Analisis Adaptasi Upacara Minum Teh (Chanoyu) Di Indonesia = Indonesia No Chanoyu No Tekiou No Bunseki

(1)

ANALISIS ADAPTASI UPACARA MINUM TEH ( CHANOYU ) DI INDONESIA

INDONESIA NO CHANOYU NO TEKIOU NO BUNSEKI

Skripsi

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh :

Anna Desy Yulianti G. NIM : 040708052

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ANALISIS ADAPTASI UPACARA MINUM TEH ( CHANOYU ) DI INDONESIA

INDONESIA NO CHANOYU NO TEKIOU NO BUNSEKI

Skripsi

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Drs. Nandi S. Prof. Drs. Hamzon Situmorang, MS.,Ph.D NIP : 131763366 NIP : 131422712

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Disetujui oleh :

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Departemen Sastra Jepang Ketua Departemen,

Prof. Drs. Hamzon Situmorang, MS.,Ph.D NIP : 131422712


(4)

PENGESAHAN Diterima Oleh

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Pada :

Tanggal :

Hari :

FAKULTAS SASTRA Dekan,

Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D NIP : 131 284 310

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. Pro f. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D 2. Drs. Nandi S.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan karunia-Nya yang telah menyertai penulis, hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul “ ANALISIS ADAPTASI UPACARA MINUM TEH ( CHANOYU ) DI INDONESIA “.

Dalam skripsi ini, penulis membahas hal-hal yang berhubungan dengan adaptasi dalam upacara minum teh di Indonesia. Namun karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis serta bahan literatur, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Maka dari itu, penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini.

Penulis juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan selesai tidak akan selesai tanpa bantuan dan dorongan dari semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini. Maka sepantasnyalah penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, yang telah membantu penulis dalam menyediakan sarana dan fasilitas belajar selama masa perkuliahan.

2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara dan juga selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini.


(6)

3. Bapak Drs. Nandi S., selaku pembimbing penulis yang juga telah meluangkan banyak waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh staf pengajar di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, khususnya staf pengajar di Jurusan Sastra Jepang.

5. Kedua orang tua penulis, Bapak B. Samosir dan Ibu M. Manik buat segala curahan kasih sayang dan keasabaran yang selalu diberikan kepada penulis, serta abang ( Roy, Doni ) dan adik ( Sri Paulina ) terkasih, yang telah dengan setia menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Semua teman-teman selama masa perkuliahan penulis, khususnya kepada

Widya, Silvia, Edith dan semua teman angkatan 2004 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

7. Teman kosan yang selalu mendukung penulis.

8. Semua pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Atas semua dukungan yang diberikan, penulis ucapkan terima kasih. Semoga Tuhan YME membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca yang ingin menambah pengetahuan tentang teh.

Penulis

Anna Desy Y.G.


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... ii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang...1

1.2. Perumusan Masalah...4

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan...5

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori... .5

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian...10

1.6. Metode Penelitian...10

BAB II TINJAUAN UMUM SEJARAH TEH DAN UPACARA MINUM TEH DI JEPANG...12

2.1. Tinjauan Umum Minum Teh...12

2.2. Sejarah Perkembangan Teh...15

2.3. Jenis-jenis dan Manfaat Teh...18

2.4. Tata Cara dan Aturan dalam Upacara Minum Teh...22

2.5. Peralatan Chanoyu di Jepang...25

2.6. Teori Adaptasi Budaya...30

BAB III ANALISIS ADAPTASI UPACARA MINUM TEH ( CHANOYU ) DI INDONESIA...32


(8)

3.2. Adaptasi dalam Peralatan yang digunakan...35

3.3. Adaptasi Tempat Pelaksanaan...37

3.4. Adaptasi dalam Tata Cara dan Aturan...38

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN...41

4.1. Kesimpulan...41

4.2. Saran………..42

LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jepang merupakan salah satu negara yang mempunyai bermacam-macam kebudayaan. Meskipun peradaban Jepang kuno sebagian dibangun diatas budaya-budaya yang diperkenalkan dari daratan Asia, selama 1000 tahun terakhir bangsa Jepang telah menyerap unsur-unsur budaya ini dan menciptakannya kembali menjadi budaya Jepang sendiri. ( http://id.wikipedia.org )

Sepanjang sejarahnya, Jepang telah menyerap banyak gagasan dari negara-negara lain, diantaranya adalah teknologi, adat-istiadat, dan bentuk-bentuk pengungkapan kebudayaan lainnya. Jepang telah mengembangkan kebudayannya yang unik sambil mengintegrasikan masukan-masukan dari luar itu. Kita dapat melihat bahwa gaya hidup orang Jepang dewasa ini merupakan perpaduan budaya tradisional dibawah pengaruh Asia dan budaya modern barat.

Dengan melihat fakta di atas, maka tidak heran kalau bangsa Jepang terkenal sebagai bangsa ” peniru ”. Namun demikian, sebagian besar dari hasil ” tiruan ” mereka jauh lebih bagus dan berkualitas, sehingga menjadi bagian dari mereka. Bangsa Jepang juga sangat bangga akan hasil karya mereka. Mereka bangga menggunakan karya cipta dan keanekaragaman kebudayaan mereka. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kebudayaan dari Jepang yang telah mendunia.

Keanekaragaman kebudayaan pada bangsa Jepang, dapat kita lihat dari kegiatan-kegiatan religi dan cara hidup masyarakatnya. Banyak hal yang mempengaruhi keanekaragaman kebudayaan bangsa Jepang. Di antaranya iklim


(10)

dan bentang alam yang indah. Kedua hal tersebut memainkan peran besar dalam pembentukan kebudayaan Jepang yang unik. Pegunungannya yang tertutup dengan pohon-pohon yang hijau, dataran rendahnya yang semerbak oleh kebun-kebun bunga, kesemuanya ini telah mempengaruhi seni dan segala aspek kehidupan. Seni merangkai bunga, upacara minum teh, persajakan, kimono, dan sebagainya, dikembangkan selaras dengan perubahan musim.

Dari sekian banyak kebudayaan tersebut, upacara minum teh atau yang sekarang kita kenal dengan sebutan Chanoyu, terus berkembang sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang. Upacara minum teh bukan sekedar kegiatan yang dilangsungkan dengan tuan rumah sebagai penjamu, dan tamu sebagai orang yang dijamu. Tetapi lebih ke tata cara yang diatur sedemikian halus dan teliti untuk menghidangkan dan meminum teh. Teh yang digunakan pun, bukan teh yang biasa. Upacara minum teh di Jepang menggunakan teh hijau yang telah digiling halus disebut dengan matcha.

Kebiasaan minum teh telah menjadi semacam “ritus” dikalangan masyarakat Jepang dan China. Bahkan hingga kini upacara minum teh di tengah masyarakat Jepang merupakan suatu hal yang sakral. Di China, budaya minum teh sudah dikenal sejak 3000 tahun sebelum Masehi, pada zaman Kaisar Shen Nung berkuasa.

(http://gicdepok.wordpress.com).

Upacara minum teh memiliki sejarah dan tradisi yang panjang di Jepang. Seringkali sejarah upacara ini dikaitkan dengan orang-orang yang dianggap berpengaruh seperti para rohaniwan. Dengan adanya keterkaitan antara upacara


(11)

minum teh dengan orang-orang ini kemudian membuat upacara minum teh dianggap sebagai sebuah kebudayaan tinggi masyarakat Jepang.

Menurut sejarahnya, teh bukanlah budaya asli bangsa Jepang. Artinya teh tidak berkembang di Jepang, bahkan benih-benih pertama dibawa dari China selama masa dinasti Tang ( 618-907 ), ketika pertukaran budaya antara kedua negara mencapai puncaknya. Sebutan pertama untuk acara formal yang meliputi minum teh ini ditemukan pada abad ke-8, ketika Kaisar Shomu ( 724- 49 ) dikabarkan telah mengundang biarawan-biarawan yang telah berpartisipasi dalam salah satu pelayanan agamanya untuk minum teh di istananya. ( Sen O Tanaka, 1998 : 84 ).

Upacara minum teh di Jepang terkenal dengan teknik dan tata caranya yang rumit. Perlu waktu yang cukup lama untuk mempelajarinya. Rangkaian upacara ini diawali dengan pembersihan teko penyajian, memasak air, memasukkan teh ke dalam teko tadi, menuang air panas ke dalamnya, mengaduknya sampai rata dan berbuih, serta kemudian menyajikannya pada tamu dengan tata cara khas Jepang. Meski upacara ini kelihatannya sederhana, tapi ada suatu proses ritual yang dilibatkan, yang membuat upacara minum teh ini sebagai suatu seni yang bertahan berabad-abad hingga sekarang.

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa upacara minum teh bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Dalam pelaksanaannya, orang memerlukan waktu yang lama dengan penyempurnaan yang berlangsung seumur hidup. Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah yang mencakup antara lain tujuan hidup,cara berpikir, agama, apresiasi peralatan upacara minum teh dan cara meletakkan benda seni di dalam ruangan


(12)

upacara minum teh ( chashitsu ) dan berbagai pengetahuan seni. Upacara minum teh juga menjajaki tujuan hidup dan mendorong timbulnya apresiasi terhadap alam. Karena upacara ini merupakan rangkaian yang mendalam yang membutuhkan pengetahuan yang luas dan kepekaan yang sangat halus.

( www.sinarharapan.co.id )

Upacara minum teh di Jepang dikenal begitu rumit, begitu khas, dan penuh makna. Namun bukan berarti hanya orang Jepang saja yang dapat mengikuti ritual ini. Terbukti dari banyaknya negara yang telah “ disinggahi “ oleh kebudayaan milik bangsa Jepang ini, termasuk di dalamnya Indonesia. Hal ini menyebabkan penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai upacara minum teh, terutama yang telah diadaptasi di Indonesia, melalui skripsi yang berjudul Analisis Adaptasi Upacara Minum Teh ( Chanoyu ) di Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Jepang memiliki banyak kebudayaan, seperti upacara-upacara keagamaan maupun upacara-upacara tradisional. Upacara minum teh adalah salah satunya, yang merupakan kebudayaan yang berasal dari China. Upacara minum teh adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu yang dilakukan secara khusus. Teh tidak hanya sekedar dituang dengan air panas dan kemudian diminum, tetapi memiliki nilai seni dalam arti luas.

Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati oleh tamu di ruangan khusus untuk minum teh yang disebut chashitsu. Dalam chanoyu, yang paling diutamakan adalah tata krama yang tinggi serta nilai kehalusan dalam tingkah laku. Hal ini berlaku di setiap


(13)

tempat yang mengadakan chanoyu,termasuk Indonseia. Melalui pernyataan di atas, maka permasalahannya dalam bentuk pertanyaan adalah :

1. Bagaimana sejarah masuknya teh ke Jepang sampai menjadi budaya Jepang?

2. Bagaimana tata cara upacara minum teh di Jepang?

3. Seperti apa adaptasi upacara minum teh ( chanoyu ) di Indonesia?

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan

Seni membuat dan meminum teh di Jepang berawal pada abad ke-15. Bubuk teh berwarna hijau yang diminum pada upacara minum teh, dibawa ke Jepang oleh biksu-biksu Zen yang pulang kembali ke Jepang dari tugas belajar mereka di China. (Sen O Tanaka, 1998 : 84 ).

Upacara minum teh memiliki aturan yang ketat dalam tata cara penyajian yang lebih bersifat seni, spiritual, ajaran moral, dan tradisi yang disampaikan turun temurun dalam keluarga. Dalam penulisan skripsi ini, penulis memfokuskan pembahasan pada adaptasi upacara minum teh ( chanoyu ) di Indonesia, dan untuk mendukung penulisan, akan dibahas juga tentang latar belakang sejarah masuknya teh ke Jepang, serta bagaimana tata cara upacara minum teh di Jepang.

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka

Dewasa ini minuman yang paling populer di tengah-tengah masyarakat adalah kopi, minuman ringan dalam kemasan kaleng, dan minuman fermentasi lainnya. Namun bagi sebagian orang, khususnya orang Jepang, sejauh ini


(14)

minuman non alkohol yang paling dicintai adalah teh hijau. Saat ini teh hijau merupakan kebutuhan yang sangat esensial dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang.

Menurut pendapat beberapa orang, secangkir teh hijau panas dapat memberikan kesegaran kepada jiwa, misalnya membuat lebih kuat dari biasanya. Teh juga dapat membantu orang yang dalam keadaan mabuk mendapatkan kembali kesadarannya. Contoh lain adalah ketika seseorang dalam keadaan stres atau tertekan, maka biasanya akan ditawarkan secangkir teh hangat yang dipercaya dapat meringankan beban pikiran. Orang Jepang sepertinya memiliki kepercayaan yang tidak diragukan lagi bahwa kekuatan teh dapat dijadikan obat ampuh. Sama halnya dengan bangsa Yahudi yang beranggapan bahwa pemulihan tubuh dapat dilakukan dengan meminum semangkuk sup hangat. ( A Hundred things Japanese, 1975 : 160 )

Upacara minum teh diketahui dengan pasti berasal dari China. Daun teh dibawa oleh pendeta Budhis ke Jepang di zaman Tang, sekitar 1400 tahun yang lalu. Waktu itu, teh belum mendapat perhatian dari masyarakat Jepang. setelah zaman Song, sekitar 1000 tahun lalu, seorang pendeta Budhis dari Jepang menuntut ilmu ke China dan tertarik mempelajari budaya minum teh di China. Sepulangnya ia ke Jepang, barulah teh dikenal secara luas di Jepang dan menjadi satu dengan kebudayaan Jepang.

( http://id.wikipedia.org )

Teh juga menjadi budaya orang Korea. Namun seperti budaya minum teh di China, yaitu tidak terlalu terikat dengan nilai-nilai tata krama. Sedangkan orang Jepang menganggap upacara minum teh sebagai suatu hal yang sangat serius.


(15)

Banyak sekali hal yang harus diperhatikan di dalam upacara minum teh Jepang yang resmi, misalnya bagaimana cara mengambil cawan, meletakkannya di tangan kiri, memutar cawan 180 derajat sebelum diminum, dan lain sebagainya. Di China, tata krama lebih dititikberatkan pada gaya bicara tuan rumah dan tamu, dan bukan pada bagaimana cara meminum teh tadi. Ini sedikit perbedaan upacara minum teh di China dengan di Jepang. Sesuai dengan kebudayaan berbicara orang Tionghoa yang suka berbasa-basi dan menekankan pada keindahan berbahasa sedangkan kebudayaan orang Jepang yang lebih menekankan gerak-gerik dan perbuatan.

( http://osdir.com )

Chanoyu adalah upacara minum teh yang bukan hanya sekedar upacara

biasa, karena upacara ini merupakan suatu metode yang berstruktur sangat rumit dalam menyiapkan minuman yang terbuat dari bubuk teh, untuk disajikan kepada tamu yang dihormati. Hal ini disebabkan karena upacara minum teh berkaitan dengan seni keramik, seni menata taman, dan seni merangkai bunga ( ikebana ). Juga karena upacara ini dilandaskan pada upacara keagamaan, interaksi sosial, sopan santun, serta kepekaan terhadap lingkungan alam sekitar. ( Sen O Tanaka, 1998 : 84 )

Teh termasuk pada barang-barang dari China yang telah menyebrangi laut ke Jepang. Di negeri kepulauan ini teh segera menjadi suatu hal yang sangat digemari. Dan bukan hanya digemari, melainkan juga mendapatkan suatu kedudukan yang mempunyai arti kebudayaan di antara masyarakat Jepang, sehingga teh beralih menjadi objek suatu upacara. Dalam buku “Japan, The Official Guide” disebutkan bahwa chanoyu adalah suatu ritual astetis yang banyak


(16)

dilaksanakan dalam kegiatan ramah - tamah di Jepang. Upacara itu dipandang sebagai suatu momen untuk melatih disiplin dan meningkatkan kerohanian. ( Nio Joe Lan, 1962 : 165 ).

Teh sangat dihargai karena mempunyai kekuatan melenyapkan rasa letih, menggirangkan jiwa, memperkokoh kemauan, dan meneguhkan kekuatan mata. Kaum Taois memandang teh sebagai suatu bahan yang mutlak untuk meramu obat pengelak kematian. Orang Budhis banyak memakai teh untuk menentang rasa mengantuk pada waktu mereka bersemadhi beberapa jam lamanya. (Nio Joe Lan , 1962 : 165)

Secara garis besar, teh dapat dikatakan sebagai simbol dari tiga aspek cara berpikir dan cara hidup orang Jepang, yaitu relaksasi, keramah-tamahan, dan penghiburan. Hingga saat ini, budaya ini tetap berkembang di Jepang.

2. Kerangka Teori

Kerangka teori memuat sejumlah teori yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Teori-teori tersebut dijadikan sebagai landasan pemikiran dalam penjelasan. Arikunto ( 1990 : 107 ), mengemukakan, “ Kerangka teori merupakan wadah untuk menerangkan variabel atau pokok masalah yang terkandung dalam penelitian “. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori perubahan kebudayaan dan penyesuaian diri antarbudaya. Masyarakat dan kebudayaan di mana pun selalu dalam keadaan berubah. Terjadinya perubahan ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya :

1. Sebab-sebab yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan sendiri, misalnya perubahan jumlah dan komposisi penduduk.


(17)

2. Sebab-sebab perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup. Masyarakat yang hidupnya terbuka, yang berada dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat dan kebudayaan lain, cenderung untuk berubah secara lebih cepat. (Sulaeman, 2005 : 45).

Dengan teori ini, penulis akan membahas bagaimana perubahan yang terjadi dalam kebudayaan, terutama dalam kebudayaan upacara minum teh setelah diadaptasi ke Indonesia.

Penulis juga menggunakan pendekatan historis, yaitu penelitian dengan menggunakan metode sejarah penyelidikan yang kritis terhadap keadaan-keadaan, perkembangan, serta pengalaman-pengalaman dimasa lampau dan menimbang secara cukup teliti dan hati-hati tentang bukti validitas dari sumber sejarah serta interpretasi dari sumber-sumber keterangan tersebut. ( Nazir, 1988 : 55-56 )

Nevins, ( Nazir, 1988 : 55 ) menyatakan sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan-keadaan atau fakta-fakta masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenaran. Dengan teori ini penulis akan membahas perkembangan awal masuknya teh ke Jepang, sampai menjadi upacara minum teh di Jepang.

Upacara minum teh adalah suatu ritual yang tidak mudah ditelusuri, sebab dalam upacara ini terdapat istilah “ the way of tea “ , yang di dalamnya terkandung makna yang sangat dalam tentang kehidupan, yaitu ketenangan yang mencakup harmony, rasa hormat, dan kemurnian.


(18)

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan

1. Untuk mengetahui sejarah masuknya teh ke Jepang sampai menjadi budaya masyarakat Jepang sampai saat ini.

2. Untuk mengetahui tata cara upacara minum teh di Jepang.

3. Untuk mengetahui adaptasi yang terdapat dalam upacara minum teh di Indonesia.

b. Manfaat

Hasil dari skripsi ini diharapkan dapat membantu para pembaca dalam mengetahui sejarah masuknya budaya teh di Jepang, dan apa saja adaptasi yang terdapat dalam upacara minum teh di Indonesia.

1.6. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan struktur yang sangat penting, karena berhasil tidaknya, demikian rendahnya hasil kualitas penelitian, sangat ditentukan oleh ketepatan peneliti dalam memilih metode penelitian. ( Arikunto , 1990 : 22 )

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kepustakaan ( library research ), yaitu penelitian yang dilakukan dengan membaca dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan topik permasalahan, baik dari buku-buku, skripsi, majalah, dan artikel-artikel yang terdapat di internet.

Selain dari metode di atas, penulis juga menggunakan metode deskriptif dan metode transkriptif. Metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam


(19)

masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat. ( Whitney, dalam Nazir, 1988 : 63 ). Metode transkriptif adalah metode yang dilakukan dengan cara menerjemahkan bahan yang berbahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. ( Retno, 2000 : 12 ). Untuk melengkapi data yang diperlukan, penulis juga menggunakan metode wawancara dimana penulis membuat daftar pertanyaan terlebih dahulu sebelum melakukan wawancara, dan riset langsung melihat tata cara minum teh di Indonesia, khususnya di Japan Foundation Jakarta.


(20)

BAB II

TINJAUAN UMUM SEJARAH TEH DAN UPACARA MINUM TEH DI JEPANG

2.1. Tinjauan Umum Minum Teh

Di tengah gaya hidup modern, ternyata masih ada tradisi dari masa lalu yang tidak berubah. Salah satunya adalah minum teh. Tradisi ini agak sulit digeser, selain karena menawarkan kenikmatan dan kesegaran yang tidak tergantikan oleh minuman lain, juga karena manfaatnya pada kesehatan. Sejak ditemukan ribuan tahun silam, teh berpengaruh positif terhadap kesehatan peminumnya. Kebiasaan minum teh sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Bahkan para tuan tanah dan pejabat di jaman kolonial Belanda di Indonesia memiliki perkebunan teh tersendiri. Bagi mereka itu menjadi simbol kekayaan yang dimiliki.

Minum teh juga telah menjadi budaya Inggris. Menikmati secangkir teh merupakan bagian gaya hidup bangsawan Inggris sejak 150 tahun yang lalu. Catherine of Braganza yang menikah dengan Raja Charles II pada 1662 yang pertama kali menyajikan teh untuk para pejabat kerajaan. Pada abad 19, para putri raja mulai melakukan “ afternoon tea “, yaitu minum teh sambil makan kue-kue disore hari karena makan malam baru disajikan pada pukul 8 malam. Tradisi itulah yang berlanjut hingga banyak dibuka “ Tea House “ berkelas di London, Inggris. ( www.detikfood.com ). Oleh karena itu, bangsa Inggris memiliki kebiasaan harus menyempatkan diri setiap sore hari untuk minum teh, dan segala kegiatan harus berhenti sejenak digantikan oleh acara minum teh tersebut. Pada


(21)

awalnya, karena teh mahal dan merupakan barang mewah di Inggris, maka hanya golongan atas saja yang bisa menikmati minum teh. Namun kini budaya minum teh disore hari dapat dinikmati siapa saja dan menjadi budaya masyarakat Inggris yang terkenal di dunia.

Dalam budaya Indonesia, minum teh adalah minum air yang mengandung seduhan daun teh. Untuk menambah nikmat, biasanya ditambahkan gula. Teh dapat disajikan pada pagi hari sambil menemani sarapan, maupun saat santai disore hari sambil ditemani pisang goreng hangat. Teh juga biasa disuguhkan jika ada tamu yang datang. Tidak ada aturan yang terdapat dalam minum teh ala Indonesia. Jika ingin minum teh, tinggal buat sendiri. Wadahnya pun sesuka hati, bisa menggunakan gelas dan bisa juga menggunakan cangkir.

Di negeri Tirai Bambu Cina, budaya minum teh sudah ada sejak 3000 tahun SM, yaitu pada masa kekaisaran Shen Nung. Masyarakat Cina meyakini teh memiliki khasiat yang sangat bagus untuk kesehatan. Mereka percaya teh dapat menetralisir kadar lemak dalam darah, melancarkan air seni, dan menghambat diare. Dalam tradisi minum teh di Cina, ada dua wadah yang digunakan, yaitu sebuah gelas dan sebuah mangkuk. Gelas berfungsi untuk menghirup aroma teh, sedangkan mangkuk berfungsi untuk meminum air teh. ( Tradisi Minum Teh, groups.google.co.id ). Di Cina, penyajian minum teh tidak disertai dengan hidangan makanan.

Daratan Cina mengenal penyeduhan dan penyajian teh untuk beberapa tujuan, seperti bentuk penghargaan kepada orang tua dan leluhur dengan cara menawarkan atau mengundangnya pada acara minum teh, mengumpulkan keluarga pada acara minum teh untuk keluarga besar, meminta maaf kepada


(22)

seseorang dengan menyajikan teh secara langsung, hingga sebagai ungkapan terima kasih pada orang tua atau wali pada acara pernikahan. (

www.appetitejourney.com )

Minum teh sebenarnya bukan sesuatu yang istimewa, karena teh telah dikenal di seluruh dunia. Namun menjadi sajian seni dan ritual yang istimewa jika dinikmati di Jepang. Di negeri sakura ini, minum teh menjadi sesuatu yang sangat penting dalam estetika, dimana mulai dari persiapan sampai jamuan minum tehnya sendiri merupakan satu rangkaian ritual yang menarik. Masyarakat mengenal ritual ini dengan sebutan shadou atau chanoyu.

Arti kata chanoyu sebenarnya adalah “ air panas untuk teh “. Namun kemudian berkembang menjadi upacara minum teh dalam tradisi Jepang. Tradisi ini bermula sebelum jaman Edo, atau kira-kira 400 tahun yang lalu. Pada awalnya, tradisi ini hanya dilakukan oleh kalangan tertentu seperti para pendeta dan kaum bangsawan atau samurai, yang merupakan kebiasaan sosial untuk menjamu tamu terhormat. Upacara ini pada dasarnya adalah cara untuk menghormati tamu. (

http://yulider.blogspot.com )

Kebiasaan minum teh di Jepang dirancang oleh sekte Zen Budhis. Pendeta-pendeta Zen berkumpul di depan patung Budha dan minum teh dari sebuah mangkuk sambil melaksanakan suatu ritual khusus. Pada awalnya, mereka menggunakan teh untuk membantu mereka tetap terjaga dan tidak mengantuk pada saat melakukan kegiatan meditasi yang dapat berlangsung selama berjam-jam. Pada akhirnya tradisi minum teh ini menjadi bagian dari upacara ritual Zen. Selama abad ke-15, hal itu menjadi acara tetap berkumpul di lingkungan khusus untuk mendiskusikan berbagai hal, dan kemudian berkembang menjadi upacara


(23)

minum teh seperti yang kita kenal saat ini. ( http://izzymagazine.com/discuss.htm

)

Setsuo Uenoda dalam Nio Joe Lan ( 1962 :165 ) mengartikan upacara minum teh sebagai suatu permainan yang halus untuk orang-orang yang tertarik dengan seni kehidupan. Seni kehidupan yang dimaksud adalah bagaimana melatih kesabaran serta ketelatenan dalam berperilaku sehari-hari agar dapat meraih ketenangan dalam diri sendiri.

Pada jaman dahulu, upacara minum teh juga menjadi ajang adu pengetahuan antara tuan rumah dengan tamu. Pengetahuan yang dimaksud adalah berupa pengetahuan tentang dari mana asal teh yang digunakan, apa jenis tehnya, darimana asal chawan dan peralatan minum teh lainnya, dan lain-lain. Sering pula upacara minum teh menjadi momen saling memamerkan peralatan minum teh, sebab peralatan minum teh sangat mahal. Sehingga pada jaman dulu, apabila seseorang mengadakan upacara minum teh, maka dia dianggap orang yang berada. ( Soshitsu Sen, 1979 : 11 ). Namun kini upacara minum teh ( chanoyu ) merupakan ritual yang tidak hanya sekedar momen untuk adu pengetahuan maupun untuk memamerkan peralatan minum teh. Tetapi lebih ke momen yang memiliki makna yang sangat dalam, dimana seni dan pengetahuan menjadi satu.

2.2. Sejarah Perkembangan Teh

Teh termasuk jenis minuman dengan sejarah terpanjang. Hampir tidak ada bangsa di dunia yang kesehariannya lepas dari minuman bernama teh. Minuman dari ekstrak dedaunan ini hadir di berbagai acara, formal atau nonformal. Budaya minum teh telah menjadi bagian dari sejarah dunia.


(24)

Menurut sejarah, teh dikenal sekitar 2737 tahun SM pada masa kekaisaran Shen Nung di Tiongkok. Teh Tiongkok merupakan salah satu kebudayaan terbaik dari sekian banyak kebudayaan Tiongkok yang masih terpelihara hingga kini. Orang Tiongkok sangat memperhatikan rasa dan aroma teh. Mereka juga senang membanding-bandingkan satu jenis teh dengan teh lainnya. Bangsa Cina telah minum teh selama 5000 tahun. Asal mula teh pada awalnya masih merupakan legenda. Legenda yang paling terkenal adalah cerita tentang Kaisar Shen Nung, yaitu seorang kaisar yang dikenal sebagai ahli pengobatan. Kaisar ini juga dikenal sebagai Bapak Tanaman Obat-obatan Tradisional di Cina pada saat itu. (http://ivanzz.dagdigdug.com )

Pada suatu hari, kaisar Shen Nung mengunjungi salah satu wilayah kekuasaanya. Dalam perjalanan yang jauh tersebut, rombongan kaisar beristirahat di tepi jalan. Para pelayan lalu memasak air untuk minum. Tanpa sengaja beberapa helai daun kering diterbangkan angin dan masuk ke dalam panci yang berisi air yang telah mendidih, yang membuat warna air dalam panci tersebut menjadi kecokelatan. Ketika kaisar meminum air tersebut, ia menemukan bahwa rasanya enak dan menyegarkan sehingga ia menyuruh pelayannya untuk membuat seduhan itu lebih banyak lagi. Menurut legenda, inilah awal dari kebiasaan meminum teh. Kebiasaan tersebut menyebar ke seluruh daratan Tiongkok dan akhirnya ke seluruh dunia. (http://www.faberhost.com )

Selama masa pemerintahan Dinasti Han Tang Soon dan Yuan, komoditas teh diperkenalkan ke dunia luar. Salah satu caranya antara lain melalui pertukaran kebudayaan menyeberangi Asia Tengah, menyusuri Jalur Sutra. Di Cina terdapat banyak rumah minum teh yang menyediakan beberapa jenis teh.


(25)

Bahkan, ketika jaman Dinasti Song, banyak diselenggarakan pesta teh. Pada tahun 1644, East India Company (EIC), perusahaan perdagangan Inggris di bawah pemerintahan Ratu Elizabeth I, membuka kantor di Xiamen. Pada masa itulah, daun teh dikenal umum sebagai minuman yang diseduh dengan air panas. EIC mendapatkan lisensi untuk mendatangkan teh pada tahun 1669 dari Cina ke Inggris dengan menggunakan kapal Elizabeth I. Sejak saat itu hingga sembilan tahun kemudian mereka memonopoli perdagangan teh.

Selain dari legenda tentang Kaisar Shen Nung di atas, ada juga legenda lain yang mengisahkan tentang asal-usul teh, yaitu sebuah mitologi Jepang mengenai biarawan yang bertapa, Bodhidarma. Suatu ketika sang Bodhidarma tidak kuat lagi menahan rasa kantuk. Karenanya dia sangat kesal dan akhirnya dia membuang kelopak matanya ke tanah. Konon katanya kelopak itu yang kemudian tumbuh menjadi tanaman teh. (http://www.faberhost.com )

Di Indonesia teh dikenal sejak 1686 saat seorang Belanda bernama Dr. Andreas Cleyer membawanya ke Indonesia. Semula teh hanya dipakai sebagai tanaman hias. Lama sesudah itu, pada 1728, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan teh secara besar-besaran dari Cina untuk dibudidayakan di Pulau Jawa. Namun baru seabad kemudian, dengan dipelopori oleh Jacobson, teh menjadi komoditas yang menguntungkan, sehingga pemerintahan Gubernur Jenderal Van den Bosch menjadikan teh sebagai salah satu tanaman yang harus dibudidayakan melalui politik tanam paksa. ( www.korantempo.com )


(26)

2.3. Jenis-jenis Teh dan Manfaat Teh

Di antara sekian banyak jenis minuman, teh termasuk minuman yang paling banyak dikonsumsi masyarakat. Karena teh memberi banyak manfaat bagi kesehatan. Teh diperoleh dari pengolahan daun teh ( Camellia Sinensis ) dari Familia Theaceae. Tanaman ini diperkirakan berasal dari daerah Himalaya dan daerah-daerah pegunungan yang berbatasan dengan RRC, India, dan Birma. Tanaman ini dapat tumbuh subur di daerah tropis dan subtropis dengan menuntut cukup sinar matahari dan hujan sepanjang tahun.

Tanaman teh dapat tumbuh sampai sekitar 6 – 9 m tingginya. Di perkebunan-perkebunan, tanaman teh dipertahankan hanya sekitar 1 m tingginya dengan pemangkasan secara berkala. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pemetikan daun dan agar diperoleh tunas-tunas daun teh yang cukup banyak. Tanaman teh umumnya mulai dapat dipetik daunnya secara terus-menerus setelah umur 5 tahun dan dapat memberi hasil daun teh cukup besar selama 40 tahun, lalu kemudian diadakan peremajaan. Tanaman ini dapat tumbuh dengan subur di daerah dengan ketinggian 200 – 2000 m di atas permukaan laut. Semakin tinggi letak daerahnya, semakin menghasilkan mutu teh yang baik. Misalnya teh Darjeeling dari India, terletak di atas ketinggian 1500 m. ( Spillane, 1992 : 13 )

Teh berasal dari tanaman yang hampir sama disemua negara. Perbedaan di antara jenis teh tersebut dikarenakan perbedaan cara produksi dan iklim lokal, tanah, dan kondisi pengolahan. Ada kira-kira 1500 tanaman teh yang berbeda dan kira-kira 2000 campuran yang mungkin ( Spillane, 1992 : 22 ). Pada umumnya teh-teh dapat dikelompokkan dalam 3 golongan, yaitu :


(27)

2. yang tidak difermentasikan atau teh hijau 3. yang setengah difermentasikan atau teh oolong

Namun ada juga teh yang dikenal dengan teh putih. Teh ini dihasilkan dari daun teh pilihan yang menuntut penanganan ekstra hati-hati setelah pemetikan. Hanya daun-daun yang paling muda, yang masih dipenuhi bulu putih pendek atau bulu halus, yang digunakan. Tanpa adanya pelayuan, penggilingan dan fermentasi, membuat penampilan teh ini nyaris tidak berubah. Teh yang dihasilkan pun berwarna putih keperakan. Teh ini merupakan yang paling lembut dari semua jenis teh. ( www.liveconnector.com )

Teh hitam dibuat dengan proses fermentasi, yang menyebabkan daun-daun teh berubah menjadi hitam dan memberi rasa khas. Selama proses fermentasi, warna daun menjadi lebih gelap dan sarinya menjadi kurang pahit. Proses fermentasi berlangsung selama 2 sampai 3 jam. Kualitas teh yang akan dihasilkan kemudian, tergantung pada proses fermentasi ini. Akhir dari proses ini dikenali lewat wangi dan warna daun teh yang berubah menjadi merah perunggu.

Di antara jenis-jenis teh, teh hijau yang lebih populer. Kunci popularitasnya terletak pada aroma alaminya dan manfaatnya bagi kesehatan. Teh hijau dikenal dua macam menurut tempat asalnya, yaitu teh hijau Cina dan teh hijau Jepang. Setelah selama berabad-abad menjadi minuman pilihan di Asia, kepopuleran teh hijau kini merambah ke negara barat. Untuk memproduksi teh hijau tidak bisa dilakukan sembarangan. Yang hendak dicapai dalam memproduksi teh hijau adalah mempertahankan manfaat kesehatannya, kemurnian, dan senyawa aktif daun teh segar sehingga semuanya itu dapat dirasakan ketika teh disajikan.


(28)

Teh oolong , meski tidak sepopuler teh hijau, juga memiliki penggemar sendiri. Teh oolong terbaik di dunia dihasilkan di India ( Assam, Darjeeling, dan Nilgiri ), Srilanka ( Ceylon ), dan Cina. Proses produksi untuk menghasilkan teh oolong lebih rumit dari teh hijau, yaitu diproses dengan menjaga agar daunnya tetap utuh. Oleh karena itu, dibuat dari daun-daun teh yang lebih besar dan lebih tua.

Jenis-jenis teh hijau yang umum di Jepang adalah 1. Gyokuro

Teh yang terpilih dari daun teh kelas atas yang disebut Tencha. Teh ini dinamakan Gyokuro karena warna hijau pucat yang keluar dari daun teh. Daun dilindungi dari terpaan sinar matahari sehingga mempunyai aroma yang sangat harum.

2. Matcha

Teh hijau berkualitas tinggi yang digiling menjadi bubuk teh dan dipakai untuk upacara minum teh. Matcha mempunyai aroma yang harum sehingga sering digunakan sebagai perasa untuk es krim rasa teh hijau, berbagai jenis kue tradisional Jepang, juga permen dan cokelat.

3. Sencha

Teh hijau yang biasa diminum sehari-hari, dibuat dari daun yang dibiarkan terkena terpaan sinar matahari

4. Genmaicha

Teh jenis bancha dengan campuran beras. Teh ini mempunyai aroma wangi butiran beras yang setengah gosong.


(29)

5. Kabusecha

Teh jenis sencha yang daunnya dilindungi untuk beberapa lama dari terpaan sinar matahari sebelum dipanen. Aroma teh kabusecha sedikit lebih lembut dibandingkan dengan teh sencha.

6. Bancha

Teh kasar yang dibuat dari panenan yang kedua kali antara musim panas dan musim gugur. Daun teh untuk teh bancha biasanya lebih besar dari daun teh

sencha dan aromanya tidak begitu harum.

7. Hoojicha

Teh yang digongseng di atas penggorengan atau di dalam oven.

8. Kukicha

Teh berkualitas rendah dari daun teh bercampur tangkai daun teh. ( Sato, 2005 : 11 - 12 ).

Bila dibandingkan dengan jenis minuman lain, teh lebih memiliki banyak manfaat. Minuman ini bisa mencegah atau membantu penyembuhan penyakit mulai dari yang ringan sejenis influenza, hingga yang berat seperti kanker. Teh juga mampu mencegah penyakit jantung dan stroke. Minuman alami ini juga terbukti mampu menstimulir sistem sirkulasi, memperkuat pembuluh darah, dan menurunkan kolesterol dalam darah. Teh dapat membantu meningkatkan jumlah sel darah putih yang bertanggung jawab melawan infeksi. Di dalam saluran pencernaan, teh membantu melawan keracunan makanan dan mencegah penyakit seperti kolera, tipus, dan disentri. Dengan kemampuan antibakterinya, teh membantu menghambat infeksi tenggorokan. Penelitian juga menunjukkan dengan meminum teh dapat membantu konsentrasi. Lebih dari itu, teh juga bisa


(30)

digunakan sebagai obat luar untuk beberapa penyakit. Di Cina, teh hijau digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan luka atau mencegah penyakit kulit seperti kutu air. ( www.liveconnector.com )

Selain itu, semua bagian tanaman teh dapat digunakan sebagai bahan-bahan kosmetik. Itu sebabnya banyak produk kecantikan yang mengandung teh, misalnya shampo, deodoran, hand & body lotion, pasta gigi, dan lain-lain. Teh juga dapat memperkuat gigi, melawan bakteri dalam mulut, mencegah terbentuknya plak gigi, serta mencegah osteoporosis.

2.4. Tata cara dan Aturan dalam Upacara Minum Teh

Upacara minum teh di Jepang merupakan ritual yang sangat rumit. Bagi orang yang baru mengenal atau belum paham betul akan kegiatan ini, mungkin akan berpikir “ mau minum teh saja, kok repot “. Tetapi memang begitulah adanya. Upacara ini bukan sekedar minum teh seperti yang biasa kita lakukan. Ada banyak tata cara dan aturan yang terdapat dalam upacara ini. Bagi tamu yang diundang ke acara ini, diharapkan datang lima belas menit lebih awal. Kemudian, tamu yang telah tiba memasuki ruang depan ( yoritsuki ), dimana mereka bisa meninggalkan barang-barang milik mereka dan untuk berganti pakaian.

Bagi tamu yang telah menggunakan kimono, biasanya membawa tabi, yaitu kaus kaki yang biasa digunakan dengan kimono, sedangkan bagi tamu yang menggunakan pakaian ala barat, biasanya membawa sepasang kaus kaki putih. Kemudian para tamu pindah ke ruang tunggu ( machiai ) dimana mereka dapat menunggu para tamu yang belum tiba dan saling berbagi pikiran. ( Soshitsu Sen, 1988 : 123 ). Untuk dapat membangkitkan suasana hati yang tepat untuk acara


(31)

minum teh yang akan diadakannya, tuan rumah (teisu ) telah menyiapkan ruang tunggu ini sedemikian rupa. Dekorasinya sangat lembut, sehingga para tamu dibuat merasa nyaman. Ketika tamu terakhir dinyatakan telah tiba, asisten tuan rumah ( hanto ) membawa air panas dalam cangkir kecil dan mengatakan kepada para tamu untuk menunggu di rumah kecil yang terletak di halaman, dimulai dengan tamu utama berurutan samapai ke tamu terakhir. Mereka menggunakan sandal jerami yang telah disediakan oleh tuan rumah.

Dalam rumah kecil, para tamu menemukan tumpukan alas duduk yang terbuat dari jerami. Alas duduk itu disediakan untuk masing-masing tamu. Kemudian tamu utama menyusun alas duduk tersebut di sepanjang bangku untuk semua tamu, lalu mereka duduk di tempat masing-masing. Di sini mereka dapat melihat keindahan pemandangan di taman.

Tuan rumah, kemudian, mendatangi para tamu dan memberitahukan bahwa semuanya telah siap. Setelah memastikan bahwa ruang minum teh telah bersih dan dupa sudah ditaruh di atas tungku, dia keluar melalui nijiriguchi, lalu berjalan di atas batu menuju baskom yang berisi air ( tsukubai ), dan membersihkan dirinya dengan mencuci tangan dan berkumur. Setelah itu, tuan rumah berjalan menuju ruang minum teh. Namun sebelum itu, tuan rumah dan para tamu saling menundukkan kepala sebagai tanda hormat. Lalu para tamu kembali ke tempat duduk mereka. Sementara tuan rumah bekerja dalam ruang persiapan ( mizuya ), setiap tamu bergiliran untuk membersihkan diri mereka dengan mencuci tangan dan berkumur seperti yang dilakukan sebelumnya oleh tuan rumah, sebelum mereka memasuki nijiriguchi.


(32)

Di depan niriguchi, masing-masing tamu bergiliran membungkukkan badan di atas batu dan menempatkan kipas lipat di ambang pintu sebagai tanda hormat, dan secara singkat memandang bagian dalam. Kemudian, dengan menundukkan kepala melalui pintu masuk, tamu menempatkan sandal jerami dekat dengan kepunyaan tuan rumah. Dalam tearoom, setiap tamu maju ke

tokonoma untuk mengagumi gulungan perkamen yang berisi tulisan atau gambar

yang disebut kakemono, kemudian menghadap tungku dengan kipas lipat berada di depan masing-masing. Mereka mengambil tempat duduk untuk sementara sampai tamu yang lain selesai, dan saling membungkukkan badan dan mengambil tempat masing-masing. Tamu utama mengambil tempat yang paling dekat dengan

tokonoma. Kemudian tamu utama sebagai juru bicara memuji tuan rumah yang

telah membuat persiapan ruang tunggu dan taman dengan sangat bijaksana dan meminta keterangan tentang kakemono yang terdapat di tokonoma

Setelah itu, tuan rumah mulai menyiapkan teh. Pada saat tuan rumah melakukan persiapan, para tamu memperhatikan sambil tetap duduk bersimpuh. Sementara itu, asisten tuan rumah menyajikan kue yang sangat manis ( kaiseki ). Dalam cara menyajikan dan mengambilnya terdapat aturan yang penuh dengan sopan santun. Antara penyaji dan tamu saling membungkuk sebagai tanda terima kasih. Para tamu kemudian memakan kue manis tersebut yang jenis kuenya telah disesuaikan dengan musimnya. Kue sengaja dibuat manis untuk mempersiapkan lidah pada saat akan minum teh yang rasanya sangat pahit.

Selesai makan kue, tuan rumah mulai menceduk air yang mendidih, lalu dituang ke dalam chawan yang sudah berisi bubuk teh, kemudian mengaduk teh tersebut hingga berbuih. Chawan yang berisi tehdan kobukusa kecil dipersiapkan


(33)

untuk tamu utama. Saat menyajikan teh kepada tamu utama, tuan rumah memegang chawan dengan kedua tangan dan memutarnya dua kali di atas tangan, lalu meletakkannya di atas tatami. Lalu tamu utama maju untuk menerima

chawan dari tuan rumah. Tamu dan tuan rumah saling membungkuk pada saat

chawan diterima oleh tamu, yang berarti tuan rumah mempersilahkan dan tamu

menerima. Setelah menerima chawan dari tuan rumah, tamu utama kembali ke tempat semula. Sama seperti tuan rumah, tamu utama memegang chawan dengan dua tangan, lalu memutarnya dua kali sambil mengamati keindahan dari chawan, kemudian meminum teh tersebut.

Pada upacara minum teh, tidak diperkenankan untuk berbicara dan menanyakan hal lain selain tentang teh dan peralatannya. Percakapan juga hanya antara tuan rumah dan tamu utama saja. Tamu lain hanya boleh mendengar saja. Sedangkan tamu utama boleh bertanya kepada tuan rumah tentang peralatan minum teh tersebut.

2.5. Peralatan Chanoyu di Jepang

Setiap kali ingin menikmati secangkir teh, diperlukan peralatan yang khusus. Sekalipun minum teh untuk santai, misalnya, biasanya dibutuhkan teapot atau teacup set atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan perangkat minum teh. Perangkat minum teh ini biasanya terdiri atas sebuah teko dan dua sampai empat cangkir.

Minum teh di Jepang menggunakan banyak peralatan khusus. Jenis peralatan yang digunakan, tergantung kepada jenis upacara minum tehnya. Untuk upacara minum teh yang formal, peralatan yang digunakan adalah peralatan yang


(34)

sangat halus. Misalnya, menggunakan mangkuk yang dibentuk dengan sempurna yang dinamakan tenmoku, mengekspresikan pengertian dari tamu atau peristiwa pada saat upacara minum teh. Untuk upacara minum teh yang semiformal, menggunakan mangkuk yang simetris, atau mangkuk dengan Korean-style. Untuk upacara minum teh yang tidak formal, menggunakan peralatan yang lebih sederhana dari segi penampilan, tetapi tetap memperlihatkan keindahannya. ( Soshitsu Sen, 1979 : 34 )

Peralatan minum teh di Jepang terdiri atas :

1. Chawan atau Mangkuk

Dalam upacara minum teh di Jepang, mangkuk digunakan untuk minum

matcha, yaitu jenis teh hijau yang digunakan dalam upacara minum teh. Teh yang

dibuat disajikan dalam mangkuk tanpa pegangan. Oleh karena itu, mangkuk teh ini tidak pernah diisi sampai penuh. Hal ini menjadikan baik bagian atas maupun bagian bawah dari mangkuk tidak terlalu panas, sehingga membuat mangkuk lebih mudah untuk dipegang.

2. Natsume atauTempat Teh

Ada dua jenis tempat teh untuk menaruh bubuk teh hijau, yaitu natsume

dan chaire. Chaire adalah tempat teh untuk menyimpan teh kental seperti koicha.

Chaire biasanya terbuat dari keramik dengan tutup dari gading dan ditempatkan di

shifuku, sebuah tas dari kain sutra dan dilengkapi dengan tali. Natsume adalah

tempat untuk menyimpan teh yang encer. Natsume biasanya terbuat dari kayu yang dihaluskan.


(35)

3. Chashaku atau Sendok Teh

Sendok teh digunakan untuk menyendok bubuk teh dari natsume ke mangkuk. Chashaku untuk upacara minum teh yang semiformal terbuat dari bambu atau kayu, dan untuk upacara minum teh yang formal, terbuat dari gading.

4. Chasen atau Pengaduk Teh

Berfungsi untuk mengaduk teh hingga berbuih. Chasen terbuat dari batang bambu dengan panjang kira-kira lima inci dan berdiameter kurang dari satu inci. Dua inci pada bagian bawah menjadi pegangan, dan bagian atas dibelah menjadi banyak helai. Chasen yang digunakan untuk mengaduk teh encer, usucha, mempunyai kira-kira 80 – 200 helai belahan. Sedangkan chasen yang digunakan untuk mengaduk teh kental mempunyai lebih sedikit belahan.

5. Hishaku atau Pencedok Air

Hishaku digunakan untuk mencedok air dari ceret ke mangkuk. Hishaku

biasanya dibuat dari bambu dan dibuat dengan ukuran yang berbeda untuk musim yang berbeda. Hishaku untuk musim dingin sedikit lebih besar dan lebih kuat dari pada hishaku untuk musim panas.

6. Kobukusa atau Tatakan

Kobukusa adalah kain tatakan yang terbuat dari sutra yang diletakkan di

bawah mangkuk atau peralatan lainnya. Kobukusa dibuat dengan bermacam-macam warna dan corak. Warna yang terang digunakan oleh wanita dan warna yang tidak terlalu terang digunakan oleh pria.

Jika upacara minum teh dilaksanakan di ruangan yang besar, seorang pelayan akan memberikan magkuk dari tuan rumah kepada tamu. Dalam hal ini, mangkuknya diletakkan di atas kobukusa yang berfungsi sebagai nampan. Dalam


(36)

ruang upacara minum teh yang kecil, tamu biasanya maju untuk menerima mangkuknya. Kobukusa juga berfungsi untuk melindungi tangan dari mangkuk yang panas, pada saat mangkuk diedarkan.

7. Fukusa

Fukusa adalah selembar kain kecil dari sutra yang digunakan untuk

membersihkan peralatan. Biasanya, fukusa yang berwarna jingga atau merah digunakan oleh wanita, dan yang berwarna ungu digunakan oleh pria. Namun

fukusa dibuat dengan banyak warna. Beberapa dibuat dengan corak. Orang yang

mengikuti upacara minum teh, akan memilih fukusa sesuai dengan musim atau juga sesuai dengan warna pakaian yang mereka gunakan.

8. Chakin

Chakin adalah kain linen kecil yang digunakan untuk mengelap mangkuk.

Pinggirannya dilipat dan dikelim dengan jahitan. 9. Kama atau Ceret

Kama atau ceret digunakan untuk memanaskan air. Kalau di dapur

biasanya digunakan ceret yang sederhana di atas kompor, tetapi di ruang minum teh Jepang, kama diletakkan di atas kompor arang yang disebut furo, dalam tungku yang terletak di atas lantai. Ada dua jenis kama, yaitu untuk musim panas dan musim dingin. Ada banyak bentuk dan tekstur yang berbeda pada kama, tetapi yang paling penting adalah kualitas dari suara yang ditimbulkan pada saat air mulai mendidih.


(37)

10. Teko

Teko digunakan pada upacara minum teh yang khusus, misalnya pada saat kama tidak digunakan. Seperti kama, teko juga memiliki bermacam-macam bentuk.

11. Vas Bunga

Pemandangan sederhana dari bunga sangat penting untuk membangun suasana menarik dalam ruangan minum teh. Bunga dan vasnya dipilih sesuai dengan musim. Untuk musim panas biasanya dipilih vas bunga dari bambu, untuk musim dingin vas bunga dari keramik yang sering digunakan.

12. Mizusashi atau Tempat Air

Mizusashi atau tempat air adalah peralatan yang penting di ruang minum

teh. Pada musim panas, mizusashi yang digunakan adalah yang besar dan dangkal sehingga menciptakan rasa sejuk di ruang minum teh. Mizusashi ini terbuat dari keramik atau kayu. Pada musim dingin, mizusashi yang kecil yang digunakan.

Mizusashi ini juga terbuat dari keramik.

13. Kensui atau Tempat Pembuangan Air

Kensui adalah tempat untuk membuang air, termasuk air yang digunakan

untuk menghangatkan mangkuk.

14. Futa Oki

Futa oki digunakan dalam upacara minum teh ketika kama dan hishaku

juga digunakan. Futa oki adalah tempat untuk menempatkan tutup ceret pada saat ceret dibuka. Futa oki terbuat dari bermacam-macam bahan, seperti perak, perunggu, keramik, dan bambu, juga dengan bermacam-macam bentuk.


(38)

15. Nampan

Nampan pada upacara minum teh biasanya terbuat dari kayu. Nampan digunakan untuk meletakkan makanan kecil yang akan ditawarkan kepada tamu, juga untuk meletakkan peralatan yang digunakan dalam upacara minum teh. ( Sato, 2005 : 14 - 20 )

2.6. Teori Adaptasi Budaya

Menurut Sulaeman ( 2005 : 46 -47 ), proses penerimaan perubahan berbagai faktor yang mempengaruhi diterima atau tidaknya suatu unsur kebudayaan baru di antaranya :

1. Terbiasanya masyarakat memiliki hubungan atau kontak dengan kebudayaan dan dengan orang-orang yang berasal dari luar masyarakat tersebut.

2. Corak struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan kebudayaan baru.

3. Suatu unsur kebudayaan diterima jika sebelumnya sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang menjadi landasan bagi diterimanya unsur kebudayaan yang baru tersebut.

4. Apabila unsur yang baru itu memiliki skala kegiatan yang terbatas, dan dapat dengan mudah dibuktikan kegunaannya oleh warga masyarakat yang bersangkutan.

Upacara minum teh adalah salah satu contoh kebudayaan dari luar yang masuk ke Indonesia. Kebudayaan ini merupakan kebudayaan yang ada di beberapa negara, seperti Cina, Korea, dan Jepang. Seperti yang telah disebutkan


(39)

sebelumnya, bahwa kebudayaan ini berasal dari Cina. Namun upacara minum teh yang berasal dari Jepanglah yang lebih populer di Indonesia. Hal ini karena banyaknya orang yang tertarik dengan kebudayaan tersebut.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya adalah :

1. Besar – kecilnya perbedaan antara kebudayaan tempat asalnya dengan kebudayaan lingkungan yang dimasukinya.

2. Suasana lingkungan yang terbuka akan mempermudah seseorang untuk menyesuaikan diri bila dibandingkan dengan suasana lingkungan yang tertutup. ( Sulaeman, 2005 : 49 )

Minum teh sudah tidak asing lagi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, upacara minum teh atau chanoyu dapat dengan mudah diterima di Indonesia. Tata cara dan aturan yang berbeda mengakibatkan banyak orang yang antusias untuk mengikuti upacara ini. Selain itu, dalamnya makna yang terkandung dalam chanoyu juga menjadi daya tarik tersendiri bagi pesertanya. Itu sebabnya upacara minum teh atau chanoyu masih tetap bertahan hingga saat ini, khususnya di Indonesia.


(40)

BAB III

ANALISIS ADAPTASI UPACARA MINUM TEH ( CHANOYU ) DI INDONESIA

3.1. Adaptasi dalam Status Pelaku

Upacara minum teh di Jepang sangat sakral. Sehingga tidak setiap orang dapat dengan mudah untuk mengikuti upacara tersebut. Pada zaman dahulu, hanya orang-orang tertentu yang boleh terlibat dalam upacara ini. Orang-orang tersebut adalah orang-orang yang memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat. Di antaranya adalah para pendeta, sebab mereka yang pertama kali membuat ritual ini dan mempopulerkannya di Jepang. Dimana pada awalnya mereka menggunakan teh untuk kesehatan dan menjaga agar tubuh tetap segar dan tidak mengantuk pada waktu meditasi. Kemudian, kebiasaan ini diikuti oleh para bangsawan dimana mereka menjadikan kesempatan itu menjadi ajang untuk saling memamerkan peralatan minum teh milik mereka serta saling adu ilmu pengetahuan tentang teh dan asal peralatan minum teh mereka.

Pada saat ini, orang tidak lagi dibatasi untuk dapat mengikuti upacara minum teh. Karena siapa saja yang tertarik dengan ritual ini dapat mengikutinya. Ada bermacam-macam tujuan orang yang tertarik untuk mengikuti upacara minum teh. Di bawah ini adalah beberapa peserta upacara minum teh yang berhasil diwawancara oleh penulis di Japan Foundation Jakarta dan di Medan.

1. Ibu Vina ( Jakarta )

Ibu Vina adalah seorang pengajar yang sangat menyukai kebudayaan Jepang. Beliau ingin mengetahui tentang kebudayaan masyarakat Jepang. Oleh karena itu,


(41)

Ibu Vina memilih upacara minum teh sebagai salah satu cara untuk menenal kebudayaan masyarakat Jepang. Status Ibu Vina sebagai pengajar tidak menghalanginya untuk ikut sebagai salah satu peserta dalam upacara minum teh di Japan Foundation Jakarta.

2. Ibu Linda ( Jakarta )

Ibu Linda adalah seorang freelancer. Sama seperti Ibu Vina, Ibu Linda juga menyukai kebudayaan Jepang. Dengan alasan tersebut, Ibu Linda memutuskan untuk menyediakan waktunya untuk mengikuti upacara minum teh setiap hari selasa, juga di tempat yang sama dengan Ibu Vina.

3. Lupi ( Jakarta )

Lupi adalah seorang mahasiswa. Berbeda dengan Ibu Vina dan Ibu Linda, Lupi mempunyai alasan sendiri tentang ketertarikannya dalam mengikuti upacara minum teh. Lupi mengikuti upacara minum teh karena penasaran dan ingin tahu bagaimana sebenarnya bentuk dari upacara ini. Dimana sebelumnya Lupi membaca sebuah novel Jepang yang di dalamnya menceritakan tentang kehidupan seorang pelayan yang melayani tamunya dengan meracik teh. Dalam novel itu diceritakan betapa kakunya upacara minum teh yang dilakukan. Oleh karena itu Lupi memutuskan untuk mengikuti upacara minum teh, untuk membuktikan apakah upacara minum teh memang sekaku upacara yang diceritakan dalam novel.


(42)

4. Pak Bambang ( Jakarta )

Pak Bambang adalah seorang budayawan. Namun bukan karena status Pak Bambang sebagai budayawan yang menjadi alasan beliau untuk mengikuti upacara minum teh ini. Yang menjadi alasan Pak Bambang mengikuti upacara minum teh adalah lebih karena ketertarikannya akan teh. Sebab Pak Bambang merupakan seorang yang ahli di bidang teh. Karena tahu ada ritual khusus tentang teh di Jepang, maka Pak Bambang tertarik untuk mengikuti upacara minum teh atau chanoyu ini. Penulis tertarik untuk mewawancara Pak Bambang sebab di antara semua peserta, Pak Bambang adalah salah satu dari dua orang pria yang mengikuti upacara minum teh di Japan Foundation. Begitu menariknya ritual ini, sehingga membuat orang ingin mempelajarinya. Padahal mereka tahu betapa rumit dan susahnya untuk mengikuti upacara ini.

5. Ibu Irna ( Medan )

Lain lagi dengan Ibu Irna, yang mengikuti upacara minum teh ini, selain karena tertarik dengan kebudayaan Jepang, juga karena Ibu Irna bersuamikan orang Jepang. Sehingga Ibu Irna merasa sebagai Isteri orang Jepang, dia wajib mempelajari kebudayaan negeri suaminya, yaitu melalui upacara minum teh ini. Menurut Ibu Irna, ada juga orang yang mengikuti upacara minum teh karena merasakan adanya gengsi tersendiri. Karena pada umumnya orang-orang yang diundang pada upacara minum teh yang formal adalah orang-orang terpandang dan berkelas.


(43)

Dalam upacara minum teh di Indonesia, juga dikenal dengan adanya “ tamu utama “. Tetapi pada umumnya, hal itu berlaku hanya pada kondisi tertentu seperti pada upacara minum teh yang formal. Berbeda dengan upacara minum teh yang tidak formal, dimana setiap tamu dilibatkan dalam pembicaraan, namun tetap dalam ruang lingkup teh dan yang berhubungan dengan itu. Masing-masing dipersilahkan untuk bertanya, sebab kebanyakan dari mereka mengikuti upacara minum teh dengan tujuan karena ingin tahu tentang upacara ini. Tidak terdapat adaptasi dalam pelaku, sebab baik di Jepang maupun di Indonesia, pelaku upacara minum teh saat ini, boleh siapa saja.

3.2. Adaptasi dalam Peralatan yang Digunakan

Peralatan yang digunakan dalam upacara minum teh di Indonesia, tidak jauh berbeda dengan yang digunakan di Jepang. Namun, meskipun demikian ada juga beberapa peralatan yang tidak ada atau tidak sama dengan yang di Jepang dengan berbagai macam alasan. Peralatan minum teh yang digunakan di Indonesia adalah :

1. Chawan

2. Natsume

3. Chasaku

4. Chasen

5. Fukusa

6. Chakin

7. Mizusashi

8. Kensui

9. Ceret Pemanas, dan 10.Nampan


(44)

Beberapa peralatan di atas didatangkan langsung dari Jepang. Peralatan yang tidak ada dalam upacara minum teh di Indonesia adalah :

1. Furo 2. Kama

3. Hishaku dan Futa Oki

Kama tidak digunakan karena tidak ada furo dalam ruang minum teh.

Begitu juga dengan hishaku, tidak digunakan karena tidak adanya kama sehingga tidak diperlukan pencedok air. Futa oki tidak digunakan karena tidak perlu meletakkan tutup kama. Sehingga air yang digunakan dalam upacara minum teh ini, dipanaskan di ceret pemanas yang menggunakan energi listrik. Tidak seperti kama yang harus dipanaskan di atas furo yang menggunakan panas dari arang. Vas bunga juga tidak terdapat dalam ruang minum teh karena ruangan upacara minum teh di Indonesia bentuknya sangat sederhana, sehingga tidak terdapat tempat untuk menggantung atau meletakkan vas bunga.

Tatami merupakan bagian yang penting dari ruang minum teh. Karena di

Indonesia ruang minum teh tidak seperti di Jepang yang sudah ada tataminya, maka tatami di Indonesia adalah tatami yang dapat dipindah-pindahkan. Dalam ruangan tidak terdapat kakemono karena tidak adanya tokonoma, atau ruangan tempat untuk menggantungnya. Sehingga para tamu hanya dapat mengagumi

chawan sebagai tanda penghormatan bagi tuan rumah.

Fukusa diletakkan di dalam lipatan kimono. Namun tidak semua peserta

menggunakan kimono, sebab kimono merupakan barang mahal. Di Japan Foundation Jakarta, peserta yang ingin menggunakan kimono, dapat meminjam


(45)

dari sensei atau membeli kain bahan sehingga dapat dijahit menjadi kimono. Dalam hal ini, peserta dapat meminta bantuan sensei untuk menjahitkannya.

Bagi peserta yang tidak menggunakan kimono, dapat menggunakan kain pengganti kimono yang disebut dengan patron. Namun patron ini hanya digunakan oleh peserta wanita saja. Bagi peserta pria yang tidak menggunakan kimono, diwajibkan memakai kemeja atau baju yang berkancing. Setiap peserta diwajibkan untuk memakai kaus kaki putih.

3.3. Adaptasi Tempat Pelaksanaan

Upacara minum teh di Jepang dilaksanakan di sebuah ruang minum teh yang disebut dengan chashitsu. Dalam ruangan ini terdapat tokonoma, yaitu tempat untuk menggantung kakemono atau gulungan perkamen yang berisi tulisan kaligrafi. Ruang minum teh di Jepang juga menggunakan tatami. Selain chashitsu, ada ruang tunggu yang disebut dengan machiai. Di ruangan ini para tamu dipersilahkan untuk menunggu sebelum akhirnya memasuki chashitsu. Namun sebelum memasuki chashitsu, para tamu dipersilahkan masuk ke satu ruangan kecil yang terletak di halaman. Disana mereka bisa beristirahat sejenak sebelum mengikuti upacara minum teh. Selain itu, juga terdapat ruang persiapan yang disebut mizuya, dimana tuan rumah mempersiapkan peralatan upacara minum teh.

Di Indonesia tidak terdapat chashitsu. Tempat untuk melaksanakan upacara minum teh di Indonesia begitu sederhana. Hanya terdiri dari satu ruangan yang cukup luas untuk mengadakan upacara minum teh. Di Indonesia tidak terdapat ruang persiapan. Oleh karena itu, segala peralatan upacara minum teh diletakkan di dalam lemari dan di atas meja di bagian belakang ruangan. Dalam


(46)

ruang upacara minum teh di Indonesia juga tidak terdapat tokonoma. Juga tidak terdapat ruang tunggu atau machiai. Namun di dalam ruangan, sudah disediakan bangku-bangku untuk tempat para peserta menuggu peserta lainnya. Juga tidak terdapat taman dalam upacara minum teh di Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada baskom berisi air ( tsukubai ), dimana setiap peserta dapat membersihkan diri di taman sebelum memasuki ruangan upacara minum teh.

Faktor yang menyebabkan mengapa tidak terdapat chashitsu di Indonesia adalah karena upacara minum teh di Indonesia tidak seperti upacara minum teh di Jepang yang memerlukan ruang khusus yang dapat menambah kekhidmatan pelaksanaan upacara minum teh tersebut. Menurut Ibu Irna tidak adanya ruang khusus untuk melaksanakan upacara minum teh di Indonesia, karena untuk membuat chashitsu akan menghabiskan biaya yang sangat banyak. Atau dengan kata lain, ruang untuk upacara minum teh sangat mahal.

3.4. Adaptasi dalam Tata Cara dan Aturan

Sama seperti pada peralatan upacara minum teh, tata cara dan aturan juga tidak jauh berbeda. Di Japan Foundation Jakarta, upacara dimulai pada pukul 14.00 WIB dan selesai pada pukul 16.00 WIB. Semua peserta sudah harus hadir lima belas menit sebelum upacara minum teh dimulai. Ada dua orang sensei yang memimpin upacara ini. Acara diawali dengan disiapkannya semua peralatan oleh

sensei yang berlaku sebagai tuan rumah. Mereka melakukan persiapan di ruangan

yang sama dengan ruangan yang akan digunakan untuk melaksanakan upacara minum teh, yaitu di bagian belakang ruangan, dimana terdapat lemari penyimpanan peralatan dan meja panjang tempat peralatan diletakkan.


(47)

Pada saat sensei melakukan persiapan, para peserta, yang berlaku sebagai tamu dipersilahkan untuk melakukan persiapan juga. Bagi yang membawa

kimono, segera mengganti pakaian mereka dengan kimono, dan melepaskan segala

perhiasan mereka. Bagi yang tidak membawa kimono, sudah disediakan pengganti

kimono, yaitu patron. Setelah masing-masing melakukan persiapan, mereka segera

duduk ditempat masing-masing yang sudah disediakan. Dalam ruangan sudah disiapkan tatami yang dapat dipindah-pindahkan. Sensei dan para peserta duduk di atas tatami tersebut. Semua duduk dalam posisi bersimpuh. Bagi yang baru pertama sekali mengikuti upacara minum teh ini, dapat mengganti posisi duduk apabila sudah tidak nyaman dengan duduk bersimpuh. Namun bagi yang sudah terbiasa, diharuskan untuk terus duduk dalam posisi bersimpuh sampai upacara selesai.

Upacara minum teh di Indonesia, tidak terlalu terlihat kekhidmatannya. Hal ini dikarenakan oleh kurangnya pengalaman dari para peserta dalam mengikuti upacara minum teh. Juga dikarenakan oleh tujuan yang berbeda-beda dari masing-masing peserta dalam mengikuti upacara minum teh tersebut. Sehingga upacara minum teh ini terlihat santai dan tidak terlalu serius seperti yang terdapat dalam upacara minum teh yang ada di Jepang.

Jika dilihat dari kondisi ruangan upacara minum teh yang sangat sederhana, para peserta juga tidak diharuskan untuk mengikuti tata cara dan aturan-aturan seperti pada upacara minum teh di Jepang. Di mana para peserta diharuskan untuk menunggu di ruang tunggu ( machiai ) dan di rumah kecil di taman. Namun mereka dapat menunggu di ruangan yang sama dengan ruangan dimana upacara minum teh akan dilangsungkan. Peserta juga tidak diharuskan


(48)

untuk memakai sendal jerami dan memasuki ruangan upacara minum teh melalui

nijiriguchi, sebab mereka dapat langsung memasuki ruangan upacara minum teh.

Karena tidak ada taman dan tsukubai, peserta juga tidak harus membersihkan diri di taman. Namun mereka dapat membersihkan dan mempersiapkan diri di kamar kecil. Pada upacara minum teh di Indonesia, terutama yang dilaksanakan di Japan Foundation Jakarta, aturan yang berlaku tidak terlalu kaku. Begitupun tata caranya, dibuat tidak terlalu rumit. Sehingga memudahkan peserta untuk mengikuti jalannya upacara. Hal ini membuat para peserta dapat dengan leluasa mengajukan pertanyaan kepada sensei. Namun meskipun demikian, mereka tetap diajarkan makna dan filosofi yang sebenarnya dari upacara ini.

Tidak demikian halnya dengan upacara minum teh yang diadakan di rumah Ibu Irna di Medan. Upacara minum teh yang dilaksanakan di tempat Ibu Irna lebih khidmat dan tenang. Hal ini disebabkan karena jumlah peserta yang ikut ambil bagian dalam upacara ini, lebih sedikit jika dibandingkan dengan peserta yang ada di Japan Foundation Jakarta. Selain itu juga karena tempat pelaksanaannya di rumah sehingga suasana jauh lebih tenang dan damai. Tidak seperti di Japan Foundation Jakarta yang berbentuk gedung, dimana orang bebas memasukinya meskipun tidak dapat memasuki ruangan upacara minum teh.


(49)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Dari uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

1. Upacara minum teh adalah salah satu dari sekian banyak kebudayaan yang berasal dari Cina yang dikembangkan dan menjadi kebudayaan Jepang. Upacara ini dibawa masuk ke Jepang oleh pendeta-pendeta Budha yang sedang belajar di Cina. Pada jaman dahulu upacara ini hanya diperuntukkan bagi kaum tertentu saja, seperti para saudagar dan bangsawan. Namun pada saat ini, upacara minum teh tidak lagi hanya untuk orang-orang tertentu, melainkan siapa saja boleh mengikuti upacara ini.

2. Pada awalnya ritual ini dimanfaatkan oleh para pendeta untuk kesehatan, sebab teh berfungsi menjaga tubuh tetap fit dan segar, serta untuk menahan rasa kantuk pada saat mereka sedang meditasi yang dapat memakan waktu sampai berjam-jam.

3. Upacara minum teh bukan hanya sekedar kegiatan minum teh saja. Ada banyak makna yang terkandung di dalamnya. Seperti kesopanan dan keramah-tamahan. Dalam upacara ini diajarkan bagaimana menerima orang lain dan menghormatinya tanpa memandang status orang tersebut. 4. Upacara ini sangat rumit dan penuh dengan aturan dan tata cara yang telah


(50)

mengadakan upacara ini. Perlu waktu hingga bertahun-tahun dalam mempelajari upacara ini. Bahkan untuk menjadi seorang guru upacara minum teh diperlukan waktu hingga berpuluh-puluh tahun.

5. Dalam upacara minum teh ( chanoyu ), terdapat filosofi atau yang sering disebut sebagai spirit chado. Yaitu Wa yang berarti keharmonisan atau keselarasan, Kei yang berarti penghargaan atau penghormatan, Sei yang berarti kesucian atau kemurnian, dan Jyaku yang berarti kedamaian atau ketenangan. Ke empat filosofi di atas merupakan pengaruh dari ajaran Zen Budhism.

6. Terdapat adaptasi kebudayaan dalam upacara minum teh di Indonesia. Di antaranya adalah tempat pelaksanaan, dan tata cara serta aturan yang berlaku. Di Jepang tempat pelaksanaan chanoyu adalah disuatu ruang khusus yang disebut dengan chashitsu, sedangkan di Indonesia tidak menggunakan ruang khusus sebab upacara minum teh di Indonesia tidak sering diadakan. Karena keterbatasan tempat untuk mengadakan upacara minum teh, maka tata cara dan aturan juga menjadi tidak terlalu rumit. Peralatan minum teh di Indonesia sama dengan yang ada di Jepang. Hanya beberapa peralatan saja yang mengalami adaptasi, yaitu pengurangan karena peralatan chanoyu sangat mahal. Namun, meskipun demikian upacara minum teh di Indonesia tidak terlalu berbeda dengan upacara minum teh yang ada di Jepang. Sebab nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya tetap ada dan dipertahankan.


(51)

4.2. Saran

Saran yang dapat penulis kemukakan dari permasalahan di atas adalah : Jepang adalah negara modern dan memiliki teknologi yang maju, namun hingga saat ini tetap mempertahankan dan memegang teguh nilai kebudayaannya. Bahkan kebudayaan negara Jepang telah dikenal dan masuk ke negara-negara lain di dunia. Penulis mengharapkan bangsa Indonesia juga mampu melakukan hal yang serupa, mengingat keanekaragaman kebudayaan yang terdapat di negeri ini. Bangsa Indonesia dapat belajar dari bangsa lain dalam hal mempertahankan nilai-nilai kebudayaannya. Meskipun banyak kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia, hendaknya dapat diterima dan disaring sehingga dapat memperkaya kebudayaan bangsa Indonesia sendiri.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1975. A Hunderd Things Japanese. Tokyo : Japan Culture Institute

Anonim. 1998. The Kodansha Bilingual Encyclopedia of Japan. Tokyo : Kodansha International Ltd.

Arikunto, Suharsimi. 1990. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta Forbis.H, William. 1973. The Japan of Today. Japan : Ministry of Foreign

Affairs

Hyoe, Murakami & Thomas J. Harper. Great Historical Figures of Japan. 1978. Tokyo : Japan Culture Institute

Indarti, Retno. 2000. Skripsi. Nihon Shakai no Chanoyu ni Taishite no

Zenshisou no Eikyo. Medan : Fakultas Sastra USU

Nazir, Mohamad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia Nio Joe Lan. 1962. Djepang Sepandjang Masa. Jakarta : P.T. Kinta

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian

Sastra. Jogjakarta : Pustaka Pelajar

Sato, Shozo. 2005. Tea Ceremony Asian Arts & Crafts For Creative Kids. Boston : Tuttle Publishing

Sen, Soshitsu. 1979. Chado The Japanese Way Of Tea. New York & Tokyo : John Weatherhill Inc.

Sen, Soshitsu XV. 1979. Tea Life, Tea Mind. New York & Tokyo : John Weatherhill Inc.

Spillane, James J. 1992. Komoditi Teh, Peranannya Dalam Perekonomian


(53)

Sulaeman, Munandar. 2005. Ilmu Budaya Dasar. Bandung : PT Refika Aditama

Tanaka Sen’O, Tanaka Sendo. 1998. The Tea Ceremony. Japan : Kodansha International

Varley, Paul & Kumakura Isao. 1989. Tea In Japan. Honolulu : Univ. of Hawaii Press

http://id.wikipedia.org/wiki/Japanese#sejarah www.sinarharapan.co.id/berita/0512/08/hib/03.html http://id.wikipedia.org/wiki/Upacara_minum_teh

http://osdir.com/ml/culture.region.china.budha-tonghoa/2005-11/m http://gicdepok.wordpress.com/upacara-minum-teh-chanoyu/ www.liveconnector.com/forum/viewtopic.php?t=1012 www.korantempo.com/news/2002/3/31/idea/23.html http://www.faberhost.com/sosro/sejarah-teh-dunia.htm

http://ivanzz.dagdigdug.com/2008/07/31/sejarah-teh/ http://izzymagazine.com/discuss.htm

http://yulider.blogspot.com/2003/06/mengikuti-upacara-minum-teh-hari-ini.html

www.appetitejourney.com www.detikfood.com


(54)

(55)

(56)

(57)

(58)


(59)

(60)

(61)

(1)

(2)

(3)


(4)


(5)

(6)

50