IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENARIKAN RETRIBUSI TEMPAT USAHA PEDAGANG KAKI LIMA DI KECAMATAN SAMPANG KABUPATEN SAMPANG (Studi Kasus PKL Disekitar Monumen Kota Sampang).

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENARIKAN RETRIBUSI

TEMPAT USAHA PEDAGANG KAKI LIMA

DI KECAMATAN SAMPANG

KABUPATEN SAMPANG

(Studi Kasus PKL Disekitar Monumen Kota Sampang)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memenuhi Gelar Sarjana Pada Fisip UPN ”Veteran” Jawa Timur

Oleh : IIS IDAWATI NPM. 0541010051

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR

2010


(2)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENARIKAN RETRIBUSI

TEMPAT USAHA PEDAGANG KAKI LIMA

DI KECAMATAN SAMPANG

KABUPATEN SAMPANG

(Studi Kasus PKL Disekitar Monumen Kota Sampang)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memenuhi Pesyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fisip UPN ”Veteran” Jawa Timur

Oleh : IIS IDAWATI NPM. 0541010051

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN”

JAWA TIMUR

2010


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur dan terima kasih atas kehadirat Tuhan YME, dengan segala limpahan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENARIKAN RETRIBUSI TEMPAT

USAHA PEDAGANG KAKI LIMA DI DAERAH SEKITAR

MONUMEN KOTA SAMPANG MADURA

Skripsi penelitian ini sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ilmu Administrasi. Penyusunan ini sangatlah singkat dan terbatasnya waktu dalam penyusunan maupun pengumpulan data-data yang dibutuhkan.

Penyusun mengucapkan terima kasih yang tak terhingga khususnya kepada yang terhormat Ibu Dra. Diana Hertati, MSi, Selaku Dosen Pembimbing Jurusan Ilmu Administrasi Negara dan kepada yang terhormat :

1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran”

2. Bapak Dr. Lukman Arif, Msi., Ketua Program Studi Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Dra. Diana Hertati, Msi., Selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama mengerjakan skripsi ini.

4. Seluruh Staf Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Negara UPN “Veteran” Jawa Timur yang telah memberikan ilmunya.

5. Bapak H. Rudi Setiadi, SE, MM. Sebagai Kepala Badan Kesatuan Bangsa & Politik kabupaten Sampang yang telah memberikan ijin untuk penelitian kepada penulis.

6. Seluruh Pegawai & Staff Badan Kesatuan Bangsa & Politik Kabupaten Sampang.

7. Kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan, semangat serta memberikan doa & restu kepada penulis.


(4)

8. Sahabat saya Vivi yang sudah lulus duluan terima kasih doa & dukungannya untuk penulis & sahabat saya Tiza yang juga selalu memberikan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini. 9. Special to “Ratna Amilia” Sahabat saya yang selalu memberikan dukungan, semangat, doa &

membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

10. Sahabat saya Hendri yang turut serta mendoakan & memberikan semangat.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkahi dan memberikan pahala berlipat ganda kepada semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya skripsi penelitian ini.

Skripsi penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak guna perbaikan skripsi penelitian ini. Penulis juga memohon maaf bila terdapat sesuatu yang kurang berkenan di dalam penyusunan skripsi penelitian ini.

Penulis berharap semoga skripsi penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Surabaya, September 2010


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 11

1.3. Tujuan Penelitian ... 11

1.4. Manfaat Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Penelitian Terdahulu ... 13

2.2. Landasan Teori ... 15

2.2.1. Kebijakan Publik ... 15

2.2.1.1. Pengertian Kebijakan Publik ... 15

2.2.1.2. Dimensi Kebijakan Publik ... 18

2.2.2. Implementasi Kebijakan ... 25

2.2.3. Sektor Informal ... 29

2.2.3.1. Pengertian Sektor Informal ... 29

2.2.3.2. Ciri-ciri Sektor informal ... 30

2.2.3.3. Penyebab Hadirnya Sektor Informal ... 32

2.2.3.4. Peran Sektor informal ... 33

2.2.4. Pedagang Kaki Lima ... 34

2.2.4.1. Pengertian Pedagang Kaki Lima ... 34


(6)

2.2.4.2. Sektor Informal Pedagang kaki Lima ... 36

2.2.5. Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2002 ... 38

2.2.6. Nama, Obyek dan Subyek Retribusi ... 39

2.2.7. Ketentuan Retribusi ... 40

2.2.8. Tata Cara Pembayaran ... 40

2.3. Kerangka Berpikir ... 41

BAB III METODE PENELITIAN ... 42

3.1. Jenis Penelitian ... 42

3.2. Obyek, Fokus dan Instrumen Penelitian ... 42

3.2.1. Obyek Penelitian ... 42

3.2.2. Fokus Penelitian ... 43

3.2.3. Instrumen Penelitian ... 45

3.3. Situs Penelitian ... 46

3.4. Sumber Data ... 47

3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 48

3.6. Analisis Data ... 49

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 52

4.1.1. Gambaran Umum Obyek Kecamatan Sampang Madura 52 4.1.2. Visi dan Misi Kecamatan Sampang ... 53

4.1.3. Keadaan Penduduk Kecamatan Sampang ... 54

4.1.3.1. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin ... 54

4.1.3.2. Tingkat Pendidikan Penduduk Kecamatan Sampang ... 55 4.1.3.3. Mata Pencaharian Penduduk


(7)

Kecamatan Sampang ... 56 4.1.3.4. Struktur Organisasi Kecamatan Sampang .... 57

4.1.3.4.1.Tugas Dan Fungsi Pokok

Organisasi Kecamatan Sampang ... 58 4.1.3.5. Komposisi Pegawai Kecamatan Sampang ... 62

4.1.3.5.1.Komposisi Pegawai Kecamatan Sampang Menurut Jenis Kelamin . 62 4.1.3.5.2.Komposisi Pegawai Kecamatan

Sampang Menurut Pendidikan ... 63 4.1.3.5.3.Komposisi Pegawai Kecamatan

Sampang Menurut

Pangkat / Golongan ... 64 4.2. Gambaran tentang Pedagang Kaki Lima

di Kecamatan Sampang ... 65 4.2.1. Keberadaan Pedagang Kaki Lima

di Kecamatan Sampang ... 65 4.2.2. Kegiatan Pedagang Kaki Lima di Kecamatan Sampang 66

4.2.2.1.Struktur Organisasi Paguyuban

PKL PUJASERA ... 67 4.2.2.1.1.Tugas Dan Fungsi Pokok

Paguyuban PKL PUJASERA ... 67 4.2.3. Satuan Polisi Pamong Praja ... 68 4.2.3.1.Struktur Organisasi SATPOL – PP

Kecamatan Sampang ... 68


(8)

4.2.3.2.Tujuan, Tugas, Fungsi Dan Wewenang Polisi Pamong Praja ... 69 4.2.3.3.Tugas Polisi Pamong Praja Dalam Perlindungan,

Pemajuan, Penegakkan

Dan Pemenuhan HAM ... 71 4.2.3.4.Penindakan Secara Tegas ... 73 4.3. Hasil Penelitian ... 73 4.3.1. Ketentuan retribusi yang diatur dalam Perda No.27 Tahun

2002 Kota Sampang ... 74 4.3.1.1.Pengenaan retribusi setiap orang (Ketentuan

Retribusi Bagi Setiap Orang yang menggunakan tempat) ... 74 4.3.1.2.Azas Pembayaran Retribusi ... 77 4.3.1.3.Bentuk, Ukuran Dan Warna Karcis Di Tetapkan

Oleh Pemerintah Daerah Dengan Di Beri Tanda Perporasi / Pengesahan ... 81 4.3.2. Tata Cara Pembayaran Retribusi Diatur Dalam Perda 27

Tahun 2002 Kota Sampang ... 82 4.3.2.1.Kepala Daerah Menentukan Tanggal Jatuh Tempo

Pembayaran Dan Penyetoran Retribusi ... 82 4.3.2.2.Kepala Daerah Menentukan Tanggal Jatuh Tempo

Pembayaran Dan Penyetoran Retribusi ... 84 4.4. Pembahasan ... 86 4.4.1. Ketentuan retribusi yang diatur dalam Perda No.27 Tahun

2002 Kota Sampang ... 86 vi


(9)

4.4.1.1.Pengenaan retribusi setiap orang (Ketentuan retribusi bagi setiap orang yang menggunakan

tempat) ... 87

4.4.1.2.Azas Pembayaran Retribusi ... 88

4.4.1.3.Bentuk, ukuran dan warna karcis di tetapkan oleh pemerintah daerah dengan di beri tanda perporasi/pengesahan ... 92

4.4.2. Tata Cara Pembayaran Retribusi Diatur Dalam Perda 27 Tahun 2002 Kota Sampang ... 93

4.4.2.1.Kepala daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran retribusi ... 94

4.4.2.2.Sanksi administrasi Berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan ... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

5.1. Kesimpulan ... 97

5.2. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Data Jumlah Pedagang dan Jenis Usaha Yang Diperdagangkan Para PKL di Daerah Sekitar Monumen Kota Sampang Madura ... 6 Tabel 4.1. Jumlah Kelurahan Yang Ada Di Wilayah Kecamatan

Sampang Dengan Luas Wilayahnya ... 53 Tabel 4.2. Jumlah Penduduk Kecamatan Sampang Menurut Jenis

Kelamin ... 54 Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Kecamatan Sampang Menurut Tingkat

Pendidikan ... 55 Tabel 4.4. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Sampang ... 56 Tabel 4.5. Jumlah Pegawai Kecamatan Sampang Menurut Jenis

Kelamin ... 63 Tabel 4.6. Jumlah Pegawai Kecamatan Sampang Menurut Pendidikan .. 63 Tabel 4.7. Jumlah Pegawai Kecamatan Sampang Menurut

Pangkat/Golongan ... 64 Tabel 4.8. Data Jumlah Pedagang dan Jenis Usaha Yang

Diperdagangkan Para PKL di Daerah Sekitar Monumen Kota Sampang Madura ... 65


(11)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Komponen-komponen Ananlisis Data : Model Interaktif ... 51

Gambar 4.1. Struktur Organisasi Kecamatan Sampang ... 57

Gambar 4.2. Struktur Organisasi Paguyuban PKL Pujasera ... 67


(12)

ABSTRAKSI

Iis Idawati. Implementasi Kebijakan Penarikan Retribusi Tempat

Usaha Pedagang Kaki Lima Di Kecamatan Sampang Kabupaten

Sampang (Studi Kasus PKL di Sekitar Monumen Kota Sampang).

Kegiatan ekonomi sektor informal pedagang kaki lima di daerah perkotaan berkembang dengan sangat pesat. Beberapa permasalahan lingkungan yang timbul akibat kegiatan perdagangan kaki lima antara lain masalah kebersihan, keindahan, ketertiban, pencemaran, dan kemacetan lalu lintas. Rumusan masalah dalam penelitian adalah bagaimanakah implementasi kebijakan penarikan retribusi tempat usaha pedagang kaki lima di daerah sekitar monumen kota Sampang ? sedangkan penelitian ini bertujuan “untuk mengetahui dan mendeskripsikan implementasi kebijakan penarikan retribusi tempat usaha pedagang kaki lima di daerah sekitar monumen kota Sampang”. Pedoman yang digunakan dalam penelitian ini adalah Perda No.27 Tahun 2002 yang berisi tentang tentang retribusi pengaturan tempat dan usaha pedagang kaki lima. Situs penelitian dilakukan di alun-alun kota Sampang dan yang fokus penelitian dalam penelitian ini adalah mengenai implementasi kebijakan Perda Daerah Kota Sampang Nomor 27 Tahun 2002 tentang retribusi pengaturan tempat dan usaha pedagang kaki lima sedangkan yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah Camat Kota Sampang, Satpol PP dan para pedagang kaki lima di alun-alun kota Sampang.

Dalam penelitian kualitatif digunakan variabel mandiri tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel yang lain. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel adalah implementasi kebijakan retribusi pengaturan tempat usaha pedagangan kaki lima di daerah sekitar monumen kota Sampang Madura. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu Depth Interview, Observasi dan Dokumentasi.

Hasil dalam penelitian ini yang mengenai kebijakan retribusi pengaturan tempat usaha pedagang kaki lima di daerah sekitar monumen kota Sampang yang pertama yaitu mengenai ketentuan retribusi yang diatur dalam Perda No.27 Tahun 2002 Kota Sampang kebanyakan para pedagang ada yang tidak keberatan dan ada pula yang keberatan dengan penarikan retribusi yang dibebankan kepada para pedagang, kemudian mengenai tata cara pembayaran retribusi diatur dalam Perda 27 Tahun 2002 Kota Sampang yaitu pembayaran retribusi diatur dalam Perda 27 Tahun 2002 Kota Sampang dan bagi yang terlambat membayar retribusi akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari besarnya retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar. Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan yaitu kebanyakan pedagang keberatan dan ada juga yang keberatan dengan penarikan retribusi yang dibebankan kepada para pedagang karena para pedagang menganggap penarikan retribusi memberatkan para pedagang.

Keywords: Pedagang Kaki Lima, Perda No.27 Tahun 2002


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pulau Madura merupakan sebuah pulau yang mempunyai karakteristik yang cukup spesifik dibanding dengan wilayah-wilayah lain di propinsi Jawa Timur. Secara demografis, Madura tergolong wilayah yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang relatif tinggi. Bahkan tingkat kepadatan penduduk di kabupaten Sampang (889 jiwa/km2) lebih tinggi dibanding rata-rata tingkat kepadatan propinsi Jawa Timur (726 jiwa/km2). Sementara itu komposisi etnis dan umat agama di wilayah tersebut cenderung homogen. Etnik madura-muslim adalah kelompok yang paling dominan.

Ekosistem di pulau Madura merupakan ekosistem ladang yang dikembangkan di atas tanah yang kering dan tandus. Oleh sebab itu sektor okupasi didominasi oleh pertanian ladang. Namun sektor ini kurang produktif. Sektor produksi lainnya juga kurang berkembang pesat. Pertumbuhan (proliferasi) sektor ekonomi cenderung lambat karena banyak sektor ekonomi menggunakan sistem produksi yang sederhana sehingga tidak menstimuli pertumbuhan sektor-sektor lain yang terkait.

Secara keseluruhan, Madura termasuk salah satu daerah miskin di provinsi Jawa Timur. Tidak seperti Pulau Jawa, tanah di Madura kurang cukup subur untuk dijadikan tempat pertanian. Kesempatan ekonomi lain yang terbatas telah mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan. Faktor-faktor ini


(14)

2

telah mengakibatkan emigrasi jangka panjang dari Madura sehingga saat ini banyak masyarakat suku Madura tidak tinggal di Madura. Penduduk Madura termasuk peserta program transmigrasi terbanyak. (http://www.kabarmadura.com/ekonomi-madura.html)

Partisipasi angkatan kerja di pulau Madura tergolong tinggi. Konsentrasi ada pada sektor pertanian (70-80%), namun tingkat produktifitas relatif rendah. Tingginya tingkat konsentrasi kerja namun tidak diikuti oleh peningkatan produktivitas juga terlihat dari konsentrasi angkatan kerja di sektor informal di daerah urban atau sub-urban. Sedangkan kondisi kesejahteraan penduduk Madura tergolong rendah secara nasional. Ini terlihat dari Human Development Index (HDI) pada empat kabupaten yang lebih rendah daripada Jawa Timur sekalipun. Demikian pula Gender Development

Related Index (HDI) dan Human Poverty Index (HPI) keempat

kabutaten-kabupaten tersebut. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Madura pada tahun 2002 tergolong paling rendah di Jawa Timur. Dengan beban ekonomi masyarakat yang semakin tinggi dan tidak terkendali mengakibatkan masyarakat tersebut mencari lapangan kerja sendiri dengan terjun ke dalam sektor informal.

Menurut sejumlah kajian ekonomi menjelaskan bahwa merebaknya sektor informal tidak lain disebabkan oleh pembangunan yang tidak merata. Pembangunan hanya terpusat di kota (bias urban). Sementara itu, pembangunan pertanian di desa (modernisasi pertanian) justru mengurangi jumlah tenaga kerja dan menambah pengangguran akibat lebih lanjut adalah menurunnya kesempatan kerja, dan perbedaan tingkat yang semakin tinggi.


(15)

3

Sektor informal yang ditempuh oleh masyarakat untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka adalah dengan berjualan dan menjadi pedagang kaki lima (PKL) yang dinilai membutuhkan modal dan keahlian atau katrampilan yang minim serta tidak memerlukan pendidikan formal. Dengan demikian, membuka lapangan pekerjaan sendiri dianggap menjadi solusi yang tepat walaupun penghasilan dari penjualan mereka tidak tentu namun setidaknya dapat meringankan beban hidup mereka.

Kegiatan ekonomi sektor informal pedagang kaki lima di daerah perkotaan berkembang dengan sangat pesat. Beberapa permasalahan lingkungan yang timbul akibat kegiatan perdagangan kaki lima antara lain masalah kebersihan, keindahan, ketertiban, pencemaran, dan kemacetan lalu lintas. Keadaan ini pada satu sisi dianggap sebagai pedagang kaki lima memberikan kontribusi yang besar dalam aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat terutama golongan ciri ekonomi kerakyatan yang bersifat mandiri dan menyangkut hajat hidup orang banyak. (Alisjahbana, 2006 : 37)

Menurut Pemerintah Indonesia pedagang kaki lima adalah seseorang yang menjalankan usaha perorangan dengan berjualan barang-barang di bagian jalan/trotoar dan tempat-tempat untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya. Secara garis besar, Pemerintah Indonesia menganggap bahwa keberadaan pedagang kaki lima mengganggu kenyamanan pengguna kota atau kawasan karena melakukan kegiatan ekonomi di kepentingan umum. Oleh karena itu, diperlukan suatu peraturan yang


(16)

4

mengatur tempat bagi para pedagang kaki lima sehingga tidak mengganggu kenyamanan dan pengguna kawasan tersebut.

Pemerintah Indonesia melalui Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menyatakan bahwa diperlukan adanya pemberdayaan usaha mikro dan penataan sektor informal. Hal ini bertujuan untuk memperkuat keberadaan, serta peran usaha mikro dan sektor informal terutama pedagang kaki lima, sehingga dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian sebenarnya pemerintah mengakui keberadaan pedagang kaki lima dan perannya untuk memperkuat masyarakat ekonomi lemah. Dalam mengembangkan peran tersebut, pemerintah sebenarnya sudah membentuk undang-undang yang menyatakan bahwa perlunya menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima.

Kehadiran pedagang kaki lima, sebagai salah satu elemen keberadaan gaya sentripetal, telah berlangsung sejak jaman pemerintahan Belanda. Proses terciptanya fenomena kaki lima disebabkan oleh adanya konsep involution yang dikembangkan oleh Pemerintah Belanda. Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat mengakibatkan bertambahnya kebutuhan lapangan pekerjaan. Pemerintah kolonial mengambil inisiatif untuk membuka sistem ekonomi

bazaar bagi penduduk pribumi. Dengan demikian, pemenuhan lapangan


(17)

5

sistem ekonomi bazaar ini terus berkembang dan tidak terkendali sehingga munculnya fenomena pedagang kaki lima di perkotaan.

Cross (1998) dalam Adianto (2004 : 40), menyatakan bahwa kegiatan perdagangan informal seperti kaki lima sulit dihentikan karena adanya perbedaan yang mencolok antara daya beli masyarakat dengan harga jual komoditas yang dihasilkan oleh kegiatan perdagangan formal. Geertz dalam Adianto (2004 : 40) menilai bahwa kegiatan perdagangan jenis ini berusaha menjalin hubungan jual-beli secara personal melalui harga komoditas yang fleksibel. McGee dalam Adianto (2004 : 40) menambahkan, selain faktor perbedaan tersebut, penyebab utama berkembangnya jenis perdagangan informal karena kebebasan pedagang untuk menentukan pendapatannya dan waktu bekerja. Perbedaan tidak dapat dihindari karena polarisasi dalam masyarakat terjadi atas dasar perbedaan tingkat ekonominya. Keberadaan perbedaan ini memang tidak dapat disatukan namun harus diwadahi agar dapat terjalin hubungan simbiosis-mutualisme, bukan simbiosis parasitisme.

Kebijakan pemerintah mengenai retribusi dan pengaturan tempat usaha pedagang kaki lima di alun-alun kota Sampang diatur dalam Kebijakan Perda No. 27. Perda Kabupaten Sampang Nomor 27 tahun 2002 ini mengatur tentang retribusi pengaturan tempat usaha pedagang kaki lima dalam Kota Sampang dan kebijakan pemerintah daerah mengenai retribusi diserahkan kepada satpol PP adalah keputusan Bupati Sampang Nomor 188.45/407/KEP/343.103/2003 yang berisi yaitu menunjuk Kepala Kantor Polisi Pamong Praja Kabupaten Sampang sebagai pejabat yang menangani


(18)

6

retribusi pengaturan tempat usaha pedagang kaki lima di daerah sekitar monumen kota Sampang.

Pedagang Kaki Lima yang berjualan harus mematuhi aturan Perda No.27 Tahun 2002 tentang Retribusi Pengaturan Tempat Usaha Pedagang Kaki Lima dalam menjaga kebersihan lingkungan dan tempat berjualan, maka pada tahun 2002 dibentuk paguyuban Pujasera sebagai pemersatu. Paguyuban pedagang kaki lima mengatur hubungan antara padagang kaki lima, mengkoordinasi pedagang kaki lima dalam menjaga kebersihan lingkungan dan tempat berjualan. Sampai saat ini jumlah anggota paguyuban 78 orang dan tidak bisa ditambah lagi, bisa tambah apabila ada pedagang kaki lima yang keluar dari paguyuban, hal ini karena tempat yang disediakan sudah tidak ada.

Berikut adalah tabel jumlah pedagang yang ikut dalam paguyuban di Kabupaten Sampang paguyuban Pujasera sebagai pemersatu:

Tabel 1.1

Data Jumlah Pedagang dan Jenis Usaha Yang Diperdagangkan Para PKL di Daerah Sekitar Monumen Kota Sampang Madura

No. Jumlah Pedagang Jenis Usaha Yang Diperdagangkan

1 8 Jual rokok + es degan + pop ice + es jus

2 16 Nasi goreng

3 11 Mie ayam + bakso + ayam bakar 4 5 Martabak + terang bulan

5 12 Soto + es campur

6 8 Nasi pecel + nasi burung 7 8 Ayam goreng dan bebek goreng

8 10 Sate + gado - gado

Sumber: Pemerintah Kabupaten Sampang

Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa jumlah keseluruhan pedagang yang berdagang di alun-alun kota Sampang berjumlah 78 orang pedagang dengan berbagai jenis barang yang diperdagangkan.


(19)

7

Pedagang yang sekarang ada, seharusnya tidak lagi berstastus sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL). PKL selama ini hanya diwajibkan membayar retribusi pemakaian kekayaan daerah sesuai dengan Perda No. 27 tahun 2002. Retribusi pemakaian kekayaan daerah adalah pungutan daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pelayanan yang khusus disediakan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi/badan.

Subyek retribusi adalah pedagang kaki lima yang tergabung dalam paguyuban. Proses pembayaran retribusi dilakukan langsung oleh dinas yang bersangkutan (Satpol PP) yang ditujuk oleh dinas yang bertanggung jawab dimana hasil dari penarikan retribusi tersebut akan diserahkan kepada Dispendaloka untuk masuk ke kas daerah sebagai dana untuk pembangunan daerah tersebut. bagi pedagang yang sudah membayar sejumlah retribusi yang dikenakan kepadanya, maka pedagang tersebut akan mendapatkan tanda bukti berupa laporan kegiatan retribusi untuk mengetaui atau memudahkan pegawai yang melakukan penarikan retribusi kepada para pedagang. Untuk menjadi anggota dalam paguyuban pedagang kaki lima di Kota Sampang harus melalui beberapa persyaratan terlebih dahulu. Pertama harus jelas jenis barang yang akan diperdagangkan, kemudian mendaftarkan diri sebagai anggota dengan mengisi formulir pendaftaran serta surat ijin penggunaan tempat atau fasilitas umum yang telah diatur oleh dinas yang bersangkutan (Satpol PP).

Retribusi menurut Perda Keputusan Bupati Kabupaten Sampang No. 27 tahun 2002 Pasal 1 ayat (h) yang menyatakan: ”Retribusi pengaturan tempat usaha pedagang kaki lima (PKL) yang selanjutnya disebut retribusi


(20)

8

adalah pembayaran atas pengaturan tempat usaha pedagang kaki lima (PKL) oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi”. Berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui bahwa retribusi dikenakan kepada wajib retribusi yaitu pedagang kaki lima atas pengaturan tempat usaha yang telah disediakan oleh pemerintah daerah. Sedangkan besarnya retribusi diatur dalam Perda Kabupaten Sampang No. 27 tahun 2002 Pasal 12 ayat (1) yang menyatakan: ”Setiap orang yang telah memperoleh izin menggunakan tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dikenakan retribusi sebesar Rp. 50,- (lima puluh rupiah)/m2 perhari”. Sedangkan bagi yang melakukan pelanggaran berupa penundaan pembayaran atau kurang membayar retribusi, dikenakan sanksi administratsi yaitu berupa bunga sebesar 2% setiap bulan dari besarnya retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan surat tagihan retribusi, sanksi administrasi ini diatur dalam Perda Kabupaten Sampang No. 27 tahun 2002 Pasal 14.

Luas daerah yang disewakan untuk para pedagang yang berdagang di alun-alun kota Sampang seluas 3 x 3 untuk satu orang pedagang dengan besarnya retribusi per m2 adalah Rp. 50-. Untuk pendapatan retribusi per bulannya tergantung dari jumlah Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berjualan. Adapun perhitungan besarnya retribusi yang dikenakan kepada para pedagang adalah sebagai berikut:

1. Per pedagang 3 x 3 = 9 m2, sehingga per pedagang dikenaikan biaya sebesar 9 x Rp. 50 = Rp. 450.


(21)

9

2. Dalam satu paguyuban terdapat 78 orang pedagang, sehingga pendapat yang diperoleh setiap harinya sebesar 78 x Rp. 450 = Rp. 35.100.

3. Setiap bulan pendapatan yang diterima sebesar 30 x Rp. 35.100 = Rp. 1.053.000.

4. Dalam satu tahun pendapatan yang diterima sebesar 12 x Rp. 1.053.000 = Rp. 12.636.000.

Pendapatan Retribusi tiap bulannya dapat berubah, dengan permasalahan yang disebabkan oleh pedagang yang tidak berjualan dikarenakan hujan dan tidak berjualan pada hari libur , maka jumlah pedagang berkurang dan pendapatan retribusi juga dapat mengalami penurunan karena pada saat Pedagang Kaki Lima tidak berjualan, maka dinas yang berkaitan (Satpol PP) tidak melakukan penarikan biaya retribusi terhadap Pedagang Kaki Lima yang tidak berjualan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan Bapak Agus Diyanto, SH selaku bagian Kasi Pembinaan, Operasional dan Pengawasan dinas Kota Sampang diperoleh informasi bahwa pada awalnya retribusi penggunaan tempat usaha ditetapkan setiap 6 bulan sekali dan setiap 1 tahun sekali, akan tetapi banyak pedagang yang merasa keberatan dengan kebijakan tersebut karena para pedagang merasa dirugikan akibat dari jarang berdagang atau barang dagangannya tidak banyak yang terjual. Sehingga pihak pemerintah daerah Kabupaten Sampang memberikan keringanan untuk membayar yaitu dengan cara mencicil untuk setiap harinya.


(22)

10

Selain itu terdapat retribusi tidak resmi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu kepada para Pedagang kali lima (PKL) Setiap PKL harus membayar beberapa ribu setiap harinya. Pungutan liar (pungli) ini diberlakukan dari beberapa lama waktu yang lalu. Dalih pemungut, untuk uang kebersihan hingga keamanan. Oleh karena itu para pedagang berharap dengan besarnya biaya pungutan yang wajib dibayar oleh para pedagang, para pedagang ingin mendapatkan fasilitas yang memadai seperti jaminan keamanan yang bagus serta tidak ada pungutan-pungutan liar yang tidak berizin sehingga biaya yang dikeluarkan oleh para pedagang diimbangi dengan penyediaan fasilitas yang memadai dan bagus yang diberikan oleh pemerintah kabupaten Sampang dalam hal ini dinas Satuan Polisi Pamong Praja yang bertanggung jawab atas retribusi dan sebagainya atas para PKL.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan tersebut diatas maka peneliti ingin mengetahui bagaimanakah implementasi kebijakan pemerintah tentang retribusi pengaturan tempat usaha pedaganga kaki lima di Kota Sampang terutama di alun-alun. Oleh karena itu, maka penelitian ini di beri judul: Implementasi Kebijakan Penarikan Retribusi Tempat Usaha Pedagang Kaki Lima Di Kecamatan Sampang Kabupaten Sampang (Studi Tentang PKL di Sekitar Monumen Kota Sampang ).


(23)

11

1.2Perumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang permasalahan di atas, maka perumusan masalah akan dibatasi pada: Bagaimanakah implementasi kebijakan penarikan retribusi tempat usaha pedagang kaki lima di daerah sekitar monumen kota Sampang ?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian adalah: untuk mengetahui dan mendeskripsikan implementasi kebijakan penarikan retribusi tempat usaha pedagang kaki lima di daerah sekitar monumen kota Sampang.

1.4Manfaat Penelitian

1. Memberikan solusi bagi pemerintah daerah dalam penanganan kebijakan pemerintah dalam hal retribusi pengaturan tempat usaha pedagang kaki lima di daerah sekitar monumen Kota Sampang berdasar hasil dari penelitian khususnya dalam penarikan retribusi tempat usaha pedagangan kaki lima.

2. Resistensi yang dilakukan masyarakat terkait dengan kebijakan pengaturan tempat usaha pedagangan kaki lima sebagai masukan kepada pemerintah dalam membuat kebijakan yang terkait dengan penarikan tempat usaha pedagangan kaki lima.


(24)

12

3. Dalam ilmu pengetahuan sebagai pengetahuan baru yang dihasilkan dari penelitian yang telah dilakukan karena belum diketemukan penelitian yang sama pada waktu sebelumnya.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

A. Tamba, Halomoan dan Sijabat, Saudin (Infokop Nomor 29 Tahun

XXII Tahun 2006)

Tamba dan Sijabat adalah Asdep Urusan Perdagangan Dalam Negeri Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha dalam penelitiannya tentang “Pedagang Kaki Lima Entrepreneur Yang Terabaikan”. Bahwasannya hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pemberdayaan PKL, masing-masing pemerintah kabupaten/kota mempunyai kebijakan yang berbeda satu sama lain. Misalnya pemerintah daerah Kotamadya Yogyakarta menyerahkan sepenuhnya pengelolaan PKL yang di Malioboro kepada PKL itu sendiri (.Pengelolaan Malioboro Diserahkan

ke PKL., Harian Bernas, 4 November 1999, hal.3). Hal tersebut

menunjukkan pelaksanaan usahanya PKL menggunakan konsep .dari PKL, oleh PKL, dan untuk PKL. yang tampak dalam pembentukan organisasi PKL yang bersifat bottom up untuk mengorganisir PKL di Kawasan Malioboro. Pemerintah Kabupaten/Kota/Propinsi menetapkan lokasi, meregistrasi, mengawasi, mengendalikan, dan mempromosikan lokasi PKL tersebut. Pemerintah pusat membantu akses pendanaannya baik melalui APBN maupun skim perkreditan yang didesain untuk usaha mikro atau sektor informal. Sedangkan swasta, BUMN, BUMD, Usaha


(26)

Besar, dan UKM menjadikan lokasi PKL tersebut sebagai sarana promosi produknya. Konsepsi ini sebenarnya bukanlah hal yang baru.

B. Adianto, Joko (2004)

Joko Adianto dalam penelitiannya tentang “Trotoar Sebagai Perebutan Ruang Kehidupan Studi Kasus di Kawasan Kebun Raya Bogor Jawa Barat”. Bahwasannya hasil penelitian menunjukkan bahwa trotoar sudah seharusnya mewadahi berbagai kegiatan atau peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi dalam kehidupan masyarakat. Justru karena peniadaan ruang bagi kehidupan sektor perdagangan informal dalam perencanaan dan perancangan ruang publik yang mengakibatkan terjadinya konflik spasial yang berkelanjutan. Konflik ini sendiri malah pada akhirnya merugikan masing-masing pihak. Sudah seharusnya keberadaan setiap pengguna diwadahi secara proporsional karena menimbulkan simbiosis mutualisme. Inilah yang saya maksudkan dengan konsensus ruang, di mana pemahaman dan titik pandang terhadap permasalahan trotoar pihak-pihak yang terkait disatukan. Peniadaan ruang kegiatan perdagangan informal malah mengakibatkan ruang-ruang kehidupan mereka diangap sebagai parasit dalam wajah kawasan ini. Dengan adanya pembagian ruang yang terpisah namun tetap dapat berinteraksi, trotoar dapat mewadahi kegiatan masyarakat dengan lebih baik.

Persamaan penelitian terdahulu dan penelitian sekarang terdapat pada obyek yang diteliti yaitu pedagang kaki lima, penelitian yang


(27)

dilakukan oleh Tamba dan Sijabat meneliti tentang pemberdayaan PKL yang berada di Yogyakarta, sedangkan Adianto yang meneliti tentang pedagang kaki lima yang berjualan diatas trotoar. Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang adalah kebijakan yang digunakan yang disesuaikan dengan peraturan daerah pada masing-masing daerah, dan penelitian terdahulu meneliti tentang lokasi yang digunakan oleh para pedagang kaki lima sedangkan penelitian sekarang adalah mengenai kebijakan retribusi dan pelangaran yang dilakukan oleh para pedagang kaki lima di alun-alun kota Sampang.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Kebijakan Publik

2.2.1.1.Pengertian Kebijakan Publik

Pengertian kebijakan publik menurut United Nations (2004:3) yang mengemukakan kebijakan publik adalah suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu yang suatu rencana.

Kartasasmita (1997:142), mengartikan kebijakan publik merupakan upaya untuk memahami dan mengartikan (1) apa yang dilakukan (atau tidak dilakukan) oleh pemerintah megnenai suatu masalah, (2) apa yang menyebabkan atau yang mempengaruhinya, dan (3) apa pengaruh dan dampak dari kebijakan publik tersebut.

Anderson dalam Islamy (1994:19) mengartikan kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti


(28)

dan dilaksanakan oleh pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu.

Pengertian kebijakan publik menurut Anderson dalam Lembaga Administrasi Negara (2000:2) mengartikan kebijakan publik sebagai suatu respons dari sistem politik terhadap demands/claim dan supports yang mengalir dari lingkungannya.

Sedangkan menurut Dunn dalam Syafi’i, dkk (1990:107) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau penjabat pemerintahan, seperti pertahanan, keamanan, kesejahteraan masyarakat, pendidikan, kriminalitas, dan kesehatan.

Freidrich dalam Wahab (1991:13) mengartikan kebijakan sebagai suatu tindakan yang mengarah pada rujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.

Kemudian menurut Easton dalam Muchsin dan Fadillah (2002:24) menyatakan kebijakan publik adalah sebuah proses pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh masyarakat yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang sebagai pemerintah.

Atas dasar pengertian tersebut dapat ditemukan elemen yang terkandung dalam kebijakan publik sebagaimana apa yang dikemukakan


(29)

oleh Anderson dalam Islamy (1994:202) yang antara lain mencakup beberapa hal berikut:

1. Kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu.

2. Kebijakan berisi tindakan atau pola tindakan penjabat-penjabat pemerintah.

3. Kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah dan bukan apa yang bermaksud akan dilakukan.

4. Kebijakan Publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu) dan bersifat negatif (keputusan penjabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu).

5. Kebijakan publik (positif) selalu berdasarkan pada peraturan perundangan tertentu yang bersifat memaksa (otoritatif).

Berdasarkan pengertian dan elemen yang terkandung dalam kebijakan sebagaimana telah disebutkan, maka kebijakan publik dibuat dalam kerangka ”untuk memecahkan masalah dan untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu yang diinginkan”. Kebijakan publik ini berkaitan dengan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah dan bukan sekedar apa yang ingin dilakukan. (Wahab, 1991:13)

Kebijakan publik dibuat bukan tanpa maksud dan tujuan. Maksud dan tujuan kebijakan publik dibuat adalah untuk memecahkan masalah publik yang tumbuh kembang di masyarakat. Masalah tersebut begitu banyak macam, variasi, dan intensitasnya. Oleh karena itu, tidak semua masalah publik bisa melahirkan suatu kebijakan publik. Hanya masalah


(30)

publik yang dapat menggerakkan orang banyak untuk ikut memikirkan dan mencari solusi yang bisa menghasilkan sebuah kebijakan publik. Oleh kerena itu, merumuskan masalah kebijakan publik merupakan tahapan yang esensial dalam proses kebijakan publik.

2.2.1.2.Dimensi Kebijakan Publik

Bridgeman dan Davis dalam Suharto (2006:8), yang menerangkan bahwasannya kebijakan publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang saling bersangutan satu sama lain, yakni sebagai pilihan tindakan yang legal atau sah secara hukum (authoritative shoice), sebagai hipotesis dan sebagai tujuan.

1. Kebijakan publik sebagai tindakan yang legal

Pilihan tindakan dalam kebijakan yang bersifat legal atau otoritatif karena dibuat oleh orang yang memiliki legitimasi dalam system pemerintahan. Keputusan-keputusan itu mengikat para pegawai negeri untuk bertindak atau mengarahkan pilihan tindakan atau kegiatan seperti menyiapkan rancangan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dipertimbangkan oleh parlemen atau mengalokasikan anggaran guna mengimplementasikan program tertentu.

Meskipun demikian, keputusan-keputusan legal belum tentu dapat direalisasikan seluruhnya. Selalu saja ada ruang atau kesenjangan antara harapan dan kenyataan, antara apa yang sudah direncanakan dan


(31)

apa yang dapat dilaksanakan. Kebijakan sebagai keputusan legal bukan juga berarti bahwa pemerintah selalu memiliki kewenangan dalam menangani berbagai isu. Setiap pemerintahan biasanya bekerja berdasarkan warisan kebiasaan-kebiasaan pemerintahan terdahulu. Rutinitas birokasi yang diterima biasanya merefleksikan keputusan kebijakan lama yang sudah terbukti efektif jika diterapkan. Dalam konteks ini, adalah penting mengembangkan kebijakan yang partisipatif dan dapat diterima secara luas sehingga dapat menjamin bahwa usulan dan aspirasi masyarakat dapat diputuskan secara teratur dan mencapai hasil yang baik.

Kebijakan publik lahir dari dunia politik yang melibatkan proses kompleks. Gagasan dapat datang dari berbagai sumber, seperti kepentingan para politisi, lembaga-lembaga permerintah, interpretasi para birokrat, serta intervensi kelompok-kelompok kepentingan, media dan warga Negara.

Inti dari dunia poltik adalah lembaga eksekutif, yakni kelompok menteri yang menduduki posisi puncak dan mewakili kewenangan pemerintah atas nama parlemen. Para menteri tidak saja memahami nuansa poltik pekerjaannya, melainkan pula menghargai bahwa dirinya dan para pemain lain dalam pemerintahan memerlukan arahan-arahan kebijakan. Kekuasaan diwujudkan melalui kemampuan melahirkan keputusan-keputusan yang dinyatakan secara jelas dan terarah. Melalui kebijakan-kebijakan, pemerintahan membuat ciri khas


(32)

kewenangannya. Karena dari kompleksitas dunia politik harus dibuat pilihan-pilihan tindakan yang sah atau legal untuk mencapai tujuan tertentu.

Kebijakan kemudian dapat dilihat sebagai respon atau tanggapan resmi terhadap isu atau masalah publik. Hal ini berarti bahwa kebijakan publik adalah:

a. Intensonal atau memiliki tujuan. Kebijakan publik berarti pencapai tujuan pemerintah melalui penerapan sumber-sumber publik.

b. Menyangkut pembuatan keputusan-keputusan dan pengujian konsekuensi-konsekuensinya.

c. Terstruktur dengan para pemain dan langkah-langkahnya yang jelas dan terukur.

d. Bersifat politis yang mengekspresikan pemilihan prioritas-prioritas program lembaga eksekutif.

2. Kebijakan publik sebagai hipotesis

Kebijakan dibuat berdasarkan teori, model atau hipotesis mengenai sebab dan akibat. Kebijakan-kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi-asumsi mengenai perilaku. Kebijakan selalu mengandung insentif yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu atau disinsentif yang mendorong orang tidak melakukan sesuatu. Kebijakan harus mampu menyatukan perkiraan-perkiraan (proyeksi) mengenai


(33)

keberhasilan yang akan dicapai dan mekanisme mengatasi kegagalan yang mungkin terjadi.

Namun demikian, kebijakan bukanlah laboratorium tempat uji coba. Biasanya sulit untuk mengevaluasi asumsi-asumsi perilaku sebelum sebuah kebijakan benar-benar dilaksanakan. Pemerintah mungkin memperkirakan bahwa sebuah paket pengurangan pajak akan mendapat respon positif dari rakyat. Tetapi, hingga pemerintah mengumumkan pengurangan itu dan mengukur dampaknya, para menteri harus selalu waspada karena akibat yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut belum tentu sesuai dengan perkiraan sebelumnya.

Kebijakan biasanya diciptakan dalam situasi ketidakpastian dan diuji oleh lingkungan dimana ia diterapkan. Para pembuat kebijakan belajar dengan menemukan dan memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam membuat asumsi-asumsi dan model-model kebijakan. Sebuah proses kebijakan yang baik biasanya merumuskan asumsi-asumsinya secara jelas sehingga para pelaksana kebijakan memahami teori dan model kebijakan yang mendukung keputusan-keputusan dan rekomendasi-rekomendasi di dalamnya.

Memahami kebijakan sebagai hipotesis memerlukan kalkulasi-kalkulasi ekonomi dan social dari para penasihat dan pembuat kebijakan. Memandang kebijakan sebagai hipotesis juga menekankan pentingnya pelajaran dan temuan-temuan dari hasil implementasi dan


(34)

evaluasi. Pembuatan kebijakan yang baik didasari kemampuan dalam memahami pelajaran-pelajaran dan pengalaman-pengalaman kebijakan dan menerapkan pelajaran itu dalam rangka perumusan kebijakan berikutnya. Karena banyaknya pemain dan kepentingan dalam perumusan sebuah kebijakan, mengintegrasikan pengalaman penerapan kebijakan dengan perbaikan kebijakan berikutnya tidak selalu mudah dilakukan. Temuan-temuan di lapangan mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan perlu dicatat dan didokumentasikan secara baik dalam sebuah naskah kebijakan sehingga dapat dipelajari dan disebarluaskan.

3. Kebijakan publik sebagai tujuan

Kebijakan adalah means to an end, atau untuk mencapai sebuah tujuan. Kebijakan publik pada akhirnya menyangkut pencapaian tujuan publik. Artinya, kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publik sebagai konstituen pemerintah. Proses kebijakan harus membantu para pembuat kebijakan merumuskan tujuan-tujuannya. Sebuah kebijakan tanpa tujuan tidak memiliki arti, bahkan tidak mustahil akan menimbulkan masalah baru. Misalkan, sebuah kebijakan yang tidak memiliki tujuan yang jelas, program-program akan diterapkan secara berbeda-beda, strategi pencapaiannya menjadi kabur, dan akhirnya para analis akan menyatakan bahwa


(35)

pemerintah telah kehilangan arah. Karenanya, sebuah kebijakan yang baik akan menghindari jebakan ini dengan jalan merumuskan secara eksplisit:

a. Pernyataan resmi mengenai pilihan-pilihan tindakan yang akan dilakukan.

b. Model sebab dan akibat yang mendasari kebijakan. c. Hasil-hasil yang dicapai dan kurun waktu tertentu.

Proses pengembangan kebijakan yang efektif memperhatikan keselarasan antara usulan kebijakan dengan agenda san strategi besar (grand design) pemerintah. Melalui konsultasi dan interaksi, tahapan perumusan kebijakan menekankan konsistensi sehingga kebijakan yang baru tidak bertentangan agenda dan program pemerintah yang sedang dilaksanakan. Kebijakan publik dibuat oleh banyak orang dalam suatu rantai pilihan-pilihan yang meliputi analisis, implementasi, evaluasi dan rekonsiderasi (pertimbangan kembali). Koordinasi ini hanya dimungkinkan jika tujuan-tujuan kebijakan dinyatakan secara jelas dan teratur. Manakalah tujuan-tujuan kebijakan tidak jelas atau berlawanan arah satu sama lain, kebijakan hanya memiliki sedikit kesempatan untuk berhasil. Penetapan tujuan merupakan langkah utama dalam sebuah proses lingkaran pembuatan kebijakan. Penetapan tujuan juga merupakan kegiatan yang paling


(36)

penting karena hanya tujuanlah yang dapat memberikan arah dan alasan kepada pilihan-pilihan publik.

Dalam kenyataannya, pembuat kebijakan seringkali kehilangan arah dalam menetapkan tujuan-tujuan kebijakan. Solusi kerapkali dipandang penting daripada masalah. Padalah yang terjadi seringkali sebaliknya dimana sebuah solusi yang baik akan gagal jika diterapkan pada masalah yang salah (Suharto, 2005a). Di sini, identifikasi masalah dan kebutuhan menjadi sangat penting. Kebijakan yang baik dirmuskan berdasarkan masalah dan kebutuhan masyarakat.

Aktivitas kebijakan sangat cepat bergerak. Setelah keputusan dibuat, kegiatan-kegiatan untuk menerapkan keputusan tersebut harus segara dipersiapkan, waktu dan kewenangan yang tersedia guna mendukung arah yang dipilih umumnya sangat terbatas dan karenannya menuntut penyesuaian. Pilihan-pilihan kebijakan yang telah dipilih tidak menutup kemungkinan menjadi sedikit berbeda dengan piihan-pilihan sebelumnya.

Tujuan-tujuan kebijakan yang sudah ditetapkan juga biasanya sedikit melenceng dikarenakan adanya akibat-akibat yang terjadi di luar perkiraan. Akibat sampingan ini hanya bisa diketahui setelah kebijakan diterapkan. Selain mempengaruhi pencapaian tujuan kebijakan, akibat sampingan tentu saja ‘mengganggu’ hasil-hasil


(37)

kebijakan yang telah ditetapkan dan bahkan tidak jarang menciptakan masalah-masalah baru yang tidak kompleks.

Agar kebijakan tetap berfokus pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, pembuatan kebijakan harus dilandasi oleh lingkaran tahapan kebijakan yang meliputi perencanaan dan evaluasi. Dalam sebuah lingkaran perumusan kebijakan, pilihan-pilihan tindakan yang legal dibuat berdasarkan hipotesis yang rasional guna mencapai tujuan-tujuan kebijakan yang ditetapkan. Rumusan sederhana ini menunjukkan hubungan antara ketiga dimensi kebijakan di atas. Artinya, kebijakan publik sebagai pilihan tindakan legal, sebagai hipotesis dan sebagai tujuan merupakan tiga serangkai yang saling mempengaruhi satu sama lain. Ketiganya merupakan persyaratan sekaligus tantangan bagi kebijakan publik yang efektif.

2.2.2. Implementasi Kebijakan

Dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan. Untuk melukiskan kerumitan dalam proses implementasi tersebut dapat dilihat pada pernyataan yang dikemukakan oleh seorang ahli studi kebijakan Bardach dalam Agustino (2008:138) yaitu:

“adalah cakup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit bagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang


(38)

kedengarannya mengena bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka anggap klien”.

Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (1983:61) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai : pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan yang ingin diatasi, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan dan mengatur proses implementasinya.

Sedangkan Van Meter dan Van Horn dalam Agustino (2008:139), mendefinsikan implementasi kebijakan, sebgaai tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau penjabat-penjabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.

Dari tiga definisi tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal,yaitu :

1. Adanya tujuan atau sasaran kebijakan

2. Adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan 3. Adanya hasil kegiatan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dinama pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya


(39)

akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Lester dan Stewart Jr dalam Agustino (2008:139), dimana mereka katakan bahwa implementasi sebagai suatu proses dan suatu hasil. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir, yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

Dalam rangka untuk mengimplementasikan kebijakan publik ini dikenal dengan beberapa model,antara lain (Agustino, 2008:139):

1. Model Gogin

Untuk mengimplementasi kebijakan dengan model Gogin ini dapat mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan fomal pada keseluruhan implementasi, yakni; (1) Bentuk dan isi kebijakan,termasuk di dalamnya kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, (2) Kemampuan organisasi dengan segala sumber daya berupa dana maupun insentif lainnya yang akan mendukung implementasi secara efektif, dan (3) pengaruh lingkungan dari masyarakat dapat berupa karakteristik ,motivasi, kecenderungan hubungan antara warga masyarakat, termasuk pola komunikasinya.

2. Model Grindle

Sebagaimana dikutip oleh Wahab (2001) Grindle menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan yang terdiri dari: (1) Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi, (2) Tipe-tipe manfaat, (3) derajat perubahan yang diharapkan, (4) Letak pengambilan keputusan, (5)


(40)

Pelaksanaan program, dan (6) Sumber daya yang dilibatkan .Isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan oleh sejumlah besar pengambilan kebijakan, sebaliknya ada kebijakan tertentu yang lainnya hanya ditentukan oleh sejumlah kecil 1 unit pengambil kebijakan.Pengaruh selanjutnya adalah lingkungan yang terdiri dari: (1) kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga penguasa, dan (3) kepatuhan dan daya tanggap.Karenanya setiap kebijakan perlu mempertimbangkan konteks atau lingkungan dimana tindakan administrasi dilakukan.

3. Model Meter dan Horn

Model implementasi kebijakan ini dipengaruhi 6 faktor yaitu: (1) standar kebijakan dan sasaran yang menjelaskan rincian tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh, (2)sumber daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi, (3) komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan oleh pelaksana untuk memakai tujuan yang hendak dicapai, (4) karakteristik pelaksanaan, artinya karakteristik organisasi merupakan faktor krusial yang akan menentukan berhasil tidaknya suatu program, (5) kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil kebijakan dan (6) sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan.

4. Model Deskriptif

William N. Dunn (1994) mengemukakan bahwa model kebijakan dapat diperbandingkan dan dipertimbangkanmenurut sejumlah banyak asumsi, yang paling penting diantaranya adalah; (1) Perbedaan menurut tujuan, (2) bentuk penyajian dan (3) fungsi metodologis model. Dua bentuk pokok dari model kebijakan adalah: (1) Model deskriptif dan (2)


(41)

Model normatif.Tujuan model deskriptif adalah menjelaskan dan atau meramalkansebab dan akibat pilihan-pilihan kebijakan, model kebijakan digunakan untuk memonitor hasil tindakan kebijakan misalnya penyampaian laporan tahunan tentang keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan di lapangan.

2.2.3. Sektor Informal

2.2.3.1.Pengertian Sektor Informal

Hidayat dalam Mustofa (2008 : 15) mendefinisikan sektor informal sebagai unit usaha berskala kecil yang memproduksi serta mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan dan pendapatan bagi dirinya masing-masing serta dalam usahanya dibatasi oleh factor modal dan keterampilan. Mustafa (2008:4), menambahkan keberadaan sektor informal adalah untuk membantu membantu memecahkan permasalahan ketenagakerjaan dan menunjang pertumbuhan pendapatan ekonomi secara keseluruhan.

Perbedaan kesempatan memperoleh penghasilan antara sektor formal dan informal pada pokoknya didasarkan atas perbedaan antara pendapatan dan gaji serta pendapatan dan usaha sendiri. Pekerjaan sektor informal dilakukan selamanya tidak perlu diformalkan sebagai usaha untuk lebih meningkatkan penghasilan (Mustafa, 2008 : 9). Kelompok migran ke kota bekerja di sektor informal karena ada daya dorong untuk kebutuhan atau aspirasi yang tidak dapat dipenuhi di desa. Pengungkapan perasaan tidak menyenangkan di daerah asal dipandang sebagai factor pendorong dan “kesempatan kerja sempit”. Sedang daya tarik berupa potensi yang diciptakan oleh keberadaan migran terdahulu.


(42)

Perkembangan sektor informal di kota kecil yang tidak banyak industrinya berkaitan dengan kehadiran para migran, baik yang datang dari pedesaan maupun dari kota lain. Pentingnya peranan kota untuk menjadi tujuan akhir dari para pencari kerja yang datang dari berbagai daerah sekitarnya, yaitu para migran dan proses memperoleh pekerjaannya mereka masih mengandalkan pendahulunya. Para pencari kerja baru tidak mudah dapat masuk ke sektor informal walaupun hanya dengan modal kecil. Artinya, bahwa walaupun pekerjaan yang akan dilakukan hanya membutuhkan modal kecil, tetapi tidak mudah untuk dilakukan karena ketatnya persaingan di sektor informal tersebut.

2.2.3.2.Ciri-ciri Sektor informal

Salah satu ciri sektor informal adalah mudah masuk dan keluar dari suatu subsektor ke subsektor yang lain. Para pekerja sektor informal sering berganti atau alih pekerjaan untuk sekedar menjajagi dimana subsektor yang paling menguntungkan dan sering terjadinya alih pekerjaan dalam rangka mencari subsektor mana yang lebih menguntungkan. Faktor ekonomi menjadi pendorong utama terjadinya migrasi dari desa ke kota. Dan oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi maka para migran ini kemudian memasuki sektor informal ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mereka memasuki sektor informal karena sulitnya mencari pekerjaan. (Mustafa, 2008 : 10)

Sedangkan cirr-ciri sektor formal menurut Subangun dalam Mustafa (2008 : 23) adalah sebagai berikut: seluruh aktivitas umumnya bersandar pada sumber data sekitarnya, ukuran usahanya berskala besar dan memiliki badan hukum, untuk menjalankan roda aktivitas umumnya


(43)

ditopang oleh teknologi yang padat modal dan biasanya hasil impor, tenaga kerja dalam aktivitas sektor ini umumnya mendapat latihan dan pendidikan di lembaga formal, tenaga kerja yang terlibat merupakan tenaga ahli, dan seluruh aktivitas berlaku dan berjalan di dalam pasar yang terlindungi.

Adapun ciri-ciri sektor informal menurut Hidayat (1995 : 426) sebagai berikut:

1. Kegiatan usaha tidak terorganisir secara baik,karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal.

2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha.

3. Pola kegiatan usaha tidak beraturan baik dalam lokasi maupun jam kerja.

4. Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini.

5. Unit usaha mudah keluar masuk dari subsektor ke sub sektor lain. 6. Teknologi yang dipergunakan bersifat tradisional.

7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil.

8. Untuk menjalankan usaha tidak perlu pendidikan formal, karena pendidikan yang diperlukan pengalaman sambil kerja.

9. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakan, buruh berasal dari keluarga.


(44)

10. Sumber dana modal usaha pada umumnya dari tabungan sendiri atau dari lembaga-lembaga yang tidak resmi.

11. Hasil produksi / jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga yang berpenghasilan menengah.

2.2.3.3.Penyebab Hadirnya Sektor Informal

Secara lebih terperinci, menurut Alisjahbana (2003 : vi) beberapa kondisi yang menyebabkan kehadiran sektor informal di perkotaan terus bertambah meluas adalah hal-hal berikut:

1. Terjadinya konsentrasi investasi di perkotaan telah mendorong orang melakukan urbanisasi, namun jumlahnya melebihi lapangan pekerjaan yang tersedia, sehingga melahirkan pengangguran yang ujung-ujungnya mereka kemudian akan terserap si sektor informal kota yang bersifat illegal, marginal, dan berskala kecil.

2. Perkembangan sektor informal tidak terlepas dan prosesnya daya tarik kota, terutama masyarakat pedesaan yang tidak terserap di sektor pertanian karena rendahnya pendapatan di sektor tersebut.

3. Ketika orang-orang di pedesaan pergi mengadu nasib ke kota, karena mereka terdepak dari tanah mereka akibat paceklik, banjir dan mundurnya sektor pertanian, serta padatnya penduduk.

4. Akibat minimnya sumber daya alam dan material yang bisa dieksplorasi dan dibagi kepada penduduk pedesaan.


(45)

2.2.3.4.Peran Sektor informal

Peran sektor informal pedagang kaki lima dimaksud mendudukkan peran paa posisi konseptual yang mapan atau dengan kata lain sebagai sebuah entitas akademik, di mana dalam dimensi dan waktu bekerja atasnya, sedangkan apa dan bagaimananya entitas tersebut bergeser atau berubah merupakan kajian perubahan. Menurut Merton (1968) banyak pakar yang menyatakan bahwa peran merupakan paket hah yang diterima secara social dan kewajiban yang memiliki eksitensi obyektif, terpisah dari perilaku kerja dan pengharapan yang tidak berperan.

Pedagang kaki lima perkotaan yang berada pada status yang tradisional dan marjinal melalui peran yang dimainkan diharapkan dapat dihargai oleh masyarakat modern perkotaan, memperoleh rasa aman, dan dapat menciptakan hubungan-hubungan social yang lebih luas sehingga upaya untuk melakukan perubahan peran dimungkinkan dalam pekerjaan pedagagang kaki lima.

Berkaitan dengan peran pedagang kaki lima diperkotaan yang keberadaannya seperti pasar dengan pola tradisional, menurut Geertez dalam Mustafa (2008 : 53) untuk memahami pasar dalam arti luas harus dilihat dari tiga sudut pandang:

1. Sebagai arus pertukaran barang dan jasa menurut pola tertentu

2. Sebagai rangkaian mekanisme ekonomi untuk memelihara dan mengatur arus barang dan jasa tersebut


(46)

Sedangkan menurut Ramli, pasar semacam ini dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu pola distribusi barang dan jasa, dan sebagai system social budaya. Dengan demikian pedagang kaki lima perkotaan dipandang dalam kerangka system ekonominya yaitu mekanisme untuk mengatur dan memelihara arus pertukaran barang dan jasa sekaligus juga sebagai system social budaya.

2.2.4. Pedagang Kaki Lima

2.2.4.1.Pengertian Pedagang Kaki Lima

Dalam Perda Kabupaten Sampang No.27 Tahun 2002 Pedagang Kaki Lima adalah mereka yang melakukan kegiatan dagang perseorangan dan dalam menjalankan usahanya menggunakan tempat atau fasilitas umum sebagai tempat kegiatannya.

Menurut Evers dan Korf (2002 : 234), pedagang kaki lima adalah bagian dari sektor informal kota yang mengembagkan aktivitas produksi barang dan jasa di luar kontrol pemerintah dan tidak terdaftar.

Adapun pengertian pedagang kaki lima sebagai bagian dari sektor informal dapat dijelaskan melalui ciri-ciri secara umum yang dikemukakan oleh Kartono, dkk sebagai berikut:

1. Merupakan pedagang yang kadang-kadang juga seklaigus berarti produsen.

2. Ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain (menggunakan pikulan, kereta dorong, tempat atau stan yang tidak permanen serta bongkar pasang).


(47)

3. Menjajakan bahan makanan, minuman, barang-barang konsumen lainnya yang tahan lama secara eceran.

4. Umumnya bermodal kecil, kadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atau jirih payah.

5. Kualitas barang yang diperdagangkan relatif rendah dan biasanya tidak berstandar.

6. Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli umunya merupakan pembeli yang berdaya beli rendah.

7. Usaha skala kecil bisa berupa family enterprise, dimana ibu dan anak turut membantu dalam usaha tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.

8. Tawar menawar antara penjual dan pembeli merupakan ciri relasi yang khas pada usaha perdagangan kaki lima.

9. Dalam melaksanakan pekerjaannya yang ada secara penuh, sebagian lagi melaksanakan setelah kerja atau pada waktu senggang dan ada pula yang melaksanakan secara musiman.

10.Barang yang dijual biasanya merupakan convinence goods jarang sekali specialy goods.

11.Dan sering kali berada dalam suasana psikologis tidak tenang, diliputi perasaan takut kalau tiba-tiba kegiatan mereka dihentikan oleh Tim Penertiban Umum (TEBUM) dan Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah.


(48)

Dari pengertian tersebut diatas jadi yang dimaksudkan PKL adalah kegiatan usaha yang dilakukan para pedagang dengan menggunakan lahan fasilitas umum sebagai tempat usahanya.

2.2.4.2.Sektor Informal Pedagang kaki Lima

Selain konflik tanah, pergusuran dan permukiman kumuh, salah satu persoalan serius yang dihadapi berbagai kota besar dewasa ini adalah keberadaan sektor informal, khususnya pedagang kaki lima. Menurut Evens dan Korff dalam (Mustofa, 2008 : 42), definisi pedagang kaki lima adalah bagian dari sketor informal kota yang mengembangkan aktivitas produksi barang dan jasa di luar control pemerintah dan tidak terdaftar. Di berbagai kota besar, keberadaan pedagang kaki lima bukan hanya berfungsi sebagai peyangga kelebihan tenaga kerja yang tidak terserap di sektor formal, tetapi juga memiliki peran yang besar yang menggairahkan dan meningkatkan kegiatan perekonomian masyarakat perkotaan. Sebagai bagian dari system ekonomi rakyat jelata, daya serap sektor informal yang involutif bukan saja terbukti mampu menjadi sektor peyangga yang sangat lentur dan terbuka, tetapi juga memiliki kaitan erat dengan jalur distribusi barang dan jasa di tingkat bawah dan bahkan mendai ujung tombak pemasaran ayang potensial.

Rata-rata pedagang kaki lima menggunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau dipindahkan, dan sering kali menggunakan laha fasilitas umum sebagai tempat usahanya. Beberapa


(49)

karakteristik khas pedagang kaki lima yang perlu dikenali adalah sebagai berikut (Mustofa, 2008 : 42):

1. Pola pesebaran pedagang kaki lima umumnya mendekati pusat keramaian dan tanpa izin menduduki-menduduki daerah-daerah yang semestinya menjadi milik publik, Para pedagang kaki lima umumnya memiliki daya resistensi social yang sangat lentur terhadap berbagai tekanan dan kegiatan penertiban

2. Sebagai sebuah kegiatan usaha pedagang kaki lima umumnya memiliki mekanisme involutif penyerapan tenaga kerja yang sangat longgar 3. Sebagian besar pedagang kaki lima adalah kaum migrant, dan proses

adaptasi serta eksistensi mereka didukung oleh bentuk-bentuk hubungan patronase yang didasarkan pada ikatan faktor kesamaan daerah asal

4. Para pedagang kaki lima rata-rata tidak memiliki keterampilan dan keahlian alternative untuk mengembangkan kegiatan usaha baru luar sektor informal kota.

Menurut Bromley dalam Mustafa (2008 : 43) diantara berbagai usaha sektor informal usaha pedagang kaki lima, tampaknya merupakan jenis pekerjaan yang penting dan relative tersebut dikarenakan usaha ini relative paling mudah dimasuki serta berhadapan langsung dengan kebijaksanaan kota. Pengelompokkan pedagang kaki lima (biasanya di sekitar bangunan pasar yang permanen) secara sosiologis bisa diperjelaskan sebagai suatu pertukaran ekonomi yang mengandung suatu


(50)

pertukaran social. Sejalan dengan pemikiran Peter M Blau, usaha pedagang kaki lima dapat pula merupakan mekanisme reorganisasi pertukaran ekonomi dan social, namun juga mengandung nilai solidaritasyang khas. Usaha mengabsahkan pedagang kaki lima menunjukkan suatu usaha untuk mengabsahkan kegiatan pedagang kaki lima. Di dalam konteks yang lebih luas yaitu organisasi pemerintah kota yang mengatur secara administrasi (dan politis) mengatur jalannya perekonomian (termasuk pasar), usaha kesejahteraan masyarakat, ketertiban social dan lainnya.

Sejalan perkembangan masyarakat modern perkotaan, bentk-bentuk kegiatan sektor informal juga terus berkembang. Dari berbagai macam pekerjaan pada sektor informal, yang paling dominan dan menonjol aktivitasnya adalah pedagang kaki lima. Kehadirannya dengan jumlah yang cukup besar begitu mendominasi pemenuhan kebutuhan masyarakat perkotaan, terutama pada golongan menengah ke bawah.

2.2.5. Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2002

Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2002 berisikan tentang retribusi pengaturan tempat usaha pedagang kaki lima (PK 5) dalam Kebupaten Sampang. Dalam Perda No.27 Tahun 2002 mengatur tentang retribusi salah satunya adalah Pasal 1 ayat (h) yang menyatakan: ”Retribusi pengaturan tempat usaha pedagang kaki lima (PKL) yang selanjutnya disebut retribusi adalah pembayaran atas pengaturan tempat usaha pedagang kaki lima (PKL) oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi”.


(51)

Berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui bahwa retribusi dikenakan kepada wajib retribusi yaitu pedagang kaki lima atas pengaturan tempat usaha yang telah disediakan oleh pemerintah daerah. Sedangkan besarnya retribusi diatur dalam Perda Kabupaten Sampang No. 27 tahun 2002 Pasal 12 ayat (1) yang menyatakan: ”Setiap orang yang telah memperoleh izin menggunakan tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dikenakan retribusi sebesar Rp. 50,- (lima puluh rupiah)/m2 perhari”. Sedangkan bagi yang melakukan pelanggaran berupa penundaan pembayaran atau kurang membayar retribusi, dikenakan sanksi administratsi yaitu berupa bunga sebesar 2% setiap bulan dari besarnya retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan surat tagihan retribusi, sanksi administrasi ini diatur dalam Perda Kabupaten Sampang No. 27 tahun 2002 Pasal 14.

2.2.6. Nama, Obyek dan Subyek Retribusi

Diatur dalam Perda No.27 Tahun 2002 Bab II , Pasal 2 :

Dengan nama Retribusi Pengaturan Tempat Usaha Pedagang Kaki Lima di pungut biaya retribusi atas penbayaran Pengaturan Tempat Usaha Pedagang Kaki Lima.

Bab II , Pasal 3 :

Obyek Retribusi adalah Pengaturan Tempat Usaha Pedagang Kaki Lima. Bab II , Pasal 4 :

Subyek Retribusi adalah orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha Pedagang Kaki Lima.


(52)

2.2.7. Ketentuan Retribusi

Diatur dalam Perda No.27 Tahun 2002 Bab VI , Pasal 12 :

(1). Setelah orang yang memperoleh izin menggunakan tempat sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) , dikenakan retribusi sebesar Rp. 50,- ( lima puluh rupiah ) / m perhari.

(2). Atas pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),di berikan karcis atau tanda bukti pembayaran.

(3). Bentuk, ukuran dan warna karcis atau tanda bukti pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) , di tetapkan oleh Pemerintah Daerah dengan di beri tanda perporasi / pengesahan.

2.2.8. Tata Cara Pembayaran

Diatur dalam Perda 27 Tahun 2002 Bab VII , Pasal 13 ayat (4) :

Tata cara pembayaran, tempat pembayaran, penundaan pembayaran retribusi akan di tetapkan oleh Kepala Daerah.

Bab VII, pasal 14 :

Dalam hal Wajib Retribusi tidak membayar tepat waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari besarnya retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah.


(53)

2.2. Kerangka Berpikir

Ketentuan Retribusi Tata cara penarikan retribusi

Tempat usaha para pedagang kaki lima menjadi tertib, teratur, aman, serasi dan

selaras

Peraturan Daerah Kota Sampang Nomor 27 Tahun 2002 tentang Kebijakan Retribusi Pengaturan Tempat Usaha

Pedagang Kaki Lima Pada Pasal 12 dan Pasal 14


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian adalah penentuan metode yang sering pula disebut dengan strategi pemecahan masalah, karena pada tahap ini memberikan gambaran bagaimana suatu masalah dalam penelitian yang ada dipecakan atau ditemukan jawabannya. Dalam memilih metode yang tepat dalam penelitian tergantung dari maksud dan tujuan penelitian.

Pada penelitian ini menggunakan riset kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Penelitian ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling bahkan populasi atau samplingnya sangat terbatas. Jika data yang dikumpulkan sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Disini yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) data bukannya banyaknya (kuantitas) data (Kriyantono, 2007 : 58).

3.2. Obyek, Fokus dan Instrumen Penelitian

3.2.1. Obyek Penelitian

Obyek merupakan gejala yang menjadi focus peneliti untuk diamati. Obyek itu sebagai atribut dari sekelompok orang atau obyek yang mempunyai variasi antara satu dengan yang lainnya dalam kelompok itu. Dalam penelitian kualitatif digunakan variabel mandiri tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel yang lain. Dalam


(55)

43

penelitian ini yang menjadi variabel adalah implementasi kebijakan retribusi pengaturan tempat usaha pedagangan kaki lima di daerah sekitar monumen kota Sampang Madura.

3.2.2. Fokus Penelitian

Fokus penelitian merupakan suatu hal yang sangat penting dalam usaha menentukan batasan-batasan atau cakupan yang akan dilakukan, dimana dengan diterapkannya fokus penelitian akan jelas batasannya dan juga mempertajam dalam analisis pembatasan. Sehingga dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian mengenai implementasi kebijakan Perda Daerah Kota Sampang Nomor 27 Tahun 2002 tentang retribusi pengaturan tempat dan usaha pedagang kaki lima, sebagai berikut:

1. Setiap orang yang telah memperoleh izin menggunakan tempat, dikenakan retribusi sebesar Rp. 50,- (lima puluh rupiah)/m2 perhari 2. Apabila tidak membayar tepat waktunya atau kurang membayar,

dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari besarnya retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah.

Ketentuan retribusi yang diatur dalam Perda No.27 Tahun 2002 Kota Sampang, berisi tentang:

1. Ketentuan retribusi yang diatur dalam Perda No.27 Tahun 2002 Kota Sampang, berisi tentang:


(56)

44

a) Pengenaan retribusi setiap orang (Ketentuan Retribusi Bagi Setiap Orang yang menggunakan tempat)

b) Azas pembayaran retribusi:

1) Besarnya retribusi sebesar Rp. 50,- ( lima puluh rupiah ) / m perhari.

2) Tanda bukti pembayaran dengan di berikan karcis.

c) Bentuk, ukuran dan warna karcis, di tetapkan oleh Pemerintah Daerah dengan di beri tanda perporasi / pengesahan.

Pemberian karcis bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak PKL yang ada di paguyuban.

2. Tata cara pembayaran retribusi diatur dalam Perda 27 Tahun 2002 Kota Sampang, yang menyatakan :

a) Kepala Daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran retribusi yang tertuang paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah saat terutang.

b) Apabila tidak membayar tepat waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari besarnya retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah.


(57)

45

3.2.3. Instrumen Penelitian

Di dalam mengadakan penelitian kaulitatif, peneliti sebagai instrumen penelitian. Peneliti adalah ”key instrument” atau alat peneliti utama bahwa peneliti dapat menilai dan mngambil keputusan serta peneliti lebih banyak bergantung pada dirinya sebagai alat pengumpul data karena peneliti memegang peranan utama pada penelitian kualitatif. Sedangkan ”key person” adalah orang yang paling menetukan dalam suatu penelitian kualitatif. Key person dalam penelitian ini adalah Camat kota Sampang dan Satpol PP. Peneliti mengadakan pengamatan sendiri atau wawancara yang dilakukan dengan pegawai yang berkaitan secara langsung pada penagturan usaha yang ada di aln-alun kota Sampang dan pedagang kaki lima yang melaksanakan kebijakan tersebut.

Dalam penelitian kaulitatif tidak digunakan alat-alat seperti test atau angket seperti yang lazim digunakan dalam penelitian kuantitatif. Hanya manusia sebagai instrumen dapat memahami makna interaksi antar manusia, membaca gerak muka, menyelami perasaan dan nilai terkandung dalam ucapan atau perbuatan responden. Walaupun digunakan alat rekam atau kamera, peneliti tetap memgang peranan utama sebagai alat penelitian.


(58)

46

3.3. Situs Penelitian

Situs penelitian merupakan alat tempat yang digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan keadaan sebenarnya dari obyek yang diteliti guna memperoleh data. Agar memperoleh data yang akurat dan mendekati kebenaran sesuai dengan fokus penelitian, maka peneliti memilih dan menetapkan situs penelitian ini dilakukan di alun-alun kota Sampang.

Penelitian ini dilakukan di kota Sampang, karena berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan Bapak Agus selaku wakil Satpol PP kantor dinas Kota Sampang diperoleh informasi bahwa pada awalnya retribusi penggunaan tempat usaha ditetapkan setiap 6 bulan sekali dan setiap 1 tahun sekali, akan tetapi banyak pedagang yang merasa keberatan dengan kebijakan tersebut. Sehingga pihak pemerintah daerah Kabupaten Sampang memberikan keringanan untuk membayar yaitu dengan cara mencicil untuk setiap harinya. Selain itu banyak terjadi pungli yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang mengatasnamakan dinas yang berwajib, sehingga terjadi penyimpangan dalam penerapan Perda 27 Tahun 2002 mengenai retribusi pengaturan tempat usaha pedagang kaki lima di daerah sekitar monumen Kabupaten Sampang.

3.3. Sumber Data

Yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah subyek dimana data diperoleh. Informasi yang diperlukan berkenaan dengan peneliti ini yang diperoleh melalui informan, peristiwa dan dokumen, yaitu :


(59)

47

1. Informan

Jenis penelitian ini adalah riset kualitatif. Riset kualitatif tidak bertujuan untuk membuat generalisasi hasil riset. Hasil riset lebih bersifat kontekstual dan kasuistik, yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu sewaktu riset dilakukan. Karena itu pada riset kualitatif tidak dikenal istilah sampel. Sampel pada riset kualitatif disebut informan atau subjek penelitian (Kriyantono, 2007:161). Pada penelitian ini, yang menjadi informan atau subjek penelitian yaitu dinas terkait yaitu :

a. Camat pada Kecamatan Sampang yang bernama Drs. Suryanto, MM b. Bapak Agus Diyanto, SH selaku bagian Kasi Pembinaan, Operasional

dan Pengawasan dinas Kota Sampang

c. Bapak Agus selaku wakil Satpol PP kantror dinas Kota Sampang yang bertugas mengadakan penagihan retribusi kepada para pedagang di daerah sekitar monumen kota Sampang dan pedagang kaki lima yang berdagang di daerah sekitar monumen kota Sampang.

d. Ketua paguyuban PKL Pujasera yang bernama Ach. Husin, A.MA e. Pedagang selaku wakil dari PKL Pujasera berdagang di daerah sekitar

monumen kota Sampang 2. Tempat dan peristiwa

Tempat penelitian ini adalah di daerah sekitar monumen kota Sampang pulau Madura

3. Dokumen

Berbagai dokumen yang memiliki relevansi dengan fokus penelitian, seperti laporan Laporan yang dihasilkan dalam pekerjaan ini .


(60)

48

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, ada tiga proses kegiatan yang diakukan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Depth Interview

Wawancara jenis ini dilaksanakan dengan struktur ketat, tetapi dengan pertanyaan yang semakin memfokus pada permasalahan sehingga informasi yang dikumpulkan cukup mencalam. Kelonggaran semacam ini mampu menggorek kejujuran informan untuk memberikan informasi yang sebenarnya, terutama yang berkenaan dengan perasaan, sikap dan pandangan mereka terhadap pelaksanaan kerjanya. Teknik wawancara semacam ini dilakukan dengan semua informan yang ada pada lokasi penelitian terutama untuk mendapat data yang valid guna menjawab masalah penelitian.

2. Observasi

Observasi dilaksanakan oleh peneliti dengan cara observasi partisipan untuk mengamati berbagai kegiatan yang dilakukan dinas terkait.

3. Dokumentasi

Teknik dokumentasi dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang dilaksanakan dengan cara mengumpulkan data yang bersumber pada arsip dan dokumen-dokumen yang ada.

3.6. Analisis Data

Mengingat penelitian ini mendeskripsikan mengenai implementasi kebijakan retribusi pengaturan tempat usaha pedagang kaki lima, maka digunakan analisa data yang bersifat deskriptif kualitatif.


(61)

49

Dalam penelitian kualitatif, analisa data dilakukan sejak awal dan sepanjang proses penelitian berlangsung. Dalam penelitian ini digunakan data kualitatif setelah seluruh data diperoleh, maka peneliti akan menganalisis data tersebut. Selanjutnya peneliti akan mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode dan mengkategorikan data secara deskriptif untuk mengetahui bagaimanakah implementasi kebijakan retribusi pengaturan tempat dan usaha pedagang kaki lima di daerah sekitar monumen kota Sampang.

Dalam penelitian ini digunakan data kualitatif dengan prosedur sebagai berikut yang berpedoman dari buku Analisa Data Kualitatif karangan Miles dan Huberman terjemahan Tjejep R. Rohidi 1992 : (16-21) sebagai berikut :

1. Reduksi Data

Diartikan sebagai proses pemilohan tema yang berkaitan langsung dengan fokus penelitian yang telah ditetapkan. Selanjutnya diadakan penyederhanaan atau penelitian yang berkaitan langsung dengan fokus penelitian secara sistematis.

Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisa. Pilihan-pilihan peneliti tentang bagian data mana yang dikode, mana yang dibuang, pola-pola mana yang meringkas sejumlah bagian yang tersebar, cerita-cerita apa yang sedang berkembang, semuanya ini

merupakan pilihan-pilihan analisis.

Secara sederhana “reduksi data” tidak perlu diartikan sebagai kuantifikasi. Data kualitatif dapat disederhanakan dan ditranformasikan dalam aneka macam cara : melalui seleksi yang ketat,


(62)

50

melalui ringkasan atau uraian singkat, menggolongkan dalam satu pola yang lebih luas.

2. Penyajian Data

Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data. Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan keimpulan dan pengambilan tindakan.

Penyajian data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data yang ada secara sederhana, rinci, utuh dan integrative yang digunakan sebagai pijakan untuk menentukan langkah berikutnya, apakah peneliti sudah dapat menarik kesimpulan dari data yang ada ataukah peneliti perlu melakukan penelusuran kembali sebelum penarikan kesimpulan dilakukan.

3. Menarik Keimpulan atau Verifikasi

Hal ini dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian, yakni sejak peneliti memasuki lokasi penelitian, yakni sejak peneliti dan proses pengumpulan data berlangsung. Peneliti berusaha untuk menganalisa dan mencari pola, tema, hubungan persamaan dan hal-hal yang sering timbul yang dituangkan dalam kesimpulan yang tentative. Namun dengan bertambahnya data melalui verifikasi terus menerus maka akan diperoleh kesimpulan yang bersifat grounded.

Analisa data model interaktif dapat dilihat pada gambar ini dalam gambar 3.1


(63)

51

Gambar 3.1

Komponen-komponen Ananlisis Data : Model Interaktif

Sumber : (Miles dan Hubberman, 1992:20)

Berdasarkan hal terebut diatas, jelas bahwa data yang diperoleh di lapangan tidak dibuktikan dengan angka-angka tetapi berisikan uraian-uraian sehingga menggambarkan hasil yang sesuai dengan data yang telah dianalisa kemudian diinterprestasikan. Masalah yang dihadapi diuraikan dengan berpatokan pada teori-teori serta temuan yang diperoleh pada saat penelitian tersebut, kemudian dicarikan kesimpulan dan jalan pemecahannya.

Pengumpulan Data

Reduksi Data Penyajian Data


(64)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian

4.1.1. Gambaran Umum Obyek Kecamatan Sampang Madura

Sampang adalah sebuah kabupaten di Madura yang termasuk provinsi Jawa Timur. Tiga sektor ekonomi utama Kabupaten Sampang adalah sektor pertanian; sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor jasa-jasa. Sektor pertanian merupakan roda utama yang menggerakkan perekonomian daerah ini.

Letak Daerah - Bujur Timur 1130 08’ - 1130 39’ Lintang Selatan 060 05’ - 070 13’ Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Pamekasan di timur, Selat Madura di selatan, serta Kabupaten Bangkalan di barat. Kabupaten Sampang terdiri dari 14 kecamatan (DDA 2005 menggunakan 12 Kecamatan) dimana terdapat 18 Desa dan 6 Kelurahan yang luas wilayahnya mencapai 1233,30 km2.

Salah satu wilayah yang ada di kabupaten sampang yaitu kecamatan Sampang yang terdiri dari 5 kelurahan diantaranya adalah Rong Tengah, Banyu Anyar, Polagan, Gunung Sekar, KR. Dalem.

Batas Wilayah untuk kelurahan Rong Tengah adalah sebagai berikut : a. Sebelah Utara : Kelurahan Dalpenang

b. Sebelah Selatan : Kelurahan Banyuanyar / Polangan c. Sebelah Barat : Kelurahan KR Dalam / Gunung Sekar d. Sebelah Timur : Kelurahan Gunung Maddah


(1)

97

menentukan menentukan tanggal jatuh pembayaran dan penyetoran retribusi sehingga apabila terjadi perubahan tentang jatuh tempo pembayaran dan penyetoran retribusi harus diketahui oleh kepala daerah, karena dalam hal ini kepala daerah adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu daerah dan semua keputusan mengenai daerah tersebut harus mengetahui kepala daerah. Dalam hal ini bahwa sebelum adanya proses penarikan retribusi para pedagang harus mendaftarkan untuk menjadi anggota paguyuban pedagang yang karena nantinya para pedagang akan mendapatkan tanda bukti berupa laporan kegiatan retribusi untuk mengetahui atau memudahkan pegawai yang melakukan penarikan retribusi kepada para pedagang. Dan memang kepala daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran retribusi yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah saat terutang.

4.4.2.2.Sanksi administrasi Berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan

Dalam pelaksanaan tata cara pembayaran retribusi kepala daerah menentukan tanggal ajut tempo pembayaran yaitu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah saat terutang. Apabila tidak membayar tepat waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari besarnya retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah. Proses pembayaran retribusi dilakukan langsung oleh dinas yang bersangkutan (Satpol PP) yang sudah ditunjuk


(2)

oleh kepala daerah. Pemungutan dilakukan pada jam-jam tertentu yang sudah ditetapkan karena dinilai pedagang sudah mulai ramai menjual dagangannya dan pemungutan dilakukan di blok-blok yang berbeda agar tidak terjadi tumbukan. Pemungutan dilakukan secara langsung dimana petugas mendatangi pedagang satu-persatu. Cara ini dilakukan agar tidak terjadi kelalaian membayar pada tiap wajib retribusi. Dan kalaupun terjadi maka kelalaian itu akan dijadikan utang retribusi yang harus dibayar setiap tahun.

Berdasarkan hasil temuan bahwa ada sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan apabila tidak membayar tepat waktunya atau kurang membayar. Hal tersebut sudah diatur dalam Perda 27 Tahun 2002 Bab VI, Pasal 14 yang berisi tentang dalam hal wajib retribusi apabila tidak membayar tepat waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari besarnya retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan mengunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah. Untuk mencegah ketidaktahuan para pedangang tentang sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan apabila tidak membayar tepat waktunya atau kurang membayar, dalam hal ini para petugas penarik retribusi memberikan informasi dan sosialisasi tentang sanksi administrasi tersebut kepada para pedangang sehingga para pedangang tidak kaget apabila mendapatkan sanksi administrasi karena tidak membayar tepat waktu atau kurang membayar retribusi. Oleh karena


(3)

99

itu dalam hal ini para pedagang selalu membayar retribusi tepat waktu walaupun harus telat membayar pembayaran dilakukan tidak lebih dari satu bulan dari tanggal jatuh tempo


(4)

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab IV maka dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan mengenai Perda No.27 Tahun 2002 tentang Retribusi Pengaturan Tempat Usaha Pedagang Kaki Lima dalam menjaga kebersihan lingkungan dan tempat berjualan masih banyak mengalami kendala-kendala yang dihadapi seperti :

1. Ketentuan retribusi yang diatur dalam Perda No.27 Tahun 2002 Kota Sampang

a) Pengenaan retribusi yang dibebankan kepada para pedagang, pedagang ada yang merasa keberatan dan merasa tidak keberatan karena retribusi yang dikenakan memberatkan bagi pedagang.

b) Azas pembayaran retribusi yang diberlakukan menyangkut besarnya retribusi yang harus dibayar dan tanda bukti pembayaran merupakan keputusan yang sudah baik.

c) Bentuk, ukuran dan warna karcis sebagai tanda bukti pembayaran di tetapkan oleh pemerintah daerah ditetapkan untuk menghindarkan adanya konflik antara pedagang dan pihak satpol PP.

2. Tata cara pembayaran retribusi diatur dalam Perda 27 Tahun 2002 Kota Sampang

a) Kepala Daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran retribusi.


(5)

98

b) Bagi yang terlambat membayar retribusi akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari besarnya retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah.

5.2. Saran

Setelah melakukan penelitian dan survey pada obyek yang diteliti, maka peneliti mempunyai saran yaitu :

1. Peneliti menyarankan bagi pihak pemerintahan khususnya pemerintah di Sampang Madura agar lebih memberikan sosialisasi lebih jelas lagi mengenai ketentuan baru tentang adanya kebijakan retribusi, baik sosialisasi lewat media cetak ataupun lewat media elektronik di daerah tersebut sehingga pedagang lebih mengenal mengenai peraturan yang baru serta dijelaskan fasilitas dan manfaat yang akan diberikan dengan adanya kebijakan retribusi tersebut.

2. Peneliti menyarankan bagi pihak pemerintah di Sampang khususnya pihak yang melakukan pemungutan retribusi, disarankan untuk dapat mensosialisasikan terlebih dahulu tata cara pembayaran retribusi, sehingga para pedagang tidak bingung ketika akan membayar.


(6)

Alfabeta : Bandung.

Alisjahbana, 2003. Urban Hiden Economy, Peran Tersembunyi Sektor Informal Perkotaan. Penerbit Lembaga Penelitian ITS: Surabaya.

Alisjahbana, 2006. Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan, Edisi I. Penerbit ITS Press: Surabaya.

Evers HD dan Rudiger, Korf, 2002. Urbanisasi di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang-ruang Sosial: Jakarta Yayasan Obor Indonesia.

Islamy, Irfan, 1994. Kebijakan Publik. Universittas Terbuka: Jakarta.

Kriyantono, Rachmat, 2007, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Penerbit Prenada Media Group, Jakarta.

Lembaga Administrasi Negara Tahun 2000

Mustofa, Ali Achsan, 2008. Model Transfromasi Sosial Sektor Informal, Cetakan Pertama. Penerbit In-Trans Publishing: Malang.

Peraturan Daerah Kabupaten Sampang No.27 Tahun 2002

Widodo, Joko, 2009. Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik, Cetakan Ketiga. Penerbit Bayumedia Publishing: Malang.

Jurnal

Adianto, Joko, 2004. Trotoar Sebagai Perebutan Ruang Kehidupan Studi Kasus di Kawasan Kebun Raya Bogor Jawa Barat. Studi Kasus : Kebun Raya Bogor Jawa Barat

Tamba, Halomoan dan Sijabat, Saudin, 2006. Pedagang Kaki Lima Entrepreneur Yang Terabaikan. Infokop Nomor 29 Tahun XXII.