Pengertian Madzhab Faktor – factor yang menimbulkan madzhab

BAB II PEMBAHSAN

2.1 Pengertian Madzhab

Mazhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. 1 Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam , yang dinamakan mazhab adalah metode manhaj yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.

a. Titik Tolak atau Sejarah Pembentukan Madzhab

Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke negara yang baru. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sulit dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilafperbedaan pendapat di kalangan sahabat ada tiga yakni : 2 1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an 2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat 3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu. Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat adalah prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in, muncullah generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam sejarah dijelaskan 1 www.wikipedia.org 2 Pengantar ilmu fiqh bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah. Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat bahwa pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabiin hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih pada periode ini. Dari sini pula kita dapat merumuskan apa sebab-sebab munculnya mazhab pada periode ini. Namun mazhab-mazhab muncul pada periode ini tidak terbatas pada empat mazhab – Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali – seperti yang ada sekarang. Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-‘Ulwani berkesimpulan bahwa saat itu muncul sekitar tiga belas mazhab yang semuanya berafiliasi sebagai mazhab yang “Ahlu Sunnah”, tetapi hanya delapan atau sembilan mazhab saja yang dapat diketahui dengan jelas dasar-dasar dan metode fiqhiyah yang mereka pergunakan. Para imam mazhab-mazhab itu adalah : Imam Abu Sa’id bin Yasar al-Bashir wafat 110 H., Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi wafat 150 H., Imam Auza’ie Abu Amr Abdur Rahman bin Amru bin Muhammad wafat 157 H., Imam Sufyan bin Said bin Masruq al-Tsauri wafat 160 H., Imam Laits bin Sa’d wafat 157 H., Imam Malik bin Anas al-Anshari Wafat 179 H., Imam Sufyan bin Uyainah wafat 198 H., Imam Muhammad bin Idris al Syafi’ie wafat 204 H., dan Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal wafat 241 H. . Muhammad Khudari Beik ahli fiqh dari Mesir membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Yaitu Periode risalah, Periode khulafaurrasyidun, Periode awal pertumbuhan fiqih, Periode keemasan, Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqih, dan yang terakhir adalah periode kemunduran fiqih .

1. Periode risalah .

Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad S.A.W. sampai wafatnya Nabi S.A.W. 11 H.632 M.. Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah S.A.W. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Quran dan sunnah Nabi S.A.W. Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi S.A.W lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah.

2. Periode al-Khulafaur Rasyidun.

Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad S.A.W sampai Muawiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H.661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Quran dan sunnah Nabi S.A.W., juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah 13 H.634 M., ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat.

3. Periode awal pertumbuahn fiqh.

Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H.644 M., munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.

4. Periode keemasan.

Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama. Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya. Dinasti Abbasiyah 132 H.750 M.-656 H.1258 M. yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid memerintah 786-809 meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Mamun. Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafii, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar- Risalah oleh Imam asy-Syafii. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.

5. Periode tahrir, takhrij, dan tarjih

Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing- masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill mujtahid mandiri tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya. Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-taassub al-mazhabi sikap fanatik buta terhadap satu mazhab sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya. Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut. o Dorongan para penguasa kepada para hakim qadi untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja. o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan kebekuan berpikir dan taqlid mengikuti pendapat imam tanpa analisis di kalangan murid imam mazhab. o Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.

6. Periode kemunduran fiqh.

Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- Adliyyah Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani pada 26 Syaban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta. Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar ringkasan dari buku-buku yang muktabar terpandang dalam mazhab atau hasyiah dan takrir memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab, tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini. o Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi mufti dalam berbagai mazhab. o Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum kedaluwarsa di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri penguasa dalam menetapkan hukum fiqh mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, Muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara, tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su ud qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani. Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum fiqh Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.Semasa Rasulullah s.a.w. hidup, beliau merupakan madrasah utama umat islam dalam mempelajari segla urusan agama dan yang berhubungan dengan urusan agama dan dunia. Oleh karena itu, pada masa Rasulullah s.a.w. tidaklah terjadi perselisihan, khilaf, baik dalam bidang pokok agama maupun dalam bidang cabang – cabang agama. Sesudah Rasulullah s.a.w. wafat barulah timbul perselisihan dalam kalangan umat islam di bidang ushul dan bidang furu’. Perselisihan yang terjadi dikalangan sahabat ialah mengenai pendapat bahwa : “apakah Nabi benar – benar meninggal atau hanya diangkat Allah saja” 3 . Sedang dibidang amaliyah, perselisihan para sahabat ialah dalam hal pemerintahan yaitu mengenai khlifah dan sekitar kaum yang murtad. Akan tetapi, perselisihan – perselisihan yang timbul itu merupakan titik tolak bagi lahirnya berbagai madzhab dikemudian hari. Ada dua golongan sahabat yang melakukan usaha pemebntukan madzhab : 1. Golongan para sahabat yang berani membahas dan menganalisa, dan berani memberi fatwa baru tanpa ragu. Golongan sahabat ini merupakan mereka yang ememahami, mendalami di jiwa syari’at. 2. Golongan para sahabat yang tidak berani memberi fatwa – fatwa terhadap kejadian – kejadian yang baru. Golongan para sahabat ini merupakan mereka yang membatasi diri dalam petunjuk lafaz saja dan mereka hanya menyebut makna yang lahir saja jelas adanya.

b. Faktor – factor yang menimbulkan madzhab

3 Secara umum penyebab muncul adanya madzhab adalah disebabkan oleh tiga factor yang sangat menentukan bagi perkembangan hukum Islam sesudah wafatnya Rasulullah yaitu: 1. Meluasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah-wilayah di semenanjung Arab, Irak, Mesir, Syam, Persia, dll. 2. Pergaulan bangsa Muslimin dengan bangsa yang ditaklukkannya, mereka berbaur dengan budaya, adat-istiadat, serta tradisi bangsa tersebut. 3. Akibat jauhnya Negara-negara yang ditaklukkan dari pemerintahan Islam, membuat para Gubernur, Qadi, dan para Ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap problem dan masalah-masalah baru yang dihadapi. Pada masa tabi’in, ijtihad sudah mempola dua bentuk yaitu yang lebih banyak menggunakan ra’yu yang ditampilkan “Madrasah Kufah”, dan yang lebih banyak menggunakan hadis atau sunnah yang ditampilkan “Madrasah Madinah”. Masing-masing madrasah menghasilkan para mujtahid kenamaan. Pada masa ini para mujtahid lebih menyempurnakan lagi karya ijtihadnya antara lain dengan cara meletakkan dasar dan prinsip-prinsip pokok dalam berijtihad yang kemudian disebut “ushul”. Langkah dan metode yang mereka tempuh dalam berijtihad melahirkan kaidah-kaidah umum yang dijadikan pedoman oleh generasi berkutnya dalam mengembangkan pendapat pendahulunya. Dengan cara ini, setiap mujtahid dapat menyusun pendapatnya secara sistematis, terinci, dan operasional yag kemudian disebut “fiqh”. Mujtahid yang mengembangkan rumusan ilmu ushul dan metode tersendiri disebut “mujtahid mandiri”. Dalam berijtihad, mereka langsung merujuk pada dalil syara’ dan menghasilkan temuan orisinil. Karena antar para mujtahid itu dalam berijtihad menggunakan ilmu ushul dan metode yang berbeda, maka hasil yang mereka capai juga tidak terlalu sama. Jalan yang ditempuh seorang mujtahid dengan menggunakan ilmu ushul dan metode tertentu untuk menghasilkan suatau pendapat tentang hukum, kemudian disebut ‘mazhab’ dan tokoh mujtahidnya dinamai ‘imam mazhab’.

2.2 Macam – macam madzhab a. Imam Hanafi Tahun 80 – 150 H.- Mazhab Hanafi