Efektivitas implementasi pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning untuk meningkatkan kecerdasan komunikasi interpersonal
i
EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS LAYANAN BIMBINGAN KLASIKAL DENGAN PENDEKATAN EXPERIENTIAL LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KECERDASAN KOMUNIKASI
INTERPERSONAL
(Studi Pre-Experiment pada Siswa Kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri Tahun Ajaran 2015/2016)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Disusun oleh: Soesanto Adisaputro
131114039
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2017
(2)
(3)
(4)
iv
HALAMAN MOTTO
UNTUK MENCAPAI TUJUAN AKHIRMU, KAU HARUS BERSABAR (UCHIHA OBITO)
KAU GAGAL TETAPI MASIH BISA MAMPU BANGKIT KEMBALI, KARENA ITU MENURUTKU ARTI DARI KUAT YANG SEBENARNYA
(HINATA HYUUGA)
MASA DEPAN DIMULAI SAAT INI JUGA. BUKAN BESOK (ST. PAUS YOHANES PAULUS II)
BERDOALAH SEOLAH-OLAH SEMUANYA BERGANTUNG PADA ALLAH. BEKERJALAH SEOLAH-OLAH SEGALANYA BERGANTUNG
KEPADAMU (SANTO AGUSTINUS)
KESOMBONGAN ADALAH AWAL DARI SEGALA DOSA, SEDANGKAN KERENDAHAN HATI ADALAH DASAR DARI SEGALA KEBAIKAN
(5)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan anugerah kehidupan dan selalu senantiasa membimbing hamba-Nya.
Kedua orangtua yakni Nikodemus dan Adrianan Neng. Adik yakni Adryanto Rico dan seluruh keluarga yang selalu mendukung dan membantu dalam segala hal.
(6)
(7)
(8)
viii ABSTRAK
EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI
PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS LAYANAN BIMBINGAN KLASIKAL DENGAN PENDEKATAN EXPERIENTIAL LEARNING
UNTUK MENINGKATKAN KECERDASAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL
(Studi Pre-Experiment pada Siswa Kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro Wonogiri Tahun Ajaran 2015/2016)
Soesanto Adisaputro Universitas Sanata Dharma
2017
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan 1) peningkatan kecerdasan komunikasi interpersonal pada siswa sebelum dan sesudah mendapat layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning, 2) peningkatan kecerdasan komunikasi interpersonal siswa setiap sesi pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning, 3) signifikansi peningkatan kecerdasan komunikasi interpersonal siswa setiap sesi pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning, 4) menganalisis efektivitas pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning untuk meningkatkan kecerdasan komunikasi interpersonal berdasarkan penilaian siswa.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan pra eksperimen One-Group Pretest-Posttest Design. Subjek penelitian ini berjumlah 21 siswa kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro Wonogiri. Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini berupa tes dan 2 kuesioner yaitu kuesioner validitas efektivitas model menurut siswa dan self assessment scale. Tes yang dipakai adalah tes kecerdasan komunikasi interpersonal yang diberikan sebelum pelakuan (pretest) dan sesudah perlakuan (posttest) yang berjumlah 20 item pilihan ganda bergradasi.
Hasil penelitian menunjukkan: 1) secara umum gambaran peningkatan kecerdasan komunikasi interpersonal siswa sebelum dan sesudah mendapatkan layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning berada pada kategori cukup, 2) implementasi pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning untuk meningkatkan kecerdasan komunikasi interpersonal setiap sesi layanan bimbingan klasikal berada pada kategori cukup, 3) profil capaian nilai kecerdasan komunikasi interpersonal siswa dari sesi 1 ke sesi 2 layanan bimbingan klasikal mengalami peningkatan tapi tidak signifikan, 4) Model ini sangat efektif untuk meningkatkan kecerdasan komunikasi interpersonal menurut data penilaian siswa.
Kata kunci: pendidikan karakter, kecerdasan komunikasi interpersonal, experiential learning.
(9)
ix ABSTRACT
THE EFFECTIVENESS OF IMPLEMENTATION OF CHARACTER BUILDING EDUCATION WITH THE BASIS OF CLASSICAL GUIDANCE WITH THE EXPERIENTIAL LEARNING APPROACH TO IMPROVE INTERPERSONAL COMMUNICATION
QUOTIENT
(Pre-Experiment Study on VII B Graders of SMP (Junior High School) 3 Purwantoro Wonogiri, Batch 2015/2016)
Soesanto Adisaputro Sanata Dharma University
2017
This research was aimed at describing 1) the improvement of interpersonal communication quotient of students before and after receiving classical guidance service with experiential learning approach, 2) the improvement of students‟ interpersonal communication quotient for each session of character building education with the basis of classical guidance with the experiential learning approach, 3) the significance of improvement of students‟ interpersonal communication quotient for each session of character building education with the basis of classical guidance with the experiential learning approach, 4) the analysis effectiveness of character building education with the basis of classical guidance with the experiential learning approach to improve the interpersonal communication quotient based on students‟ score.
This research was a qualitative research with One-Group Pretest-Posttest Design pre-experiment approach. The subjects were 21 VII B Graders of SMP (Junior High School) 3 Purwantoro Wonogiri. The instruments used were a test and 2 questionnaires, namely questionnaire of model effectiveness validity according to students and self-assessment scale. The test used was interpersonal communication quotient test given before test (pre-test) and after test (post-test) with 20 graded multiple-choice items.
The result of the research showed: 1) generally, the description of students‟ interpersonal communication quotient improvement before and after classical guidance service with experiential learning approach was categorized as good, 2) the implementation of character building education with the basis of classical guidance with the experiential learning approach to improve interpersonal communication quotient for each session of classical guidance was categorized as adequate, 3) the achievement profile of students‟ interpersonal communication quotient from session 1 to session 2 of classical guidance service actually improved albeit not significantly, 4) this model was very effective to improve interpersonal communication quotient based on student‟s score data. Keyword: Character Building Education, interpersonal communication quotient, experiential learning.
(10)
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat limpah rahmat dan perlindungan-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan tugas akhir ini yang berjudul “Efektivitas Implementasu Pendidikan Karakter Berbasis Layanan Bimbingan Klasikal dengan Pendekatan Experiential Learning untuk Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Interpersonal (Studi Pre-Experiment pada Siswa Kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro Wonogiri Tahun Ajaran 2015/2016)” dengan lancar dan selesai dengan baik. Selama proses penulisan tugas akhir ini, penulis menyadari bahwa ada banyak pihak yang berperan dalam membimbing, mendampingi, mengingatkan, dan mendukung setiap proses yang Penulis jalani. Oleh karena itu, Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Rohandi, Ph.D selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
2. Bapak Dr. Gendon Barus, M.Si selaku Kepala Program Studi Bimbingan dan Konseling.
3. Bapak Juster Donal Sinaga, M.Pd selaku Wakil Program Studi Bimbingan dan Konseling sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Skripsi.
4. Segenap Bapak/Ibu Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling atas Bimbingan serta pendampingan selama Penulis menempuh studi.
5. Stefanus Priyatmoko selaku Petugas Sekretariat yang memberikan pelayanan dengan ramah dan penuh kesabaran pada Penulis selama menempuh studi.
6. Bapak Nikodemus dan Ibu Adriana Neng selaku Orangtua yang telah memberikan dukungan, doa, semangat, nasihat pada Penulis.
7. Saudara-saudara yang telah memberikan dukungan pada Penulis.
8. Teman-teman BK 2013 atas dukungan, pengalaman, serta kebersamaan, keceriaan, kehormatan, yang sudah dibagikan pada Penulis.
9. Wibisana Febrian Putra, Gregorius Priyanto, Stepanus Gagas Wibowo, Karinsa Widi Kurnia, Sifra Dita Novelina, Anna Sindu, Elining, Syahrianto, Deddy, Florianus Yandhi, Yosep, Virgilius, Dionisius Gusara,
(11)
(12)
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR GRAFIK ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
BAB I PEMBUKAAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Batasan Masalah... 6
D. Rumusan Masalah ... 6
(13)
xiii
F. Manfaat Penelitian ... 8
G. Definisi Istilah ... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11
A. Hakikat Pendidikan Karakter ... 11
1. Pengertian Karakter ... 11
2. Pengertian Pendidikan Karakter ... 12
3. Tujuan Pendidikan Karakter ... 13
4. Fungsi Pendidikan Karakter ... 14
5. Prinsip-prinsip Pendidikan Karakter ... 14
6. Nilai-nilai Pendidikan Karakter ... 16
B. Hakikat Kecerdasan Komunikasi Interpersonal ... 20
1. Pengertian Komunikasi Interpersonal ... 20
2. Proses Keterampilan Komunikasi Interpersonal ... 21
3. Peranan Komunikasi Antarapribadi dalam hidup ... 22
4. Aspek-aspek Keefektivitasan Komunikasi Interpersonal ... 24
C. Hakikat Layanan Bimbingan Klasikal ... 26
1. Pengertian Layanan Bimbingan Klasikal ... 26
2. Tujuan Layanan Bimbingan Klasikal ... 27
3. Manfaat Layanan Bimbingan Klasikal ... 28
4. Tahapan Layanan Bimbingan Klasikal ... 29
5. Prinsip-prinsip Layanan Bimbingan Klasikal ... 31
D. Hakikat Experiantial Learning ... 32
1. Pengertian Experiantial Learning ... 32
2. Karakteristik Experiantial Learning menurut Kolb ... 33
3. Metodologi Pembelajaran Experiantial Learning ... 34
4. Tujuan Experiantial Learning ... 39
5. Proses Experiantial Learning ... 39
6. Langkah-langkah dalam Pembelajaran Experiantial Learning... 43
(14)
xiv
E. Hakikat Remaja sebagai Peserta Didik ... 45
1. Pengertian Remaja ... 45
2. Tugas Perkembangan Remaja ... 46
F. Hasil Penelitian yang Relevan ... 47
G. Kerangka Berpikir ... 48
H. Hipotesis ... 52
BAB III METODE PENELITIAN... 53
A. Jenis Penelitian ... 53
B. Setting Penelitian ... 54
C. Subjek Penelitian ... 55
D. Teknik Penelitian ... 55
1. Tes Kecerdasan Komunikasi Interpersonal ... 55
2. Kuesioner Penilaian Diri Siswa ... 58
3. Kuesioner Validitas Efektivitas Model ... 59
E. Validitas dan Realibitas... 60
1. Validitas ... 60
2. Realibitas ... 63
F. Uji Normalitas ... 67
G. Teknik Pengumpulan Data ... 68
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 73
A. Hasil Penelitian ... 73
B. Pembahasan ... 84
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 96
A. Kesimpulan ... 96
B. Keterbatasan Penelitian ... 96
1. Insrumen Penelitian ... 97
(15)
xv
C. Saran ... 98
1. Bagi Kepala Sekolah ... 98
2. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling ... 98
3. Bagi Peneliti Lain ... 99
DAFTAR PUSTAKA ... 100
LAMPIRAN ... 102
(16)
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Desain Penelitian ... 54
Tabel 3.2 Jadwal Penelitian ... 54
Tabel 3.3 Subjek Penelitian ... 55
Tabel 3.4 Kisi-kisi Tes Kecerdasan Komunikasi Interpersonal ... 57
Tabel 3.5 Gradasi Pernyataan Item Skala Likert ... 58
Tabel 3.6 Kisi-kisi Skala Penilaian Diri Siswa ... 59
Tabel 3.7 Norma Kategorisasi Reliability Statistic Guilford ... 65
Tabel 3.8 Hasil Uji Reliabilitas Tes Tingkat Komunikasi Interpersonal ... 65
Tabel 3.9 Hasil Uji Reliabilitas Skala Penilaian Diri Siswa ... 66
Tabel 3.10 Hasil Uji Reliabitas Item Tes Komunikasi Interpersonal ... 67
Tabel 3.11 Hasil Uji Normalitas Tes Tingkat Komunikasi Interpersonal ... 68
Tabel 3.12 Norma Kategorisasi ... 69
Tabel 3.13 Norma Kategorisasi Tingkat Komunikasi Interpersonal ... 70
Tabel 4.1 Kategorisasi Tingkat Kecerdasan Komunikasi Interpersonal Siswa Kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro Wonogiri Tahun Ajaran 2015/2016 sebelum dan sesudah mendapatkan Implementasi Pendidikan Karakter Berbasis Layanan Bimbingan Klasiskal dengan Pendekatan Experiential Learning ... 73
Tabel 4.2 Kategorisasi Tingkat Kecerdasan Komunikasi Interpersonal Siswa Kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro Wonogiri Tahun Ajaran 2015/2016 Antar Sesi Pendidikan Karakter Berbasis Layanan Bimbingan Klasikal dengan Pendekatan Experiential Learning ... 77
(17)
xvii
Table 4.4 Uji Sampel Berpasangan Setiap Sesi Layanan ... 81 Tabel 4.5 Hasil Penilaian Siswa Terhadap Efektivitas Layanan ... 83
(18)
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Tahapan Model Pembelajaran Experiential Learning ... 39 Gambar 2.2 Siklus Pembelajaran Experiential Learning
menurut Pfeifer & Jones ... 41 Gambar 2.3 Model Experiential Learning Kolb ... 43 Gambar 2.4 Kerangka Berpikir ... 51
(19)
xix
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Tingkat Kecerdasan Komunikasi Interpersonal Siswa Kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro Wonogiri Tahun Ajaran 2015/2016 Sebelum dan Sesudah Mendapatkan Pendidikan Karakter Berbasis Layanan Bimbingan Klasikal dengan Pendekatan Experiential Learning ... 74
Grafik 4.2 Tingkat Nilai Rata-rata Kecerdasan Komunikasi Interpersonal Siswa Kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro Wonogiri Tahun Ajaran 2015/2016 Sebelum dan Sesudah Mendapatkan Pendidikan Karakter Berbasis Layanan Bimbingan Klasikal dengan Pendekatan Experiential Learning ... 74
Grafik 4.3 Tingkat Kecerdasan Komunikasi Interpersonal Siswa Kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro Wonogiri Tahun Ajaran 2015/2016 Antar Sesi Layanan Pendidikan Karakter Berbasis Layanan Bimbingan Klasikal dengan Pendekatan Experiential Learning ... 78
Grafik 4.4 Tingkat Nilai Rata-rata Kecerdasan Komunikasi Interpersonal Siswa Kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro Wonogiri Tahun Ajaran 2015/2016 Antar Sesi Layanan Pendidikan Karakter Berbasis Layanan Bimbingan Klasikal dengan Pendekatan Experiential Learning ... 79
(20)
xx
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Self Assessment Scale ... 103
LAMPIRAN 2 Tabulasi Self Assessment ... 105
LAMPIRAN 3 Kuesioner Pretest-Posttest ... 107
LAMPIRAN 4 Tabulasi Pretest-Posttest ... 112
LAMPIRAN 5 Kuisioner Validasi Siswa ... 116
LAMPIRAN 6 Tabulasi Validasi Siswa ... 117
LAMPIRAN 7 Modul ... 119
LAMPIRAN 8 Tabulasi Uji Validitas ... 161
(21)
1 BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini dipaparkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi istilah.
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting untuk membangun karakter bangsa. Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan Nasional menerapkan kembali pendidikan pembangunan karakter bangsa. Pembangunan karakter bangsa sesungguhnya telah secara eksplisit dipaparkan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 3 yang menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dewasa ini, sudah banyak sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter namun masih ada sekolah di Indonesia yang belum menerapkan pendidikan karakter. Pentingnya pendidikan karakter secara komprehensif diberikan kepada peserta didik sedini mungkin, sebab pendidikan tersebut mencakup ranah afeksi, kognisi, dan psikomotor. Para
(22)
peserta didik harapannya mampu mewujudnyatakan tujuan pendidikan nasional di Indonesia. Pendidikan karakter begitu penting diterapkan dalam dunia pendidikan karena karakter menunjukkan siapa diri kita sebenarnya. Karakter menentukan pikiran, perasaan, dan kehendak seseorang. Orang berkarakter berarti memiliki integritas moral yang tinggi. Orang yang mempunyai integritas adalah orang yang mampu mempunyai komitmen dan menjalankan nilai-nilai yang diyakininya secara konsekuen dan konsisten.
Pendidikan karakter menjadi hal yang utama dan harus segera diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa masih ada sekolah yang belum menerapkan pendidikan karakter. Seperti halnya Sekolah Menengah Pertama yang terletak di Purwantoro, yaitu SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri, sekolah ini sama sekali belum menerapkan pendidikan karakter yang terintegrasi dalam mata pelajaran ataupun di sampaikan secara langsung. Kejadian ini bisa saja membuat siswa-siswi SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri kurang memahami mengenai nilai-nilai karakter.
Salah satu tujuan ataupun alasan orang untuk bersekolah ialah menimba ilmu atau mendapatkan ilmu pengetahuan. Di sekolah banyak cara yang dilakukan oleh Guru/Tenaga Pendidik dalam hal mendidik, memberikan pengetahuan, dan lainnya. Salah satunya ialah dengan pendekatan experiential learning, pendekatan ini biasanya dipakai ketika ingin belajar dalam sebuah kelompok dan berdinamika. Pendekatan experiential learning membuat peserta didik untuk mengalami secara
(23)
langsung kegiatan atau aktivitas yang diberikan sehingga peserta didik memperoleh pengalaman dan mampu memahami serta memaknai apa yang telah dialami. Pendekatan experiential learning merupakan pendekatan yang bisa dikatakan sangat efektif dalam membantu peserta didik untuk memahami materi pelajaran yang diberikan. Namun sayangnya, pendekatan yang bisa dibilang efektif dalam membantu peserta didik untuk memahami materi pelajaran yang diberikan ini, belum digunakan banyak guru di SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri. Cenderung para guru di SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri mengunakan metode ceramah, latihan soal, dan diskusi kelompok, belum menerapkan pendekatan experiential learning pada saat mengajar di kelas.
Menanggapi fenomena yang terjadi, peneliti bermaksud ingin mengetahui kecerdasan komunikasi interpersonal siswa SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri terutama untuk kelas VII B, karena peneliti ingin melihat apakah teori ini cocok dengan kondisi di Indonesia terutama di SMP Negeri 3 Purwantoro Wonogiri yang berlatar belakangkan penduduknya, adat, dan budayanya ialah budaya jawa karena orang jawa memiliki kemapuan ataupun sudah terbiasa berkomunikasi dengan orang lain. Namun apakah mereka terutama siswa SMP Negeri 3 Purwantoro Wonogiri yang latar belakangnya sebagai orang jawa memiliki kecerdasan komunikasi interpersonal walaupun para siswa sudah terbiasa untuk berkomunikasi interpersonal. Kecerdasan komunikasi interpersonal bukanlah hanya sekerdar berkomunikasi dengan orang lain secara baik akan tetapi dalam
(24)
berkomunikasi dengan orang lain mereka juga harus cerdas dalam berkomunikasi supaya komunikasi yang dilakukan bukan hanya satu arah melainkan dua arah dan komunikasinya berjalan dengan baik. Sejauh ini, belum ada penelitian mengenai pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning untuk meningkatkan kecerdasan komunikasi interpersonal di SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri. Oleh karena itu, peneliti ingin menawarkan sebuah program tentang pelaksanaan pendidikan karakter berbasis bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning untuk meningkatkan kecerdasan komunikasi interpersonal. Bimbingan klasikal ini memuat topik- yang terdiri dari 3 topik yang diambil berdasarkan aspek dari kecerdasan komunikasi interpersonal dan akan diberikan untuk para siswa. Ketiga topik tersebut yakni, komunikasi yang baik, aku berani bertanya, dan aku berani berpendapat di depan umum.
Layanan Bimbingan Klasikal yang diberikan dalam penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan karakter siswa dan meningkatkan kecerdasan komunikasi interpersonal siswa kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri, Pemberian layanan bimbingan klasikal melalui pendekatan experiential learning yang artinya pendekatan ini mengutamakan pembelajaran melalui pengalaman sebagai upaya untuk mengembangkan kebiasaan dalam diri siswa sehingga kebiasaan tersebut dapat membentuk karakter.
(25)
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti bermaksud mengadakan penelitian dengan judul “Efektivitas Implementasi Pendidikan Karakter Berbasis Layanan Bimbingan Klasikal dengan Pendekatan Experiential Learning untuk Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Interpersonal pada siswa kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri” dalam penelitian ini.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat diidentifikasi beberapa masalah yaitu:
1. Masih ditemukannya sekolah yang belum menerapkan pendidikan karakter.
2. Pendidikan karakter menjadi hal yang utama dan segera diterapkan di sekolah-sekolah.
3. Pendekatan experiential learning belum digunakan guru di SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri.
4. SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri belum menerapkan pendidikan karakter.
5. Kurangnya emahaman siswa-siswi SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri mengenai pendidikan karakter.
6. Siswa-sisiwi SMP negeri 3 Purwantoro, Wonogiri kurang memahami karakter yang harus dikembangkan dalam diri mereka.
(26)
7. Siswa-siswi SMP Negeri 3 Purwantoro Wonogiri mungkin sudah memiliki komunikasi interpersonal namun belum tentu memiliki kecerdasan dalam komunikasi interpersonal.
8. Adanya perilaku kurang berani bertanya, kurang percaya diri jika berpendapat, ejek-ejekan, berbicara kasar/kotor, dan sampai pada kesalahpahaman antara siswa-siswi.
C. Pembatasan Masalah
Penelitian ini, fokus kajian diarahkan pada kecerdasan komunikasi interpersonal di sekolah, khususnya siswa-siswi kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri. Maka peneliti fokus pada “Efektivitas Implementasi Pendidikan Karakter Berbasis Layanan Bimbingan Klasikal dengan Pendekatan Experiential Learning untuk Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Interpersonal”.
D. Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dalam penelitian ini, yaitu:
1. Seberapa tinggi peningkatan kecerdasan komunikasi interpersonal siswa kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri Tahun Ajaran 2015/2016 sebelum dan sesudah diberikan pendidikan karakter layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning? 2. Seberapa tinggi peningkatan kecerdasan komunikasi interpersonal
siswa kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri Tahun Ajaran 2015/2016 setiap sesi pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning ?
(27)
3. Apakah terdapat peningkatan signifikan kecerdasan komunikasi interpersonal siswa kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri Tahun Ajaran 2015/2016 sebelum dan sesudah mendapatkan pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning?
4. Bagaimana efektivitas pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning untuk meningkatkan kecerdasan komunikasi interpersonal berdasarkan penilaian siswa?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, yaitu:
1. Mengukur dan mendeskripsikan tingkat peningkatan kecerdasan komunikasi interpersonal siswa kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri Tahun Ajaran 2015/2016 sebelum dan sesudah mendapat pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning.
2. Mengukur dan mendeskripsikan tingkat peningkatan kecerdasan komunikasi interpersonal siswa kelas VII SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri Tahun Ajaran 2015/2016 setiap sesi pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning.
3. Mengukur signifikansi kecerdasan komunikasi interpersonal siswa kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro, Wonogiri Tahun Ajaran
(28)
2015/2016 setiap sesi pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning.
4. Menganalisis efektivitas pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning untuk meningkatkan kecerdasan komunikasi interpersonal berdasarkan penilaian siswa.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terbagi menjadi 2 yaitu: 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa pengetahuan, khususnya di bidang Bimbingan dan Konseling dalam penerapannya untuk mengembangankan pendidikan karakter yang bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan komunikasi interpersonal, sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman peneliti selanjutnya pada kajian yang sama tetapi pada ruang lingkup yang lebih luas dan mendalam.
2. Manfaat Praktis a. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman di SMP Negeri 3 Purwantoro, wonogiri dalam pelaksanaan pendidikan karakter yang komprehensif dan tepat sasaran.
(29)
b. Bagi Siswa
Penelitian ini dapat mengembangkan kemampuan mereka terkait dengan kecerdasan komunikasi interpersonal sehingga di kemudian hari mereka kecerdasan komunikasi interpersonal yang mereka miliki dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Bagi Peneliti
Peneliti dapat mengetahui dan memahami efektivitas pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning untuk meningkatkan kecerdasan komunikasi interpersonal siswa kelas VII B SMP Negeri 3 Purwantoro Wonogiri Tahun Ajaran 2015/2016
d. Bagi Peneliti Lain
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan tolak ukur yang dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang hendak mengembangkan pendidikan karakter untuk meningkatkan kecerdasan komunikasi interpersonal secara lebih mendalam. G. Definisi Istilah
Beberapa istilah terkait dengan judul penelitian ini didefinisikan sebagai berikut:
1. Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci.
(30)
2. Karakter atau watak adalah sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya.
3. Pendidikan karakter adalah merupakan bentuk kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi generasi selanjutnya. Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membentuk penyempurnaan diri individu secara terus-menerus dan melatih kemampuan diri demi menuju kearah hidup yang lebih baik. 4. Bimbingan klasikal adalah suatu layanan bimbingan dan konseling
yang diberikan kepada peserta didik oleh guru bimbingan dan konseling (Guru BK) kepada sejumlah peserta didiik dalam satuan kelas yang dilaksanakan di dalam kelas.
5. Experiential learning adalah suatu model belajar mengajar yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan melalui pengalamannya secara langsung dengan menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk menolong pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran.
6. Komunikasi interpersonal adalah kemampuan untuk mengenali dan merespon secara layak perasaan, sikap dan perilaku, motivasi serta keinginan orang lain. Tersenyum dapat memberikan energi positif, selain itu dapat meningkatkan semangat, dan memberi kesan ramah.
(31)
11 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini dipaparkan Hakekat pendidikan karakter, Hakekat kecerdasan komunikasi interpersonal, Hakekat layanan bimbingan klasikal, Hakekat pendekatan experiential learning, Hakekat remaja sebagai peserta didik, Kerangka berpikir, dan Hipotesis. Masing-masing pokok pikiran tersebut dijelaskan sebagai berikut.
A. Hakikat Pendidikan Karakter 1. Pengertian Karakter
Menurut Menurut Lickona (Wibowo, 2012:32), karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral. Sifat alami itu dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya.
Menurut Suyadi (2013) mengatakan bahwa karakter merupakan nilai-nilai universal perilaku manusia yang meliputi seluruh aktivitas kehidupan, baik yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, maupun dengan lingkungan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat.
Dari pendapat yang sudah dipaparkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa karakter itu adalah suatu sifat alami manusia yang
(32)
meliputi seluruh aktivitas kehidupan, baik itu dengan sang pencipta, sesamanya, dan lingkungan.
2. Pengertian Pendidikan Karakter
Menurut Suparno (2015: 29) pendidikan karakter berarti pendidikan yang bertujuan untuk membantu agar siswa-siswa mengalami, memperoleh, dan memiliki karakter kuat yang diinginkan.
Menurut Zubeadi (2011) pendidikan karakter diartikan sebagai sebagai the deliberate us of all dimensions of school to foster optimal character development (usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah untuk membantu perkembangan karakter dengan optimal). Hal ini berarti bahwa untuk mendukung perkembangan karakter peserta didik harus melibatkan seluruh komponen di sekolah baik dari aspek isi kurikulum (the content of the curriculum), proses pembelajaran (the procces instructions), kualitas hubungan (the quality of relationship), penanganan mata pelajaran (the handling of discipline), pelaksanaan aktivitas ko-kurikuler, serta etos seluruh lingkungan sekolah.
Menurut Cheasy (Zubeadi, 2011) mengartikan pendidikan karakter sebagai upaya mendorong peserta didik tumbuh dan berkembang dengan kompetensi berpikir dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral dalam hidupnya serta mempunyai keberanian melakukan yang „benar‟, meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan. Untuk itu, penekanan pendidikan karakter tidak terbatas pada transfer pengetahuan mengintai nilai-nilai yang baik namun lebih dari itu menjangkau pada bagaimana
(33)
menjadikan nilai-nilai tersebut tertanam dan menyatu totalitas pikiran-pikiran.
Dari pendapat yang sudah dipaparkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan karakter adalah proses atau upaya mendorong peserta didik untuk mengalami, memperoleh, dan memiliki karakter kuat yang diinginkan.
3. Tujuan Pendidikan Karakter
Menurut Ramli (Fathurrohman 2013: 15), tujuan pendidikan karakter adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi pribadi yang baik, warga masyarakat, dan warga Negara yang baik.
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan karakter sekolah yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan sehari-hari, dan symbol-simbol yang dipraktiskan oleh semua warga sekolah dan masyarakat sekitar sekolah. Karakter sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra tersebut di mata masyarakat luar. Secara khusus tujuan pendidikan karakter adalah untuk:
a. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi karakter bangsa yang religius.
b. Mengembangkan potensi kelabu/nurani/afeksi peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai karakter dan karakter bangsa.
(34)
c. Menamamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa.
d. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan.
e. Mengembangkan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
4. Fungsi Pendidikan Karakter
Menurut Fathurrohman (2013: 97), fungsi pendidikan karakter adalah: a. Pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi
perilaku yang baik bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan karakter dan karakter bangsa.
b. Perbaikan: memperkuat kiprah Pendidikan Nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat.
c. Penyaring: untuk menyaring karakter-karakter bangsa sendiri dan karakter bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai karakter dan karakter bangsa.
5. Prinsip-prinsip Pendidikan Karakter
Menurut Lickona, Schaps, dan Lewis, pendidikan karakter harus didasarkan pada sebelas prinsip berikut:
(35)
b. Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku.
c. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif, dan efektif untuk membangun karakter.
d. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian.
e. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukan perilaku baik.
f. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua siswa, membangun karakter mereka dan membantu mereka sukses.
g. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para siswa.
h. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama.
i. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter.
j. Mengfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usah membangun karakter.
k. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa.
(36)
6. Nilai-nilai Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter (akhlak mulia) merujuk kepada nilai-nilai agama, nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945, dan nilai-nilai yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam adat istiadat masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika. Pendidikan karakter berkaitan dengan sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsa serta alam sekitar (Fathurrohman, dkk, 2013).
Menurut Fathurrohman, dkk. (2013) mengungkapkan ada beberapa batasan/deskripsi nilai-nilai pendidikan karakter antara lain:
a. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan (Religius)
Pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan/atau ajaran agamanya. b. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
1) Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain.
2) Bertanggung jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan karakter), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa.
(37)
3) Bergaya hidup sehat
Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.
4) Disiplin
Tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5) Kerja keras
Perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya.
6) Percaya diri
Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapan.
7) Berjiwa wirausaha
Sikap serta perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat mengenai produk baru, menentukan cara produksi, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur pemodalan operasinya.
(38)
8) Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
Berpikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki.
9) Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
10)Ingin tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
11)Cinta ilmu
Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, serta penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan. c. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
1) Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
Sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri maupun orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain.
2) Patuh pada aturan-aturan sosial
Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat maupun kepentingan umum.
(39)
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, mengakui, dan menghormati keberhasilan orang lain.
4) Santun
Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang.
5) Demokratis
Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak serta kewajiban dirinya maupun orang lain.
d. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan
Sikap serta tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi, dan selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain, dan masyarakat yang membutuhkan. e. Nilai kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, serta wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri maupun kelompoknya.
1) Nasionalis
Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, penghargaan yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan fisik, sosial, karakter, ekonomi, dan politik bangsanya.
(40)
2) Menghargai keberagaman
Sikap memberikan respek/hormat terhadap berbagai macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, karakter, suku, dan agama. B. Hakikat Kecerdasaan Komunikasi Interpersonal
1. Pengertian Komunikasi Interpersonal
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami, hubungan, kontak. Menurut Johnson (Sinurat 2011) komunikasi adalah setiap bentuk tingkah laku seseorang baik verbal maupun nonverbal yang ditanggapi oleh orang lain. Komunikasi mencakup pengertian yang lebih luas dari sekedar wawancara. Setiap bentuk tingkah laku mengungkapkan pesan tertentu, sehingga juga merupakan sebentuk komunikasi.
Kecerdasan komunikasi interpersonal menjadi salah satu bagian dalam nilai-nilai karakter yang telah diungkapkan sebelumnya. Kecerdsan komunikasi interpersonal menjadi bagian dalam nilai karakter dalam hubungan dengan sesama. Hubungan dengan sesama dapat dibangun dan dijaga dengan baik jika seseorang tersebut memiliki kecerdasan komunikasi interpersonal. Jika seseorang memiliki kecerdasan komunikasi interpersonal maka ia juga akan cerdas dalam berkomunikasi, paham dengan apa yang orang lain inginkan, menghargai apa yang orang sampaikan, dan memahami pikiran dan perasaan seseorang yang berkomunikasi dengannya.
(41)
Sedangkan komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun nonverbal (Mulyana: 2005). Keterampilan interpersonal di definisikan sebagai keterampilan untuk mengenali dan merespon secara layak perasaan, sikap dan perilaku, motivasi serta keinginan orang lain. Bagaimana diri kita mampu membangun hubungan yang harmonis dengan memahami dan merespons manusia atau orang lain merupakan bagian dari keterampilan interpersonal (Lestari, 2007).
2. Proses Keterampilan Interpersonal
Menurut Johnson, proses keterampilan interpersonal umumnya terdiri dari 4 hal, diantaranya:
a. Saling mengenal dan mempercayai
Seseorang dapat saling mengenal jika mereka saling ada keterbukaan, keterbukaan ini tergantung pada kesadaran diri dan penerimaan diri. Reaksi orang lain positif maka kepercayaan akan timbil, tetapi jika reaksi orang lain negatif maka kepercayaan hilang.
b. Saling berkomunikasi secara tepat dan jelas
Keterampilan berkomunikasi mulai dengan mengirimkan pesan sehingga orang lain dapat mengerti dengan mudah. Hal ini termasuk juga keterampilan mendengarkan yang memastikan seseorang mengerti maksud orang lain dengan benar.
(42)
c. Saling menerima dan mendukung
Memberikan respons dan perhatian pada masalah orang lain serta mengkonsumsikan penerimaan dan dukungan secara tepat adalah hal yang penting dalam keterampilan berhubungan dengan orang lain. d. Menyelesaikan konflik dan masalah dalam berhubungan dengan
orang lain secara konstruktif.
Konflik dapat timbul dalam interaksi anatar dua orang atau lebih. Penyelesaian terhadap konflik tergantung pada aspek kesadaran antara strategi yang digunakan untuk mengatasi konflik paradigma terhadap konflik yang dapat membawa pada penyelesaian yang konstruktif dan kemampuan merundingkan penyelesaian yang kontruktif dan kemampuan merundingkan penyelesaian yang membawa keuntungan bagi kedua belah pihak.
3. Peranan Komunikasi Antarpribadi dalam Hidup
Komunikasi antarpribadi sangat penting bagi kebahagian hidup kita. Johnson (Sinurat, 2011) menunjukan beberapa peranan yang disumbangkan oleh komunikasi antarpribadi dalam rangka menciptakan kebahagiaan hidup manusia, sebagai berikut:
a. Komunikasi antarpribadi (Interpersonal) membantu perkembangan intelektual dan sosial kita. Perkembangan kita sejak masa bayi sampai masa dewasa mengikuti pola semakin meluasnya ketergantungan kita pada orang lain. diawali dengan ketergantungan atau komunkasi yang intesif dengan ibu pada masa bayi, lingkaran ketergantungan atau
(43)
komunikasi itu menjadi semakin luas dengan bertambahnya usia kita. Bersamaan proses situ, perkembangan intelektual dan sosial kita sangat ditentukan oleh kualitas komunikasi kita dengan orang lain itu. b. Identitas atau jati diri kita terbentuk dalam atau lewat komunikasi
dengan orang lain. selama berkomunikasi dengan orang lain, secara sadar atau tidak sadar kita mengamati, memperhatikan, dan mencatat dalam hati semua tanggapan yang diberikan oleh orang lain terhadap diri kita. Kita menjadi tahu bagaimana pandangan orang lain itu tentang diri kita.
c. Dalam rangka memahami realitas disekeliling kita serta menguji kebenaran kesan-kesan dan pengertian yang kita miliki tentang dunia di sekitar kita, kita perlu membandingkannya dengan kesan-kesan dan pengertian orang lain tentang realitas yang sama. Tentu saja, perbandingan sosial (social comparison) semacam itu hanya dapat kita lakukan lewat komunikasi dengan orang lain.
d. Kesehatan mental kita sebagian besar juga ditentukan oleh kualitas komunikasi atau hubungan kita dengan orang lain. Bila hubungan kita dengan orang lain diliputi berbagai masalah, maka tentu kita akan menderita, merasa sedih, cemas, frustasi. Bila kemudian kita menarik diri dan menghindari orang lain, maka rasa sepi dan terasing yang mungkin kita alami pun tentu akan menimbulkan penderitaan, bukan hanya penderitaan emosional atau batin, bahkan mungkin juga penderitaan fisik
(44)
Agar merasa bahagia, kita membutuhkan konfirmasi dari orang lain, yakni pengakuan berupa tanggapan dari orang lain yang menunjukan bahwa diri kita normal, sehat, dan berharga. Lawan dari konfirmasi adalah diiskonfirmasi, yakni penolakan dari orang lain berupa tanggapan yang menunjukankan bahwa diri kita abnormal, tidak sehat dan tidak berharga. Semunya itu hanya kita peroleh lewat komunikasi antarpribadi (Interpersonal), komunikasi dengan orang lain.
4. Aspek-aspek dalam Efektivitas Komunikasi Interpersonal
De Vito mengungkapkan lima aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan untuk menciptakan efektivitas komunikasi interpersonal:
a. Keterbukaan (Openness)
Keterbukaan di definisikan sebagai kemampuan untuk membuka atau mengungkapankan unsur-unsur kepribadian diri sendiri melalui komunikasi (Rubin & Martin, 1994). Menurut Devito (1996) kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Kedua, kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang sehingga komunikator memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain. ketika menyangkut perasan dan pikiran, yaitu mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang dilontarkan adalah memang yang sebenarnya dan diharapkan
(45)
tanggung jawab atasnya. Misalnya, dengan menggunakan kata „saya‟ dalam mengungkapkan perasaan atau pikiran.
b. Empati (Emphaty)
Menurut Rubin & Martin mengenai empati, yaitu empati merupakan proses identifikasi untuk merasa seperti yang lain dengan menjadikan orang lain sebagai acuan dan bukan berdasarkan referensi pengalaman pribadi. Langkah pertama dalamm mencapai empati adalah menahan godaan untuk mengevaluasi, menafsirkan, dan mengkritik. Bukan karena reaksi ini salah melainkan semata-mata karena reaksi seperti ini seringkali mnghambat pemahaman. Fokus dari komunikasi adalah pemahaman.
c. Sikap mendukung (Supportiveness)
Sikap mendukung dapat terbentuk dari tiga hal, yaitu:
1) Deskriptif, dimana individu mempersepsikan sesuatu komunikasi sebagai permintaan dakan informasi atau uraian mengenai suatu kejadian tertentu dan tidak bernada menilai atau evaluasi.
2) Spontanitas, dapat membantu menciptakan suasana mendukung. Orang yang terus terang dan terbuka dalam mengutarakan pikirannya biasanya bereaksi dengan cara yang sama.
3) Provisionalisme, bersikap fleksibel dan berpikiran terbuka, bersedia mendengar pandangan yang berlawanan dan bersedia mengubah posisi jika keadaan mengharuskan agar dapat menciptakan suasana mendukung. Sikap provisional diperlukan
(46)
karena apabila bersikap berlawanan, yaitu bersikap yakin dan tak tergoyahkan serta berpikiran tertutup, maka lawan bicara biasanya juga akan bersikap defensif.
d. Sikap Positif (Positiveness). Komunikasi antarpribadi terbina jika orang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Selain itu, perasaan positif untuk situasi komunikasi sangat penting untuk interaksi yang efektif. Akan menjadi tidak menyenangkan bila berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati interaksi, atau tidak bereaksi secara menyenangkan terhadap suasana interaksi. e. Kesetaraan (Equality), seseorang mungkin lebih pandai, lebih kaya,
lebih tampan daripada yang lain. tidak ada dua orang yang benar-benar setara dalam segala hal. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi antarpribadi akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, masing-masing pihak harus mengakui bahwa mereka mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.
C. Hakikat Layanan Bimbingan Klasikal 1. Pengertian Layanan Bimbingan Klasikal
Menurut Winkel dan Hastuti (2004) menjelaskan bimbingan klasikal merupakan istilah yang khusus digunakan di institusi pendidikan sekolah dan menunjuk pada sejumlah siswa yang dikumpulkan bersama untuk kegiatan bimbingan. Pengertian lain menyebutkan bahwa bimbingan klasikal adalah bimbingan yang berorientasi pada kelompok siswa dalam jumlahyang cukup besar antara 30-40 orang siswa (satu
(47)
kelas). Bimbingan klasikal dirancang menuntut konselor untuk melakukan kontak langsung dengan peserta didik di kelas. Pada dasarnya bimbingan klasikal merupakan bentuk dan sarana pelayanan bimbingan yang diberikan konselor di dalam kelas dengan menyediakan materi yang telah disiapkan sebelumnya untuk menunjang perkembangan optimal masing-masing siswa, yang diharapkan dapat mengambil manfaat dari pengalaman pendidikan bagi dirinya sendiri (Winkel dan Hastuti, 2004).
Menurut Makrifah & Wiryo Nuryono (2014) bimbingan klasikal merupakan suatu layanan bimbingan dan konseling yang diberikan kepada peserta didik oleh guru bimbingan dan konseling atau konselor kepada sejumlah peserta didik dalam satuan kelas yang dilaksanakan di dalam kelas.
Dari pendapat yang sudah dipaparkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa layanan bimbingan klasikal ialah suatu layanan yang sudah dirancang dengan tema dan topik tertentu yang dirancang oleh guru bimbingan dan konseling (Guru BK) dan diberikan kepada peserta didik dalam satuan kelas yang dilaksanakan di dalam kelas.
2. Tujuan Layanan Bimbingan Klasikal
Menurut Makhrifah & Nuryono (2014: 2) strategi layanan bimbingan klasikal sebagai salah satu strategi dalam pelayanan bimbingan dan konseling memiliki tujuan untuk meluncurkan aktivitas-aktivitas pelayan yang mengembangkan potensi siswa atau mencapai tugas-tugas perkembangan sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan.
(48)
Tujuan layanan bimbingan ialah supaya sesama manusia mengatur kehidupan sendiri, menjamin perkembangan dirinya sendiri seoptimal mungkin, memikul tanggung jawab sepenuhnya atas arah hidupnya sendiri, menggunakan kebebasannya sebagai manusia secara dewasa dengann berpedoman pada cita-cita yang mewujudkan semua potensi yang baik padanya, dan menyelesaikan semua tugas yang dihadapi dalam kehidupan ini secara memuasakan (Winkel, 2004: 31). Layanan bimbingan mempunyai tujuan supaya orang yang dilayani menjadi mampu mengatur kehidupannya sendiri, memiliki pandangannya sendiri dan tidak sekedar membebek pendapat orang lain, mengambil sikap sendiri, dan berani menanggung sendiri akibat dan konsekuansi dari tindakan-tindakannya. Tujuan bantuan itu diberikan yaitu supaya orang perorangan atau kelompok orang yang dilayani menjadi mampu menghadapi semua tugas perkembangan hidupnya secara sadar dan bebas, mewujudkan kesadaran dan kebebasan itu dalam membuat pilihan-pilihan secara bijaksanan, serta mengambil beraneka tindakan penyesuaian diri secara memadai (Winkel, 2004:32).
3. Manfaat Bimbingan Klasikal
Manfaat bimbingan klasikal menurut Depdiknas, bimbingan dan konseling (2004) sebagai berikut:
a. Siswa semakin memahami dirinya sendiri seperti bakat, minat, sifat, sikap, kemampuan, kebiasaan, perasaan, tingkah laku, dan lain sebagainya.
(49)
b. Siswa semakin bersikap baik dan berhasil dalam proses bersosialisasi terhadap orang lain atau lingkungannya.
c. Siswa semakin tertarik, termotivasi dan berminat untuk belajar lebih giat sehingga hasil belajarnya menjadi lebih baik.
d. Siswa semakin mampu menyelesaikan masalahnya dan mengambil keputusan sendiri dalam hidupnya, serta mampu merencanakan kegiatan-kegiatan yang berguna untuk perkembangan hidupnya. e. Siswa semakin mampu mengembangkan nilai dan sikap secara
menyeluruh, serta perasaan sesuai dengan penerimaan diri.
f. Siswa semakin mampu menerima dan mempersiapkan diri dalam menghadapi masa depannya.
4. Tahapan Layanan Bimbingan Klasikal
Tahapan layanan dalam bimbingan menurut Panduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Guru dan Tenaga Kependidikan (2016) dijelaskan sebagai berikut:
a. Pra bimbingan
1) Menyusul RPL bimbingan kelompok. 2) Pembentukan kelompok (forming) b. Pelaksanaan
1) Pembukaan
(50)
b) Menjelaskan tujuan dan manfaat bimbingan kelompok secara singkat.
c) Menjelaskan peran masing-masing anggota dan pembimbingan pada proses bimbingan kelompok yang akan dilaksanakan.
d) Menjelaskan aturan kelompok dan mendorong anggota untuk berperan penuh dalam kegiatan kelompok.
e) Memotivasi anggota untuk mengungkapkan diri secara terbuka.
f) Memotivasi anggota untuk mengungkapkan harapannya dan membantu merumuskan tujuan bersama.
2) Transisi
a) Melakukan kegiatan selingan berupa permainan kelompok. b) Mereview tujuan dan kesepakan bersama.
c) Memotivasi anggota untuk terlibat aktif mengambil manfaat dalam tahap ini.
d) Mengingatkan anggota bahwa kegiatan akan segara memasuki tahap inti.
3) Inti
a) Mendorong tiap anggota untuk mengungkapkan tiap topik yang perlu dibahas.
b) Menetapkan topik yang akan diintervensi sesuai dengan tujuan bersama.
(51)
c) Mendorong setiap anggota kelompok untuk terlibat aktif saling membantu.
d) Melakukan kegiatan selingan yang bersifat menyenangkan mungkin perlu diadakan.
e) Mereview hasil yang dicapai dan menetapkan pertemuan selanjutnya.
4) Penutup
a) Mengungkapkan kesan dan keberhasilan yang dicapai setiap kelompok.
b) Merangkum proses dan hasil yang dicapai.
c) Mengungkapkan kegiatan lanjutan yang penting bagi anggota kelompok.
d) Menyatakan bahwa kegiatan akan segera berakhir. e) Menyampaikan pesan dan harapan.
c. Pasca Bimbingan
1) Mengevaluasi perubahan yang dicapai.
2) Menetapkan tindak lanjut yang kegiatan dibutuhkan. 3) Menyusun laporan bimbingan kelompok.
5. Prinsip-prinsip Layanan Bimbingan Klasikal
Menurut Makhrifah, dkk (2014) berdasarkan model ASCA (American School Counselor Association), bimbingan klasikal merupakan bentuk kegiatan yang termasuk ke dalam komponen layanan dasar (guidance curriculum). Komponen layanan dasar bersifat
(52)
developmental, sistematik, terstruktur, dan disusun untuk meningkatkan kompotensi belajar, pribadi, sosial dan karier. Layanan dasar (guidance curriculum) merupakan layanan yang terstruktur untuk semua peserta didik (guidance for all), tanpa mengenal perbedaan gender, ras atau agama mulai taman kanak-kanak sampai tingkat SLTA disajikan melalui kegiatan kelas untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang belajar, pribadi, sosial dan karier peserta didik.
Dari pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa layanan bimbingan klasikal adalah layanan yang disusun dan dirancang sedemikian rupa untuk meningkatkan kompotensi belajar, pribadi, sosial dan karier peserta didik.
D. Hakikat Experiential Learning 1. Pengertian Experiential Learning
Experiential learning merupakan suatu proses belajar yang lebih mengaktifkan pembelajaran dengan membangun pengetahuan serta ketrampilan juga nilai dan sikap melalui pengalaman secara langsung (Nasution, 2005).
Experiential learning menekankan pada sebuah model pembelajaran yang holistik dalam proses belajar. Pengalaman memiliki peranan yang sangat penting dala proses belajarnya atau dengan kata lain pengetahun tercipta karena adanya transformasi dari pengalaman (experience). Pengetahuan merupakan hasil perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman (Kolb, 1984).
(53)
Berdasarkan papar di atas dapat disimpulkan bahwa experiential learning merupakan metode belajar yang melibatkan pengalaman langsung dalam proses belajar. Pengalaman langsung yang dialami oleh seseorang ketika proses belajar menciptakan dan membentuk pemahaman, pengetahuan, dan ketrampilan baru bagi seseorang.
2. Karakteristik Experiential Learning menurut Kolb
Terdapat lima karakteristik experiential learning menurut Kolb (2013) yaitu:
a. Pembelajaran terbaik itu dipahami sebagai proses bukan hanya terbatas pada pengetahuan, belajar tidak berakhir pada hasil.
b. Belajar adalah pengalaman membentuk kembali pengetahuan. pembelajaran difasilitasi oleh proses yang mampu membuat si pembelajar membangun gambaran mengenai keyakinan-keyakinan dan ide-ide terhadap satuan topik. Sehingga dapat dijelaskan, diujikan, dan diintegrasikan dengan ide-ide yang baru.
c. Belajar membutuhkan resolusi dari konflik antara cara dialektikal yang bertentangan dengan adaptasi dunia. Konflik, perbedaan, dan ketidaksetujuan adalah yang menuntut proses belajar. Pergerakan ke belakang dan empat cara berlawanan antara refleksi, tindakan, perasaan, dan pikiran.
d. Belajar adalah proses menyeluruh dari adaptasi. Belajar bukan hanya hasil dari kognisi tetapi keterlibatan yang terintergrasi pada
(54)
keseluruhan fungsi individu; berpikir; merasakan; penerimanan; dan bertindak.
e. Hasil belajar berasal dari sinergi transaksi antara manusia dengan lingkungan. Piaget; pembelajaran terjadi melalui keseimbangan proses dialektikal asimilasi pengalaman baru ke dalam konsep yang sudah ada dan mengakomodasi konsep yang sudah ada pada pengalaman baru.
3. Metodologi Pembelajaran Experiential Learning
Ada delapan metode khas pembelajaran experiential learning menurut Key Tyler Abella (Supraktiknya, 2011). Metode akan dipaparkan pada bagian berikut ini:
a. Metode latihan gugus tugas
Inti dari latihan ini adalah bahwa dalam kelompok-kelompok terdiri dari 3-8 orang, peserta diminta mengerjakan tugas tertentu dan kemudian mempersentasikan hasilnya kepada seluruh kelas. Metode ini bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta untuk mengerjakan materi pembelajaran dalam kelompok yang cukup kecil agar masing-masing peserta bisa melibatkan diri dan berkontribusi secara aktif dalam kerja kelompok.
b. Metode diskusi kasus
Metode diskusi kasus memanfaatkan studi kasus, yang deskripsi tentang suatu situasi yang disajikan entah secara tertulis, lewat rekaman radio, atau lewat rekaman video, untuk disimak atau
(55)
dipelajari oleh pelajari oleh peserta kemudian mendiskusikannya dengan panduan pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan oleh fasilitator. Sebaiknya diskusi difokuskan pada isu-isu yang terdapat di dalam situasi yang dideskripsikan: tindakan apa yang perlu dilakukan atau pelajaran-pelajaran apa yang bisa dipetik, serta cara mengatasi atau mencegah agar situasi sejenis tidak terjadi di masa mendatang.
Tujuan latihan ini adalah melatih peserta agar mampu merumuskan sendiri pelajaran-pelajaran yang didapat dari situasi itu, tidak sekedar menerimanya dari fasilitator. Peserta dilatih menerapkan proses berpikir yang diperlukan untuk menganalisi sebuah situasi nyata serta mengidentifikasikan berbagai alternatif tindakan. Metode ini tidak bertujuan mengajarkan solusi yang benar untuk menghadapai situasi problematika tertentu, melainkan melatih peserta menganalisis dan menemukan solusi atas suatu situasi bermasalah.
c. Simulasi dan Games
Game atau permainan adalah aktivitas bermain yang diformalkan, lazimnya tidak terkait langsung dengan situasi kehidupan nyata peserta diharapkan mencapai tujuan tertentu dalam batas-batas yang ditetapkan lewat serangkain aturan main. Aturan main ini menentukan jenis aktivitas yang harus dilakukan dan kapan permainan harus diakhiri.
Simulasi merepersentasikan situasi kehidupan nyata tertentu, tetapi komponen-komponen dan saling berhubungan antara komponen
(56)
itu ditampilkan sedemikian rupa sehingga bisa dimanipulasikan atau dikendalikan oleh peserta mengikuti kerangka waktu yang ditentukan. d. Latihan bermain pesan (role-play)
Dalam latihan bermain peran, peserta mensimulasikan sebuah situasi interaktif nyata atau hipotesis. Misal, memainkan pesan siswa yang mendapat perlakuan kasar dari teman kelasnya (bullying) atau memainkan pesan seseorang menjalani proses pengadilan dimuka hakim pengadilan akhir sesudah ajal. Simulasi ini lazimnya diikuti diskusi dan analisis, untuk mengetahui bagaimana interaksi itu dirasakan atau dihayati, apa yang terjadi, dan mengapa demikian. Peserta bisa memperoleh umpan balik tentang tingkah lakunya selama bermain peran.
Permainan peran bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta untuk menghayati sebuah interaksi, dengan menggunakan cara yang sudah biasa dilakukannya dengan cara baru. Bila cara baru dilakukan dalam metode ini, maka metode ini memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mempraktekkan cara baru itu dan memberinya umpan balik terhadap tingkah lakunya dalam interaksi itu.
e. Diskusi kelompok
Dalam diskusi kelompok peserta dberikan kesempatan untuk secara bebas bertukar gagasan atau pendapat, bisa dalam kelas besar atau dalam kelompok-kelompok kecil yang diturunkan dari kelas
(57)
besar. Aturan main dalam diskusi kelompok disampaikan kepada peserta. Fasilitator bertanggung jawab untuk membuat hidup diskusi, menyatukan berbagai gagasan dan pendapat yang muncul, hingga membantu membuat kesimpulan.
Diskusi kelompok bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta untuk saling mengungkapkan dan saling bertukar gagasan tentang pokok persoalan yangs edang dibahas. Metode ini bisa dipakasi sebagai “pemanasan” sebelum mulai aktivitas tertentu, sebagai penutup kegiatan, atau sebagai kegiatan mandiri.
f. Latihan individu
Dalam latihan individu setiap peserta diminta bekerta sendiri-sendiri, lazimnya berupa tugas mentransfer atau menerapkan isi atau hasil pelajaran dari program kegiatan yang baru diikutinya ke dalam situasi kehidupan masing-masing.
Tujuan latihan individu adalam memberi kesempatan kepada peserta untuk menerapkan hasil-hasil pelajaran (learning points) yang diperoleh dari program pendidikan psikologis yang baru dijalani ke dalam situasi kehidupan masing-masing untuk menguji pemahamannya atau memeriksa sejauh mana hasil pembelajaran itu bisa diterapkan dalam situasi kehidupannya.
g. Presentasi/Lekturet
Presentasi/Lekturet (ceramah pendek) adalah bentuk komunikasi atau penyampaian terstruktur atau yang disiapkan dan bersifat satu
(58)
arah dari pihak penyaji atau penceramah kepada peserta. Peserta bisa menyajikan pertanyaan namun dibatasi. Seringkali, alat-alat visual digunakan untuk mendukung presentasi.
Presentasi bertujuan untuk menyampaikan infromasi, lazimnya berupa pengetahuan, pandangan, atau pendekatan baru yang penting, kepada peserta dalam situasi dimana interaksi atau diskusi dipanadang kurang sesuai.
h. Modeling perilaku
Dalam modeling perilaku peserta diberi contoh cara bertingkah laku dalam menghadapi situasi tertentu, langkah demi langkah. Contoh langkah-langkah tersebut bisa didemontrasikan dengan menggunakan rekaman video. Kemudian peserta diminta berlatih menerapkan langkah-langkah yang diajarkan. Sesudah itu sebagi umpan balik kepada peserta ditunjukan dalam hal apa saja mereka masih perlu meningkatkan diri.
Modeling perilaku bertujuan mengajarkan kepada peserta cara spesifik tertentu dalam menghadapi sebuah situasi serta memberikan kesempatan untuk melatih bentuk-bentuk tingkah laku baru, sehingga mereka percaya diri mampu menghadapi situasi serupa dalam kehidupan sehari-hari.
(59)
4. Tujuan Experiential Learning
Tujuan model pembelajan experiential learning adalah untuk mempengaruhi siswa dengan tiga cara, yaitu mengubah struktur kognitif siswa, mengubah sikap siswa dan memperluas ketrampilan yang telah ada pada siswa. Pengalaman mengubah pandangan baru bagi siswa serta memunculkan kognisi atau ide-ide baru yang dikaitkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Hal tersebut memberi wadah bagi siswa untuk mengembangkan ketrampilan yang dimiliki. Ketiga elemen tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi secara keseluruhan, tidak terpisah-pisah, karena apabila salah satu elemen tidak ada maka elemen yang lainnya tidak akan efektif. Ketiga hal ini kemudian menjadi fokus pendekatan experiential learning (Baharuddin dan Wahyuni, 2010).
5. Proses Experiential Learning
Kolb (2015) menjelaskan empat tahapan model pembelajaran, siklus model experiential learning disajikan dalam gambar 2.1
Gambar 2.1 Tahapan Model Pembelajaran Experiential Learning (Sumber: Baharuddin dan Wahyuni, 2010)
(60)
David Kolb (1984) mengatakan bahwa model experiential learning merupakan sebuah proses yang melingkar yang terdiri dari empat fase. Fase pertama Concrete Experience, siswa melibatkan diri sepenuhnya dalam pengalaman baru dan menggunakan pengalaman yang sudah dilaluinya atau pengalaman yang disediakan untuk pembelajaran yang lebih lanjut. Fase kedua Reflective Observation, siswa mengobservasikan dan merefleksikan atau memikirkan pengalamannya dari berbagai segi dan mendiskusikan pengalaman yang telah dilaluinya. Fase ketiga Abstract Conceptualisation, proses menemukan tren yang umum dan kebenaran dalam pengalaman yang telah dilalui peserta atau membentuk reaksi pada pengalama yang baru menjadi sebuah kesimpulan atau konsep yang baru. Fase keempat Active Ecperimentation, siswa menggunakan konsep tersebut untuk memecahkan masalah dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sejalan dengan empat tahapan experiential learning dari Kolb, tahapan dan siklus pembelajaran experiential learning menurut Pfeifer & Jones (1979) dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut ini:
(61)
Gambar 2.2
Siklus Pembelajaran Experiential Learning menurut Pfeifer & Jones Dari gambar 2.3 di atas siklus pembelajaran experiential learning menurut Pfeifer & Jones (1979) dipaparkan setiap siklusnya sebagai berikut:
a. Mengalamai (Experiencing)
Perserta didik terlibat atau dilibatkan dalam kegiatan tertentu, seperti melakukan tugas tertentu atau mengamati objek atau rekaman kejadian tertentu, entah secara sendiri-sendiri atau bersama satu atau lebih peserta atau anggota kelompok lain.
Experiencing (The Active
Phase)
Publishing (sharing reactions and
observation) Applying
(planning how to use the learning
Generarizing (developing principles)
Prosseing (discussing patterns and
(62)
b. Membagikan pengalaman (Publishing)
Peserta didik membagikan hasil pelaksanan tugas atau hasil pengamatanya terhadap objek atau kejadian tertentu pada tahap sebelumnya termasuk reeaksi pribadinya baik berupa tanggapan pikiran maupun tanggapan perasaannya, kepada peserta lain baik dalam kelompok-kelompok kecil maupun kepada seluruh peserta. c. Memproses pengalaman (Processing)
Peserta mengolah data yang baru dibagikan dengan cara mendiskusikan atau memikirkannya bersama, memaknai atau menafsirkannya, membandingkan tanggapan peserta yang satu dengan peserta yang lain, menemukan hubungan antara makna atau tanggapan yang muncul, dan sebagainya.
d. Merumuskan Kesimpulan (Generalizing)
Peserta didik diajak dan dibantu untuk menyimpulkan prinsip-prinsip, merumuskan hipotesis-hipotesis, dan merumuskan hikmat manfaat untuk didiskusikan atau dipikirkan bersama.
e. Menerapkan (Applying)
Peserta didik sungguh-sungguh menangkap relevansi atau makna manfaat dari pelatihan atau bimbingan yang baru dijalaninya, serta memiliki tekad untuk menerapkan hasil belajarnya dalam kehidupan sehari-hari.
(63)
6. Langkah-langkah dalam Pembelajaran Experiential Learning
Kolb (1984) mengatakan bahwa model experiential learning merupakan sebuah proses yang melingkar yang terdiri dari empat fase. Pertama, fase Concrete Experience menggunakan pengalaman yang sudah dilalui peserta atau pengalaman yang disediakan untuk pembelajaran yang lebih lanjut.Kedua, fase Reflective Observation mendiskusikan pengalaman para peserta yang telah dilalui atau saling berbagi reaksi dan observasi yang telah dilalui. Ketiga, fase Abstract Conceptualization proses menemukan tren yang umum dan kebenaran dalam pengalaman yang telah dilalui peserta atau membentuk reaksi pada pengalaman yang baru menjadi sebuah kesimpulan atau konsep yang baru. Keempat, fase Active Experimentation modifikasi perilaku lama dan mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Gambar 2.3
Model Experiential Learning Kolb
Silberman (2007) menuliskan bahwa dalam pelaksanaan experiential learning memerlukan proses-proses. Ada 5 proses dalam experiential learning, yaitu:
(64)
a. Menciptakan keterbukaan
Sebelum memulai kegiatan ini perlu menciptakan keterbukan di semua pihak yang mengikuti kegiatan.
b. Memajukan pemahaman
Banyak orang mengira fase memajukan pemahaman akan berupa pengajaran langsung, terutama menggunakan ceramah dan diskusi. Kemungkinan benar jika maksudnya adalah untuk menyampaikan informasi penting pada siswa.
c. Menimbang sikap dan perilaku baru
Tujuannya adalah untuk memperkenalkan pada siswa secara eksperiential kepada tindakan yang diinginkan agar mereka berpikir dan melakukan.
d. Bereksperimen
Eksperimen perubahan yang ideal berarti melakukan kegiatan yang sudah pernah dicoba latihan sebelumnya dan mereka diminta untuk mencobanya dalam dunia nyata/kehidupan mereka.
e. Mendapatkan dukungan
Fase mendapatkan dukungan ada beberapa kegiatan yang berguna untuk membantu siswa mempertahankan usaha mereka untuk berubah.Salah satunya ialah harus melibatkan kemauan siswa untuk membuat rencana untuk kondisi yang mungkin dapat menggagalkan kemajuan mereka.
(65)
7. Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Experiential Learning Metode Experiential Learning merupakan metode yang sangat membantu dalam proses belajar-mengajar. Namun metode ini memiliki kelebihan dan kekuranganya. Kelebihan dari metode ini ialah dapat meningkatkan semangat dan gairah belajar, membantu terciptanya suasana belajar yang kondusif, memunculkan kegembiraan dalam proses belajar, mendorong dan mengembangkan proses berpiki kreatif, dan mendorong siswa untuk melihat sesuatu dari perpektif yang berbeda. Selain beberapa kelebihan yang telah dipaparkan, terdapat pula kekurangan dari metode Experiential Learning yakni dibutuhkannya alokasi waktu yang relatif lama dalam proses pembelajaran (Sinaga, 2013).
E. Hakikat Remaja sebagai Peserta Didik 1. Pengertian Remaja
Istilah adolencence atau remaja berasal dari bahasa Latin adolescere yang berarti “tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa”.Istilah adolescere mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental,emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1980). Salzman (Yusuf, 2010) mengemukakan bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orangtua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, perhatian terhadap nilai-nilai estetika, dan isu-isu moral.
(66)
Periode remaja merupakan “ambang pintu” ke periode dewasa dan ketika individu mendekati masa remaja mereka mulai berusaha untuk berpakaian dan bersikap seperti orang dewasa agar memperoleh status sebagai orang dewasa dan bukan sebagai remaja lagi. Tingkah laku yang sering ditampilkan oleh remaja saat ini antara lain: merokok, minum-minum, berpacaran, bertualang, belajar hidup mandiri, misalnya mencari penghasilan sendiri, bahkan bereksplorasi melakukan tindakan atau karya kreatif tertentu, dan sebagainya (Khairani, 2013).
2. Tugas Perkembangan Remaja
Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1996) adalah berusaha:
a. Mampu menerima keadaan fisiknya.
b. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa
c. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis.
d. Mencapai kemandirian emosional. e. Mencapai kemandirian ekonomi.
f. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyrakat.
g. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua.
h. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa.
(67)
i. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.
j. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.
Dari penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan anak-anak ke dewasa. Setiap individu pasti mengalami masa remaja sebelum menuju ke dewasa awal. Dalam masa remaja ada banyak tugas-tugas perkembangan yang harus dilakukan ataupun dilalui oleh remaja tersebut, supaya remaja siap menjalani masa dewasa awalnya dengan tugas perkembangan dimasa dewasa awal.
F. Hasil Penelitia yang Relevan
Dari beberapa penelitian yang relevan terkait dengan pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning antara lain:
Menurut hasil penelitian Barus (2016) , hasil penelitian STRANAS tahun ke-2 (2015) menunjukan bahwa implementasi (terbatas) model pendidikan karakter berbasis bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning pada 9 SMP di berbagai kota di Indonesia menunjukan hasil yang mengembirakan. Terjadi peningkatan hasil pendidikan karakter antara pre-post pada ke 9 SMP. Implementasi model ini telah mampu mentransformasi rata-rata skor karakter dari terendah 2,28 menjadi tertinggi 3,52 pada skala 4 (stanfour). Baik guru maupun siswa ke 9 sekolah menilai model ini jauh lebih efektif dibandingkan
(68)
dengan model pendidikan karakter terintegrasi. Lebih dari 95% siswa mengaku merasa lebih mampu menghargai teman, lebih semangat mengikuti kegiatan, membangun kepedulian/kesetiakawanan, lebih meningkatkan kesadaran untuk memperbaiki diri, lebih berani bertanggung jawab, mempererat rasa persaudaraan/persahabatan, memupuk kesediaan bekerja sama/kekompakan tim, menumbuhkan keinginan untuk menolong orang lain, dan mereka mengakui kegiatan bimbingan karakter model ini sangat memberi manfaat bagi perbaikan perilaku.
G. Kerangka Berpikir
Komunikasi interpersonal merupakan karakter yang mestinya dikembangkan ke peserta didik terutama Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kecerdasan komunikasi interpersonal dapat membantu siswa membangun hubungan sosial dan mempertahankan hubungan sosial atau relasi dengan orang lain dengan baik, misalnya memiliki banyak teman, relasi antara siswa ke siswa dan siswa ke guru berjalan dengan lancar, serta tidak tejadinya pertengkaran karena kesalahpahaman. Namun karakter kecerdasan komunikasi interpersonal tidak belum dimiliki banyak siswa dan akibatnya masih terjadi hal-hal yang tidak sewajarnya, misalnya malu bertanya, tidak saling mengenal, dan tidak akrab satu sama lain. Fenomen-fenomena yang terjadi tentunya memperkuat alasan bahwa karakter kecerdasan komunikasi interpersonal ini memang sangat dibutuhkan bagi siswa-siswi Sekolah Menengah Pertama. oleh karena itu,
(69)
hal ini dapat menjadikan pendidikan karakter di implementasikan dengan pendekatan yang lebih efektif hingga mencapai ranah afeksi pada siswa. Salah satu karakter itu ialah kecerdasan komunikasi interpersonal.
Kecerdasan komunikasi interpersonal memiliki lima aspek yang perlu dipertimbangkan untuk menciptakan efektivitas komunikasi interpersonal, yaitu: keterbukaan, empati, saling mendukung, Sikap Positif, dan kesetaraan. Pendidikan karakter dikembangkan melalui pengaplikasian layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan experiential learning. Layanan bimbingan Klasikal dengan pendekatan experiential learning yang akan diberikan kepada peserta didik memiliki tiga aspek yang dapat membantu untuk mengembangkan kecerdasan komunikasi interpersonal, ketiga aspek tersebut ialah: komunikasi yang baik, aku berani bertanya, dan aku berani berpendapat di depan umum.
Layanan bimbingan klasikal yang dilaksanakan di dalam atau di luar kelas pada umumnya dilaksanakan dalam satu rangkaian kegiatan experiential learning dengan prosedur: pengantar/instruksi-dinamika, kelompok/group, proses-refleksi, sharing, pengalaman-perumusan niat (I statement) untuk berubah/perbaikan diri. Prosedur ini bertujuan untuk mengembangkan dimensi sosial-psikologis, ketrampilan hidup, klarifikasi nilai, dan perubahan sikap-perilaku individu dalam kelompok. Pada layanan bimbingan klasikal, peserta kegiatan diharapkan lebih banyak berproses, aktif, reflektif, dan dinamis. Penekanan hasil dari layanan bimbingan klasikal ini lebih pada aspek perubahan sikap,
(70)
perilaku mandiri, nilai-nilai karakter, dan ketrampilan hidup (life skill) yang mendukung pada sukses studi dan sukses bergaul (penyesuaian diri). Melalui pemberian pretest dan posttest pada setiap siswa sebelum dan sesudah pemberian layanan bimbingan, peneliti dapat melihat peningkatan kecerdasan komunikasi interpersonal siswa sebelum dan sesudah diberikannya layanan bimbingan klasikal.
(71)
Gambar 2.4 Kerangka Berpikir Kecerdasan Komunikasi Interpersonal Kecerdasan Komunikasi
Interpersonal (Pretest)
Komunikasi yang baik
Aku berani bertanya Aku berani berpendapat di depan umum. interpersonal: Keterbukaan Empati Saling mendukung Sikap Positif Kesetaraan
Layanan Bimbingan Klasikal dengan Pendekatan Experiential Learning
Fase 1
Siswa: Pengantar, menjelaskan dinamika kelompok, siswa masuk dalam kelompok, siswa mengikuti dinamika kelompok. Fasilitator: memberi pengarahan dan penjelasan pada siswa.
Fase 4 Siswa menggunakan konsep yang ia temukan untuk memecahkan masalah-masalah yang akan dihadapi di kehidupan sehari-harinya. Fasilitator memberikan peneguhan dan bombongan. Fase 4 Active Experimention Fase 2 Reflective Observation Fase 2 siswa
mengobservasi dan merefleksikan pengalamannya dari berbagai segi dan mendiskusikan pengalaman
tersebut. Fasilitator mengamati dan memandu diskusi.
Fase 3 Abstract Conceptualization
Fase 3
Siswa membentuk reaksi pada pengalaman yang baru menjadi sebuah kesimpulan dan konsep baru. Fasilitator mendorong dan memberikan semangat kepada siswa
Peningkatan Pemahaman, Penghayatan, dan Pengalaman
Kecerdasan Komunikasi
Kecerdasan Komunikasi Interpersonal (Posttest)
Fase 1 Concrete Experince
(1)
Pertanyaan-pertanyaan Panduan Refleksi
(Guru memilih pertanyaan-pertanyaan yang paling sesuai dengan
dinamika yang terjadi di kelas)
1.
Dala per ai a Aku Berpe dapat :
a.
Adakah yang berinisiatif untuk berpendapat lebih dulu?
b.
Mengapa dia berinisiatif memimpin?
c.
Apa perasaanmu ketika mengungkapkan pendapat di depan
teman-teman?
d.
Apa perasaanmu ketika mendengarkan pendapat temanmu?
Apa yang kamu lakukan ketika temanmu memberikan
pendapat?
2.
Pelajaran berharga apa yang dapat kamu petik dari permainan
tersebut?
3.
Seperti apa tanggapan teman-teman terhadap pendapatmu?
Ceritakanlah!
Pernyataan Hasil Belajar
1.
Setelah mengikuti bimbingan ini, aku menjadi tahu bahwa...
2.
Setelah mengikuti bimbingan ini, aku merasa...sebab...
3.
Setelah mengikuti bimbingan ini, aku berniat untuk...supaya...
Asesmen Tilik Diri
No.
Pertanyaan
Jawaban
Ya
Tidak
1. 1. Apakah kamu berani berbicara di depan umum?
2. 2. Pernah kah kamu mengungkapkan pendapat pada saat
F.
EVALUASI
(2)
(sumber: ifollowpics.com)
“Sebuah pendapat yang baik itu seperti pensil, yang hendaknya memiliki poin.”
Anonim
(sumber: www.pinterest.com)
pelajaran?
3. 3.
Pernah kah kamu memberikan masukan dalam kelas?
4. 4.
Pernah kah kamu mempertahankan pendapat yang
kamu utarakan?
5. 5.
Pernahkah
kamu
memimpin
sebuah
anggota
kelompok?
(3)
(sumber:www.pinterest.com)
Pastikanlah kamu berhenti mengungkapkan
pendapatmu sebelum pendengarmu berhenti
mendengarkanmu.
(4)
Tabulasi Uji Validitas
Skortotal Keputusan item1 Pearson
Correlation .223
Tidak valid
Sig. (2-tailed) .331 N 21 item2 Pearson
Correlation .639
** Valid
Sig. (2-tailed) .002 N 21 item3 Pearson
Correlation .323
Valid
Sig. (2-tailed) .154 N 21 item4 Pearson
Correlation .305
Valid
Sig. (2-tailed) .178 N 21 item5 Pearson
Correlation -.382
Valid
Sig. (2-tailed) .088 N 21 item6 Pearson
Correlation .370
Valid
Sig. (2-tailed) .099 N 21
(5)
item7 Pearson
Correlation .128
Tidak Valid
Sig. (2-tailed) .581 N 21 item8 Pearson
Correlation .459
* Valid
Sig. (2-tailed) .037 N 21 item9 Pearson
Correlation -.421
Valid
Sig. (2-tailed) .057 N 21 item10 Pearson
Correlation -.632
** Valid
Sig. (2-tailed) .002 N 21 item11 Pearson
Correlation -.356
Valid
Sig. (2-tailed) .114 N 21 item12 Pearson
Correlation -.089
Tidak Valid
Sig. (2-tailed) .701 N 21 item13 Pearson
Correlation .506
* Valid
Sig. (2-tailed) .019 N 21 item14 Pearson
Correlation .232
Tidak Valid
Sig. (2-tailed) .311 N 21
(6)
item15 Pearson
Correlation .587
** Valid
Sig. (2-tailed) .005 N 21 item16 Pearson
Correlation .241
Tidak Valid
Sig. (2-tailed) .292 N 21 item17 Pearson
Correlation .275
Tidak Valid
Sig. (2-tailed) .228 N 21 item18 Pearson
Correlation .609
** Valid
Sig. (2-tailed) .003 N 21 item19 Pearson
Correlation .244
Tidak Valid
Sig. (2-tailed) .286 N 21 item20 Pearson
Correlation -.204
Tidak Valid
Sig. (2-tailed) .375 N 21 skortota
l
Pearson
Correlation 1 Sig. (2-tailed)
N 21