PENGEMBANGAN KEGIATAN LABORATORIUM FISIKA SMA BERBASIS EMPAT PILAR PENDIDIKAN UNTUK MENUMBUHKAN KEBIASAAN BEKERJA ILMIAH

(1)

PENGEMBANGAN KEGIATAN LABORATORIUM FISIKA SMA

BERBASIS EMPAT PILAR PENDIDIKAN

UNTUK MENUMBUHKAN KEBIASAAN BEKERJA ILMIAH

THESIS

Disusun untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan

Oleh :

K I S M U N A D I

NIM. 4001506046

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA (FISIKA)

PASCA SARJANA

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2 0 0 8


(2)

ii

Thesis yang berjudul : Pengembangan Kegiatan Laboratorium Fisika SMA Berbasis Empat Pilar Pendidikan Untuk Menumbuhkan Kebiasaan Bekerja Ilmiah” ini telah disetujui untuk diajukan ke sidang panitia ujian Thesis.

Semarang, 16 Juli 2008

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Nathan Hindarto, Ph.D. Dr. Wiyanto, M.Si. NIP.. 130604212 NIP.. 131764032


(3)

iii

Thesis ini telah dipertahankan di dalam Sidang Panitia Ujian Thesis Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang pada :

Hari : Selasa Tanggal : 29 Juli 2008

Panitia Ujian

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. Maman Rachman, M.Sc Dr. Supartono, M.S NIP. 130529514 NIP.. 131281224

Penguji I Penguji II

Dr. Sugianto, M.Si Dr. Wiyanto, M.Si NIP. 132046850 NIP. 131764032

Penguji III

Drs. Nathan Hindarto, Ph.D NIP. 130604212


(4)

iv

Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam Thesis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam Thesis ini dikutip atau dirujuk berdasarkan etika ilmiah.

Semarang, 16 Juli 2008


(5)

v

Hidup adalah perjuangan, waktu adalah penantian, cita dan cinta adalah

harapan

P E R S E M B A H A N

Tulisan ini kupersembahkan kepada Ayah dan Ibuku , untuk istriku

tercinta Aning Pancasilawati, juga untuk anakku Panji dan Seto

tersayang yang selalu menjadi bintang penerang semangat hidupku


(6)

vi

Segala puji syukur pada Allah SWT yang telah memberi nikmat tiada tara dengan memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan thesis ini. Tanpa ijin dan ridha-NYA niscaya thesis ini mampu terselesaikan. Pada kesempatan ini pula penulis menghaturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Maman Rahman M.Sc. selaku Direktur Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang.

2. Dr. Supartono, MS selaku Ketua Program Studi Pendidikan IPA Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang.

3. Drs. Nathan Hindarto, Ph.D. selaku Pembimbing I yang telah banyak menuangkan buah pikirannya sehingga Thesis ini selesai.

4. Dr. Wiyanto, M.Si. selaku Pembimbing II dan selaku Ahli yang menjadi Expert Judgement pada penelitian ini yang telah banyak menuangkan buah pikirannya sehingga Thesis ini selesai.

5. Dra. Hj. Srinatun, M.Pd. selaku Kepala Sekolah yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di SMA Negeri 4 Semarang.

6. Suyanto, S.Pd, M.Pd. selaku motivator yang banyak membantu penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.

7. Istri tercinta, Dra. Aning Pancasilawati yang senantiasa menyiram semangat penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.

8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang secara langsung maupun tidak langsung membantu terselesaikannya penelitian ini.


(7)

vii

selanjutnya. Akhir kata penulis berharap dengan selesainya penelitian ini semoga memberikan manfaat bagi bangsa dan negara, khususnya dunia pendidikan Indonesia.

Semarang, 16 Juli 2008 Penulis


(8)

viii

Pilar Pendidikan Untuk Menumbuhkan Kebiasaan Bekerja Ilmiah. Kata Kunci : Laboratorium Fisika, Kebiasaan Bekerja Ilmiah.

Latar belakang penelitian ini adalah pembelajaran fisika selama ini diduga tidak memaksimalkan kemampuan siswa dalam melakukan kerja ilmiah sesuai dengan tuntutan kurikulum. Selain itu kurikulum juga merujuk bahwa empat pilar pendidikan merupakan salah satu pendekatan pembelajaran fisika yang perlu dipertimbangkan.Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan model pembiasaan bekerja ilmiah pada pembelajaran fisika di SMA, yaitu melalui pengembangan pembelajaran fisika yang dapat memfasilitasi siswa untuk belajar menemukan jawaban dari suatu masalah (learning to know) melalui proses inkuiri ilmiah (learning to do) yang dilakukan secara kolaboratif (learning to live together), sehingga diharapkan siswa menjadi terbiasa bekerja ilmiah seperti yang biasa dilakukan oleh ilmuwan (learning to be). Subyek penelitian ini adalah siswa kelas X SMAN 4 Semarang. Penelitian ini dilakukan menggunakan desain yang diadaptasi dari model pengajaran yang didesain oleh Dick & Carey. Pengembangan model pembelajaran dilakukan melalui ujicoba perangkat pembelajaran berupa lembar kerja siswa (LKS) inkuiri secara berulang dan mengevaluasinya sesuai dengan masing-masing pilar pendidikan. Hasil belajar yang sesuai dengan pilar learning to do, yaitu kemampuan (1) mengeksplorasi dan merumuskan masalah, (2) mengusulkan hipotesis, (3) mendesain dan melaksanakan cara pengujian hipotesis, (4) mengorganisasikan dan menganalisis data, (5) merumuskan kesimpulan dan mengkomunikasikannya, diungkap menggunakan tes tertulis dan performance assessment. Hasil belajar yang sesuai dengan pilar learning to know, yaitu penguasaan konsep akan diungkap menggunakan concept inventory test. Hasil belajar yang sesuai dengan pilar learning to live together, yaitu sikap dalam berinteraksi dengan sesama, diungkap melalui observasi. Hasil belajar yang sesuai dengan pilar learning to be, diungkap dengan memberikan permasalahan yang mencakup tiga pilar (learning to do, learning to know, dan learning to live together) secara berkala untuk mengetahui apakah siswa sudah memiliki kebiasaan (habit) bekerja ilmiah. Bila kebiasaan itu sudah muncul secara konsisten berarti siswa telah berhasil dalam belajar menjadi seperti ilmuwan (learning to be as a scientist). Dalam penelitian ini, dari pemberian LKS secara berulang sebanyak 3 kali, dan setelah dievaluasi sesuai dengan masing-masing pilar, didapatkan nilai dengan kecenderungan meningkat dari kegiatan ke-1, ke-2 dan ke-3. Dari hasil evaluasi untuk tiap-tiap kompetensi dasar bekerja ilmiah pada penelitian ini, nilai yang didapatkan juga mengalami kecenderungan yang meningkat dari kegiatan laboratorium ke-1, ke-2 dan ke-3. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan LKS inkuiri untuk kegiatan laboratorium berbasis empat pilar pendidikan dapat menumbuhkan kebiasaan siswa dalam bekerja ilmiah.


(9)

ix

Kismunadi, 2008. The development of physic laboratory activity for Senior High School based on four education elements to create habitual scientific work.

Keywords : Physic laboratory, habitual scientific work

The background of this research is while the learning physics estimated that it doesn’t maximize the student’s ability in doing scientific work which appropriates with curriculum demand. In addition, curriculum also refers that the four education elements are one of the learning physics approach which are considered. The goal of this research is to find a usual scientific working model in learning physic in Senior High School, by developing the learning physic that can facilitate students to find out an answer to a problem by scientific inquiry process which is done together, so that the students used to work scientifically as a scientist. The subject of this research is SMA 4 Semarang students grade X. This research is done by using a design which is adapted from Dick & Carey’s learning model. The development of learning model is done by a try out of learning device that is inquiry students worksheet continuously and evaluate it concerning with each education pillar learning. Learning output concerning with learning to do, are ability (1) to explore and to formulate problem, (2) to propose hypothesis, (3) to design and to do how to test hypothesis, (4) to organize and to analyze data, (5) to formulate a conclusion and to communicate it, carried out by written assessment and performance assessment, learning output concerning with learning to know is mastering concept will uncover express by using concept inventory test. Learning output concerning with learning to be, is expressed by giving problems consisting those three pillars (learning to do, learning to know, learning to live together) occasionally to know whether the students have had scientific working habit. If the habit has appeared consistently it means it means that the students have succeed in learning to be as a scientist. In this research, from giving LKS for 3 times and after being evaluated according to each pillars, can be achieved that the score tends to increase from the 1st, 2nd and 3rd activities. From the evaluation result for each base competence of scientific working in this research, the score achieved also tends to increase from the 1st, 2nd and 3rd laboratory activities. The conclusion from this research is using LKS inquiry for laboratory activity based on the four education pillars can build the student habit in scientific working.


(10)

x

Halaman Judul ... i

Persetujuan Pembimbing………... ii

Pengesahan Kelulusan ... iii

Pernyataan ...iv

Motto dan Persembahan ...v

Kata Pengantar ...vi

Abstrak…..………...viii

Abstract ….……….………..ix

Daftar Isi ...x

Daftar Tabel ...xii

Daftar Gambar ...xiii

Daftar Lampiran ...xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...1

1.2. Permasalahan ...7

1.3. Penegasan Istilah ...8

1.4. Tujuan Penelitian ...9

1.5. Manfaat Penelitian ...9

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ...10

2.2. Pembelajaran Inkuiri ...12

2.3. Empat Pilar Pendidikan ...18

2.4. Kegiatan Laboratorium ...21

2.5. Kompetensi Bekerja Ilmiah ...33

2.6. Kerangka Berpikir...35

2.7. Hipotesis Penelitian ...36

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Subyek dan Lokasi Penelitian ...37


(11)

xi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian ...51

4.2. Pembahasan ...53

BAB V PENUTUP 5.1. SIMPULAN………...…...…74

5.2. SARAN………...75

DAFTAR PUSTAKA ...76


(12)

xii

Tabel 4.1 Pencapaian masing-masing kompetensi ………….…………...……...52 Tabel 4.2 Presentase Pencapaian kompetensi ……….…………...…...53


(13)

xiii

Gambar 3.1 Skema desain penelitian yang dilaksanakan... 38

Gambar 4.1 Grafik merencanakan kegiatan penelitian ilmiah ( praktikum)... 54

Gambar 4.2 Grafik merencanakan kegiatan penelitian ilmiah ( diskusi )... 54

Gambar 4.3 Grafik melakukan penelitian ilmiah ( praktikum ) ... 55

Gambar 4.4 Grafik melakukan penelitian ilmiah ( diskusi )... 56

Gambar 4.5 Grafik mengkomunikasikan hasil penelitian ( praktikum )... 57

Gambar 4.6 Grafik mengkomunikasikan hasil penelitian ( diskusi )... 57

Gambar 4.7 Grafik bersikap ilmiah ( praktikum )... 58

Gambar 4.8 Grafik bersikap ilmiah ( diskusi )... 59

Gambar 4.9 Grafik learning to do ( LKS )... 61

Gambar 4.10 Grafik learning to know ( tes kognitif )……….……..…….……...61

Gambar 4.11 Grafik learning to know ( laporan praktikum )………...…..…... 62

Gambar 4.12 Grafik learning to live together ( lembar observasi )……...………. 63

Gambar 4.13 Grafik learning to live together ( lembar diskusi )………...………. 63


(14)

xiv

Lampiran 1 Hasil penilaian uji coba tes kognitif 1... 78

Lampiran 2 Hasil uji validitas...79

Lampiran 3 Hasil uji reliabilitas...80

Lampiran 4 Hasil uji tingkat kesukaran butir soal. ...81

Lampiran 5 LKS 1 pemantulan cahaya pada cermin cekung. ...82

Lampiran 6 LKS 2 pemantulan cahaya pada cermin cembung...88

Lampiran 7 LKS 3 pembiasan cahaya pada lensa cembung...93

Lampiran 8 Contoh LKS verifikatif... .97

Lampiran 9 Format penilaian LKS ... 98

Lampiran 10 Nilai LKS 1... 99

Lampiran 11 Nilai LKS 2...100

Lampiran 12 Nilai LKS 3...101

Lampiran 13 Soal tes kognitif 1 ...102

Lampiran 14 Soal tes kognitif 2...104

Lampiran 15 Soal tes kognitif 3...106

Lampiran 16 Format penilaian tes kognitif...108

Lampiran 17 Nilai tes kognitif 1...109

Lampiran 18 Nilai tes kognitif 2...110

Lampiran 19 Nilai tes kognitif 3...111

Lampiran 20 Format penilaian laporan praktikum ...112

Lampiran 21 Nilai laporan praktikum ke-1...113

Lampiran 22 Nilai laporan praktikum ke-2...114

Lampiran 23 Nilai laporan praktikum ke-3...115

Lampiran 24 Format lembar observasi praktikum...116

Lampiran 25 Hasil observasi kegiatan laboratorium ke-1...117

Lampiran 26 Hasil observasi kegiatan laboratorium ke-2………...118

Lampiran 27 Hasil observasi legiatan laboratorium ke-3….………...119

Lampiran 28 Format lembar observasi kegiatan diskusi ...120


(15)

xv

Lampiran 32 Dokumentasi penelitian... 124


(16)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di jaman yang serba modern sekarang ini, kehidupan masyarakat banyak dipengaruhi oleh perkembangan sains dan teknologi. Banyak permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari memerlukan informasi ilmiah dalam pemecahannya. Oleh karena itu, literasi sains menjadi kebutuhan bagi setiap individu agar memiliki peluang yang lebih besar untuk menyesuaikan diri dengan dinamika kehidupan.

Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), termasuk Fisika, dikembangkan oleh manusia dengan tujuan untuk memahami gejala alam. Rasa keingintahuan telah mendorong ilmuwan untuk melakukan proses penyelidikan ilmiah, atau doing science, hingga ditemukan suatu jawaban yang kemudian menjadi produk sains, seperti konsep, prinsip, teori, dan hukum. Dalam istilah psikologi pengetahuan tentang proses ilmiah itu disebut pengetahuan prosedural, dan pengetahuan yang berkaitan produk ilmiah di sebut pengetahuan deklaratif (Wiyanto 2008:1).

Melalui proses ilmiah ilmuwan mencoba memahami alam. Proses ini meliputi langkah-langkah : mengeksplorasi gejala dan merumuskan masalah, menciptakan penjelasan sementara (hipotesis), memikirkan rancangan percobaan untuk menguji hipotesis dan memprediksi hasil yang diharapkan sebagai konsekuensi deduktif jika percobaan direalisasikan, mengumpulkan data melalui pengamatan atau pengukuran, kemudian membandingkan data dengan konsekuensi deduktif yang dijabarkan oleh hipotesis. Jika data sesuai dengan konsekuensi deduktif maka hipotesis mendapat dukungan sehingga diperoleh ilmu pengetahuan baru yang bersifat tentatif, dan jika tidak sesuai maka hipotesis ditolak atau harus dimodifikasi.


(17)

tersebut membentuk pola inferensi logika jika…..dan…..maka.... Menurut Brotosiswoyo (2000) inferensi logika termasuk kemahiran generic yang perlu ditumbuhkan melalui belajar fisika. Pola berfikir tersebut, menurut Lawson, seperti dikutip Wiyanto (2008:1), sebetulnya menggambarkan pola berfikir manusia pada umumnya yang tidak berbeda dengan pola berfikir ilmuwan, tetapi karena ilmuwan sudah terbiasa atau terlatih menggunakannya maka mereka menjadi terampil memecahkan berbagai masalah secara efektif. Oleh karena itu, pembelajaran fisika dan sains seyogiannya diarahkan juga untuk mengembangkan kemampuan berfikir seperti yang biasa yang dilakukan oleh ilmuwan. Persoalannya adalah bagaimana untuk mengembangkan kemampuan berfikir.

Strategi pembelajaran yang direkomendasikan oleh banyak ahli dapat mengembangkan kemampuan berfikir, menumbuhkan sikap, dan menanamkan konsep adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan peserta didik untuk belajar “menemukan”, bukan sekadar belajar “menerima”. Kesempatan belajar menemukan antara lain dalam bentuk strategi pembelajaran inkuiri. Dalam hal ini, laboratorium merupakan salah satu bagian dari wahana untuk membelajarkan proses ilmiah.

Bila dicermati, kurikulum fisika SMA yang pernah diberlakukan di Indonesia, sejak kurikulum 1975, sebetulnya sudah ditekankan kegiatan laboratorium, tetapi dalam pelaksanaannya, seperti ditunjukkan dari hasil evaluasi Balitbang Depdiknas (Puskur, 2001), selama ini pembelajaran sains lebih menekankan pada penguasaan sejumlah fakta dan konsep (Sains sebagai produk), melalui ceramah, dan kurang menekankan pada penguasaan kemampuan dasar. Oleh karena itu, mulai tahun 2004 di SD hingga SMA secara difusi (tidak serentak) diterapkan dan dikembangkan kurikulum baru, yaitu kurikulum berbasis kompetensi (Competency based), dan setelah melalui proses evaluasi dan revisi ditetapkan kurikulum baru yang pelaksanaan dan pengembangan lebih lanjut banyak tergantung pada setiap satuan pendidikan. Kurikulum tersebut sebagai pengganti kurikulum sebelumnya yang cenderung berbasis isi (content based). Hal itu dilakukan dalam rangka lebih menyeimbangkan peningkatan kemampuan konseptual dan prosedural.


(18)

Kecenderungan pembelajaran yang hanya menekankan pada sains sebagai produk dan kurang mendayagunakan kegiatan laboratorium juga terungkap dari penelitian Sriyono & Hamid (2003) yang menunjukkan bahwa frekuensi penggunaaan laboratorium fisika di SMA se Kabupaten Purworejo relatif rendah. Selain itu, hasil wawancara dengan sejumlah guru fisika SMA di Semarang yang dilakukan sebelum penulisan thesis ini menunjukkan bahwa mayoritas dari mereka mengajar dengan ceramah. Hanya dua guru yang diwawancarai menyatakan melakukan kegiatan laboratorium. Kegiatan laboratorium yang mereka lakukanpun masih bersifat verifikasi terhadap konsep atau prinsip yang sebelumnya sudah di jelaskan oleh guru.

Sejak tahun pelajaran 2002/2003, sesuai dengan Keputusan Mendiknas nomor 017/U/2003, praktikum fisika diujikan dalam ujian akhir nasional yang naskah soalnya disiapkan oleh pihak sekolah. Pada saat ini keadaanpun mulai berubah, praktikum fisika mulai dilaksanakan di sekolah-sekolah. Pertanyaannya, bagaimanakah bentuk praktikum yang mulai banyak dilaksanakan di sekolah? Hasil telaah terhadap tiga petunjuk praktikum yang dipakai di tiga sekolah yang berbeda menunjukkan bahwa kegiatan praktikum yang dikembangkan masih bersifat verifikasi.

Kegiatan laboratorium yang bersifat verifikatif tidak banyak membantu dalam mengembangkan kemampuan berfikir. Lebih lanjut McDermott, seperti yang dikutip Wiyanto (2008:3) menunjukkan bahwa kegiatan laboratorium yang mestinya dilakukan untuk pengembangkan kemampuan berfikir adalah kegiatan laboratorium inkuiri. Hal itu dimungkinkan karena kegiatan laboratorium berbasis inkuiri dapat menyediakan fasilitas yang memungkinkan siswa untuk : mengeksplorasi gejala dan merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mendesain dan melaksanakan cara pengujian hipotesis, mengorganisasikan dan menganalisis data yang diperoleh, menarik kesimpulan dan mengkomunikasikannya. Kenyataannya, berdasarkan hasil penelitian sampai tahun 2004, ada petunjuk bahwa kegiatan laboratorium yang memungkinkan siswa bekerja ilmiah mengikuti prosedur seperti itu belum terlaksana (Nur,2004).


(19)

Berkaitan dengan pelaksanaan kurikulum baru, penyelenggaraan kegiatan laboratorium fisika berbasis inkuiri memiliki peran penting, mengingat dalam kurikulum itu tertulis secara eksplisit bahwa salah satu tujuan pembelajaran fisika di SMA adalah untuk memberi pengalaman kepada siswa agar dapat mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan. Selain itu, pada mata pelajaran fisika SMA, melakukan kerja ilmiah merupakan salah satu standar kompetensi yang harus dicapai. Tujuan dan fungsi serta standar kompetensi tersebut tidak akan tercapai secara optimal jika kegiatan laboratorium yang dikembangkan bersifat verifikasi yang kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk merumuskan hipotesis dan merancang serta melaksanakan percobaan dalam rangka menguji hipotesis.

Dalam dokumen tertulis Kurikulum 2004 (Depdiknas, 2003a; 2003b) dinyatakan bahwa kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bekerja ilmiah. Kompetensi bekerja ilmiah dirinci menjadi empat kompetensi dasar yaitu : merencanakan penelitian ilmiah, melaksanakan penelitian ilmiah, mengkomunikasikan hasil penelitian ilmiah dan bersikap ilmiah. Dari empat kompetensi dasar bekerja ilmiah ini masing-masing kompetensi dasarnya dirinci lagi dalam beberapa indikator. Berdasarkan pengertian tersebut maka seorang siswa dikatakan memiliki kompetensi bila ia sudah memiliki kebiasaan berpikir dan bekerja yang merefleksikan kemampuan yang dimilikinya. Selain itu, dalam rambu-rambu Kurikulum 2004 dinyatakan bahwa salah satu pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran fisika adalah empat pilar pendidikan ( learning to do, learning to know, learning to live together, learning to be ), namun tidak dijelaskan bagaimana penjabarannya.

Berdasarkan diskusi dengan beberapa guru terungkap bahwa pilar yang dianggap paling sulit untuk ditafsirkan dan dijabarkan adalah learning to be. ”Belajar menjadi siapakah” yang dapat dikembangkan dari pembelajaran sains? Apakah belajar menjadi manusia Indonesia seutuhnya? Bila yang dimaksud learning to be adalah belajar menjadi manusia Indonesia seutuhnya, bagaimanakah cara mengukur keberhasilannya? Bertolak dari


(20)

pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka pada penelitian ini dirancang dan diujicobakan model pembelajaran yang mengaitkan karakteristik sains dengan empat pilar pendidikan, sehingga keberhasilan learning to be menjadi lebih terukur.

Sesuai dengan karakteristik sains yang mencakup proses, produk, dan sikap, maka empat pilar pendidikan dapat dijabarkan dalam pembelajaran sains, termasuk fisika, yang mampu memfasilitasi siswa untuk belajar menemukan jawaban dari suatu masalah yang berbentuk produk sains (learning to know) melalui proses inkuiri ilmiah (learning to do) yang dilakukan secara kolaboratif (learning to live together), sehingga diharapkan siswa menjadi terbiasa bekerja ilmiah seperti yang biasa dilakukan oleh ilmuwan. Jadi melalui pembelajaran fisika siswa dapat dikembangkan kemampuannya supaya menjadi seperti ilmuwan ( learning to be as a scientist). Hal itu dapat dicapai bila siswa tidak hanya dituntut memahami produk (kognitif), proses (psikomotorik), sikap ilmiah (afektif), melainkan juga mampu menerapkan pemahamannya itu dalam kebiasaan bekerja ilmiah, sehingga dapat dikatakan siswa menjadi kompeten.

Untuk melakukan pembiasaan bekerja ilmiah, pada penelitian ini didesain dan diujicobakan model pembelajaran fisika di SMA dengan pendekatan inkuiri, karena pendekatan ini dapat memfasilitasi siswa untuk memecahkan masalah melalui penyelidikan ilmiah, sehingga siswa dapat menemukan sendiri jawabannya. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pendekatan inkuiri berhasil meningkatkan minat (Wiyanto, 2003), mengembangkan keterampilan berinkuiri ilmiah, seperti menjelaskan, memprediksi, merancang percobaan, mengumpulkan dan menganalisis data, menarik kesimpulan, serta berkomunikasi (Wiyanto, 2004).

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirumuskan masalah utama yaitu bagaimana mengembangkan kegiatan laboratorium fisika SMA berbasis empat pilar pendidikan supaya dapat menumbuhkan kebiasaan bekerja ilmiah ? Masalah utama tersebut


(21)

dijabarkan menjadi tiga masalah khusus sebagai berikut.

(1) Kebiasaan bekerja ilmiah apa sajakah yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran fisika di SMA ?

(2) Bagaimanakah bentuk perangkat pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengembangkan kebiasaan bekerja ilmiah ?

(3) Bagaimanakah keberhasilan penerapan perangkat pembelajaran yang dikembangkan ?

1.3 Penegasan Istilah

1. Kegiatan laboratorium adalah kegiatan yang dilakukan untuk menemukan suatu konsep atau fakta yang belum diketahui sebelumnya, atau bisa juga untuk membuktikan fakta atau konsep yang sudah diketahui sebelumnya. Kegiatan laboratorium dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu kegiatan laboratorium yang bersifat verifikatif dan kegiatan laboratorium yang bersifat inkuiri. Dalam penelitian ini kegiatan laboratorium yang digunakan adalah kegiatan laboratorium yang bersifat inkuiri.

2. Kompetensi bekerja ilmiah adalah keterampilan yang harus dikuasai siswa dalam proses pembelajaran fisika. Kompetensi bekerja ilmiah terdiri dari empat kompetensi dasar, antara lain : (1) merencanakan penelitian ilmiah, (2) melaksanakan penelitian ilmiah, (3) mengkomunikasikan hasil penelitian ilmiah, (4) bersikap ilmiah ( Depdiknas, 2003b:3 ). 3. Empat pilar pendidikan adalah ketetapan yang dibuat oleh organisasi pendidikan

seluruh dunia yaitu UNESCO. Empat pilar pendidikan yang dimaksud adalah learning to do (proses dan upaya mencari jawaban), learning to know (proses penguasaan produk pengetahuan berupa konsep, prinsip, teori, atau hukum), learning to live together (proses mengembangkan sikap ilmiah dalam berinteraksi dengan sesama), learning to be (proses pembiasaan berpikir dan bekerja ilmiah yang


(22)

merefleksikan penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap ilmiah) ( Rahbini, 2007 ).

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menemukan model pembiasaan bekerja ilmiah pada pembelajaran fisika di SMA. Sedangkan tujuan khususnya adalah untuk :

(1) mendeskripsikan kebiasaan bekerja ilmiah yang dapat dikembangkan pada pembelajaran fisika di SMA,

(2) mengembangkan perangkat pembelajaran fisika untuk memfasilitasi pengembangan pembiasaan bekerja ilmiah yaitu lembar kerja siswa,

(3) mendiskripsikan respon subyek penelitian terhadap penerapan model pembiasaan bekerja ilmiah dalam pembelajaran fisika.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi subyek penelitian, yaitu siswa, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kesempatan mereka untuk mengembangkan kompetensi sesuai dengan tuntutan kurikulum. 2. Memberikan contoh atau model pembelajaran yang bertujuan mengembangkan

keterampilan sains siswa melalui kegiatan laboratorium berpendekatan inkuiri.

3. Memberi informasi tentang menumbuhkan kebiasaan bekerja ilmiah sesuai dengan empat pilar pendidikan.


(23)

8

LANDASAN TEORI

2.1 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) mulai diterapkan secara nasional pada tahun pembelajaran 2007 atau 2008 sebagai langkah penyempurnaan kurikulum 2004 dalam standar isi mata pelajaran fisika. Pada tingkat SMA atau MA (Depdiknas, 2006: 433) fisika dipandang penting untuk diajarkan sebagai mata pelajaran tersendiri dengan beberapa pertimbangan. Pertama, selain memberikan bekal ilmu kepada peserta didik, mata pelajaran fisika dimaksudkan sebagai wahana untuk menumbuhkan kemampuan berpikir yang berguna untuk memecahkan masalah di dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, mata pelajaran fisika perlu diajarkan untuk tujuan yang lebih khusus yaitu membekali peserta didik pengetahuan, pemahaman dan sejumlah kemampuan yang dipersyaratkan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu dan teknologi. Pembelajaran fisika dilaksanakan secara inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta berkomunikasi sebagai salah satu aspek penting kecakapan hidup.

Sedangkan tujuan pelajaran fisika di SMA pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Depdiknas, 2006:444) agar peserta didik mempunyai kemampuan sebagai berikut : (1) membentuk sikap positif terhadap fisika dengan menyadari keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa, (2) memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, obyektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerjasama dengan orang lain, (3) mengembangkan pengalaman untuk dapat merumuskan masalah,


(24)

mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan, merancang dan merakit instrumen percobaan, mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkan data, serta mengkomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis, (4) mengembangkan kemampuan bernalar dalam berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam dan menyelesaikan masalah baik secara kualitatif maupun kuantitatif, (5)menguasai konsep dan prinsip fisika serta mempunyai keterampilan mengembangkan pengetahuan, dan sikap percaya diri sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Standar kompetensi bahan kajian sains yang diambil dalam penelitian ini adalah kompetensi dasar kerja ilmiah. Kompetensi yang dapat dikembangkan pada kerja ilmiah adalah sebagai berikut ( Depdiknas, 2003b : 3 ) : (1) merencanakan penelitian ilmiah. Siswa mampu membuat perencanaan penelitian sederhana antara lain : menetapkan dan merumuskan tujuan penelitian, langkah kerja, hipotesis, variabel dan instrumen yang tepat untuk tujuan pendidikan, (2) melaksanakan penelitian ilmiah. Siswa mampu melaksanakan langkah-langkah kerja ilmiah yang terorganisir dan menarik kesimpulan terhadap hasil temuannya, (3) mengkomunikasikan hasil penelitian ilmiah. Siswa mampu menyajikan hasil penelitian dan kajiannya dengan berbagai cara kepada berbagai kelompok sasaran untuk berbagai tujuan, (4) bersikap ilmiah. Siswa mengembangkan sikap ilmiah antara lain keingintahuan, berani dan santun, kepedulian lingkungan, berpendapat secara ilmiah dan kritis, bekerjasama, jujur dan tekun.

2.2 Pembelajaran Inkuiri

Salah satu metode mengajar yang sangat konstruktivistik adalah metode inkuiri. Dalam metode ini siswa sungguh dilibatkan untuk aktif berfikir dan menentukan pengertian yang ingin diketahuinya. Dalam metode pembelajaran ini siswa dilibatkan dalam proses


(25)

penemuan melalui pengumpulan data dan tes hipotesis. Secara umum inkuiri adalah proses dimana para ilmuwan mengajukan pertanyaan tentang alam dunia dan bagaimana mereka secara sistematis mencari jawabannya. Yang utama dari metode inkuiri adalah menggunakan pendekatan induktif dalam menemukan pengetahuan dan berpusat kepada keaktifan siswa. Jadi bukan pembelajaran yang berpusat pada guru, melainkan kepada siswa. Itulah sebabnya pendekatan ini sangat dekat dengan prinsip konstruktivis, dimana pengetahuan ini dikonstruksi oleh siswa. Yang pantas dicatat dalam metode ini adalah isi dan proses penyelidikan diajarkan bersama dalam waktu yang bersamaan. Siswa melalui penyelidikan akhirnya sampai pada isi pengetahuan itu sendiri.

Meski para ahli menjelaskan secara berbeda-beda model inkuiri, tetapi secara sederhana menurut Kindsvatter, Wilen, dan Ishler seperti dikutip Suparno (2006:66), inkuiri dapat dijelaskan sebagai model pengajaran yang menggunakan proses berikut : (a) identifikasi persoalan, (b) membuat hipotesis, (c) mengumpulkan data, (d) menganalisis data, dan (e) mengambil kesimpulan.

Dari langkah-langkah di atas nampak jelas bahwa model inkuiri ini menggunakan prinsip model ilmiah atau saintifik dalam menemukan suatu prinsip, hukum, ataupun teori. Secara umum metode ilmiah mempunyai langkah seperti: (a) merumuskan persoalan, (b) membuat hipotesis, (c) mengumpulkan data, (d) menganalisis data yang diperoleh, dan (e) mengambil kesimpulan apakah proses pendekatan induktif, yaitu dari pengalaman lapangan untuk mencari generalisasi dan konsep umum.

Di bawah ini diuraikan oleh Kindsvatter, Wilen, dan Ishler seperti dikutip oleh Suparno (2006:67), secara lebih rinci langkah-langkah metode inkuiri agar menjadi jelas dan mudah dilakukan adalah sebagai berikut.

Identifikasi dan klarifikasi persoalan. Langkah awal adalah menentukan persolan yang ingin didalami atau dipecahkan dengan metode inkuiri. Persoalan dapat disiapkan atau diajukan oleh guru, sebaiknya persoalan yang ingin dipecahkan disiapkan sebelum mulai pelajaran. Persoalan sendiri harus jelas sehingga dapat dipikirkan, didalami, dan dipecahkan


(26)

oleh siswa. Persoalan perlu diidentifikasi dengan jelas dan diklarifikasi. Dari persoalan yang diajukan akan tampak jelas tujuan seluruh proses pembelajaran atau penyelidikan. Bila persoalan ditentukan oleh guru perlu diperhatikan bahwa persoalan itu real, dapat dikerjakan oleh siswa, dan sesuai dengan kemampuan siswa. Persoalan yang terlalu tinggi akan membuat siswa tidak semangat, sedangkan persoalan yang terlalu mudah yang sudah mereka ketahui tidak menarik minat siswa. Sangat baik bila persoalan itu sesuai dengan tingkat dan keadaan siswa.

Membuat hipotesis. Langkah berikutnya adalah siswa untuk mengajukan jawaban sementara tentang persoalan itu. Inilah yang disebut hipotesis. Hipotesis siswa perlu dikaji apakah jelas apa tidak. Bila belum jelas, sebaiknya guru mencoba membantu memperjelas maksudnya lebih dulu. Guru diharapkan tidak memperbaiki hipotesis siswa yang salah, tetapi cukup memperjelas maksudnya saja. Hipotesis yang salah nantinya akan kentara setelah pengambilan data dan analisis data yang diperoleh.

Mengumpulkan data. Langkah selanjutnya adalah siswa mencari dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya untuk membuktikan apakah hipotesis mereka benar atau tidak. Dalam bidang fisika, biasanya untuk dapat mengumpulkan data, siswa harus menyiapkan suatu peralatan yang dapat digunakan untuk pengumpulan data. Maka guru perlu membantu bagaimana siswa mencari peralatan, merangkai peralatan, dan mengoperasikan peralatan sehingga jalan dengan baik. Dalam bahasa fisika langkah ini adalah langkah percobaan atau eksperimen. Biasanya dilakukan di laboratorium tetapi kadang juga dapat di luar sekolah. Setelah peralatan jalan, siswa diminta untuk mengumpulkan data dan mencatatnya dalam buku catatan.

Menganalisis data. Data yang sudah dikumpulkan harus dianalisis untuk dapat membuktikan hipotesis apakah benar apa tidak. Untuk memudahkan menganalisis data, sebaiknya diorganisasikan, dikelompokkan, diatur sehingga dapat dibaca dan dianalisis dengan mudah. Biasanya disusun dalam suatu tabel biar mudah dibaca dan dianalisis. Kadang sangat baik data disusun atau dikelompokkan menurut : (1) yang menguatkan hipotesis, (2)


(27)

yang melemahkan hipotesis, dan (3) yang netral. Disini kadang guru perlu campur tangan karena dari data yang banyak siswa kadang bingung untuk menentukan langkah selanjutnya. Dalam menganalisis sering kali diperlukan alat hitung seperti rumus matematika atau statistik yang memudahkan siswa mengambil keputusan atau mengambil generalisasi.

Ambil kesimpulan. Dari data yang telah dikelompokan dan dianalisis, kemudian diambil kesimpulan dengan generalisasi. Setelah diambil kesimpulan, kemudian dicocokkan dengan hipotesis asal, apakah hipotesa kita diterima apa tidak. Setelah itu guru masih dapat memberikan catatan untuk menyatukan seluruh penelitian ini. Sangat baik bila mengambil keputusan, siswa dilibatkan sehingga mereka menjadi semakin yakin bahwa mereka mengetahui secara benar. Bila ternyata hipotesis mereka tidak dapat diterima, mereka diminta untuk mencari penjelasan mengapa demikian. Guru dapat membantu dengan berbagai pertanyaan penolong.

Menurut Kindsvatter dkk seperti dikutip oleh Suparno (2006:68), membedakan inkuiri menjadi dua macam yaitu inkuiri terbimbing dan inkuiri bebas. Perbedaan ini lebih ditandai dengan seberapa besar campur tangan guru dalam penyelidikan tersebut.

Inkuiri Terbimbing. Inkuiri terbimbing adalah inkuiri yang banyak dicampuri oleh guru. Guru banyak mengarahkan dan memberikan petunjuk baik lewat prosedur yang lengkap dan pertanyaan-pertanyaan pengarahan selama proses inkuiri. Bahkan guru sudah punya jawaban sebelumnya, sehingga siswa tidak begitu bebas mengembangkan gagasan dan idenya. Guru memberikan persoalan dan siswa disuruh memecahkan persoalan itu dengan prosedur tertentu dengan diarahkan oleh guru. Siswa dalam menyelesaikan persoalan menyesuaikan dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh guru. Campur tangan guru misalnya dalam pengumpulan data, guru sudah memberikan beberapa data dan siswa tinggal melengkapi. Guru banyak memberikan pertanyaan-pertanyaan di sela-sela proses, sehingga kesimpulan lebih cepat dan mudah diambil. Dengan model terbimbing seperti ini, maka kesimpulan akan selalu benar dan sesuai dengan kehendak guru.Model inkuiri terbimbing ini lebih cocok untuk awal semester dimana siswa belum biasa melakukan inkuiri. Dengan


(28)

model tersebut, siswa tidak mudah bingung dan tidak akan gagal karena guru terlibat penuh. Inkuiri Bebas. Berbeda dengan inkuiri terbimbing, disini siswa diberi kebebasan dan inisiatif dan memikirkan bagaimana akan memecahkan persoalan yang dihadapi. Siswa sendiri berfikir, menentukan hipotesis, lalu menentukan peralatan yang akan digunakan, merangkainya, dan mengumpulkan data sendiri. Disini siswa lebih bertanggung jawab, lebih mandiri dan guru tidak banyak campur. Siswa sendiri yang menentukan hipotesis, memilih peralatan, merangkaikan peralatan, dan mengumpulkan data. Guru sungguh hanya sebagai fasilitator, membantu sejauh diminta oleh siswa. Guru tidak banyak memberikan arah dan memberikan kebebasan kepada siswa untuk menemukan sendiri. Model inkuiri bebas ini dapat dilakukan dalam kelompok, tetapi juga secara individual. Suchman dalam Suparno (2006:69), menjelaskan beberapa syarat agar terjadi inkuiri yang baik, adalah sebagai berikut: (a) kebebasan: Perlu ada kebebasan siswa untuk menemukan dan mencari informasi. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan hipotesisnya, menyusun eksperimen yang mau digunakan, dan mencari informasi apapun yang dianggap perlu untuk memecahkan persoalan dalam penelitiannya, (b) lingkungan atau suasana yang responsif: ada laboratorium, komputer, kelas, pustaka, dan sarana yang mendukung terjadinya proses inkuiri, (c) focus: persoalan yang mau didalami harus jelas arahnya, dan dapat dipecahkan oleh siswa. Dalam inkuiri yang terarah persoalan memang harus sangat jelas. Bila muncul banyak persoalan yang diajukan oleh siswa dengan melihat gejala yang ada, dapat dipilih salah satu yang terpenting dan soal itu memang mungkin dipecahkan oleh siswa. Sedangkan untuk inkuiri yang bebas, persoalan tidak perlu terarah dan tidak perlu hanya diambil satu. Biarlah tiap kelompok siswa menentukan persoalan sendiri, (d) Low Pressure: tidak banyak tekanan dari siapapun sehingga siswa dapat lebih berpikir kreatif dan kritis. Kadang siswa tidak dapat melakukan penyelidikan secara sungguh-sungguh mendalam karena ada tekanan dari luar seperti tekanan dari guru, waktu yang dikejar-kejar, teman kelompok yang tidak cocok, maupun bentuk pelaporannya. Hal ini perlu disingkirkan atau diminimalisir.


(29)

Inkuiri yang direncanakan dapat berjalan lancar dan mendukung pembelajaran siswa. Menurut Trowbridge & Bybee seperti dikutip oleh Suparno (2006: 80), unsur yang harus diperhatikan tersebut adalah: (a) persoalan: harus real atau nyata, punya arti bagi siswa dan dapat diteliti oleh siswa. Jadi, bukan persoalan yang sangat abstrak dan tinggi sehingga siswa tidak dapat menyelesaikan. Bila terakhir ini yang terjadi, maka siswa akan bosan dan tidak termotivasi untuk belajar lebih lanjut, (b) informasi tentang latar belakang menjadi penting: buku, bacaan, yang diperlukan, (c) material: alat-alat yang diperlukan perlu disediakan, sehingga siswa tidak bingung mencari, (d) pertanyan pengarah: perlu disiapkan guru agar siswa terfokus, (e) hipotesis siswa perlu dilihat oleh guru dan dimengerti maksudnya oleh siswa lain, (f) dataperlu dikumpulkan dengan baik oleh siswa, (g) pengambilan kesimpulan perlu diperhatikan apakah logis atau tidak, tepat atau tidak. Siswa perlu dibantu untuk dapat mengambil kesimpulan bagi diri mereka sendiri, (h) LKS (Lembar Kerja Siswa) dapat disiapkan untuk membantu siswa dalam proses inkuiri, sehingga proses berjalan dengan efektif dan efisien.

2.3 Empat Pilar Pendidikan

Menghadapi abad ke-21, UNESCO melalui “The International Commission on Education for the Twenty first Century" yang dipimpin oleh Jacques Delors merekomendasikan pendidikan yang berkelanjutan (seumur hidup) yang dilaksanakan berdasarkan empat pilar proses pembelajaran, yaitu:

2.3.1 Learning to do ( Belajar untuk upaya mencari jawaban ).

Pendidikan merupakan proses belajar untuk melakukan sesuatu (learning to do). Proses belajar menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif, peningkatan kompetensi, serta pemilihan dan penerimaan nilai. Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh untuk terampil berbuat atau


(30)

mengerjakan sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan. Learning to do bisa berjalan jika lembaga pendidikan memfasilitasi peserta didik untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan, namun tumbuh berkembangnya tergantung pada lingkungannya. Dewasa ini keterampilan bisa digunakan menopang kehidupan seseorang, bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seseorang (Rahbini, 2007). Pada pembelajaran fisika melalui proses learning to do diharapkan memberi kesempatan kepada siswa memiliki keterampilan dan mendorong siswa supaya mampu belajar fisika dalam bentuk doing sciences. Doing sciences adalah proses yang sesuai dengan metode ilmiah yang banyak digunakan oleh para ahli fisika dalam menemukan hukum ataupun teori fisika yang baru. Proses doing sciences mencakup langkah sebagai berikut : (1) mengerti gejala yang ada, (2) mengajukan pertanyaan mengapa gejala itu terjadi, (3) membuat hipotesis untuk menjawab persoalan yang diajukan atau menjelaskan alasannya, (4) merencanakan suatu eksperimen dan melakukan eksperimen untuk menguji hipotesis, (5) menarik kesimpulan apakah hipotesisnya benar atau tidak berdasarkan eksperimen yang dilakukan. Tentu proses pembelajaran fisika yang lengkap akan menggunakan semua langkah yang ada dalam doing sciences di atas (Suparno, 2007:49 ).

2.3.2 Learning to know (Belajar untuk menguasai pengetahuan).

Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha untuk mencari agar mengetahui informasi yang dibutuhkan dan berguna bagi kehidupan. Belajar untuk mengetahui (learning to know) dalam prosesnya tidak sekedar mengetahui apa yang bermakna tetapi juga sekaligus mengetahui apa yang tidak bermanfaat bagi kehidupan. Guna merealisir


(31)

learning to know, pendidik seyogyanya tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi melainkan juga fasilitator. Di samping itu pendidik dituntut dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan peserta didik dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu (Rahbini, 2007).

2.3.3 Learningto live together (Belajar untuk hidup bermasyarakat).

Dengan kemampuan yang dimiliki, sebagai hasil dari proses pendidikan, dapat dijadikan sebagai bekal untuk mampu berperan dalam lingkungan di mana individu tersebut berada, sekaligus mampu menempatkan diri sesuai dengan perannya. Pemahaman tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat (learning to live together) (Rahbini, 2007).

2.3.4 Learningto be (Belajar untuk menjadi).

Penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dihasilkan dari proses pembelajaran sains dapat membentuk siswa menjadi seorang saintis (learning to be as a scientist). Sesuai dengan karakteristik sains yang mencakup proses, produk, dan sikap, maka empat pilar dapat dijabarkan dalam pembelajaran fisika yang mampu memfasilitasi siswa untuk belajar menemukan jawaban dari suatu masalah yang berbentuk produk sains (learning to know) melalui proses inkuiri ilmiah (learning to do) yang dilakukan secara kolaboratif (learning to live together), sehingga diharapkan siswa menjadi terbiasa melakukan kerja ilmiah seperti yang biasa dilakukan oleh ilmuwan.

2.4. Kegiatan Laboratorium

Praktikum adalah istilah yang biasa digunakan di Indonesia untuk menunjukkan kegiatan yang dikerjakan di laboratorium, namun secara eksplisit di dalam kurikulum digunakan istilah kegiatan laboratorium. Untuk menunjukkan hal yang sama, literatur AS biasa menggunakan istilah kerja laboratorium (Laboratory work), sedangkan literatur Inggris


(32)

dan negara-negara yang berafiliasi dengannya biasa menggunakan istilah kerja praktik

(practical work).

Sebetulnya penggunaan istilah praktikum atau kegiatan laboratorium tidak menjadi masalah, tetapi selama ini praktikum yang diselenggarakan di sekolah kecenderungannya siswa melakukan praktikum untuk membuktikan konsep atau hukum-hukum alam yang telah dijelaskan sebelumnya di kelas. Atau dengan kata lain, selama ini praktikum merupakan kegiatan praktek yang dilakukan setelah teori diberikan. Padahal di dalam kurikulum, praktikum diselenggarakan tidak hanya sekedar untuk itu, namun lebih dari itu praktikum dianjurkan memfasilitasi siswa untuk menemukan konsep sendiri. Oleh karena itu dengan harapan praktikum dapat diselenggarakan untuk lebih mengembangkan potensi siswa, maka selanjutnya mungkin lebih baik digunakan istilah kegiatan laboratorium.

Ditinjau dari metode penyelenggaraannya, kegiatan laboratorium dapat dibedakan menjadi dua, yaitu demonstrasi dan percobaan. Demonstrasi adalah proses menunjukkan sesuatu (proses atau kegiatan) kepada orang lain atau kelompok lain. Dalam metode demonstrasi, proses kegiatan laboratorium biasanya dilakukan di depan kelas oleh guru (dapat dibantu oleh beberapa siswa) atau oleh sekelompok siswa, sedangkan siswa yang lain hanya memperhatikan tanpa terlibat langsung dalam kegiatan itu. Pecobaan atau eksperimen adalah proses memecahkan masalah melalui kegiatan manipulasi variabel dan pengamatan atau pengukuran. Dalam percobaan, proses kegiatan dilakukan oleh semua siswa. Percobaam biasanya dilakukan secara kelompok yang terdiri dari beberapa siswa tergantung pada jenis percobaannya dan alat-alat laboratorium yang tersedia di sekolah. Jumlah siswa untuk kelompok yang ideal adalah dua atau tiga anak.

Penyelenggaraan kegiatan laboratorium dapat dilakukan secara terintegrasi oleh pembelajaran teori atau materi pokok, namun dapat juga dilakukan secara terpisah dengan pembelajaran teori. Bila alat-alat laboratorium dan sumber daya lainnya yang diperlukan jumlahnya memadai, kegiatan laboratorium akan lebih baik bila dilakukan secara terintegrasi. Sebaliknya, bila jumlah peralatan dan sumber daya lainnya tidak memadai, kegiatan


(33)

laboratoriun dapat dilakukan secara terpisah dengan materi pokok, sebaiknya diselenggarakan mendahului penyampaian materi.

Kegiatan laboratorium, baik dalam bentuk demonstrasi maupun percobaan, dapat dibedakan menjadi kegiatan laboratorium yang bersifat verifikatif atau deduktif dan kegiatan laboratoriun inkuiri atau induktif. Kegiatan laboratorium verifikatif adalah rangkaian kegiatan pengamatan atau pengukuran, pengolahan data, dan penarikan kesimpulan yang bertujuan untuk membuktikan konsep yang sudah dibelajarkan atau diberitahukan terlebih dahulu. Sebagai contoh, pada suatu kegiatan pembelajaran seorang guru mengambil sebatang lilin dan meletakannya di atas meja. Kemudian ia berkata “Anak-anak, saya akan menunjukkan pada kalian perbedaan antara perubahan fisika dan kima yang telah kalian pelajari.” Untuk itu ia menyalakan lilin dan membiarkan lilin yang terbakar meleleh ke dasar lilin. Sambil mengarahkan ke lilin ia berkata ”Pada proses pembakaran tersebut, sebagian lilin meleleh dan menjadi padat kembali, perubahan itu termasuk perubahan fisika. Selain itu, pada pembakaran tersebut ada sebagian lilin yang terbakar berubah menjadi gas karbondioksida dan air, perubahan itu termasuk perubahan kimia.”

Berbeda dengan kegiatan laboratorium verifikatif, dalam kegiatan laboratorium inkuiri lingkungan belajar dipersiapkan untuk memfasilitasi agar proses pembelajaran bepusat pada siswa dan untuk memberikan bimbingan secukupnya dalam rangka menjamin keberhasilan siswa dalam proses penemuan konsep ilmiah. Bimbingan itu diberikan dalam bentuk pertanyaan, dan biasanya diawali dengan pertanyaan yang sangat divergen, yaitu pertanyaan yang kemungkinan banyak jawaban yang membutuhkan pertimbangan kreatif dan ktitis. Apabila siswa mengalami kesulitan, maka pertanyaan divergen itu dapat disusul dengan pertanyaan yang lebih konvergen, yaitu pertanyaan yang jumlah kemungkinan jawaban yang terbatas dan langsung mengarah ke jawaban atau kesimpulan. Selanjutnya, kehati-hatian perlu dilakukan oleh guru ketika menggunakan pertanyaan konvergen yang hanya memerlukan jawaban ”ya” atau ”tidak”. Bentuk pertanyaan itu dapat membatasi siswa untuk berfikir kritis kalau jawaban ya atau tidak tersebut disampaikan tanpa memerlukan


(34)

proses berfikir yang mendalam, kecuali bila untuk dapat menjawab ya atau tidak siswa harus melakukan serangkaian proses berfikir yang disertai dengan pengamatan atau tindakan.

Contoh pembelajaran konsep perubahan fisika dan kimia dengan kegiatan laboratorium verifikatif tadi bila disampaikan menggunakan srategi inkuiri dapat di kemas dalam skenario sebagai berikut. Setelah guru meletakkan lilin diatas meja demonstrasi, guru melontarkan pertanyaan, ”Apakah yang akan saya lakukan dengan lilin dan korek api ini?” Jawaban (yang diharapkan) dari siswa, misal ”Bagian lilin yang terbakar akan meleleh,”guru dapat melanjutkan dengan pertanyaan ”Apa yang akan terjadi jika kita menancapkan sepotong benang ke dalam lelehan lilin itu kemudian menyalakannya?” Setelah siswa melakukan pengamatan, guru melontarkan pertanyaan ” Mengapa benang di dalam lelehan itu juga dapat menyala seperti di dalam lilin aslinya?” Begitu seterusnya pertnyaan-pertanyaan yang menggiring dilontarkan berdasarkan respon siswa sampai siswa memperoleh kesimpulan bahwa lelehan lilin yang sudah memadat itu masih memiliki sifat yang sama dengan asalnya. Apabila siswa sudah berhasil memperoleh kesimpulan tersebut berarti siswa sudah menemukan konsep perubahan fisika, dan tugas guru selanjutnya adalah memperkenalkan istilah ”Perubahan Fisika”.

Untuk membimbing siswa agar menemukan konsep perubahan kimia, kepada siswa dapat dilontarkan pertanyaan ”Bagaimanakah massa lilin mula-mula di bandingkan jumlah massa lilin yang tersisa dan lelehannya?” Bertolak dari jawaban siswa, misalnya ”massa tidak sama,” guru melontarkan pertanyaan ”Bagaimana cara kalian menguji perkiraan itu?” Setelah siswa melakukan kegiatan menimbang dan menunjukkan data yang diperolehnya, guru melanjutkan dengan pertanyaan ”Mengapa massa lilin mula-mula berbeda dengan massa lilin yang tersisa dan lelehannya?” Begitu seterusnya pertanyaan-pertanyaan membimbing dilontarkan hingga siswa memperoleh konsep perubahan kimia.

Menurut Lawson seperti dikutip oleh Wiyanto (2008:32), pertanyaan-pertanyaan membimbing dalam kegiatan laboratorium inkuiri tersebut dikemas sehingga memungkinkan siswa mengerjakan proses ilmiah seperti yang biasa dilakukan oleh ilmuan. Proses tersebut


(35)

meliputi: mengeksplorasi gejala dan merumuskan masalah, mengusulkan penjelasan sementara (hipotesis), mendesain dan melaksanakan cara pengujian hipotesis, mengorganisasikan dan menganalisis data yang diperoleh, merumuskan kesimpulan. Jadi tugas guru dalam kegiatan laboratorium inkuiri adalah sebagai fasilitator dan penanya. Dalam kegiatan demonstrasi biasanya pertanyaan membimbing itu disampaikan secara lisan, sedangkan dalam kegiatan eksperimen biasanya pertanyaan itu disampaikan secara tertulis dalam bentuk lembar kegiatan siswa.

Selanjutnya akan dibahas pengertian hipotesis dan masalah, pengujian hipotesis, penarikan kesimpulan, dan saling keterkaitannya. Hipotesis adalah suatu proposisi yang diusulkan sebagai penjelasan suatu gejala yang teramati. Hipotesis diusulkan orang untuk menjelaskan suatu masalah yang dihadapinya. Penjelasan itu masih merupakan terkaan atau dugaan cerdas yang dirumuskan berdasarkan informasi atau pengalaman yang dimilikinya, tetapi tidak semua dugaan itu hipotesis. Misalnya, seorang anak mencicipi sebuah apel yang warnanya hijau rasanya masam. Setelah mencicipi apel hijau kedua, ketiga, dan keempat yang rasanya juga masam, anak itu menduga bahwa semua apel yang berwarna hijau rasanya masam. Walaupun belum mencicipinya ia menduga bahwa apel berikutnya (kelima) yang berwarna rasanya juga masam. Apakah dugaan bahwa ”Semua apel hijau rasanya masam” termasuk hipotesis? Bukan, dugaan tersebut merupakan generalisasi, yaitu pernyataan umum yang ditarik dari pengalaman atau informasi khusus. Proses berfikir dalam menarik generalisasi itu disebut induksi. Apakah dugaan bahwa ”Apel hijau berikutnya rasanya masam” merupakan hipotesis? Jawabnya juga bukan, dugaan itu merupakan prediksi yang diperoleh melalui deduksi seperti berikut:”Semua apel hijau rasanya masam. Apel berikutnya ini berwarna hijau, sehingga rasanya juga masam.”

Menurut Lawson seperti dikutip oleh Wiyanto (2008:33), hipotesis tidak diciptakan melalui proses induksi maupun deduksi, melainkan melaui proses yang dalam istilah filsafat disebut abduksi (abduction) atau dalam istilah psikologi disebut penalaran analog (analogical reasoning) atau transfer analog (analogical transfer), yaitu proses memanfaatkan atau


(36)

meminjam pengetahuan atau gagasan yang telah dimiliki dan telah berhasil untuk menjelaskan suatu masalah. Sebagai contoh, pengetahuan anak tentang molekul-molekul gula membuat masakan atau permen menjadi manis digunakan untuk menyusun hipotesis yang dinyatakan sebagai berikut: ”Apel hijau rasanya masam karena kekurangan molekul-molekul gula.” hipotesis tersebut diusulkan untuk menjelaskan atau menjawab pertanyaan ”Mengapa apel hijau rasanya masam?”

Trowbidge et al seperti dikutip oleh Wiyanto (2008:33), menyatakan pertanyaan yang jawabannya merupakan hipotesis sering disebut pertanyaan hipotetik. Kemampuan dalam mengidentifikasi dan membuat pertanyaan hipotetik merupakan kebutuhan yang harus dikuasai oleh guru agar dapat menyelenggarakan pembelajaran inkuiri. Berkaitan dengan contoh pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan dalam pembelajaran inkuiri tentang perubahan fisika dan kimia tadi yang termasuk pertanyaan hipotetik adalah ”Mengapa massa lilin mula-mula berbeda dengan jumlah massa lilin yang tersisa dan lelehannya?”

Setelah hipotesis dirumuskan, langkah berikutnya adalah merancang percobaan untuk menguji hipotesis. Dalam proses merancang percobaan, hipotesis dideduksikan sehingga diperoleh satu atau beberapa hasil yang diharapkan sebagai konsekuensi dari proses deduksi itu. Hasil yang diharapkan itu sering disebut prediksi, tetapi prediksi ini berbeda dengan jenis prediksi (tentang apel hijau) yang merupakan hasil ekstrapolasi kejadian masa lalu ke kejadian mendatang.

Untuk memberikan dorongan tentang proses berfikir dalam merancang percobaan, kita kembali ke hipotesis tentang ikan salmon. Bila hipotesis yang menyatakan bahwa ”ikan salmon menggunakan indera penglihatannya untuk menemukan jalan kembali ke tempat kelahirannya” itu benar, maka sebagai konsekuensi logisnya dapat diprediksi bahwa ikan salmon yang matanya ditutup tidak akan berhasil menuju ketempat kelahirannya, sedangkan ikan yang matanya tidak ditutup akan berhasil. Oleh karena itu, untuk menguji hipotesis tadi dirancang percobaan menggunakan dua kelompok ikan, satu kelompok ditutup matanya dan kelompok lainnya tidak ditutup. Hubungan antara hipotesis, rancangan percobaan, dan


(37)

prediksi dapat dinyatakan dalam pola berfikir jika...(hipotesis) dan....(rancangan percobaan) maka....(prediksi). Dalam rancangan percobaan tersebut hanya satu variable bebas, yaitu penglihatan, yang divariasikan. Variabel lain yang diperkirakan berpengaruh, seperti penciuman dan kemapuan mendeteksi medan magnet, dibuat tetap (variabel kontrol). Dengan demikian, bila kemampuan kedua ikan (variabel terikat atau variabel tergantung) ternyata bebeda, misal hanya kelompok ikan salmon yang tidak ditutup matanya yang berhasil, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan itu memang disebabkan oleh variabel penglihatan, bukan oleh variabel lainnya. Percobaan seperti ini disebut variabel terkontrol.

Ada kemungkinan ketidakmampuan ikan salmon mencapai tujuan bukan karena matanya ditutup, melainkan karena ketidakmampuannya berenang dalam keadaan matanya tertutup atau merasa tertekan ketika mata ditutup. Permasalahan semacam ini harus diupayakan agar tidak muncul, tetapi biasanya tidak sepenuhnya dieliminasi. Konsekuensinya, hasil percobaan tidak dapat diinterpretasikan sebagai hipotesis ”terbukti” mendapatkan dukungan” atau ”tidak mendapat dukungan”.

Sebaliknya, bila kedua kelompok ikan salmon sama-sama berhasil mencapai tujuan, maka hipotesis yang yang menyatakan bahwa ”ikan salmon menggunakan indera penglihatannya untuk menemukan jalan kembali ke tempat kelahirannya ”tidak mendapatkan dukungan” karenanya, kita perlu menguji hipotesis lainnya. Setelah semua hipotesis diuji, dalam kasus ikan salmon tadi diajukan tiga hipotesis, dapat diperoleh beberapa kemungkinan, antara lain: (1) ketiga hipotesis tidak ada mendapat dukungan, (2) hipotesis 1 mendapat dukungan, (3) hipotesis 2 mendapat dukungan, (4) hipotesis 3 mendapat dukungan, (5) hipotesis 1 dan 2 mendapat dukungan, (6) hipotesis 1 dan 3 mendapat dukungan, (7) hipotesis 2 dan 3 mendapat dukungan, (8) ketiga hipotesis mendapat dukungan. Proses berfikir untuk membuat semua kemungkinan kombinasi hipotesis semacam itu dalam istilah psikologi disebut berfikir kombinasi (combinatorial thiking).

Pertanyaan sekarang, apakah pada suatu percobaan dapat dipastikan bahwa semua variabel yang diperkirakan berpengaruh telah diidentifikasi? Menurut Lawson seperti dikutip


(38)

oleh Wiyanto (2008:35), tidak ada satu orang pun yang dapat memastikan bahwa semua variabel yang relevan telah diidentifikasi atau dikontrol. Oleh karena itu, semua kesimpulan ilmiah, apakah mendapat dukungan atau tidak, bersifat tentatif.

Laboratorium dalam pembelajaran sains memiliki peran penting. Peran tersebut diantaranya, yang pertama, adalah sebagai wahana untuk mengembangkan keterampilan dasar mengamati atau mengukur (menggunakan alat ukur yang sesuai) dan keterampilan-keterampilan proses lainnya, seperti mencatat data, membuat tabel, membuat grafik, menganalisis data, menarik kesimpulan, berkomunikasi, bekerjasama dalam tim. Kedua, laboratorium juga dapat dijadikan sebagai wahana untuk membuktikan konsep atau hukum-hukum alam sehingga dapat lebih memperjelas konsep yang telah dibahas sebelumnya. Ketiga, laboratorium dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan berfikir melalui proses pemecahan masalah dalam rangka siswa menemukan konsep sendiri. Peran yang paling tinggi tingkatannya dibandingkan peran-peran yang lainnya adalah peran ketiga, yaitu laboratorium untuk mengembangkan kemampuan berfikir, karena hal itu berarti laboratorium telah dijadikan sabagai wahana untuk learning how to learn.

Menurut Lazarowitz & Tamir seperti dikutip oleh Wiyanto (2008:36), ada lima faktor yang memfasilitasi keberhasilan pengajaran laboratorium sains, yaitu : kurikulum, sumber daya, lingkungan belajar, keefektifan mengajar, dan strategi asesmen.

Kurikulum. Kurikulum dapat diidentifikasikan menjadi tiga fase. Pertama adalah kurikulum yang diharapkan (intended curriculum), yang ditunjukkan pada tujuan kurikulum itu. Kedua adalah kurikulum yang dipahami (perceived curriculum),yang direfleksikan oleh pandangan guru dan siswa. Ketiga adalah kurikulum yang diimplementasikan (implemented curriculum), yang tercermin dalam proses mengajar, belajar, dan lingkungan belajar. Dinamika kurikulum yang diimplementasikan sangat bergantung pada bahan-bahan kurikulum yang tersedia. Demikian juga pelaksanaan kegiatan laboratorium sangat bergantung pada bahan-bahan kurikulum, seperti misalnya (a) petunjuk laboratorium yang terdiri dari beberapa percobaan, baik yang terintegrasi maupun tak terintegrasi dengan


(39)

kegiatan non laboratorium, (b) lembar kerja, (c) buku teks yang memuat percobaan laboratorium. Kurikulum yang berorientasi pada inkuirimengalokasikan waktu pada kegiatan laboratorium secara efektif. Oleh karena itu, dalam merencanakan kegiatan laboratorium harus dipertimbangkan alokasi waktu dan urutannya (sequence). Ada dua pendekatan

sequence dalam kegiatan laboratorium, yaitu pendekatan inkuiri dan verifikasi. Berdasarkan hasil-hasil penelitian, kegiatan laboratorium yang direkomendasikan adalah pendekatan inkuiri terbimbing (guided inquiry), seperti misalnya model siklus belajar (learning cycle).

Sumber Daya. Sumber daya, mencakup bahan dan peralatan, ruang dan perabot, asisten dan tenaga laboran serta teknisi. Ketersediaan sumber daya tersebut secara memadai jelas akan menunjang keberhasilan pelaksanaan kegiatan laboratorium berbasis inkuiri. Sebaliknya, keterbatasan alat dan bahan serta tidak adanya tenaga laboran sering menjadi alasan bagi guru untuk tidak melakukan kegiatan laboratorium.

Lingkungan Belajar. Keberhasilan belajar terkait dengan lingkungan tempat kegiatan belajar itu terselenggara. Dibandingkan dengan kegiatan belajar di kelas, kegiatan di laboratorium bersifat kurang formal, siswa bebas untuk mengamati, berbuat dan berinteraksi secara individual maupun kelompok. Akan lebih baik bila kerja laboratorium dilaksanakan secara kooperatif, sehingga siswa mendapat kesempatan bekerja sama dan saliang membantu dalam kelompok (learning to live together). Interaksi dalam kelompok kerja ini akan menunjang penguasaan konsep ilmiah dan keterampilan inkuiri. Kelompok kerja semacam itu merupakan duplikasi dari kelompok ilmuwan yang bekerja dalam tim penelitian. Jadi jika diinginkan sains untuk semua, maka belajar kooperatif dalam laboratorium dapat menjadi wahana untuk mencapainya.

Keefektifan Mengajar. Sikap, pengetahuan, keterampilan, dan perilaku guru dapat mempengaruhi keberhasilan dalam pencapaian tujuan belajar di laboratorium. Mengajar di laboratorium memerlukan penguasaan keterampilan proses ilmiah (metode ilmiah) dan pengetahuan materi subyek, serta memerlukan pengetahuan khusus tentang iklim di kelas dan cara mengelolanya. Guru menganggap inkuiri sulit dan memakan waktu, dan tujuan inkuiri


(40)

belum sesuai dengan filosofi pribadinya. Banyak yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pembelajaran di laboratorium antara lain dengan meningkatkan pembelajaran sains di perguruan tinggi. Hasil penelitian dan studi evaluasi menunjukkan beberapa kelemahan dan ketidaksesuaian kerja laboratorium seperti yang dipraktekkan di sekolah. Dalam kebanyakan kasus, kegiatan laboratorium cenderung diarahkan untuk mengkonfirmasi materi yang sudah dipelajari dalam pembelajaran ekspositori. Siswa biasanya mengikuti resep untuk mencapai kesimpulan yang telah ditentukan sebelumnya. Konsekuensinya, tuntutan kognitif dari kegiatan laboratorium semacam itu cenderung rendah. Bahkan dijumpai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa banyak guru yang menghindari kegiatan laboratorium, terutama di kelas dengan siswa berkemampuan rendah. Walaupun ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar di laboratorium, faktor tunggal yang memiliki dampak terkuat adalah guru.

Strategi Asesmen. Belajar di laboratorium merupakan pengalaman unik dan melibatkan kemampuan manual maupun intelektual, bahkan kemampuan sosial. Karenanya, ukuran keberhasilannya juga berbeda dengan kegiatan nonpraktik di kelas. Menurut Lazarowitz & Tamir seperti dikutip oleh Wiyanto (2008:39), ketika obyek yang dipelajari diperlihatkan kepada siswa, ternyata tes performance menunjukkan sebagai alat ukur yang lebih valid untuk mengukur keterampilan proses maupun penalaran logis, dibandingkan dengan menggunakan paper-pencil test.

2.5 Kompetensi Bekerja Ilmiah

Standar Kompetensi bekerja ilmiah mempunyai 4 kompetensi dasar yaitu: merencanakan kegiatan penelitian, melaksanakan, mengkomunikasikan dan bersikap ilmiah.

Merencanakan kegiatan penelitian. Kegiatan ini dapat dibuktikan dengan kemampuan siswa membuat perencanaan penelitian sederhana antara lain menetapkan dan merumuskan tujuan penelitian, langkah kerja, hipotesis, variabel dan instrumen yang tepat untuk tujuan pendidikan. Adapun indikator merencanakan kegiatan penelitian ilmiah antara lain: (1) menentukan tujuan penelitian, (2) menyusun hipotesis, (3) menentukan variabel


(41)

(bebas atau terkendali), (4) menyusun alat dan bahan, (5) menentukan langkah kerja, (6) menetapkan cara memperoleh data, (7) menetapkan cara menganalisis data, (8) memprediksi.

Melaksanakan Penelitian Ilmiah. Kegiatan ini dapat dibuktikan dengan kemampuan siswa dalam melaksanakan langkah-langkah kerja ilmiah yang teroganisir dan menarik kesimpulan terhadap hasil temuannya. Adapun indikator dari melaksanakan penelitian ilmiah adalah: (1) mengidentifikasi masalah-masalah nyata yang perlu diteliti yang berkaitan dengan fisika, (2) mengidentifikasi metode penelitian yang khusus untuk bidang fisika, (3) menyiapkan peralatan atau instrumen yang sesuai untuk penelitian ilmiah; (4) menerapkan teknis atau proses pengumpulan data, (5) menggunakan alat ukur secara teliti dan benar, (6) mengolah data sesuai jenisnya atau sesuai keperluan; (7) mengidentifikasi teknologi yang relevan untuk penelitian fisika, (8) mengenal keterbatasan dan kelebihan teknologi yang dipakai, (9) menganalisis data, (10) menyimpulkan hasil penelitian, (11) merekomendasikan tindak lanjut dari hasil penelitian.

Mengkomunikasikan Hasil Penelitian ilmiah. Kompetensi mengkomunikasikan hasil penelitian ilmiah dapat dilakukan dengan menyajikan hasil penelitian dan kajiannya dengan berbagai cara kepada berbagai kelompok sasaran untuk berbagai tujuan. Adapun indikator kompetensi mengkomunikasikan hasil penelitian ilmiah adalah : (1) menginformasikan rasional penelitian ilmiah, (2) mengkomunikasikan masalah penelitian secara jelas dalam laporan, (3) menspesifikasi variabel yang diteliti, (4) mengkomunikasikan prosedur perolehan data, (5) mengkomunikasikan cara mengolah dan menganalisis data yang sesuai untuk menjawab masalah penelitian, (6) menyajikan hasil pengolahan data dalam bentuk tabel, grafik, diagram alur atau flowchart dan peta konsep, (7) menggunakan media yang sesuai dalam penyajian hasil pengolahan data, menjelaskan data baik secara verbal dan non verbal, (8) mengkomunikasikan kesimpulan dan temuan penelitian, (9) menyajikan model hubungan dengan simbol dan standar intemasioaal dengan benar, (10) menyajikan pola hubungan dan peta konsep yang dianalisis, (11) mendeskripsikan kecenderungan hubungan, pola, dan keterkaitan variabel, (12) menggunakan bahasa, simbol dan peristilahan


(42)

yang sesuai untuk bidang fisika.

Bersikap Ilmiah. Kompetensi ini dapat ditunjukan dengan mengembangkan sikap ilmiah antara lain: keingintahuan, berani dan santun, kepedulian lingkungan, berpendapat secara ilmiah dan kritis, bekerjasama, jujur dan tekun. Adapun indikator bersikap ilmiah adalah sebagai berikut: (1) membedakan fakta dan opini, (2) berani dan santun dalam mengajukan pertanyaan dan berargumentasi, (3) mengembangkan keingintahuan, (4) memiliki kepedulian terhadap lingkungan, (5) melakukan kegiatan yang menunjukkan kepedulian lingkungan, (6) berpendapat secara ilmiah dan kritis, (7) berani mengusulkan perbaikan atas suatu kondisi dan bertanggung jawab terhadap usulannya, (8) bekerjasama dalam kelompok, (9) bersikap jujur terhadap temuan data atau fakta, (10) tekun. ( Depdiknas, 2003b:7)

2.6 Kerangka Berpikir

Penelitian ini menggunakan dua macam variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah variabel yang nilainya dapat dimanipulasi dan disesuaikan dengan kebutuhan. Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat pembelajaran berupa lembar kerja siswa petunjuk praktikum inkuiri yang jumlahnya ada tiga. Variabel terikat adalah variabel yang nilainya terpengaruh oleh variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah hasil penilaian lembar kerja siswa yang sudah dikelompokkan sesuai dengan standar kompetensi bekerja ilmiah dan disesuaikan dengan empat pilar pendidikan. Inkuiri dapat diartikan sebagai proses yang ditempuh manusia untuk mendapatkan informasi atau untuk memecahkan suatu permasalahan. pembelajaran inkuiri didefinisikan sebagai pembelajaran yang mempersiapkan situasi bagi anak untuk melakukan eksperimen sendiri, dalam arti luas ingin melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, ingin menggunakan simbol-simbol dan mencari jawaban atas pertanyaan sendiri, menghubungkan penemuan yang satu dengan penemuan yang lain, membandingkan yang ditemukan sendiri dengan yang ditemukan orang lain.


(43)

Penulis berharap dengan menggunakan petunjuk praktikum berupa lembar kerja siswa inkuiri yang dilakukan berulang dan berkesinambungan, subyek akan tumbuh kebiasaannya dalam melakukan kerja ilmiah.

2.7 Hipotesis Penelitian

Laboratorium fisika dapat digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan pembelajaran. Melalui kegiatan laboratorium berwawasan inkuiri, siswa diajak untuk menemukan konsep dengan melakukan proses mentalnya sendiri. Proses mental tersebut termasuk proses sains atau proses kerja ilmiah yang meliputi merencanakan, melaksanakan, mengkomunikasikan dan bersikap ilmiah. Berdasarkan hal tersebut hipotesis penelitian ini adalah penggunaan kegiatan laboratorium inkuiri berbasis empat pilar pendidikan dapat menumbuhkan kompetensi bekerja ilmiah pada siswa.


(44)

29

METODE PENELITIAN

3.1 Subyek dan Lokasi Penelitian

Subyek penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 4 Semarang kelas X-9 tahun pelajaran 2007/2008 yang berjumlah 36 siswa dan dibagi menjadi 5 kelompok. Penelitian ini dilaksanakan di kelas dan di laboratorium fisika SMA Negeri 4 Semarang. Pemilihan subyek dan lokasi penelitian ini dengan pertimbangan SMA Negeri 4 Semarang letaknya berbatasan dengan kabupaten Semarang, sehingga populasi siswanya cukup heterogen dengan kemampuan akademik di atas rata-rata, hal ini dapat diketahui dari jumlah nilai ebtanas murni (NEM) siswa yang diterima di SMA Negeri 4 Semarang. Selain alasan tersebut SMA Negeri 4 Semarang mempunyai sarana dan prasarana pendidikan yang cukup memadai, dalam hal ini mempunyai laboratorium fisika yang memenuhi syarat, sehingga memungkinkan untuk diadakan pembelajaran dengan kegiatan laboratorium secara inkuiri.

3.2 Desain Penelitian

Penelitian ini dititikberatkan pada pembiasaan bekerja ilmiah melalui kegiatan laboratorium inkuiri berbasis empat pilar pendidikan. Kegiatan laboratorium berbasis empat pilar pendidikan menitikberatkan pada kegiatan atau bekerja ilmiah ( learning to do ) untuk menemukan konsep sendiri ( learning to know ) yang dilakukan secara berkelompok (

learning to live together ) kemudian diharapkan kegiatan itu menjadi kebiasaan ( learning to be ). Dengan demikian keterampilan atau kemampuan yang dikembangkan adalah kemampuan bekerja ilmiah yang terkait dengan ke empat pilar pendidikan. Penelitian ini menggunakan prosedur penelitian dan pengembangan ( R&D) dengan membagi dalam beberapa tahap penting seperti gambar 3.1 di bawah ini.


(45)

Gambar 3. 1

Skema desain penelitian yang dilaksanakan

3.2.1 Analisis Kebutuhan

Analisis Kebutuhan merupakan langkah awal yang harus dilakukan dalam kegiatan penelitian di bidang pengembangan. Analisis tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kebutuhan apa saja yang diperlukan guna mengatasi masalah yang ditemui dalam kegiatan pendidikan atau pembelajaran. Dengan demikian diharapkan produk yang dihasilkan benar-benar produk yang sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan pada hakekatnya merupakan

Identifikasi

Kompetensi Bekerja Ilmiah yang dikembangkan

Perencanaan

LKS Inkuiri Terbimbing Berbasis

LKS Perangkat

Uji Coba Pada Pakar (Dr Wiyanto M Si )

Uji Coba Pada Siswa (Kelompok Kecil) Uji Coba Pada Siswa

(Kelompok Besar) Observasi

Kompetensi Dasar Bekerja Ilmiah

Model Pengembangan Kegiatan Laboratorium Inkuiri Terbimbing Berbasis Empat Pilar PendidikanUntuk

Analisis Kebutuhan


(46)

kesenjangan antara keadaan yang seharusnya dengan kenyataan yang ada.

Analisis kebutuhan diawali dengan menganalisis secara teoritis kebutuhan siswa sesuai dengan tingkat perkembangan berpikirnya, yaitu dengan mengacu teori perkembangan Piaget. Menurut Piaget seperti dikutip oleh Wiyanto (2008:16), mulai usia sekitar 11 tahun anak sudah mulai mampu berpikir hypothetical deductive, yaitu berpikir yang berawal dari suatu kemungkinan, maka pembelajaran di SMP diharapkan dapat memfasilitasi terjadinya pergeseran tingkat berpikir ke arah itu dengan mulai melatih mengembangkan inferensi logika jika ... dan ... maka ... yang berawal dari kemungkinan-kemungkinan (hipotesis). Di tingkat SMA, kemampuan-kemampuan tersebut perlu terus dikembangkan sehingga dapat menjadi kebiasaan dalam pemecahan masalah.

3.2.2 Identifikasi kompetensi bekerja ilmiah yang akan dikembangkan

Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menekankan pembelajaran fisika dilaksanakan secara inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta berkomunikasi sebagai salah satu aspek penting kecakapan hidup (Depdiknas, 2006:443). Karena KTSP pada prinsipnya merupakan penyempurnaan kurikulum 2004 yang pelaksanaannya diserahkan pada satuan pendidikan yang bersangkutan, dan kompetensi bekerja ilmiah tidak dirinci pada KTSP, maka rincian kompetensi bekerja ilmiah diambil dari kurikulum 2004. Kurikulum 2004 terdiri atas kerangka dasar, standar bahan kajian dan standar kompetensi tiap mata pelajaran. Standar kompetensi bahan kajian sains yang diambil dalam penelitian ini adalah kompetensi dasar kerja ilmiah. Kompetensi yang dapat dikembangkan pada kerja ilmiah adalah sebagai berikut : (a) merencanakan penelitian ilmiah. Siswa mampu membuat perencanaan penelitian sederhana antara lain menetapkan dan merumuskan tujuan penelitian, langkah kerja, hipotesis, variabel dan instrumen yang tepat untuk tujuan pendidikan, (b) melaksanakan penelitian ilmiah. Siswa mampu melaksanakan langkah-langkah kerja ilmiah yang terorganisir dan menarik kesimpulan terhadap hasil temuannya, (c) mengkomunikasikan hasil penelitian ilmiah. Siswa mampu menyajikan hasil penelitian dan kajiannya dengan berbagai cara kepada berbagai


(47)

kelompok sasaran untuk berbagai tujuan, (d) bersikap ilmiah. Siswa mengembangkan sikap ilmiah antara lain keingintahuan, berani dan santun, kepedulian lingkungan, berpendapat secara ilmiah dan kritis, bekerjasama, jujur dan tekun (Depdiknas,2003b:3).

3.2.3 Perencanaan

Berdasar dari analisis kebutuhan dan identifikasi kompetensi bekerja ilmiah, mulailah dibuat perencanaan dengan mengidentifikasi masalah dan solusi alternatif yang dapat dijadikan masukan dalam merancang kegiatan laboratorium inkuiri berbasis empat pilar pendidikan untuk menumbuhkan kebiasaan bekerja ilmiah. Perencanaan tersebut meliputi merencanakan pembuatan instrumen penelitian. Instrumen pada penelitian ini terdiri dari perangkat pembelajaran dan perangkat evaluasi. Yang berfungsi sebagai instrumen perangkat pembelajaran adalah lembar kerja siswa (LKS). Dalam penelitian ini dibuat 3 (tiga) LKS inkuiri dengan materi pemantulan cahaya pada cermin cekung, pemantulan cahaya pada cermin cembung dan pembiasan cahaya pada lensa cembung ( lampiran 5-7 ). Yang berfungsi sebagai instrumen perangkat evaluasi adalah soal tes kognitif bentuk essay ( lampiran 13-15 ), lembar observasi kegiatan laboratorium (lampiran 24), lembar observasi kegiatan diskusi ( lampiran 28 ) dan format penilaian lembar kerja siswa (lampiran 9). Dalam penelitian ini LKS berfungsi ganda yaitu sebagai perangkat pembelajaran dan sebagai perangkat evaluasi, karena dengan LKS ini guru bisa melakukan kegiatan pembelajaran sekaligus melakukan evaluasi.

Pada tahap ini disusun produk berupa perangkat lembar kerja siswa kegiatan laboratorium inkuiri materi cermin cekung, cermin cembung dan lensa cembung yang bertujuan mengembangkan kompetensi bekerja ilmiah yang sesuai dengan empat pilar pendidikan.

Hasil belajar yang sesuai dengan pilar learning to do, yaitu kemampuan : (a) mengeksplorasi dan merumuskan masalah. Kegiatan siswa yang diamati adalah mengidentifikasi masalah-masalah nyata yang perlu diteliti yang berkaitan dengan fisika, (b) mengusulkan hipotesis. Kegiatan siswa yang diamati adalah menyusun hipotesis, (c)


(48)

mendesain dan melaksanakan cara pengujian hipotesis. Kegiatan siswa yang diamati adalah menentukan variabel, menyusun alat dan bahan, menentukan langkah kerja, menetapkan cara memperoleh data, memprediksi, mengidentifikasi metode, menyiapkan peralatan, menggunakan alat ukur dan menerapkan teknik pengumpulan data, (d) mengorganisasikan dan menganalisis data. Kegiatan siswa yang diamati adalah menetapkan cara menganalisis data, mengolah data sesuai keperluan dan menganalisis data, (e) merumuskan kesimpulan dan mengkomunikasikannya. Kegiatan siswa yang diamati adalah menyimpulkan hasil penelitian dan mengkomunikasikan kesimpulan dari kegiatan yang dilakukan. Hasil kegiatan ini diungkap berdasarkan respon siswa dengan menggunakan format penilaian lembar kerja siswa (LKS).

Hasil belajar yang sesuai dengan pilar learning to know, yaitu penguasaan konsep, prinsip, teori, atau hukum. Kemampuan pada pilar ini diungkap menggunakan soal tes kognitif tertulis bentuk essay dan format penilaian laporan praktikum.

Hasil belajar yang sesuai dengan pilar learning to live together, yaitu sikap dalam berinteraksi dengan sesama, hasil kegiatan ini diungkap dengan menggunakan lembar observasi kegiatan laboratorium dan lembar observasi kegiatan diskusi. Kegiatan siswa yang diamati adalah bekerja sama dalam kelompok.

Hasil belajar yang sesuai dengan pilar learning to be diungkap dengan memberikan permasalahan yang mencakup tiga pilar (learning to do, learning to know, learning to live together) secara berkala yaitu melalui pemberian lembar kerja siwa sebanyak tiga kali. Ini dilakukan untuk mengetahui apakah siswa sudah memiliki kebiasaan (habit) bekerja ilmiah.

3.2.4 Uji Coba Instrumen

Produk instrumen berupa perangkat pembelajaran dan perangkat evaluasi yang sudah dibuat pada langkah sebelumnya harus dievaluasi dengan cara diujicobakan. Ujicoba ini dimaksudkan untuk memperoleh masukan-masukan maupun koreksi tentang produk yang telah dihasilkan. Berdasarkan masukan-masukan dan koreksi, produk instrumen yang sudah


(49)

dihasilkan tersebut direvisi. Ada tiga kelompok penting yang perlu dijadikan subyek ujicoba produk penelitian pengembangan yaitu: pakar, kelompok kecil siswa dan siswa pada kelompok besar yang sifatnya lebih heterogen.

a. Uji pada pakar (Expert Judgement)

Kepada pakar yang ditunjuk pada penelitian ini yaitu Dr. Wiyanto, M.Si. dimohon untuk mencermati produk instrumen yang telah dihasilkan. Untuk instrumen yang berbentuk lembar kerja siswa (LKS), yaitu LKS pertama tentang pemantulan cahaya pada cermin cekung, pakar banyak memberikan masukan tentang tata bahasa dan istilah-istilah yang memang harus diperkenalkan kepada siswa. Masukan tersebut antara lain kolom yang memuat istilah ”pertanyaan” dan ”jawaban” diganti dengan ”kegiatan” dan ”respon”. Hal ini dilakukan karena hampir semua item pernyataan yang tercantum pada LKS harus dikerjakan dengan melakukan kegiatan bukan cuma jawaban tertulis semata. Selain itu pakar juga menyarankan untuk memperhitungkan banyaknya langkah atau item pada LKS harus mencukupi standar waktu yang disediakan yaitu 2 x 45 menit. Pakar juga memberikan masukan tentang pemilihan kata operasional yang tepat sehingga muncul keinginan siswa untuk menemukan pengetahuan atau konsep, contohnya ”Buatlah grafik hubungan antara jarak benda dengan jarak bayangan” diganti dengan ”Bagaimana bentuk grafik hubungan antara jarak benda dengan jarak bayangan”. Penggantian ini dimaksudkan supaya siswa untuk bisa tahu bentuk grafiknya pasti siswa akan menggambar grafiknya terlebih dahulu, jadi siswa tertantang untuk mengetahui bentuk grafiknya. Selain masukan di atas pakar juga menyarankan untuk tidak memunculkan persamaan yang menghubungkan antara jarak benda, jarak bayangan dan jarak fokus ( 1/f = 1/s + 1/s ). Menurut pendapat Pakar dalam LKS ini justru siswa diarahkan untuk bisa menemukan persamaan ini dengan dibantu oleh analisis matematik dari grafik 1/s dan 1/s′ dengan menggunakan persamaan garis y + x = k. Untuk itu Pakar menyarankan agar analisis matematik ini disertakan dalam langkah-langkah kegiatan lembar kerja siswa. Untuk instrumen perangkat evaluasi tes kognitif bentuk essay pakar tidak banyak memberi masukan yang berarti. Masukan yang diberikan oleh Pakar


(50)

adalah penilaian hasil tes kognitif bentuk essay ini memperhatikan tingkat kesulitan soal, sehingga tiap nomor dimungkinkan skornya berbeda. Berdasarkan masukan-masukan dari pakar produk instrumen yang telah dihasilkan direvisi.

b. Ujicoba Pada Siswa (Kelompok Kecil)

Untuk instrumen yang berbentuk lembar kerja siswa (LKS), uji coba dilakukan setelah produk lembar kerja siswa yang dihasilkan diuji oleh pakar dan telah mengalami revisi di beberapa bagian. Atas petunjuk pakar lembar kerja siswa yang diujicobakan adalah LKS pertama tentang pemantulan cahaya pada cermin cekung. Uji coba dilakukan pada 5 siswa kelas X-6 secara individual dan secara kelompok (kelompok kecil). Kelas X-6 adalah kelas yang tidak digunakan untuk penelitian dan pemilihan 5 siswa ini merupakan masukan dari guru fisika yang mengampu kelas tersebut. Lima siswa tersebut terdiri dari 1 orang perwakilan kelompok atas, 2 orang perwakilan kelompok menengah dan 2 orang perwakilan kelompok bawah. Hasil ujicoba yang dilakukan terhadap 5 siswa ini menyatakan bahwa hampir semua kegiatan dapat dilakukan dengan baik oleh siswa, artinya tidak ada kesulitan siswa dalam melakukan kegiatan atau memberikan respons.

Sebagian besar siswa menjawab pertanyaan tanpa menyebutkan satuan yang baku pada kolom respons. Siswa dapat membuat tabel hubungan antara variabel dengan baik tapi ketika dituangkan dalam grafik, skala pada grafik kurang sesuai. Pada ujicoba ini sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam menggambar grafik, baik grafik hubungan antara jarak benda (s) dengan jarak bayangan (s) juga grafik hubungan antara 1/jarak benda (1/s) dengan 1/jarak bayangan (1/s) hal ini dapat dilihat dari hasil menggambar grafik yang kurang sesuai dengan yang diharapkan. Dari ujicoba kepada kelompok kecil ini LKS kemudian direvisi dengan meminimalisasi kekurangan dengan menyeragamkan penggunaan satuan standar dan penggunaan kertas berpetak agar pembuatan grafik dapat sesuai dengan skala yang diharapkan.


(51)

dikonsultasikan kembali kepada pakar agar pola LKS lain yang akan mengikutinya dapat diminimalkan kekurangannya. Masukan dari pakar setelah ujicoba kelompok kecil ini adalah, pertanyaan pada LKS masih tergolong panjang sehingga dimungkinkan waktu pelaksanakan kegiatan laboratorium tidak cukup. Dengan memperhatikan masukan dari pakar maka dilakukan penyederhanaan di beberapa bagian yang dianggap masih memungkinkan untuk dilakukan penyederhanaan, sehingga LKS siap dicobakan pada kelompok besar.

Untuk uji coba instrumen perangkat evaluasi yaitu soal tes kognitif bentuk essay yang digunakan untuk mengungkap penguasaan konsep diujicobakan di kelas X-8 yang berisi 37 siswa. Kelas ini tidak digunakan untuk penelitian sehingga tidak akan mempengaruhi hasil penelitian. Soal tes kognitif bentuk essay yang diujicobakan adalah soal tes ke-1 yang berisi materi yang sesuai dengan LKS pertama, yaitu pemantulan cahaya pada cermin cekung. Ujicoba dilakukan untuk menganalisis validitas, releabilitas dan tingkat kesukaran butir soal (lampiran 1). Dari hasil uji validitas ternyata 10 soal yang ada cukup valid, ini dapat dilihat dalam lampiran 2. Untuk uji reliabilitas, dari 10 soal yang diujikan didapatkan nilai Alpha = 0,7772 ( lampiran 3 ). Hasil dari uji tingkat kesukaran butir soal ( lampiran 4 ) ternyata dari soal no.1 sampai dengan soal no.10 masuk kategori soal yang sedang. Berdasarkan hasil uji validitas, reliabilitas dan uji tingkat kesukaran butir soal, maka soal tes kognitif bentuk essay yang terdiri dari 10 nomor soal memenuhi syarat untuk digunakan sebagai instrumen dan tidak perlu diadakan revisi. Untuk selanjutnya soal tes kognitif bentuk essay ini siap dicobakan pada kelas yang digunakan penelitian.

c. Ujicoba Pada Siswa (Kelompok Besar)

Hasil produk instrumen perangkat pembelajaran yang berupa lembar kerja siswa (LKS) dan instrumen perangkat evaluasi berupa soal tes kognitif bentuk essay yang telah diujicobakan pada kelompok kecil dan sudah mengalami revisi, selanjutnya dicobakan pada kelas eksperimen yaitu kelas X-9 yang terdiri dari 36 siswa yang terbagi menjadi 5 kelompok (setiap kelompok rata-rata 7 siswa). Yang dicobakan untuk pertama kali adalah LKS dan soal


(52)

tes kognitif bentuk essay yang ke-1 dengan materi pemantulan cahaya pada cermin cekung. Selama melaksanakan kegiatan laboratorium semua proses diamati, apakah dengan produk LKS dan soal tes kognitif yang dihasilkan dapat memaksimalkan kompetensi bekerja ilmiah siswa melalui kegiatan laboratorium. Dari hasil pengamatan dan evaluasi (ada di BAB IV) kemudian diidentifikasi kelemahan-kelemahan yang masih mungkin terdapat dalam LKS dan tes kognitif yang ke-1 ini. Kelemahan yang ditemui pada proses uji coba akhir (kegiatan laboratorium ke-1) ini adalah pelaksanaannya memerlukan waktu yang cukup lama. Untuk mengatasi hal ini maka kegiatan yang sifatnya melakukan pengulangan pada LKS yang ke-1 ini akan dihilangkan pada LKS yang ke-2 dan ke-3 dengan harapan tidak memakan waktu yang lama untuk pelaksanaan kegiatan laboratoriumnya. Untuk dua lembar kerja siswa berikutnya mengikuti pola dari LKS pertama tetapi dengan jumlah kegiatan yang lebih sedikit. Jika pada LKS yang ke-1 memuat 31 kegiatan (lampiran 5), maka pada LKS yang ke-2 hanya memuat 23 kegiatan (lampiran 6) dan memuat 21 kegiatan untuk LKS yang ke-3 (lampiran 7). Untuk soal tes kognitif ke-1 (lampiran 11), tes kognitif ke-2 (lampiran 12) dan tes kognitif ke-3 (lampiran 13) tidak banyak mengalami revisi. Masukan-masukan dari hasil ujicoba lapangan inilah yang menjadi dasar terakhir bagi perbaikan dan penyempurnaan produk untuk mengembangkan model kegiatan laboratorium inkuiri terbimbing berbasis empat pilar pendidikan untuk menumbuhkan kebiasaan bekerja ilmiah.

3. 3. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data 3.3.1 Pengumpulan Data

a. Lembar Kerja Siswa

Kegiatan yang terdapat pada tiga Lembar Kerja Siswa (LKS) yaitu materi pemantulan cahaya (cermin cekung dan cermin cembung) dan pembiasan cahaya (lensa cembung), digunakan untuk mengungkap kemampuan bekerja ilmiah yang sesuai dengan pilar learning to do (lampiran 8-10).


(53)

Instrumen untuk evaluasi berupa tes tertulis berbentuk essay untuk mengungkap penguasaan konsep yang sesuai dengan pilar learning to know. . Materi tes tertulis ini terkait dengan pokok bahasan yang dipraktikumkan. Tes tertulis ini dilaksanakan setelah kegiatan praktikum berakhir (lampiran 11-13).

c. Laporan praktikum

Kegiatan yang harus dilakukan oleh setiap siswa setelah melakukan kegiatan laboratorium adalah membuat laporan praktikum. Dari laporan praktikum dapat diketahui sejauh mana kompetensi berkomunikasi ilmiah dapat dikuasai siswa. Pengamatan untuk mengungkap kompetensi yang sesuai dengan pilar learning to know (lampiran 17-19).

d. Lembar Pengamatan Kegiatan Laboratorium

Selama berlangsungnya kegiatan laboratorium dilakukan pengamatan dengan lembar pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan tujuan untuk mengungkap kemampuan bekerja sama yang sesuai dengan pilar learning to live together (lampiran 20-22).

e. Lembar Pengamatan Kegiatan Diskusi

Selama proses diskusi berlangsung diamati dengan menggunakan lembar pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan tujuan untuk mengungkap kemampuan bekerja sama yang sesuai dengan pilar learning to live together (lampiran 23-25).

3.3.2 Teknik Pengolahan Data

Data dari setiap pilar dianalisis kemudian dibuat grafik skor rata-rata dari setiap kegiatan untuk tiap-tiap pilar. Sedangkan untuk kompetensi bekerja ilmiah, grafik dibuat untuk masing-masing indikator kompetensi dasar bekerja ilmiah.


(1)

Uji LKS Pada Siswa ( Kelompok Kecil )

Kegiatan Praktikum


(2)

(3)

(4)

Kegiatan Praktikum Berkelompok

Kegiatan Laboratorium

Ke-1

Praktikum Ke-1


(5)

Kegiatan Laboratorium Ke-2

Praktikum Ke-2


(6)

Kegiatan Laboratorium Ke-3

Praktikum Ke-3