TUGAS DAN FUNGSI ABDI DALEM HARYA LEKA DALAM PENANGGALAN JAWA DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA PADA MASA PAKUBUWANA X

TUGAS DAN FUNGSI ABDI DALEM HARYA LEKA DALAM PENANGGALAN JAWA DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA PADA MASA PAKUBUWANA X SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh DIAN SARTIKASARI

C.0507016

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

commit to user

commit to user

commit to user

commit to user

MOTTO

Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan (Q.S Al Insyirah: 6)

Yang terpenting dari kehidupan bukanlah kemenangan namun bagaimana bertanding dengan baik (Baron Pierre de Coubertin)

commit to user

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan kepada:

1. Bapak dan Ibu tercinta

2. Bangun Suryo Widagdo

3. Iken In Feriyanto

commit to user

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mendapatkan gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pada pelaksanaannya, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan fasilitas, bimbingan maupun kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan dalam perijinan untuk penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Dra. Sawitri P.P. M.Pd, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberi bantuan dan pengarahan.

3. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah atas bantuan dan pengarahannya.

4. Drs. Sri Agus, M.Pd. selaku pembimbing utama dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis.

5. Tiwuk Kusuma H, S.S, M.Hum selaku Pembimbing Akademis penulis selama masa studi di Jurusan Ilmu Sejarah.

6. Segenap dosen di Jurusan Ilmu Sejarah yang telah memberikan bimbingan bekal ilmu dan wacana pengetahuan.

commit to user

Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, dan Perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran.

8. K.G.P.H. Puger dan B.R.M. Suryasmo selaku staf perpustakaan Sasanapustaka Kasunanan Surakarta yang telah memberikan ijin dan bantuan kepada penulis dalam penyediaan data-data yang diperlukan.

9. Bapak dan Ibu yang senantiasa memberi kasih sayang, do’a dan dukungan semangat yang tak terhingga kepada penulis.

10. Teman-teman Historia Community 2007 tetap kompak dan terima kasih atas bantuannya.

11. Semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak luput dari berbagai kekuarangan dan kelemahan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang sifatnya membangun akan penulis perhatikan dengan baik. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Surakarta, Agustus 2012

Penulis

commit to user

3. Upacara Keagamaan di Keraton Surakarta ............................. 87

a. Garebeg Mulud ................................................................. 89

b. Garebeg Syawal ................................................................. 92

c. Garebeg Besar ................................................................... 95

4. Tradisi Upacara Adat Keraton dan Penggunaan

Candrasengkala ....................................................................... 96

a. Ulang Tahun Penobatan Raja Pakubuwana X............. ...... 96

b. Kelahiran-Kematian Pakubuwana X............. .................... 98

c. Garebeg Mulud Tahun Dal 1831 atau 1901 M............. .... 100

d. Mahesa Lawung............. ................................................... 102

e. Penggunaan Candrasengkala ............................................. 103

BAB V KESIMPULAN ................................................................................. 112 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 115 DAFTAR INFORMAN ................................................................................... 120 LAMPIRAN ..................................................................................................... 121

commit to user

DAFTAR ISTILAH

1. Abdi dalem

: pegawai keraton, pegawai kerajaan.

2. Abdi dalem kriya : pegawai kerajaan golongan pertukangan

3. Afdeling : bagian dari suatu wilayah administrasi, bagian dari karesidenan, umumnya setingkat kabupaten.

4. Alun-alun : tanah luas yang lapang di muka keraton.

: kain/jarik tradisional Jawa

7. Bedhaya Ketawang: tarian ritual yang menggambarkan percintaan antara Senapati dan Ratu Kidul, biasanya tarian ini dipentaskan pada acara ulang tahun penobatan raja.

8. Bendara

: sebutan untuk bangsawan

9. Berkah : berkah berasal dari bahasa Arab `barakah`. Artinya, memiliki banyak kebaikan dan bersifat tetap atau terus- menerus.

10. Comptabiliteit

: kantor keuangan atau akuntansi.

11. Distrik

: kawedanan.

12. Dodot : kampuh/ kain yang panjangnya antara 7-9 kacu, dan lebarnya dua kali kain biasa. Dipakai sebagai lapisan atas, untuk pria diatas celana berwarna polos.

13. Estri

: wanita

commit to user commit to user

15. Garebeg : upacara hari raya maulud, hari raya lebaran, dan hari

raya haji.

16. Garwa ampil

: selir/istri yang bukan permaisuri.

17. Garwa padmi

: permaisuri

18. Indische regeering : pemerintah Hindia

19. Kawula

: hamba, rakyat, pelayan, abdi.

20. Kamukten

: kemuliaan

21. Kasunanan : daerah atau wilayah yang yang dikuasai dan diperintah oleh seorang sunan.

22. Kedhaton : bagian keraton yang dipakai untuk tempat tinggal raja bersama keluarga dan kerabat, serta sebagian punggawa keraton; kedhaton juga dipakai untuk tempat penyelenggaraan upacara resmi.

23. Keraton : bangunan khusus milik raja, untuk tempat tinggal raja, tempat pemerintahan dan tempat upacara resmi.

: penutup kepala berupa kopiah.

28. Lebet

: njero, dalam

commit to user

30. Magang

: proses latihan kerja

31. Miyos

: keluar

32. Ngabekten : ujung; pernyataan bakti kepada orang tua, raja, ratu dan pembesar lainnya.

33. Onder distrik : wilayah di bawah distrik setara dengan kecamatan.

34. Pancaniti : tempat prosesi dan peletakan sesaji dalam upacara

selamatan Mahesa Lawung.

35. Paseban

: balai penghadapan.

36. Pasamuan

: pertemuan, acara pesta.

37. Petangan : perhitungan menurut ketentuan pandangan orang Jawa

38. Primbon : naskah jawa berupa catatan tentang bermacam- macam hal. Isinya mengenai mistik, hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan, misalnya jimat, do ’a, keterangan mengenai masa bahagia dan tidak bahagia, suratan nasib, pralambang, tafsir mimpi, ramalan dan sebagainya.

39. Priyayi

: abdi dalem, punggawa kerajaan

40. Sasana

: tempat

41. Seba : datang menghadap raja sambil menunggu perintah raja

yang mungkin diberikan oleh raja

42. Sentana

: kerabat

43. Sampeyan dalem : istilah lain dari raja.

commit to user

45. Sengkala : rumusan tahun dengan kata-kata yang setiap kata

melambangkan angka.

46. Sitinggil

: tanah tinggi, tempat yang tinggi.

: ngawula (mengabdi)

49. Tandak

: penari ronggeng.

50. Tanah lungguh : tanah jabatan

51. Tayuban

: tari bersama tandak

52. Tengen

: kanan

53. Tiyang alit

: masyarakat umum

commit to user

DAFTAR SINGKATAN

B.R.Aj

: Bandara Raden Ajeng

B.R.M

: Bandara Raden Mas HB : Hamengkubuwana

K.G.P.H

: Kanjeng Gusti Pangeran Harya

K.P

: Kanjeng Pangeran

K.R.T

: Kanjeng Raden Tumenggung

M.Ng

: Mas Ngabehi

PB

: Pakubuwana R.M : Raden Mas

R.M.G

: Raden Mas Gusti

commit to user

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Gaji Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta Pada Masa Pakubuwana X ............................................................................................. 47

2. Tabel Nama Tahun Jawa dan Umurnya ...................................................... 68

3. Pergantian Kurup dalam Tahun Jawa ......................................................... 73

4. Mangsa (Musim) dan Umurnya .................................................................. 75

5. Peredaran Wuku dalam Satu Minggu ......................................................... 79

commit to user

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Wuku Sinta .................................................................................................. 80

2. Wuku Watugunung ..................................................................................... 81

commit to user

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Denah Wilayah Keraton Kasunanan Surakarta .......................................... 122

2. Riwayat Kalender Jawa .............................................................................. 123

3. Nama Bulan Kalender Jawa dan Kalender Hijriyah .................................. 127

4. Petungan Jawa ............................................................................................ 128

5. Nomor Angka Menurut Candrasengkala dan Umurnya............................. 130

6. Serat Wewatoning Abdi Dalem ................................................................ 133

7. Daftar Raja yang Bertahta di Mataram-Kartasura-Surakarta ..................... 137

8. Serat Pawukon dan Petangan Dina ............................................................ 139

9. Upacara Garebeg ........................................................................................ 146

10. Upacara Mahesa Lawung ........................................................................... 150

11. Bedhaya Ketawang..................................................................................... 155

12. Naskah Wuku Wugu (Wuku Ke-26) .......................................................... 158

13. Lampiran Foto-Foto .................................................................................. 159

commit to user

Dian Sartikasari, C0507016, 2012. Tugas dan Fungsi Abdi Dalem Harya Leka dalam Penanggalan Jawa Pada Masa Pakubuwanan X , Skripsi, Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini membahas Tugas dan Fungsi Abdi Dalem Harya Leka dalam Penanggalan Jawa Pada Masa Pakubuwanan X. Rumusan masalah penelitian ini adalah struktur birokrasi Keraton Kasunanan pada masa Pakubuwana X, kehidupan abdi dalem harya leka di Keraton Kasunanan Surakarta pada masa pemerintahan Pakubuwana X, dan peranan abdi dalem Harya Leka dalam tradisi penanggalan di Keraton Kasunanan pada masa Pakubuwana X.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dengan tahapan heuristik (teknik pengumpulan data). Data yang diperoleh dikritik (intern dan ekstern). Kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan deskriptif analisis, yaitu menggambarkan suatu fenomena beserta ciri-cirinya yang terdapat dalam fenomena tersebut berdasarkan fakta-fakta yang tersedia. Analisa data ini diperoleh dari dokumen, studi pustaka, dan wawancara, lalu disusun dalam sebuah historiografi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa abdi dalem Harya Leka sebagai bagian dari kelompok abdi dalem di Kasunanan Surakarta memiliki peranan penting dalam proses penyelenggaraan tradisi yang bersifat sakral. Tugas yang di emban oleh abdi dalem Harya Leka terfokus pada perhitungan penanggalan Jawa untuk menentukan pelaksanaan upacara keagamaan (hari raya Islam, seperti: Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha), serta penghitungan penanggalan Jawa yang berhubungan dengan ilmu perbintangan, tanggalan, dan sejenis perhitungan hari atau pun tahun Jawa.

Selain melakukan perhitungan untuk penentuan pelaksanaan suatu upacara, para abdi dalem Harya Leka juga melakukan perhitungan dalam menggunakan candrasengkala. Sengkalan dapat dipakai dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya untuk memperingati kelahiran dan kematian, memperingati berdirinya atau jatuhnya suatu kerajaan.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa pentingnya penanggalan Jawa untuk keraton yaitu setiap pelaksanaan upacara tradisi keraton, segala sesuatunya harus diperhitungkan terlebih dahulu berdasarkan makna filosofi penanggalan Jawa. Peranan abdi dalem Harya Leka tampak semakin nyata dengan adanya pelimpahan kekuasaan dari raja untuk memimpin dan bertanggung jawab penuh terhadap lestarinya penanggalan Jawa. Dalam melakukan petungan tahun Jawa untuk menentukan upacara tradisi di Keraton Kasunanan, abdi dalem Harya Leka menggunakan penerapan ilmu Sultan Agung yang dilandasi oleh pengetahuan terhadap ajaran Islam dan nilai kejawen, seperti: penentuan awal puasa dan awal bulan Syawal, sedangkan perhitungan baik dan buruknya hari, tanggal, bulan, tahun, pranata mangsa, wuku yang dilukiskan dalam lambang dan watak merupakan catatan leluhur berdasarkan pengalaman baik buruk yang dicatat dalam primbon. Meskipun kebenarannya tidak mutlak namun sedikitnya patut menjadi perhatian sebagai jalan mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup lahir batin.

commit to user

Dian Sartikasari, C0507016. Duty and Function of Courtier Harya Leka in Javanese Calendar on the Peroid of Pakubuwana X, Thesis, Department of History, Faculty of Letter and Fine Art, Sebelas Maret University of Surakarta.

This research discusses about Duty and Function of Courtier Harya Leka in Javanese Calendar on the Period of Pakubuwana X. The formulation of research problem is bureaucracy structure of Kasunanan Palace on the period of Pakubuwana X, the life of courtier Harya Leka in Kasunanan Palace of Surakarta on the reign of Pakubuwana X, and the role of courtier Harya Leka in calendar tradition in Kasunanan Palace on the period of Pakubuwana X.

This research uses history research method with heuristic phases (data collection techniques). Data are obtained and criticized (internal and external). Data analysis are being done afterward using analysis descriptive, that is portraying a phenomenon alongside its characteristics contained in that phenomenon based on the available facts. This data analysis are obtained from documents, literature studies, interview, and then arranged into a historioghraphy. The results of this research show that courtier Harya Leka as a part of the courtier group in Surakarta Palace has importants roles in the process of organizing traditions that are sacred. Duty carried by courtier Harya Leka is focused on Javanese calendar calculation to set the religious ceremony practices (Islamic feasts, such as Maulud Nabi, Idul Fitri, and Idul Adha), and Javanese calendar calculation which is assosiated with astrology, calendar, some kind of day calculation or Javanese. A side from doing calculation to set up the ceremony practices, courtiers Harya Leka are also doing calculation using candrasengkala. Sengkalan can be used in various aspects of life, for example to commemorate the birth and the death, the rise or the fall of the kingdom.

This research concludes that the importance of Javanese calendar for the palace, specifically for every implementation of ceremonial palace tradition, everything should be calculated at first based on Javanese calendar philosophy meaning. The roles of courtier Harya Leka look more obvious in the existence of power devolution from the king to lead and fully responsible toward Javanese calendar’s sustainability. In doing the Javanese calendar calculation to set up traditional ceremonies in Kasunanan Palace, courtier Harya Leka apply the application science of Sultan Agung which is based on knowledge of Islamic thoughts and Javanese values, such as; initial determination of fasting and the beginning of Syawal Month, whereas the calculation of bad and good days, dates, months, years, season regulations, wuku which is depicted in symbols and characters denote an ancestral record/note based on good and bad experience recorded/noted on horoscop/almanac. Even though the correctness are not decisive, yet at least it should be a concern as a way to achieve the salvation and welfare of life physically and mentally as well.

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem pemerintahan di kerajaan, kekuasaan berada di tangan golongan aristrokat yaitu raja, kerabat raja dan golongan birokrat atau abdi dalem yang

merupakan pejabat dalam lembaga pemerintahan kerajaan. 1 Dalam struktur

birokrasi kerajaan Kasunanan Surakarta, Sunan sebagai penguasa bertanggung jawab penuh terhadap lancarnya roda pemerintahan walaupun dalam pelaksanaan tugas sehari-hari diserahkan kepada patih dalem. Patih berfungsi sebagai wakil Sunan dalam bidang pemerintahan, di samping itu juga menetapkan rijksblad atau undang-undang yang berisi keputusan pemerintahan atas persetujuan Sunan dan Residen. Konsep kawula-gusti dalam hierarki sosial kerajaan tradisional meliputi golongan; (1) raja dan sentana dalem, (2) abdi dalem, dan (3) kawula dalem. Sentana dalem adalah komunitas yang mempunyai hubungan darah dengan raja. Abdi dalem adalah rakyat yang mengabdi dalam keraton setelah melalui tahap suwita, magang, dan wisuda . Pengertian kawula adalah merujuk pada masyarakat

yang berada di luar tembok istana. 2

Berdasarkan struktur birokrasi kerajaan, abdi dalem atau golongan birokrat merupakan kelas sosial yang berada diantara raja, para bendara, serta tiyang alit atau rakyat pada umumnya. Tugas dari seorang abdi dalem adalah menjalankan

1 Wawancara dengan K.R.T Supardi tanggal 28 Juli 2011.

2 Hermanu Joebagio, Merajut Nusantara: Pakubuwana X dalam Gerakan Islam dan Kebangsaan, (Surakarta: Cakra Books, 2010), hlm. 3-4.

commit to user commit to user

raja selesai dilaksanakan. 3 Bagi para abdi dalem setiap kata dari sunannya bukan

hanya perkataan dari seseorang yang memiliki kekuasaan, namun merupakan kata sakti yang didukung dengan kekuatan-kekuatan magis segenap pusaka kerajaan. Perintah raja adalah hukum dan setiap keinginannya adalah perintah bagi

rakyatnya. 4 Sunan bagi para abdi dalem adalah raja yang memiliki kekuasaan

politik, militer, dan keagamaan yang absolut serta diakui secara tradisional. Oleh karenanya, raja mengharapkan dukungan kekuasaan dari kelompok birokrasi kerajaan.

Pada masa Pakubuwana X, salah satu pegawai keraton atau abdi dalem yang berperan penting dalam tradisi penanggalan Jawa adalah abdi dalem Harya Leka atau ahli petang dan pentarikh. Abdi dalem ini diberi tanggung jawab untuk memimpin para abdi yang ahli hitungan falak (ilmu perbintangan) tanggalan dan sejenisnya. Perhitungan tahun Jawa atau penanggalan Jawa yang dilakukan oleh abdi dalem Harya Leka sangat penting bagi keberlangsungan peringatan peristiwa penting dan pelaksanaan kegiatan upacara di keraton. Contohnya peristiwa penting itu antara lain: peringatan hari kelahiran dan kematian, pendirian suatu bangunan, dan lain-lain.Salah satu hari Jawa yang dianggap sakral pada masa itu adalah hari anggara kasih (Selasa Kliwon), karena di Keraton Surakarta pada hari tersebut, diadakan latihan menari Bedhaya Ketawang. Dipercaya bahwa Ratu

3 Selo Sumarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1981), hlm. 26.

4 Ibid., hlm. 25.

commit to user commit to user

acara penobatan raja dan ulang tahun penobatan raja yang bersifat sakral. 5 Selain kegiatan yang bersifat sakral, upacara keraton yang bersifat keagamaan juga dilaksanakan pada setiap tahunnya dan dirayakan secara besar- besaran, upacara ini disebut Garebeg. Antara lain; Garebeg Mulud yang dilaksanakan pada bulan Mulud/Rabiulawal sebagai hari peringatan lahirnya Nabi Muhammad, Garebeg Pasa yang dilaksanakan pada bulan Syawal, Garebeg Besar yang dilaksanakan pada bulan Besar/Dzulhijah, dan tradisi Malam Satu Sura, dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Dalam menentukan upacara keagamaan, para abdi dalem Harya Leka menggunakan dasar penanggalan Sultan Agung.

Pentingnya abdi dalem Harya Leka dalam tradisi lokal masyarakat Jawa antara lain adalah hasil karya di bidang pentarikhan. 6 Dalam tradisi tersebut, pentarikhan ditulis dalam bentuk sengkalan 7 dengan menggunakan tahun Saka.

Masa Saka (Surya Sengkala) berakhir pada tahun 1633, ketika Sultan Agung

(Raja Mataram 1613-1645 M) menciptakan masa baru bagi pentarikhan bangsa

5 Darsiti Suratman, op.cit., hlm. 176.

6 Pentarikhan merupakan tradisi penggambaran masa lampau bangsa Jawa dalam bentuk kronik.

7 Sengkalan (penulisan angka tahun) merupakan peringatan bagi peristiwa- peristiwa penting dalam bentuk susunan kalimat yang tersusun baik (Sengkalan

Lamba) atau dalam bentuk gambar (Sengkalan Memet) yang memberikan gambar atau lambang pada masa waktu itu.

commit to user

Matahari) dengan tahun Arab/Hijriyah (Tahun Bulan) menjadi tahun Jawa (Tahun

Bulan). Maka dalam pentarikhan disebut Candrasengkala. 8 Tradisi sengkalan

sudah ada sejak abad VIII, diawali dengan pentarikhan prasasti Canggal dari Raja Sanjaya zaman Mataram Hindu. Contoh sengkalan yang dikemukakan adalah

“Crutti Indriya Rasa” (654 Saka=732 M), “Sirna Hilang Kertaning Bumi“, (1400 Saka=1478 M) menandakan peristiwa runtuhnya kerajaan Majapahit.

Contoh-contoh tersebut mempunyai arti bahwa tahun-tahun Jawa memiliki watak, kata-kata Jawa pun memiliki watak dan nilai sendiri-sendiri. Dalam menentukan angka tahun terhadap sengkalan yang ada, harus mencantumkan pola dan nilai watak tersebut. Tindak lanjut dari sistem pentarikhan adalah tumbuhnya nama-nama dalam tahun Jawa sampai pada nama- nama hari. Tradisi lokal Jawa ini, bagi sebagian masyarakat masih digunakan untuk memperingati ritual-ritual keraton sebagai penghormatan, misalnya acara

ritual bagi orang-orang yang percaya terhadap dinamisme. 9 Pencarian hari baik,

biasanya digunakan untuk memilih waktu pelaksanaan sebuah kegiatan, seperti pelaksanaan upacara pernikahan, pindahan/mendirikan rumah dan pemilihan

jodoh. 10

8 Radjiman, Sejarah Mataram Kartasura Sampai Surakarta Hadiningrat, (Surakarta: Krida, 1984), hlm. 13. Candra sengkala ialah sengkalan yang dipakai

untuk penulisan angka tahun bulan atau tarikh Khomariyah, misalnya; Tahun Jawa dan Tahun Hijriyah.

9 Dinamisme (dalam kaitan agama dan kepercayaan) adalah pemujaan terhadap roh (sesuatu yang tidak tampak mata).

10 http//www.anneahira.com/penanggalan-jawa (diakses pada tanggal 15 Oktober 2011).

commit to user commit to user

X terletak pada kemampuan menerapkan “politik simbolis” yang di

dalamnya terkandung simbol personal dan simbol publik. Simbol personal berhubungan dengan kewenangan dalam memberikan gelar kebangsawanan, penghormatan, dan anugerah. Simbol publik berhubungan dengan upaya memberdayakan masyarakat melalui penyediaan pendidikan Islam dan umum, pembangunan perekonomian, rumah sakit, taman hiburan rakyat, partisipasi dalam organisasi pergerakan kebangsaan, serta pengembangan tradisi budaya

Jawa dan Islam. 11 Maka dari itu, skripsi ini mengambil periodesasi pada masa

Pakubuwana X, yang dioptimalkan lebih baik dari masa sebelumnya atau sesudahnya berdasarkan peran dan tugas abdi dalem Harya Leka.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan yang dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam penelitian ini. Rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah posisi abdi dalem Harya Leka dalam struktur birokrasi Keraton Kasunanan pada masa Pakubuwana X?

11 Hermanu Joebagio, op.cit., hlm. 16.

commit to user

Surakarta masa pemerintahan Pakubuwana X?

3. Bagaimanakah peranan abdi dalem Harya Leka pada masa Pakubuwana X?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui posisi abdi dalem Harya Leka dalam struktur birokrasi di Keraton Kasunanan Surakarta masa pemerintahan Pakubuwana X.

2. Untuk mengetahui kehidupan abdi dalem Harya Leka di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta masa pemerintahan Pakubuwana X.

3. Untuk mengetahui peranan abdi dalem Harya Leka pada masa Pakubuwana X.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademis Dari kajian tentang abdi dalem Harya Leka Kasunanan Keraton Surakarta

pada masa PB X, maka penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat serta masukan mengenai peranan abdi dalem Harya Leka dalam perhitungan tahun Jawa dan penanggalan Jawa. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi dan informasi bagi masyarakat luas secara umum. Diharapkan juga dapat memberi sumbangsih dalam dunia akademisi sebagai tambahan bahan kajian dalam bidang sejarah.

commit to user

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan melengkapi kajian pengetahuan dalam ilmu sejarah terutama tentang tugas dan fungsi abdi dalem

Harya Leka pada masa PB X. Harya leka berarti wedana 12 penanggalan, yaitu

abdi dalem yang mendapat kepercayaan memimpin para abdi dalem dalam perhitungan falak atau ilmu perbintangan, penanggalan, dan sejenis perhitungan

hari, primbon atau pun tahun Jawa. 13 Abdi dalem Harya Leka dituntut memiliki

pemahaman luas terhadap ilmu perhitungan yang dapat memberikan kewibawaan dalam kekuasaan raja.

E. Kajian Pustaka

Penelitian ini memerlukan beberapa sumber-sumber berupa buku atau hasil penulisan sejarah yang sejenis, isi penulisan tersebut diharapkan dapat membantu penelitian.

Radjiman dalam bukunya yang berjudul Sejarah Mataradm Kartasura Sampai Surakarta Hadiningrat , 1984. Buku ini menjelaskan salah satunya tentang tradisi lokal bangsa Jawa. Masyarakat bangsa Jawa merupakan masyarakat agraris yang memiliki sifat-sifat tertutup. Meskipun masyarakat agraris, seperti masyarakat yang lain, masyarakat agraris pun berkarya dalam membuat jejak- jejak bagi hidup mereka. Alat utama dalam kegiatan ini adalah bahasa dan sastra. Bagi bangsa Jawa, gambaran masa lampau dalam karya tradisional mereka banyak dipengaruhi oleh sejumlah mitos dari hinduisme dalam masa Jawa Hindu. Salah

12 Wedana berarti pemuka atau pemimpin pelaksana pekerjaan, dan wajib menjadi contoh tindakan.

13 Serat Wadu Aji , No. 226 Na, Sasanapustaka Kasunanan Surakarta.

commit to user commit to user

Purwadi dan Siti Maziah, dalam bukunya yang berjudul Horoskop Jawa, 2005. Buku ini menjelaskan tentang akulturasi budaya dan agama. Akulturasi pada masa Sultan Agung yaitu mengupayakan perpaduan Islam dengan Budaya Jawa yang menghasilkan kalender Jawa. Pada waktu itu kalender Saka sudah berjalan sampai akhir tahun 1554. Angka tahun 1554 itu kemudian diteruskan dalam kalender Sultan Agung dengan angka tahun 1555, dengan dasar perhitungan yang berlainan. Kalender Saka mengikuti sistem Solar (Syamsiyah), perjalanan bumi mengintari matahari, sedangkan kalender Sultan Agung mengikuti sistem lunair (Komariyah), yaitu perjalanan bulan mengintari bumi seperti kalender Hijriyah (kalender Islam). Perubahan kalender Jawa terjadi pada tanggal 1 Sura tahun Alip 1555, bertepatan pada tanggal 1 Muharram tahun 1043 Hijriyah. Tindakan Sultan Agung itu tidak hanya didorong oleh maksud memperluas pengaruh agama Islam, tetapi didorong pula oleh kepentingan politik Sultan Agung yang bertujuan untuk memusatkan kekuasaan agama kepada dirinya. Di samping itu, tindakan mengubah kalender juga mengandung maksud memusatkan kekuasaan politik pada dirinya dalam memimpin kerajaan.

commit to user

memaparkan mengenai perhitungan pranata mangsa yang meliputi penjelasan singkat mengenai kalender saka, Pranata Mangsa, kalender Sultan Agungan, dan dasar perhitungan waktu berdasarkan petungan Jawi. Kalender Saka merupakan warisan jaman Hindu-Budha yang kemudian diganti dengan kalender Jawa atau kalender Sultan Agung yang berlaku sampai sekarang. Kalender Saka mengikuti sistem peredaran matahari, sedangkan kalender Sultan Agung mengikuti peredaran bulan (seperti kalender Hijriyah). Kalender Sultan Agung mengandung perpaduan Jawa, Hindu-Jawa dan Islam. Kalender ini dimulai pada tanggal 1 Sura tahun Alip, dengan angka tahun 1555, yang jatuh bersamaan 1 Muharram 1043 atau 8 Juli 1633 Masehi. Kalender Pranata Mangsa sudah dimiliki orang Jawa sebelum bangsa Hindu datang di pulau Jawa. Kalender atau perhitungan Pranata Mangsa ini dapat dikatakan kalendernya kaum tani yang dimanfaatkan sebagai pedoman bekerja. Meskipun Pranata Mangsa sudah berlaku sejak dahulu milik orang Jawa, namun diresmikan pada pemerintahan Pakubuwana VII, yaitu tepatnya tahun 1855 M.

Maryono Dwiraharjo dalam bukunya yang berjudul Sengkalan Dalam Budaya Jawa, 2006, yang menjelaskan bahwa sengkalan merupakan penulisan angka tahun yang dirahasiakan dalam bentuk kelompok kata atau kalimat, tanda- tanda, lukisan-lukisan atau benda-benda. Angka tahun di dalam sengkalan merupakan urutan kebalikan dari urutan kata-kata yang bermakna angka. Sengkalan yang terdapat di dalam Karya Sastra Jawa memiliki dua fungsi yaitu:

1. Menunjukkan angka tahun penulisan suatu karya sastra.

commit to user

sastra. Angka tahun menjadi hal penting dalam mencatat suatu kejadian atau peringatan. Sengkalan dapat ditemukan di lokasi atau bangunan peninggalan sejarah masa lampau. Peninggalan sejarah yang dimaksud misalnya candi, bangunan keraton, prasasti, dan makam. Selain itu, di masyarakat daerah juga ditemukan sengkalan untuk memperingati berdirinya suatu bangunan. Sengkalan berfungsi sebagai sebuah tanda peringatan yang menunjukkan angka tahun dari suatu peristiwa. Misalnya:

a. Untuk memperingati lahirnya atau meninggalnya seseorang maupun raja.

b. Untuk memperingati berdirinya atau jatuhnya suatu kerajaan.

c. Untuk memperingati perkawinan Darsiti Soeratman dalam bukunya yang berjudul Kehidupan Dunia

Keraton Surakarta 1830-1939 (2000) menjelaskan beberapa ciri masyarakat keraton. Masyarakat keraton merupakan masyarakat yang setengah terbuka, dengan ciri-ciri:

1. Bersifat tradisional, konservatif, peradaban bersifat involutif.

2. Raja dianggap sakral-magis demikian pula dengan benda-benda miliknya.

3. Mengutamakan status, senioritas darah atau kebangsawanan.

4. Terdapat hierarki yang menyusup di seluruh bagian kehidupan. Ciri masyarakat keraton tersebut berlaku di Keraton Surakarta sekitar tahun 1830- 1939, walaupun terdapat pola-pola umum terhadap keraton lain di kelas Kerajaan Mataram. Kehidupan dan tradisi lingkungan keraton Surakarta nampak begitu

commit to user commit to user

Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, 2004. Menjelaskan kesetiaan priyayi pada rajanya. Kepriyayian dimulai dengan suwita pada priyayi tinggi kemudian magang pada salah satu profesi. Ketika diwisuda menjadi priyayi sungguhan menjadi suatu kehormatan bagi seseorang. Maka mata rantai kepriyayian yang bergerak dari bawah ke atas itu menjadikan hubungan politik bagi priyayi yakni patron-client- politics. Politik ini berlaku baik bagi priyayi yang bekerja dalam pemerintahan maupun priyayi yang berkerja sebagai karyawan keraton. Stratifikasi priyayi diungkapkan dalam berbagai simbol seperti jumlah sembah, pakaian, bahasa, dan tempat duduk waktu menghadap raja. Priyayi mempunyai pandangan dunia yang disebut dengan political mysticism. Bagi seorang priyayi menunggu perintah raja dengan berjaga di keraton sama kualitasnya dengan bertapa, dan mati di bawah kaki raja adalah mati mulia yang menjadi dambaan.

Dedik Agung Catriantoro FSSR UNS dalam skripsinya yang berjudul “Abdi Dalem Juru Suranata: Tugas dan Peranannya di Keraton Kasunanan Surakarta ” (2000), menjelaskan bahwa keberadaan abdi dalem Juru Suranata sebagai pelaku utama memberi warna religius magis melalui penyelenggaraan tradisi ritual di lingkungan Kasunanan Surakarta. Akulturasi budaya Hindu Jawa dan Islam dalam wujud upacara-upacara sakral telah memaksa abdi dalem Juru Suranata untuk beradaptasi terhadap nilai-nilai kejawen di lingkungan keraton.

commit to user

Kasunanan Surakarta memiliki peranan penting dalam proses penyelenggaraan pola-pola tradisi ritual yang bersifat sakral. Sebagai pelaksana dari praktek religius magis, abdi dalem Juru Suranata bertugas menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan mulai dari pemberian sesaji sampai pada prosesi upacara tradisional kerajaan. Hal ini sangat tampak dalam berbagai bentuk hajat dalem seperti upacara jumenengan dalem, wiyosan dalem, tinggalan dalem, pernikahan, khitanan, Mahesa Lawung, Labuhan, pencarian bunga wijaya kusuma dan sebagainya.

Nining Tri Lestari FSSR UNS dalam skripsinya yang berjudul “Kehidupan Abdi Dalem Keraton Kasultanan Yogyakarta Masa Pemerintahan Hamengkubuwana X (suatu studi sejarah sosial di Yogyakarta) ” (2000), menjelaskan bahwa di lingkungan keraton status abdi dalem berada di bawah Sultan dan para bangsawan. Abdi dalem adalah pembantu Sultan yang harus senantiasa melaksanakan apa yang dititahkan Sultan. Kebanyakan dari para abdi dalem di Kasultanan Yogyakarta sudah mampu dalam hal ekonomi yang diperoleh dari kerja sampingan mereka atau pekerjaan mereka sebelum menjadi abdi dalem. Mereka mengabdi di keraton dengan satu tujuan yaitu untuk mencapai status sosial yang lebih tinggi sebagai seorang priyayi dan mencari ketenangan hidup yang mereka yakini akan diperoleh dengan mengabdikan diri kepada Sultan dan keraton. Kehidupan di dalam keraton berlangsung sebagaimana masyarakat biasa, hanya saja di keraton dijalankan dengan lebih disiplin sesuai adat dan tata krama yang berlaku.

commit to user

F. Metode Penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini berlokasi di wilayah Keraton Kasunanan Surakarta, karena penelitian ini mengkaji tentang abdi dalem. Salah satunya adalah abdi dalem Harya Leka . Abdi dalem tersebut adalah ahli hitungan falak (ilmu perbintangan), penanggalan, perhitungan hari, tahun Jawa dan sejenisnya, yang biasa digunakan untuk menentukan pelaksanaan upacara di Keraton Kasunanan Surakarta .

2. Metode Penelitian

Suatu penelitian ilmiah perlu didukung dengan metode, karena peranan sebuah metode dalam suatu penelitian ilmiah sangat penting. Berhasil atau tidaknya tujuan yang akan dicapai tergantung dari metode yang digunakan. Di dalam hal ini, suatu metode dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan obyek yang diteliti. Agar dapat memahami kehidupan masyarakat keraton yang kompleks maka dipakai pendekatan multi-dimensional, sehingga berbagai faktor dapat diungkapkan, antara lain faktor sosial, kultural dan religius. Jalinan berbagai faktor itu terjadi karena interaksi antarwarga masyarakat dan sifat saling

ketergantungan, merupakan unsur yang perlu diperhatikan. 14

Sesuai dengan permasalahan yang dibahas, maka metode yang digunakan adalah metode sejarah. Menurut Louis Gottschalk yang dimaksud metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dari pengalaman

14 Darsiti Suratman, op. cit., hlm. 11.

commit to user commit to user

a. Heuristik/ pengumpulan data Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data atau sumber yang berupa studi dokumen dan studi pustaka.

1) Studi Dokumen Fokus penelitian dalam studi ini adalah peristiwa yang sudah lampau, maka salah satu sumber yang digunakan adalah sumber dokumen. Dokumen dibedakan menjadi dua macam yaitu dokumen dalam arti sempit dan dokumen dalam arti luas. Menurut Sartono Kartodirdjo, dokumen dalam arti sempit adalah kumpulan data verbal dalam bentuk tulisan seperti surat kabar, catatan harian,

laporan dan lain-lain. 16 Di satu sisi dokumen dalam arti luas meliputi artefak, foto-

foto, dan sebagainya. Penggunaan dokumen dalam penelitian ini adalah dokumen dalam arti sempit. Studi dokumen mempunyai arti metodologis yang sangat penting, sebab selain bahan dokumen menyimpan sejumlah besar fakta dan data sejarah, bahan ini juga dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan, apa, kapan

dan mengapa. 17 Studi tentang dokumen bertujuan untuk menguji dan memberi

gambaran tentang teori sehingga memberi fakta dalam mendapat pengertian

15 Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, edisi terjemahan Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 32.

16 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah , (Jakarta: PT. Gramedia, 1992), hlm. 98.

17 Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi

Indonesia, Suatu Alternatif , (Jakarta: PT. Gramedia, 1982), hlm. 97-122.

commit to user commit to user

2) Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan sebagai bahan pelengkap dalam sebuah penelitian. Dalam penelitian ini sumber pustaka yang digunakan hanya yang berkaitan dengan tema penelitian. Tujuan dari studi pustaka adalah untuk menambah pemahaman teori dan konsep yang diperlukan dalam penelitian. Sumber pustaka yang digunakan antar lain: skripsi, buku, surat kabar, artikel dan sumber lain yang memberikan informasi tentang tema yang diteliti. Buku-buku yang digunakan dalam penulisan ini peneliti memperoleh sumber dari perpustakaan Sasanapustaka Kasunanan Surakarta, Reksapustaka Mangkunegaran, Perpustakaan Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Perpustakaan Ilmu Sejarah, dan buku-buku koleksi pribadi.

3) Wawancara Metode wawancara merupakan suatu metode yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu. Cara ini berguna untuk

18 Sartono Kartodirdjo , “Metode Penggunaan Bahan Dokumen”,

Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), hlm. 47.

commit to user

Keterangan responden dalam penelitian ini hanya sebagai sumber sekunder, karena penelitian ini sudah tidak sezaman.

b. Kritik sumber Kritik sumber bertujuan untuk mencari keaslian sumber yang diperoleh melalui kritik intern dan ekstern 20 . Kritik intern bertujuan untuk mencari keaslian

isi sumber atau data, sedangkan kritik ekstern bertujuan untuk mencari keaslian sumber.

c. Interpretasi Data Tahap berikutnya adalah interpretasi, yaitu penafsiran terhadap data-data yang sudah terseleksi. Tujuan dari interpretasi adalah menyatukan sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber atau data sejarah dan bersama teori disusunlah fakta

tersebut ke dalam interpretasi secara menyeluruh. 21 Analisis yang digunakan

dalam penelitian ini adalah deskripsi analisis. Deskripsi analisis artinya menggambarkan suatu fenomena beserta ciri-cirinya yang terdapat dalam fenomena tersebut berdasarkan fakta-fakta yang tersedia. Setelah itu dari sumber bahan dokumen dan studi kepustakaan, tahap selanjutnya adalah diadakan analitis, diinterpretasikan, dan ditafsirkan isinya, kemudian akan diuraikan dan

19 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), hlm. 162-196.

20 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 58.

21 Ibid., hlm. 64.

commit to user commit to user

d. Historiografi Tahap terakhir adalah historiografi, yaitu penyajian hasil penelitian berupa penyusunan fakta-fakta dalam suatu sintesa kisah yang bulat sehingga harus disusun menurut teknik penulisan sejarah.

G. Sistematika Skripsi

Dalam penelitian tentang abdi dalem harya leka Keraton Kasunanan Surakarta Pada Masa Pakubuwana X, sistematikanya terbagi menjadi lima bab, yaitu:

Bab I, dalam bab pendahuluan menjelaskan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka dan metode penelitian serta sistematika skripsi.

Bab II, menjelaskan tentang gambaran umum Keraton Kasunanan yang mencakup sejarah keraton, struktur bangunan keraton, perkembangan administrasi wilayah sampai pada masa Pakubuwana X, dan struktur birokrasi Keraton Kasunanan Surakarta masa Pakubuwana X.

Bab III, menjelaskan tentang kehidupan abdi dalem harya leka di Keraton Kasunanan Surakarta masa pemerintahan Pakubuwana X yang meliputi faktor pendorong menjadi abdi dalem, karakteristik abdi dalem, hak dan kewajiban abdi dalem Harya Leka, serta status sosial dan gaya hidup abdi dalem.

22 Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, (Jakarta: Yayasan Indayu, 1978), hlm. 36.

commit to user

Keraton Kasunanan Surakarta pada Masa Pakubuwana X. Peranan ini meliputi tradisi penggunaan penanggalan Jawa, berisi tentang pelaksanaan acara keagamaan dan tradisi upacara keraton lainnya.

Bab V, adalah bab penutup yang berisi kesimpulan dari empat bab sebelumnya untuk menjawab secara singkat permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini.

commit to user

BAB II GAMBARAN UMUM KERATON KASUNANAN SURAKARTA

A. Sejarah Singkat Kasunanan Surakarta

Keraton Surakarta atau lengkapnya disebut Keraton Surakarta Hadiningrat, merupakan istana Kasunanan Surakarta. Keraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwana II pada tahun 1744 sebagai pengganti Keraton Kartasura yang porak- poranda akibat Geger Pecinan di tahun 1743. Pemberontakan Cina yang terjadi di Mataram dipimpin oleh R.M Garendi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kuning. Pemberontakan itu mengakibatkan jatuhnya Istana Kartasura ke tangan musuh, kemudian oleh Sunan Pakubuwana II istana dipindahkan ke sebelah timur yaitu ke Desa Sala, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Surakarta . Pada tahun 1743 pemberontakan Cina telah dipadamkan oleh kerajaan

Mataram dengan bantuan VOC. 1

Geger Pecinan merupakan konflik awal perebutan kekuasaan di Mataram Kartasura. Peristiwa ini berawal dari pemberontakan orang-orang Cina di Batavia

pada tahun 1740 yang kemudian menjalar ke sepanjang pantai utara Jawa. 2

Penyebabnya adalah pembunuhan massal yang dilakukan oleh Kompeni Belanda di Batavia. Pembunuhan massal tersebut sebagai akibat dari beratnya tekanan pembayaran pajak dari pemerintahan Belanda di bawah Gubernur Jenderal Valkenir, orang-orang Cina lalu mengadakan pemberontakan. Pada peristiwa itu

1 Wasino, 1994, “Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX) ”, Thesis Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta, hlm. 34.

2 Ibid.

commit to user commit to user

hingga memaksa Sunan Pakubuwana II menyingkir. 3 Pasukan gabungan pemberontak 4 lebih memihak kepada Cina. Hal ini

disebabkan karena Sunan Pakubuwana II lebih memihak Belanda. Sunan Pakubuwana II yang awalnya ingin meredam pemberontakan dengan menunjuk Patih Adipati Natakusuma beserta Tumenggung Martapura dan Tumenggung Mangunhoneng untuk membujuk Belanda agar mengurangi tekanan atau memberi keringanan kepada orang-orang Cina dalam membayar pajak, namun hal tersebut tidak membuahkan hasil. Bahkan Sunan Pakubuwana II memecat Patih Natakusuma yang mengakibatkan kemarahan besar di kalangan pemberontak Cina.

Raden Mas Garendi dipandang paling berjasa dalam memimpin pemberontakan, oleh orang-orang Cina kemudian diangkat menjadi raja baru di Kartasura (sebagai raja tandingan) menggantikan Sunan Pakubuwana II yang melarikan diri. Sebagai raja, Raden Mas Garendi menggunakan gelar Susuhunan Amangkurat Amral atau yang dikenal dengan Susuhunan Amangkurat Prabu Kuning (Sunan Kuning). Sementara itu, Sunan Pakubuwana II meloloskan diri

3 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, (Jakarta: Depdikbud, 1999), hlm. 69-71.

4 Para bupati pesisir utara Jawa antara lain: Jepara, Juwana, Demak, Rembang, Tegal, Semarang, dan Surabaya.

commit to user

Anom dan Mayor van Hohendorf. Lolosnya Sunan dari Istana Kartasura terjadi pada hari Sabtu Wage, 27 Rabingulakhir tahun Alip 1667 dengan sengkalan

swara karungu obahing bumi (1667 Jawa atau 1742 Masehi). 5

Gubernur Jenderal Valkenir di Batavia mengetahui peristiwa penyerbuan keraton Kartasura oleh pemberontak Cina, dan memerintahkan kepada pasukan Kompeni untuk membantu Sunan merebut kembali keraton Kartasura. Namun ketika pasukan Kompeni bersiap-siap untuk menghalau pemberontak, Pangeran Cakraningrat berhasil memukul mundur bala tentara Cina dari Istana Kartasura, dan kemudian berganti menguasainya. Pasca peristiwa tersebut Belanda khawatir menyaksikan kekuatan dan keberanian Pangeran Cakraningrat, sehingga pemimpin Belanda Reynier de Klerk dikirim ke Surabaya untuk membujuk Pangeran Cakraningrat agar kembali ke Madura dan menyerahkan Istana kepada

Kompeni. 6 Di sisi lain, Sri Susuhunan Pakubuwana II kembali ke Kartasura.

Kembalinya Sunan Pakubuwana II dari Ponorogo ini terjadi pada hari Rabu Legi,

22 Syawal, tahun Alip 1667, ditandai dengan Candrasengkala kontap karungu

rengganing praja (1667 Jawa atau 1742 Masehi). 7

Dampak dari peristiwa tersebut menjadikan Desa Sala sebagai tempat pusat pemindahan keraton, dengan alasan antara lain: Pertama, Desa Sala terletak di dekat tempuran, yakni tempat bertemunya dua sungai, yaitu Sungai Pepe dan Bengawan Sala. Menurut mistik Jawa, tempuran mempunyai arti magis dan

5 Ibid.

6 Sayid R.M, Babad Sala, Alih bahasa Dra. Darweni, (Surakarta: Reksapustaka Mangkunegaran, 2001), hlm. 25.

7 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, loc.cit.

commit to user

sebagai penghubung Jawa Timur dan Jawa Tengah), selain itu digunakan untuk berbagai kepentingan antara lain; ekonomi sosial, politik, dan militer (sampai abad XIX). Ketiga, karena Sala telah menjadi desa, maka untuk mendirikan keraton tidak diperlukan tenaga pembabat hutan. Keempat, dihubungkan dengan bangunan suci yakni Sala atau Cala (Sans) yang berarti ruangan atau bangsal besar. Kelima, dihubungkan dengan pengaruh dan kepentingan kompeni. Keenam, menggunakan petangan sesuai adat yang berlaku. Menurut kepercayaan orang Jawa, keadaan tanah akan sangat berpengaruh pada penghuni rumah yang

didirikan di atas tanah itu. 8

Berdasarkan beberapa pertimbangan yang meliputi bidang ekonomi, sosial, politik, pertahanan, religi dan adat, maka Desa Sala dijadikan pusat istana terakhir Kerajaan Mataram. Setelah resmi istana Kerajaan Mataram selesai dibangun, nama desa itu diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Istana ini menjadi saksi penyerahan kedaulatan Kerajaan Mataram oleh Sunan Pakubuwana

II kepada VOC di tahun 1749. Pakubuwana II terlibat perjanjian dengan VOC

yang isinya bahwa Sunan Pakubuwana harus menyerahkan seluruh wilayah Mataram kepada VOC dengan janji keturunan Sunan Pakubuwana II berhak naik tahta kerajaan dan akan diberikan pinjaman kerajaan Mataram. Jadi siapa pun yang menjadi raja hanyalah karena kemurahan hati VOC dan menjadi simbol semata. Akibat perjanjian tersebut secara de jure pemerintahan kerajaan Mataram

8 Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000), hlm. 66-73.

commit to user commit to user

B. Perkembangan Wilayah Administratif

Kasunanan Surakarta

Berdirinya Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta didasarkan pada Perjanjian Giyanti 10 13 Februari 1755. Di dalam perjanjian Giyanti tersebut

terdapat pembagian wilayah kekuasaan Mataram, kewenangan menggunakan gelar, dan dinyatakan bahwa kedua kerajaan tersebut terpisah satu sama lain.

Administrasi wilayah di Kasunanan Surakarta masih berpedoman pada zaman Mataram yaitu wilayah dibagi menjadi 3 daerah yakni; Kuthagara, Negara Agung, dan Mancanegara, sedangkan wilayah Negara Agung terbagi dalam kekuasaan Bupati Nayaka yang disebut Nayaka Wolu. Kedelapan Kanayakan ini terbagi dalam dua kelompok: empat Bupati Nayaka Lebet dan empat Bupati Nayaka Jawi, yang termasuk Bupati Lebet ialah Bupati Nayaka Gedong Kiwa dan Tengen , Bupati Nayaka Keparak Kiwa dan Tengan, sedangkan yang termasuk Bupati Nayaka Jawi ialah Bupati Nayaka Sewu, Bumi, Bumi Gede dan