Karakteristik Abdi Dalem Harya Leka

B. Karakteristik Abdi Dalem Harya Leka

Harya leka berarti wedana 14 penanggalan, yaitu abdi dalem yang mendapat

kepercayaan memimpin para abdi dalem dalam perhitungan falak atau ilmu perbintangan, penanggalan, dan sejenis perhitungan hari, primbon atau pun tahun

Jawa. 15 Abdi dalem Harya Leka dituntut memiliki pemahaman yang luas terhadap ilmu perhitungan yang dapat memberikan kewibawaan dalam kekuasaan raja. Seorang Abdi Dalem Harya Leka harus mengerti dan paham mengenai perhitungan tanggal, bulan dan tahun Jawa dan juga perubahan-perubahan yang

11 Tumbuk ageng adalah pesta penyambutan tamu-tamu dari luar nagari, para tamu dijamu dengan aneka suguhan gaya Jawa dan Barat.

12 Klenengan adalah membunyikan gamelan menurut irama tertentu. Tayuban adalah bersenang-senang menari bersama tandak.

13 Darsiti Soeratman, op. cit., hlm. 126.

14 Wedana berarti pemuka atau pemimpin pelaksana pekerjaan, dan wajib menjadi contoh tindakan.

15 Serat Wadu Aji , No. 226 Na, Sasanapustaka Kasunanan Surakarta.

commit to user commit to user

Abdi dalem Harya Leka mempunyai jabatan yang setingkat dengan jabatan mantri. Seorang pejabat mantri harus mempunyai persyaratan-persyaratan khusus, serta adanya kepribadian yang tegas antara lain harus dapat membedakan tindakan-tindakan yang buruk (nista), menengah (madya), dan utama (utami). Hal ini berdasarkan penilaian raja secara langsung terhadap abdi dalem Harya Leka yang dilakukan ketika masih menjalani proses magang. Dalam Serat Wadu Aji diterangkan:

Linuwih, utawi sapocapan, dening kawenangaken imbalan wacana kaliyan para ageng, saha langkung wakitha kadadosaning lampah tigang prakawis. Ingkang rumiyin: nistha, inggih punika saged anyinggahi patraping lampah ingkang dhawah nista. Kaping kalih, madya, inggih punika saged anetepi patraping lampah ingkah dawah madya. Kaping tiga, utami, inggih punika saged angantepi

patraping lampah ingkah dhawah utami. 16

lebih atau setingkat, disebabkan berwenang atau dapat bercakap- cakap dengan para pembesar, serta lebih bijaksana yang terdiri dari tiga hal. Pertama, nista yaitu dapat menyimpan tindakan dan tingkah laku yang yang nista (kurang baik). Kedua, madya yaitu dapat melaksanakan tindakan dan tingkah laku yang bertingkat madya (antara baik dan buruk). Ketiga, utama, yaitu dapat melaksanakan tindakan dan tingkah laku yang utama, luhur.

Seorang mantri harus dapat membedakan tindakan-tindakan yang buruk (nista), cukup (madya) dan utama (utama). Dalam pengabdian, seorang mantri

16 Serat Wadu Aji, Naskah ketik No. P.4, Reksapustaka Mangkunegaran, hlm. 21-22.

commit to user commit to user

1. Gelar Kebangsawanan dan Gelar Kepangkatan

Gelar kebangsawanan menunjukkan tinggi rendahnya tingkat keturunan dalam struktur birokrasi kerajaan. Demikian juga gelar jabatan atau kepangkatan serta gelar khusus di lingkungan istana akan menunjukkan tingkat sosial seseorang. Tingkat sosial itu berpengaruh pada sikap, tingkah laku, dan pribadi bangsawan tersebut, sehingga raja sebagai penguasa tunggal dalam pemberian gelar kepada sentana dalem maupun abdi dalem selalu mempertimbangkan dengan peraturan-peraturan dalam setiap pengangkatan dan pemberian gelar.

Pada masa pemerintahan Pakubuwana X, pemakaian gelar bangsawan menurut peraturan lama masih tetap berlaku. Inti peraturan itu menyatakan bahwa

bangsawan adalah keturunan raja sampai derajat keempat. 17 Suatu hal yang sering

menimbulkan pertanyaan, bahwa ketika dihubungkan dengan modernisasi, justru Surakarta melakukan perluasan golongan bangsawan. Berdasarkan peraturan tanggal 1 Januari 1938, Pakubuwana X mengijinkan bangsawan derajat ke-5

memakai sebutan Raden Mas. 18

Di dalam kehidupan sosial, abdi dalem terikat oleh aturan-aturan yang menunjukkan status sosialnya. Abdi dalem (priyayi) sebagai kelompok sosial memiliki ciri-ciri atau simbol yang menunjukkan perbedaan dengan kelompok

17 Gelar-gelar kebangsawanan di bawah raja berturut-turut adalah: putra

dan putri raja disebut gusti, cucu (wayah) raja disebut bandara, cicit (buyut) disebut sentana, canggah raja disebut abdi sentana, dan wareng raja disebut abdi kulawarga .

18 Dwidjosoegondo, R.W. dan Hadisoetrisno, R.S., Serat Dharah inggih “Seseboetan Raden” (Malang: Soenardhi, 1941), hlm. 16.

commit to user commit to user

seseorang dapat dilihat secara sepintas. 19 Sebagai contoh ialah dalam hal rumah

tinggal. Bentuk bangunan rumah yang digunakan oleh raja dalam bangunan istana harus ditiru oleh para sentana dan abdi dalem. Bentuk yang digunakan ialah: joglo, limasan, sinoman, semar tinandhu, dan segala bentuk perubahannya, sedangkan bagi kawula dalem dan orang-orang yang tidak menjabat hanya diperbolehkan mendirikan rumah dengan dara, gepak, gedang selirang, panggang pe, dan sebagainya.

Tinggi rendahnya status sosial juga dapat dilihat dari pakaian dan tanda kehormatan (misalnya payung dan atribut lain) yang dipakai. Pakaian dan tanda kehormatan tersebut merupakan pakaian kebesaran yang terdiri dari kuluk, dodot, bebed, epek, celana, dan payung serta benda-benda pusaka yang bersangkutan. Masing-masing pakaian kebesaran itu bagi setiap derajat tingkatan berbeda, baik bagi patih, bupati, panewu, mantri, atau jajaran memiliki pakaian kebesaran sendiri-sendiri. Pakaian kebesaran itu dipakai pada waktu mengikuti upacara-

upacara resmi. 20

Salah satu ciri kepriyayian juga nampak pada gelar yang dipakai di depan nama seseorang. Gelar kepriyayian ini tidak hanya semata-mata ditentukan oleh asal keturunan, namun juga oleh jabatan seseorang dalam birokrasi pemerintahan.

19 Sartono Kartodirjo, Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta:

Gajah Mada University Press, 1987), hlm. 26.

20 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, (Jakarta: Depdikbud, 1999), hlm. 38.

commit to user commit to user

Di lingkungan keraton Kasunanan Surakarta diterapkan sistem penggelaran pada golongan priyayi termasuk bangsawan dan abdi dalem. Rakyat pada umumnya tidak masuk dalam golongan priyayi karenanya tidak ada penggelaran bagi mereka. Para bangsawan, dalam kesehariannya biasa dipanggil dengan

sebutan ndoro (tuan). 22 Gelar tertinggi di keraton Kasunanan Surakarta adalah

Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun yaitu gelar untuk Susuhunan Pakubuwana sebagai raja di Keraton Surakarta.

Menurut Serat Wadu Aji, disebutkan tentang pembedaan gelar kebangsawanan bagi sentana dalem atau keluarga raja. Gelar yang dimaksud adalah Ratu, Gusti, Bandara, Kangjeng, Susuhunan, Panembahan, Pangeran, Hariya, Panji, Raden, Raden Mas, Raden Mas Bagus . Pada masa Pakubuwana X, pemberian gelar-gelar tersebut mengalami perubahan sebagaimana termuat dalam Serat Adhel Kasunanan:

“Putraningsun ingaran para Gusti” ingkang wenang maringi sesebatan Gusti namung para putra dalem kakung putri ingkang saking prameswari, kala taksih

Wawancara dengan K.R.T Supardi, tanggal 28 Juli 2011.

22 Nining Tri Lestari, “Kehidupan Abdi dalem Keraton Kasultanan

Yogyakarta ”, Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2000), hlm. 52.

commit to user

Raden Ayu, Kanjeng Ratu. 23

“Putra raja yang disebut Gusti”

Yang berhak mendapat sebutan Gusti hanya para putra raja putra putri dari prameswari, saat masih muda Raden Mas Gusti, Kanjeng Gusti Pangeran Harya, Gusti Raden Ayu, Kanjeng Ratu.

Perbedaan terletak pada gelar untuk putera yang lahir dari garwa padmi dan putera dari garwa ampil. Gelar Bandara hanya diperuntukkan bagi putera puteri yang lahir dari garwa padmi, sedangkan bagi mereka yang lahir dari garwa ampil hanya bergelar Raden Mas bagi putera laki-laki dan Raden Ajeng atau Raden Ayu bagi puteri perempuan.

Sistem penggelaran ini tidak dapat dipisahkan dari struktur masyarakat feodal. Tradisionalitas masyarakat memandang bahwa gelar mempunyai pengaruh sosial maupun ekonomi yang sangat kuat. Di samping itu, gelar-gelar kebangsawanan dalam prakteknya mendapat tambahan Kanjeng Gusti Pangeran Harya, Kanjeng Pangeran Harya, Bandara Pangeran Harya, Bandara Raden Mas Gusti, Andara Raden Mas, Bandara Raden Ajeng, Bandara Kanjeng Ratu,

Raden Mas, Raden , dan sebagainya. 24

Seperti halnya gelar kebangsawanan, gelar jabatan pun diatur sedemikian rupa bagi para abdi dalem sentana (yaitu sentana yang menjabat) dan abdi dalem

biasa (yaitu pejabat yang berasal dari “wong cilik”). Kelompok gelar Adipati, Arya, Panji, Tumenggung, Ngabehi dan Lurah serta Rangga. Adipati

23 Dedik Agung Catriantoro, “Abdi dalem Juru Suranata: Tugas dan

Peranannya di Keraton Kasunanan Surakarta ”, Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2000), hlm. 55.

24 Radjiman, Sejarah Mataram Kartasura sampai Surakarta Hadiningrat, (Surakarta: Krida, 1984), hlm. 155.

commit to user commit to user

Mantri . 25 Selain itu gelar Arya, Panji, dan Rangga bukan merupakan gelar jabatan, tetapi merupakan gelar keturunan bangsawan. Biasanya seorang abdi dalem berharap keturunannya kelak ada yang mewarisi pekerjaannya sebagai abdi dalem. Mereka berharap gelar kepriyayian akan dapat mengangkat harkat dan martabat keluarga mereka. Pemakaian gelar tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan status sosial keluarga mereka dalam masyarakat. Hal ini disebabkan, anggapan masyarakat tradisional Jawa bahwa ada pembedaan status sosial dalam masyarakat menurut keturunan, pangkat,

kekuasaan, dan juga kekayaan. 26

Apabila ada salah seorang abdi dalem yang meninggal, secara otomatis anak laki-laki tertua dari abdi dalem yang meninggal tersebut menggantikan jabatan

ayahnya, sebelumnya harus mengikuti proses magang terlebih dahulu sebagai latihan kerja. Selain itu proses magang juga bertujuan untuk menunjukkan

kesetiaan abdi dalem kepada rajanya. 27 Umumnya, nama dan gelar yang diberikan

kepada pejabat yang baru, sama dengan nama almarhum ayahnya yang posisinya digantikan. Perkecualian menyangkut penetapan gelar berdasarkan status pejabat yang baru diangkat. Gelar akan disesuaikan kembali apabila pejabat baru itu

25 Ibid.

26 Sartono Kartodirjo, op.cit., hlm. 52.

27 Wawancara dengan K.P. Winarno Kusumo, tanggal 9 Agustus 2012.

commit to user commit to user

Sastradarga . 28

2. Pola Kerja Abdi dalem

Abdi dalem bekerja di Tepas (kantor di dalam lingkungan keraton) masing- masing sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Sebagai contoh adalah abdi dalem Harya Leka yang memiliki keahlian sebagai ahli perhitungan falak atau ilmu perbintangan, penanggalan, sejenis perhitungan hari dan tahun Jawa. Jumlah abdi dalem Harya Leka dua orang. Mereka melaksanakan tugas tersebut dalam jam kerja yang telah ditetapkan. Sejak pemerintahan Sultan Agung jam kerja abdi dalem hingga jam 4 sore. Pergantian hari ditandai dengan bunyi Gamelan Monggang Seton . Pekerjaan tersebut dilaksanakan dalam suasana yang tenang dan damai. Sesekali terdengar para abdi dalem melantunkan lagu-lagu Jawa atau uro- uro .

Sebelum melaksanakan pekerjaan, para abdi dalem melakukan penghormatan terhadap barang-barang atau segala sesuatu yang menjadi milik Sunan seperti pusaka, manuskrip, dan bangunan-bangunan istana. Bentuk penghormatan tersebut dengan cara menyembah sambil duduk bersila. Setelah melakukan penghormatan baru mereka mulai bekerja. Menyambut Tahun Baru Jawa tanggal 1 Suro, abdi dalem Harya Leka melaksanakan meditasi sebagai lambang introspeksi diri agar di tahun mendatang menjadi lebih baik lagi.

28 Sayid, R.M, Babad Sala, Alih bahasa Dra. Darweni, (Surakarta: Reksapustaka Mangkunegaran, 2001), hlm. 121.

commit to user

Masa kerja bagi abdi dalem di Keraton Kasunanan Surakarta berlangsung mulai dari seseorang mengabdi di keraton dalam status magang 29 sampai Ia

meninggal. Walaupun belum dapat dikatakan menjadi abdi dalem, seseorang yang magang harus menunjukkan pengabdiannya agar bisa diangkat menjadi abdi dalem. Pekerjaan sebagai abdi dalem di Keraton Surakarta tidak mengenal kata pensiun, bahkan seseorang yang sudah uzur dan tidak mampu lagi bekerja masih tetap mendapatkan gaji sampai Ia meninggal.

Di kalangan priyayi, sesudah keraton melakukan modernisasi, terjadi perubahan-perubahan. Namun demikian, peraturan magang tetap berlaku dengan disertai perubahan-perubahan. Sejak 1847, diadakannya abdi dalem pulisi yang di tempatkan di kota Surakarta dan lima kabupaten: Kartasura, Boyolali, Ngampel, Klaten, dan Sragen maka semakin memperluas kesempatan rakyat biasa untuk magang menjadi priyayi. Lebih-lebih sesudah menginjak abad XX yang dihubungkan dengan adanya kemajuan teknologi, keraton membutuhkan abdi dalem bidang kesehatan, perlistrikan, telepon, pendidikan model barat, pemerintahan, administrasi model barat, dan lain sebagainya.

Sehubungan dengan adanya perkembangan tersebut di atas, maka pada 22 Maret 1917 raja membuat peraturan baru yang menyatakan bahwa anak abdi dalem wedana, kliwon, panewu, mantri, lurah, bekel, jajar, dan lainnya tidak selalu dapat menggantikan kedudukan orang tuanya. Anak atau waris abdi dalem tersebut diterima jika yang bersangkutan menunjukkan kelakuan baik, telah

29 Magang adalah sistem latihan kerja bagi calon abdi dalem.

commit to user commit to user

Sejak diperlukannya tenaga baru untuk bidang-bidang yang membutuhkan keterampilan, maka harus dicapai lewat pendidikan formal. Masa magang tidak lagi berlangsung sangat lama seperti masa-masa sebelumnya. Calon abdi dalem yang memiliki ijazah resmi tingkat sekolah dasar mendapat upah antara F 5; dan F

10; sebulan, 31 sedangkan pada zaman sebelumnya orang yang magang tidak

mendapat imbalan apa pun. Ada juga pengangkatan abdi dalem tanpa magang terlebih dahulu, apabila calon itu memiliki kecakapan yang sangat dibutuhkan.