Latar Belakang Daftar Tabel

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelaksanaan operasional perbankan tidak dapat terhindar dari adanya gangguankerusakan yang disebabkan oleh alam maupun manusia misalnya terjadi gempa bumi, bom, kebakaran, banjir, kesalahan teknis, kelalaian manusia, demo buruh dan huru-hara. Kerusakan yang terjadi tidak hanya berdampak pada kemampuan teknologi suatu bank, tetapi juga berdampak pada kegiatan operasional bisnis bank terutama pelayanan kepada nasabah. Bila tidak ditangani secara serius, selain bank akan menghadapi risiko operasional, juga akan mempengaruhi risiko reputasi dan berdampak pada menurunnya tingkat kepercayaan nasabah kepada bank. Untuk meminimalisasi risiko tersebut, bank diharapkan memiliki Business Continuity Plan BCP atau Rencana Kelangsungan Bisnis, yaitu suatu kebijakan dan prosedur yang memuat rangkaian kegiatan yang terencana dan terkoordinir mengenai langkah-langkah pencegahan dan pemulihan system pada saat terjadi gangguan bencana yang disebabkan oleh faktor internal atau eksternal. Tujuan utama BCP ini adalah agar kegiatan operasional bank dan pelayanan kepada nasabah tetap dapat berjalan. Rencana pemulihan tersebut melibatkan seluruh sumber daya, Teknologi Informatika TI termasuk sumber daya manusia yang mendukung fungsi bisnis dan kegiatan operasional yang kritikal bagi bank. Pedoman Penerapan Manajemen Risiko Dalam Penggunaan TI Oleh Bank Umum, 2007:61 Bank Indonesia adalah merupakan satu-satunya lembaga penyelenggara Sistem Kliring Nasional SKNBI di Indonesia yang sangat dibutuhkan bagi terselenggaranya transaksi pembayaran antar bank sehingga wajib menjaga Universitas Sumatera Utara kehandalan dan kelancaran penyelenggaraannya baik dalam keadaan normal maupun pada saat terjadinya gangguan atau ancaman. Penyelenggaraan Kliring SKNBI ini terbagi dua yaitu di pusat sebagai Penyelenggara Kliring Nasional PKN dan di daerah sebagai Penyelenggaraan Kliring Lokal PKL. Penyelenggaraan kliring SKNBI ini juga wajib memiliki Bussiness Continuity Plan BCP sesuai diatur dalam Surat Edaran SE Nomor 1234DASP tanggal 22 Desember 2010. Belajar dari pengalaman penanggulangan bencana yang telah menimpa di beberapa daerah yang juga dialami Bank Indonesia seperti bencana alam Tsunami di Banda Aceh dan bencana gempa bumi di Sumatera Barat pada kenyataannya penaggulangan bencana masih lambat, memerlukan waktu yang cukup lama, rata- rata waktu memerlukan lebih dari 14 empat belas hari untuk dapat mengatasi dan memulai penyelenggaraan pelayanan kliring. Sementara untuk target jangka pendek yang sangat dibutuhkan masyarakat Banda Aceh pada saat itu adalah kelancaran pengedaran uang tunai untuk pembayaran gaji pegawai negeri sipil dan TNI dapat dibayar pada tanggal 3 Januari 2005. Lamanya waktu penanggulangan ini mengakibatkan downtime sehingga Bank Indonesia mengalami kerugian yaitu mengurangi penerimaan BI, kerugian perbankan dan masyarakat. Lokasi Bencana Tanggal Kejadian Tanggal Uji Coba SKNBI Keterangan Gempa Bumi dan Tsunami Aceh 26 Des.2004 15 Jan.2005 Operasional Kliring Lokal masih terbatas Gempa Bumi di Padang 30 Sep.2009 17 Okt.2009 Operasional Kliring Lokal masih terbatas. Pengalaman ini sangat menarik untuk kaji dan dianalisis, karena ketentuan BCP yang dimiliki Bank Indonesia belum handal dalam memandu proses pelaksanaan tahapan pemulihan pasca bencana. Universitas Sumatera Utara Dalam penerapan BCP di negara lain yang menjadi suatu tolok ukur kesuksesan dalam menjalankan dan mempraktekan BCP adalah seperti kejadian bencana tsunami yang melanda Jepang pada tanggal 11 Maret 2011. Hampir seluruh kegiatan bisnis di Jepang dan secara tidak langsung berpengaruh juga terhadap kegiatan bisnis di dunia. Namun, terdapat beberapa perusahaan, salah satunya yaitu perusahaan Toyota yang mampu menjaga kelangsungan bisnisnya. Toyota mampu memulai kembali kegiatan bisnis tidak lama setelah bencana tersebut, yaitu pada tanggal 17 Maret 2011. Bencana-bencana yang dialami apabila tidak diantisipasi penanggulangannya akan berakibat resiko kerugian diantaranya waktu untuk mencapai pemulihan dan kerugian keuangan akibat menanggung biaya-biaya dalam pemulihan situasi untuk menjadi normal kembali. Berikut ini adalah gambaran pemulihan proses bisnis menggunakan BCP. Gambar 1 : Gambaran Proses Pemulihan e-Indonesia Initiative 2011 Gambar 1 di atas menjelaskan bahwa pada saat kondisi normal, kapabilitas proses bisnis organisasi mencapai 100. Namun kemudian terjadi bencana ataupun 100 Kondisi Normal Kapasitas Waktu Business Continuity Plan A B Universitas Sumatera Utara gangguan yang menimpa organisasi. Kelangsungan bisnis organisasi akan terganggu untuk beberapa saat. Garis A menujukkan pemulihan proses bisnis tanpa melalui BCP, sedangkan garis B menunjukkan pemulihan proses bisnis menggunakan BCP. Tampak jelas pada gambar tersebut, dengan menggunakan BCP, kelangsungan proses bisnis organisasi dapat terjaga dengan waktu yang tidak terlalu lama. Tanpa disadari akibat munculnya bencana pada suatu perusahaan akan terjadi downtime sehingga berdampak pada Revenue, Market Share, Customer Loyalty, Reputation and Brand Equity, Competitiveness, Productivity, Security, Goodwill dan Trust. Dalam tabel dibawah ini kita dapat melihat berapa kerugian yang diderita apabila terjadi downtime dalam berbagai perusahaan. Tabel 1.1 High Cost Of Downtime, sumber Meta Group Universitas Sumatera Utara Tabel 1.2 Total cost of worst incident on average, sumber : information security breaches survey 2004 Mengingat Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia yang memiliki kewenangan tunggal dalam penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional dan yang telah mengeluarkan peraturan kepada bank-bank melalui Peraturan Bank Indonesia PBI No.915PBI2007 tanggal 30 November 2007 tentang kewajiban bank-bank di Indonesia melaksanakan BCP secara efektif dalam penerapan Manajemen Risiko, maka selayaknya Bank Indonesia baik di Kantor Pusat sebagai Penyelenggara Keliring Nasional maupun di daerah-daerah sebagai Penyelenggaran Kliring Lokal harus dapat menerapkan BCP dilingkungan intern organisasinya secara baik dan efektif. Apalagi untuk menghindari downtime pada masa yang akan datang akan menjadi permasalahan apabila masyarakat akan menuntut untuk meminta kompensasi akibat downtime yang terlalu lama sehingga diperlukan langkah penerapan BCP yang baik, efektif dan efisien. Disamping itu diperlukan suatu langkah-langkah untuk menjalankan BCP melalui tersusunnya SOP yang lengkap dan sistematis sehingga setiap pelaksana Universitas Sumatera Utara di unit kliring dapat mengatasi kesulitan melakukan perbaikan dan pemulihan dari gangguan dan bencana yang menghentikan kegiatan operasional kliring. Dari uraian diatas sangat menarik untuk dilakukan analisis faktor-faktor yang mendasari berhasil tidaknya penerapan BCP dalam penyusunan langkah- langkah menuju kelangsungan penyelenggaraan kliring dengan melakukan : 1. Identifikasi dan inventarisasi bentuk bencana sebagai potensi gangguan dan ancaman dalam penyelenggaraan kliring, 2. Menyusun langkah-langkah penanggulangan bencana dengan berpedoman pada ketentuan SE No.1234DASP tanggal 22 Desember 2010 dan bentuk- bentuk bencana yang telah diidentifikasiinventarisasi. Dari analisis faktor-faktor tersebut di atas maka dapatlah dilakukan penyusunan SOP Standard Operating Procedure yang diuraikan secara kasus perkasus bencana. Gambar 2 : Proses penyusunan SOP dalam pelaksanaan BCP Mengingat pentingnya kelangsungan pelaksanaan operasional Sistem Pembayaran terutama dalam pelaksanaan penyelenggaraan kliring SKNBI maka diperlukan pembahasan dan Analisis Business Continuity Plan pada Unit Penyelenggaraan Kliring KPw BI Wilayah IX Sumut dan Aceh yang merupakan Pelaksana Kliring Lokal di wilayah Medan dan sekitarnya.

1.2 Rumusan Masalah