2. Jawaban Responden Terhadap Variabel X
3. Jawaban Responden Terhadap Variabel Y
4. Kalkulasi Nilai X dan Y
5. Lembar Kegiatan Bimbingan Penelitian Penulisan Skripsi Departemen Ilmu
Kesejahteraan Sosial 6.
Surat Keputusan Komisi Pembimbingan Penulisan Proposal Penelitian Penelitian Skripsi 7.
Surat Pengantar Penelitian Dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara untuk Kelurahan Padang Bulan Medan
8. Surat Pengantar Penelitian Dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara untuk PT. Pertamina Sumbagut 9.
Surat Pengantar Penelitian Dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara untuk Badan Pusat Statistik Kota Medan
10. Surat Keterangan Telah Mengadakan Penelitian Dari Kelurahan Padang Bulan Medan
11. Surat Keterangan Telah Mengadakan Penelitian Dari PT. Pertamina Sumbagut
12. Surat Keterangan Telah Mengadakan Penelitian Dari Badan Pusat Statistik Kota Medan
13.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah.
Universitas Sumatera Utara
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMET ILMU KESEJAHTRAAN SOSIAL
NAMA : Putra kharisma Nim : 050902038
ABSTRAK PENGARUH PROGRAM KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS TERHADAP PEDAGANG KECIL DI
KELURAHAN PADANG BULAN MEDAN. SKRIPSI ini terdiri dari 6 BAB, 54 halaman, 9 tabel, 12 lampiran, serta 13 kepustakaan
Pada penelitian yang di lakukan, penulis menyoroti Pengaruh program konversi minyak tanah ke gas terhadap pedagang kecil di kelurahan padang bulan medan dan kaitan nya dengan
kesejahteraan pedagang di tinjau dari faktor pendapatan, yaitu dengan cara melihat dan menganalisa data penelitian, yang pada dasarnya membandingkan keadaan sosial ekonomi
pedagang di kelurahan padang bulan medan sebelum dan sesudah Program konversi minyak tanah ke gas.
Dalam hal ini, pengaruh sebelum dan sesudah Program konversi minyak tanah ke gas terhadap pedagang kecil di Kelurahan Padang Bulan Medan berpengaruh positif, artinya
hadirnya Program Konversi Minyak tanah ke gas memberi dampak positif bagi pendapatan atau penghasilan Pedagang kecil di Kelurahan Padang Bulan Medan.
Dengan berpedoman pada hipotesa yang diajukan yaitu “Ha : terdapat hubungan yang signifikan antara kegiatan dan aktifitas Program konversi minyak tanah ke gas terhadap
pedagang kecil di Keluranhan Padang Bulan Medan dan Ho : tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Program Konversi minyak tanah ke gas terhadap pedagang kecil di Kelurahan
Padang Bulan Medan” maka Ha di terima dan Ho tidak dapat di terima setelah dilakukan analisa data. Pemberlakuan Program konversi minyak tanah ke gas memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap pedagang kecil di Kelurahan Padang Bulan Medan.
Kata kunci : Program konversi Minyak Tanah ke Gas, Pedagang Kecil
Universitas Sumatera Utara
Inti permasalahan energi dunia adalah ketidakseimbangan permintaan demand dan penawaran supply serta akses terhadap sumber daya energi. Berbagai faktor yang menciptakan
ketidakseimbangan tersebut antara lain adalah pesatnya laju pertambahan penduduk dan masifnya industrialisasi dunia. Hal ini meningkatkan konsumsi energi dunia secara drastis dan
mengakibatkan tersedotnya cadangan energi khususnya energi fosil. Diperkirakan hingga tahun 2030 konsumsi energi dunia masih tergantung kepada energi minyak bumi yang tidak
terbarukan. Dalam konteks kawasan, Asia Pasifik dengan pertumbuhan ekonominya yang dinamis hanya memiliki cadangan minyak yang sedikit dan menyebabkan kebutuhan minyak
kawasan banyak tergantung pada kawasan lain. Dalam batas tertentu keadaan ini juga dialami Indonesia. Kondisi energi Indonesia saat
ini masih mengandalkan pada migas sebagai penghasil devisa maupun untuk memasok kebutuhan dalam negeri. Cadangan minyak bumi dalam kondisi depleting, walaupun gas bumi
cenderung meningkat. Untuk energi baru dan terbarukan, meskipun Indonesia memiliki potensi beragam, namun pengelolaan dan penggunaannya belum optimal. Berbagai potensi energi
tersebut antara lain: sumber energi nabati, gas, panas bumi, energi nuklir, energi surya, energi angin dan energi laut. Di sisi lain, Indonesia yang dulu merupakan negara pengekspor minyak
saat ini telah berubah menjadi negara pengimpor minyak net-importing country. Tantangan Pemerintah ke depan adalah memperkuat ketahanan energi nasional melalui
berbagai perangkat kebijakan yang ditujukan untuk mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan guna mencapai energi bauran, meningkatkan efisiensi dan konservasi energi serta
memperkuat peran Pemerintah sebagai regulator kebijakan energi. Dalam konteks penguatan ketahanan energi, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa aspek jaminan pasokan energi harus
diimbangi dengan adanya akses daya beli masyarakat terhadap energi. Hal ini berarti bahwa
Universitas Sumatera Utara
penguatan ketahanan energi perlu diintegrasikan dengan pembangunan berkelanjutan khususnya yang terkait dengan penguatan daya dukung sosial-ekonomi masyarakat. Sementara itu, terkait
dengan upaya pembaharuan kebijakan energi nasional, ke depan diharapkan bahwa potensi sumber-sumber energi Indonesia yang ada dapat dioptimalkan sehingga dapat menghasilkan
output sumber energi yang produktif bagi pembangunan nasional. Untuk menyikapi ketergantungan minyak terhadap negara lain dan mengoptimalkan
potensi sumber energi nasional, konsep ketahanan energi menjadi sangat penting bagi Indonesia. Untuk itu, Pemerintah Indonesia telah menempuh sejumlah kebijakan untuk memperkuat
ketahanan energi nasional antara lain melalui: pengembangan kebijakan energi yang bertumpu pada kebutuhan demand side management, menekan subsidi minyak bumi seminimal mungkin,
pembaharuan kebijakan energi guna memperkuat good-governance di sektor energi nasional dan memperkuat kerangka legislasi dan kebijakan diversifikasi energi melalui pengembangan energi
baru dan terbarukan dan energi alternatif. Selain itu, Indonesia harus mengejar ketertinggalannya di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi terutama yang terkait dengan pengelolaan sumber
energi baru dan terbarukan dalam waktu yang relatif cepat melalui proses alih teknologi yang dapat dicapai dengan melakukan kerjasama strategis dengan mitra dari negara lain tanpa
mengganggu kepentingan nasional. Krisis energi dunia yang semakin sering terdengar. Sudah te rasa dampaknya di tengah-
tengah masyarakat dunia. Krisis bahan bakar berbasis fosil ini telah berdampak pada melonjaknya harga bahan bakar. Tidak berhenti di situ saja, akibat melonjaknya harga bahan
bakar dengan berbagai macam produk turunannaya harga sembako ikut melambung. Akhirnya beban masyarakat semakin berat. Nasib masyarakat semakin menderita, isu krisis energi ini telah
mengundang banyak negara untuk ikut berperan aktif mencari solusi. Salah satu solusi yang
Universitas Sumatera Utara
ditawarkan dunia adalah mencari sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar berbasis fosil. Tidak terkecuali dengan Indonesia. Negeri ini berupaya ikut berpartisipasi aktif
dalam menyelesaikan masalah krisis energi, yakni dengan mengembangkan energi alternatif berbasis nonfosil. Berbagai seminar digalakkan serta dana pengembangan energi altenatif
berbahan baku nabati pun digelontorkan. Salah satu programnya adalah pengembangan bahan bakar biofuel dari tanaman-tanaman potensial. Mengingat ketersediaan bahan baku yang cukup
melimpah di Indonesia, bagi pemerintah program ini dirasa layak untuk dikembangkan. Program konversi energi berbahan baku tanaman ini disambut baik oleh negara negara
luar. Terutama negara-negara maju. Namun, program konversi energi berbahan baku nabati ini cukup mengundang banyak kontroversi di masyarakat Indonesia. Ancaman ketahanan pangan
serta ancaman lingkungan hidup adalah beberapa alasannya. Proyek 2 juta hektar yang direncanakan di Kalimantan Tengah misalnya. Rencana ini yang dibiayai oleh Cina dan
didukung oleh pemerintah Indonesia, telah dikritik oleh kelompok-kelompok peduli lingkungan hidup. Ketika muncul isu menipisnya cadangan minyak bumi dan gas alam Indonesia sebenarnya
Indonesia masih memiliki cadangan minyak sebesar 3,99 miliar barel yang diperkirakan baru habis dieksploitasi selama 11 tahun dan masih memiliki potensi cadangan sejumlah 4,41 miliar
barel. Sedangkan stok gas bumi mencapai 187 triliun kaki kubik. Atau akan habis dalam waktu 68 tahun dengan tingkat produksi per tahun sebesar 2,77 triliun kaki kubik. Cadangan batu bara
ada sekitar 18,7 miliar ton lagi. Atau dengan tingkat produksi 170 juta ton per tahun. Berarti cukup buat memenuhi kebutuhan selama 110 tahun sumber: Kementerian ESDM, 14032008.
Pada tahun 2005 ditemukan sekitar 5.081 juta barel cadangan minyak dan gas bumi migas di Laut Timor. Data mengenai cadangan minyak di Laut Timor tersebut diperoleh dari jaringan
Yayasan Peduli Timor Barat YPTB di Darwin Australia Utara. Data tersebut diperoleh dari
Universitas Sumatera Utara
sejumlah perusahaan migas yang kini beroperasi di Laut Timor jauh sebelum Timor Timur merdeka. Jaringan YPTB juga memperoleh informasi dari sejumlah ahli minyak di Australia
yang mengatakan bahwa total cadangan migas di Laut Timor sesungguhnya jauh lebih besar dari data awal yang dikemukakan pemerintah Australia sebelumnya.
Angka produksi migasnya sekitar 250 ribu barel per hari. Jika harga minyak dunia saat ini US 67, maka tiap tahunnya Laut Timor akan menghasilkan US1 miliar US 7 juta setiap
hari. Nah, bila angka itu dikonversi ke rupiah dengan kurs Rp 10,300 Dolar Amerika, produksi migas di Laut Timor akan mencapai Rp 172 miliar hari. Namun, angka fantastis itu kini dikuasai
Australia dan Timor Timur saja. Itu pun Timor Timur hanya mendapat bagian 20-30. Sementara di Aceh ditemukan cadangan migas terbesar di dunia, yakni 320,79 miliar barel.
Selain energi fosil Indonesia juga kaya akan sumber energi nonfosil. Seperti panas bumi geotermal dengan kapasitas mencapai 27000 megawatt, tenaga surya dengan potensi intensitas
radiasi matahari rata-rata di seluruh wilayah Indonesia sekitar 4,8 kWh m2, angin, air, serta sumber potensial lain. Kalau dilihat dari potensi sumber energi yang begitu melimpah di
Indonesia seharusnya Indonesia mampu memenuhi sumber energi bagi masyarakat. Baik energi fosil maupun nonfosil. Kemakmuran masyarakat seharusnya tercapai. Tapi, kenyataanya kondisi
masyarakat Indonesia sungguh jauh dari kesejahteraan. Masyarakat harus menunggu berjam-jam untuk antri membeli minyak tanah, bensin, dan sebagainya.
Di sisi lain, 4 big boss Freeeport menerima gaji Rp 126,3 M bulan. Namun, masyarakat Papua harus mengalami busung lapar. Sama seperti pihak ExxonMobil yang
memperoleh keuntungan sebesar US 40.6 Billion atau setara dengan Rp 3,723,020,000 ,000,000 dengan kurs rupiah 9,170 atau setiap detiknya. Chevron yang memperoleh keuntungan pada
tahun 2007 sebesar US 18,7 billion atau Rp 171,479,000,000,000. Atau seperti Royal Ducth
Universitas Sumatera Utara
Shell yang menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun mencapai US 31 miliar. Atau setara dengan Rp 284,270,000,000,000. Keuntungan yang diperoleh korporasi-
korporasi negara imperialis ini sebenarnya berada jauh di atas Produk Domestik Bruto PDB beberapa negara dunia ketiga, tempat korporasi tersebut menghisap. Hingga akhir tahun 2007,
Produk Domestik Bruto PDB Indonesia bahkan belum sanggup menembus Rp 4,000 triliun. Untuk triwulan ke-3 tahun 2007 saja hanya mencapai Rp 2,901 triliun. Untuk negara penghasil
minyak lainnya, Libya hanya 50.320 juta US, Angola hanya 44,033 juta US, Qatar hanya 42, 463US, Bolivia hanya 11.163 juta US, dan lain-lain. Mengapa Indonesia yang kaya akan
sumber daya energi harus menghadapi krisis energi dan tetap dengan title Negara Dunia Ketiga-nya?
UU No 222001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah meliberalisasi seluruh kegiatan usaha migas, mulai dari sektor hulu hingga hilir. UU Migas ini telah mengebiri peran negara atas
migas. Hampir 90 produksi minyak bumi di Indonesia dikuasai korporasi asing, yakni Total, ExxonMobil, Vico ,ConocoPhillips, BP, Petrochina, Chevron, dan korporasi lainnya. Kesalahan
pandangan pemerintah tentang kepemilikan menyebabkan negara ini kian terpuruk dengan kebijakan-kebijakannya yang pro swasta asing. Pemerintah memahami bahwa kekayaan alam
Indonesia tak terkecuali migas adalah komoditas yang bisa dimiliki oleh siapa pun yang mampu memiliki modal untuk mengelolanya. Padahal, kekayaan yang menguasai hajat hidup orang
banyak. Termasuk barang tambang yang melimpah adalah milik rakyat. Di sisi lain, 4 big boss Freeeport menerima gaji Rp 126,3 M bulan. Namun,
masyarakat Papua harus mengalami busung lapar. Sama seperti pihak ExxonMobil yang memperoleh keuntungan sebesar US 40.6 Billion atau setara dengan Rp 3,723,020,000 ,000,000
dengan kurs rupiah 9,170 atau setiap detiknya. Chevron yang memperoleh keuntungan pada
Universitas Sumatera Utara
tahun 2007 sebesar US 18,7 billion atau Rp 171,479,000,000,000. Atau seperti Royal Ducth Shell yang menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun mencapai US 31
miliar. Atau setara dengan Rp 284,270,000,000,000. Keuntungan yang diperoleh korporasi- korporasi negara imperialis ini sebenarnya berada jauh di atas Produk Domestik Bruto PDB
beberapa negara dunia ketiga, tempat korporasi tersebut menghisap. Hingga akhir tahun 2007, Produk Domestik Bruto PDB Indonesia bahkan belum sanggup menembus Rp 4,000 triliun.
Untuk triwulan ke-3 tahun 2007 saja hanya mencapai Rp 2,901 triliun. Untuk negara penghasil minyak lainnya, Libya hanya 50.320 juta US, Angola hanya 44,033 juta US, Qatar hanya 42,
463US, Bolivia hanya 11.163 juta US, dan lain-lain. Mengapa Indonesia yang kaya akan sumber daya energi harus menghadapi krisis energi dan tetap dengan title Negara Dunia
Ketiga-nya? UU No 222001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah meliberalisasi seluruh kegiatan
usaha migas, mulai dari sektor hulu hingga hilir. UU Migas ini telah mengebiri peran negara atas migas. Hampir 90 produksi minyak bumi di Indonesia dikuasai korporasi asing, yakni Total,
ExxonMobil, Vico ,ConocoPhillips, BP, Petrochina, Chevron, dan korporasi lainnya. Kesalahan pandangan pemerintah tentang kepemilikan menyebabkan negara ini kian terpuruk dengan
kebijakan-kebijakannya yang pro swasta asing. Pemerintah memahami bahwa kekayaan alam Indonesia tak terkecuali migas adalah komoditas yang bisa dimiliki oleh siapa pun yang mampu
memiliki modal untuk mengelolanya. Padahal, kekayaan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Termasuk barang tambang yang melimpah adalah milik rakyat.
Langkah ini bisa dipahami cukup strategis mengingat setelah penghapusan subsidi bensin dan solar, permintaan akan minyak tanah tidak memperlihatkan penurunan. Karena itu,
salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi pemakaian minyak tanah.
Universitas Sumatera Utara
Sayangnya, rencana konversi kepada LPG ini terasa mendadak dan tidak terencana secara komprehensif. Tak heran berbagai masalah dalam pelaksanaannya muncul seakan tiada henti.
Mulai dari ribut-ribut tender kompor gas yang dilakukan oleh Kantor Menteri Koperasi dan UKM, belum jelasnya sumber pendanaan dan besarnya subsidi yang mencapai ratusan milyar
Rupiah, rendahnya sosialisasi kepada masyarakat yang justru sedang giatgiatnya memproduksi kompor murah berbahan bakar briket sesuai program pemerintah sebelumnya, ketidaksiapan
infrastruktur seperti stasiun pengisian dan depot LPG, hingga kaburnya kriteria pemilihan lokasi uji coba dan kelompok masyarakat penerima kompor dan tabung gas gratis. Belum habis
berbagai kontroveri tersebut, muncul pula masalah lain dalam proses tender kompor gas. Yaitu adanya aturan baru dimana kompor gas harus memiliki dua tungku. Padahal peserta tender
sebelumnya telah mengantisipasi dan diminta menyiapkan penawaran hanya satu tungku sesuai aturan dari Departemen Perindustrian.
Sejak adanya kebijakan konversi itu, minyak tanah menghilang dari pasar. Kalaupun ada, harganya sangat tinggi, sehingga mereka tak sanggup membelinya. Sementara itu, kalau mau beli
gas, mereka harus membeli 3 kg atau satu tabung yang harganya berkisar Rp 15 ribu. Kondisi ini tampaknya belum diperhatikan pemerintah. Bagi rakyat kecil, membeli bahan bakar Rp 15 ribu
sangat memberatkan, karena penghasilan mereka tiap hari hanya cukup untuk makan sehari, bahkan terkadang kurang. Ini berbeda dengan minyak tanah yang bisa dibeli eceran, satu atau
bahkan setengah liter sekalipun. Dari aspek ini, kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji akan menimbulkan masalah seperti yang disebutkan di atas. Pemerintah kurang peka melihat kondisi
masyarakat Indonesia yang sebagian besar. penghasilannya pas-pasan. Mestinya, kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji dilakukan secara selektif. Masyarakat kecil tetap dibiarkan
memilih untuk sementara waktu, apakah menggunakan minyak tanah atau elpiji, yang kedua-
Universitas Sumatera Utara
duanya disubsidi. Sementara itu, masyarakat yang mampu diharuskan memakai elpiji. Untuk itu, perlu ada pendataan penduduk miskin yang akurat di tiap-tiap wilayah agar pemberian subsidi
tersebut tepat sasaran. Tidak semua rencana baik bisa berjalan mulus. Apalagi dalam era demokrasi yang penuh
transisi. Berbagai niat dan semangat untuk mengukir sejarah tidak cukup hanya dibekali upaya biasa, tapi juga menuntut perjuangan ekstra dan kerjasama. Itulah salah satu kaedah proses
perencanaan saat ini. Karena itu demi kelangsungan program konversi yang bertujuan baik, maka proses perencanaan dan program pelaksanaannya sebaiknya dibenahi dari sekarang sebelum
mengalami kegagalan atau menciptakan dampak yang lebih buruk. Ada dua masalah utama yang perlu pemikiran ulang.
Apabila pemerintah masih akan terus melakukan konversi minyak tanah dengan berbagai kondisi makro seperti di atas, maka pelaksanaannya menuntut pembenahan. Koordinasi menjadi
kata kunci. Demikian pula, harus jelas institusi penanggung jawab program utama executing agency dan institusi pelaksana untuk setiap sub program implementing agency. Saat ini peran,
fungsi dan tugas masingmasing institusi yang terlibat masih rancu. Setidaknya ada beberapa institusi yang terlibat, antara lain: Departemen ESDM, PT. Pertamina, BPH Migas, Depertemen
Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Usaha swasta, LSM, dan Pemerintah Daerah. Menjadi penting untuk meluruskan peran dan tugas masing-masing agar tidak terjadi
tumpang tindih dan saling tuding. Untuk mewujudkan kerjasama dan koordinasi yang baik antar instansi sudah sepantasnya dibetuk Tim Terpadu untuk melaksanakan program konversi ini.
Mengingat jumlah masyarakat miskin yang terus bertambah, maka sangat diperlukan kecermatan dalam menentukan lapisan masyarakat yang akan menjadi sasaran konversi ini. Untuk skala
nasional tentu saja tingkat kesulitannya akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan skala uji
Universitas Sumatera Utara
coba yang sekarang sedang dilaksa nakan di beberapa kecamatan di wilayah DKI Jaya dan Tangerang.
Konversi penggunaan minyak tanah memang harus dilaksanakan secara berkesinambungan mengingat masih tingginya permintaan dan ketergantungan nasional terhadap
BBM. Program ini harus berkelanjutan dan tidak bisa sporadis mengingat pemerintah masih kesulitan menaikkan produksi minyak ketingkat 1,3 juta barel per hari, sementara penggunaan
bahan bakar gas dan batu bara masih terkendala oleh infrastruktur. Penggantian jutaan kompor minyak tanah menjadi kompor gas tentu memerlukan biaya cukup besar. Apalagi jika itu akan
diberikan secara cuma-cuma. Untuk jangka panjang strategi pembiayaan mutlak harus dipikirkan. Diusulkan agar biaya konversi pemakaian minyak tanah ini bisa diambilkan dari
berbagai retribusi dan pendapatan negara bukan pajak lainnya PNBP yang jumlahnya cukup besar di sektor Migas. Sedangkan pengelolaanya dalam jangka panjang bisa saja di embankan
kepada badan usaha tertentu atau dikembalikan ke Pertamina dengan menggunakan pola Public Service Obligation sehingga mengurangi rantai birokrasi dan dapat meringankan beban
pemerintah ditengah keterbatasan sumber daya manusia yang ada saat ini. Untuk mensuseskan program ini maka harusi. Karena itu ukuran tabung gas dan
kepastian rancangan kompor hendaklah dibuat sedemikian rupa sehingga memang sesuai dengan kebutuhan mereka. Khusus untuk ukuran tabung gas, kiranya perlu dipikirkan ulang secara
seksama, hingga tidak terjadi salah persepsi nantinya bagi sebagian masyarakat miskin yang tentu juga memiliki tingkat pendidikan yang agak terbatas dibandingkan dengan masyarakat luas
lainnya. Kedua hal ini sangat perlu diperhatikan untuk menghindarkan berbagai masalah sosial yang belum diantisipasi pemerintah pada saat ini.
Universitas Sumatera Utara
Krisis energi saat ini sekali lagi mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa usaha serius dan sistematis untuk mengembangkan dan menerapkan sumber energi terbarukan guna
mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil perlu segera dilakukan. Penggunaan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan juga berarti menyelamatkan lingkungan hidup
dari berbagai dampak buruk yang ditimbulkan akibat penggunaan BBM. Terdapat beberapa sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan yang bisa diterapkan segera di tanah air, seperti
bioethanol, biodiesel, tenaga panas bumi, tenaga surya, mikrohidro, tenaga angin, dan sampahlimbah.
Penggunaan Bio fuel secara berkesinambungan akan lebih efisien untuk menghemat pemakaian BBM. Produk-produk bio fuel diantaranya adalah :
1. Biodiesel, untuk menggantikan minyak solar, dipakai pada kendaraan dengan mesin diesel.
Bisa dihasilkan oleh CPO, minyak jarak pagar, dll. 2.
Bioethanol, untuk menggantikan bensin. Bisa dihasilkan oleh tebu, ubi kayu, shorgum dll 3.
Biokerosin, untuk menggantikan minyak tanah. Bisa dihasilkan oleh jarak pagar Produk-produk Bio fuel komersial yang sudah ada diantaranya
adalah : B-10 10 biodiesel dan 90 solar , B-5 5 biodiesel , B-20, E-10 10 bioethanol dan 90 premium , E-5 5 bioethanol dll.
Mendorong pemerintah untuk mengembangkan Gasified Petroleum Condensat GPC. Sumber energi alternatif hasil penelitian PT Pertamina ini dapat digunakan masyarakat sebagai
bahan bakar untuk menggantikan minyak tanah kerosin dan LPG liquid petroleum gas. Dalam rangka diversifikasi energi dan penghematan BBM, GPC baik untuk dikembangkan. Selain lebih
murah, nantinya pemerintah pun tidak perlu mengimpor LPG untuk menggantikan kerosin. Secara teknis, GPC memiliki keunggulan lebih dari bahan bakar lainnya. Di samping nilai kalori
Universitas Sumatera Utara
yang tidak kalah besarnya dengan LPG 10.000 – 12.000 calgram, kualitas api pembakarannya juga sama dengan kualitas api LPG biru. Dan tingkat efisiensi pemakaian GPC lebih tinggi dari
bahan bakar lainnya. Untuk memanaskan air sampai mendidih dalam volume yang sama, dibutuhkan jumlah berat GPC yang lebih sedikit dibandingkan LPG atau kerosin.
Selain menghemat BBM, pemanfaatan GPC yang berbahan baku kondensat ini juga akan menghemat devisa negara. Karena dapat mengurangi impor BBM untuk konsumsi dalam negeri.
Jika kita mengimpor kerosin sebanyak 30MBCD dengan selisih harga kerosin terhadap harga crude oil
di pasar luar negeri sebesar US 10bbl dan harga kondensat sama dengan crude oil yaitu sekitar US 70bbl, maka akan dihemat devisa sebesar US 108 juta per tahun. Karenanya,
rencana pemerintah untuk mensubstitusi kerosin dengan LPG patut untuk ditinjau ulang. Subsidi kerosin yang diberikan pemerintah sebaiknya dialihkan untuk subsidi kompor GPC. Dengan
demikian subsidi ke masyarakat hanya sekali saja, tidak terus menerus. Bila pemakaian GPC sudah dibudayakan untuk keperluan rumah tangga, penggunaan kerosin otomatis akan semakin
berkurang. Kerosin untuk selanjutnya bisa dialihkan sebagai bahan bakar pabrik. Tentunya dengan harga yang mengikuti pasar.
Konversi ke batu bara diganti ke elpiji. Pergantian konversi secara tiba-tiba itu tidak hanya mengejutkan masyarakat yang sudah mulai bersiap-siap mengganti minyak tanah ke batu
baru, tapi juga mengecewakan para perajin tungku batu bara dan para peneliti yang telah berhasil membuat tungku batu bara modern, yang bisa mengatur nyala api dan menghemat pemakaian
batu bara. Di sejumlah pameran, misalnya, kreativitas masyarakat membuat tungku batu bara sudah mulai bermunculan guna menyambut era konversi minyak tanah ke batu bara itu.
Beberapa peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan perguruan tinggi, seperti di Universitas Sriwijaya, Palembang, telah berhasil membuat alat sederhana untuk mencairkan batu
Universitas Sumatera Utara
bara. Batu bara cair ini harganya lebih murah daripada minyak tanah dan sangat mudah pemakaiannya, sama seperti pemakaian minyak tanah. Baiknya lagi, semua jenis batu bara–baik
yang muda kadar karbonnya rendah maupun yang tua kadar karbon tinggi, bisa dicairkan. Dan batu cair ini ternyata tidak hanya bisa dengan sedikit treatment kimia, batu bara cair pun
bisa diubah jadi premium. Seandainya saja saat itu kebijakan konversi minyak tanah ke batu bara terus berjalan,
maka masyarakat akan lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan energinya. Kompor-kompor batu bara, misalnya, tidak hanya bisa dipakai untuk membakar briket batu baru, tapi juga
membakar briket arang kayu-kayuan, arang batok, dan lain-lain. Tapi sayang, suasana yang sudah tepat itu tiba-tiba dibatalkan secara mendadak. Apa motif di balik pembatalan konversi
minyak tanah ke batu bara memang perlu diselidiki untuk mengetahui kenapa kebijakan yang sudah positif itu dibatalkan. Konversi menimbulkan banyak masalah.
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak pemerintah berperan aktif untuk menanggulangi masalah harga minyak yang makin meningkat dan cadangan yang
makin menipis. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan biofuel dengan membentu tim nasional pengembangan bahan bakar nabati BBN sebagai upaya untuk mendukung
pengembangan bahan bakar nabati dengan menerbitkan blue print dan road map untuk mewujudkan pengembangan BBN tersebut.Selain itu, pemerintah telah menerbitkan Peraturan
presiden republik Indonesia nomor 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Kebijakan
tersebut menekankan pada sumber daya yang dapat diperbaharui sebagai altenatif pengganti bahan bakar minyak. Ditambah dengan penerbitan Instruksi Presiden No 1 tahun 2006 tertanggal
Universitas Sumatera Utara
25 januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati biofuels, sebagai energi alternative.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden No. 104 Tahun
2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefield Petroleum Gas LPG Tabung Tiga Kilogram pada 28 November. Demikian salinan Peraturan Presiden yang
diterima Tempo, Rabu 1212. Dalam peraturan tersebut disebutkan pemerintah perlu
melakukan substitusi penggunaan minyak tanah ke gas elpiji tiga kilogram. Konversi tersebut akan mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Rumah tangga dan usaha mikro menerima gratis
tabung dan kompor gas. Harga patokan dan harga eceran ditentukan menteri dengan pertimbangan Menteri Keuangan. Badan usaha yang ditunjuk boleh melakukan impor gas elpiji
namun dilarang ekspor gas ukuran tiga kilogram. Gubernur Sumatera Utara, H Syamsul Arifin meminta agar sosialisasi program konversi
minyak tanah ke gas elpiji di Sumut dimaksimalkan. Dia tak ingin, akibat kurang maksimalnya sosialisasi, kordinasi dan komunikasi, program pengurangan subsisidi minyak tanah tidak
berjalan baik karena tidak diterima masyarakat. “Proses konversi perlu dimantapkan lagi. Harus ada sosialisasi, koordinasi dan komunikasi. Mengingat akibat mis komunikasi karena tak
maksimalnya sosialisasi membuat pangkalan, pengecer minyak tanah, pengusaha dan warga tak paham dan resah,” kata Gubsu Syamsul Arifin seperti dijelaskan Kadis Komunikasi Informasi
Propsu Drs Eddy Syofian, MAP usai menerima kunjungan Tim Konversi Minyak ke Gas yang dipimpin langsung pejabat Direktorat Jenderal Migas Taryono Hadi Widjojo di Gubernuran, Jln
Sudirman Medan, kemarin. Mantan Bupati Langkat itu juga minta agar penerapan program konversi minyak tanah ke gas di Sumut tidak dilakukan terburu-buru. Katanya, pihak-pihak yang
menerima program itu mesti paham dulu tentang manfaat dan keuntungan pengalihan minyak
Universitas Sumatera Utara
tanah ke gas elpiji. Begitu juga halnya dengan para pengusaha pangkalan dan pengecer minyak tanah yang tersebar di Sumut. “Mesti diberi pemahaman dulu. Kita tidak ingin karena sosialisasi,
kordinasi dan komunikasi tak maksimal, program konversi minyak tanah itu tidak diterima masyarakat. Padahal, program itu sangat positif tujuannya,” sebutnya lagi.
Gubsu tak ingin, gara-gara sosialisasi tak maksimal, masyarakat sebagai pengguna gas elpiji, dunia usaha dan pengecer minyak tanah menjadi resah. Terlebih lagi, jika ketersedian
pasokan minyak tanah dan gas tidak stabil. Di pertemuan itu, kata Eddy, Gubsu juga menyarankan, agar sosialisasi melibatkan pemerintah daerah di tingkat bawah. Karena
berdasarkan masukan yang diterimanya, masyarakat butuh penjelasan aparat kecamatan, lurah dan kepling. “Sosialisasi tidak cukup hanya dilakukan tim konsultan dari Jakarta . Karena tak
semua tim konsultan dari Jakarta itu paham dengan karakter masyarakat Sumut,” paparnya. Pihak yang tidak boleh dilupahkan untuk dilibatkan disosialisasi program itu, sebut Gubsu,
adalah anggota Hiswanamigas Sumut. Karena merekalah yang lebih paham akan kondisi dan nasib para pengecer minyak tanah dengan diterapkannya program konversi minyak tanah ke gas.
Harapan Gubsu, sebut Eddy lagi, program konversi minyak tanah ke gas di Sumut dapat berjalan baik dan sesuai harapan. Karena katanya, program tersebut diyakini akan mampu
mengurangi subsidi minyak tanah yang jumlahnya cukup besar. “JIka program ini berhasil, anggaran untuk subsidi minyak tanah bisa dialihkan membiayai pembangunan infrastruktur,
pendidikan, kesehatan, pembangunan bidang pertanian dan lainnya,” sebutnya. Karenanya, Pemerintah propinsi Sumut sangat mendukung program yang mestinya sudah diterapkan di
sejumlah daerah di Sumut pada awal Mei 2009. “Gubsu mengatakan, pemerintah propinsi Sumut menyambut baik dan memberi dukungan terhadap program konversi minyak tanah itu. Dia juga
sangat berharap, program ini berjalan sukses,” ujar Eddy.
Universitas Sumatera Utara
Pertamina dan Hiswana Migas Nasional menjelaskan, tujuan kedatangannya ke Sumut adalah mengecek langsung kesiapan Sumut menjalankan program konversi minyak tanah ke gas.
Dia berharap, program tersebut dapat diterapkan sesuai harapan. “Kita berharap, program ini dapat berjalan baik di Sumut,” kata Taryono. Perbedaan pendapat antara pemerintah daerah dan
pusat juga menjadi polemik,selain itu perbedaan kebiasa’an masyarakat juga menyebabkan sulit y memuluskan program konversi minyak tanah ke gas. Selain itu penduduk kota medan sendiri
rebagian besar adalah kaum urban atau pendatang baik itu dari luar Sumatra utara seperi Sumatra barat,riau,Sumatra selatan,Aceh atau daerah luar pulau sumatra sndiri yang mayoritas bekerja di
sector perdagangan baik itu sekala besar atau pun kecil.
A. Perumusan Masalah.