” IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA” (Studi Kasus Di Sentra PKL Viaduk Gubeng Kota Surabaya).

(1)

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur

Oleh : NAVY BAGUS NPM : 0741010008

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR 2013


(2)

NAVY BAGUS NPM. 0741010008

Telah Dipertahankan Dihadapan Dan Diterima Oleh Tim Penguji Skripsi Progam Studi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal : Juni 2013

TIM PENGUJI 1.

Drs. Pudjo Adi, MSi NIP. 095105101973031001 2.

Dr. Lukman Arif, MSi

NIP. 196411021994031001 3.

Dra. Sri Wibawani, MSi

NIP. 196704061994032001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur

Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi NIP. 195507181983022001 PEMBIMBING

Drs. Pudjo Adi, MSi NIP. 095105101973031001


(3)

Nama Mahasiswa : NAVY BAGUS

NPM : 0741010008

Jurusan : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Menyatakan bahwa Skripsi ini telah direvisi dan disahkan Pada Tanggal Juni 2013

Mengetahui / Menyetujui

Dosen Penguji I

Drs. Pudjo Adi, MSi NIP. 095105101973031001

Dosen Penguji II

Dr. Lukman Arif, MSi NIP. 196411021994031001

Dosen Penguji III

Dra. Sri Wibawani, MSi NIP. 196704061994032001


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena dengan Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (Studi Kasus Di Sentra PKL Viaduk Gubeng Kota Surabaya). Dengan tersusunnya ini penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya pada Bapak Drs. Pudjo Adi, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, disamping itu penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak DR. Lukman Arif, M.Si selaku Ketua Progam Studi Ilmu Administrasi Negara.

3. Ibu Dra. Susi Hardjati, M.Si selaku Sekretaris Progam Studi Ilmu Administrasi Negara.

4. Bapak dan ibu dosen yang telah memberi bekal dalam proses belajar mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

5. Kedua Orang Tuaku yang selalu mendukung dan mensupport dalam penyusunan skripsi ini dan selalu memberi semangat untuk menyelesaikan kuliahku, spesial to my mom.. “I love you mom, u are my everything”.


(5)

skripsi ini).

7. MK coffe serta rekan – rekan BQT Grand City Surabaya sebagai tempat dan rekan pelepas penat.

8. Spesial untuk Shanaz Ayesha yang setia memberi semangat dalam penulisan skripsi ini.

Demikian penyusunan skripsi ini semoga dapat bermanfaat bagi rekan-rekan semua. Penulis sadar akan banyaknya kekurangan dalam penyusunan skripsi ini maka penulis mengharap saran dan kritik.

Surabaya , april 2013


(6)

PEDAGANG KAKI LIMA DI SENTRA PKL VIADUK GUBENG KOTA SURABAYA. SKRIPSI 2013.

Penelitian ini didasarkan fenomena yang terjadi di sentra PKL viaduk gubeng kota Surabaya yaitu mengenai implementasi penataan pedagang kaki lima yang meliputi waktu berdagang, jumlah pedagang, alat peraga, dan jenis barang dagangan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa dan menginterpretasikan tentang pengaturan waktu berdagang, pengaturan jumlah pedagang, pengaturan alat peraga, dan jenis barang dagangan dalam implementasi penataan PKL di sentra PKL viaduk gubeng kota Surabaya.

Teknik pengolahan data yang dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan dokumen foto pada sentra PKL viaduk gubeng kota Surabaya dan Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya.

Metode pada penelitian ini menggunakan pendekatan penelitiankualitatif dengan satu variableyaitu implementasi kebijakan penataan pedagang kaki lima (studi Kasus Di Sentra PKL Viaduk Gubeng Kota Surabaya). Fokus penelitiannya meliputi : 1. Pengaturan jumlah pedagang, 2. Pengaturan waktu berdagang, 3. Pengaturan alat peraga, 4. Pengaturan jenis barang dagangan.

Hasil penelitian menyatakan : 1. Pengaturan jumlah pedagang sebanyak 33 pedagang yang berdagang di kawasan ini; 2. Pengaturan waktu berdagang yang bebas selama 24 jam di kawasan PKL ini; 3. Pengaturan alat peraga berupa tenda prisma yang seragam guna sarana berdagang; 4. Pengaturan jenis barang dagangan secara umum adalah makanan minuman serta beberapa kios yang menjual makanan ringan dan rokok.

Dari data yang di dapat serta dianalisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengaturan jumlah pedagang belum terimplementasi karna masih adanya stand yang kosong dari jumlah stand maksimal; 2. Pengaturan waktu berdagang yang bebas selama 24 jam sudah terimplementasi yang dengan baik; 3. Pengaturan alat peraga dilihat dari keseragaman tenda dalam berdagang tapi untuk gerobak masih belum seragam; 4. Pengaturan jenis barang dagangan secara umum belum terimplementasi karna belum bias dilakukann pengelompokan jenis barang dagangan.


(7)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I. Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Kegunaan penelitian ... 7

BAB II. Kajian Pustaka ... 8

2.1 Penelitian Terdahulu ... 8

2.2 Landasan Teori ... 10

2.2.1 Pengertian PKL ... 10

2.2.2 Pengertian Kebijakan Publik ... 11

2.2.3 Langkah-langkah kebijakan publik ... 13

2.2.4 Aktor kebijakan publik ... 14

2.2.4.1 Sifat kebijakan publik ... 15

2.2.4.2 Manfaat kebijakan publik... 16


(8)

2.2.7.1 Model–model implementasi kebijakan……… 21

2.2.7.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Kebijakan………. 22

2.2.7.3 Keberhasilan implementasi kebijakan………. 24

2.2.8 Penataan PKL……….. . 24

2.2.9 Sektor informal ……… 28

2.2.10 Peraturan daerah nomor 17 tahun 2003 tentang penataan Dan pemberdayaan PKL di kota Surabaya……… . 29

2.2.11 Kebersihan lingkungan ……….. 34

2.3 Kerangka Berpikir ... 36

BAB III Metode Penelitian ... 37

3.1 Jenis Penelitian ... 37

3.2 Fokus Penelitian ... 38

3.3 Lokasi Penelitian ... 40

3.4 Sumber Data ... 40

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 41

3.6 Analisis Data ... 43

3.7 Keabsahan Data ... 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran umum objek penelitian ……… 48 4.1.1. Deskripsi Dinas Koperasi Dan Usaha Mikro Kecil


(9)

Menengah Kota Surabaya……… 48

4.1.1.2. Visi dan Misi Dinas Koperasi dan Usaha Mikro dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya……… 49

4.1.1.3. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Koperasi dan Usaha Mikro dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya………. 50

4.1.1.4. Struktur Organisasi Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya……… 51

4.1.1.5. Tugas Pokok dan Fungsi Pegawai Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya ……… 53

4.1.1.6. Tujuan, Sasaran dan Strategi Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya………. 67

4.1.1.7. Sarana dan Prasarana Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya……….. 70

4.1.2. Gambaran Umum PKL Viaduk Gubeng ……… 71

4. 2. Hasil Penelitian 4.2.1. Implementasi Kebijakan Penataan Perdagangan Kaki Lima Kawasan Gubeng Surabaya ……….. 74

1. Jumlah pedagang ………... 75

2. Jenis barang dagangan ………. 78


(10)

4.3.1. Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang kaki Lima Kawasan

Viaduk Gubeng Surabaya. ……… 84

1. Jumlah pedagang ……….... 85

2. Jenis barang dagangan ……….. 86

3. Alat peraga ………. 86

4. Waktu berdagang ……… 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ……… 88

1. Implementasi Pengaturan Jumlah Perdagang ……….. 88

2. Implementasi Pengaturan Jenis Barang Dagangan ………. 88

3. Implementasi Pengaturan Alat Peraga ………. 89

4. Implementasi Pengaturan Waktu Berdagang ……….. 89

5.2. Saran ……… 89 DAFTAR PUSTAKA


(11)

Gambar 1

Kerangka Berpikir ... 36 Gambar 2

Komponen – Komponen Analisis Data ... 46 Gambar 3

Struktur Organisasi Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil,

dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya……… 52 Gambar 4


(12)

Tabel 4.1

Komposisi Pegawai Berdasarkan Pangkat / Golongan ……… 64 Tabel 4.2

Komposisi Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan ……… 65 Tabel 4.3

Komposisi Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin ……… 65 Tabel 4.4

Komposisi Pegawai Berdasarkan Umur ………. 66 Tabel 4.5

Sarana dan Prasarana ………. 70 Tabel 4.6

Komposisi PKL Viaduk Gubeng Surabaya Berdasarkan Jenis Kelamin…….. 77 Tabel 4.7


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara-negara berkembang saat ini sedang melaksanakan pembangunan dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat, demikian juga Negara Indonesia dimana dalam melaksanakan pembangunan tersebut mempunyai tujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat serta meletakkan landasan yang kuat bagi pembangunan berikutnya.

Sebagai kota yang tengah bergulir menjadi mega urban, sudah barang tentu perkembangan kota besar seperti Surabaya tidak bisa dibiarkan tumbuh liar, semrawut dan tidak terciptanya ketertiban sosial. Di kota-kota besar, ketidaktertiban tercipta dari berbagai macam hal. Diantaranya perkembangan kota secara pesat yang tidak disertai dengan pertumbuhan kesempatan kerja yang memadai. Hal tersebut mengakibatkan kota-kota besar menghadapi berbagai macam problema sosial yang sangat pelik. Hal ini menjadi ciri umum kebanyakan perkotaan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pada suatu masyarakat dimana pertumbuhan ekonomi negara menganut rezim ekonomi kapitalis, maka yang terjadi adalah kontraksi antara pasar tenaga kerja dan pertumbuhan pencari kerja. Bila hal tersebut yang terjadi, maka rakyat kecil berusaha mencari cara lain untuk bisa mempertahankan hidupnya. Seperti keadaan


(14)

kecil. Akibat dari kondisi tersebut, akhir-akhir ini banyak sekali dilakukan penataan terhadap PKL di beberapa wilayah di Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya saat ini sedang gencar-gencarnya menggulirkan program pembersihan kawasan atau jalan dari unsur pedagang kaki lima.

Kehadiran Pedagang Kaki Lima (PKL) di kota-kota besar merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kota. Kehadiran PKL di kota mempunyai peranan dalam memberikan penghasilan yang relative cukup bagi penduduk “marginal” maupun sebagai produsen barang-barang dan jasa yang diperlukan masyarakat kelas bawah.

Namun, dibalik peranan dan fungsinya yang menopang perekonomian rakyat bawah tersebut, kehadiran sektor informal PKL di kota-kota besar diidentifikasikan telah memunculkan berbagai permasalahan. Permasalahan-permasalahan yang muncul dengan hadirnya PKL di kota besar yaitu perubahan sosial, ekonomi dan lingkungan perkotaan.

Firdausy dalam Alisjabana (2004:218) mengatakan, permasalahan sosial ekonomi yang ditimbulkan dengan adanya sektor informal PKL ini antara lain meningkatnya biaya penyediaan fasilitas-fasilitas umum perkotaan, mendorong lajunya arus urbanisasi dari desa ke kota, menjamurnya pemukiman kumuh dan tingkat kriminalitas kota. Sedangkan lingkungan perkotaan yang ditimbulkan antara lain adalah kebersihan dan keindahan kota, kelancaran lalu lintas serta penyediaan lahan untuk lokasi usaha.

Hal yang sama juga disampaikan Kadir dan Biantoro dalam Alisjabana (2004:218), Pedagang Kaki Lima selain pertumbuhan dan perkembangannya tidak


(15)

teratur, tampak liar, tampak kumuh, melebar dan ada yang menggunakan fasilitas umum sebagai tempat berdagang (misalnya trotoar jalan). Kehadiran PKL juga menyebabkan pengguna jalan tidak lagi merasakan kenyamanan saat berjalan karena banyak PKL yang sama sekali tidak menyisakan trotoar untuk pejalan kaki, bahkan tidak jarang pejalan kaki terganggu dengan tali-tali tenda yang diikatkan pada pembatas trotoar.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kehadiran PKL di perkotaan selain mempunyai manfaat juga menimbulkan permasalahan-permasalahan yang mengganggu ketertiban, kebersihan, dan kenyamanan kota. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya bila permasalahan yang ditimbulkan oleh PKL ditangani bersama dengan cara melakukan penertiban tanpa “membunuh” sektor informal itu sendiri.

Pemerintah Kota Surabaya selama beberapa tahun terakhir telah memberikan perhatian ekstra terhadap masalah PKL dengan menggelar operasi penataan. Bahkan penataan yang dilakukan secara besar-besaran tersebut terkadang juga tidak dapat memberikan efek jera bagi pedagang kaki lima dan mereka kerap kali bermain petak umpet dengan petugas pasca penataan.

Di Surabaya sendiri terdapat 7 (tujuh) kawasan PKL yang telah tersentuh program penataan oleh Pemerintah Kota Surabaya, yaitu Lapangan Karah, Taman Bungkul, Dharmawangsa, Urip Sumoharjo, Gunungsari, Kampung Buku¸ viaduk gubeng dan Ampel. Salah satu kawasan PKL tersebut yaitu, PKL kawasan viaduk gubeng yang disebut Sentra PKL viaduk gubeng. PKL yang mendiami kawasan tersebut merupakan sentra PKL yang telah dilakukan penataan dengan menempati


(16)

berjualan makanan dan minuman. Selain di kawasan viaduk gubeng, penataan PKL juga dilakukan di daerah jalan Semarang dengan mengubah lahan tersebut menjadi kampung buku yang menjual berbagai macam jenis buku serta daerah Taman Bungkul dengan mengubahnya menjadi food court yang menjual makanan dan minuman. Di ketiga tempat tersebut saat ini telah berdiri tenda atau rombong hasil dari penataan. Di Pemerintah Kota Surabaya sendiri, masalah PKL telah diatur dengan mengeluarkan Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL.

Apabila bisa dilakukan penataan dan pemberdayaan, maka besar sekali potensi yang dimiliki oleh PKL tersebut. Sebab dengan memilih menjadi PKL, mereka sudah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, yang otomatis juga mengurangi pengangguran yang menjadi beban pemerintah selama ini. Selain itu pedagang kaki lima memberikan kontribusi yang besar dalam aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat terutama golongan ekonomi lemah.

Hal senada juga diutarakan oleh Kadir dan Biantoro dalam Alisjabana (2003:123), bahwa sektor informal atau PKL kini diperhitungkan sebagai salah satu alternatif bagi upaya pemecahan masalah ketenagakerjaan. Dalam perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL tersebut pada pasal 3, menjelaskan bahwa :

Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk berwenang : a. menetapkan dan mengatur waktu kegiatan usaha PKL;

b. menetapkan dan mengatur jumlah PKL pada setiap lokasi PKL; c. menetapkan jenis barang yang diperdagangkan;


(17)

d. mengatur alat peraga PKL;

Pedagang Kaki Lima yang saat ini berada di Sentra PKL viaduk gubeng telah mendapatkan perhatian dari instansi terkait dengan dilakukannya penataan. Menurut Kepala Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Kota Surabaya Hadi Mulyono mengungkapkan “Sentra PKL viadukgubeng merupakan salah satu kawasan penataan PKL di Surabaya selain Lapangan Karah, Taman Bungkul, Urip Sumoharjo, Gunungsari, Kampung Buku dan Ampel.”

Pelaksanaan penataan pedagang kaki lima di jalan gubeng pojok meliputi jumlah PKL, jenis barang yang diperdagangkan serta alat peraga yang dipergunakan PKL. Sedangkan menurut keterangan dari Bapak Muhammad Jubri Ketua Paguyuban Sentra PKL viaduk gubeng keberadaan mereka saat ini berjumlah kurang lebih 30 PKL yang berjualan berbagai macam makanan di fasilitas umum kawasan viaduk gubeng dengan waktu berdagang yang tidak ditentukan.

Berangkat dari fenomena tersebut di atas, maka mendorong penulis untuk meneliti mengenai implementasi penataan PKL kota Surabaya dengan mengambil salah satu dari fenomena ke tujuh lokasi di atas karena terbatasnya waktu dan biaya. Maka penulis mengambil judul “Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima di Sentra PKL Viaduk Gubeng Kota Surabaya”.


(18)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti ingin mengetahui tentang penataan Pedagang Kaki Lima di kawasan tersebut yaitu :

Bagaimanakah Implementasi Penataan PKL di Kota Surabaya di Sentra PKL viaduk gubeng Surabaya.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk menganalisa implementasi tentang perda kota Surabaya no 17 pasal 3 tahun 3003 tentang pengaturan jumlah pedagang, pengaturan jenis barang dagangan, pengaturan alat peraga dan jam berdagang dalam Implementasi Penataan PKL di Kota Surabaya di Sentra PKL Viaduk gubeng Surabaya.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah : 1. Bagi Penulis

Untuk menerapkan dan mengembangkan teori yang sudah diperoleh sehingga dapat membandingkan teori dengan kenyataan yang ada di lapangan, serta dapat memberikan tambahan wawasan bagi penulis mengenai kebijakan penataan PKL

2. Bagi Instansi

Sebagai sumbangsih saran dan masukan untuk peningkatan dalam usaha penataan pedagang kaki lima melalui program-program pemerintah.


(19)

3. Bagi Universitas

Sebagai salah satu sumbangan pemikiran dan informasi dalam melengkapi dan mengembangkan perbendaharaan ilmu sosial dan khususnya Ilmu Administrasi Negara dan bagi pihak berkait / mahasiswa yang hendak mengetahui kebijakan penataan pedagang kaki lima.


(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

A. Nurul Qurniawati, 2003 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jatim yang berjudul “Partisipasi Pedagang Kaki Lima Dalam Pelaksanaan Perda No. 10 Tahun 1987”; penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang meneliti satu variable yaitu partisipasi pedagang kaki lima dalam pelaksanaan Perda No. 10 Tahun 1987. fokus yang diteliti dalam penelitian ini adalah partisipasi pedagang kaki lima dalam pelaksanaan Perda No. 10 Tahun 1987 di lingkungan sekitar Stren Kali Jagir Panjang Jiwo Surabaya. Hasil penelitian ini adalah adanya bangunan liar yang disebabkan oleh pedagang kaki lima yang tidak mempunyai surat izin dagang yang sah dengan menempati tanah-tanah kosong di Stern Kali Jagir. Sedangkan dari pihak pemerintah kota dalam melaksanakan penertiban Pedagang Kaki Lima menggunakan Perda No. 10 Tahun 1987. Peraturan tersebut harus dipatuhi oleh PKL di Stren Kali Jagir yang dianggap Pedagang Kaki Lima yang liar. Dengan begitu pemerintah kota memerintahkan Satuan Polisi Pamong Praja untuk menertibkan bangunan liar maupun Pedagang Kaki Lima yang liar yang ada di Stern Kali Jagir.

B. Eny Try Nurcahyati, 2008 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jatim yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pemerintah Kabupaten Lamongan Dalam Penertiban Pedagang


(21)

Kaki Lima di Pasar Baru Lamongan”; penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan satu variable yaitu Implementasi Kebijakan Pemerintah Kabupaten Lamongan Dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Baru Lamongan. Fokus penelitiannya meliputi : 1. Relokasi tempat, 2. Pembinaan dan Penertiban. Hasil penelitian menyatakan : 1. Relokasi tempat, pavingisasi dan pemberian tenda yang dilakukan oleh Dinas Perdagangan dan Dinas Satpol PP belum merata; 2. Pembinaan yang dilakukan Dinas Perdagangan belum diikuti oleh seluruh Pedagang Kaki Lima; 3. Penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP baik secara patroli maupun terprogram perlu ditingkatkan lagi dengan sanksi yang tegas.

C. Astutik, 2004 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jatim yang berjudul “Penataan Pedagang Kaki Lima di Sekitar Pasar Waru Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo”; penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, yang menjadi fokus penelitian adalah kebijakan pemerintah Kabupaten Sidoarjo dalam penataan PKL di sekitar Pasar Waru dan Peran Satuan Polisi Pamong Praja dalam pelaksanaan penataan PKL. Informan penelitian yaitu PKL di sekitar Pasar Waru, petugas Dinas Pasar Waru dan masyarakat atau konsumen Pasar Waru. Analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif. Dari hasil analisa tersebut disimpulkan bahwa Pemerintah Kabupaten Sidoarjo telah membuat berbagai kebijakan untuk menata pedagang kaki lima di sekitar Pasar Waru. Kebijakan tersebut adalah memberikan penyuluhan agar pedagang di sekitar Pasar Waru


(22)

pemerintah setempat sehingga para pedagang kaki lima (PKL) tidak mengganggu aktivitas pengguna jalan raya.

Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini terletak pada obyek yang diteliti yaitu pedagang kaki lima (PKL), sedangkan perbedaannya terletak pada fokus dan lokasi penelitian. Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada penataan pedagang kaki lima.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Pengertian PKL (Pedagang Kaki Lima)

Setthurahman dalam Alisjahbana (2003:10), memberikan istilah sektor informal atau PKL terdiri dari unit usaha berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan lapangan kerja dan pendapatan bagi diri sendiri dan dalam usahanya sangat dihadapkan berbagai kendala seperti faktor modal, faktor pengetahuan, dan ketrampilan.

Sedangkan Wirosardjono dalam Alisjahbana (2003:14), mengemukakan PKL adalah pola kegiatannya tidak teratur, dalam artian waktu, permodalan maupun penerimaannya, tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah, modal peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas hitungan harian.

Dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 pasal 1 ayat 6 tentang penataan dan pemberdayaan PKL, disebutkan PKL adalah pedagang yang menjalankan kegiatan usahanya dalam jangka waktu tertentu dengan


(23)

mempergunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dipindahkan, dibongkar pasang dan mempergunakan lahan fasilitas umum sebagai tempat usaha.

Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa PKL adalah mereka yang barang dagangannya mempergunakan tempat-tempat umum, seperti sepanjang jalan trotoar, fasilitas umum dan pinggir jalan. Sarana ataupun perlengkapan dagang yang digunakan relative sederhana. Di samping kios-kios yang permanent ataupun datang ke tempat lokasi dengan membawa peralatan yang dibawa dari rumah, baik yang bersifat dorongan (gerobak / rombong) ataupun bongkar pasang.

2.2.2. Pengertian Kebijakan Publik

Menurut Anderson dalam Tangkilisan (2003:19), merumuskan kebijakan merupakan “Arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seseorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan”.

Menurut Fredrickson dan hart dalam Tangkilisan (2003:19), mengatakan kebijakan adalah “Suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu sambil mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan”.

Selanjutnya dapat diketahui definisi dari kebijakan publik yang dikemukakan oleh Dye dalam Wibowo (2004:29), Kebijakan Publik diberi definisi “Segala yang dilakukan pemerintah. Sebab-sebab hal tersebut dilakukan


(24)

Sedangkan menurut Lester dan Stewart dalam Wibowo (2004:29), memberikan usulan definisi kebijakan publik yaitu “Proses atau serangkaian keputusan atau aktivitas pemerintah yang didesain untuk mengatasi masalah publik, apakah hal itu riil ataukah masih direncanakan (Imagined)”.

Menurut Anderson dalam Tangkilisan (2003:3), kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah :

1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan;

2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah;

3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan;

4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;

5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikuti dan memaksa.

Menurut Udoji dalam Wahab (2005:5), kebijaksanaan negara adalah suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan yang mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.


(25)

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

2.2.3. Langkah-Langkah Kebijakan Publik

Menurut Dunn dalam Tangkilisan (2003:8), tahap-tahap kebijakan dibagi menjadi :

1. Penetapan agenda kebijakan (agenda setting)

Tahap pertama penetapan agenda kebijakan adalah menentukan masalah publik yang akan dipecahkan.

2. Formulasi Kebijakan (policy formulation)

Mengidentifikasikan kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan melalui prosedur forecasting untuk memecahkan masalah yang didalamnya terkandung konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan yang akan dipilih.

3. Adopsi Kebijakan (policy adoption)

Tahap adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan kebijakan melalui dukungan para stakeholders atau pelaku yang terlibat.

4. Isi Kebijakan (policy implementation)

Implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi.


(26)

5. Evaluasi Kebijakan (policy assessment)

Tahap akhir dari proses pembuatan kebijakan adalah penilaian terhadap kebijakan yang telah diambil dan dilakukan. Dalam penelitian ini semua proses implementasi dinilai apakah telah sesuai dengan yang telah ditentukan atau direncanakan dalam program kebijakan tersebut sesuai dengan ukuran-ukuran (kriteria-kriteria) yang telah ditentukan.

2.2.4. Aktor Kebijakan Publik a) Pejabat Pembuat Kebijakan

Menurut Agustino (2006:29) yang dimaksud dengan Pejabat pembuat kebijakan adalah orang yang mempunyai wewenang yang sah untuk ikut serta dalam formulasi hingga penetapan kebijakan publik yang termasuk dalam pembuat kebijakan secara normatif adalah : legislatif, eksekutif, administrator dan para hakim. Masing-masing mempunyai tugas dalam pembuatan kebijakan yang relatif berbeda dengan lembaga lain.

b) Aktor yang terlibat

Menurut Agustino (2006:41) di Indonesia, di era reformasi ini, aktor kebijakan (lembaga negara dan pemerintah yang berwenang membuat perundang-undang atau kebijakan) adalah :

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

3. Presiden


(27)

a. Presiden sebagai kepala pemerintahan (pemerintahan pusat) b. Menteri

c. Lembaga Non-Departemen d. Direktorat Jenderal (Dirjen)

e. Badan-Badan Negara lainnya (Bank Sentral, BUMN dan lainnya)

f. Pemerintah Daerah Propinsi

g. Pemerintah Daerah Kota atau Kabupaten h. Kepala Desa

i. Dewan Perwakilan Daerah Propinsi

j. Dewan Perwakilan Daerah Kota atau Kabupaten k. Badan Perwakilan Desa (BPD)

Lembaga-lembaga Negara (dan pemerintah) tersebut memiliki peran dan wewenang masing-masing untuk membuat perundang (kebijakan publik) sesuai dengan kedudukannya dalam sistem pemerintah. 2.2.4.1. Sifat Kebijakan Publik

Menurut Winarno (2002:19) sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci beberapa kategori sebagai berikut :

1. Tuntutan-Tuntutan Kebijakan

Adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-aktor swasta atau pemerintah, ditunjukkan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam suatu sistem politik.


(28)

2. Keputusan Kebijakan

Adalah keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan substansi kepada tindakan-tindakan kebijakan publik.

3. Pernyataan-pernyataan Kebijakan

Adalah pernyataan-pernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi (penjelasan) kebijakan publik.

4. Hasil-hasil Kebijakan

Adalah manifestasi nyata dari kebijakan-kebijakan publik hal-hal yang sebenarnya dilakukan menurut keputusan-keputusan dan pernyataan-pernyataan kebijakan.

5. Dampak-Dampak Kebijakan

Adalah akibat bagi masyarakat baik yang berasal dari tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah.

2.2.4.2. Manfaat Kebijakan Publik

Menurut Dye dan Anderson dalam Subarsono (2005 : 4), studi kebijakan publik memiliki tiga manfaat penting yaitu :

1. Pengembangan ilmu pengetahuan

Dalam konteks ini, ilmuwan dapat menempatkan kebijakan publik sebagai variabel terpengaruh (dependen variable) sehingga berusaha menentukan variabel pengaruhnya (independen variable). Studi ini berusaha mencari variable-variable yang dapat mempengaruhi isi dari sebuah kebijakan publik.


(29)

2. Membantu para praktisi dalam memecahkan masalah-masalah publik

Dengan mempelajari kebijakan publik para praktisi akan memiliki dasar teoritis tentang bagaimana membuat kebijakan publik yang baik dan memperkecil kegagalan dari suatu kebijakan publik. Sehingga ke depan akan lahir kebijakan publik yang lebih berkualitas yang dapat menopang tujuan pembangunan.

3. Berguna untuk tujuan politik

Suatu kebijakan publik yang dibuat melalui proses yang benar dengan dukungan teori yang kuat memiliki posisi yang kuat terhadap kritik dari lawan-lawan politik. Kebijakan publik tersebut dapat meyakinkan kepada lawan-lawan politik yang tadinya kurang setuju. Kebijakan publik seperti itu tidak akan mudah dicabut hanya karena alasan kepentingan sesaat dari lawan-lawan politik.

2.2.5. Tujuan Kebijakan

Ada beberapa tujuan kebijakan menurut Hoogerwef dalam Soenarko (2000:82) yaitu :

a. Memelihara ketertiban umum (Negara sebagai stabilisator)

b. Melancarkan perkembangan masyarakat dalam berbagai hal (Negara sebagai perangsang, simulator)

c. Menyesuaikan berbagai aktivitas (Negara sebagai koordinator)

d. Memperuntukkan dan membagi berbagi materi (Negara sebagai pembagi, alokator


(30)

Tujuan-tujuan yang demikian itu, tentu saja merupakan tujuan antara guna untuk mencapai tujuan akhir. Untuk bangsa dan negara Indonesia, tujuan kebijaksanaan itu adalah :

a. Memajukan kesejahteraan umum b. Mencerdaskan kehidupan bangsa c. Ikut melaksanakan ketertiban dunia

Sedangkan untuk tujuan akhirnya (goal) adalah : masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

2.2.6. Evaluasi Kebijakan

Menurut Winarno (2004 : 165), evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai manfaat suatu kebijakan.

Menurut Jones dalam Tangkilisan (2003:25), mengatakan bahwa evaluasi kebijakan adalah peninjauan ulang untuk mendapatkan perbaikan dari dampak yang tidak diinginkan.

Menurut Moshoed (2004:91), mengatakan bahwa evaluasi kebijakan adalah suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat membuahkan hasil.

Dengan disimpulkan dari pengertian-pengertian diatas bahwa evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai apakah suatu kebijakan berhasil mencapai tujuannya dan seberapa besar dampak yang ditimbulkan akibat implementasi kebijakan tersebut.


(31)

Didalam evaluasi kebijakan terdapat beberapa tipe evaluasi, salah satunya seperti yang dikemukakan Heath dalam Tangkilisan (2003:27), membedakan tipe evaluasi kebijakan publik atas 3 (tiga) tipe yaitu :

1. Tipe Evaluasi Proses

Dimana evaluasi ini dilakukan, dan perhatiannya pada pernyataan bagaimana program dilaksanakan.

2. Tipe Evaluasi Dampak

Dimana evaluasi ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengenai apa yang telah dicapai program.

3. Tipe Evaluasi Strategi

Dimana evaluasi ini bertujuan untuk mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana program dapat dilaksanakan secara efektif, untuk memecahkan persoalan-persoalan masyarakat dibanding dengan program-program lain yang ditunjukkan pada masalah yang sama sesuai dengan topik mengenai kebijakan publik.

2.2.7. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi menurut Hartono dalam Alisjahbana (2004:45), adalah proses yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan Negara diwujudkan sebagai “outcome” hasil akhir kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah.

Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (2002:65), menyatakan bahwa implementasi yaitu memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program


(32)

dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian pada suatu kebijakan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implementasi adalah proses yang sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat.

Adapun implementasi kebijakan menurut Islamy (2004:28), dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk memahami “apa yang senyatanya ada dan terjadi” sesudah suatu program yang dirumuskan, yaitu peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan publik, baik itu menyangkut peristiwa-peristiwa.

Menurut Subakti dalam Alisjahbana (2004:28), berdasarkan pada suatu kebijakan terlaksana, terdapat 5 (lima) tahap implementasi kebijakan, yaitu : 1. Menyediakan sumber daya bagi pelaksanaan kebijakan

2. Melaksanakan interpretasi dan penjabaran kebijakan dalam bentuk peraturan melaksanakan dan petunjuk pelaksanaan.

3. Menyusun perencanaan sejumlah langkah kegiatan pelaksanaan menurut waktu, tempat, situasi dan anggaran.

4. Pengorganisasian secara rutin atas personil, anggaran dan sasaran materiil lainnya

5. Memberikan manfaat kepada individu dan masyarakat

Sedangkan menurut Wibawa dan Koryati, Hidayat dalam Tangkilisan (2004:10), mengatakan bahwa implementasi kebijakan yaitu pengejawantahan


(33)

keputusan mengenai kebijakan yang mendasar, biasanya tertuang dalam suatu undang-undang, namun juga dapat berbentuk instruksi-instruksi eksekutif yang penting atau keputusan perundangan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implementasi adalah proses yang sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat.

2.2.7.1. Model-Model Implementasi Kebijakan

Dalam implementasi kebijakan ada beberapa bentuk model implementasi yang dikenal, model ini berguna untuk menyederhanakan sesuatu bentuk dan memudahkan dalam pelaksanaan kebijakan.

Hogwood dan Gunn dalam Wahab (2004 : 71) mengemukakan model “Top Down Approach”. Menurut Hogwood dan Gunn, untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna (perfect implementation) ada 10 (sepuluh) persyaratan, yaitu :

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan / instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan / kendala yang serius.

2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia

4. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kualitas yang andal.


(34)

6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan 8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. 9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna

10. Pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Variable-variable kebijaksanaan bersangkut paut dengan tujuan-tujuan yang telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada badan-badan pelaksana meliputi organisasi formal maupun informal sedangkan komunikasi antar organisasi terkait beserta kegiatan-kegiatan pelaksananya mencakup antar hubungan didalam lingkungan sistem politik dan dengan kelompok-kelompok sasaran. Akhirnya pusat perhatian pada sikap para pelaksana mengantarkan kita pada telaah mengenai orientasi dari mereka yang mengoperasionalkan program di lapangan.

2.2.7.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Menurut Islamy (2004:107), menjelaskan bahwa kebijaksanaan akan menjadi efektif bila dilaksanakan dan mempunyai dampak positif bagi anggota-anggota masyarakat. Dengan kata lain, tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota masyarakat itu bersesuaian dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah dan Negara. Dengan demikian kalau mereka tidak bertindak / berbuat sesuai dengan keinginan pemerintah / negara itu, maka kebijaksanaan negara menjadi efektif.


(35)

Kebijaksanaan apapun sebenarnya mengandung resiko untuk gagal, Hogwood dan Gunn dalam Wahab (2004:61) telah membagi pengertian kegagalan kebijaksanaan (policy failure) dalam 2 (dua) kategori yaitu : non implementation (tidak terimplementasi) dan unsuccessful implementation (implementasi tidak berhasil).

Tidak terimplementasi mengandung arti bahwa suatu kebijaksanaan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat didalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka telah sepenuhnya menguasai permasalahan, sehingga implementasi yang efektif sulit tercapai.

Implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu kebijaksanaan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (semisal tiba-tiba terjadi peristiwa pergantian kekuasaan, bencana alam dan sebagainya). Kebijaksanaan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki.

Menurut Hood dalam Wahab (2004 : 77), bahwa guna mencapai implementasi yang sempurna barangkali diperlakukan suatu sistem satuan administrasi tunggal (unitary administrative sistem) seperti halnya satuan tentara yang besar yang hanya memiliki satuan tanpa kompartementalisasi atau konflik didalamnya.


(36)

2.2.7.3. Keberhasilan Implementasi Kebijakan

Menurut Rippley dan Franklin dalam Tangkilisan (2003:21), menyatakan keberhasilan implementasi kebijakan program dan tinjau dari 3 (tiga) faktor, yaitu :

1. Perspektif kepatuhan yang mengukur implementasi kebutuhan aparatur pelaksana;

2. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan;

3. Implementasi yang berhasil mengarah pada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan.

2.2.8. Penataan PKL (Pedagang Kaki Lima) 1. Kebijakan dan Penataan

Kebijakan berarti serangkaian keputusan yang sifatnya mendasar untuk dipergunakan sebagai landasan bertindak dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Kebijakan menurut Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 mengatur tentang kawasan, lokasi pedagang, waktu berjualan, jenis barang dagangan dan alat peraga yang digunakan untuk berdagang. Lokasi pedagang kaki lima menurut Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 tentang penataan dan pemberdayaan PKL adalah tempat untuk menjalankan usaha PKL yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah yang berada di lahan fasilitas umum yang dikuasai oleh Pemda.


(37)

Sesuai dengan Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 tentang penataan dan pemberdayaan PKL, bahwa kegiatan pedagang kaki lima merupakan usaha perdagangan sektor informal yang perlu diberdayakan guna menunjang pertumbuhan perekonomian masyarakat. Sehingga perlu dilakukan penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima sesuai yang diatur pada pasal 3 yang meliputi waktu kegiatan usaha PKL, mengatur jumlah PKL, menetapkan jenis barang yang diperdagangkan dan mengatur alat peraga PKL.

Penataan dalam kamu besar Bahasa Indonesia (2001:1147), adalah sebagai pola tata perencanaan yang terorganisir untuk sebuah kota dalam membangun misalnya jalan, taman, tempat usaha, dan tempat tinggal agar kota tampak apik, nyaman, indah, lingkungan sehat dan terarah pada masa depan.

Dengan demikian penataan juga mengandung makna sebagai pembaharuan yaitu melakukan usaha untuk membuat sesuatu menjadi lebih sesuai atau cocok dengan kebutuhan, menjadi lebih baik dan menjadi lebih bermanfaat.

2. Penataan Pedagang Kaki Lima

Dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 kebijakan penataan telah diatur pada pasal 2 ayat 3 dimana penetapan, pemindahan dan penghapusan lokasi PKL diatur dengan memperhatikan kepentingan sosial, ekonomi, ketertiban dan kebersihan lingkungan sekitarnya, dalam


(38)

Pemerintah Kota Surabaya mengarah kepada terciptanya suasana kota yang lebih tertib, rapi, indah dan nyaman. Agar keberadaannya tidak mengganggu kenyamanan kota maka dalam menangani PKL perlu dicari solusi yang baik dan bijaksana, karena penertiban tanpa memberi jalan keluar dengan memberi tempat yang memenuhi syarat, sama saja akan mematikan tumbuhnya ekonomi kerakyatan.

Penataan menurut Supriyanto (1996:121), merupakan serangkaian kegiatan dalam rangka melaksanakan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi pembangunan fisik kota, kawasan atau desa berdasarkan rencana tata ruang yang ada sehingga tercapai efisiensi dalam pemanfaatan sumber dana, tenaga dan lahan atau ruang, dan atau juga dapat meningkatkan produktifitas, pemerataan dan perluasan kesempatan kerja, peningkatan kondisi sosial ekonomi, pelestarian budaya dan sejarah serta perbaikan lingkungan hidup.

3. Langkah Kebijakan Penataan

Menurut Simanjuntak (Prisma No. 3, 1985:51), aktivitas program kebijakan penataan PKL dapat dikelompokkan ke dalam 2 pendekatan, yaitu :

1. Mendorong sektor yang ada menjadi formal, PKL diorientasikan nantinya dapat mendirikan toko yang permanen tentunya didirikan pada tempat yang memang khusus untuk menampung pedagang formal. Misalnya pasar pusat perbelanjaan modern dan dalam jangka waktu tertentu diharapkan usaha PKL menjadi lebih maju dan bersedia


(39)

serta mampu untuk pindah ke pasar atau toko sesuai dengan jenis barang dagangannya.

2. Dilakukan relokasi, yaitu penempatan PKL di lokasi baru yang dianggap penting karena PKL sering dianggap menimbulkan kerugian sosial dan kemacetan jalan. Namun penempatan ini perlu dipertimbangkan faktor konsumen dan kemampuan penyesuaian lokasi baru tersebut. Di satu pihak perlu diperlakukan yang manusiawi oleh para petugas, akan tetapi di pihak lain yang tidak kalah penting adalah konsistensi pengaturan yang perlu diterapkan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aktivitas-aktivitas program kebijakan penataan PKL dapat dilakukan dengan mendorong sektor informal menjadi formal, meningkatkan kemampuan dalam usaha sektor informal, serta menyediakan lokasi baru bagi para PKL.

2.2.9. Sektor Informal

Menurut Sathuraman dalam Alisjahbana (2003:10), bahwa sektor informal terdiri dari unit usaha kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi diri sendiri dan dalam usahanya sangat dihadapkan berbagai kendala seperti faktor modal fisik, faktor pengetahuan dan faktor keterampilan.

Pendapat yang dikemukakan oleh Wirosardjono dalam Alisjahbana (2003:13), bahwa sektor informal adalah suatu kondisi nyata dari berbagai kegiatan sejumlah tenaga kerja yang umumnya berpendidikan rendah, tidak


(40)

Sedangkan menurut Hidayat dalam Alisjahbana (2003), sektor informal mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a. Kegiatan usahanya tidak terorganisir secara baik karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor informal.

b. Pada umumnya tidak mempunyai ijin usaha

c. Pola usaha tidak teratur, baik lokasi maupun jam kerja

d. Tidak terkena langsung kebijakan pemerintah untuk membantu ekonomi lemah

e. Unit usaha mudah beralih antar sub sektor f. Berteknologi rendah

g. Skala operasinya kecil karena modal dan perputaran usahanya juga relatif kecil

h. Tidak memerlukan pendidikan formal, karena hanya dibantu pekerja keluarga yang tidak dibayar.

i. Mereka bermodal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi

j. Pada umumnya bekerja sendiri atau hanya dibantu pekerja keluarga yang tidak dibayar

k. Sebagian besar hasil produksi atau jasa mereka hanya dinikmati masyarakat berpenghasilan rendah serta sebagian kecil masyarakat golongan menengah. l.


(41)

2.2.10. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL di Kota Surabaya

Peningkatan jumlah PKL yang terjadi di kota-kota besar, seperti Surabaya telah berdampak terganggunya kelancaran lalu lintas, ketertiban dan kebersihan kota serta fungsi prasarana kota. Selain mengganggu berbagai aktivitas kota, PKL yang merupakan usaha perdagangan sektor informal perlu dilakukan penataan untuk menunjang pertumbuhan perekonomian masyarakat dan sekaligus sebagai salah satu pilihan dalam penyediaan barang dagangan yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan harga yang relative terjangkau.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka Pemerintah Kota Surabaya mengeluarkan Peraturan Daerah kota Surabaya Nomor 17 Tahun 2003 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.

Dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 pasal 2 menjelaskan tentang : 1. Kegiatan usaha Pedagang kaki Lima dapat dilakukan di daerah;

2. Kepala Daerah berwenang untuk menetapkan, memindahkan dan menghapus lokasi PKL;

3. Penetapan, pemindahan dan penghapusan lokasi PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan memperhatikan kepentingan sosial, ekonomi, ketertiban dan kebersihan lingkungan sekitarnya;

4. Kepala daerah berwenang melarang penggunaan lahan fasilitas umum tertentu untuk tempat usaha PKL;


(42)

Selain itu Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 pasal 3 juga menjelaskan bahwa Kepala Daerah berwenang :

1. Menetapkan dan mengatur waktu kegiatan usaha PKL;

2. Menetapkan dan mengatur jumlah PKL pada setiap lokasi PKL; 3. Menetapkan jenis barang yang diperdagangkan;

4. Mengatur alat peraga PKL

Pada dasarnya Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 dibuat untuk mengatur secara umum tentang penataan dan pemberdayaan PKL di semua sudut kota Surabaya. Dalam pelaksanaannya Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 mengatur tentang Penetapan Waktu Kegiatan, Jumlah PKL, Jenis Barang dan Alat Peraga.

Sedangkan ketentuan Tanda Daftar Usaha diatur pada pasal 4 yang berisi :

1. Setiap orang dilarang melakukan usaha PKL pada fasilitas umum yang dikuasai oleh Kepala Daerah tanpa memiliki Tanda Daftar Usaha yang dikeluarkan Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk;

2. Untuk memperoleh Tanda Daftar Usaha yang bersangkutan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk; 3. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus dilampiri :

a. Kartu Tanda Penduduk (KTP) Surabaya;

b. Rekomendasi dari Camat yang wilayah kerjanya meliputi lokasi PKL yang dimohon;

c. Gambar alat peraga PKL yang akan dipergunakan; d. Surat pernyataan yang berisi :


(43)

1) Tidak akan memperdagangkan barang illegal;

2) Tidak akan membuat bangunan permanent / semi permanent di lokasi tempat usaha;

3) Mengosongkan / mengembalikan / menyerahkan lokasi PKL kepada Pemerintah Daerah apabila lokasi dimaksud sewaktu-waktu dibutuhkan oleh Pemerintah Daerah, tanpa syarat apapun.

4) Tata cara permohonan dan pemberian Tanda Daftar Usaha ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Daerah.

5) Jangka waktu Tanda Daftar Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang

Selain itu juga diatur dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 pasal 5 mengenai kewajiban dan larangan pemegang Tanda Daftar usaha PKL, yaitu : 1. Memelihara kebersihan, keindahan, ketertiban, keamanan dan kesehatan

lingkungan tempat usaha;

2. Menempatkan sarana usaha dan menata barang dagangan dengan tertib dan teratur;

3. Menempati sendiri tempat usaha sesuai Tanda Daftar Usaha yang dimiliki; 4. Mengosongkan tempat usaha apabila Pemerintah Daerah mempunyai

kebijakan lain atas lokasi tempat usaha tanpa meminta ganti rugi;

5. Mematuhi ketentuan penggunaan lokasi PKL dan ketentuan usaha PKL yang ditetapkan oleh Kepala Daerah;


(44)

7. Mengosongkan tempat usaha dan tidak meninggalkan alat peraga di luar jam operasional yang telah ditentukan oleh Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk.

Yang dijelaskan pula dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 pasal 6 yang berisi :

1. Mendirikan bangunan permanen / semi permanen di lokasi PKL; 2. Mempergunakan tempat usaha sebagai tempat tinggal;

3. Menjual barang dagangan yang dilarang untuk diperjualbelikan;

4. Melakukan kegiatan usaha di lokasi PKL selain yang telah dinyatakan dalam Tanda Daftar Usaha;

5. Mengalihkan Tanda Daftar Usaha PKL kepada pihak lain dalam bentuk apapun.

Sedangkan pengawasan dan penertiban diatur dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 BAB V pasal 9, yaitu :

1. Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan pengawasan atas pelaksanaan Peraturan Daerah ini;

2. Dinas Polisi Pamong Praja atau Instansi lain yang mempunyai tugas untuk menegakkan Peraturan Daerah berwenang melaksanakan penertiban atas pelanggaran Peraturan Daerah ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

3. Ketentuan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Kepala Daerah.


(45)

Sanksi administratif diatur dalam Perda kota Surabaya No. 17 Tahun 2003 pasal 10, yaitu :

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (5), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 dan Pasal 6, Kepala Daerah berwenang memberikan peringatan-peringatan dan atau membongkar sarana usaha atau mengeluarkan barang dagangan yang dipergunakan untuk usaha PKL dari fasilitas umum yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah / lokasi PKL.

2.2.11. Kebersihan Lingkungan

Kebersihan menurut Entjang (1997:100), adalah bersih dan tidak kotor. Yang dimaksud dengan suatu keadaan yang bersih, tidak kotor yakni tidak hanya secara fisik saja, tetapi juga mencakup kesehatan atau sanitasi dalam arti keadaan yang bersih dan terbebas dari pencemaran terhadap lingkungan fisik seperti polusi udara, polusi tanah dan polusi air.

Kebersihan tidak hanya dirasakan dan dilihat secara fisik belaka, namun mencakup kebersihan dalam arti kesehatan. Terhindarnya sampah serta akibat yang ditimbulkannya seperti bau busuk, pemandangan yang kurang baik, tempat bersarang berbagai serangga dan binatang lain yang menyebabkan penyakit.

Menurut Marbun (1994:107-108), dalam melakukan aktivitasnya PKL juga dapat menyebabkan permasalahan kebersihan lingkungan. Selain kebersihan lingkungan yaitu masalah sampah yang biasanya muncul, PKL juga membawa akibat bagi pencemaran lingkungan yaitu :


(46)

1. Bau busuk yang mengganggu warga kota yang berada di dekat pembuangan sampah.

2. Mempercepat atau sumber penularan penyakit

3. Tersumbatnya got-got dan aliran sungai yang pada musim penghujan memperbesar bahaya banjir


(47)

2.3. Kerangka Berpikir

Berdasarkan landasan teori diatas, penelitian ini merupakan satu macam variabel atau variabel mandiri yaitu kebijakan penataan pedagang kaki lima di kawasan viaduk gubeng Surabaya. Hal ini dapat dilihat pada susunan suatu model alur kerangka sebagai berikut :

Gambar 1 Kerangka Berpikir

Sumber : Teori yang diolah

Perda Kota Surabaya Nomor 17 Tahun 2003 pasal 3 Tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Kota

S b

Impelentasi Perda Kota Surabaya Nomor 17 Tahun 2003 pasal 3 Tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Kota

Waktu berdagang Jenis

barang

Alat peraga Jumlah


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat deskriptif, yang mencoba menggambar secara mendalam suatu obyek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak. Hal ini selaras dengan pendapat Hadi (1993:03) bahwa penelitian deskriptif sebagai suatu penelitian bertujuan untuk melukiskan keadaan obyek atau peristiwa tertentu tanpa maksud mengambil kesimpulan yang berlaku secara umum.

Penelitian yang digunakan penelitian kualitatif dengan maksud ingin memperoleh gambaran yang komprehensif dan mendalam tentang Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima di Jl. Gubeng pojok (kawasan Viaduk Gubeng).

Secara teoritis, menurut Bagdan dan Taylor dalam Moleong (2007:4), penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang dapat diamati. Menurut pendapat tersebut, pendekatan penelitian diharapkan pada latar dan individu tersebut secara holistic (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.

Sedangkan menurut Denzin dan Lincoln dalam Moleong (2007:5) penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan


(49)

maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.

Menurut Richie dalam Moleong (2007:6) penelitian kualitatif adalah upaya untuk menyajikan dunia sosial dan perspektifnya didalam dunia dari segi konsep, perilaku, persepsi dan persoalan tentang manusia yang diteliti.

Dari kajian tentang definisi-definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud menggambarkan dan memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara-cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan metode ilmiah.

3.2. Fokus Penelitian

Penentuan fokus penelitian diperlukan dalam membantu pelaksanaan penelitian, jika penelitian ditentukan tepat sesuai dengan tujuan dan masalah penelitian, maka penelitian yang dilakukan akan terarah dan berhasil dengan baik.

Menurut Moleong (2007 : 94) menyatakan bahwa ada dua maksud tertentu yang ingin peneliti capai dalam merumuskan masalah penelitian dengan jalan memanfaatkan fokus. Pertama, fokus dapat membatasi studi, jadi dalam hal ini fokus akan membatasi bidang inkuiri sehingga peneliti tidak perlu kesana kemari untuk mencari subjek penelitian. Kedua, penetapan fokus itu berfungsi untuk memenuhi kriteria inklusif – eksklusif atau kriteria masuk – keluar suatu


(50)

mantap, seorang peneliti dapat membuat keputusan yang tepat tentang data yang dikumpulkan dan mana yang tidak perlu dijamah atau mana yang akan dibuang.

Penelitian kualitatif digunakan variabel mandiri tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan variabel yang lain dalam penelitian ini yang menjadi variabel penelitian adalah. Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima di Jl. Gubeng pojok (kawasan Viaduk Gubeng). Dan tidak ada satupun yang dapat dilakukan tanpa adanya fokus. Adapun yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah :

1. Implementasi Kebijakan Penataan PKL di jalan gubeng pojok Surabaya dilihat pada Perda kota Surabaya Nomor 17 Tahun 2003 tentang penataan dan pemberdayaan PKL pasal 3 yang meliputi :

a. Pengaturan jumlah PKL pada setiap lokasi PKL b. Pengaturan jenis barang yang diperdagangkan PKL c. Pengaturan alat peraga PKL


(51)

Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat yang digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan keadaan sebenarnya dari obyek yang diteliti guna memperoleh data yang akurat. Agar dapat memperoleh data yang akurat atau mendekati kebenaran yang sesuai dengan fokus penelitian, maka peneliti memilih dan menetapkan lokasi penelitian ini di Jl. Gubeng pojok (kawasan Viaduk Gubeng) yang merupakan salah satu lokasi penataan PKL di Kota Surabaya sebagai lahan berjualan para PKL dan penelitian ini berdasarkan secara disengaja (purposive), yaitu lokasi dipilih dengan pertimbangan yang berkaitan dengan judul yang dipilih.

3.3. Sumber Data

Menurut Lofland dalam Moleong (2007:157), sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah berasal dari informan yang berupa kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data adalah tempat penelitian dapat menemukan data dan informasi yang diperlukan berkenaan dengan penelitian ini yang diperlukan melalui informasi, peristiwa dan dokumen.

Yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah subyek dimana data diperoleh dari informasi yang diperlukan berkenaan dengan penelitian ini yang diperoleh melalui informan, peristiwa dan dokumen, yaitu :


(52)

1. Informan

Dipilih secara purposive (purposive sampling) yang didasarkan pada subyek yang menguasai permasalahan, memiliki data dan bersedia memberikan data yang benar-benar relevan dan komprehensif dengan masalah penelitian. Sedangkan informan yang selanjutnya diminta pula untuk menunjuk orang lain yang dapat memberikan informasi dan seterusnya. Adapun informan dalam penelitian ini antara lain :

a. Kepala Bidang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Dinas Koperasi dan UMKM Pemkot Surabaya

b. Paguyuban Sentra PKL Viaduk gubeng c. Para PKL di Sentra PKL Viaduk gubeng 2. Tempat atau peristiwa

Tempat atau peristiwa yang dimana fenomena itu terjadi atau yang pernah terjadi berkaitan dengan fokus penelitian, tentang Penataan PKL di Sentra PKL Viaduk gubeng Kecamatan Gubeng Kota Surabaya.

3. Dokumen

Dokumen disini adalah dipakai sebagai sumber data lain yang sifatnya melengkapi data utama yang relevan dengan masalah dan fokus penelitian, seperti data demografi dan monografi di lokasi penelitian.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Data merupakan bagian terpenting dalam penelitian, karena hakekat dari peneliti adalah mencari data yang nantinya diinterpretasikan dan dianalisa dalam


(53)

penelitian kebijakan pengumpulan data diperlukan suatu teknik untuk memudahkan dalam upaya-upaya mengumpulkan data di lapangan.

Dalam pengumpulan data, terdapat 3 (tiga) proses kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu :

a) Wawancara atau interview

Menurut Lincoln dan Guba dalam Moleong (2007 : 186), wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu dan dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.

Wawancara jenis ini tidak dilaksanakan dengan struktur ketat, tetapi dengan pertanyaan yang semakin memfokus pada permasalahan sehingga informasi yang dikumpulkan cukup mendalam. Kelonggaran semacam ini mampu mendapatkan kejujuran informan untuk memberikan informasi yang sebenarnya, terutama yang berkenaan dengan perasaan, sikap dan pandangan mereka terhadap pelaksanaan kerjanya. Teknik wawancara semacam ini dilakukan dengan semua informan yang ada pada lokasi peneliti terutama untuk mendapat data valid guna menjawab permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini yang diwawancarai adalah : Kepala Bidang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Dinas Koperasi Pemkot Surabaya, Paguyuban Sentra PKL Viaduk Gubeng dan para PKL di Sentra PKL Viaduk Gubeng.


(54)

b) Pengamatan atau Observasi

Observasi dilakukan oleh peneliti untuk mengungkap dan memperoleh deskripsi secara utuh dengan pengamatan langsung kepada para PKL, mulai dari peringatan untuk penataan, sosialisasi dalam melaksanakan penataan sampai dengan pelaksanaan penataan pedagang kaki lima di Jl. Gubeng pojok kota Surabaya.

c) Dokumentasi

Teknik dokumentasi dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang dilaksanakan dengan cara mengumpulkan data dalam penataan yang berhubungan dengan penataan PKL dalam bentuk gambar / foto.

3.5. Analisa Data

Menurut Sugiyono (2005:85), analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sitematis data yang diperoleh dari hasil wawancara catatan laporan, dan dokumen dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka setelah data terkumpul, proses selanjutnya adalah menyederhanakan data yang diperoleh ke dalam bentuk yang mudah dibaca, dipahami, dan diinterpretasikan yang pada hakekatnya merupakan upaya mencari jawaban atas permasalahan yang ada sesuai dengan tipe penelitian deskriptif kualitatif, karena itulah data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisa


(55)

secara kualitatif, artinya dari data yang ada dianalisa serinci mungkin dengan jalan mengabstraksikan secara teliti setiap informasi yang diperoleh di lapangan, sehingga diharapkan dapat diperoleh kesimpulan yang memadai.

Menurut Miles dan Huberman (1992:16) teknik analisis data kualitatif meliputi tiga unsur alur kegiatan sebagai sesuatu yang terjadi pada saat sebelum, selama dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk sejajar untuk membangun suatu analisis, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan / verifikasi.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dengan menggunakan model interaktif (interactive model of analysis) yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (2007:15-21). Dalam model ini terdapat tiga komponen analisis, yaitu sebagai berikut :

a. Reduksi Data

Reduksi Data diartikan sebagai proses pemilihan, perumusan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisa menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu hingga kesimpulan-kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan diverifikasi. Data yang diperoleh dari lokasi penelitian atau data di lapangan dalam uraian yang jelas dan lengkap, yang nantinya akan direduksi, dirangkai, difokuskan pada hal-hal yang berkaitan dengan penelitian kemudian dicari tema atau pola (melalui proses penyuntingan, pemberian kode dan pembuatan


(56)

b. Penyajian Data

Penyajian data merupakan sekumpulan informasi yang telah tersusun secara terpadu dan sudah dipahami yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan mengambil tindakan.

c. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi

Penarikan kesimpulan dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian sejak peneliti memasuki lokasi penelitian dan proses pengumpulan data langsung, peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari pola, tema, hubungan, persamaan, dan hal-hal yang sering timbul yang dituangkan dalam kesimpulan.

Proses analisa data secara interaktif ini dapat disajikan dalam bentuk skema sebagai berikut :


(57)

Analisa Data

Sumber : Miles dan Huberman (1992 : 20)

3.6. Keabsahan Data

Menurut Moleong (2007:324), untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada 4 (empat) kriteria yang digunakan, yaitu :

1. Derajat Kepercayaan (Credibility)

Penerapan kriterium derajat kepercayaan (kredibilitas) pada dasarnya menggantikan konsep validitas internal dari non kualitatif. Kriterium ini berfungsi untuk melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat

Pengumpulan Data Penyajian Data

Reduksi Data

Kesimpulan dan Verifikasi


(58)

kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti.

2. Keteralihan (tranferality)

Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan pengalihan tersebut seorang peneliti hendaknya mencari dan mengumpulkan kejadian empiris tentang kesamaan konteks dengan demikian peneliti bertanggung jawab untuk menyediakan data deskriptif secukupnya jika ia ingin membuat keputusan tentang pengalihan tersebut. Untuk keperluan itu peneliti harus melakukan penelitian kecil untuk memastikan usaha memverifikasi tersebut.

3. Kebergantungan (dependability)

Kebergantungan merupakan substitusi istilah reliabilitas dalam penelitian yang nonkualitatif. Pada cara nonkualitatif yaitu dengan diadakan pengulangan studi dalam suatu kondisi yang sama dan hasilnya secara esensial sama maka dikatakan reliabilitas ditunjukkan dengan mengadakan replikasi studi. Jika dua atau beberapa kali diadakan pengulangan suatu studi dalam kondisi yang sama dan hasilnya secara esensial sama, dikatakan reliabilitasnya tercapai. Hal ini benar sama dengan alamiah yang mengandalkan orang sebagai instrument. Mungkin karena kelebihan, atau karena keterbatasan mengingat sehingga membuat kesalahan-kesalahan. Namun, kekeliruan yang dibuat orang demikian jelas tidak mengubah keutuhan kenyataan yang distudi. Konsep kebergantungan lebih luas daripada reliabilitas. Hal tersebut disebabkan oleh peninjauannya dari segi bahwa konsep itu memperhitungkan segala-galanya,


(59)

yaitu yang ada pada reliabilitas itu sendiri ditambah faktor-faktor lainnya yang bersangkutan.

4. Kepastian (confirmability)

Kepastian berasal dari konsep objektivitas menurut nonkualitatif. Nonkualitatif menetapkan objektivitas dari segi kesepakatan antar subjek. Disini pemastian bahwa sesuatu itu objektif atau tidak bergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat, dan penemuan seseorang. Dapatlah dikatakan bahwa pengalaman seseorang itu subjektif sedangkan jika disepakati oleh beberapa orang atau banyak orang, barulah dapat dikatakan objektif. Hal itu digali dari pengertian bahwa jika sesuatu itu objektif, berarti dapat dipercaya, faktual dan dapat dipastikan.

Berdasarkan hal tersebut diatas, jelaslah bahwa data yang diperoleh di lapangan tidak dibuktikan dengan angka-angka tetapi berisikan uraian-uraian sehingga menggambarkan hasil yang sesuai dengan data yang telah dianalisa kemudian diinterpretasikan. Masalah yang dihadapi diuraikan dengan berpatokan pada teori-teori serta temuan yang diperoleh pada saat penelitian tersebut, kemudian dicarikan kesimpulan dan jalan pemecahannya.


(60)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian

4.1.1. Deskripsi Dinas Koperasi Dan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya

4.1.1.1. Sejarah Dinas Koperasi Dan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah Kota Surabaya

Sejak adanya otonomi Daerah sesuai dengan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2001 maka nama Departemen Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya berganti nama menjadi Dinas Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah Pemerintah kota Surabaya sampai dengan tahun 2005, dan pada tahun itu juga berganti nama lagi menjadi Dinas Koperasi dan Sektor Informal Pemerintah Kota Surabaya. Sampai pada akhirnya pada tanggal 20 Desember 2008 Dinas Koperasi dan Sektor Informal Pemerintah Kota Surabaya berubah nama lagi menjadi Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan menengah Pemerintah Kota Surabaya.

Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya dalam ruang geraknya harus tetap mengacu pada perkembangan ekonomi kerakyatan khususnya yang berkaitan dengan perkembangan perkoperasian dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang keberadaannya dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Pemerintah Kota Surabaya.


(61)

Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya dipimpin oleh Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Daerah, melalui Sekretaris Daerah Kota Surabaya. Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya terletak di Jalan Gayungsari No. 1 Surabaya.

Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Meningkatkan kualitas kelembagaan dan usaha koperasi 2. Meningkatkan kualitas kelembagaan dan usaha mikro

3. Meningkatkan kualitas kelembagaan dan usaha Pedagang Kaki Lima (PKL). Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya mempunyai sasaran sebagai berikut :

1. Terwujudnya pembinaan kelembagaan dan usaha 1.130 koperasi 2. Terwujudnya pembinaan kelembagaan dan usaha 1.585 usaha mikro

3. Terwujudnya pembinaan kelembagaan dan usaha bagi 4.000 Pedagang Kaki Lima (PKL).

4.1.1.2. Visi dan Misi Dinas Koperasi dan Usaha Mikro dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya

Untuk melaksanakan kewenangan di bidang koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), maka Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya menetapkan visi dan misi sebagai berikut :


(62)

a. Visi

“Mewujudkan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang berkualitas dan Peduli” untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan tersebut di atas Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya perlu menetapkan misi guna menentukan tujuan dan sasaran yang akan dicapai, sehingga dapat diambil langkah kegiatan yang harus dilaksanakan.

b. Misi

1. Mewujudkan Koperasi dengan berkualitas baik 2. Mewujudkan Usaha Mikro yang terbina

3. Mewujudkan Perdagangan Kaki Lima (PKL) yang terbina

Dengan terbinanya visi dan misi Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya tersebut diharapkan pelaksanaan kewenangan di bidang koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) lebih terarah.

4.1.1.3. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Koperasi dan Usaha Mikro dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya

Berdasarkan peraturan Walikota Surabaya No. 68 Tahun 2005 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya mempunyai tugas yaitu melaksanakan kewenangan di bidang Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah. Dinas dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya juga mempunyai fungsi yaitu :


(63)

1. Perumusan kebijakan teknis di bidang Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)

2. Pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan umum 3. Pembinaan terhadap Unit Pelaksanaan Teknis Dinas (UPTD) 4. Pelaksanaan pengelolaan tata usaha

5. Tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya.

4.1.1.4. Struktur Organisasi Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya

Setiap departemen atau organisasi pastinya mempunyai struktur organisasi untuk setiap organisasi untuk menjalankan roda organisasi dan keberadaannya sangat penting sekali, baik kelancaran maupun keefektifannya. Oleh karena itu struktur organisasi adalah suatu kerangka yang menunjukkan setiap tugas seseorang di dalam suatu organisasi, sehingga jelas batas-batasnya, hubungannya, wewenang dan tanggung jawabnya dalam usaha untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 14 Tahun 2005 Tentang Penjabatan Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Mencegah Pemerintah Kota Surabaya mempunyai struktur organisasi, yang dapat dilihat pada gambar berikut :


(64)

Gambar 2

Struktur Organisasi Dinas Koperasi

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya

Sumber: Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya 2012.

KEPALA DINAS KOPERASI USAHA MIKRO, KECIL

DAN MENGENGAH Drs. Hadi Mulyono, MM

SEKRETARIAT Ir. Indati Kusuma Wardhani. MT.

JABATAN FUNGSIONAL

TERTENTU

BID. KELEMBAGAAN DAN SDM Drs. Rudi Haryono. MM.

SEKSI KELEMBAGAAN

KOPERASI Dahliana Lubis. SP.

SEKSI SUMBER DAYA

MANUSIA Dra. Sunarsih. MM

SUB. BAG. UMUM KEPEGAWAIAN M. Syahroel Sulaiman. SH.MM.

SUB. BAG. KEUANGAN Drs. Endro Bintoro

BID. USAHA KOPERASI Drs. Sugeng Prijadi

BID. USAHA MIKRO KECIL MENENGAH Drs. Moch. Djamal. MM.

SEKSI JASA DAN PEMASARAN Drs. Sutardini SEKSI KEMITRAAN & PERMODALAN Drs. Kasban SEKSI USAHA KECIL & MENENGAH Ratnawati. BA SEKSI USAHA MIKRO

Drs. Sapto Hadu. MM


(65)

4.1.1.5. Tugas Pokok dan Fungsi Pegawai Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya.

1. Kepala Dinas

Kepala Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala Daerah, melalui Sekretaris Daerah Kota Surabaya.

Jabatan ini dipegang oleh Drs. Hadi Mulyono, MM Kepala Dinas mempunyai tugas:

1. Perumusan kebijakan teknis dibidang Koperasi dan Sektor Informal. 2. Pemberian perijinan dan pelaksanaan pelayanan umum

3. Pembinaan terhadap Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) 4. Pengelolaan ketatausahaan Dinas.

5. Pelaksanaan Tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya.

2. Bagian Sekretariat

Bagian Sekretariat mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di bidang Kesekretariatan. Jabatan ini dipegang oleh Ir. Indati Kusuma Wardhani, MT.

Bagian Kesekretariatan mempunyai fungsi:

1. Pelaksanaan koordinasi perencanaan program, anggaran dan laporan dinas. 2. Pelaksanaan pembinaan organisasi dan ketatalaksanaan.


(66)

4. Pengelolaan surat menyurat, dokumentasi, rumah tangga dinas, kearsipan dan perpustakaan.

5. Pemeliharaan rutin gedung dan perlengkapan/peralatan kantor. 6. Pelaksanaan hubungan masyarakat dan keprotokolan.

7. Pelaksanaan administrasi perizinan/pemberian rekomendasi. a. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian

Sub Bagian Umum dan Kepegawaian dipimpin oleh seorang Kepala Sub Bagian yang dalam melaksanakan tugas berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Bagian Kesekretariatan.

Jabatan ini dipegang oleh M. Syahroel Sulaiman, SH, MM Sub Bagian Umum dan Kepegawaian mempunyai tugas:

1. Menyiapkan bahan penyusunan rencana program dan petunjuk teknis di bidang umum dan kepegawaian.

2. Menyiapkan bahan pelaksanaan rencana program dan petunjuk teknis di bidang umum dan kepegawaian.

3. Menyiapkan bahan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga dan instansi lain di bidang umum dan kepegawaian.

4. Menyiapkan bahan pengawasan dan pengendalian di bidang umum dan kepegawaian.

5. Menyiapkan bahan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas.

6. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh sekretaris sesuai dengan tugas dan fungsinya.


(67)

b. Sub Bagian Keuangan

Sub Bagian Keuangan dipimpin oleh seorang Kepala Sub Bagian yang dalam melaksanakan tugas berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Bagian Kesekretariatan.

Jabatan ini dipegang oleh Drs. Endro Bintoro Sub Bagian Keuangan mempunyai tugas:

1. Menyiapkan bahan penyusunan rencana program dan petunjuk teknis dibidang keuangan.

2. Menyiapkan bahan pelaksanaan rencana program dan petunjuk di bidang keuangan.

3. Menyiapkan bahan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga dan instansi lain di bidang keuangan.

4. Menyiapkan bahan pengawasan dan pengendalian bidang keuangan. 5. Menyiapkan bahan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas.

6. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh sekretaris sesuai dengan tugas dan fungsinya.

3. Bidang Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia

Bidang kelembagaan dan Sumber Daya Manusia mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di bidang kelembagaan dan sumber daya manusia.

Jabatan ini dipegang oleh Drs. Rudi Haryono, MM


(68)

1. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi.

2. Pengesahan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran serta pembubaran koperasi dalam wilayah kota.

3. Pemberian fasilitas pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi dalam wilayah kota.

4. Pemberian fasilitas pelaksanaan pengesahan perubahan AD atau ART yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi dalam wilayah kota.

5. Pemberian fasilitas pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat kota sesuai dengan pedoman pemerintah ditingkat kota.

6. Pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP dalam wilayah kota.

7. Pemberian fasilitas pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP dalam wilayah kota.

8. Pemberian sanksi administrasi kepada KSP dan USP dalam wilayah kota yang tidak melaksanakan kewajibannya.

9. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah kota.

10. Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi dalam wilayah kota. 11. Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah kota.


(69)

a. Seksi Kelembagaan Koperasi

Seksi kelembagaan koperasi dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang dalam melaksanakan tugas berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Bidang Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia.

Jabatan ini dipegang oleh Dahliana Lubis, SP Seksi Kelembagaan Koperasi mempunyai tugas:

1. Menyiapkan bahan penyusunan rencana program dan petunjuk teknis di bidang kelembagaan koperasi.

2. Menyiapkan bahan pelaksanaan rencana program dan petunjuk teknis di bidang kelembagaan koperasi.

3. Menyiapkan bahan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga dan instansi lain di bidang kelembagaan koperasi.

4. Menyiapkan bahan pengawasan dan pengendalian di bidang kelembagaan koperasi.

5. Menyiapkan bahan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas.

6. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bidang Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia sesuai dengan tugas dan fungsinya.

b. Seksi Pembinaan Sumber Daya Manusia

Seksi Pembinaan Sumber Daya Manusia dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang dalam melaksanakan tugas berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Bidang Kelembagaan dan Sumber


(70)

Seksi Pembinaan Sumber Daya Manusia mempunyai tugas :

1. Menyiapkan bahan penyusunan rencana program dan petunjuk teknis di bidang pembinaan sumber daya manusia.

2. Menyiapkan bahan pelaksanaan rencana program dan petunjuk teknis di bidang pembinaan sumber daya manusia.

3. Menyiapkan bahan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga dan instansi lain di bidang pembinaan sumber daya manusia.

4. Menyiapkan bahan pengawasan dan pengendalian di bidang pembinaan sumber daya manusia.

5. Menyiapkan bahan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas.

6. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bidang Kelembagaan.

4. Bidang Usaha Koperasi

Bidang usaha koperasi mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di bidang usaha koperasi. Jabatan ini dipegang oleh Drs. Sugeng Prijadi

Bidang Usaha Koperasi mempunyai tugas :

1. Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat kota, penyusunan rencana program dan petunjuk teknis di bidang usaha koperasi.

2. Pemberian fasilitas pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat kota.


(1)

ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan.

Menurut pengamatan penulis, untuk jumlah PKL belum terimpelemantasi dengan baik, meskipun para pedagang kaki lima sudah mematuhi aturan yang ditentukan antara pihak paguyuban dengan Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya, yaitu tidak berdagang di luar area yang telah disediakan. Hal tersebut disebabkan masih adanya stand-stand yang masih kosong.

Menurut data yang diperoleh, jumlah PKL yang berjualan di Sentra PKL Viaduk Gubeng Surabaya sebanyak 30 PKL dan semuanya telah tergabung di dalam paguyuban Sentra PKL Viaduk Gubeng Surabaya. Jumlah tersebut dapat bertambah dikarenakan ada tempat yang masih kosong.

2. Jenis Barang Dagang

Hasil penelitian di lapangan diketahui bahwa tidak ada PKL yang menjual belikan barang terlarang. Semua pedagang menjual produk makanan dan minuman dan sebagian kios-kios kecil (pedagang rokok dan mracang), seperti yang kemukakan oleh Wirosardjono dalam Alisjahban (2003:14) mengemukakan PKL adalah pola kegiatan tidak teratur, dalam artian waktu, permodalan maupun penerimaannya, tidak tersentuh oleh peraturan atau


(2)

ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah, modal peralatan dan perlengkapan umum omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas hitungan harian.

Menurut penulis untuk dilakukannya pengelompokan jenis barang dagang tidak terimplementasi dengan baik, hal ini dikarenakan apabila diseragamkan jenis barang dagangannya dikhawatirkan adanya persaingan yang tidak sehat yang akan menimbulkan kecemburuan sosial antara pedagang.

3. Alat Peraga

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan diperoleh mengenai alat peraga, saat ini di Sentra PKL Viaduk Gubeng Surabaya berupa tenda adalah hasil kerjasama antara Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Pemerintah Kota Surabaya beserta pihak paguyuban. Dan rombong/gerobak hasil adalah swadaya dari para pedagang kaki lima itu sendiri, hal ini disebabkan belum adanya sponsor atau kerjasama dengan pihak swasta ataupun bantuan dari pihak pemerintah.

Seperti yang diungkapkan oleh Simanjutak (Prisma, 2005:51), menyebutkan bahwa salah satu penata PKL adalah adanya revolusi penempatan PKL di lokasi yang baru. Hal ini dapat diartikan bahwa dengan penempatan PKL yang baru juga harus memperhatikan para PKL untuk dapat berubah menjadi baik.

Dengan adanya tempat berdagang yang telah disediakan dan tidak mengganggu jalan, maka alat peraga PKL viaduk gubeng Surabaya telah terimplementasi dengan baik, akan tetapi masih kurang sempurna. Hal ini

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(3)

dikarenakan gerobak /rombong masih hasil swadaya para pedagang masing-masing dan belum adanya penyeragaman rombong /gerobak.

4. Waktu berdagang

Easton dalam Tangkilisan (2003:02), bahwa kebijakan merupakan pengalokasian nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai kepada masyarakat.

Dengan adanya waktu berdagang yang bebas maka terimplementasi dengan baik. Hal ini karena sudah sesuai dengan kesepakatan antara pihak paguyuban dengan Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Mikro dan Menengah Pemkot Surabaya.


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian di lapangan tentang implementasi kebijakan penataan PKL di sentra PKL Viaduk Gubeng Surabaya dilakukan analisa bahwa pelaksanaan implementasi kebijakan penataan PKL di PKL di sentra PKL viaduk gubeng Surabaya.

Untuk implementasi pengaturan jumlah pedagang saat ini bisa dikatakan belum terimplementasi dengan baik sesuai dengan harapan semua pihak, dimana saat ini para PKL yang sudah berdagang dengan menempati lokasi yang ditentukan belum memenuhi kuota dari tempat yang disediakan.

Untuk saat ini pengelompokan jenis barang dagangan di Sentra PKL di sentra PKL Viaduk Gubeng Surabaya belum bisa dilaksanakan, hal ini dikarenakan apabila pengelompokan jenis dagangan dilaksanakan akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan menciptakan kecemburuan sosial antara pedagang. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan untuk implementasi pengaturan jenis dagangan di Sentra PKL di sentra PKL Viaduk Gubeng Surabaya secara umum belum terimplementasi dengan baik.

Untuk implementasi pengaturan alat peraga yang digunakan oleh para PKL di sentra PKL Viaduk Gubeng Surabaya dapat dikatakan sudah terimplementasi dengan baik, akan tetapi masih kurang sempurna. Hal ini

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(5)

dikarenakan gerobak/rombong masih swadaya para pedagang masing-masing dan belum adanya penyeragaman rombong/gerobak.

Untuk implementasi pengaturan waktu berdagang para PKL di sentra PKL

Viaduk Gubeng Surabaya dapat dikatakan sudah terimplementasi dengan baik. Hal ini karena sudah sesuai dengan kesepakatan antara pihak paguyuban dengan Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Mikro dan Menengah Pemkot Surabaya.

5.2. Saran

Guna mendukung terlaksananya implementasi kebijakan penataan PKL di sentra PKL Viaduk Gubeng Surabaya agar lebih baik di masa yang akan datang, maka penulis memberikan saran yang diharapkan dapat bermanfaat dan berguna sebagai bahan pertimbangan, yaitu agar tetap dilaksanakannya pemberdayaan bagi para pedagang kaki lima agar mentaati peraturan yang telah disepakati bersama guna terciptanya Surabaya yang tertata dan bersih.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, (2004), Kebijakan Publik Sektor Informal, Surabaya : ITS press. Alisjahbana, (2003), Urban Hidden Economic, Surabaya : Lemlit ITS.

Anwar, Desi, (2002), Kamus Bahasa Indonesia, Surabaya : Amalia Winarno, Budi, (2004), Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta :

Media Presindo.

Wahab, Solichin, (2004), Analisis Kebijakan, Jakarta :Bumi Angkasa.

Simanjuntak, (2005), Aktifitas-Aktifitas Program Penataan Pedagang Kaki Lima, Prisma.

Tangkisilan, Hesel, nogi, (2003), Kebijakan Publik, Yogyakarta : Balaiurang Peraturan daerah Kota Surabaya Nomor 17 Tahun 2003 tentang penataan dan

pemberdayaan PKL.

Peraturan Walikota Surabaya nomor 4 tahun 2009 tentang penjabaran tugas dan fungsi satuan polisi pamong praja.

www.suryaonline.com

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :