Tingkat Karakter Bela Gender Siswa Kelas VIII SMP N 9

Artinya model implementasi pendidikan karakter ini sangat efektif digunakan untuk meningkatkan nilai karakter siswa.

3. Tingkat Karakter Bela Gender Siswa Kelas VIII SMP N 9

Singkawang Tahun Ajaran 20142015 Berdasarkan data yang dihasilkan melalui self assessment tingkat karakter bela gender, ditemukan peningkatan yang berati baik mulai dari sesi pertama hingga sesi ketiga dalam proses implementasi model pendidikan karakter tersebut. Pada sesi pertama ditemukan sebagian besar siswa masuk dalam kategori rendah 50. Hasil ini tentu terjadi karena berbagai faktor, salah satunya penyesuaian model yang baru dan materi baru, mengingat belum pernah adanya pembahasan secara mendalam mengenai pendidikan karakter dengan latar belakang nilai gender di sekolah, tempat lokasi penelitian. Implementasi pendidikan karakter bela gender berbasis layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan pendekatan experiential learning memiliki intervensi berkelanjutan di antara setiap topik bahasannya. Selanjutnya, di akhir sesi ke dua dan ke tiga peneliti juga menghimpun data pemaham siswa melalui self assessment, dan hasilnya sejalan dengan pikiran penulis. Rupanya, terjadi peningkatan pemahaman setelah implementasi model di sesi yang kedua dan ketiga. Pada sesi kedua, 72,7 siswa sudah mampu memahami nilai karakter bela gender. Memang belum sampai pada taraf tinggi atau sangat tinggi, namun sudah terdapat 15,1 siswa yang masuk pada kategori pemahaman tinggi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Hasil analisis data di sesi dua ditambah lagi dengan pengalaman refleksi siswa ketika proses implementasi berlangsung tentu sudah dapat diprediksikan. Pada sesi ketiga hasil olah data self assessment karakter bela gender menunjukan peningkatan fantastis. Sebagian besar siswa 57,5 sudah memiliki pemahaman baik mengenai karakter bela gender sehingga dapat masuk dalam kategori tinggi. Lebih jauh, terdapat pula 15,1 siswa yang berhasil melampaui skor 100 dari skala 30 hingga 120 sehingga dapat masuk dalam kategori sangat tinggi. Pencapaian pemahaman yang cukup melonjak jauh ini tentu dikarenakan keseriusan siswa dan kenyamanan yang dirasakan siswa dalam proses implementasi yang menggunakan pendekatan experiential learning. Secara keseluruhan terjadi peningkatan score di masing-masing sesi. Jika ditilik berdasarkan jenis kelamin, ada beberapa item yang tadinya bernilai 4, menjadi bernilai 3 atau 2. Hal ini dikarenakan pemahaman siswa yang sudah sampai ke tataran konasi, dimana siswa langsung mengalami peristiwinya. Sebagai contoh pada no item 20 dengan pernyataan, aku memandang laki-laki sebagai pemimpin. Rata-rata siswa perempuan kurang setuju dengan pernyataan tersebut, namun seiring berjalannya waktu pandangan mereka mengenai hal itu mulai terkikis. Dalam refleksinya, mereka mengutarakan bahwa gender itu berati keseimbangan. Artinya, sehebat apapaun perempuan, mereka juga memerlukan peran laki-laki, pun sebaliknya. Proses implementasi disinyalir menjadi lebih mudah karena siswa boleh langsung mengalami pembelajaran secara nyata. Pernyataan serupa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI juga diungkapkan oleh Rogers, 1969 yang mengatakan bahwa berbagai proses yang dilakukan dalam pendekatan experiential learning dapat mengarahkan siswa untuk mendapatkan pengalaman yang lebih banyak melalui keterlibatan secara aktif dibandingkan bila mereka hanya membaca suatu materi atau konsep tanpa doing something. Pemahaman mengenai tingkkat karakter bela gender juga digali oleh peneliti melalui suatu tes berbentuk multiple choice bergradasi. Bertolak dari test karakter bela gender yang dilakukan sebanyak dua kali, yakni diawal kegiatan pre-test dan diakhir kegiatan post-test terdapat hasil yang cukup unpredictable. Hasil pre-test tingkat pemahaman bela gender siswa kelas VIII SMP N 9 Singkawang berada pada kategori rata- rata. Artinya ada sekitar 78,78 siswa memiliki pemahaman sedang mengenai konsep bela gender. Sisanya 21,22 siswa memiliki pemahaman rendah mengenai konsep bela gender. Pemahaman rendah yang dialami oleh siswa didasari oleh judgement yang kurang tepat mengenai apa itu gender sendiri. Siswa memandang bahwa gender hanya seputar jenis kelamin saja. Menanggapi salah pikir yang selama ini dipahami siswa, peneliti mengajak siswa untuk berproses bersama guna meningkatkan pemahaman mereka mengenai gender. Proses yang dilakukan dibagi menjadi 3 sesi dengan masi-masing topik berbeda pada tiap sesinya. Sesi pertama dilakukan oleh peneliti dengan membawakan topik bimbingan Menghargai Peran Gender. Pada sesi ini nampak antusiasme siswa untuk mengetahui PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI apa itu gender yang sesungguhnya. Siswa tak luput memahami bahkan ada beberapa anak yang secara khusus mencatat informasi-informasi baru yang ia peroleh. Pada sesi pertama, kelas masih didominasi oleh siswa laki-laki, mulai dari keberanian berpendapat dengan teman di kanan maupun kirinya hingga mulai berani untuk membantu peneliti dalam mempersiapkan media. Melalui proses ini peneliti beranggapan bahwa dominasi di kelas VIII SMP N 9 Singkawang ini masih kuat oleh siswa laki-laki. Becky 2015 mengungkapkan bahwa remaja perempuan di suku dayak rata-rata memiliki kecerdasan intelektual yang cukup baik dibandingkan dengan laki-laki. Keprihatinan kemudian timbul ketika kecerdasan tersebut tidak diimbangi dengan keberanian untuk mengunkapkan pendapat. Kembali kepada proses pada sesi pertama yang dilakukan oleh peneliti dan siswa kelas VIII SMP N 9 Singkawang. Dinamika yang digunakan peneliti pada waktu itu adalah dengan bermain role play. Sejak pembagian peran untuk persiapan role play, siswa perempuan sudah mulai mau ikut terlibat secara penuh dalam proses kegiatan. Bahkan sudah ada siswi yang berani menyampaiakan pendapatnya untuk mewakili kelompok yang mayoritas laki-laki untuk merefleksikan inti dari dinamika role play. Beranjak pada sesi kedua dengan topik yang berjudul Gaul It’s Okay, Gaul yang Proaktif. Topik ini bertujuan untuk mengajak siswa berani dalam kumpulan pergaulan, baik postif maupun negatif. Berani disini dimaksudkan untuk berani menyatakan pendapat sesuai norma yang berlaku. Selain berani positif dalam pergaulan, topik ini juga mengajak siswa untuk berani proaktif dalam pergaulan. Peneliti mengajak siswa untuk menilik pergaulan secara lebih mendalam dengan media kisah bergambar dan membaca kisah inspiratif. Kisah inspiratif secara khusus menghadirkan sosok Ibu Susi Pudjiastuti selaku Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Siswa tentu sudah familiar dengan sosok Beliau sehingga dapat dengan mudah belajar dari kisah hidupnya. Gender merupakan konsep hubungan sosial yang membedakan fungsi dan peran antara perempuan dan laki-laki. Perspektif bela gender perlu memperhatikan aspek pergaulan dan partisipasi proaktif untuk menghapuskan bias didalamnya Muawanah, 2009. Berpegang pada pandangan ahli, peneliti kemudian melihat kaitannya pada implementasi topik ketiga yakni Digelorakan oleh Mimpi. Respon luar biasa muncul dari siswa ketika ada salah satu dari antara mereka yang menuturkan cita- citanya untuk menjadi seorang wakil rakyat. Kesimpulannya adalah tidak ada yang salah dengan kemampuan berpikir kognisi remaja di suku dayak. Masalah yang justru perlu dibenahi adalah penyampaian yang sesuai dengan realita dan kondisi siswa. Terkadang konstruk sosial yang sudah ada membuat siswa menjadi enggan untuk mengaktualisasikan pemahaman lewat dirinya. Guna menjawab permasalahan pendidikan karakter yang biasanya hanya sampai pada tatataran kognitif, implementasi model pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pendekatan experiential learning adalah jawabannya. Hasil post-test siswa menyatakan peningkatan pemahaman siswa yang cukup tinggi mengenai pemahaman gender. Peningkatan terjadi pada kategori pemahaman sangat tinggi yang mencapai 48,49 dan 51,51 siswa memiliki pemahaman tinggi mengenai karakter bela gender. Artinya, berdasarkan peningkatan hasil post-test, model bimbingan klasikal kolaboratif dengan pendekatan experiential learning adalah jawaban yang efektif atas permasalahan afeksi dan konasi di SMP N 9 Singkawang guna meningkatkan karakter bela gender.

4. Signifikansi Hasil Pendidikan Karakter Bela Gender Berbasis

Dokumen yang terkait

Pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan pendekatan experiential learning.

0 0 15

Efektivitas implementasi pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal kolaboratif dengan pendekatan Experiential Learning untuk meningkatkan karakter bertanggung jawab.

0 0 193

Efektivitas implementasi pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning untuk meningkatkan karakter proaktif

2 5 190

Efektivitas implementasi pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning untuk meningkatkan kecerdasan komunikasi interpersonal

0 2 183

Efektivitas pendidikan karakter entrepreneurship berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning

1 2 197

Efektivitas pendidikan karakter menghargai keragaman berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning

0 1 138

Efektivitas implementasi pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning untuk meningkatkan karakter bergaya hidup sehat

0 0 183

Efektivitas implementasi pendidikan karakter kepemimpinan berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning

0 8 152

Efektivitas implementasi pendidikan karakter cinta tanah air berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning

0 2 135

Efektivitas implementasi pendidikan karakter daya juang berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning

0 1 156