat terkena infeksi HIV (dan langsung dapat menularkan) setelah memasukkan jarum suntik terinfeksi ke dalam tubuh pecandu dengan intensitas pembuatan grup per satuan waktu.
(39)
Misalkan :
E : kejadian seorang pecandu menggunakan jarum suntik terinfeksi,
R(k) : posisi urutan pecandu dalam berbagi jarum suntik dalam grupnya yang berukuran k
Oleh karena itu, peluang seorang pecandu memasukkan jarum suntik terinfeksi ke dalam tubuhnya adalah
= P(E) =
= .(3.5)
Dalam hal ini hanya ukursn grup yang lebih besar dan sama dengan dua (k ≥ 2)
yang relevan dalam pembentukan suatu grup yang memungkinkan dalam masalah penyebaran infeksi. Berdasarkan asumsi kekuatan infeksi (2), ukuran grup berdistribusi poisson dengan fungsi peluang (p.m.f).
= , untuk k = 2, 3, 4, ... (3.6)
= v + 2 adalah rata-rata ukuran grup.
Dalam grup, setiap pacandu berada pada posisi berbeda dalam urutan penggunaan jarum suntik. Setiap pecandu memiliki kemungkinan yang sama berada pada posisi ke-j. Jika ukuran grup adalah k, maka peluang bahwa seorang pecandu berada pada posisi ke-j adalah
= k = 2, 3, 4, ... (3.7)
Misalkan seorang pecandu berada di posisi ke-j dalam grup berukuran k maka peluang seorang pecandu menggunakan jarum suntuk terinfeksi adalah
(40)
dengan
adalah kejadian bahwa pecandu ke-i adalah pecandu terinfeksi, dan
= ke-h tidak terinfeksi (sebelum menggunakan jarum suntik) dan tidak “membersihkan” jarum suntik yang terinfeksi.
didefinisikan sebagai kejadian pecandu ke-i adalah pecandu terinfeksi dan dapat menularkan infeksi HIV pada pecandu selanjutnya.
Oleh karena asumsi kekuatan infeksi (6) dan P( ) = = sesuai persamaan (3.1), peluang dapat ditulis sebagai berikut
P( ) =
= P xP x xP
= P x P xP xP x xP x P
= x x x x x x
= x ,
dengan
: kejadian bahwa pecandu ke-h tidak terinfeksi,
: kejadian bahwa pecandu ke-htidak mampu “membersihkan” jarum suntik dari
sisa darah yang terinfeksi HIV
Berdasarkan teori peluang pada subbab 2 dan asumsi kekuatan infeksi (11) dan (12), persamaan peluang (3.8) dapat dijabarkan sebagai berikut
= + + +
= + +
= +
+ =
(41)
Oleh karena itu peluang menggunakan jarum suntik terinfeksi pada posisi pecandu ke-jdalam grup “sahabat” dengan ukuran k adalah
(3.9)
Persamaan (3.9) dapat diselesaikan dalam beberapa kasus penjumlahan dengan menggunakan deret geometri agar memenuhi persamaan (3.5). untuk mempermudah penyelesaian persamaan (3.9), misalkan
1. ,
2. .
Berikut ini kasus-kasus penjumlahan berdasarkan persamaan (3.9)
1. Kasus 1,
=
=
=
=
=
2. Kasus 2,
= = =
(42)
= = =
=
=
4. Kasus 4,
=
=
=
=
=
=
Berdasarkan penjabaran beberapa kasus penjumlahan diatas, maka persamaan (3.5) dapat ditulis sebagai berikut
= = = =
(43)
=
= (3.10)
Oleh karena adalah suatu peluang dan berdasarkan persamaan (3.1), persamaan (3.10) dibatasi bahwa ≠ 0, dengan
= = Selanjutnya, dapat ditulis
=
=
.
(3.11)Terlihat bahwa bergantung pada variabel S, I dan melalui variabel pada persamaan (3.1) yaitu peluang seorang pecandu merupakan pecandu yang terinfeksi. Berdasarkan (3.10) dan fungsi dapat ditulis sebagai
= (3.12)
dengan
=
3.3. Analisa Kualitatif Model
Pada penelitian ini, diasumsikan bahwa pecandu narkoba suntik (IDU) yang menyadari sudah mengidap AIDS ikut berbagi suntikan dan bergabung dalam grup. Oleh karena itu, model yang diperhatikan laju perubahan kelompok pecandu
susceptibles, laju peruban kelompok infectious dan laju perubahan kelompok yang telah mengidap penyakit AIDS dengan R = ℝ2, yakni
(44)
= = – S– , (3.13)
= = – – , (3.14)
= = – – , (3.15)
Untuk setiap R dengan I≠ 0 dapat dimisalkan
= (3.16)
=
=
Berdasarkan (3.4), persamaan (3.14) dapat ditulis :
= – –
= –
= –
= – .
Misalkan
= – , untuk I ≠ 0, (3.17)
= ,
untuk I≥ 0. (3.18)
Selanjutnya persamaan (3.14) dapat ditulis
= . (3.19)
Oleh karena adalah laju perubahan populasi pecandu infectious per satuan waktu, maka berdasarkan persamaan (3.19) dapat disimpulkan bahwa
(45)
merupakan faktor yang berpengaruh penting dalam menekan laju pertambahan populasi pecandu infectious per satuan waktu.
Berdasarkan sistem persamaan (3.13), (3.14) dan (3.15), fungsi sangat berpengaruh dalam sistem dinamik tersebut. Oleh karena itu turunan parsial terhadap variabel S, I dan fungsi dan fungsi-fungsi lain yang berhubungan dengan sistem perlu diamati untuk mempermudah analisa sistem
Turunan Parsial
Untuk lebih mudah mengamati turunan parsial fungsi , maka dapat dilihat dari persamaan = sesuai (3.11), sehingga dapat ditulis sebagai berikut
=
.
Misalkan 1. D = 2. R = 3. T =
4. W =
=
Oleh karena dan merupakan suatu peluang > 0 dan > 0, maka jelas bahwa
a. 0 1 b. 0 1 c. 0 1 d. 0 1
dengan demikian dapat disimpulkan 1. D = ≥ 0
2. R ≥ 0
(46)
4. W ≥ 0
5.
6. 0 1
7.
8. , maka ≥ 0.
Untuk melihat tanda dari , dan
,
dapat dilihat dari bentuk , dengan1.
=
02. = ≥ 0
3. = > 0
4. = ≥ 0
5. = 2 < 0
6. = ≥ 0
Oleh karena = ≤ 0
,
= ≥ 0 dan= ≤ 0 maka diperoleh kesimpulan bahwa
≤ 0 (3.20)
≤ 0 dan (3.21)
(47)
Dengan demikian (3.20), (3.21) dan (3.22) mengakibatkan turunan parsial fungsi kekuatan infeksi sesuai (3.4) adalah ≤ 0, ≥ 0 dan
≤ 0.
Turunan Parsial
Oleh karena = = , maka untuk melihat
perilaku (bernilai positif atau nagatif) dari turunan parsial
,
dan dapat lebih muda dilihat melalui persamaan=
Dengan 0 ≤ ≤ 1. Dengan demikian turunan parsial terhadap adalah
=
≤0Oleh karena ≤ 0
,
≥ 0 dan ≤ 0 maka diperoleh kesimpulan ≥ 0,
≤ 0 dan ≥ 0 untuk semua R.Turunan parsial
Berdasarkan persamaan (3.17) maka turunan parsial terhadap
adalah sebagai berikut
(48)
Oleh karena ≥ 0 dan ≥ 0, maka ≥ 0. Turunan parsial terhadap adalah
=
Berdasarkan kesimpulan sebelumnya bahwa Oelh karena ≥ 0 dan ≥ 0, maka ≤ 0.
Selanjutnya turunan parsil terhadap adalah =
Berdasarkan kesimpulan sebelumnya bahwa Oelh karena ≥ 0 dan ≥ 0, maka ≥ 0.
Dengan demikian dapat disimpulkan
≥ 0. (3.23)
≤ 0. (3.24)
≥ 0. (3.25)
3.4. Basic Reproduction Ratio
Untuk memahami penyebaran HIV melalui model matematika, dapat dilakukan dengan melakukan analisa dinamika model matematika (3.13), (3.14) dan (3.15). Analisa dinamika pada pemodelan penyebaran infeksi HIV pada komuniatas IDU dimaksudkan untuk mengetahui pada nilai batasan mana yan mampu mempengaruhi penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU. Nilai batasan yang di maksud dalam penelitian adalah basic reproduction ratio, yaitu nilai yang menunjukkan apakah penyebaran infeksi HIV menjadi epidemik atau tidak pada komnitas IDU.
(49)
Berdasarkan landasan teori pada subbab 2.5, pada kasus ini X = S, Y = I, Z = A
maka dengan mencari solusi = 0, = 0 dan = 0 sesuai persamaan (3.13), (3.14) dan (3.15) diperoleh
= =
Berdasrakan metode operator generasi selanjutnya, dalam menentukan Φ diperlukan informasi sebagai berikut
= .
Dengan demikian Φ, dapat ditulis dalam bentuk
Φ = =
= .
Oleh karena Φ dapat dituliskan dalam bentuk Φ = dengan
= ≥ 0 dan = > 0, maka sesuai dengan
definisi radius spektral diperoleh
= (J ) =
.
Dengan demikian, basic reproduction ratio untuk sistem persemaan (3.13), (3.14) dan (3.15) adalah
=
.
(3.26)3.5. Kesetimbangan dan Kestabilan Model
Sistem dinamik (3.13), (3.14) dan (3.15) memiliki perilaku sistem yang berbeda-beda di setiap titiknya. Untuk melihat perilaku sistem dinamik dapat diamati melalui titik solusi dalam keadaan setimbang (konstan). Solusi sistem dalam keadaan setimbang
(50)
disebut sebagai titik kesetimbangan. Selanjutnya pengamatan sistem akibat perubahan pada kondisi awal dapat lebih mudah diamati melalui titik kesetimbangannya.
Sistem (3.13), (3.14) dan (3.15) merupakan model epidemik penyakit infeksi, sedemikian sehingga titik kesetimbangan yang diperhatikan adalah titik kesetimbangan bebas infeksi dan titik kesetimbangan epidemik. Titik kesetimbangan bebas infeksi merupakan titik kesetimb angan pada saat tidak terdapat anggota komunitas IDU yang tidak terinfeksi atau I = 0 dan = 0. Titik kesetimbangan espidemik adalah titik yang menunjukkan jumlah pecandu susceptibles dan jumlah pecandu infectious pada keadaan setimbang terjadinya epidemik dalam komunitas IDU dengan I > 0 dan > 0.
3.5.1 Titik Kesetimbangan Bebas Infeksi
Pada kenyataannya keadaan yang diharapkan dalam suatu komunitas IDU adalah keadaan saat tidak ada pecandu yang terinfeksi dalam komunitas IDU sehingga penyebaran infeksi HIV tidak mewabah pada komunitas IDU. Selanjutnya pada subbab ini pencarian titik kesetimbangan bebas infeksi untuk mengamati perilaku sistem (3.13), (3.14) dan (3.15). Untuk mencari titik kesetimbangan bebas infeksi, sesuai definisi 2.3,
= – S– = 0, (3.27)
= – = 0, (3.28)
= – = 0. (3.29)
Berdasarkan persamaan (3.19) dan (3.18), persamaan (3.28) dapat ditulis = = 0 dan memperoleh solusi = 0 atau = 0. Oleh karena itu, untuk memperoleh titik kesetimbangan bebas infeksi, dipilih solusi = 0 dan = 0. Dengan mensubstitusikan = 0 dan = 0 kedalam persamaan (3.27) maka – – = 0. Oleh karena = 0 artinya tidak ada kekuatan infeksi, maka diperoleh = dengan = 0 dan = 0. Dengan demikian, titik kesetimbangan bebas infeksi untuk sistem (3.13), (3.14) dan (3.15) adalah
(51)
= .
Pada saat tidak ada kelompok pecandu yang terinfeksi HIV lagi dalam komunitas IDU, jumlah pecandu yang tidak terinfeksi namun rentan terhadap infeksi HIV terdapat sebanyak = . Dengan demikian, keadaan bebas infeksi pada komunitas IDU tercapai saat tidak ada pecandu infectious, saat tidak ada pecandu pengidap AIDS dan jumlah pecandu susceptibles berbanding lurus dengan tingkat pertambahan pecandu baru yang susceptibles, namun berbanding terbalik dengan tingkat alami kematian pecandu.
3.5.2 Titik Kesetimbangan Epidemik
Selain memperhatikan titik kesetimbangan bebas infeksi, dalam menganalisa sistem dinamik (3.13), (3.14) dan (3.15) diperlukan analisa sistem dinamik titik kesetimbangan epidemik. Titik kesetimbangan epidemik diperoleh dengan cara yang sama dengan mencari titik kesetimbangan bebas infeksi, yaitu dengan mencari solusi (3.27), (3.28) dan (3.29) dengan I > 0. Berdasarkan persamaan (3.27) diperoleh
= – (3.30)
Sehingga diperoleh = . Oleh karena > 1, diperoleh
= dan solusi <
.
Berdasarkan solusi , dan ≥ 0 maka diperoleh = dan mengakibatkan
≤ (3.31)
Dengan demikian titik kesetimbangan epidemik untuk sistem dinamik (3.13), (3.14) dan (3.15) adalah
(52)
= , = dan <
.
3.5.3.Kestabilan Titik Kesetimbangan ModelUntuk menganalisa perilaku penyebara infeksi HIV pada komunitas IDU, diperlukan analisa kestabilan titik-titik kesetimbangan sistem dengan memperhatikan ukuran (rasio) penyebaran yaitu basic reproduction ratio. Analisa kestabilan pada titik kesetimbangan dilakukan untuk mengamati perilaku sistem di sekitar titik kesetimbangan tersebut. Jika terjadi perubahan pada kodisi awal sistem, maka sistem akan stabil di titik kesetimbangannya yang stabil. Selanjutnya, dilihat kestabilan titik-titik kesetimbangan untuk sistem persamaan (3.13), (3.14) dan (3.15) melalui teorema berikut ini.
Teorema 3.1.
a. Jika 1, maka titik kesetimbangan bebas infeksi
= .
merupakan satu-satunya solusi titik kesetimbangan untuk sistem (3.13) dan (3.14). Selanjutnya, titik dikatakan stabil asimtotik global (Globally Asymptotically Stable / GAS) pada daerah R.
b. Jika > 1, maka titik solusi dikatakan tidak stabil dan sistem (3.13), (3.14) dan (3.15) memiliki titik kesetimbangan lain yaitu = dengan
= ,
= ,
dan <
.
(53)
Bukti 3.1.
Sebelum membuktikan teorema 3.1. akan dibuktikan
1 0. (3.32)
Pertama, persamaan dijabarakan berdasarkan persamaan (3.18), yaitu :
= . (3.33)
⇒ Akan dibuktikan 1 maka 0.
= 1,
Berdasarkan persamaan (3.33), maka terbukti jika 1 maka 0.
⇐Akan dibuktikan jika 0 maka 1.
=
= 1
Berdasarkan (3.26), maka terbukti jika 0 maka 1. Dengan demikian terbukti bahwa 1 0.
(a) Pada kenyataannya, saat 1 daerah R tidak memiliki kurva fungsi diferensial (isocline), = 0. Hal tersebut berdasarkan persamaan (3.18), = 0 jika dan hanya jika I = 0 dan = 0. Selanjutnya, akan dibuktikan titik kesetimbangan bebas infeksi = adalah satu-satunya titik kesetimbangan untuk sistem (3.13), (3.14) dan (3.15) ketika 1.
(54)
Misalkan pada sistem persamaan (3.13), (3.14) dan (3.15) terdapat titik kesetimbangan lain yaitu dengan asumsi , , 0 dan 0. Oleh karena adalah titik kesetimbangan untuk sistem persamaan
(3.13), (3.14) dan (3.15), maka berdasarkan Definisi 2.3., = , memenuhi persamaan = 0. Dengan demikian = , yang artinya
= – – = 0,
= = 0 dan
= – = 0.
Berdasarkan (3.25) merupakan fungsi turun untuk dan akibat (3.32) diperoleh
≤ 0. (3.34)
Dengan asumsi 0 maka < 0, akibatnya solusi = = 0 hanya dipenuhi oleh = 0,
=
0 dan menyebabkan=
.
Hal ini kontradiksi dengan asumsi , , 0 dan 0 sehingga diperoleh kesimpulan bahwa = . Dengan demikian, terbukti bahwa merupakan satu-satunya titik kesetimbangan untuk persamaan (3.13), (3.14) dan (3.15) saat 1.
Selanjutnya, akan dilihat sifat kestabilan titik kesetimbangan bebas infeksi, pada R. Untuk membuktikan bahwa bersifat stabil asimtotik global maka akan digunakan teorema kestabilan Lyapunov. Didefinisikan sustu fungsi yang definit positif,
= dengan : R .
Fungsi dikatakan fungsi Lyapunov, sedemikian sehingga
=
= + +
(55)
Dalam menentukan kestabilan global sesuai teorema 2.2. fungsi
= akan dilihat perilaku (tanda positif dan tanda negatif) pada saat R – . Oleh karena saat 1 berlaku (3.34) maka berlaku > 0 dan
< 0 pada R– . Dengan demikian a. = 0 dan > 0 untuk dan
b. < 0 pada R– , yaitu saat , dan .
Bedasarkan teorema 2.2, dikatakan stabil asimtotik global untuk sistem persamaan (3.13), (3.14) dan (3.15).
(b) Berdasarkan (3.31) , saat > 1 berlaku kontra posisi
> 1 > 0. (3.35)
sehingga pada kasus ini kedua isocline terdefinisi di daerah R. Hal tersebut berkaitan
erat dengan penentuan kestabilan titik-titik kesetimbangan. Dalam menentukan kestabilan lokal dan dapat dilakukan dengan mencari nilai eigen dari matriks koefisien sistem persamaan (3.13), (3.14) dan (3.15) sesuai Teorema 2.1. Dalam hal ini matriks koefisien sistem merupakan matriks Jacobian sistem persamaan (3.13), (3.14) dan (3.15) yaitu Ψ z ,
Ψ =
Dengan demikian, nilai eigen diperoleh dengan mencari solusi karakteristik
det = = 0,
(56)
Sistem persamaan (3.13), (3.14) dan (3.15) merupakan sistem persamaan diferensial nonlinier. Oleh karena penjelasan pada subbab 2.1, kelinieran sistem (3.13), (3.14) dan (3.15) di sekitar titik kesetimbangan dan dapat ditaksir dengan mengamati matriks Jacobian Ψ dan Ψ . Selanjutnya untuk menentukan kestabilan lokal titik kesetimbangan bebas infeksi , akan dicari solusi karakteristik (3.35). oleh karena = 0, = 0, =
< 0,
dan= > 0 maka diperoleh akar-akar karakteristik persamaan (3.36) adalah
=
<
0 dan=
> 0, oleh karena terdapat nilai eigen yang positif, maka berdasarkan Teorema 2.1 titik kesetimbangan bebas infeksi dikatakan tidak stabil pada saat > 1.Selanjutnya, keberadaan dapat dilihat pada subbab 3.5.2 dan kestabilan titik epidemik pada saat > 1 dengan 0 akan ditentukan dengan cara yang sama dengan menentukan ketidakstabilan * z . Oleh karena kurva diferensial (isocline)
= 0 terdefinisi di daerah R dan 0, maka solusi = 0 hanya dipenuhi oleh = 0. Berdasarkan persamaan (3.22), (3.23), (3.24), (3.25) diperoleh
= ≥ 0,
= ≤ 0 dan
= ≥ 0.
Hal tersebut mengakibatkan
det = > 0 dan
(57)
Oleh karena itu persamaan karakteristik (3.36) pada titik memperoleh akar-akar karakteristik
=
dengan
a = 1 > 0,
b = trace > 0,
c = det > 0 dan 0 <
< 0.
Dengan demikian < 0 dan < 0. Berdasarkan Teorema 2.1, dikatakan stabil asimtotik lokal dan juga sekaligus stabil asimtotik global.
(58)
BAB 4
SIMULASI PEMODELAN PENYEBRAN INFEKSI HIV PADA KOMUNITAS IDU
Pada bab ini dibahas tiga simulasi. Simulasi pertama membahas dinamika
terhadap populasi pecandu susceptibles, infectious dan pengidap AIDS. Pada simulasi kedua dan ketiga dibahas dinamika penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU dengan memperhatikan kestabilan titik kesetimbangannnya. Simulasi ini bertujuan memberikan gambaran mengenai dinamika penyebaran infeksi HIV dalam komunitas IDU melalui gambar dinamika dan potret fase dengan memperhatikan basic reproduction ratio. Simulasi dan model dibahas dengan menggunakan
software MATLAB dengan source code simulasi dapat dilihat pada lampiran 1 penelitian ini.
4.1. Simulasi 1 : Dinamika
Dinamika sangat penting untuk diketahui karena fungsi
merupakan bagian terpenting dalam sistem dinamik penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU. Mengamati bertujuan untuk mempermudah memahami perilaku sistem dinamik (3.13), (3.14) dan (3.15). berikut ini nilai parameter yang digunakan untuk mengamati dinamika peluang seorang pecandu terinfeksi HIV,
.
Tabel 4.1. Nilai parameter pada simulasi 1 Parameter Nilai Parameter
V 10
0,8
Berdasarkan tabel 4.1. fungsi peluang (3.11) dapat dinyatakan sebagai
(59)
Pertama, digambarkan mengenai dinamika peluang terpapar HIV dalam komunitas IDU berdasarkan populasi pecandu susceptibles, pecandu infectious dan pengidap AIDS. Berikut ini gambar yang menunjukkan dinamika pada populasi susceptibles dengan tiga kasus infectious dan pengidap AIDS yang tetap, yakni 5.000, 50.000 dan 500.000 sebagai berikut
Gambar 4.1. Dinamika pada populasi susceptible
Tabel 4.2 menunjukkan pengamatan nilai pada tiga kasus jumlah
susceptible yakni saat susceptibles berjumlah 30.000, 60.000, dan 90.000. Tabel 4.2. Penurunan terhadap dalam persentase
Jumlah
Suscepibles
Jumlah Infectious dan Pengidap AIDS = 5.000
= 5.000
= 50.000 = 50.000
= 500.000 = 500.0000 = 30.000 = 0,1510 = 0.5688 = 0.7853 Penurunan
(%) 44,97% 23,49% 4,05%
= 60.000 = 0.0831 = 0.4352 = 0.7535 Penurunan
(%) 31,05% 19,03% 3,89%
= 90.000 = 0.0573 = 0.3524 = 0.7242 Selisih
Penurunan (%)
13,92% 4,46% 0,16%
(60)
Berdasarkan Tabel 4.2 diperoleh kesimpulan bahwa dengan jumlah pecandu
infectious dan pengidap AIDS yang tetap, semakin banyak jumlah pecandu
susceptibles maka semakin kecil peluang pecandu memasukkan jarum suntik terinfeksi ke dalam tubuhnya. Hal ini sesuai dengan kurva yang ditunjukkan pada Gambar 4.1. Nilai fungsi berkurang seiring bertambahnya jumlah
susceptibles, dengan selisih penurunan nilai berbeda-beda sesuai dengan pertambahan jumlah infectious dan pengidap AIDS. Semakin kecil jumlah pecandu infectious dan pengidap AIDS, maka semakin tajam penurunan kurva yakni mencapai selisih penurunan 13,92%.
Dengan demikian, Gambar 4.1. menunjukkan bahwa fungsi
merupakan fungsi turun terhadap populasi pecandu susceptibles, sesuai dengan (3.20). Hal tersebut mengakibatkan fungsi laju perubahan susceptibles terhadap waktu juga merupakan fungsi turun terhadap populasi susceptibles dan fungsi dan merupakan fungsi naik terhadap populasi susceptibles, sesuai dengan persamaan (3.23) dan (3.24).
Jika jumlah pecandu infectious besar, maka peluang pecandu terpapar HIV semakin meningkat dengan jumlah pecandu susceptibles dan pengidap AIDS tetap. Hal ini dapat ditunjukkan oleh gambar dinamika peluang terpapar HIV pada populasi pecandu infectious dengan jumlah susceptibles dan AIDS tetap, yakni 5.000, 50.000 dan 500.000 sebagai berikut
(61)
Tabel 4.3. Kenaikan terhadap dalam persentase
Jumlah
Infectious
Jumlah Suscepibles dan Pengidap AIDS = 5.000 = 5.000 = 50.000 = 50.000 = 500.000 = 500.000 = 90.000 = 0.8658 = 0.6012 = 0.1469 Kenaikan
(%) 2,44% 17,06% 42,07%
= 60.000 = 0.8452 = 0.5136 = 0.1034 Kenaikan
(%) 7,14% 43,91% 89,03%
= 30.000 = 0.7889 = 0.3569 = 0.0547 Selisih
Kenaikan (%)
4,70% 29,85% 46,96%
Keterangan :
Tabel 4.3. menunjukkan bahwa fungsi merupakan fungsi naik terhadap populasi pecandu infectious, sesuai dengan Gambar 4.2. Nilai fungsi bertambah seiring bertambahnya jumlah infectious, dengan selisih kenaikan nilai yang berbeda-beda sesuai dengan pertambahan jumlah susceptibles dan pengidap AIDS. Semakin kecil jumlah pecandu susceptibles dan pengidap AIDS, maka semakin tajam kenaikan kurva yakni mencapai selisih kenaikan sebesar 46,96%.
Fungsi naik terhadap populasi infectious mengakibatkan fungsi dan merupakan fungsi turun terhadap populasi infectious. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dinamika mempengaruhi perilaku sistem dinamik penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU.
Jika jumlah pecandu pengidap AIDS besar, maka peluang pecandu terpapar HIV semakin meningkat dengan jumlah pecandu susceptibles dan infectious yang tetap. Hal ini dapat ditunjukkan oleh gambar dinamika peluang terpapar HIV pada populasi pecandu pengidap AIDS dengan jumlah susceptibles dan infectious tetap, yakni 5.000, 50.000 dan 500.000 sebagai berikut
(62)
Gambar 4.3. Dinamika pada populasi pengidap AIDS
Tabel 4.4. Penurunan terhadap dalam persentase
Jumlah Pengidap
AIDS
Jumlah Infectious dan Suscepibles
= 5.000 = 5.000
= 50.000 = 50.000
= 500.000 = 500.0000 = 30.000 = 0.3333 = 0.4833 = 0.4983 Penurunan
(%) 49,98% 3,43% 0,32%
= 60.000 = 0.1667 = 0.4667 = 0.4967 Penurunan
(%) 100%
3,58% 0,34% = 90.000 = 0.002 = 0.4500 = 0.4950 Selisih
Penurunan (%)
50,02% 0,15% 0,02%
Keterangan :
Berdasarkan Tabel 4.4 diperoleh kesimpulan bahwa dengan jumlah pecandu
infectious dan susceptibles yang tetap, semakin banyak jumlah pecandu pengidap AIDS maka semakin kecil peluang pecandu memasukkan jarum suntik terinfeksi ke dalam tubuhnya. Hal ini sesuai dengan kurva yang ditunjukkan pada Gambar 4.3. Nilai fungsi berkurang seiring bertambahnya jumlah
(63)
pertambahan jumlah susceptible dan infectious. Semakin kecil jumlah pecandu
infectious dan pengidap AIDS, maka semakin tajam penurunan kurva yakni mencapai selisih penurunan 50,02%.
4.2. Simulasi 2 : Potret Fase pada saat 1
Potret fase merupakan gambar yang menunjukkan hubungan antara populasi
susceptibles, populasi infectious dan yang sudah mengidap AIDS dalam penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU. Perilaku sistem dinamik penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU ditunjukkan melalui potret fase dengan menentukan nilai parameter terlebih dahulu.
Tabel 4.5. Nilai parameter pada simulasi 2 Parameter Nilai Parameter
20 pecandu/tahun 0,028 /tahun
0,7/tahun 0,5 /tahun 1 /tahun
0,2 2,6 0,8
Berdasarkan Tabel 4.4. sistem dinamik (3.13), (3.14) dan (3.15) dapat dinyatakan sebagai
= 20 – 0,028S– , (4.2)
= – 0,028 0,5 , (4.3)
= 0,5 – 0,028 0,7 . (4.4) dengan
= =
= 715, = 0.3282 < 1
(64)
Berikut ini potret fase populasi pecandu susceptibles terhadap waktu dengan
S 0 1.000, I 0 1.000 dan = 1.000, dalam hal ini satuan waktu yang digunakan adalah tahun.
Gambar 4.4. Jumlah populasi susceptibles terhadap waktu saat 1
Gambar 4.4 menunjukkan pada saat nilai basic reproduction ratio lebih kecil dari 1 jumlah populasi susceptibles semakin menuju titik kesetimbangannya yaitu menuju nilai = = 715 seiring dengan berjalannya waktu. Setelah 20 tahun jumlah populasi pecandu susceptibles mulai stabil dan tidak mengalami perubahan.
Berikut ini potret fase populasi pecandu infectious terhadap waktu dengan 0 1.000, 0 1.000 dan = 1.000.
(65)
Berdasarkan Gambar 4.5, pada waktu tahun ke-15 jumlah populasi infectious
menurun menuju nilai setimbang bebas infeksi yaitu tidak ada pecandu infectious
dalam komunitas IDU. Hal tersebut terjadi dikarenakan basic reproduction ratio lebih kecil dari 1.
Berikut ini potret fase populasi pecandu pengidap AIDS terhadap waktu dengan 0 1.000, 0 1.000 dan = 1.000.
Gambar 4.6. Jumlah populasi Pengidap AIDSterhadap waktu saat 1 Berdasarkan Gambar 4.6, pada waktu tahun ke-16 jumlah populasi pengidap AIDS menurun menuju nilai setimbang bebas infeksi yaitu tidak ada pecandu pengidap AIDS dalam komunitas IDU. Hal tersebut terjadi dikarenakan basic reproduction ratio lebih kecil dari 1. Maka dari potret pada gambar 4.4, 4.5, dan 4.6 diperoleh titik kesetimbangan bebas infeksi, yaitu = = .
4.3. Simulasi 3 : Potret Fase pada saat > 1
Berikut ini nilai-nilai parameter untuk simulasi ke-3 model Tabel 4.6. Nilai parameter pada simulasi 3
Parameter Nilai Parameter 20 pecandu/tahun
0,028 /tahun 0,7/tahun 0,5 /tahun 6 /tahun
0,2 10 0,8
(66)
Berdasarkan Tabel 4.5 sistem dinamik (3.13) dan (3.14) dapat dinyatakan sebagai
= 20 – 0,029S– , (4.5)
= – 0,029 0,5 , (4.6)
= 0,5 – 0,029 0,7 . (4.7) dengan
= =
= 715, = 37,88 dan = 2.5213 > 1.
Berikut ini potret fase populasi pecandu susceptibles terhadap waktu dengan
S 0 1.000, I 0 1.000 dan = 1.000.
Gambar 4.7. Jumlah populasi susceptibles terhadap waktu saat > 1
Gambar 4.7, menunjukkan pada saat basic reproduction ratio lebih besar dari 1 jumlah populasi susceptibles menuju titik kesetimbangan epidemiknya menuju nilai 29 seiring dengan berjalannya waktu. Pada tahun ke-14 jumlah populasi pecandu susceptibles mulai stabil dan tidak mengalami perubahan.
(67)
Oleh karen 29 maka dapat ditentukan = 36 ≤
.
Hal ini sesuai dengan persamaan (3.30) pada Bab 3.Selanjutnya digambarkan potret fase populasi pecandu infectious terhadap waktu dengan 0 1.000, 0 1.000 dan = 1.000.
Gambar 4.8. Jumlah populasi infectious terhadap waktu saat > 1
Berdasarkan Gambar 4.8, dalam waktu yang relatif sama jumlah populasi
infectious menuju nilai setimbang epidemik yaitu 36. Jumlah populasi pecandu
infectious mulai stabil dan tidak mengalami perubahan setelah 13 tahun.
Selanjutnya digambarkan potret fase populasi pecandu pengidap AIDS terhadap waktu dengan 0 1.000, 0 1.000 dan = 1.000.
(1)
LAMPIRAN 1
Source Code Simulasi 1 : Dinamika
Simulasi dinamika diamati pada dua populasi, yaitu dinamika terhadap populasi susceptible, dinamika terhadap populasi infectious dan dinamika terhadap populasi pengidap AIDS. Berikut ini source code kedua simulasi tersebut pada MATLAB.
1. Source code simulasi dinamika terhadap populasi susceptible
clear;
% menentukan nilai parameter simulasi
t=0.8; v=10;
% menentukan jumlah populasi infectious
I1=5000; I2=50000; I3=500000; A1=5000; A2=50000; A3=500000;
% menentukan besar (beta(S,I,A)) dengan jumlah infectious yang berbeda
for S=1:100000 I=I1; A=A1;
b1(S)=(I/(t*S+I))*(1-((v-1)*(S+I+A)+(((1-v*(1-t))*S)+I)*exp(-v*((t*S+I)/(S+I+A))))/(v^2*(t*S+I)));
I=I2; A=A2;
b2(S)=(I/(t*S+I))*(1-((v-1)*(S+I+A)+(((1-v*(1-t))*S)+I)*exp(-v*((t*S+I)/(S+I+A))))/(v^2*(t*S+I)));
I=I3; A=A3;
b3(S)=(I/(t*S+I))*(1-((v-1)*(S+I+A)+(((1-v*(1-t))*S)+I)*exp(-v*((t*S+I)/(S+I+A))))/(v^2*(t*S+I)));
a(S)=S; end
% membuat gambar dinamika (beta(S,I,A)) terhadap populasi Susceptibles
plot(a,b1,'-.',a,b2,'--',a,b3,'-')
legend('A=I=5.000','A=I=50.000','A=I=500.000',3); xlabel('S')
(2)
2. Source code simulasi dinamika terhadap populasi infectious clear;
% menentukan nilai parameter simulasi
t=0.8; v=10;
% menentukan jumlah populasi Susceptibles dan Pengidap AIDS
S1=5000; S2=50000; S3=500000; A1=5000; A2=50000; A3=500000;
% menentukan besar (beta(S,I,A)) dengan jumlah Susceptibles dan Pengidap AIDS yang berbeda
for I=1:100000 S=S1; A=A1;
b1(I)=(I/(t*S+I))*(1-((v-1)*(S+I+A)+(((1-v*(1-t))*S)+I)*exp(-v*((t*S+I)/(S+I+A))))/(v^2*(t*S+I)));
S=S2; A=A2;
b2(I)=(I/(t*S+I))*(1-((v-1)*(S+I+A)+(((1-v*(1-t))*S)+I)*exp(-v*((t*S+I)/(S+I+A))))/(v^2*(t*S+I)));
S=S3; A=A3;
b3(I)=(I/(t*S+I))*(1-((v-1)*(S+I+A)+(((1-v*(1-t))*S)+I)*exp(-v*((t*S+I)/(S+I+A))))/(v^2*(t*S+I)));
a(I)=I; end
% membuat gambar dinamika (beta(S,I,A))) terhadap populasi Infectious
plot(a,b1,'-',a,b2,'--',a,b3,'-.')
h=legend('A=S=5.000','A=S=50.000','A=S=500.000',4); xlabel('I')
ylabel('\beta(S,I,A)') set(h,'Interpreter','none')
3. Source code simulasi dinamika terhadap populasi infectious clear;
% menentukan nilai parameter simulasi
t=0.8; v=10;
(3)
S1=5000; S2=50000; S3=500000; I1=5000; I2=50000; I3=500000;
% menentukan besar (beta(S,I,A)) dengan jumlah Susceptibles dan Infectious yang berbeda
for A=1:100000 S=S1; I=I1;
b1(A)=(I/(t*S+I))*(1-((v-1)*(S+I+A)+(((1-v*(1-t))*S)+I)*exp(-v*((t*S+I)/(S+I+A))))/(v^2*(t*S+I)));
S=S2; I=I2;
b2(A)=(I/(t*S+I))*(1-((v-1)*(S+I+A)+(((1-v*(1-t))*S)+I)*exp(-v*((t*S+I)/(S+I+A))))/(v^2*(t*S+I)));
S=S3; I=I3;
b3(A)=(I/(t*S+I))*(1-((v-1)*(S+I+A)+(((1-v*(1-t))*S)+I)*exp(-v*((t*S+I)/(S+I+A))))/(v^2*(t*S+I)));
a(A)=A; end
% membuat gambar dinamika (?(S,I,A))) terhadap populasi Pengidap AIDS
plot(a,b1,'-',a,b2,'--',a,b3,'-.')
h=legend('I=S=5.000','I=S=50.000','I=S=500.000',5); xlabel('A')
ylabel('\beta(S,I,A)') set(h,'Interpreter','none')
LAMPIRAN 2
Source Code Simulasi 2 : Potret Fase pada saat
1
Simulasi potret fase sistem pada populasi
susceptibles, infectious
dan pengidap AIDS
saat dapat diamati dari potret fase kedua populasi terhadap waktu. Untuk
mempermudah pengamatan perilaku sistem, sebelum simulasi potret fase pada
populasi
susceptibles, infectious
dan pengidap AIDS,
akan diberikan simulasi potret
fase populasi
susceptibles
terhadap waktu, simulasi potret fase populasi
infectious
terhadap waktu dan simulasi potret fase populasi pengidap AIDS. Sebelum melakukan
simulasi potret fase, pada lampiran ini diberikan
source code
untuk sistem dinamik
yang merupakan sistem persamaan diferensial dan
source code
untuk
basic
reproduction ratio .
(4)
% Sistem persamaan diferensial untuk sistem dinamik (3.13),(3.14)dan (3.15)
function dTO=Diff(t,TO, Par)
k=Par(1); mu1=Par(2); mu2=Par(3); lambda=Par(4); alpha=Par(5); L=Par(6); v=Par(7); t=Par(8);
S=TO(1); I=TO(2); A=TO(3);
b1=(I/(t*S+I))*(1-((v-1)*(S+I+A)+(((1-v*(1-t))*S)+I)*exp(-v*((t*S+I)/(S+I+A))))/(v^2*(t*S+I)));
dTO=zeros(3,1);
dTO(1)= L - mu1*S - lambda*alpha*b1*S; dTO(2)= lambda*alpha*b1*S - mu1*I - k*I; dTO(3)= k*I-mu1*A-mu2*A;
% Membangun fungsi basic reproduction ratio function R=R0(t,v,k,mu,lamda,alpha)
R=(((lamda)*alpha)/((mu1+k)*t))*(1-((v-1+(1-v*(1-t))*exp(-v*t))/((v^2)*t)))
Berikut ini source code untuk simulasi potret fase kedua populasi terhadap waktu.
Source code simulasi potret fase populasi susceptibles dan infectious terhadap waktu
%Nilai parameter simulasi potret fase saat R0 lebih kecil sama dengan 1clear all clc
k=1/2; mu1=0.028; mu2=0.7; v=2.6; lamda=1; alpha=0.2; t=0.8; L=20;
%Menentukan Basic Reproduction Ratio (R0)
R=R0(t,v,k,mu1,lamda,alpha); infS = L/(mu1+k)
%Menentukan kondisi awal jumlah populasi pada komunitas IDU
S0=1000; I0=1000; A0=1000;
S=S0; I=I0; A=A0;
(5)
options = odeset('RelTol', 1e-10);
[T, pop]=ode45(@Diff,[0 20],[S I A],options,[k mu1 mu2 lamda alpha L v t]);
S=pop(:,1); I=pop(:,2); A=pop(:,3);
ekuiS = S(size(S))
%Gambar jumlah populasi Susceptibles terhadap waktu
h=plot(T,S,'-m','LineWidth',1.5); ylim([0 1000])
xlabel 'Waktu (Tahun)'; ylabel 'Susceptibles'
%Gambar jumlah populasi Infectious terhadap waktu
h=plot(T,I,'-r', 'LineWidth',1.5); ylim([0 1000])
xlabel 'Waktu (Tahun)'; ylabel 'Infectious'
%Gambar jumlah populasi pengidap AIDS terhadap waktu
h=plot(T,A,'-r', 'LineWidth',1.5); ylim([0 1000])
xlabel 'Waktu (Tahun)'; ylabel 'Pengidap AIDS';
LAMPIRAN 3
Source Code
Simulasi 3 : Potret Fase saat
1
Dengan cara yang sama dengan simulasi 2, simulasi 3 juga akan memberikan potret
fase populasi
susceptibles,
infectious
dan pengidap AIDS terhadap waktu sebelum
memberikan potret fase sistem terhadap populasi
susceptibles
dan
infectious
saat .
Pada simulasi 3 ini
source code
untuk sistem dinamik dan
basic reproduction ratio
sama dengan
source code
pada Lampiran 2. Berikut ini
source code
untuk simulasi
potret fase kedua populasi terhadap waktu saat
1.
Source code simulasi potret fase populasi susceptibles dan infectious terhadap waktu
%Nilai parameter simulasi potret fase saat R0 lebih besar dari 1 clear allclc
k=1/2; mu1=0.028; mu2=0.7;
(6)
v=10; lamda=6; alpha=0.2; t=0.8; L=20;
%Menentukan Basic Reproduction Ratio (R0)
R=R0(t,v,k,mu1,lamda,alpha); infS = L/(mu1+k)
%Menentukan kondisi awal jumlah populasi pada komunitas IDU
S0=1000; I0=1000; A0=1000;
S=S0; I=I0; A=A0;
%Model penyebaran infeksi HIV pada komunitas IDU
options = odeset('RelTol', 1e-10);
[T, pop]=ode45(@Diff,[0 20],[S I A],options,[k mu1 mu2 lamda alpha L v t]);
S=pop(:,1); I=pop(:,2); A=pop(:,3);
ekuiS = S(size(S))
%Gambar jumlah populasi Susceptibles terhadap waktu
h=plot(T,S,'-m','LineWidth',1.5); ylim([0 1000])
xlabel 'Waktu (Tahun)'; ylabel 'Susceptibles'
%Gambar jumlah populasi Infectious terhadap waktu
h=plot(T,I,'-r', 'LineWidth',1.5); ylim([0 1000])
xlabel 'Waktu (Tahun)'; ylabel 'Infectious'
%Gambar jumlah populasi pengidap AIDS terhadap waktu
h=plot(T,A,'-r', 'LineWidth',1.5); ylim([0 1000])
xlabel 'Waktu (Tahun)'; ylabel 'Pengidap AIDS';