Hubungan Pengaruh Televisi dengan Perkembangan Perilaku Negatif Anak

2.6 Hubungan Pengaruh Televisi dengan Perkembangan Perilaku Negatif Anak

Telah disinggung di depan bahwa tayangan televisi sedikit banyak, mau tidak mau harus kita nikmati, Oleh sebab itu orang tua harus berhati-hati terhadap tayangan-tayangan yang dirasa negatif dan tidak menguntungkan bagi berkembangan anak. Maksudnya, jangan sampai anak yang bagai kertas putih itu kotor karena tercoret oleh tayangan televisi. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan mendampingi anak sewaktu anak menyaksikan acara televisi, memberi jatah waktu kepada anak untuk menyaksikan acara televisi, dan tindakan lain yang sifatnya sebagai kontrol dan penyaring dari tayangan televisi. Di sisi lain, orang tua disibukkan oleh pekerjaan masing – masing, sehingga secara praktis untuk selalu menemani anak dalam menyaksikan acara atau tayangan televisi rasanya sulit untuk diwujudkan. Sebagai benteng untuk menangkal hal ini adalah melalui pendidikan, baik itu pendidikan secara formal yang dilaksanakan di sekolah maupun pendidikan non formal seperti pendidikan dalam keluarga. Memang bila dilihat waktunya, pendidikan non formal dalam keluarga memiliki peluang dan berpengaruh besar terhadap perkembangan anak, sebab dilihat dari waktunya, di rumah lebih banyak bila dibandingkan waktu yang dimiliki di sekolah. Oleh sebab itu, orang tua harus bertindak ganda, yakni sebagai guru, pemberi jalan, pemberi nasehat, pemberi arah, pemberi penerang, dan bahkan mengalihkan jalan bila anak tersebut mengalami sesat di tengah perjalanan. Dengan demikian, pendidikan baik formal yang dilaksanakan di sekolah maupun pendidikan non formal yang dilaksanakan dalam keluarga memiliki pengaruh positif terhadap perkembangan dan pola perilaku anak. Dalam penelitian-penelitian terdahulu tentang pengaruh tayangan televisi menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap perkembangan perilaku anak atara lain: Pertama, penelitian yang pada film untuk anak-anak yang dilakukan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia YKAI bekerjasama dengan Balitbang Deppen tahun 1993 menunjukkan bahwa adegan antisosial 52 lebih banyak dari pada adegan prososial 48. Adegan prososial menurut Wispe adalah beberapa perilaku yang memiliki konsekuensi sosial positif sedangkan menurut Mussen dan Einsenberg perilaku prososial sebagai tindakan yang ditujukan untuk memberi bantuan atau kebaikan pada orang lain atau kelompok orang tanpa mengharapkan balasan, dengan cara-cara yang cenderung mentaati norma sosial, Contoh adegan prososial adalah mementingkan orang lain, mengalah dengan alasan yang masuk akal dan tanpa paksanaan, aktivitas menolong, pemakaian bersama share, kehangatan yang menggambarkan keakraban hubungan persahabatan atau persaudaraan termasuk romantisme dalam bekerjasama, simpati yang merupakan ungkapan perasaan dan perbuatan tertentu dari seorang kepada orang lain seperti yang dialami oleh orang tersebut, misalnya; turut sedih, turut bergembira, dan lain-lain. Sedangkan kategori adegan antisosial meliputi; berkata dan bertindak kasar, membunuh, berkelahi, pemaksaan, mencuri, berperang, memukul, melukai, mengganggu, menyerang, dan sejenisnya, seperti ungkapan kebencian atau mengejek B. Gunarto, 1995 : 24. Kedua, penelitian yang dilakukan ahli Pendidikan Media Massa Prof. Glogaeur Astrid Susanto, 1993: 9 dari Jerman yang menunjukkan : 1 34 anak-anak berumur 9-10 tahun memiliki televisi tersendiri. 2 20 anak-anak dalam kelompok umur 6-8 tahun kini setiap Minggu menonton TV sekurang-kurangnya 40jamminggu. 3 Anak-anak dengan bebas menonton tayangan televisi smack down, yang berdampak negative pada anak, diberitakan bahwa di beberapa daerah ada anak yang tewas gara-gara meniru adegan smack down tersebut. Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth L. Wahyudi dari Australia Children Television Action Committe website Google; http:www.Pengaruh tayangan Televisi.go.id menjelaskan bahwa: 1 Selama masa sekolah anak-anak diperkirakan menyaksikan 87.000 tindakan kekerasan di televisi. 2 Film-film kartun juga sering memperagakan kekerasan, beberapa diantaranya menggambarkan 84 adegan kekerasan perjam. 3 Anak-anak tanpa kontrol orangtua dapat dikaitkan dengan meningkatknya kekerasan, perilaku agresif dan hasil akademik yang jelek. 4 Anak-anak di bawah umur 4 tahun kesulitan membedakan antara fantasi dan kenyataan. Keempat, “Komisi Nasional Perlindungan Anak pernah memantau 13 stasiun televisi swasta Indonesia. Hasilnya 62 diantaranya menayangkan perilaku kekerasan, ini dijumpai di sinetron dan tayangan- tayanagn film lainnya”, jelas Ariot Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak. www.sehatraga.wordpress.com . Kelima, hasil penelitian yang berjudul “Pola Menonton Televisi pada Anak dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan serta Pola Makan” yang dilakukan oleh Terapul Tarigan, Nancy Ervani, dan Syamsidar Lubis, Subbagian Tumbuh Kembang Pediatri Sosial, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Universitas dr, Pirngadi Medan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari 100 responden yang berusia 3-5 tahun, menonton telavisi 1-2 jamhari 56, acara paling disenangi film kartun 77. Dari hasil penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan antara acara yang disenangi dengan reaksi anak setelah menonton televisi p0,05, menonton televisi mempunyai pengaruh 32 dengan pengaruh pada belajar 17 dan pola makan 15. Penelitian tersebut membuktikn bahwa menonton televisi mempunyai pengaruh terhadap belajar anak tetapi tidak bermakna secara statistik. Keenam, Andayani 1997 melakukan penelitian terhadap beberapa film kartun Jepang, seperti Sailor Moon, Dragon Ball, dan Magic Knight Ray Earth. Ia menemukan bahwa film tersebut banyak mengandung adegan antisosial 58,4 daripada adegan prososial 41,6. Studi ini menemukan bahwa kategori perlakuan antisosial yang paling sering muncul berturut-turut adalah berkata kasar 38,56, mencelakakan 28,46, dan pengejekan 11,44. Sementara itu, katagori prososial, perilaku yang kerapkali muncul adalah kehangatan 17,16, kesopanan 16,05, empati 13,43, dan nasihat 13,06. Ketujuh, Laporan studi yang dilakukan di Amerika Serikat dengan tajuk; “Telvision and Growing Up: The Impact of Television Violence 1972” menemukan korelasi dalam taraf signifikan hanya 0,20 sampai 0,30 antara ekspose tindakan kekerasan di televisi dengan perilaku agresif pemirsa yang apda umumnya adalah anak-anak muda Budi Astuti, 2000: 26. Kedelapan, Dokter spesialis kejiwaan RS Theresia, Asianto mengatakan, tontonan seperti film kekerasan dan film porno sangat mempengaruhi perkembangan psikologi anak. “Apa yang mereka lihat dari tontonan itu terekam dan sewaktu-waktu mereka praktikkan seperti yang mereka lihat dalam adegan film itu. Dan ini sangat berbahaya bagi si anak itu sendiri karena bisa terjerumus dalam pergaulan yang salah,” terangnya kepada Jambi Independent 20112008. Kesembilan, menurut teori belajar sosial dari Bandura, orang anak cenderung meniru perilaku yang diamatinya, stimuli menjadi teladan untuk perilakunya Rakhmat, 2005. Stimuli dalam hal ini dapat termasuk tayangan televisi yang sedang ditonton. Kesepuluh, penelitian yang dilakukan selama 20 tahun terhadap sekelompok anak-anak, psikolog Leonard Eron dan L. Rowell Huesmann dari Universitas Illinois menyimpulkan bahwa anak-anak yang pernah menonton film kekerasan dalam jumlah cukup, cenderung akan melakukan tindakan kekerasan maupun kriminal pada usia muda. Bukan itu saja, di saat mereka dewasa pun mereka cenderung melakukan tindakan penganiayaan terhadap anak atau pasangan hidup mereka. Suguhan kekerasan pada perilaku agresif, tindak kejahatan dan kriminalitas dalam masyarakat. Semua anak dalam periode usia yang peka akan terkena dampaknya tanpa memandang jenis kelamin, tingkat intelegensi, maupun kelas sosial. www.bppndik.tripod.com . Kesebelas, penelitian yang berjudul Pengaruh Sinetron di Televisi terhadap Anak oleh R. Koesmaryanto Oetomo, S. Km, M. Si website Google; http:www.Pengaruh Tayangan Televisi.go.id menyebutkan: 1 Judul-judul sinetron anak atau remaja sering kali bertema vulgarisma, menantang, mengandung unsur pornografi. 2 Pemain sinetron dipilih dari remaja bahkan sebagian masih berusia anak- anak 6-13 tahun. 3 Peran yang dimainkan remaja dan anak-anak seringkali bertabrakan dengan norma pergaulan masyarakat dan belum sesuai dengan tingkat perkembangan psikologinya. 4 Banyak alur cerita sinetron yang bersetting sekolah tetapi tidak sesuai dengan norma agama dan adat ketimuran yang berlaku. Keduabelas, Dyer menyimpulkan Pengaruh Televisi Terhadap Tumbuh Kembang Anak oleh Ahmad Raihan, raihan_16cvcyahoo.co.id Dipublikasikan dan didedikasikan untuk perkembangan pendidikan di Indonesia melalui MateriKuliah.Com, sebagai media audio visual, TV mampu merebut 94 saluran masuknya pesan – pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga. TV mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat 50 dari apa yang mereka lihat dan dengar dilayar televisi walaupun hanya sekali ditayangkan. Atau secara umum orang akan ingat 85 dari apa yang mereka lihat di TV setelah 3 jam kemudian dan 65 setelah 3 hari kemudian. Dengan demikian terutama bagi anak-anak yang pada umumnya selalu meniru apa yang mereka lihat, tidak menutup kemungkinan perilaku dan sikap anak tesebut akan mengikuti acara televisi yang ia tonton. Apabila yang ia tonton merupakan acara yang lebih kepada edukatif, maka akan bisa memberikan dampak positif tetapi jika yang ia tonton lebih kepada hal yang tidak memiliki arti bahkan yang mengandung unsur- unsur negatif atau penyimpangan bahkan sampai kepada kekerasan, maka hal ini akan memberikan dampak yang negatif pula terhadap perilaku anak yang menonton acara televisi tersebut.

2.7 Hipotesis