Landasan Teori TINJAUAN PUSTAKA

dilakukan oleh Tamba dan Sijabat meneliti tentang pemberdayaan PKL yang berada di Yogyakarta, sedangkan Adianto yang meneliti tentang pedagang kaki lima yang berjualan diatas trotoar. Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang adalah kebijakan yang digunakan yang disesuaikan dengan peraturan daerah pada masing-masing daerah, dan penelitian terdahulu meneliti tentang lokasi yang digunakan oleh para pedagang kaki lima sedangkan penelitian sekarang adalah mengenai kebijakan retribusi dan pelangaran yang dilakukan oleh para pedagang kaki lima di alun-alun kota Sampang.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Kebijakan Publik

2.2.1.1.Pengertian Kebijakan Publik Pengertian kebijakan publik menurut United Nations 2004:3 yang mengemukakan kebijakan publik adalah suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu yang suatu rencana. Kartasasmita 1997:142, mengartikan kebijakan publik merupakan upaya untuk memahami dan mengartikan 1 apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah megnenai suatu masalah, 2 apa yang menyebabkan atau yang mempengaruhinya, dan 3 apa pengaruh dan dampak dari kebijakan publik tersebut. Anderson dalam Islamy 1994:19 mengartikan kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu. Pengertian kebijakan publik menurut Anderson dalam Lembaga Administrasi Negara 2000:2 mengartikan kebijakan publik sebagai suatu respons dari sistem politik terhadap demandsclaim dan supports yang mengalir dari lingkungannya. Sedangkan menurut Dunn dalam Syafi’i, dkk 1990:107 menyatakan bahwa kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan- pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau penjabat pemerintahan, seperti pertahanan, keamanan, kesejahteraan masyarakat, pendidikan, kriminalitas, dan kesehatan. Freidrich dalam Wahab 1991:13 mengartikan kebijakan sebagai suatu tindakan yang mengarah pada rujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Kemudian menurut Easton dalam Muchsin dan Fadillah 2002:24 menyatakan kebijakan publik adalah sebuah proses pengalokasian nilai- nilai secara paksa kepada seluruh masyarakat yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang sebagai pemerintah. Atas dasar pengertian tersebut dapat ditemukan elemen yang terkandung dalam kebijakan publik sebagaimana apa yang dikemukakan oleh Anderson dalam Islamy 1994:202 yang antara lain mencakup beberapa hal berikut: 1. Kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu. 2. Kebijakan berisi tindakan atau pola tindakan penjabat-penjabat pemerintah. 3. Kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah dan bukan apa yang bermaksud akan dilakukan. 4. Kebijakan Publik bersifat positif merupakan tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu dan bersifat negatif keputusan penjabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu. 5. Kebijakan publik positif selalu berdasarkan pada peraturan perundangan tertentu yang bersifat memaksa otoritatif. Berdasarkan pengertian dan elemen yang terkandung dalam kebijakan sebagaimana telah disebutkan, maka kebijakan publik dibuat dalam kerangka ”untuk memecahkan masalah dan untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu yang diinginkan”. Kebijakan publik ini berkaitan dengan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah dan bukan sekedar apa yang ingin dilakukan. Wahab, 1991:13 Kebijakan publik dibuat bukan tanpa maksud dan tujuan. Maksud dan tujuan kebijakan publik dibuat adalah untuk memecahkan masalah publik yang tumbuh kembang di masyarakat. Masalah tersebut begitu banyak macam, variasi, dan intensitasnya. Oleh karena itu, tidak semua masalah publik bisa melahirkan suatu kebijakan publik. Hanya masalah publik yang dapat menggerakkan orang banyak untuk ikut memikirkan dan mencari solusi yang bisa menghasilkan sebuah kebijakan publik. Oleh kerena itu, merumuskan masalah kebijakan publik merupakan tahapan yang esensial dalam proses kebijakan publik. 2.2.1.2.Dimensi Kebijakan Publik Bridgeman dan Davis dalam Suharto 2006:8, yang menerangkan bahwasannya kebijakan publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang saling bersangutan satu sama lain, yakni sebagai pilihan tindakan yang legal atau sah secara hukum authoritative shoice, sebagai hipotesis dan sebagai tujuan. 1. Kebijakan publik sebagai tindakan yang legal Pilihan tindakan dalam kebijakan yang bersifat legal atau otoritatif karena dibuat oleh orang yang memiliki legitimasi dalam system pemerintahan. Keputusan-keputusan itu mengikat para pegawai negeri untuk bertindak atau mengarahkan pilihan tindakan atau kegiatan seperti menyiapkan rancangan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dipertimbangkan oleh parlemen atau mengalokasikan anggaran guna mengimplementasikan program tertentu. Meskipun demikian, keputusan-keputusan legal belum tentu dapat direalisasikan seluruhnya. Selalu saja ada ruang atau kesenjangan antara harapan dan kenyataan, antara apa yang sudah direncanakan dan apa yang dapat dilaksanakan. Kebijakan sebagai keputusan legal bukan juga berarti bahwa pemerintah selalu memiliki kewenangan dalam menangani berbagai isu. Setiap pemerintahan biasanya bekerja berdasarkan warisan kebiasaan-kebiasaan pemerintahan terdahulu. Rutinitas birokasi yang diterima biasanya merefleksikan keputusan kebijakan lama yang sudah terbukti efektif jika diterapkan. Dalam konteks ini, adalah penting mengembangkan kebijakan yang partisipatif dan dapat diterima secara luas sehingga dapat menjamin bahwa usulan dan aspirasi masyarakat dapat diputuskan secara teratur dan mencapai hasil yang baik. Kebijakan publik lahir dari dunia politik yang melibatkan proses kompleks. Gagasan dapat datang dari berbagai sumber, seperti kepentingan para politisi, lembaga-lembaga permerintah, interpretasi para birokrat, serta intervensi kelompok-kelompok kepentingan, media dan warga Negara. Inti dari dunia poltik adalah lembaga eksekutif, yakni kelompok menteri yang menduduki posisi puncak dan mewakili kewenangan pemerintah atas nama parlemen. Para menteri tidak saja memahami nuansa poltik pekerjaannya, melainkan pula menghargai bahwa dirinya dan para pemain lain dalam pemerintahan memerlukan arahan-arahan kebijakan. Kekuasaan diwujudkan melalui kemampuan melahirkan keputusan-keputusan yang dinyatakan secara jelas dan terarah. Melalui kebijakan-kebijakan, pemerintahan membuat ciri khas kewenangannya. Karena dari kompleksitas dunia politik harus dibuat pilihan-pilihan tindakan yang sah atau legal untuk mencapai tujuan tertentu. Kebijakan kemudian dapat dilihat sebagai respon atau tanggapan resmi terhadap isu atau masalah publik. Hal ini berarti bahwa kebijakan publik adalah: a. Intensonal atau memiliki tujuan. Kebijakan publik berarti pencapai tujuan pemerintah melalui penerapan sumber-sumber publik. b. Menyangkut pembuatan keputusan-keputusan dan pengujian konsekuensi-konsekuensinya. c. Terstruktur dengan para pemain dan langkah-langkahnya yang jelas dan terukur. d. Bersifat politis yang mengekspresikan pemilihan prioritas-prioritas program lembaga eksekutif. 2. Kebijakan publik sebagai hipotesis Kebijakan dibuat berdasarkan teori, model atau hipotesis mengenai sebab dan akibat. Kebijakan-kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi-asumsi mengenai perilaku. Kebijakan selalu mengandung insentif yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu atau disinsentif yang mendorong orang tidak melakukan sesuatu. Kebijakan harus mampu menyatukan perkiraan-perkiraan proyeksi mengenai keberhasilan yang akan dicapai dan mekanisme mengatasi kegagalan yang mungkin terjadi. Namun demikian, kebijakan bukanlah laboratorium tempat uji coba. Biasanya sulit untuk mengevaluasi asumsi-asumsi perilaku sebelum sebuah kebijakan benar-benar dilaksanakan. Pemerintah mungkin memperkirakan bahwa sebuah paket pengurangan pajak akan mendapat respon positif dari rakyat. Tetapi, hingga pemerintah mengumumkan pengurangan itu dan mengukur dampaknya, para menteri harus selalu waspada karena akibat yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut belum tentu sesuai dengan perkiraan sebelumnya. Kebijakan biasanya diciptakan dalam situasi ketidakpastian dan diuji oleh lingkungan dimana ia diterapkan. Para pembuat kebijakan belajar dengan menemukan dan memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam membuat asumsi-asumsi dan model-model kebijakan. Sebuah proses kebijakan yang baik biasanya merumuskan asumsi-asumsinya secara jelas sehingga para pelaksana kebijakan memahami teori dan model kebijakan yang mendukung keputusan-keputusan dan rekomendasi-rekomendasi di dalamnya. Memahami kebijakan sebagai hipotesis memerlukan kalkulasi- kalkulasi ekonomi dan social dari para penasihat dan pembuat kebijakan. Memandang kebijakan sebagai hipotesis juga menekankan pentingnya pelajaran dan temuan-temuan dari hasil implementasi dan evaluasi. Pembuatan kebijakan yang baik didasari kemampuan dalam memahami pelajaran-pelajaran dan pengalaman-pengalaman kebijakan dan menerapkan pelajaran itu dalam rangka perumusan kebijakan berikutnya. Karena banyaknya pemain dan kepentingan dalam perumusan sebuah kebijakan, mengintegrasikan pengalaman penerapan kebijakan dengan perbaikan kebijakan berikutnya tidak selalu mudah dilakukan. Temuan-temuan di lapangan mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan perlu dicatat dan didokumentasikan secara baik dalam sebuah naskah kebijakan sehingga dapat dipelajari dan disebarluaskan. 3. Kebijakan publik sebagai tujuan Kebijakan adalah means to an end, atau untuk mencapai sebuah tujuan. Kebijakan publik pada akhirnya menyangkut pencapaian tujuan publik. Artinya, kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publik sebagai konstituen pemerintah. Proses kebijakan harus membantu para pembuat kebijakan merumuskan tujuan-tujuannya. Sebuah kebijakan tanpa tujuan tidak memiliki arti, bahkan tidak mustahil akan menimbulkan masalah baru. Misalkan, sebuah kebijakan yang tidak memiliki tujuan yang jelas, program- program akan diterapkan secara berbeda-beda, strategi pencapaiannya menjadi kabur, dan akhirnya para analis akan menyatakan bahwa pemerintah telah kehilangan arah. Karenanya, sebuah kebijakan yang baik akan menghindari jebakan ini dengan jalan merumuskan secara eksplisit: a. Pernyataan resmi mengenai pilihan-pilihan tindakan yang akan dilakukan. b. Model sebab dan akibat yang mendasari kebijakan. c. Hasil-hasil yang dicapai dan kurun waktu tertentu. Proses pengembangan kebijakan yang efektif memperhatikan keselarasan antara usulan kebijakan dengan agenda san strategi besar grand design pemerintah. Melalui konsultasi dan interaksi, tahapan perumusan kebijakan menekankan konsistensi sehingga kebijakan yang baru tidak bertentangan agenda dan program pemerintah yang sedang dilaksanakan. Kebijakan publik dibuat oleh banyak orang dalam suatu rantai pilihan-pilihan yang meliputi analisis, implementasi, evaluasi dan rekonsiderasi pertimbangan kembali. Koordinasi ini hanya dimungkinkan jika tujuan-tujuan kebijakan dinyatakan secara jelas dan teratur. Manakalah tujuan-tujuan kebijakan tidak jelas atau berlawanan arah satu sama lain, kebijakan hanya memiliki sedikit kesempatan untuk berhasil. Penetapan tujuan merupakan langkah utama dalam sebuah proses lingkaran pembuatan kebijakan. Penetapan tujuan juga merupakan kegiatan yang paling penting karena hanya tujuanlah yang dapat memberikan arah dan alasan kepada pilihan-pilihan publik. Dalam kenyataannya, pembuat kebijakan seringkali kehilangan arah dalam menetapkan tujuan-tujuan kebijakan. Solusi kerapkali dipandang penting daripada masalah. Padalah yang terjadi seringkali sebaliknya dimana sebuah solusi yang baik akan gagal jika diterapkan pada masalah yang salah Suharto, 2005a. Di sini, identifikasi masalah dan kebutuhan menjadi sangat penting. Kebijakan yang baik dirmuskan berdasarkan masalah dan kebutuhan masyarakat. Aktivitas kebijakan sangat cepat bergerak. Setelah keputusan dibuat, kegiatan-kegiatan untuk menerapkan keputusan tersebut harus segara dipersiapkan, waktu dan kewenangan yang tersedia guna mendukung arah yang dipilih umumnya sangat terbatas dan karenannya menuntut penyesuaian. Pilihan-pilihan kebijakan yang telah dipilih tidak menutup kemungkinan menjadi sedikit berbeda dengan piihan-pilihan sebelumnya. Tujuan-tujuan kebijakan yang sudah ditetapkan juga biasanya sedikit melenceng dikarenakan adanya akibat-akibat yang terjadi di luar perkiraan. Akibat sampingan ini hanya bisa diketahui setelah kebijakan diterapkan. Selain mempengaruhi pencapaian tujuan kebijakan, akibat sampingan tentu saja ‘mengganggu’ hasil-hasil kebijakan yang telah ditetapkan dan bahkan tidak jarang menciptakan masalah-masalah baru yang tidak kompleks. Agar kebijakan tetap berfokus pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, pembuatan kebijakan harus dilandasi oleh lingkaran tahapan kebijakan yang meliputi perencanaan dan evaluasi. Dalam sebuah lingkaran perumusan kebijakan, pilihan-pilihan tindakan yang legal dibuat berdasarkan hipotesis yang rasional guna mencapai tujuan-tujuan kebijakan yang ditetapkan. Rumusan sederhana ini menunjukkan hubungan antara ketiga dimensi kebijakan di atas. Artinya, kebijakan publik sebagai pilihan tindakan legal, sebagai hipotesis dan sebagai tujuan merupakan tiga serangkai yang saling mempengaruhi satu sama lain. Ketiganya merupakan persyaratan sekaligus tantangan bagi kebijakan publik yang efektif.

2.2.2. Implementasi Kebijakan

Dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan. Untuk melukiskan kerumitan dalam proses implementasi tersebut dapat dilihat pada pernyataan yang dikemukakan oleh seorang ahli studi kebijakan Bardach dalam Agustino 2008:138 yaitu: “adalah cakup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit bagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengena bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka anggap klien”. Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier 1983:61 mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai : pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan yang ingin diatasi, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan dan mengatur proses implementasinya. Sedangkan Van Meter dan Van Horn dalam Agustino 2008:139, mendefinsikan implementasi kebijakan, sebgaai tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau penjabat-penjabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan. Dari tiga definisi tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal,yaitu : 1. Adanya tujuan atau sasaran kebijakan 2. Adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan 3. Adanya hasil kegiatan. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dinama pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Lester dan Stewart Jr dalam Agustino 2008:139, dimana mereka katakan bahwa implementasi sebagai suatu proses dan suatu hasil. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir, yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih. Dalam rangka untuk mengimplementasikan kebijakan publik ini dikenal dengan beberapa model,antara lain Agustino, 2008:139:

1. Model Gogin

Untuk mengimplementasi kebijakan dengan model Gogin ini dapat mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan fomal pada keseluruhan implementasi, yakni; 1 Bentuk dan isi kebijakan,termasuk di dalamnya kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, 2 Kemampuan organisasi dengan segala sumber daya berupa dana maupun insentif lainnya yang akan mendukung implementasi secara efektif, dan 3 pengaruh lingkungan dari masyarakat dapat berupa karakteristik ,motivasi, kecenderungan hubungan antara warga masyarakat, termasuk pola komunikasinya.

2. Model Grindle

Sebagaimana dikutip oleh Wahab 2001 Grindle menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan kebijakan dan hasil- hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan yang terdiri dari: 1 Kepentingan- kepentingan yang dipengaruhi, 2 Tipe-tipe manfaat, 3 derajat perubahan yang diharapkan, 4 Letak pengambilan keputusan, 5 Pelaksanaan program, dan 6 Sumber daya yang dilibatkan .Isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan oleh sejumlah besar pengambilan kebijakan, sebaliknya ada kebijakan tertentu yang lainnya hanya ditentukan oleh sejumlah kecil 1 unit pengambil kebijakan.Pengaruh selanjutnya adalah lingkungan yang terdiri dari: 1 kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, 2 karakteristik lembaga penguasa, dan 3 kepatuhan dan daya tanggap.Karenanya setiap kebijakan perlu mempertimbangkan konteks atau lingkungan dimana tindakan administrasi dilakukan.

3. Model Meter dan Horn

Model implementasi kebijakan ini dipengaruhi 6 faktor yaitu: 1 standar kebijakan dan sasaran yang menjelaskan rincian tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh, 2sumber daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi, 3 komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan oleh pelaksana untuk memakai tujuan yang hendak dicapai, 4 karakteristik pelaksanaan, artinya karakteristik organisasi merupakan faktor krusial yang akan menentukan berhasil tidaknya suatu program, 5 kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil kebijakan dan 6 sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan.

4. Model Deskriptif

William N. Dunn 1994 mengemukakan bahwa model kebijakan dapat diperbandingkan dan dipertimbangkanmenurut sejumlah banyak asumsi, yang paling penting diantaranya adalah; 1 Perbedaan menurut tujuan, 2 bentuk penyajian dan 3 fungsi metodologis model. Dua bentuk pokok dari model kebijakan adalah: 1 Model deskriptif dan 2 Model normatif.Tujuan model deskriptif adalah menjelaskan dan atau meramalkansebab dan akibat pilihan-pilihan kebijakan, model kebijakan digunakan untuk memonitor hasil tindakan kebijakan misalnya penyampaian laporan tahunan tentang keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan di lapangan.

2.2.3. Sektor Informal

2.2.3.1.Pengertian Sektor Informal Hidayat dalam Mustofa 2008 : 15 mendefinisikan sektor informal sebagai unit usaha berskala kecil yang memproduksi serta mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan dan pendapatan bagi dirinya masing-masing serta dalam usahanya dibatasi oleh factor modal dan keterampilan. Mustafa 2008:4, menambahkan keberadaan sektor informal adalah untuk membantu membantu memecahkan permasalahan ketenagakerjaan dan menunjang pertumbuhan pendapatan ekonomi secara keseluruhan. Perbedaan kesempatan memperoleh penghasilan antara sektor formal dan informal pada pokoknya didasarkan atas perbedaan antara pendapatan dan gaji serta pendapatan dan usaha sendiri. Pekerjaan sektor informal dilakukan selamanya tidak perlu diformalkan sebagai usaha untuk lebih meningkatkan penghasilan Mustafa, 2008 : 9. Kelompok migran ke kota bekerja di sektor informal karena ada daya dorong untuk kebutuhan atau aspirasi yang tidak dapat dipenuhi di desa. Pengungkapan perasaan tidak menyenangkan di daerah asal dipandang sebagai factor pendorong dan “kesempatan kerja sempit”. Sedang daya tarik berupa potensi yang diciptakan oleh keberadaan migran terdahulu. Perkembangan sektor informal di kota kecil yang tidak banyak industrinya berkaitan dengan kehadiran para migran, baik yang datang dari pedesaan maupun dari kota lain. Pentingnya peranan kota untuk menjadi tujuan akhir dari para pencari kerja yang datang dari berbagai daerah sekitarnya, yaitu para migran dan proses memperoleh pekerjaannya mereka masih mengandalkan pendahulunya. Para pencari kerja baru tidak mudah dapat masuk ke sektor informal walaupun hanya dengan modal kecil. Artinya, bahwa walaupun pekerjaan yang akan dilakukan hanya membutuhkan modal kecil, tetapi tidak mudah untuk dilakukan karena ketatnya persaingan di sektor informal tersebut. 2.2.3.2.Ciri-ciri Sektor informal Salah satu ciri sektor informal adalah mudah masuk dan keluar dari suatu subsektor ke subsektor yang lain. Para pekerja sektor informal sering berganti atau alih pekerjaan untuk sekedar menjajagi dimana subsektor yang paling menguntungkan dan sering terjadinya alih pekerjaan dalam rangka mencari subsektor mana yang lebih menguntungkan. Faktor ekonomi menjadi pendorong utama terjadinya migrasi dari desa ke kota. Dan oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi maka para migran ini kemudian memasuki sektor informal ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mereka memasuki sektor informal karena sulitnya mencari pekerjaan. Mustafa, 2008 : 10 Sedangkan cirr-ciri sektor formal menurut Subangun dalam Mustafa 2008 : 23 adalah sebagai berikut: seluruh aktivitas umumnya bersandar pada sumber data sekitarnya, ukuran usahanya berskala besar dan memiliki badan hukum, untuk menjalankan roda aktivitas umumnya ditopang oleh teknologi yang padat modal dan biasanya hasil impor, tenaga kerja dalam aktivitas sektor ini umumnya mendapat latihan dan pendidikan di lembaga formal, tenaga kerja yang terlibat merupakan tenaga ahli, dan seluruh aktivitas berlaku dan berjalan di dalam pasar yang terlindungi. Adapun ciri-ciri sektor informal menurut Hidayat 1995 : 426 sebagai berikut: 1. Kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik,karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal. 2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha. 3. Pola kegiatan usaha tidak beraturan baik dalam lokasi maupun jam kerja. 4. Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini. 5. Unit usaha mudah keluar masuk dari subsektor ke sub sektor lain. 6. Teknologi yang dipergunakan bersifat tradisional. 7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil. 8. Untuk menjalankan usaha tidak perlu pendidikan formal, karena pendidikan yang diperlukan pengalaman sambil kerja. 9. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakan, buruh berasal dari keluarga. 10. Sumber dana modal usaha pada umumnya dari tabungan sendiri atau dari lembaga-lembaga yang tidak resmi. 11. Hasil produksi jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga yang berpenghasilan menengah. 2.2.3.3.Penyebab Hadirnya Sektor Informal Secara lebih terperinci, menurut Alisjahbana 2003 : vi beberapa kondisi yang menyebabkan kehadiran sektor informal di perkotaan terus bertambah meluas adalah hal-hal berikut: 1. Terjadinya konsentrasi investasi di perkotaan telah mendorong orang melakukan urbanisasi, namun jumlahnya melebihi lapangan pekerjaan yang tersedia, sehingga melahirkan pengangguran yang ujung- ujungnya mereka kemudian akan terserap si sektor informal kota yang bersifat illegal, marginal, dan berskala kecil. 2. Perkembangan sektor informal tidak terlepas dan prosesnya daya tarik kota, terutama masyarakat pedesaan yang tidak terserap di sektor pertanian karena rendahnya pendapatan di sektor tersebut. 3. Ketika orang-orang di pedesaan pergi mengadu nasib ke kota, karena mereka terdepak dari tanah mereka akibat paceklik, banjir dan mundurnya sektor pertanian, serta padatnya penduduk. 4. Akibat minimnya sumber daya alam dan material yang bisa dieksplorasi dan dibagi kepada penduduk pedesaan. 2.2.3.4.Peran Sektor informal Peran sektor informal pedagang kaki lima dimaksud mendudukkan peran paa posisi konseptual yang mapan atau dengan kata lain sebagai sebuah entitas akademik, di mana dalam dimensi dan waktu bekerja atasnya, sedangkan apa dan bagaimananya entitas tersebut bergeser atau berubah merupakan kajian perubahan. Menurut Merton 1968 banyak pakar yang menyatakan bahwa peran merupakan paket hah yang diterima secara social dan kewajiban yang memiliki eksitensi obyektif, terpisah dari perilaku kerja dan pengharapan yang tidak berperan. Pedagang kaki lima perkotaan yang berada pada status yang tradisional dan marjinal melalui peran yang dimainkan diharapkan dapat dihargai oleh masyarakat modern perkotaan, memperoleh rasa aman, dan dapat menciptakan hubungan-hubungan social yang lebih luas sehingga upaya untuk melakukan perubahan peran dimungkinkan dalam pekerjaan pedagagang kaki lima. Berkaitan dengan peran pedagang kaki lima diperkotaan yang keberadaannya seperti pasar dengan pola tradisional, menurut Geertez dalam Mustafa 2008 : 53 untuk memahami pasar dalam arti luas harus dilihat dari tiga sudut pandang: 1. Sebagai arus pertukaran barang dan jasa menurut pola tertentu 2. Sebagai rangkaian mekanisme ekonomi untuk memelihara dan mengatur arus barang dan jasa tersebut 3. Sebagai system social lain dan kebudayaan. Sedangkan menurut Ramli, pasar semacam ini dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu pola distribusi barang dan jasa, dan sebagai system social budaya. Dengan demikian pedagang kaki lima perkotaan dipandang dalam kerangka system ekonominya yaitu mekanisme untuk mengatur dan memelihara arus pertukaran barang dan jasa sekaligus juga sebagai system social budaya.

2.2.4. Pedagang Kaki Lima

2.2.4.1.Pengertian Pedagang Kaki Lima Dalam Perda Kabupaten Sampang No.27 Tahun 2002 Pedagang Kaki Lima adalah mereka yang melakukan kegiatan dagang perseorangan dan dalam menjalankan usahanya menggunakan tempat atau fasilitas umum sebagai tempat kegiatannya. Menurut Evers dan Korf 2002 : 234, pedagang kaki lima adalah bagian dari sektor informal kota yang mengembagkan aktivitas produksi barang dan jasa di luar kontrol pemerintah dan tidak terdaftar. Adapun pengertian pedagang kaki lima sebagai bagian dari sektor informal dapat dijelaskan melalui ciri-ciri secara umum yang dikemukakan oleh Kartono, dkk sebagai berikut: 1. Merupakan pedagang yang kadang-kadang juga seklaigus berarti produsen. 2. Ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain menggunakan pikulan, kereta dorong, tempat atau stan yang tidak permanen serta bongkar pasang. 3. Menjajakan bahan makanan, minuman, barang-barang konsumen lainnya yang tahan lama secara eceran. 4. Umumnya bermodal kecil, kadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atau jirih payah. 5. Kualitas barang yang diperdagangkan relatif rendah dan biasanya tidak berstandar. 6. Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli umunya merupakan pembeli yang berdaya beli rendah. 7. Usaha skala kecil bisa berupa family enterprise, dimana ibu dan anak turut membantu dalam usaha tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. 8. Tawar menawar antara penjual dan pembeli merupakan ciri relasi yang khas pada usaha perdagangan kaki lima. 9. Dalam melaksanakan pekerjaannya yang ada secara penuh, sebagian lagi melaksanakan setelah kerja atau pada waktu senggang dan ada pula yang melaksanakan secara musiman. 10. Barang yang dijual biasanya merupakan convinence goods jarang sekali specialy goods. 11. Dan sering kali berada dalam suasana psikologis tidak tenang, diliputi perasaan takut kalau tiba-tiba kegiatan mereka dihentikan oleh Tim Penertiban Umum TEBUM dan Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah. Dari pengertian tersebut diatas jadi yang dimaksudkan PKL adalah kegiatan usaha yang dilakukan para pedagang dengan menggunakan lahan fasilitas umum sebagai tempat usahanya. 2.2.4.2.Sektor Informal Pedagang kaki Lima Selain konflik tanah, pergusuran dan permukiman kumuh, salah satu persoalan serius yang dihadapi berbagai kota besar dewasa ini adalah keberadaan sektor informal, khususnya pedagang kaki lima. Menurut Evens dan Korff dalam Mustofa, 2008 : 42, definisi pedagang kaki lima adalah bagian dari sketor informal kota yang mengembangkan aktivitas produksi barang dan jasa di luar control pemerintah dan tidak terdaftar. Di berbagai kota besar, keberadaan pedagang kaki lima bukan hanya berfungsi sebagai peyangga kelebihan tenaga kerja yang tidak terserap di sektor formal, tetapi juga memiliki peran yang besar yang menggairahkan dan meningkatkan kegiatan perekonomian masyarakat perkotaan. Sebagai bagian dari system ekonomi rakyat jelata, daya serap sektor informal yang involutif bukan saja terbukti mampu menjadi sektor peyangga yang sangat lentur dan terbuka, tetapi juga memiliki kaitan erat dengan jalur distribusi barang dan jasa di tingkat bawah dan bahkan mendai ujung tombak pemasaran ayang potensial. Rata-rata pedagang kaki lima menggunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau dipindahkan, dan sering kali menggunakan laha fasilitas umum sebagai tempat usahanya. Beberapa karakteristik khas pedagang kaki lima yang perlu dikenali adalah sebagai berikut Mustofa, 2008 : 42: 1. Pola pesebaran pedagang kaki lima umumnya mendekati pusat keramaian dan tanpa izin menduduki-menduduki daerah-daerah yang semestinya menjadi milik publik, Para pedagang kaki lima umumnya memiliki daya resistensi social yang sangat lentur terhadap berbagai tekanan dan kegiatan penertiban 2. Sebagai sebuah kegiatan usaha pedagang kaki lima umumnya memiliki mekanisme involutif penyerapan tenaga kerja yang sangat longgar 3. Sebagian besar pedagang kaki lima adalah kaum migrant, dan proses adaptasi serta eksistensi mereka didukung oleh bentuk-bentuk hubungan patronase yang didasarkan pada ikatan faktor kesamaan daerah asal 4. Para pedagang kaki lima rata-rata tidak memiliki keterampilan dan keahlian alternative untuk mengembangkan kegiatan usaha baru luar sektor informal kota. Menurut Bromley dalam Mustafa 2008 : 43 diantara berbagai usaha sektor informal usaha pedagang kaki lima, tampaknya merupakan jenis pekerjaan yang penting dan relative tersebut dikarenakan usaha ini relative paling mudah dimasuki serta berhadapan langsung dengan kebijaksanaan kota. Pengelompokkan pedagang kaki lima biasanya di sekitar bangunan pasar yang permanen secara sosiologis bisa diperjelaskan sebagai suatu pertukaran ekonomi yang mengandung suatu pertukaran social. Sejalan dengan pemikiran Peter M Blau, usaha pedagang kaki lima dapat pula merupakan mekanisme reorganisasi pertukaran ekonomi dan social, namun juga mengandung nilai solidaritasyang khas. Usaha mengabsahkan pedagang kaki lima menunjukkan suatu usaha untuk mengabsahkan kegiatan pedagang kaki lima. Di dalam konteks yang lebih luas yaitu organisasi pemerintah kota yang mengatur secara administrasi dan politis mengatur jalannya perekonomian termasuk pasar, usaha kesejahteraan masyarakat, ketertiban social dan lainnya. Sejalan perkembangan masyarakat modern perkotaan, bentk- bentuk kegiatan sektor informal juga terus berkembang. Dari berbagai macam pekerjaan pada sektor informal, yang paling dominan dan menonjol aktivitasnya adalah pedagang kaki lima. Kehadirannya dengan jumlah yang cukup besar begitu mendominasi pemenuhan kebutuhan masyarakat perkotaan, terutama pada golongan menengah ke bawah.

2.2.5. Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2002

Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2002 berisikan tentang retribusi pengaturan tempat usaha pedagang kaki lima PK 5 dalam Kebupaten Sampang. Dalam Perda No.27 Tahun 2002 mengatur tentang retribusi salah satunya adalah Pasal 1 ayat h yang menyatakan: ”Retribusi pengaturan tempat usaha pedagang kaki lima PKL yang selanjutnya disebut retribusi adalah pembayaran atas pengaturan tempat usaha pedagang kaki lima PKL oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi”. Berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui bahwa retribusi dikenakan kepada wajib retribusi yaitu pedagang kaki lima atas pengaturan tempat usaha yang telah disediakan oleh pemerintah daerah. Sedangkan besarnya retribusi diatur dalam Perda Kabupaten Sampang No. 27 tahun 2002 Pasal 12 ayat 1 yang menyatakan: ”Setiap orang yang telah memperoleh izin menggunakan tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 1, dikenakan retribusi sebesar Rp. 50,- lima puluh rupiahm 2 perhari”. Sedangkan bagi yang melakukan pelanggaran berupa penundaan pembayaran atau kurang membayar retribusi, dikenakan sanksi administratsi yaitu berupa bunga sebesar 2 setiap bulan dari besarnya retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan surat tagihan retribusi, sanksi administrasi ini diatur dalam Perda Kabupaten Sampang No. 27 tahun 2002 Pasal 14.

2.2.6. Nama, Obyek dan Subyek Retribusi

Diatur dalam Perda No.27 Tahun 2002 Bab II , Pasal 2 : Dengan nama Retribusi Pengaturan Tempat Usaha Pedagang Kaki Lima di pungut biaya retribusi atas penbayaran Pengaturan Tempat Usaha Pedagang Kaki Lima. Bab II , Pasal 3 : Obyek Retribusi adalah Pengaturan Tempat Usaha Pedagang Kaki Lima. Bab II , Pasal 4 : Subyek Retribusi adalah orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha Pedagang Kaki Lima.

2.2.7. Ketentuan Retribusi

Diatur dalam Perda No.27 Tahun 2002 Bab VI , Pasal 12 : 1. Setelah orang yang memperoleh izin menggunakan tempat sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 1 , dikenakan retribusi sebesar Rp. 50,- lima puluh rupiah m perhari. 2. Atas pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,di berikan karcis atau tanda bukti pembayaran. 3. Bentuk, ukuran dan warna karcis atau tanda bukti pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 , di tetapkan oleh Pemerintah Daerah dengan di beri tanda perporasi pengesahan.

2.2.8. Tata Cara Pembayaran

Diatur dalam Perda 27 Tahun 2002 Bab VII , Pasal 13 ayat 4 : Tata cara pembayaran, tempat pembayaran, penundaan pembayaran retribusi akan di tetapkan oleh Kepala Daerah. Bab VII, pasal 14 : Dalam hal Wajib Retribusi tidak membayar tepat waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 dua persen setiap bulan dari besarnya retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah.

2.2. Kerangka Berpikir