Adaptasi Pada Tempat dan Praktisi Aikidou 1. Adaptasi Pada Tempat Latihan

BAB III ADAPTASI AIKIDOU DI INDONESIA 3.1. Adaptasi Pada Tempat dan Praktisi Aikidou 3.1.1. Adaptasi Pada Tempat Latihan Dahulu maupun sekarang makhluk hidup membutuhkan beberapa hal untuk dapat bertahan hidup dan berkembang; beberapa hal tersebut dapat terbagi dalam bermacam aspek seperti makanan dan minuman, pasangan hidup, materi, tempat tinggal dan lainnya. Hal tersebut saling terikat satu dengan yang lainnya dan hingga sekarang aspek-aspek ini tidak dapat dipisahkan dari makhluk hidup baik manusia, flora dan fauna. Salah satu aspek pentingnya adalah tempat untuk bernaung. Tempat menurut kamus kontemporer bahasa Indonesia 2002: 1578 adalah ruang, bidang, rumah dan sebagainya yang khusus disediakan untuk melakukan sesuatu. Seperti yang sudah kita ketahui, manusia yang hidup pada zaman dahulu memanfaatkan keadaan sekitarnya untuk bertahan hidup begitu juga dengan tempat bernaung Universitas Sumatera Utara seperti pemanfaatan goa, pohon-pohon besar dan seiring dengan evolusi dan jumlah yang semakin banyak maka mereka mulai membangun tempat tinggal yang permanen untuk ditempati. Dengan perkembangan zaman dan berjalan waktu, keadaan juga berubah. Masuknya kebudayaan dari luar membawa perubahan yang cukup banyak, misalnya saat zaman Heian di Jepang dimana ajaran konfusius menjadi patokan dalam masyarakat saat itu. Sastra, pendidikan dan tidak ketinggalan bentuk bangunan dari tempat tinggal juga ikut berubah. Hal ini tidak dapat disangkal, kebudayaan yang datang dari luar dapat memberi pengaruh yang cukup besar pada Jepang dan masyarakatnya, yang mana hingga sekarang menjadi ciri khas bangsa Jepang salah satunya seperti nilai bushidou yang kita ketahui saat ini. Ienaga Saburo dalam Situmorang 2009: 2-4 mengatakan bahwa kebudayaan itu terbagi dalam arti luas dan arti sempit yang dalam pengertian luas adalah seluruh cara hidup manusia dengan kata lain adalah segala sesuatu yang bersifat konkrit yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya, sedangkan dalam arti sempit adalah yang terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Kemudian hubungan dari kebudayaan yang bersifat semiotikabstrak atau yang bersifat ideologi dengan kebudayaan yang bersifat konkrit adalah berada dalam satu lapisan sturktur. Kebudayaan dalam arti konkrit berada dalam struktur luar dan budaya yang bersifat semiotik berada dalam struktur dalam. Oleh karena itu apa bila 2 buah kebudayaan berinteraksi, maka struktur luarlah yang paling pertama dan dapat diterima oleh masyarakat sedangkan struktur dalam budaya merupakan hal yang paling sulit diterima. Universitas Sumatera Utara Keadaan seperti inilah yang menyebabkan terjadinya adaptasi terhadap suatu budaya dengan budaya lain, pencampuran antara 2 budaya menciptakan suatu budaya dan kebiasaan yang baru dan lambat laun menjadi hal yang lumrah. Hal ini berlaku sama dengan aikidou. Seperti yang sudah dijelaskan dibab terdahulu bahwa aikidou merupakan suatu paket lengkap yang bukan hanya berisi ilmu beladiri tetapi juga berisikan filosofi dari bushidou dan pemikiran dari pendirinya serta kebiasaan dan aturan yang diterapkan juga segala hal yang berhubungan dengan aikidoutersebut, yang mana tentu saja tidak semua dapat diterima oleh masyarakat lokal. Seperti yang dikatakan oleh Ienaga, bagian yang paling mudah diterima oleh masyarakat terhadap budaya asing adalah faktor luarnya. Faktor luar tersebut seperti gerakannya, pakaian khusus yang harus digunakan saat latihan, tempat dan kondisi latihan. Sedangkan ideologi yang terdapat dalam aikidou masih sulit diterima dalam masyarakat lokal yang tidak sepaham dengan ideologi tersebut. Dalam bagian ini, penulis ingin memberikan gambaran mengenai aspek aikido yang dapat diterima oleh masyarakat dan penulis khususkan kepada tempat dimana biasanya kegiatan aikidou dilakukan. Setiap perguruan beladiri di manapun, pasti memerlukan tempat berlatih. Apakah beladiri tersebut bersifat tradisional atau diajarkan di kalangan tertentu, keluarga misalnya, maupun modern yang bisa dipelajari masyarakat umum. Tempat berlatih tersebut bervariasi dari segi ukuran. Luas tempat dan perlengkapan disesuaikan menurut keperluan masing-masing pengguna atau pemilik tempat latihan. Dari yang sangat tradisional, berupa bangunan sederhana Universitas Sumatera Utara yang bisa digunakan oleh empat hingga enam orang, hingga sebuah bangunan besar yang mampu menampung ratusan orang. Tempat berlatih beladiri ini di Indonesia dinamakan padepokan, sementara di Jepang bernama dojo, sedangkan di China disebut dao chang dan di Korea dinamakan dojang. Apapun namanya yang jelas wahana latihan ini awalnya merupakan tempat para ahli beladiri menempa diri, baik secara fisik, mental maupun spiritual. Tempat tersebut dibuat sedemikian rupa agar bersuasana sakral. Sehingga usai latihan, dapat diteruskan dengan kegiatan peribadatan. Lazimnya, setiap tempat latihan memiliki tata cara dan tradisi yang khas. Penataan ruang dalam interior seringkali dirancang sesuai kepentingan pemilik. Tempo dulu,banyak ahli beladiri menjadikan tempat tinggalnya sekaligus sebagai tempat latihan. Arsitektur tempat latihan sangat beragam. Umumnya selalu ada ruang utama untuk latihan dan ada tempat khusus untukmenyimpan panji-panji dan tanda kebesaran perguruan. Jika berupa ruangan, di ruang itu juga dijadikan tempat untuk melakukan kegiatan ibadah, meditasi atau perenungan . Elemen yang ada dalam sebuah tempat latihantradisional umumnya berupa pintu, gapura atau gerbang yang di bagian atas dipasang tanda atautulisan identitas perguruan. Di Jepang, fungsi gerbang ini sangat penting, karena penampilan sebuah gerbang menunjukkan peringkat atau kelas sebuah perguruan. Abad 17 hingga 19, ukuran papan nama sebuah perguruan ditentukan akreditasinya olehpemerintah Jepang. Sementara di China, papan nama perguruan Universitas Sumatera Utara adalah harga diri sehingga jika papan nama ini dirusak oleh orang lain merupakan penghinaan besar. Elemen lainnya adalah penghubung ke masalalu, yaitu berupa barang- barang peninggalan pendiri perguruan, antara lain gambar, foto, dokumen, buku, peta, silsilah, lambang-lambang perguruan dan lainnya lagi. Semua barang berharga itudisimpan dan ditata dengan baik sehingga para penerus atau murid dapat mengingat para sesepuh dan diharapkan dapat memelihara rasa hormat kepada pendahulu. Di Aikikai Hombu Dojo yangmerupakan dojo modern, benda-benda peninggalan O-Sensei sang pendiri tetap disimpan dan dirawat. Saat ini tempat latihan beladiri sudah banyak mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Sekarang yang namanya padepokan, dojo, dao chang, dojang sudah dilengkapi denganfasilitas modern. Bahkan di Amerika dan Eropa sudah umum jika sebuah tempat latihan beladiri memiliki fasilitas tambahan berupa ruang kebugaran, kolam renang dan tempat mandi uapspa. Dojoaikidou yang ada di Indonesia, bentuk dan kondisinya tidak semuanya seperti yang ada di Jepang tapi ada beberapa daerah cabang yang bentuk bangunan dan kondisi tempat latihannya dibangun hampir sama dengan yang ada di Jepang yang bertujuan untuk memberikan suasana yang mendukung dalam melakukan aktifitas aikidou. Dojo Kyoto yang berlokasi dikawasan wisata Cibubur merupakan salah satu contoh tempat latihan aikidou yang mana tempat latihannya dapat dikatakan memberikan kondisi yang sangat mendukung, sambil berlatih para aikidouka dapat mengistirahatkan tubuh dan jiwa bila selesai berlatih. Dojo ini juga dapat dialihfungsikan menjadi gedung Universitas Sumatera Utara serba guna yang digunakan atau disewakan untuk kegiatan keagamaan, pernikahan, shooting film dan lain-lain. Lain lagi dengan dojo aikidou yang berlokasi di Surabaya Sidoarjo. Dojoaikidounya berada didalam Sport Club Komplek Perumahan Puri Surya Jaya. Ruang yang dimanfaatkan adalah ruang aerobik, yang kira-kira dapat menampung sekitar 15-20 aikidouka. Tidak ada benda-benda yang menunjukkan identitas aikidou seperti shodou kaligrafi Jepang, lambang dojo, gambar dari sang pendiri aikidou sehingga kita tidak akan tahu bila itu adalah dojo aikidou bila tidak langsung melihatnya. Bisa dikatakan dojo-dojo yang berlokasi diluar Jepang khususnya yang berada di Indonesia, tidak semuanya menampilkan identitas dojo aikidou. Hal tersebut disebabkan karena beberapa faktor seperti keterbatasan waktu, biaya, tempat yang tidak memadaiserta faktor lainnya yang mungkin muncul. Memang tidak semuanya dojo di Indonesia seperti itu, di dojo cabang pusat Jakarta kondisinya hampir mendekati seperti di Hombu Dojo utama di Jepang Tokyo. Secara memang harus menampilkan seperti aslinya berhubung karena merupakan perwakilan resmi aikidou langsung dari Jepang. Meskipun begitu tapi menurut penulis sendiri; dimana atau sebagus apapun dojo tempat kita berlatih asal kita memang mempunyai niat untuk betul- betul menekuni apa yang ingin kita pelajari dan menghormati serta menghargai aturan-aturan yang berlaku dalam dojo tempat kita berlatih maka hasil yang didapatpun akan maksimal. Universitas Sumatera Utara

3.1.2. Adaptasi Terhadap Praktisi Aikidou

Seperti yang sudah pernah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa aikidou muncul pada sekitar abad ke 9 dipertengahan zaman Heian kemudian dikembangkan lagi oleh Ueshiba Morihei pencipta aikidou hingga menjadi bentuknya yang sekarang. Pada waktu itu, aikidou memang belum terlalu dikenal oleh masyarakat berhubung aikidou masihdiajarkan secara tertutup dan diam-diam dalam lingkungan istana, para praktisinya juga hanya antara tuan yang waktu itu adalah Minamoto Genji Yoshimitsu dan para pelayan serta pembantunya saja. Berdasarkan sejarah yang tertulis diatas, maka dapat dikatakan bahwa aikidou hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja dan tidak disebarluaskan, diwariskan secara rahasia dari generasi kegenerasidiantara anggota keluarga, elit militer dan pasukan khusus pengawal anggota kerajaan Heckler 1985: 8. Ini terus berlanjut hingga zaman Edo dan diajarkan kepada Sokaku Takeda 1859-1943. Tidak lama setelah itu, Sokaku bertemu dengan Morihei pada tahun 1915 dan itu terjadi setelah Restorasi Meiji berakhir dengan kata lain sistem pembagian golongan pada masyarakat juga berakhir sehingga aikidou dapat dipelajari oleh semua golongan masyarakat tanpa harus memandang tinggi rendahnya status yang ada. Mereka bertemu di penginapan yang berada di Engaru, mempunyai latar belakang yang sama yaitu sama-sama menyukai dan mendalami ilmu beladiri namun Morihei masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Sokaku. Oleh sebab itu, Morihei tinggal dipenginapan tersebut selama sebulan dengan maksud untuk Universitas Sumatera Utara mempelajari aikidou dari Sokaku dan mendapat mokuroku dari Sokaku Heckler 1985: 11. 合気道 aikidou mulai berkembang pesat setelah itu, zaman dimana pedang tidak lagi digunakan saat itu. Morihei membuka dojo dan menerimasemua murid yang mempunyai keinginan untuk mempelajari aikidou tanpa terkecuali. Morihei tidak saja mengajarkan beladiri kepada para muridnya tetapi juga mengajarkan filosofi bushidou dengan menyampaikannya melalui pandangannya sendiri dan juga menyampaikan pikiran-pikirannya mengenai kehidupan yang berdamai dengan seluruh hal. Seiring dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi di Jepang, aikidou juga terus berkembang melebihi dari apa yang diharapkan oleh Morihei. Selain itu, aikidou juga menarik minat para masyarakat asing yang saat itu berada di Jepang. Orang-orang asing ini kemudian mempelajarinya dan setelah berhasil mendapatkan mokuro dari doshu maka aikidou tersebut dibawa kembali oleh kenegara asal mereka yang salah satunya adalah Indonesia. Bila di Jepang, aikidou awalnya diajarkan secara rahasia dan hanya orang-orang tertentu yang dapat mendalaminya maka di Indonesia berbeda lagi. Di Indonesia memang tidak seperti di Jepang yang pada waktu itu masih menggunakan kelas kasta dalam masyarakat sehingga praktisi yang mengetahui aikidou menjadi terbatas. 合気道 aikidou di Indonesia awalnya diajarkan oleh pelajar yang telah kembali dari Jepang yang tidak lain adalah Bapak Jozef P. pendiri aikidou di Indonesia dan dipelajari oleh para pelajar lain yang saat itu merasa tertarik sekaligus terheran-heran melihat demonstrasi aikidou yang Universitas Sumatera Utara dipertontonkan. Demonstrasinya berlangsung secara terbuka, bertempat diwisma pelajar pada waktu itu dan secara otomatis menarik perhatian para pelajar yang sedang berada disitu. Tidak lama berselang setelah itu, dengan kerjasama antara Bapak Jozef dengan rekan sesama praktisi maka terbentuklah yayasan aikidou yang pertama kalinya di Indonesia. Dengan terbentuknya yayasan ini, aikidou menjadi lebih berkembang juga karena pembicaraan dari mulut kemulut secara tidak langsung membantu perkembangan aikidou di Indonesia. Seiring dengan perkembangan yang terjadi, semakin banyak juga masyarakat yang ingin memepelajari aikidou. Pendaftaran dibuka dan menerima calon aikidouka dengan segala latar belakang yang ada, untuk anak-anak usia yang dijinkan berkisar mulai dari umur 5-6 tahun dan untuk kategori dewasa umur sama sekali tidak dibatasi asal sehat jasamai dan rohani dan mampu melakukan gerakan-gerakan aikidou yang nantinya akan diajarkan oleh para sensei. Praktisi aikidou yang ada sekarang ini merupakan hasil dari proses perjalanan sejarah panjang, dengan kata lain orang-orang yang mendalami aikidou terdahulu adalah orang-orang yang bisa dikatakan hanyalah orang dengan golongan tertentu saja, tapi hal ini tidak selamanya karena biar bagaimanapun proses perubahan akan terjadi secara alami, diinginkan ataupun tidak diinginkan sama sekali. Elias dalam Sutrisno dan Hendar 2005:129 mengatakan, perubahan dalam tataran individual mencerminkan dan memungkinkan perubahan dalam tataran budaya dalam masyarakat. Individu, budaya dan masyarakat berhubungan Universitas Sumatera Utara satu sama lain secara kompleks, selalu berubah dan melibatkan ketergantungan yang saling mempengaruhi. Dengan demikan, pergolakan yang terjadi ketika restorasi Meiji dicetuskan menyebabkan perubahan terhadap status golongan yang ada dalam masyarakat Jepang yaitu dihapuskannya sistem kelas pada masyarakat. Tidak ada lagi kelas kesatria, kelas pedagang, petani bahkan yang paling rendah sekalipun yang disebut kaum eta; yang ada hanya satu yaitu masyarakat Jepang yang semua derajatnya sama. Praktisi aikidou yang dulunya hanya berisikan golongan kelas atas kini telah bergeser, sekarang semua tingkatan masyarakat dapat dengan leluasa mempelajari aikidou. Di Indonesia, aikidouka tidak dihambat oleh peraturan-peraturan seperti di Jepang tapi tidak dapat disangkal juga bahwa menurut sejarah Indonesia, Indonesia juga pernah menetapkan sistem kasta pada saat beberapa abad sebelum masehi dimana agama Hindu menjadi agama satu- satunya yang ada pada waktu itu dan sama seperti yang terjadi di Jepang sistem kasta inipun dihapuskan. Sejak saat itu siapapun dapat mempelajari aikidou tanpa dihalangi oleh kelas status dalam masyarakat. Aikidouka Jepang dan aikidouka Indonesia dapat dibilang sama dalam sistem kelas atau kasta bila di Indonesia namun juga berbeda soal budaya, namun satu hal yang pasti adalah para aikidouka ini sama-sama murni menyukai dan menghargai serta menghormati ilmu beladiri dan dipraktekkan dengan cara yang positif.

3.2. Adaptasi Yang Terjadi Terhadap Teknik dan Gerakannya