EFISIENSI PRODUKSI, RISIKO DAN PENENTUAN HARGA POKOK PENJUALAN DAGING SAPI PADA USAHA PENGGEMUKAN SAPI (STUDI KASUS PADA PT. SA DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH PROVINSI LAMPUNG)
EFISIENSI PRODUKSI, RISIKO DAN PENENTUAN HARGA POKOK PENJUALAN DAGING SAPI PADA USAHA PENGGEMUKAN SAPI
(STUDI KASUS PADA PT. SA DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH PROPINSI LAMPUNG)
Oleh MARYANTI
Penelitian ini bertujuan mengkaji : (1) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi daging sapi potong, kondisi skala usahanya, dan tingkat efisiensi proses produksi pada usaha penggemukan sapi potong di PT. SA Lampung Tengah (2) Mengetahui risiko usaha penggemukan sapi potong jantan dan betina di PT. SA Lampung Tenga (3)
Mengetahui besarnya harga pokok penjualan daging sapi agar perusahaan penggemukan menghasilkan laba penjualan (4) Menganalisis upaya-upaya yang harus dilakukan agar harga penjualan daging sapi stabil dan terjangkau masyarakat.
Penelitian dilaksanakan di PT. SA Kecamatan Anak Tuha sebagai sentra produksi daging sapi di Kabupaten Lampung Tengah pada bulan Agustus - Desember 2014. Jumlah sampel adalah 70 sapi jantan dan 70 sapi betina yang diambil secara acak sederhana. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk menghitung faktor-faktor produksi, hasil produksi, harga hasil produksi, dan risiko produksi dan risiko harga. Model yang digunakan dalam penetian ini adalah fungsi produksicobb douglas dan koefisien variasi (CV).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap produksi sapi jantan dan produksi sapi betina adalah pakandischarge, pakanmix,vaksin, dan tenaga kerja. Secara teknis sapi jantan dan sapi betina belum efisien. Skala usaha produksi sapi jantan dan sapi betina pada kondisiincreasing return to scale.(2) Terdapat perbedaan secara nyata risiko produksi dan risiko harga daging sapi jantan dan daging sapi betina, dimana risiko yang dihadapi perusahaan dalam produksi daging sapi jantan lebih besar dibandingkan dengan produksi daging sapi betina, sedangkan risiko harga daging sapi betina lebih besar dibandingkan dengan risiko harga daging sapi jantan. (3) Harga pokok penjualan pada daging sapi jantan didapat Rp. 13.268.010,23 per ekor dan sapi betina Rp. 11.847.909,68 per ekor perbedaan harga pokok penjualan daging sapi karena karkas daging sapi jantal lebih baik dibanding sapi betina. (4) Upaya yang dilakukan untuk menstabilkan daging sapi dalam Negeri yaitu dengan stok nasional daging sapi cukup, tata niaga daging sapi lancar, dan operasi pasar daging sapi oleh Bulog.
(2)
SALES OF BEEF CATTLE FATTENING
(CASE STUDY AT PT. SA IN CENTRAL LAMPUNG REGENCY, PROVINCE OF LAMPUNG)
By MARYANTI
This study aims to assess: ( 1 ) analyze the factors that influence the production of beef cattle , condition scale of its business , and the level of efficiency of production processes in
fattening beef cattle in PT . SA Central Lampung ( 2) Determine the risk of fattening beef cattle males and females in PT . SA Lampung Tenga ( 3 ) Knowing the amount of cost of sales for the company beef feedlot produces gain on sale ( 4 ) Analyze efforts should be made to beef sales prices stable and affordable to the public
Research conducted at PT . SA District of Anak Tuha as beef production center in Central Lampung regency in August-December 2014. The samples was 70 bulls and 70 cows were taken randomly. Data analysis method used is descriptive analysis and quantitative analysis . Quantitative analysis is used to calculate the factors of production , the production, the price of production , and production risk and price risk . The model used in this Penetian is cobb douglas production function and the coefficient of variation ( CV ) .
The results showed that: (1) The factors that significantly affect the production of bulls and cows are feed production discharge, mix feed, vaccines, and labor. Technically, bulls and cows have not been efficiently and economically feed mix and vaccines in the bulls have been efficient, while the cows vaccines and labor is efficient. Scale production enterprises bulls and cows on the condition increasing returns to scale. (2) There is a noticeable difference in production risk and price risk bull beef and beef females, where the risks faced by the company in the production of bull beef is greater than production beef females, while the females beef price risk is greater than the risk of the price of beef bulls. (3) Cost of goods sold on beef steers gained Rp. 13.268.010,23 head live weight and meat cows Rp.
11.847.909,68 head live weight, the difference in cost of sales of beef because beef carcass jantal better than cows. (4) Efforts are being made to stabilize the beef in the State, namely the national stock enough beef, beef trade system smoothly, and operation of the beef market by Bulog.
(3)
SAPI PADA USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG
(STUDI KASUS PADA PT. SA DI KABUPATEN
LAMPUNG TENGAN PROVINSI LAMPUNG
)
Oleh
MARYANTI
NPM.122401016
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
MAGISTER SAIN
Pada
Program Studi Magister Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
MAGISTER AGRIBISNIS
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015
(4)
(5)
(6)
(7)
Penulis dilahirkan di Lampung Selatan, Lampung pada tanggal 03 Maret 1982, anak dari pasangan Nata Sebuay dan Nursiyah.
Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Melati PTPN Pewa Natar 1988, Sekolah Dasar Negeri I Pemanggilan Natar, diselesaikan tahun 1994. Sekolah Menengah Pertama Negeri I Natar, diselesaikan pada tahun 1997. Sekolah Menengah Umum Negeri I Natar, diselesaikan pada tahun 2000. Diploma Satu Bahasa Inggris Lembaga Bahasa Inggris Bandar Lampung tahun 2001. Masuk Universitas Lampung melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada program studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian dan lulus pada September tahun 2006. Pada tahun 2012 penulis mengikuti pendidikan Pasca Sarjana pada Program Magister Agribisnis Universitas Lampung.
Selama di bangku kuliah S1, penulis pernah menjadi Asisten Dosen pada mata kuliah Dasar- Dasar Ilmu Tanah semester genap tahun 2004 dan Asisten Dosen pada mata kuliah Teknologi Pengelolaan Hara Biologis (TPHB) semester ganjil tahun 2005. Pada Tahun 2005 penulis melaksanakan Praktik Umum di
perkebunan tebu PT. Gunung Madu Plantations Gunung Batin, Lampung Tengah.
Penulis memiliki pengalaman organisasi dibangku kuliah S1 di bidang
(8)
Fakultas Pertanian Universitas Lampung tahun 2013 dan anggota Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Komisariat Daerah Lampung (PERHEPI) tahun 2014.
(9)
(Q.S. Al Insyirah : 6)
Allah tidak akan merubah nasib suatu qoum, sebelum
Qoum tersebut merubah Nasibnya Sendiri
(Q.S. Arro’du : 11)
Kesedihan dan kegagalan dalam hidupku bukan suatu
Hambatan untuk melangkah maju
(10)
Kupersembahkan karya ilmiah ini kepada
Almamaterku Tercinta
Kepada Ayah dan Ibu yang telah membesarkanku dan
Menyayangiku dengan ikhlas
Kakak-kakak dan Adikku
(11)
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas nikmat kesehatan dan semangat, sehingga penulis mampu menyelesaikan kuliah dan penelitian dengan judul tesisAnalisis Efisiensi Produksi, Risiko, dan Penentuan Harga Pokok Penjualan Daging Sapi pada Usaha Penggemukan Sapi Potong (Studi Kasus Pada PT. SA di Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung). Tesis merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains Program Pascasarjana Magister Agribisnis Universitas Lampung.
Seiring dengan selesainya penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Pembimbing Utama, pengajar dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dan Bapak Dr. Ir. Erwanto., M.S. selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, waktu dan pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini;
2. Ibu Dr. Ir. Fembriarti Erry Prasmatiwi., M.S. selaku Penguji Utama atas masukan, kritik dan saran yang disampaikan, sangat berguna bagi penyempurnaan tesis ini;
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Ibrahim Hasyim., M.S. selaku pengajar dan Ketua Program Pascasarjana Magister Agribisnis Universitas Lampung;
4. Bapak Dr. Ir. Dwi Hariyono., M.S. selaku pengajar dan pembimbing akademik atas bantuan dan pengarahannya selama penulis menempuh pendidikan
(12)
atas izin, pengertian dan dukungan melanjutkan pascasarjana.
6. Ucapan terimaksih juga penulis sampaikan kepada segenap bapak/ibu pengajar Pascasarjana Magister Agribisnis Universitas Lampung Prof. Bustanul Arifin, Dr. M.Irfan Affandi, Dr. Ir. Hanung Ismono, M.S., Dr. Dyah Aring HL Ir. Adia Nugraha, M.S., Ir. Eka Kasymir, M.Si., Ir. Suriaty Situmorang dan Ir. Hurip Santoso., M.S.
7. Mbak Ai dan timnya atas bantuan dan perhatiannya selama penulis mengikuti pendidikan di Universitas Lampung;
8. Para sahabat seperjuangan dalam suka dan duka di Pasca Agribisnis 2012, Bapak Ir. Suarno Sadar, Ibu Dina Prihatini, SP., Ibu Lidyasari Mas Indah, SP., Inne Indriastuti, SP., Siska Yunita, SP., Hilmiyati, SP., Ibu Sri Ermalia, SP., Ibu Tri Ariyanti, SP., Bapak Ir. Desmon, Ibu Murti Rahayu, SP., Dian Megasari,SP., Dyah Rianita SP., Erfanno Agustian, SP., Sundari Ekawanti, SP., Rio Valentino SP., dan Fadlina Sosiawati, SP, terimakasih atas
kebersamaan, bantuan dan dukungan moril serta perhatian selama penulis menempuh pendidikan hingga selesainya penyusunan tesis ini;
9. Kedua orangtuaku, Bapak Nata Sebuay, Ibu Nursiyah yang telah memberikan semangat untuk terus maju dan do’a dandukungan semangat yang selalu diberikan hingga saat ini;
10. Para sahabat dan patner kerja di lingkungan Japfa Group Tanjung Bintang, Tanjungan Kaliandak, Jabung Lampung Timur dan Bekri Lampung Tengah atas perhatian, pengertian dan dukungannya untuk penulis selama menempuh pendidikan dan penyelesaian tesis.
(13)
persatu, kiranya Allah SWT memberi balasan yang tak terhingga. Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari kesempurnaan, meskipun demikian tetap berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan daerah.
Lampung Selatan, 10 Juli 2015 Penulis
(14)
DAFTAR ISI ... xv
DAFTAR TABEL ... xviii
DAFTAR GAMBAR ... xxi
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian... 13
D. Kegunaan Penelitian ... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 14
A. Tinjauan Pustaka ... 14
1. Pengertian Penggemukkan Sapi ... 14
2. Teori Produksi ... 28
3. Fungsi Produksi Cobb Douglas ... 31
4. Return to scale ... 33
5. Konsep Efisiensi ... 34
6. Risiko Usaha Penggemukkan Sapi ... 36
7. Penentuan Harga Pokok Penjualan ... 40
8. Faktor yang Mempengaruhi Produksi Peternakan ... 45
B. Tinjauan Studi Terdahulu ... 48
C. Kerangka Pemikiran Konseptual ... 51
D. Hipotesis ... 55
III. METODE PENELITIAN ... 56
(15)
D. Metode Analisis Data ... 61
1. Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Produksi ... 62
2. Analisis Skala Usaha ... 68
3. Analisis Efisiensi Produksi Usaha Penggemukkan Sapi ... 69
4. Metode Analisis Risiko ... 72
5. Analisis Harga Pokok Penjualan (HPP) ... 75
IV. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN ... 77
A. Sejarah Umum dan Perkembangan Perusahaan ... 77
B. Visi dan Misi Perusahaan ... 79
C. Jenis Usaha ... 79
D. Sumber dan Mekanisme Pengadaan Bakalan ... 80
1. Pemilihan Bakalan ... 80
2. Transfortasi Bakalan ... 81
E. Proses Penggemukkan Sapi dari Awal sampai Siap Jual ... 83
1. Penanganan Sapi yang Baru Datang ... 83
2. Masa Karantina, Induksi dan Reweight ... 84
3. Managemen Pemberian Pakan ... 85
4. Pemeliharaan Sampai Jual ... 87
F. Pemasaran ... 87
G. Struktur Organisasi ... 89
H. Ketenagakerjaan ... 91
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 93
A. Keadaan Umum Bakalan ... 93
1. Umur Bakalan ... 93
(16)
5. Tenaga Kerja ... 99
B. Estimasi Fungsi Produksi Penggemukan Sapi di PT. SA ... 100
1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Daging Sapi Jantan dan Sapi Betina ... 100
2. Analisis Efisiensi Daging Sapi Jantan dan Sapi Betina ... 107
C. Analisis Risiko Produksi dan Harga Daging Sapi Jantan dan Sapi Betina ... 110
D. Estimasi Analisis Harga Pokok Penjualan (HPP) ... 119
1. Estimasi Harga Pokok Penjualan (HPP) Sapi Jantan dan Sapi Betina ... 119
2. Upaya-Upaya yang di Lakukan Agar Daging Sapi Stabil dan Terjangkau ... 120
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 126
A. Kesimpulan ... 126
B. Saran ... 127
DAFTAR PUSTAKA ... 128
(17)
Tabel Halaman 1. Populasi, Jumlah Pengeluaran, dan Produksi Daging Sapi Potong
Nasional, Tahun 2008 - 2012 ... 3
2. Jumlah Impor Sapi Bakalan dan Daging Sapi Indonesia, Tahun 2008-2012 ... 5
3. Harga Daging Sapi di Pasar Dunia, Konsumen dan Produsen Indonesia, Tahun 2008 - 2012 ... 6
4. Populasi, Pemotongan Ternak, Produksi daging, dan Konsumsi Ternak Sapi Potong Provinsi Lampung, Tahun 2008-2012 ... 8
5. Asal Bahan Baku Pakan PT. SA ... 86
6. Daftar Nama Rumah Potong Hewan PT. SA Group di Indonesia ... 88
7. Umur Bakalan Sapi Jantan dan Sapi Betina ... 93
8. Bahan Pakan Ransum Discharge ... 95
9. Bahan Pakan Ransum Starter ... 96
10. Bahan Pakan Ransum Intermediate... 96
11. Bahan Pakan Ransum Finisher... 96
12. Hasil Regresi Fungsi Produksi Daging Sapi Jantan dan Sapi Betina ... 100
13. Nilai dan Hasil Uji Hipotesis dari Risiko Produksi dan Harga Sapi Jantan dan Sapi Betina di PT. SA ... 114
(18)
14. Biaya Tetap, Biaya Variabel, dan Produksi Sapi Jantan Dan
Sapi Betina ... 119 15. Harga Rata-Rata Beli Bakalan, harga Rata-Rata Jual, Harga
Pokok Penjualan (HPP) Sapi Jantan Dan Betina, dan Harga
(19)
Gambar Halaman
1. Grafik konsumsi daging sapi segar per kapita per tahun,
2010-2014 ... 4 2. Kurva produk total, produk rata-rata, dan produk marjinal ... 31 3. Analisis titik impas ... 43
4. Kerangka pemikiran analisis efisiensi produksi, risiko dan harga
pokok penjualan pada usaha penggemukan sapi ... 54
5. Struktur organisasi pt. sa ... 91
6. Fluktuasi produksi daging sapi per ekor selama 5 musim ternak
terakhir pada sapi jantan dan sapi betina ... 111
7. Fluktuasi harga daging sapi per ekor selama 5 musim ternak
(20)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Masalah
Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber daya hewan dan tumbuhan, sebagai anugerah sekaligus amanah Tuhan Yang Maha Esa. Kekayaan tersebut perlu dimanfaatkan dan dilestarikan untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam rangka memanfaatkan dan melestarikan keanekaragaman hayati tersebut diselenggarakan peternakan dan kesehatan hewan secara sendiri maupun terintegrasi dengan budi daya tanaman pertanian, perkebunan, perikanan, dan kehutanan; dengan pendekatan sistem agrobisnis peternakan dan sistem kesehatan hewan; serta penerapan asas kemanfaatan dan
keberlanjutan, keamanan dan kesehatan, kerakyatan dan keadilan, keterbukaan dan keterpaduan, kemandirian, kemitraan, dan keprofesionalan (Dirjen
(21)
Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan peternakan perlu di kembangkan wawasan dan paradigma baru di bidang peternakan agar investasi, inovasi, dan pemberdayaan di bidang peternakan terus berlanjut dan meningkat sehingga meningkatkan daya saing bangsa dan kesetaraan dengan bangsa lain yang lebih maju. Salah satu cara untuk meningkatkan ketersediaan daging sehat, yaitu dengan penggemukan sapi potong. Usaha penggemukan sapi di Indonesia telah menjadi sebuah industri yang memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir di mana perkembangan usaha ini memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan pertanian maupun perternakan dan memiliki nilai strategis khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan protein hewani dalam negeri serta mempunyai peranan dalam memanfaatkan peluang kesempatan kerja, mengingat setiap tahun penduduk Indonesia terus bertambah yang memerlukan konsumsi daging.
Penduduk Indonesia pada tahun 2014 sebanyak 255,5 juta yang menempati urutan ke empat jumlah penduduk terbanyak di dunia setelah China, India, dan Amerika. Tingginya pertumbuhan penduduk, akan meningkatkan kebutuhan konsumsi daging sapi. Pada tahun 2014 jumlah produksi daging mencapai 452,7 juta ton, adapun sasaran produksi tahun 2019 sebanyak 755,1 juta ton (RPJMN RI 2014-2019).
Disamping tingginya jumlah penduduk, tingkat pendidikan yang makin maju juga turut mendorong permintaan akan produk peternakan. Permintaan tersebut dikarenakan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani yang berasal dari produk-produk peternakan. Meningkatnya tingkat
(22)
pendapatan perkapita juga dapat mengakibatkan daya beli masyarakat terhadap produk peternakan semakin tinggi. Hal-hal tersebut dapat dijadikan peluang untuk mengembangkan usaha penggemukan sapi dan menjadikan usaha penggemukan sapi sebagai lahan usaha yang prospektif untuk dikelola. Disamping itu pengembangan usaha ternak diharapkan dapat memenuhi tantangan dalam ketahanan pangan, lapangan pekerjaan, kesejahteraan masyarakat, serta meningkatkan perekonomian nasional.
Sapi potong merupakan salah satu ternak ruminansia yang mempunyai kontribusi terbesar sebagai penghasil daging. Data populasi, jumlah
pemotongan, dan produksi daging sapi dari Direktorat Jenderal Peternakan (Ditjennak) di Indonesia tahun 2008 hingga tahun 2012 menunjukkan bahwa populasi ternak sapi potong terus mengalami peningkatan setiap tahun.
Jumlah pemotongan sapi potong pun terus meningkat tiap tahun, dan produksi daging juga terus meningkat tiap tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran perlunya protein hewani meningkat sehingga jumlah pemotongan sapi
meningkat tiap tahunnya, dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel.1. Populasi, jumlah pengeluaran, dan produksi daging sapi potong Nasional, Tahun 2008–2012.
Tahun Populasi Ternak (000 ekor)
Jumlah Pemotongan
(000 ekor)
Produksi Daging ( 000 ton)
2008 12.256 1.899 392,5
2009 12.760 2.055 409,3
2010 13.582 2.068 436,5
2011 14.824 2.225 485,3
2012 15.981 2.355 508,9
(23)
Menurut Direktorat Kesmavet (Kesehatan Masyarakat Veteriner), Ditjennak Kementrian Pertanian RI, permintaan daging sapi terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, sejalan dengan peningkatan populasi penduduk dan perbaikan pendapatan yang juga akan mempengaruhi elastisitas permintaan daging sapi. Daging sapi merupakan komoditi yang memiliki elastisitas tinggi terhadap permintaan seiring dengan meningkatnya taraf kesejahteraan hidup masyarakat. Permintaan daging sapi tersebut digambarkan oleh konsumsi daging sapi dalam negeri. Konsumsi daging sapi segar per kapita pada tahun 2010 sebesar 1,76 kg, pada tahun 2011 meningkat menjadi 1,87 kg, pada tahun 2012 meningkat cukup signifikan menjadi 0,2,09 kg, pada tahun 2013 sebesar 2,22 dan pada tahun 2014 sebesar 2,36 kg. Peningkatan daya beli masyarakat akan daging sapi, menunjukkan makin meningkatnya taraf hidup masarakat. Konsumsi daging sapi per kapita per tahun dapat dilihat pada Gambar1.
Gambar 1. Grafik konsumsi daging sapi segar per kapita per tahun, 2010-2014
Sumber : BPS dan Ditjen PKH yang diolah (2014)
0 0.5 1 1.5 2 2.5
2010 2011 2012 2013 2014
K g /k a p it a /t a h u n Tahun
(24)
Peningkatan konsumsi daging sapi belum dapat diimbangi dengan produksi daging sapi yang memadai, baik dari segi mutu maupun jumlahnya, sehingga terjadi perbedaan antara permintaan dan penawaran daging sapi yang dapat menyebabkan terjadi fluktuasi harga daging sapi. Hal ini memaksa pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan impor daging sapi.
Impor komoditas sapi ke Indonesia, baik daging sapi maupun sapi bakalan cukup tinggi. Jumlahnya pun meningkat setiap tahunnya. Selain karena banyaknya permintaan akan daging sapi, tingginya impor juga dikarenakan ketersediaan sapi lokal yang sangat terbatas. Adanya impor ini diharapkan juga dapat menahan laju pemotongan sapi lokal dan menjaga stabilnya harga daging sapi di tingkat konsumen. Jumlah impor sapi di sajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah impor sapi bakalan dan daging sapi Indonesia, 2008-2012
Tahun
Sapi Bakalan
(ekor)
Daging Sapi (ton )
2008 570.100 2.744
2009 657.300 3.787
2010 290.457 4.322
2011 184.955 3.598
2012 283.000 39.419
Sumber : Ditjennak Keswan Kementerian Pertanian, 2013
Pada Tabel 2. Volume impor daging sapi terus meningkat selama 2008-2010, yaitu dari 2.744 ton pada tahun 2008 menjadi 4.332 ton pada tahun 2010, tetapi kemudian turun pada tahun 2011 menjadi 3.598 ton, karena pasokan daging sapi di dalam negeri sudah berlebihan sebagai akibat impor sapi bakalan yang
(25)
terlalu banyak. Pada tahun 2012, volume impor daging sapi melonjak tajam mencapai 39.419 ton karena terjadi kekurangan pasokan daging sapi di dalam negeri sebagai akibat penurunan drastis volume impor sapi bakalan.
Pada tahun 2013 terjadi gejolak pasokan daging sapi yang menyebabkan harga daging sapi di tingkat konsumen melebihi Rp 100.000/kg. Harga daging sapi ada tiga tingkatan, yaitu harga dunia, harga konsumen dan harga produsen, dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Harga daging sapi di pasar dunia, konsumen dan produsen Indonesia 2008-2012
Tahun Dunia (Rp/kg) Konsumen (Rp/kg) Produsen (Rp/kg)
2008 26.049 50.730 46.243
2009 27.413 58.146 55.982
2010 30.532 66.329 60.007
2011 35.455 69.641 61.390
2012 38.412 73.954 65.809
Sumber : Ditjennak Keswan Kementerian Pertanian, 2013
Marjin harga yang sangat tinggi, baik antara harga konsumen dan harga dunia, dan antara harga konsumen dan harga produsen, menunjukkan bahwa pasar daging sapi di dalam negeri bersifat oligopsonistik pada saat importir atau pedagang besar melakukan pembelian dan bersifat oligopsonistik pada saat importir atau pedagang besar melakukan penjualan. Pihak KPPU (Komisi Pengawas Persaiangan Usaha) mencurigai adanya praktek kartel oleh beberapa perusahaan besar yang mengendalikan harga daging sapi di Indonesia. Faktor utama penyebab terjadinya kartel adalah UU tentang Persaingan Usaha yang pelaksanaannya tidak efektif sebagai akibat dari pengawasan oleh KPPU
(26)
(Komisi Pengawas Persaingan Usaha) tidak berjalan karena ada kekuatan struktural yang melindungi praktek kartel.
Dari uraian diatas telah menjadi motivasi tersendiri bagi peternak dalam upaya memenuhi permintaan masyarakat akan kebutuhan daging sapi, sehingga produksi daging sapi dapat mengimbangi konsumsi masyarakat. Harga daging sapi juga cenderung meningkat, sehingga daya beli masyarakat cendrung menurun. Dengan produksi daging sapi melebihi permintaan konsumen, di harapkan harga daging sapi akan stabil. Oleh karena itu usaha ternak sapi potong dapat menjadi lahan usaha yang potensial untuk dikelola, produksi daging sapi juga harus ditingkatkan lagi agar dapat memenuhi kebutuhan daging sapi masyarakat.
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi daging sapi adalah dengan melakukan penggemukan sapi potong. PT SA. sebagai salah satu perusahaan peternakan yang bergerak dibidang penggemukan sapi potong melihat kondisi tersebut sebagai sebuah peluang dan tantangan untuk terus mengembangkan usahanya. Perusahaan ini terletak di Provinsi Lampung tepat nya di Desa Bumi Aji kecamatan Anak Tuha Lampung Tengah yang merupakan perusahaan besar (feedlotter) dengan tujuan komersial dan memenuhi kebutuhan Indonesia khususnya Lampung. Berikut data antara populasi, pemotongan, produksi daging dan tingkat konsumsi ternak sapi potong di Provinsi Lampung tahun 2008–2012.
(27)
Tabel.4. Populasi, pemotongan, produksi daging, dan konsumsi ternak sapi potong ProvinsiLampung Tahun 2008–2012.
Tahun Populasi Ternak (ekor) Pemotongan Ternak (ekor) Produksi Daging Ternak (Kg) Konsumsi Ternak (Kg/Kap/th)
2008 425.526 42.074 1.067.005 7,83
2009 463.032 42.298 1.069.412 7,86
2010 496.066 36.796 9.527.410 7,92
2011 742.776 38.590 10.063.831 7,93
2012 778.050 46.619 9.833.242 7,94
Sumber : Ditjennak Keswan Kementerian Pertanian, 2013
Berdasarkan Tabel 4 Provinsi Lampung memiliki populasi ternak sapi potongnya lebih besar dari pada pengeluaran sapi potong per tahunnya. Populasi ternak sapi potong pada tahun 2012 mencapai 778.050 ekor sapi sedangkan pengeluaran ternak sapi potong untuk dipotong ke masyarakat hanya sebesar 46.619 ekor per tahun dengan produksi daging yang dihasilkan rerata sebesar 9.833.242 kg/tahun, sehingga Provinsi Lampung memiliki surplus ternak sapi potong, dan mampu melakukan ekspor ternak sapi potong ke luar daerah Lampung.
Keberadaan PT SA. turut berkontribusi dalam upaya pemenuhan kebutuhan daging sapi dalam negeri, khususnya Lampung tengah dan sekitarnya karena sekitar 20 persen hasil produksi perusahaan ini dipasarkan di Lampung. Melalui penggemukan sapi yang dilakukan perusahaan ini, sapi-sapi bakalan dipelihara sampai batas waktu tertentu hingga bobot badannya bertambah dan tentunya akan meningkatkan jumlah daging yang dihasilkan juga. Hal tersebut dilakukan guna memenuhi kebutuhan daging sapi yang memerlukan
(28)
pemotongan sapi potong secara kontinu. Tujuan dari penggemukan ternak sapi adalah untuk meningkatkan produksi daging persatuan ekor, meningkatkan jumlah penawaran daging secara efisien tanpa memotong sapi lebih banyak, menanggulangi populasi ternak sapi yang menurun akibat pemotongan dan dapat menghindari pemotongan sapi betina umur produktif (Siregar dan Tambing, 1995).
Oleh karena itu perlu dilihat bagaimana tingkat produksi dari perusahaan tersebut. Jika produksi berada pada tingkat efisien, tentunya dapat memberikan hasil produksi optimum yang akan menghasilkan keuntungan maksimum bagi perusahaan. Sejauh mana tingkat pendapatan peternakan juga akan dilihat agar usaha peternakan ini dapat dijalankan dengan baik. Disamping itu, bagaimana keberlanjutan usaha juga akan coba dijelaskan agar kontinuitas pemotongan ternak dimasa yang akan datang bisa terpenuhi dan usaha dapat bertahan dan tetap berjalan dengan baik.
Faktor produksi merupakan hal penting yang diperlukan dalam agribisnis. Soekartawi (1990) menyatakan bahwa produk-produk pertanian dihasilkan dari kombinasi faktor produksi berupa lahan, tenaga kerja, modal. Dalam
pembangunan pertanian, teknologi penggunaan faktor-faktor produksi memegang peranan penting karena kurang tepatnya jumlah dan kombinasi faktor produksi mengakibatkan rendahnya produksi yang dihasilkan atau tingginya biaya produksi. Rendahnya produksi dan tingginya biaya pada akhirnya akan mengakibatkan rendahnya pendapatan. Secara umum kendala yang dihadapi oleh Perusahaan di Lampung Tengah ini dalam agribisnis
(29)
penggemukan sapi hampir sama dengan permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar perusahaan yaitu sempitnya lahan, kurangnya modal, rendahnya produktivitas tenaga kerja, serangan penyakit, dan kondisi iklim yang terkadang tidak menentu. Kemampuan menggunakan faktor produksi yang terbatas tersebut dalam hal penentuan jumlah dan kombinasi yang tepat akan membantu mengurangi biaya produksi dan mendapatkan produksi yang optimal yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan pengusah. Dengan demikian maka perusahaan dapat menilai apakah sudah efisien dan layak kah perushaan tersebut mengembangkan usaha penggemukan sapi.
B. Perumusan Masalah
Tingginya jumlah pertambahan penduduk tiap tahun, meningkatnya taraf hidup dan tingkat ekonomi masyarakat turut mendorong meningkatnya permintaan konsumsi daging. Hal tersebut menjadi faktor pendorong bagi berkembangnya industri penggemukan sapi, sehingga membuka peluang bagi usaha
penggemukan sapi potong di Provinsi Lampung. Salah satu perusahaan penggemukan sapi yang memiliki skala usaha cukup besar adalah PT. SA yang berada di Lampung Tengah. Perusahaan ini bergerak dibidang
penggemukan sapi potong dengan jumlah ternak mencapai 25.000 ekor dan sebagai memasok daging sapi di Lampung dan sekitarnya. Proses produksi yang dilakukan PT SA. ini merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging sapi. Kegiatan produksi ini tentu saja membutuhkan faktor-faktor produksi yang digunakan untuk memperoleh hasil
(30)
produksinya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka timbul pertanyaan faktor-faktor produksi apa saja yang berpengaruh terhadap output yang dihasilkan.
Dalam menjalankan usahanya, setiap perusahaan pasti akan berupaya untuk menggunakan input sekecil-kecilnya untuk mendapatkan sejumlah output tertentu, begitu juga yang dilakukan oleh PT SA. Output yang dihasilkan disamping dapat memberikan penerimaan pada perusahaan juga dapat membantu memenuhi kebutuhan daging sapi masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan adanya analisis efisiensi produksi untuk mengetahui tingkat
efisiensi produksi perusahaan. Jika produksi berada pada tingkat efisien artinya produksi pada perusahaan dapat mencapai tingkat optimal dimana pada tingkat tersebut perusahaan dapat memperoleh keuntungan yang maksimal.
Selain keuntungan, setiap usaha juga menginginkan agar usahanya dapat terus berjalan. Untuk itu diperlukan analisis skala usaha untuk melihat sejauh mana perusahaan melakukan pengembangan usaha dimasa yang akan datang. Keberlanjutan usaha ini akan dianalisis dari sisi penyediaan sapi bakalan, pakan dan tenaga kerja yang merupakan penunjang keberlangsungan usaha, dengan pengelolaan faktor yang mempengaruhi risiko. Risiko yang sering dihadapi pengusaha adalah fluktuasi hasil produksi dan harga. Faktor risiko ini menyebabkan pengusaha enggan memperluas usahanya karena khawatir adanya kemungkinan merugi. Meskipun usaha penggemukan sapi ini
menjanjikan keuntungan yang tinggi, namun usaha ini memiliki risiko besar, baik risiko produksi, harga, biaya, penerimaan maupun pendapatan.
(31)
Disamping itu, agar konsumen dapat menjangkau pembelian daging sapi maka harga di pasar di usahan stabil tidak meningkat sesuai keinginan produsen maka di perlukan analisis harga pokok penjualan, yang dimaksud dengan harga pokok penjualan adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang yang dijual atau harga perolehan dari barang yang dijual. Apabila harga jual lebih besar dari harga pokok penjualan maka akan diperoleh laba, dan sebaliknya apabila harga jual lebih rendah dari harga pokok penjualan akan diperoleh kerugian.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :
1. Faktor apa saja yang mempengaruhi produksi daging sapi potong, bagaimana kondisi skala usahanya, dan apakah proses produksi daging pada usaha penggemukan sapi potong di PT. SA Lampung Tengah telah efisien?
2. Bagaimana risiko usaha penggemukan sapi potong Jantan dan betina di PT. SA lampung Tengah.
3. Berapa besarkah harga pokok penjualan daging sapi agar Perusahaan penggemukan menghasilkan laba penjualan.
4. Bagaimana upaya-upaya yang harus dilakukan agar harga penjualan daging sapi stabil dan terjangkau masyarakat.
(32)
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi daging sapi potong, kondisi skala usahanya, dan tingkat efisiensi proses produksi pada usaha penggemukan sapi potong di PT. SA Lampung Tengah.
2. Mengetahui risiko usaha penggemukan sapi potong jantan dan betina di PT. SA Lampung Tengah.
3. Mengetahui besarnya harga pokok penjualan daging sapi agar perusahaan penggemukan menghasilkan laba penjualan.
4. Menganalisis upaya-upaya yang harus dilakukan agar harga penjualan daging sapi stabil dan terjangkau masyarakat.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai:
1. Informasi hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan kajian oleh pemerintah untuk menyusun pola kebijaksanaan dalam rangka
pengembangan sapi sistem feedlot di Indonesia, khususnya pada usaha peternakan yang menggunakan sapi impor dari Australia.
2. Informasi hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi peternak dalam menentukan faktor-faktor apa saja yang dapat mempercepat penggemukan sapi, efisien dan berrisiko rendah sehingga usaha penggemukan sapi memberikan keuntungan yang optimal.
(33)
A Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Penggemukan Sapi
Siregar ( 2002), penggemukan sapi pada dasarnya adalah mendayagunakan potensi genetik ternak untuk mendapatkan pertumbuhan bobot badan yang efisien dengan memanfaatkan input pakan serta sarana produksi lainnya, sehingga menghasilkan nilai tambah usaha yang ekonomis. Tujuan dari penggemukan ternak sapi adalah untuk meningkatkan produksi daging persatuan ekor, meningkatkan jumlah penawaran daging secara efisien tanpa memotong sapi lebih banyak, menanggulangi populasi ternak sapi yang menurun akibat pemotongan dan dapat menghindari pemotongan sapi betina umur produktif. Dalam usaha penggemukan sapi potong, selain dapat memperbaiki kualitas daging dan menaikkan harga jual ternak, juga dapat meningkatkan nilai tambah dari pupuk kandang yang dihasilkan ternak sapi. Artinya, pupuk kandang yang diproduksi pada waktu penggemukan itu dapat lebih ditingkatkan nilai ekonomisnya. (Santosa,2008)
Menurut Sugeng, Y.B. (2001), keberhasilan penggemukan sapi potong sangat tergantung pada pemilihan bibit yang baik dan kecermatan selama
(34)
tambahan dapat berasal dari sapi lokal yang dipasarkan di pasar hewan atau sapi impor yang belum maksimal pertumbuhannya. Sebaiknya bakalan dipilih dari sapi yang memiliki potensi dapat tumbuh optimal setelah digemukkan. Prioritas utama bakalan sapi yang dipilih yaitu kurus, berusia remaja, dan sepasang gigi serinya telah tanggal.
Umur sapi yang ideal untuk digemukkan adalah mulai 1,5 sampai 2,5 tahun. Pada umur ini kondisi pertumbuhan tulang sapi sudah mulai maksimal dan hanya tinggal mengejar penambahan massa otot (daging) yang secara praktis dapat dilihat dari gigi yang sudah berganti besar sebanyak 2 sampai 4 buah. Sapi yang sudah berganti gigi besarnya sebanyak 6 buah (3 tahun ke atas) juga cukup bagus. Hanya saja diumur ini sudah muncul gejalafatt(perlemakan) yang tentunya akan berpengaruh dengan nilai jual. Apabila umur sapi masih di bawah umur ideal penggemukan, biasanya proses penggemukannya akan berlangsung lebih lambat karena bersamaan dengan pertumbuhan tulang dan gigi.
Pada umumnya sapi yang digemukkan adalah sapi jantan. Laju pertumbuhan dan penimbunan daging sapi jantan lebih cepat dari sapi betina, terlebih jika sapi jantan tersebut dikebiri. Sapi yang dikebiri proses penimbunan dagingnya cepat, mutu dagingnya lebih baik, empuk, dan lezat. Oleh karena itu, para pengusaha sapi-sapi penggemukan memilih jenis kelamin jantan yang dikebiri sebagai sapi bakalan untuk digemukkan (Sugeng, 1998).
(35)
Menurut Siregar dan Tabing (1995) beberapa sistem penggemukan sapi sebagai berikut :
a. Sistem dry lot fattening
Sistemdry lot fatteningyaitu penggemukan sapi dengan memperbanyak pemberian pakan konsentrat. Jumlah pemberian hijauan hanya relatif sedikit sehingga efisiensi penggunaan pakan lebih tinggi. Perbandingan hijauan dan konsentrat berkisar antara 40:60 sampai 20:80. Perbandingan ini didasarkan pada bobot bahan kering (BK). Penggemukan sistem ini dilakukan di dalam kandang. Pakan hijauan dan konsentrat diberikan kepada sapi di dalam kandang. Jadi, pakan harus disediakan sesuai porsi waktu yang tepat. Pada sistem penggemukan ini sebaiknya hijauan selalu tersedia. Bila sapi masih terlihat lapar, hijauan diberikan lagi sehingga akan berimplikasi pada peningkatan laju pertambahan bobot tubuh. Program penggemukan dengan sistem ini ada yang dimulai dari anak sapi yang masih menyusu (pedet susu), atau anakan sapi perah jantan yang sejak lahir telah diberikan ransum pakan berkualitas tinggi ditempatkan pada kandang khusus.
b. Sistem pasture fattening
Sistem penggemukanpasture fattening, yaitu sapi yang digembalakan di padang penggembalaan sepanjang hari. Dengan sistem ini, ada ternak yang tidak dikandangkan dan ada juga yang dikandangkan setelah malam hari atau pada saat matahari bersinar terik. Padang penggembalaan yang baik adalah padang tersebut ditumbuhi hijauan berupa rumput danleguminosa. Sementara padang penggemabalaan yang hanya ditumbuhi rumput saja berdampak kurang baik bagi laju pertumbuhan sapi. Bila memungkinkan, padang gembalaan yang
(36)
hanya ditumbuhi rumput sebaiknya ditanamileguminosaagar kualitas pakan di padang menjadi lebih baik.Leguminosamempunyai kemampuan untuk
menangkap nitrogen sehingga tanah dibawahnyamenjadi lebih subur dan baik untuk pertumbuhan rumput. Selain itu,leguminosajuga memiliki kandungan protein yang tinggi.
Hal yang harus diperhatikan pada sistempasture fatteningadalah cara penggembalaan dalam rangka memanfaatkan hijauan sebaik mungkin. Pengaturan pemanfaatan hijauan jangan hanya di satu tempat saja. Bisa jadi hijauan pada satu tempat sudah habis, sedangkan di tempat lain masih belum termanfaatkan. Dengan demikian, perlu dilakukan rotasi pemanfaatan untuk mengatur pertumbuhan hijauan yang ada. Selain itu ketersediaan sumber air juga harus tercukupi.
c. Sistem kombinasi dry lot dan pasture fattening
Sistem ini merupakan perpaduandry lot fattening. Pada sistem ini, bila musim hujan berlimpah maka sapi digembalakan di padang gembalaan dan tidak harus dikandangkan. Sementara pada musim kemarau, sapi dikandangkan dan diberi pakan penuh. Pada siang hari digembalakan di padang penggembalaan,
sedangkan pada malam hari sapi dikandangkan dan diberi konsentrat. Sistem penggemukan ini membutuhkan waktu yang lebih lama daripada sistemdry lot fattening, tetapi lebih singkat daripada sistem pasture fattening. Sapi yang awalnya dipelihara di padang penggembalaan, kemudian beberapa bulan sebelum dijual diberi pakan konsentrat penuh, hasilnya lebih baik
dibandingkan sapi yang dari awal pemeliharaan diberi pakan hijauan dan konsentrat secara seimbang.
(37)
d. Sistem kereman
Sistem ini sebenarnya hampir sama dengandry lot fattening, yaitu ternak sapi diberi pakan hijauan dan konsentrat serta sapi dikandangkan selama
pemeliharaan. Bedanya, sistem kereman lebih banyak dilakukan oleh peternak tradisional dan pemberian pakannya masih tergantung dengan kondisi. Bila musim hujan, sapi diberi banyak pakan hijauan, tetapi bila musim kering sapi lebih banyak diberi pakan konsentrat.
Menurut Siregar (2002), cara penggemukan sapi potong sistem kereman dilakukan dengan teknologi pemeliharaan sebagai berikut : (1)sapi dipelihara dalam kandang terus menerus dan tidak digembalakan., ternak sapi hanya sewaktu-waktu dikeluarkan, yakni pada saat membersihkan kandang dan memandikan ternak sapi, (2)semua kebutuhan ternak, baik berupa kandang air minum disediakan oleh peternak secara tak terbatas, (3)cara penggemukan sistem ini mengutamakan pemberian pakan berupa campuran rumput,
leguminosadan makanan penguat, (4)sapi penggemukan tidak untuk dijadikan tenagakerja, hal ini bertujuan agar makanan yang dikonsumsi sepenuhnya diubah menjadi daging dan lemak sehingga pertumbuhan bobot badan
meningkat secara cepat, (5) pada awal masa penggemukan, ternak sapi terlebih dahulu diberikan obat cacing, (6)untuk meningkatkan palatabilitas / nafsu makan perlu diberikan perangsang nafsu makan dan vitamin, (7) lama penggemukan berkisar 4–10 bulan, hal ini tergantung dari kondisi awal dan bobot sapi yang digemukkan.
(38)
Santosa (1995), menyatakan bahwa yang penting untuk diperhatikan dalam pemberian pakan di kandang adalah mengetahui berapa jumlah pakan dan bagaimana keadaan ransum yang diberikan kepada ternak pada berbagai tingkat kelas dan keadaan sapi yang bersangkutan. Pemberian pakan dapat dilakukan dengan dua cara, yaituad libitum(pakan diberikan dalam jumlah yang selalu tersedia), danrestricted(pemberian pakan dibatasi). Cara
pemberianad libitumseringkali tidak efisien karena akan menyebabkan bahan pakan banyak terbuang dan pakan yang tersisa menjadi busuk sehingga
ditumbuhi jamur dan sebagainya yang dapat membahayakan ternak apabila termakan. Oleh karena itu, yang terbaik adalah membatasi pemberian pakan dengan catatan baik kuantitas maupun kualitasnya benar-benar mencukupi kebutuhan. Disinilah pentingnya penyusunan ransum dan pemberian pakan. Dalam menyusun ransum harus diusahakan agar kandungan zat-zat makanan di dalam ransum sesuai dengan zat-zat makanan yang dibutuhkan ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, untuk pertumbuhan, dan untuk
berproduksi.
Menurut Soeparno (1994), pada dasarnya, sumber pakan sapi dapat disediakan dalam bentuk pakan hijauan dan konsentrat. Satu hal yang terpenting adalah pakan dapat memenuhi kebutuhan protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Disamping itu, terdapat juga pakan tambahan yang membuat proses penggemukan sapi berlangsung lebih cepat, efisien, murah, dan mudah diterapkan yaitu sebagai berikut:
(39)
a. Pakan Hijauan
Pakan hijauan adalah semua pakan yang berasal dari tanaman ataupun
tumbuhan berupa daun-daunan, terkadang termasuk batang, ranting, dan bunga. Berdasarkan bentuknya hijauan dibagi menjadi hijauan segar dan hijauan kering. Hijauan segar adalah hijauan yang diberikan dalam keadaan masih segar atau berupa silase. Silase adalah produk hasil fermentasi dan
penyimpanan hijauan segar dalam keadaan anaerob. Sedangkan hijauan kering berupahayyaitu hijauan yang sengaja dikeringkan atau jerami kering.
Umumnya pada ternak sapi potong bahan pakan hijauan diberikan dalam jumlah 10 persen dari bobot badan (Sugeng, 1998).
b. Pakan Konsentrat
Konsentrat adalah makanan utama bagi ternak sapi dengan pemeliharaan feedlots. Dalamfeedlots,untuk memperoleh pertambahan bobot badan yang tinggi dengan waktu relatif singkat, diperlukan pakan yang berkualitas tinggi. Hal ini hanya dapat dicapai dengan tersedianya konsentrat yang cukup tinggi dan tidak mungkin tercapai bila pakannya hanya berupa rumput atau hijauan (Santosa, 2002). Kebutuhan pakan konsentrat pada ternak sapi potong umumnya sebanyak 1 - 2 persen dari bobot badan.
Menurut Siregar (1996), Kandang dapat dibuat dalam bentuk ganda atau tunggal, tergantung dari jumlah sapi yang dimiliki. Pada kandang tipe tunggal, penempatan sapi dilakukan pada satu baris atau satu jajaran, sementara
kandang yang bertipe ganda penempatannya dilakukan pada dua jajaran yang saling berhadapan atau saling bertolak belakang. Diantara kedua jajaran
(40)
tersebut biasanya dibuat jalur untuk jalan. Pembuatan kandang untuk tujuan penggemukan (kereman) biasanya berbentuk tunggal apabila kapasitas ternak yang dipelihara hanya sedikit. Namun, apabila kegiatan penggemukan sapi ditujukan untuk komersial, ukuran kandang harus lebih luas dan lebih besar sehingga dapat menampung jumlah sapi yang lebih banyak.
Lantai kandang harus diusahakan tetap bersih guna mencegah timbulnya berbagai penyakit. Lantai terbuat dari tanah padat atau semen, dan mudah dibersihkan dari kotoran sapi. Lantai tanah dialasi dengan jerami kering sebagai alas kandang yang hangat. Seluruh bagian kandang dan peralatan yang pernah dipakai harus disuci hamakan terlebih dahulu dengan desinfektan, seperti creolin, lysol, dan bahan bahan lainnya.
Secara umum, kandang memiliki dua tipe, yaitu individu dan kelompok. Pada kandang individu, setiap sapi menempati tempatnya sendiri berukuran 2,5 X 1,5 m. Tipe ini dapat memacu pertumbuhan lebih pesat, karena tidak terjadi kompetisi dalam mendapatkan pakan dan memiliki ruang gerak terbatas, sehingga energi yang diperoleh dari pakan digunakan untuk hidup pokok dan produksi daging tidak hilang karena banyak bergerak. Pada kandang kelompok, bakalan dalam satu periode penggemukan ditempatkan dalam satu kandang. Satu ekor sapi memerlukan tempat yang lebih luas daripada kandang individu. Kelemahan tipe kandang ini yaitu terjadi kompetisi dalam mendapatkan pakan sehingga sapi yang lebih kuat cenderung cepat tumbuh daripada yang lemah, karena lebih banyak mendapatkan pakan.
(41)
Pengendalian penyakit,dalam pengendalian penyakit, yang lebih utama dilakukan adalah pencegahan penyakit daripada pengobatan, karena penggunaan obat akan menambah biaya produksi dan tidak terjaminnya keberhasilan pengobatan yang dilakukan.
Menurut Siregar (1996) sapi potong adalah sapi-sapi yang mempunyai kemampuan untuk memproduksi daging dengan cepat, pembentukan karkas baik dengan komposisi perbandingan protein dan lemak seimbang hingga umur tertentu. Sapi potong pada umumnya mempunyai ciri-ciri : (1) Bentuk tubuh yang lurus dan padat, (2) dalam dan lebar, dan (3) badannya berbentuk segi empat dengan semua bagian badan penuh berisi daging. Sapi-sapi yang termasuk dalam tipe sapi potong sebagai berikut:
(a) Sapi Brahman
Brahman merupakan sapi yang berasal dari India, termasuk dalam Bos indicus, yang kemudian diekspor ke seluruh dunia. Jenis yang utama adalah Kankrej (Guzerat), Nelore, Gir,dan Ongole. Sapi Brahman digunakan sebagai penghasil daging. Ciri-ciri sapi Brahman mempunyai punuk besar, tanduk, telinga besar dan gelambir yang memanjang berlipat-lipat dari kepala ke dada. Sapi
Brahman selama berabad-abad menerima kondisi kekurangan pakan, serangan serangga, parasit, penyakit dan iklim yang ekstrim.
Di India menjadikan sapi Brahman mampu beradaptasi dengan berbagai lingkungan. Daya tahan terhadap panas juga lebih baik dari sapi eropa karena memiliki lebih banyak kelenjar keringat, kulit berminyak di seluruh tubuh yang membantu resistensi terhadap parasit. Karakteristik Sapi Brahman berukuran
(42)
sedang dengan berat jantan dewasa antara 800 sd 1.100 kg, sedang betina 500-700 kg. berat pedet yang baru lahir antara 30-35 kg, dan dapat tumbuh cepat dengan berat sapih kompettif dengan jenis sapi lainnya. Persentase karkas 48,6 s.d 54,2%, dan pertambahan berat harian 0,83-1,5 kg. Sapi Brahman
mempunyai sifat pemalu dan cerdas serta dapat beradaptasi dengan
lingkungannya yang bervariasi. Sapi ini suka menerima perlakuan halus dan dapat menjadi liar jika menerima perlakuan kasar. Sapi Brahman warnanya bervariasi, dari abu-abu muda, merah sampai hitam. Kebanyakan berwarna abu muda dan abu tua. Sapi jantan warnanya lebih tua dari betina dan memeliki warna gelap didaerah leher, bahu dan paha bawah.
Sapi Brahman dapat beradaptasi dengan baik terhadap panas, mereka dapat bertahan dari suhu 8-105 F, tanpa ganguan selera makan dan produksi susu. Sapi Brahman banyak dikawin silangkan dengan sapi eropa dan dikenal dengan Brahman Cross (BX)
(b) Sapi Ongole
Sapi Ongole berasal dari India, tepatnya di kabupaten Guntur, propinsi Andra Pradesh. Sapi ini menyebar keseluruh dunia termasuk Indonesia. Karakteristik Sapi ongole merupakan jenis ternak berukuran sedang, dengan gelambir yang lebar yang longgar dan menggantung. Badannya panjang sedangkan lehernya pendek. Kepala bagian depan lebar diantara kedua mata. Bentuk mata elip dengan bola mata dan sekitar mata berwarna hitam. Telingan agak kuat, ukuran 20-25 cm, dan agak menjatuh. Tanduknya pendek dan tumpul, tumbuh
(43)
Warna yang populer adalah putih. Sapi jantan pada kepalanya berwarna abu tua, pada leher dan kaki kadang-kadang berwarna hitam. Warna ekor putih, kelopak mata putih dan otot berwarna segar, kuku berwarna cerah dan badan berwarna abu tua. Sapi ini lambat dewasa, pada umur 4 tahun mencapai dewasa penuh. Bobot sapi 600 kg pada sapi jantan dan 300-400 kg untuk sapi betina. Berat lahir 20-25 kg. persentase karkas 45-58% dengan perbandingan daging tulang.
(c) Sapi Hereford
Sapi ini turunan dari sapi Eropa yang dikembangkan di Inggris, berat jantan rata-rata 900 kg dan berat betina 725 kg. Bulunya berwarna merah, kecuali bagian muka, dada, perut bawah dan ekor berwarna putih. Bentuk badan membulat panjang dengan ukuran lambung besar. Sebagaian sapi bertanduk dan lainnya tidak.
(d) Santa Gertrudis
Sapi ini persilangan dari sapi jantan Brahman dengan sapi betina Shorthorn, dikembangkan pertama kali di King Ranch Texas AS tahun 1943 dan pada tahun 1973 masuk ke Indonesia. Bobot.jantan rata-rata 900.kg dan bobot betina 725.kg. Badan sapi besar dan padat, Seluruh tubuh dipenuhi bulu pendek dan halus serta berwarna merah kecoklatan, Punggungnya lebar dan dada berdaging tebal, Kepala lebar, dahi agak berlekuk dan mukanya lurus, Gelambir lebar berada di bawah leher dan perut, Sapi jantan berpunuk kecil dan kepalanya bertanduk. Berat sapi jantan mencapai 900 kg sedang betina 725 kg. Dibanding sapi Eropa sapi Santa Gertrudis mempunyai toleransi terhadap panas yang lebih baik dan pakan yang sederhana dan tahan gigitan caplak.
(44)
(e) Sapi Brahman Cross
Sapi Brahman di Australia secara komersial jarang dikembangkan secara murni dan banyak disilangkan dengan sapi Hereford Shorthorn (HS). Hasil
persilangan dengan Hereford dikenal dengan nama Brahman Cross (BX). Sapi ini mempunyai keistimewaan karena tahan terhadap suhu panas dan gigitan caplak, mampu beradaptasi terhadap makanan jelek serta mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi (Siregar, 1996).
Sapi Brahman Cross (BX) pada awalnya dikembangkan di stasiun CSIRO’S Tropical Cattle Research Centre di Rockhampton Australia. Materi dasarnya adalah sapi American Brahman, Hereford dan Shorthorn. Sapi BX mempunyai proporsi 50% darah Brahman, 25% darah Hereford dan 25% darah Shorthorn. Secara fi sik bentuk fenotif sapi BX lebih cenderung mirip sapi American Brahman karena proporsi darahnya yang lebih dominan, seperti punuk dan gelambir masih jelas, bentuk kepala dan telinga besar menggantung. Sedangkan pola warna kulit sangat bervariasi mewarisi tetuanya.
Sapi Brahman Cross (BX) memiliki sifat-sifat seperti: (1) persentase kelahiran 81.2%, (2) rataan bobot lahir 28.4 kg, bobot umur 13 bulan mencapai 212 kg dan umur 18 bulan bisa mencapai 295 kg, (3) angka mortalitas postnatal sampai umur 7 hari sebesar 5.2%, mortalitas sebelum disapih 4.4%, mortalitas lepas sapih sampai umur 15 bulan sebesar 1.2% dan mortalitas dewasa sebesar 0.6%, (4) daya tahan terhadap panas cukup tinggi karena produksi panas basal rendah dengan pengeluaran panas yang efektif, (5) ketahanan terhadap parasit
(45)
dan penyakit sangat baik, serta (6) efisiensi penggunaan pakan terletak antara sapi Brahman dan persilangan Hereford Shorthorn.
Jantan kebiri sapi BX di daerah tropik Quensland secara normal performansnya di bawah bangsa sapi eropa. Pada lingkungan beriklim sedang, steer sapi Hereford lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan sapi BX. Lebih lanjut dijelaskan, pada bobot hidup fi nishing yang sama produksi karkas sapi BX lebih berat dibandingkan sapi Frisian karena memiliki persentase karkas (dressing percentage) yang lebih tinggi. Bobot karkas sapi Shorthorn terletak antara sapi Brahman dan Hereford. Persentase karkas sapi Hereford lebih rendah dibandingkan sapi BX dan lebih tinggi dibandingkan sapi Frisian. Karkas sapi Frisian memiliki persentase tulang lebih tinggi dibanding kan sapi Shorthorn dan BX. kadar lemak bervariasi mulai dari 4.2% sampai 11.2%, terendah pada sapi Frisian dan tertinggi pada Shorthorn.
Di Indonesia, sapi BX diimpor dari Australia sekitar tahun 1973 namun penampilan yang dihasilkan tidak sebaik dengan di Australia. Hasil
pengamatan di ladang ternak Sulawesi Selatan memperlihatkan: Persentase beranak 40.91%, Calf crop 42.54%, mortalitas pedet 5.93%, mortalitas induk 2.92%, bobot sapih umur 8-9 bulan 141.5 kg (jantan) dan 138.3 kg (betina), dan pertambahan bobot badan se-belum disapih sebesar 0.38 kg/hari. Sebagian besar sapi di Australia merupakan sapi Amerika Brahman dan Santa Gertrudis yang di impor dari Amerika. Persilangan antara kedua bangsa sapi ini dengan sapi Zebu menghasilkan bangsa sapi yang sama dengan sapi Amerika Brahman dan Santa Gertrudis yakni Brangus dan Braford. Persilangan lebih lanjut
(46)
menghasilkan sapi Droughtmaster yang merupakan hasil persilangan dengan komposisi darah 3/8-5/8 darah Zebu utamanya American Brahman yang di impor dari Texas. Sementara sapi Brangus mempunyai komposisi darah 5/8 Angus dan 3/8 Brahman.
(f) Sapi Limousin
Sapi Limousine merupakan keturunan sapi eropa yang berkembang di Perancis. Tingkat pertambahan badan yang cepat perharinya 1,1.kg. Contoh sapi
Limousine tertera pada gambar 15. Ukuran tubuhnya besar dan panjang serta dadanya besar dan berdaging tebal. Bulunya berwarna merah mulus. Sorot matanya tajam, kaki tegap dengan warna pada bagian lutut kebawah berwarna terang. Tanduk pada sapi jantan tumbuh keluar dan agak melengkung. Bobot sapi jantan 850 kg dan betina 650 kg. dengan pola daging yang ekstrim. Sapi yang asli badannya besar dengan tulang iga dangkal, tetapi akhir-akhir ini ukuran sedang lebih disenangi. Sapi jantan beratnya 1000 sd 1400 kg, sedang betina 600-850 kg. masa produktif sapi betina antara 10-12 tahun.
Sapi Simental dikembangkan Indonesia tahun 1985 melalui semen beku yang dikawinkan dengan sapi PO. Anak sapi yang berumur 2 bulan pertumbuhannya pesat sekali. Sapi berumur 23 bulan dapat mencapai bobot 800 kg dan pada umur 2,5 tahun mencapai 1.100 kg. Di Jawa sapi Simental dikawinkan dengan sapi Friesian Holstein, untuk mendapatkan sapi yang performasinya lebih baik. Perkawinannya dilakukan dengan cara IB, dimana semen yang di pilih sudah diketahui jenis kelaminnya. Anak simental yang dikehendaki adalah yang jantan, karena jika betina produksi susunya dan dagingnya kurang baik.
(47)
2. Teori Produksi
Produksi pada dasarnya merupakan suatu proses penyediaan sejumlah input tertentu untuk mendapatkan sejumlah output tertentu. Hubungan input dan output dapat diekspresikan sebagai sebuah fungsi output :
Q = f (K, L, M) ...(2.1) Dimana Q adalah kuantitas output, K adalah modal, L adalah tenaga kerja, dan M adalah bahan-bahan setengah jadi. Fungsi yang umum digunakan adalah fungsi produksi dengan dua jenis input, yaitu :
Q = f (K, L) ...(2.2) Fungsi produksi tersebut memperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara modal dan tenaga kerja (Nicholson, 1999).
Soekartawi (1990) mendefinisikan fungsi produksi sebagai hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan (X). Variabel yang dijelaskan biasanya berupa output dan variabel yang
menjelaskan berupa input. Fungsi produksi merupakan hubungan fisik atau teknis antara jumlah seluruh faktor produksi yang digunakan dengan jumlah produk yang dihasilkan persatuan waktu, tanpa memperhitungkan harga produksi yang dihasilkan (Mubyarto, 1989).
Secara matematis fungsi produksi diyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
(48)
Keterangan:
Y = Jumlah produk yang dihasilkan. Xn= Faktor produksi ke-i yang digunakan.
f = Fungsi produksi yang menunjukan hubungan dari perubahan input menjadi output.
Menurut Arifin, (1995), persentase perubahan output karena persentase perubahan input disebut elastisitas produksi. Elastisitas produksi juga mengukur tingkat respon suatu fungsi produksi terhadap perubahan
penggunaan input. Secara matematis, elastisitas produksi (EP) dapat dituliskan sebagai berikut:
Ep = dy/y dx/x
Ep = dy . x Ep = PM
dx y PR
Keterangan:
PM = Produk marjinal PR = Produk rata-rata
y = Jumlah output yang dihasilkan x = Jumlah input yang digunakan
Jika Ep lebih besar dari satu , hal itu berarti bahwa output sangat responsif terhadap perubahan input, Ep sama dengan satu berarti persentase perubahan penggunaan input persis sama dengan persentase perubahan output yang dihasilkan, Ep yang lebih kecil dari satu menandakan bahwa output responsif terhadap perubahan input, akan tetapi tingkat responnya mengecil seiring dengan nilai Ep, sedangkan Ep yang lebih kecil dari nol berimplikasi bahwa perubahan penggunaan input justru menurunkan output.
(49)
Berdasarkan hubungan antara PT, PM, PR , dan alastisitas produksi (Ep) dapat ditentukan batas daerah produksi. Daerah produksi I menunjukan nilai Ep > 1, dalam daerah ini penambahan input sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan input yang lebih besar dari satu persen, berarti produksi masih bisa ditingkatkan (increasing rate), daerah ini disebut daerah irasional.
Daerah II (daerah rasional) dengan nilai Ep adalah 0 < Ep < 1, pada derah ini penambahan input sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan
produksi yang tidak proporsional (deminishing rate) namun, pada suatu tingkat tertentu penggunaan input akan memberikan keuntungan yang maksimum, yang berarti penggunaan input sudah optimum (Gambar 2)
Y
PT
Daerah I Daerah II Daerah III
Ep>1 (0<Ep<1) (Ep<0)
PR X PM
Gambar 2. Kurva produk total, produk rata-rata, dan produk marjinal. Sumber : Soekartawi, 1994
(50)
Daerah III (daerah irasional) dengan nilai Ep < 0, pada derah ini penambahan input akan menyebabkan penurunan jumlah output yang dihasilkan, daerah ini mencerminkan penggunaan input yang tidak efisien, pada daerah ini setiap upaya penambahan input tetap akan merugikan peternak .
Daerah I dan daerah III adalah disebut sebagai daerah irasional, pada daerah ini produsen tidak akan memproduksi, karena pada daerah I walaupun
penambahan input akan menambah output (increasing produktivity) tetapi pada titik tertentu produk marjinal (PM) yang dihasilkan akan terus menurun
(deminishing productivity), sedangkan pada daerah III penambahan satu-satuan input akan menurunkan output (decreasing productivity).
Pemilihan model fungsi yang baik haruslah memperhitungkan fasilitas perhitungan yang ada, sesuai dengan realita, dan kemampuan model dalam menggambarkan suatu masalah yang sedang dianalisis. Untuk mendapatkan fungsi produksi yang baik dan benar harus mengikuti pedoman, yaitu: (1) bentuk aljabar fungsi produksi harus dapat dipertanggung jawabkan, (2) bentuk aljabar fungsi produksi harus mempunyai dasar yang rasional baik secara fisik maupun ekonomi, (3) mudah dianalisis, dan (4) mempunyai implikasi
ekonomi. Pada persamaan yang menggunakan tiga variabel atau lebih disarankan untuk menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas.
3. Fungsi Produksi Cobb Douglas
Menurut Nicholson(1999), fungsi produksi Cobb Douglas adalah fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut variabel dependen atau yang dijelaskan (Y), dan yang lain disebut
(51)
variabel independen atau variabel yang menjelaskan (X) (Soekartawi, 1994). Secara matematis fungsi Cobb-Douglas dapat dirumuskan sebagai berikut :
Y = boX1b1X2b2...Xnbneu...(2.4)
Keterangan : bo = Intersep
bn = Koefisien regresi penduga variabel ke-n n = Jumlah faktor produksi
Y = Produksi yang dihasilkan
X = Faktor Produksi yang digunakan e = 2.7182 (bilangan natural)
u = Kesalahan
Untuk memudahkan analisis maka fungsi produksi Cobb-Douglas ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma linier sebagai berikut :
Ln Y = lnbo+ b1ln X1+ b2ln X2+ .... + bnLn Xn+ u ...(2.5)
Dalam fungsi produksi Cobb Douglas ini terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi:
(1) Tidak ada nilai pengamatan bernilai nol. Sebab logaritma nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui.
(2) Dalam fungsi produksi, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan. Ini artinya jika fungsi Cobb-Douglas yang dipakai sebagai model dalam suatu pengamatan dan bila diperlukan analisis yang memerlukan lebih dari satu model, maka perbedaan model tersebut terletak pada intercept dan bukan pada kemiringan garis (slope) model tersebut.
(52)
(4) Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim adalah sudah tercakup pada faktor kesalahan.
Meskipun bentuk fungsi ini mudah diubah ke dalam linier sederhana, namun berkenaan dengan asumsi yang melekat padanya, bentuk Cobb-Douglas mempunyai banyak keterbatasan diantaranya; (1) elastisitas produksi adalah konstan, (2) elastisitas substitusi input bersifat elastis sempurna atau, (3) elastisitas harga silang untuk semua faktor dalam kaitannya dengan harga input lain mempunyai besaran dan arah yang sama, dan (4) elastisitas harga
permintaan terhadap harga output selalu elastis.
Menurut Soekartawi (1994), Penggunaan fungsi produksi Cobb-Douglas mempunyai beberapa kelebihan, yaitu: (1) mempunyai parameter yang dapat diduga dengan metode kuadrat terkecil dan langsung menunjukkan elastisitas produksi, (2) perhitungannya sederhana karena dapat ditransfer ke bentuk linier, dan (3) jumlah elastisitasnya menunjukkan skala usaha yang sedang berlangsung. Kelemahan dari fungsi produksi Cobb-Douglas ini adalah sering terjadi multikolinieritas, untuk mengatasi ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu: (1) mencari informasi pendahulu, (2) mengeluarkan satu atau lebih variabel pengganggu, (3) transformasi tabel, dan (4) penambahan data baru.
4. Return To Scale
Return to scale(RTS) atau keadaan skala usaha perlu diketahui untuk mengetahui kombinasi penggunaan faktor produksi. Menurut Soekartawi (2003), terdapat tiga kemungkinan dalam nilaireturn to scale, yaitu:
(53)
(a) Decreasing return to scale, bila (b1 + b2 + … + bn) < 1, dapat diartikan bahwa proporsi penambahan faktor produksi lebih kecil dari proporsi
penambahan produksi.
(b) Constan return to scale, bila (b1 + b2 + … + bn) = 1, dapat diartikan bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan proporsional dengan proporsi penambahan produksi yang diperoleh.
(c) Increasing return to scale, bila (b1 + b2 + … + bn) > 1, dapat diartikan bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar.
5. Konsep Efisiensi
Efisiensi merupakan hasil perbandingan antara output fisik dan input fisik. Semakin tinggi rasio output terhadap input maka semakin tinggi tingkat efisiensi yang dicapai. Efisiensi yang dijelaskan oleh Marhasan, A. (2005) sebagai pencapaian output maksimum dari penggunaan sumber daya tertentu. Jika output yang dihasilkan lebih besar dari sumber daya yang digunakan maka semakin tinggi pula tingkat efisisensi yang dicapai.
Konsep efisiensi semakin diperjelas oleh Soekartawi (1994) yang membagi efisiensi menjadi dua jenis yaitu:
(1) Efisiensi Teknis
Efisisensi teknis atautechnical efisiensimengharuskan atau mensyaratkan adanya proses produksi yang dapat memanfaatkan input yang lebih sedikit demi menghasilkan output dalam jumlah yang sama.
(54)
(2) Efisiensi Ekonomis
Konsep yang digunakan dalam efisiensi ekonomi adalah meminimalkan biaya artinya suatu proses produksi akan efisien serta ekonomis pada suatu tingkatan output apabila tidak ada proses lain yang dapat dihasilkan output serupa dengan biaya yang lebih murah. Selain itu, menurut Marhasan (2005) yang menyatakan bahwa tingkat efisiensi yang tinggi tercapai pada saat kondisi optimal terpenuhi yaitu apabila tidak ada lagi kemungkinan menghasilakan jumlah produksi yang sama dengan menggunakan input yang lebih sedikit dan tidak ada kemungkinan menghasilkan produk yang lebih banyak dengan menggunakan input yang sama.
Efisiensi juga diartikan upaya penggunaan input yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan produksi sebesar-besarnya. Situasi yang demikian akan terjadi jika petani mampu membuat suatu upaya yaitu jika nilai produk marginal (NPM) untuk suatu input sama dengan harga input tersebut, atau dapat ditulis sebagai berikut (Soekartawi 1994):
NPMx = Px ... (2.6) atau
NPMx = 1 ... ... (2.7) Px
Efisiensi yang demikian disebut dengan efisiensi harga atauallocative
efficiencyatau disebut juga sebagaiprice efficiency. Jika keadaan yang terjadi adalah:
NPMx <1 .. ... (2.8) Px.
(55)
maka penggunaan input x tidak efisien dan perlu mengurangi penggunaan input.
NPMx >1.. ... (2.9) Px.
maka penggunaan input x tidak efisien dan perlu menambah penggunaan input.
Menurut Nicholson (1995), alokasi sumber daya disebut efisien secara teknis jika alokasi tersebut tidak mungkin meningkatkan output suatu produk tanpa menurunkan produksi jenis barang lain. Farrel dan Kartasapotra dalam
Marhasan 2005 mengklasifikasikan konsep inefisiensi ke dalam efisiensi harga (price or allocative efficiency) dan efisiensi teknis (technical efficiency).
6. Risiko Usaha Penggemukan sapi
Hasil peternakan secara umum tergantung pada faktor alam dan pasar.
Keberhasilan berproduksi sangat ditentukan oleh bagaimana pengusaha dapat mengatur secara baik input-input yang digunakan untuk menghasilkan output dalam jumlah yang optimal dalam mengatasi berbagai kendala yang
ditimbulkan oleh alam maupun perkembangan pasar. Faktor alam seperti curah hujan dan gangguan penyakit kuku dan mulut dapat menimbulkan risiko dan ketidakpastian atas kinerja usaha peternakan, termasuk faktor pasar yang sulit dipastikan, juga dapat menimbulkan risiko dan ketidakpastian dalam usaha penggemukan sapi.
(56)
Menurut kamus Websters Third News International Dictionary (1963) dalam Soekartawi (1993), istilah risiko atau risk dimaksudkan kepada terjadinya kemungkinan merugi yang peluang kejadiannya telah diketahui terlebih dahulu, sedangkanuncertaintyatau ketidakpastian adalah sesuatu yang tidak dapat diramalkan sebelumnya dan karenanya peluang terjadinya merugi belum diketahui sebelumnya. Suatu situasi dikatakan berisiko apabila situasi yang dihadapi mirip dengan apa yang pernah terjadi pada masa lalu dan informasi tentangoutcomespilihan-pilihan tindakan yang diambil di masa lalu dapat digunakan dalam pembentukan fungsi kepekatan peluang untukoutcomers pilihan tindakan saat ini. Risiko ketidakpastian menjabarkan suatu keadaan yang memungkinkan adanya berbagai macam hasil usaha atau berbagai macam akibat dari usaha-usaha tertentu. Kegagalan dalam mencapai pendapatan yang diharapkan diantaranya disebabkan oleh adanya berbagai risiko yang tidak bisa diselesaikan (Kadarsan, 1995).
Menurut Dillon dan J.Brian (1980), dalam menghadapi risiko dan
ketidakpastian diperlukan suatu strategi. Strategi untuk menanggulangi risiko dan ketidakpastian yaitu :
1. Asuransi risiko
Kebijakan asuransi berguna ketika kemungkinan terjadinya peristiwa itu rendah, tapi peristiwa itu terjadi maka berarti bencana besar. Dengan kata lain, asuransi sebaiknya digunakan pada keadaan dimana kemungkinan memperoleh kerugian yang rendah.
(57)
2. Kontrak
Pasar ijon salah satu sistem kontrak pada dunia usaha. Pasar ijon merupakan sarana yang diperbolehkan pengusaha membuat kontrak/perjanjian penjualan atas produksi tertentu untuk dijalankan pada suatu waktu tertentu dimasa mendatang. Pasar ijon merupakan mekanisme untuk mengurangi
ketidakpastian harga dengan penentuan harga yang harus dibayar setelah panen atau pada saat yang diusagakan siap dipasarkan. Walaupun harga dan
variabilitas pendapatan akan lebih rendah bila dibandingkan dengan harga yang ditetapkan pada awal masa produksi.
3. Fasilitas dan alat yang fleksibel
Fasilitas khusus akan memungkinkan berlangsungnya produksi pada kurva perencanaan jangka panjang.
4. Diversifikasi
Diversifikasi adalah strategi yang telah lama digunakan oleh pengusaha untuk mengatasi ketidakpastian harga dan output. Ide yang melatar belakangi strategi diversivikasi adalah untuk menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi dari satu jenis usaha dan dapat menutup kerugian dari usaha lainnya.
5. Program-program pemerintah
Pemerintah pusat mengusahakan program-program yang menyediakan
pendukung pendapatan dan harga bagi para pengusaha. Kebijakan pemerintah sejak tahun 70-an berpindah dari program mandatory (yang diwajibkan) menjadi program yang memperbolehkan pengusaha memutuskan sendiri berpartisipasi atau tidak. Program pemerintah tersebut antara lain adanya
(58)
kebijaksanaan penentuan harga dan upaya penganggulangan gagal panen penyakit .
Menurut Kadarsan (1992) ada beberapa hal penyebab risiko, yaitu
ketidakpastian produksi, tingkat produksi, tingkat harga, dan perkembangan teknologi sebagai berikut:
(a) Risiko produksi
Risiko produksi dipengaruhi oleh alam seperti cuaca, hama penyakit, suhu, kekeringan, dan banjir. Risiko berubah secara regional dan tergantung pada ketersediaan bakalan dan pakan.
(b) Risiko biaya
Risiko biaya terjadi akibat fluktuasi harga sarana-sarana produksi, seperti bakalan, pakan, dan obat-obatan.
(c) Risiko teknologi
Risiko teknologi terjadi pada inovasi teknologi baru disektor pertenakan, seperti inseminasi buatan.
Risiko dan ketidakpastian tidak dianggap berbeda karena keduanya dapat dihitung probabiltasnya, hanya dibedakan jika risiko berhubungan dengan peluang obyektif, sedangkan ketidakpastian berhubungan dengan peluang subyektif. Peluang subyektif tergantung pada subyektifitas orang yang mengetahui berlangsungnya peristiwa yang terjadi pada suatu saat
(Imelda, 2008). Koefisien variasi (CV) merupakan ukuran risiko relatif yang diperoleh dengan membagi standar deviasi dengan nilai yang diharapkan
(59)
(Pappas dan Hirschey, 1995). Secara matematis risiko produksi dan risiko pendapatan dirumuskan sebagai berikut :
(a) Resiko Produksi : CV = Č...(2.10) (b) Resiko Harga : CV = ...(2.11)
Keterangan :
CV= koefisiens variasi σ = standar deviasi Č = rata-rata produksi (kg) Q = rata-rata harga (Rp)
ӯ = rata-rata pendapatan (Rp)
Besarnya nilai koefisien variasi menunjukkan risiko relatif usaha ini. Nilai koefisien variasi yang kecil menunjukkan variabilitas nilai rata-rata pada karakteristik tersebut rendah. Hal ini menggambarkan risiko yang akan dihadapi petani untuk memperoleh produksi, harga, dan pendapatan rata-rata tersebut kecil. Sebaliknya nilai koefisien variasi yang besar menunjukkan variabilitas nilai rata-rata pada karekteristik tersebut tinggi. Hal ini
menggambarkan risiko yang akan dihadapi petani untuk memperoleh produksi, harga atau pendapatan rata-rata tersebut besar.
Hal yang penting dalam pengambilan keputusan adalah perhitungan batas bawah hasil tertinggi. Penentuan batas bawah ini untuk mengetahui jumlah hasil terbawah tingkat hasil yang diharapkan.
7. Penentuan Harga Pokok Penjualan
Harga pokok penjualan adalah gambaran jumlah pengorbanan yang harus dijadikan pengorbanan oleh produsen pada waktu pertukaran barang dan
(60)
jasa (Mulyadi, 2007). Harga pokok penjualan diperoleh dengan membandingkan total seluruh biaya dengan volume produk yang
dihasilkan. Tujuan perhitungan harga pokok penjualan adalah sebagai dasar penetapan harga di pasar, untuk menetapkan pendapatan yang diperoleh pada proses pertukaran barang atau jasa dan sebagai alat untuk penilaian efisiensi pada proses produksi.
Menurut Manullang (1996), harga pokok penjualan adalah jumlah biaya seharusnya untuk memproduksikan suatu barang ditambah biaya seharusnya lainnya hingga barang itu berada di pasar. Tujuan dilakukannya perhitungan harga pokok adalah :
1. untuk menentukan harga jual;
2. untuk menetapkan efisien tidaknya suatu perusahaan; 3. untuk menentukan kebijakan dalam penjualan;
4. sebagai pedoman dalam pembelian alat-alat perlengkapan baru; 5. untuk perhitungan neraca.
Harga pokok merupakan hubungan antara jumlah pengeluaran, dan berhubungan dengan biaya, pendapatan dan laba. Penentuan harga pokok penjualan dapat di hitung melalui :
(a) Konsep perhitungan harga pokok melalui Break Even Point Analisis
Menurut Soemarsono (1990), analisis titik impas adalah suatu teknik analisis untuk mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, keuntungan dan volume kegiatan. Analisis ini disebut juga “
(61)
cost-profit-volume analysis” karena mempelajari hubungan antara
biaya-keuntungan-volume kegiatan. Volume penjualan dimana penghasilannya (revenue) tepat sama besarnya dengan biaya totalnya, sehingga
perusahaan tidak mendapatkan keuntungan atau menderita kerugian dinamakan break even point. Menurut Mulyadi (2007), dalam
penghitungan titik impas perlu ditetapkan terlebih dahulu biaya variabel dan biaya tetap. Besarnya biaya variabel secara totalitas akan berubah-ubah sesuai dengan perberubah-ubahan volume produksi, sedangkan besarnya biaya tetap secara totalitas tidak mengalami perubahan meskipun ada perubahan volume produksi. Dalam melakukan analisis titik impas, digunakan asumsi-asumsi dasar sebagai berikut :
(1) Biaya di dalam perusahaan dibagi dalam golongan biaya variabel dan golongan biaya tetap.
(2) Besarnya biaya variabel secara totalitas berubah-ubah secara proporsionil dengan volume produksi/penjualan. Ini berarti bahwa biaya variabel per unitnya adalah tetap sama.
(3) Besarnya biaya tetap secara totalitas tidak berubah meskipun ada perubahan volume produksi/penjualan. Ini berarti bahwa biaya tetap per unitnya berubah- ubah karena adanya perubahan volume kegiatan.
(62)
Gambar 3. Analisis Titik Impas Sumber : Mulyadi, 2007
Keterangan :
P =Price(Harga) Y = Kuantitas Produk
TR =Total Revenue (PenerimaaTotal) FC = Fixed Cost(Biaya Tetap)
TC =Total Cost (Biaya Total)
Break even point atau titik impas adalah jumlah hasil penjualan dimana usaha tidak mengalami rugi, tetapi tidak memperoleh keuntungan. Keadaan titik impas merupakan pengukuran totalitas biaya sama dengan total pendapatan (TC = TR) sehingga tidak ada keuntungan maupun kerugian. Totalitas biaya terdiri dari biaya tetap (fixes cost) dan biaya tidak tetap (variable cost).
Menurut Bilas (1984) bahwa total cost adalah penjumlahan antara total fixes cost dan totak variabel cost (TC = TFC + TVC). Sedangkan pengertian harga pokok (HP) adalah harga ketetapan pokok setelah diketahui besarnya biaya terhadap banyaknya produksi/unit yang dihasilkan. Menurut Soemarsono (1990) Harga pokok sebagai patokan harga jual yang merupakan penjumlahan
(63)
nilai bahan baku ditambah dengan biaya proses produksi sama dengan harga barang yang dijual per satuan Unit. Dapat dirumuskan sebagai berikut :
BEP (Q) = ...(2.13)
BEP (Np) = ...(2.14)
BEP (PXQ) = ...(2.15)
Keterangan :
Π = TR– TC, BEP terjadi saat π = 0--- TR = TC TR = Penerimaan total
TC = Biaya Total P = harga / unit
Q = jumlah produk yang dihasilkan dan dijual TFC = biaya tetap
TVC = biaya variabel total AVC = biaya variabel rata-rata
Perhitungan dapat di perluas melalui pendekatan titik impas (BEP) untuk menentukan tingkat pengeluaran yang akan menghasilkan tingkat laba yang di inginkan. Dari rumus diatas jika sesuai biaya dapat di kalkulasikan dalam harga pokok berarti harga pokok tidak dapat di hindarkan dan di duga sebelumnya secara kuantitatif dan kualitatif serta melalui grafik guna memprediksi keuntungan yang di dapat. Menurut Bilas (1984) dalam
menentukan harga pokok yang seimbang yang diturunkan dari struktur biaya yaitu :
Jika harga pokok = ACmin< harga jual, berarti kondisi harga pokok dalam keadaan kesetimbangan.
(64)
Jika harga pokok = ACmin< harga jual, berarti kondisi harga pokok dalam keadaan tidak kesetimbangan.
(b) Harga Jual
Menurut Harsen dan Mowen (2001) harga jual adalaah kompensasi uang atau barang yang di butuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi barang dan jasa, perusahaan menentapkan harga produknya dengan harapan akan laku terjual dan mendapat keuntungan yang maksimum. Menurut Mulyadi (2007), harga jual sama dengan biaya produksi ditambah dengan mark up atau juga di sebuat sejumlah biaya yang di keluarkan perusahaan untuk memproduksi suatu barang dan jasa di tambah dengan persentase laba yang diinginkan perusahaan dengan rumus :
HPP = BT ...(2.16) Q
Dimana :
HPP = BTT + BVT ...(2.17) Q
Keterangan :
BT : Biaya total (Rp) BTT: Biaya tetap (Rp) BVT: Biaya variabel (Rp) Q : Produksi sapi (Kg)
8. Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Peternakan
Faktor produksi merupakan benda-benda yang disediakan oleh alam atau diciptakan oleh manusia yang dapat digunakan untuk memproduksi barang barang atau jasa, Serta faktor-faktor produksi yang tersedia dalam
(65)
perekonomian akan menentukan sampai kapan atau sampai dimana suatu perusahaan dapat menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa ( Soekirno, 2005).
Suatu fungsi produksi akan berfungsi ketika terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi output produksi. Faktor- faktor yang mempengaruhi produksi penggemukan sapi yang merupakan hubungan antara faktor produksi input dan faktor produksi output, yaitu sebagai berikut :
a. Faktor produksi input
(1) Bobot tubuh awal adalah jumlah berat badan tertimbang sapi-sapi bakalan saat awal penggemukan. Sebaiknya pemilihan bakalan yang lebih muda (umur 1–2,5 tahun) mempunyai tekstur daging yang lebih halus,
kandungan lemak yang lebih rendah, dan warna lemak daging yang lebih muda sehingga menghasilkan daging dengan ke empukan yang lebih baik dibandingkan dengan sapi tua (umur di atas 2,5 tahun).
(2) Pakan discharge/hijauan yaitu pakan yang berasal dari hijauan daun seperti tebon jagung, legume dan lainnya berkisar 15-20%. Sapi untuk tujuan penggemukan membutuhkan pakan dengan kandungan serat kasar level tertentu agar rumen dapat berfungsi dengan baik dan menjamin pertumbuhan yang normal. Maka kecukupan pakan hijauan sangan menentukan pertumbuhan sapi.
(3) Pakan Konsentrat yang baik untuk penggemukan sapi 80-85%. Apabila pakan konsentrat melibihi 80% maka akan dapat menyebabkan penyakit lambung.
(1)
✡ ☛6
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
(1) Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap produksi sapi jantan dan produksi sapi betina adalah pakandischarge, pakanmix,vaksin, dan tenaga kerja. Secara teknis sapi jantan dan sapi betina belum efisien karena hasil penjumlahan∑ bi lebih dari 1 (satu). Skala usaha produksi sapi jantan dan sapi betina pada kondisiincreasing return to scale. (2) Terdapat perbedaan secara nyata risiko produksi dan risiko harga daging
sapi jantan dan daging sapi betina, dimana risiko yang dihadapi perusahaan dalam produksi daging sapi jantan lebih besar
dibandingkan dengan produksi daging sapi betina, sedangkan risiko harga daging sapi betina lebih besar dibandingkan dengan risiko harga daging sapi jantan.
(3) Harga pokok penjualan pada daging sapi jantan didapat Rp.
13.268.010,23 per ekor dan sapi betina Rp. 11.847.909.68 per ekor, perbedaan harga pokok penjualan daging sapi karena karkas daging sapi jantal lebih baik dibanding sapi betina.
(4) Upaya yang dilakukan untuk menstabilkan daging sapi dalam Negeri yaitu dengan stok nasional daging sapi cukup, tata niaga daging sapi lancar, dan operasi pasar daging sapi oleh Bulog.
(2)
☞ ✌ ✍
B. Saran
(1) Efisiensi usaha penggemukan sapi potong di kabupaten Lampung Tengah di tempuh melalui upaya peningkatan penggunaan pakan dan tenaga kerja, serta penggunaan vaksin berupa obat-obatan sesuai anjuran dan kebutuhan unit usaha penggemukkan sapi jantan dan Betina akan mulai efisien jika di usahakan dalam jumlah besar.
(2) Perlu dilakukan upaya stabilisasi harga melalui pengendalian jumlah impor dan evaluasi terhadap kebijakan impor yang selama ini diberlakukan. (3) Dalam rangka pencapaian swasembada daging sapi tahun 2014-2019
diperlukan upaya pengembangan usaha penggemukan sapi potong yang diarahkan kepada daerah-daerah potensial yang memiliki keunggulan komparatif . Upaya tersebut dapat dilakukan pemerintah melalui suplai pasokan bibit sapi unggul dan pakan ternak dengan harga yang terjangkau oleh peternak.
(3)
✎ ✏8
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Y.I., Muhammad,.I.S., Nuhfil, H., dan Syafrial. (2013), Measurement of Farm Level Efficiency of Beef Cattle Fattening in West Java Province, Indonesia. Journal of Economics and Sustainable Development, 4(10), 2013.
Arfa’i. 1992. Analisis Pungsi Produksi dan Biaya Produksi Perusahaan Peternakan Sapi Potong di Kecamatan Cicurug Kabupaten Sukabumi. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Arifin, B. 1995. Ekonomi Produksi Pertanian. Diktat Kuliah. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Arifin, Bustanul. 2012. Kebijakan Perdagangan Pangan. Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2009. Prospek dan Arah
Pengembangan Agribisnis Sapi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Badan Pusat Statistik Lampung. 2013. Lampung Dalam Angka. Bandar Lampung: BPS Propinsi Lampung.
Beattie B.R., dan Taylor C.R. 1994. Ekonomi Produksi. Gajah Mada Universitas Press. Jakarta
Bilas, R.A. 1984. Teori Ekonomi Makro. Edisi Kedua. Penerbit Erlangga. Jakarta. Bowker, W.A.T., R.G. Dumday, J.E. Frisch, R.A. Swan and N.M. Tulloh, 1978. A
Course Manual and Beef Cattle Management and Economic. A.A.U.C.S. Canberra Australia.
Buletin Peternakan Vol. 35. 2011. Evaluasi Pengembangan Sapi Potong. Papua Barat : Fakultas Peternakan, Perikanan dan Ilmu Kelautan UNP.
Haryono, D., F. E. Prasmatiwi, D. A.H. Lestari, W. A. Zakaria. 2005. Buku Ajar Teori Ekonomi Mikro. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian. Bandar Lampung.
Debertin, D.L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan Publishing Company, New York
(4)
✑ ✒✓ Dinas Peternakan Provinsi Lampung. 2012.Perkembangan Populasi Ternak ( Ekor )
Tahun 2010-2011.Lampung: Dinas Peternakan Provinsi Lampung.
Dinas Peternakan Provinsi Lampung. 2013.Buku Saku Peternakan 2013. Bandar Lampung.
Direktorat Jendral Peternakan Dan Kesehatan Hewan. 2013.Statistik Peternakan Dan Kesehatan Hewan.Jakarta : Direktorat Jendral Peternakan.
Direktorat Pangan dan Pertanian (2013), Studi Pendahuluan : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Pangan dan Pertanian 2015-2019. Bapennas. Jakarta.
Doll, J.P. and F. Orazem. 1984. Production Economics: Theory with Applications. John Wiley and Son, New York
Elly, F.H. 2008. Dampak Biaya Transaksi terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Peternak Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara.Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Gujarati, D. 1997. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Hasyim, A. I. 2012. Tata Niaga Pertanian. Bandar lampung: Penerbit Universitas Lampung.
Hamdani, D. 2001. Estimasi Elastisitas Produksi dan Analisis Efisiensi Ekonomis Usaha Penggemukan Sapi Potong. Fakultas Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hayden, J.M., J.E. Williams and R.J. Collier, 1993. Plasma Growth Hormone Insuline
Like Growth Factor, Insulin and Thyroid Hormon association with Body Protein and Fat Accreation in Streers Undergoing Compensatory Gain After Dietary Energy Restriction. J. Anim. Sci.71(120); 3327.
Harmini, Ratna, W.A., dan Juniar, A., 2011. Model Dinamis Sistem Ketersediaan Daging Sapi Nasional. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 12 (1), 2011
Gusti,I.L.M. 1995. “ Sistem Produksi Usaha Penggemukan Sapi Rakyat dan
Kontribusinya Terhadap Pendapatan Petani Di Pulau Lombok. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Imelda, 2008. Analisis Prilaku Petani Terhadap Risiko Usaha Tani Lidah Buaya di Pontianak (Tesis). Ilmu Pertanian. Universitas Gadjah Mada.
Iswandono S.P. 1985. Ekonomi Mikro Prilaku Konsumen. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
Jurnal Teknologi Pertanian. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong berorientasi Agribisnis dengan Pola Kemitraan.Kalimantan Selatan: BPTP Kalsel.
(5)
✔ ✕✖ Kadarsan, Halimah W. 1992. Keuangan Pertanian dan Pembiayaan Perusahaan
Agribisnis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Kay M. and R. Housseman. 1975. The Influence of Sex on Meat Production. In Meat. Edited by Cook DJ, Lawrrie RA. London. Butterworth.
Manullang. 1996. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Cetakan ke 17. Liberty. Yokjakarta.
Marhasan, A., 2005.Analisis Efisiensi Ekonomi Usahatani Murbei Dan Kokon DiKabupaten Enrekang. Diakses 14 Januari 2011
Mubyarto. 1989.Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta.
Mulyadi. 2007. Akutansi Biaya Edisi ke Lima. Sekolah tinggi Ilmu Managemen YKPN. Yokjakarta.
Nicholson, W. 1999. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Terjemahan.Edisi Kedelapan. Erlangga, Jakarta.
Pappas, J.M., dan Hirschey. 1995. Ekonomi Manajerial. Penterjemah : Daniel Wirajaya. Jilid 2. Bina Aksara. Jakarta
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Makanan dan Ternak Ruminansia. UI Press, Jakarta. Hal 371-374.
Patterson, D.C.,R.W. J. Steen and D.J. Kilpatrick, 1995. Growth and Development in Beef Cattle. I. Direct and Residual Effect of Plane of Nutrition During Early Life on Components of Gain and Food Efficiency. J. Agri Sci. 124 (1) 91-100.
Petrus, S., Dwiyanto, T., Panggabean, R., Matondang, N. Supriyatna, I.G. Putu, dan A. Suparyanto (1997). “ Studi Potensi Sapi Bakalan Lokal Untuk Usaha
Penggemukan Komersil (Feedlot)”. 527-537.
Mlote1,S.N., N. S. Y. Mdoe, A. C. Isinika and L. A. Mtenga (2013). “Estimating technical efficiency of small scale beef cattle fattening in the lake zone in Tanzania” ISSN Vol.5(5):197-207.
Santosa, U. 2008. Mengelola Peternakan Sapi Secara Profesional. Penebar Swadaya, Jakarta
Sidauruk, R., L. Cyrilla dan J. Atmakusuma.2001. Analisis Efisiensi Pola Usaha Sapi Potong di Bekasi Jawa Barat (Kasus di PT. Lembu Jantan Perkasa). Jurnal Media Peternakan, 24(1) : 128-135.
Siregar, S.B. 1996. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Siregar, S.B. 2002. Pengembangan Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta. Siregar, S.B. 2013. Bisnis Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta.
(6)
✗ ✘✗ Siregar, S.B. dan S.N. Tabing. 1995. Analisis Penggemukan Sapi Potong di Desa
Gebang, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Soekartawi. 1989. Analisis Fungsi Cobb-Douglas: Teori dan Aplikasinya. Malang. Soekartawi. 1990. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Teori dan Aplikasi. Rajawali
Press. Jakarta.
Soekartawi. 1994. Teori Ekonomi Produksi. Raja Grafindo Persada. Jakarta Soekartawi, 2003,Teori Ekonomi Produksi Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi
Cobb Douglas, Cetakan ke-3, Rajawali Pers, Jakarta
Soemarsono, S.R. 1990. Penetapan Harga Pokok dalam Penentuan Harga Jual. PenerbitRineka Cipta. Jakarta.
Soeparno, 1994. Sadar Giji Penerapan Ilmu dan Teknologi dalam Industri Daging Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar 29 Desember 1994 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Sugeng, Y.B. 1998.Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sugeng, Y.B. 2001. PenggemukkanSapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta Sukirno S. 1994. Pengantar Teori Mikroekonomi. Rajawali Pers. Jakarta.
Trestini, S. 2006. Technical Efficiency of Italian Beef Cattle Production Under Heteroscedastic Non-neutral Production Frontier Approach. Paper Presented at the 10th Joint Conference on Food, Agriculture and the Environment, Duluth, Minnesota, August 27-30, 2006.
Trobos Livestock. 2013. Breeding Farm Giat Ekspansi. Jakarta: Penerbit Pt Permata Wacana Lestari. Edisi 166/Tahun XIV/Juli 2013
Trobos Livestock. 2014. Masih Kesandung Jagung. Jakarta: PT Permata wacana Lestari. Edisi 161/Tahun XIV / Juli 2013.
Trobos Livestock. 2014. Obsesi Bebas Brucellosis. Jakarta: PT Permata wacana Lestari. Edisi 178/Tahun XV / Juli 2014.
Yusdja, Y. dan N. Ilham. 2004. Tinjauan kebijakan Pengembangan Agribisnis Sapi Potong.Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian,2(2): 167-182.