Hidrolisis empulur sagu a.
Pre-treatment perlakuan pendahuluan empulur sagu
Sebelum pre-treatment, bahan baku berupa empulur sagu terlebih dahulu diparut dan dikeringkan dengan sinar matahari kemudian dilanjutkan dengan
pengeringan menggunakan oven pada suhu 50
o
Pre-treatment dilakukan pada 50 ml empulur sagu dengan konsentrasi 8 melalui pemanasan konvensional 105
C selama 24 jam dan digiling hingga berukuran 35 mesh. Komponen kimia empulur sagu dianalisis sebagai
komponen proksimat air, abu, lemak, protein, serat kasar dan karbohidrat dan komponen serat hemiselulase, selulase, lignin. Prosedur analisis proksimat dan
komponen serat disajikan pada Lampiran 3.
o
b. Likuifikasi
C, 15 menit atau pemanasan microwave pada power level 50 500 W selama 2 menit Derosya 2010. Perubahan
komposisi karbohidrat akan dianalisis dengan total gula, gula pereduksi Miller 1959 dan derajat polimerisasi hidrolisat pati. Perubahan pada struktur pati dan
serat dianalisis dengan pengamatan mikroskopik. Prosedur analisis total gula dan gula pereduksi disajikan pada Lampiran 1.
Proses likuifikasi dilakukan dengan menambahkan enzim α-amilase
komersial thermamyl menurut metode dari penelitian sebelumnya yaitu 1.75 Ug Akyuni 2004 kemudian diinkubasi selama 3 jam pada suhu 95
o
c. Sakarifikasi
C. Perubahan komposisi karbohidrat akan dianalisis dengan total gula, gula pereduksi Miller
1959 dan derajat polimerisasi hidrolisat pati.
Pada tahap ini ditentukan kondisi sakarifikasi empulur sagu yang telah mengalami pre-treatment. Proses sakarifikasi dilakukan dengan menambahkan
konsorsium 3 enzim yaitu amiloglukosidase komersial dextrozyme 0.3 Ug, selulase 1 Ug dan xilanase 1 Ug pada suhu 60
o
C. Proses berlangsung selama 120 jam dan perubahan komposisi karbohidrat akan dianalisis dengan total gula,
gula pereduksi Miller 1959 dan derajat polimerisasi hidrolisat pati. Perubahan pada struktur pati dan serat dianalisis dengan pengamatan mikroskopik. Prosedur
analisis total gula, gula pereduksi dan derajat polimerisasi disajikan pada Lampiran 1.
Produksi Bioetanol
Produksi etanol menggunakan khamir isolat unggul hasil isolasi dengan menggunakan produk sakarifikasi yang dihasilkan dari tahap sebelumnya dan
diperkaya dengan pupuk NPK dan ZA. Fermentasi berlangsung secara tertutup tanpa aerasi. Desain peralatan untuk proses fermentasi disajikan pada Gambar 8.
Evolusi CO
2
yang dilepaskan dari sistem diukur dan dihitung sebagai laju pembentukan gas per 6 jam selama 12 jam pertama dan dilanjutkan per 12 jam
hingga 72 jam. Setelah 72 jam, kultur ditetapkan pHnya, kandungan total gula residu Dubois et al. 1956, gula pereduksi Miller 1959, total asam titrasi
asam, dan parameter fermentasi seperti Yps perolehan g produk per g substrat dan
∆ SS penggunaan substrat. Konsentrasi etanol ditentukan dengan Gas Chromatography GC. Prosedur analisis total gula, gula pereduksi, total asam
dan parameter fermentasi disajikan pada Lampiran 1.
Gambar 8 Sistem fermentasi dalam labu Erlenmeyer menggunakan labu leher
angsa. waterbath shaker
labu leher angsa H
2
SO
4
pekat
selang plastik bak plastik
sumbat karet
Gelas ukur
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi dan seleksi khamir isolat unggul
Proses ini diawali dengan mengisolasi khamir dari 5 macam buah yang mengandung air dan gula sederhana dalam jumlah tinggi yaitu apel, melon, nenas,
pepaya dan semangka yang telah membusuk dengan asumsi bahwa proses pembusukan diakibatkan oleh khamir. Gambar 9 berikut adalah kondisi buah yang
digunakan sebagai sumber isolat.
Gambar 9 Buah-buahan busuk sebagai sumber isolat. a apel, b melon, c nenas, d pepaya, e semangka.
Buah-buahan merupakan bahan pangan yang mengandung glukosa cukup tinggi sehingga khamir dapat tumbuh optimal dalam gula sederhana seperti
glukosa maupun gula kompleks disakarida yaitu sukrosa. Lathar et al. 2010 menyatakan bahwa khamir dapat diisolasi dari berbagai sumber alami seperti
daun, bunga dan buah. Kerusakan buah-buahan akibat benturan dapat menyebabkan kerusakan struktur jaringan pada buah, sehingga menjadi inang
yang tepat bagi khamir untuk tumbuh. Kerusakan yang disebabkan oleh pertumbuhan khamir ditandai dengan terbentuknya bau asam dan bau alkohol,
a b
c
d e
serta terbentuknya lapisan pada permukaan, misalnya kerusakan pada sari buah D’Mello 2003. Akibat dari pertumbuhan khamir tersebut buah-buahan
mengalami kebusukan. Isolasi khamir dari buah dilakukan menggunakan media YMEA Yeast Malt
Extract Agar pada suhu 30
o
C selama 48 jam hingga diperoleh 23 isolat. Gambar 10 berikut merupakan isolat khamir yang tumbuh pada media YMEA.
Gambar 10 Pertumbuhan isolat dari buah pada media YMEA. a apel, b melon, c nenas, d pepaya, e semangka.
Isolat yang diperoleh kemungkinan merupakan campuran beberapa jenis mikroba seperti khamir, bakteri atau kapang karena YMEA merupakan media
umum untuk pertumbuhan khamir. Lathar et al. 2010 juga melakukan isolasi khamir dari 17 jenis buah pada media MYPG malt extract 0.3, yeast extract
0.3, peptone 0.5, glucose 1, agar 3 pH 6.5, suhu 26
o
Bervariasinya isolat yang diperoleh menyebabkan perlunya dilakukan isolasi khamir dari mikroba lain. Isolasi ini dilakukan dengan menumbuhkan
isolat pada media YGC Yeast Glucose Chloramphenicol yang diperkaya C selama 48 jam.
Isolat yang diperoleh bukan hanya khamir tetapi juga terdapat kapang dan bakteri. Hal ini terjadi karena kadar gula dan air yang tinggi pada buah-buahan menjadi
pendukung bagi pertumbuhan mikroba selain khamir. a
b
c d
e
tetrasiklin Lampiran 4. Pertumbuhan isolat pada media YGC yang diperkaya tetrasiklin juga cukup bervariasi, beberapa isolat dapat tumbuh dengan baik dan
beberapa yang lain tidak tumbuh Gambar 11. Isolat yang tidak tumbuh diduga bakteri atau jamur karena tidak mampu tumbuh pada media yang mengandung
kloramfenikol dan tetrasiklin yang berfungsi sebagai antibiotik.
Gambar 11 Pertumbuhan isolat khamir dari buah busuk pada media YGC yang diperkaya tetrasiklin 0.05 gl.
Dari hasil isolasi didapatkan 12 isolat dengan ciri-ciri terlihat pada Lampiran 5. Isolat ini kemudian dimurnikan dan diseleksi berdasarkan
kemampuannya menggunakan substrat glukosa dan campuran glukosa-xilosa 1:1. Fermentasi dilakukan Selama 72 jam pada suhu 30
o
Tabel 6 Hasil pengukuran konsumsi substrat dan kadar etanol pada fermentasi menggunakan gula murni
C sehingga diperoleh 4 isolat dengan persentase penggunaan substrat terbesar Tabel 6.
Penggunaan substrat Kadar etanol
Isolat Glukosa
Glukosa-xilosa Glukosa
Glukosa-xilosa
MP 60.9
36.0 2.49
1.58 H
64.2 27.7
3.13 1.51
SB 71.1
48.2 1.68
1.14 K
65.9 32.8
1.09 1.32
Dari hasil seleksi terlihat bahwa isolat MP dan H menghasilkan etanol dua kali lebih besar pada substrat glukosa dibandingkan campuran glukosa-xilosa. Hal
ini diduga bahwa kedua isolat hanya mampu mengkonversi glukosa saja pada substrat campuran. Isolat SB dan K menghasilkan etanol dalam kadar tidak jauh
berbeda baik pada substrat glukosa maupun campuran glukosa-xilosa. Hal ini Isolat tumbuh
Isolat tidak tumbuh
diduga bahwa kedua isolat tersebut mampu menggunakan kedua jenis substrat. Isolat khamir yang mampu mengkonversi xilosa juga dilaporkan oleh Rao et al.
2008 yang berhasil mengisolasi 374 isolat khamir dari buah-buahan dan 27 diantaranya mampu mengasimilasi xilosa.
Kemampuan khamir dalam mengkonversi substrat menjadi etanol juga dapat dilihat dari peningkatan volume CO
2
yang dihasilkan selama fermentasi Gambar 12. Berdasarkan kurva akumulasi pertambahan volume CO
2
pada isolat MP dan H terlihat bahwa pertambahan volume CO
2
baik pada substrat glukosa maupun campuran glukosa-xilosa menunjukkan hasil yang hampir sama. Isolat
MP dan H mengkonversi substrat glukosa 5 dalam campuran glukosa-xilosa 1:1 maupun glukosa 10 menjadi etanol dengan konsentrasi yang hampir sama.
Ini menunjukkan bahwa kedua isolat memiliki kemampuan penggunaan substrat yang rendah. Gambar 12 berikut adalah akumulasi pertambahan volume CO
2
pada isolat MP dan H.
Gambar 12 Akumulasi pertambahan volume CO
2
pada fermentasi glukosa dan glukosa-xilosa 1:1. a isolat MP, b dan isolat H.
b a
Pengamatan CO
2
C yang terbentuk selama proses fermentasi oleh kedua
isolat merupakan pendekatan untuk mengetahui kadar etanol secara tidak langsung berdasarkan reaksi fermentasi berikut:
6
H
12
O
6
2C
2
H
5
OH + 2CO
2
Dari persamaan reaksi tersebut dapat dijelaskan bahwa kadar etanol yang dihasilkan oleh glukosa setara dengan kadar CO
2
yang dihasilkan. Pengamatan terhadap volume CO
2
yang dihasilkan selama fermentasi juga dilakukan oleh Bonciu et al. 2010. Perubahan CO
2
tersebut secara tidak langsung digunakan untuk menentukan kadar etanol yang dihasilkan oleh isolat khamir dari hidrolisat
inulin. Kadar etanol ditentukan dari volume CO
2
dikalikan dengan 1.045 hasil persamaan Gay-Lussac. Secara teoritis setiap molekul glukosa diubah menjadi 2
molekul etanol dan 2 molekul CO
2
Pengamatan terhadap perubahan volume CO atau dalam dasar berat 51.1 gula diubah
menjadi etanol dan 48.9 diubah menjadi karbondioksida.
2
digunakan sebagai data pendukung bahwa kedua isolat mampu menghasilkan CO
2
sebagai produk samping dari fermentasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kedua isolat
mampu menghasilkan CO
2
dalam fermentasi dan diduga hasil tersebut sebanding dengan etanol yang dihasilkan karena sistem fermentasi disusun agar reaksi
berlangsung secara anaerob. Seiring dengan lama fermentasi terjadi peningkatan akumulasi CO
2
Pada awal fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhan, tetapi setelah terjadi akumulasi CO
yang dihasilkan hingga pada waktu tertentu peningkatan tersebut tidak terlalu signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua isolat mampu
mengkonversi gula hasil hidrolisis enzimatis menjadi etanol dan ketika substrat mulai habis terjadi penurunan laju pembentukan etanol.
2
reaksi berubah menjadi anaerob. Pada kondisi anaerobik, khamir memetabolisme glukosa menjadi etanol, sebagian besar
melalui jalur Embden Meyerhof Parnas. Setiap mol glukosa terfermentasi menghasilkan dua mol etanol, CO
2
dan ATP. Oleh karena itu, secara teoritis setiap g glukosa memberikan 0,51 g etanol. Pada kenyataannya etanol yang
dihasilkan biasanya tidak melebihi 92-95 dari hasil teoritis karena sebagian nutrisi digunakan untuk sintesis biomassa dan memelihara reaksi. Reaksi samping
juga dapat terjadi dan menghasilkan gliserol, asam asetat, asam laktat, suksinat, asetaldehid, furfural, dan 2,3-butanediol. Etanol yang dihasilkan merupakan
toksin bagi sel khamir saat konsentrasinya mencapai 8-18 berat. Namun hal ini dipengaruhi jenis khamir dan kondisi metabolik dari kultur. Fermentasi oleh
khamir mengalami hambatan saat konsentrasi etanol mencapai 11 volume Glazer dan Nikaido 2007.
Penyiapan enzim.
Penelitian ini menggunakan empat jenis enzim hidrolisis dimana dua diantaranya yaitu selulase dan xilanase diperoleh dari isolat lokal hasil penelitian
sebelumnya. Tabel 7 berikut menyajikan karakteristik masing-masing enzim yang digunakan.
Tabel 7 Karakteristik enzim
Jenis enzim pH
optimum Suhu optimum
o
Aktivitas C
Uml
α-amilase 5.2
1
95 1327.52
Amiloglukosidase 4.5
2
60 145
Selulase 6.5
3
60 0.057
Xilanase 5.0
4
90 0.27
Sumber:
1
Wibisono 2004,
2
Akyuni 2004,
3
Sinaga 2010,
4
Berdasarkan karakteristik enzim di atas, pada tahap likuifikasi digunakan enzim α-amilase yang berlangsung pada suhu optimum dari α-amilase yaitu 95
Meryandini et al. 2008
o
C. Pada tahap sakarifikasi digunakan konsorsium tiga enzim yaitu amiloglukosidase,
selulase dan xilanase pada suhu 60
o
C. Pemilihan suhu tersebut didasarkan pada suhu optimum terendah dari ketiga enzim tersebut yaitu amiloglukosidase dan
selulase pada suhu 60
o
C. Enzim xilanase memiliki kestabilan pada kisaran suhu 50-75
o
C, namun memiliki aktivitas 41 dari aktivitas maksimumnya. Suhu
mempengaruhi kinerja enzim dimana enzim akan bekerja optimum pada suhu optimumnya. Penurunan suhu optimum tidak menurunkan kinerja enzim sedrastis
peningkatan suhu proses. Suhu yang terlalu tinggi dapat menurunkan aktivitas katalitik enzim dan mendenaturasi enzim Winarno 1995.
Penggunaan amiloglukosidase dan selulase secara bersamaan akan menyebabkan rusaknya granula pati sehingga terbentuk rongga untuk penetrasi
enzim. Jika hanya digunakan enzim amiloglukosidase atau selulase saja, hanya bagian permukaan granula pati yang akan diserang Wong et al. 2007. Enzim
selulase akan berperan pada awal proses yaitu menjadikan granula pati lebih terbuka sehingga amiloglukosidase berkesempatan menghidrolisis bagian dalam
granula pati Safitri et al. 2009. Selanjutnya enzim xilanase akan bekerja menghidrolisis komponen xilan pada serat menjadi xilosa sehingga meningkatkan
perolehan gula-gula sederhana.
Hidrolisis empulur sagu Perlakuan pendahuluan
pre-treatment pada empulur sagu
Bahan baku yang berupa empulur sagu yang digunakan berasal dari industri rakyat di daerah Cihampar, Bogor dengan kadar air yang masih cukup tinggi yaitu
17.9 sehingga perlu dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50
o
Tabel 8 Komposisi proksimat empulur sagu C selama 24
jam. Empulur kering kemudian dihancurkan menggunakan hammer mill hingga lolos ayakan 35 mesh. Pengecilan ukuran pada empulur sagu dapat meningkatkan
luas permukaan bahan sehingga nantinya akan mempermudah akses enzim penghidrolisis. Pati dan serat harus dikecilkan ukurannya agar dapat berinteraksi
dengan air secara baik Retno et al. 2009. Selanjutnya empulur sagu dianalisis komposisinya yang meliputi komponen proksimat dan kandungan pati seperti
tersaji pada Tabel 8.
Komponen Nilai
Air basis basah 3.60
Abu basis kering 4.49
Lemak basis kering 4.26
Serat basis kering 7.84
Protein basis kering 2.36
Karbohidrat by difference basis kering 78.12
Pati basis kering 73.00
Empulur sagu merupakan bahan baku untuk produksi pati sagu. Dari hasil analisis proksimat diketahui bahwa empulur sagu mengandung 73 pati.
Kandungan pati yang tinggi ini juga dilaporkan oleh Fujii et al. 1986 bahwa empulur sagu kering didominasi oleh pati 81.51- 84.72, sedangkan menurut
Safitri et al. 2009 tepung empulur sagu mengandung pati sebesar 57.25. Kandungan pati pada tanaman sagu bergantung pada jenis sagu, umur dan habitat
pertumbuhannya. Selain pati juga terdapat komponen serat sebesar 7.84 . Fujii et al. 1986 juga melaporkan bahwa empulur sagu kering mengandung komponen
serat 3.20-4.20, sedangkan Safitri et al. 2009 menyatakan bahwa tepung empulur sagu mengandung 31.59 serat. Serat kasar merupakan komponen yang
terdiri atas dinding sel, pektin, selulosa, hemiselulosa, lignin dan pentosan. Komposisi serat pada empulur sagu disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Komposisi serat empulur sagu
Komponen Nilai
Selulosa 10.36
Hemiselulosa 2.24
Lignin 1.40
Berdasarkan analisis komposisi serat, empulur sagu mengandung bagian selulosa terbesar yaitu 10.36 dibandingkan dengan hemiselulosa 2.24. Selain
itu, ternyata empulur sagu masih mengandung lignin sebesar 1.40 sehingga diperlukan proses pre-treatment diperlukan untuk meningkatkan akses enzim
dalam melakukan hidrolisis. Akses enzim dapat ditingkatkan dengan cara menurunkan lignin, menurunkan kristalinitas selulosa, meningkatkan porositas
dan luas permukaan bahan Taherzadeh dan Karimi 2008. Pre-treatment dilakukan dengan pemanasan konvensional dan pemanasan microwave. Setelah
pre-treatment terjadi perubahaan pada komponen empulur. Gambar 13 berikut memperlihatkan struktur empulur sagu sebelum dan setelah pre-treatment.
Gambar 13 Struktur empulur sagu menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi perbesaran 100x. a sebelum pre-treatment, b setelah pemanasan
konvensional, c setelah pemanasan microwave. Empulur sagu sebelum pre-treatment memperlihatkan bahwa struktur
granula pati masih utuh dan serat masih kompak Gambar 13a. Hal ini dapat dilihat dari sifat birefringence granula pati yang berwarna biru kuning dan juga
warna serat yang masih biru, yang memperlihatkan sifat kristalinitasnya. Warna kehitaman pada serat merupakan komponen fenolik dari lignin. Lignin memiliki
struktur yang sangat kompak dan tahan terhadap hidrolisis. Berbeda dengan empulur sagu setelah pre-treatment Gambar 13b dan 13c
yang memperlihatkan struktur dari granula pati yang telah mengalami gelatinisasi sehingga terjadi proses swelling yang menyebabkan hilangnya sifat birefringence
pati. Pemanasan menyebabkan energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat dari daya tarik-menarik antara molekul pati dalam granula, sehingga air dapat
masuk ke dalam pati dan pati akan membengkak. Granula pati dapat membengkak luar biasa dan pecah sehingga tidak dapat kembali pada kondisi semula. Dalam
kondisi ini granula pati akan lebih mudah diserang oleh enzim-enzim hidrolisis. Begitu pula dengan struktur serat yang mulai rusak kristalinitasnya
menurun sehingga menjadi lebih amorf dan menjadi lebih rentan terhadap hidrolisis. Hal ini dapat dilihat dari perubahan warna biru pada serat yang mulai
memudar bahkan ada yang menjadi kekuningan. Pembengkakan ukuran yang merupakan perbesaran pori akibat iradiasi gelombang mikro memungkinkan
masuknya enzim dan air ke bagian lebih dalam serat dan memberikan kesempatan enzim untuk infiltarsi dan menghidrolisis serat menjadi gula sederhana Magara
dan Koshijima 1990. Pada struktur lignin juga mulai rusak dan dapat dilihat dari a
b c
warna hitam yang mulai menghilang setelah pretreatment. Iradiasi microwave menyebabkab pemanasan terjadi pada suhu tinggi sehingga menghasilkan
karbohidrat, oligosakarida dan monosakarida serta melarutkan lignin akibat putusnya ikatan eter
β-O-4 dan lignin-karbohidrat Tsubaki et al. 2009. Struktur pati dan serat pada pemanasan konvensional atau microwave tidak
memperlihatkan perbedaan yang jelas Gambar 13b dan 13c. Namun menurut Palav dan Seetharaman 2006, pada pemanasan microwave granula pati akan
kehilangan birefringence sebelum swelling sedangkan pada pemanasan konvensional, swelling dan kehilangan birefringence granula terjadi hampir
bersamaan. Selama konduksi panas, terjadi perusakan pada susunan rantai amilopektin yang membantu swelling pada daerah amorf granula pati. Pada
pemanasan microwave, pecahnya granula pati terjadi akibat gerak vibrasi molekul polar selama pemanasan. Kehilangan kristalinitas pada pemanasan microwave
juga dapat terjadi pada suhu yang lebih rendah dibandingkan pemanasan konvensional. Hal ini terjadi karena pemanasan microwave secara langsung akan
mempengaruhi kristalinitas dan merusak susunan lamela amilopektin akibat vibrasi molekul polar selama iradiasi. Kristalinitas akan hancur sebelum
membentuk transisi gelas pada daerah amorf granula sehingga tidak terjadi swelling.
Likuifikasi dan Sakarifikasi
Proses hidrolisis dapat dilakukan menggunakan asam maupun secara enzimatis. Hidrolisis menggunakan asam memiliki kelemahan karena dapat
menimbulkan masalah korosi pada reaktor dan menghasilkan produk samping yang dapat menghambat produk fermentasi Gozan et al. 2007. Hidrolisis
enzimatis bersifat spesifik dan ramah lingkungan. Pada tahap likuifikasi digunakan enzim α-amilase yang akan memecah amilosa dan amilopektin pada
molekul pati. Pemecahan amilosa oleh α-amilase terjadi dalam dua tahap. Tahap
pertama adalah degradasi amilosa menjadi amilosa rantai pendek kemudian menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi terjadi sangat
cepat dan diikuti dengan penurunan viskositas dengan cepat. Tahap kedua berjalan lambat dengan membentuk glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir dengan cara
yang tidak acak. Kerja α-amilase pada molekul amilopektin akan menghasilkan glukosa, maltosa, dan berbagai jen
is α-limit dekstrin, yaitu oligosakarida yang terdiri dari 4 atau lebih residu gula yang menga
ndung ikatan α-1,6 Winarno 1995.
Selanjutnya hidrolisis molekul maltosa menjadi glukosa dilakukan oleh enzim amiloglukosidase. Selain mengkonversi komponen maltosa menjadi
glukosa, enzim ini juga memutus ikatan α-1,6 pada dekstrin. Amiloglukosidase bekerja lebih lambat dibandingkan enzim α-amilase. Pada tahap sakarifikasi
digunakan konsorsium 3 enzim yaitu amiloglukosidase, selulase dan xilanase. Dengan ini diharapkan memperbesar perolehan gula sederhana karena xilanase
dan selulase diharapakan mampu mengkonversi komponen serat menjadi gula sederhana. Tabel 10 memperlihatkan perubahan komposisi karbohidrat selama
proses sakarifikasi. Tabel 10 Pengaruh waktu sakarifikasi terhadap total gula, gula perduksi dan
derajat polimerisasi DP yang dihasilkan
Tahap Pemanasan konvensional
Pemanasan microwave
Jam ke- Gula
pereduksi mgml
Total gula
mgml DP
Gula pereduksi
mgml Total
gula mgml
DP
Awal 24.06
2.28 10.6
24.06 2.28
10.6 Likuifikasi
34.60 5.63
6.1 32.79
3.72 8.8
Sakarifikasi 31.07
15.42 2.0
32.35 15.55
2.1 24
33.69 23.61
1.4 35.05
24.24 1.4
48 37.23
23.06 1.6
38.33 22.42
1.7 72
31.29 24.41
1.3 33.60
25.77 1.3
96 35.63
24.81 1.4
31.24 24.56
1.3 120
38.75 20.92
1.9 30.52
21.77 1.4
Pada Tabel 10 terlihat bahwa proses likuifikasi baik pada pemanasan konvensional maupun microwave dapat meningkatkan konsentrasi gula pereduksi
akibat pemecahan molekul pati menjadi glukosa. Peningkatan total gula juga terjadi pada tahap ini akibat terbentuknya gula selain pati seperti glukosa, maltosa
atau dekstrin. Selanjutnya, seiring dengan bertambahnya waktu sakarifikasi maka
konsentrasi gula pereduksi juga mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan enzim amiloglukosidase memecah maltosa, maltotriosa dan dekstrin yang
merupakan hasil proses likuifikasi menjadi glukosa. Peningkatan konsentrasi gula pereduksi akibat penambahan enzim amiloglukosidase juga dilaporkan oleh Wong
et al. 2007. Konsentrasi gula pereduksi pada pati sagu tergelatinisasi setelah hidrolisis dengan amiloglukosidase meningkat sebesar 76,80. Selain akibat kerja
amiloglukosidase, peningkatan konsentrasi gula pereduksi pada proses sakarifikasi juga disebabkan oleh enzim penghidrolisis serat selulase dan
xilanase. Enzim selulase akan memecah selulosa menjadi glukosa. Enzim xilanase juga akan memecah monomer-monomer xilan dari hemiselulosa menjadi
xilosa. Sebaliknya selama proses hidrolisis baik pada pemanasan konvensional
maupun microwave, terjadi penurunan nilai derajat polimerisasi DP. Penurunan nilai DP disebabkan oleh meningkatnya monomer-monomer yang terbentuk
selama hidrolisis molekul pati dan serat oleh enzim. Setelah 72 jam hidrolisis, terjadi peningkatan kembali nilai DP kemungkinan disebabkan oleh
penggabungan kembali monomer-monomer repolimerisasi menjadi
polidekstrosa Safitri et al. 2009. Waktu sakarifikasi terbaik berada pada jam ke 72, baik pada pemanasan
konvensional maupun microwave yang dapat dilihat dari nilai DP terendah. Nilai DP yang dihasilkan oleh pemasan konvensional dan microwave adalah sama yaitu
DP 1.3. Namun efisiensi penggunaan microwave terlihat dari waktu kontak yang singkat. Pemanasan dengan microwave dapat mengkonversi langsung pati
menjadi gula dalam waktu yang relatif rendah. Dibandingkan dengan pemanasan konvensional, laju reaksi hidrolisis pati menjadi glukosa meningkat 100 kali
dengan penggunaan iradiasi microwave Kunlan et al. 2001. Selanjutnya Nikolic et al. 2008 menyatakan bahwa pemanasan microwave mempengaruhi swelling dan
gelatinisasi granula pati dan sangat efisien merusak susunan kristalin pati dan serat. Hal ini dapat meningkatkan susceptibility sifat penerimaan enzim yang
diperlukan agar proses hidrolisis berlangsung efisien sehingga meningkatkan perolehan gula sederhana.
Struktur serat empulur sagu menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi memperlihatkan bahwa sebelum hidrolisis komponen serat masih cukup banyak
yang utuh Gambar 14.1.a dan 14.1.b. Ini dapat dilihat dari warna biru pada serat yang masih cukup banyak. Setelah hidrolisis terlihat bahwa struktur serat menjadi
rusak akibat kerja enzim penghidrolisis serat selulase dan xilanase. Pada pemanasan konvensional, hidrolisis serat hanya terjadi pada sisi-sisi serat. Hal ini
dapat dilihat dari warna kekuningan hanya ada pada bagian sisi serat. Berbeda dengan pemanasan microwave, serat mengalami kebocoran dan warna kuning
cukup banyak hingga bagian tengah serat. Hal ini menunjukkan bahwa pada pemanasan microwave menyebabkan struktur kristalinitas serat berubah menjadi
amorf sehingga penerimaan enzim meningkat dan enzim selulase dan xilanase mampu mengkonversi serat menjadi oligosakarida. Struktur serat empulur sagu
sebelum dan setelah hidrolisis disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14 Struktur serat empulur sagu menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi perbesaran 100x. 1a pemansan konvensional
sebelum hidrolisis, 1b pemanasan microwave sebelum hidrolisis, 2a pemanasan konvensional setelah hidrolisis, 2b pemanasan
microwave setelah hidrolisis.
Produksi etanol
Gula-gula sederhana hasil tahap sakarifikasi difermentasi menjadi etanol dengan penambahan starter khamir 10 dan nutrient pupuk NPK dan ZA.
a b
1
2
Fermentasi berlangsung pada suhu 30
o
Tabel 11 Hasil pengukuran parameter fermentasi empulur sagu C, pH 5, selama 72 jam. Pemanfaatan
substrat ∆SS oleh isolat MP dan H memperlihatkan hasil yang tidak jauh
berbeda, baik pada pemanasan konvensional maupun microwave. Hal ini menunjukkan bahwa kedua isolat mampu menggunakan substrat. Selain
kemampuan isolat dalam memanfaatkan substrat juga dilihat rendemen produk yang terbentuk setiap gram substrat yang terpakai oleh mikroba Yps. Dari nilai
Yps terlihat bahwa isolat MP menghasilkan rendemen produk yang lebih besar dibandingkan isolat H. Hal ini menunjukkan bahwa isolat MP mengkonversi
substrat menjadi etanol, sedangkan isolat H selain mengkonversi substrat menjadi etanol juga memanfatkannya untuk pembentukan asam organik, seperti asam
piruvat, asam laktat, atau asam asetat yang merupakan hasil reaksi samping pada produksi etanol Glazer dan Nikaido 2007. Kecenderungan isolat khamir
mengubah substrat menjadi asam organik dapat dilihat dari total asam dan kadar etanol yang dihasilkan. Isolat H memiliki nilai total asam yang lebih tinggi
dibandingkan isolat MP, sebaliknya kadar etanol yang dihasilkan oleh isolat H justru lebih kecil dibandingkan isolat MP. Hasil pengukuran parameter fermentasi
disajikan pada Tabel 11.
Isolat MP Isolat H
Parameter Pemanasan
Pemanasan Pemanasan
Pemanasan Konvensional
Microwave Konvensional Microwave
∆SS 0.68
0.67 0.71
0.73 Yps
0.85 0.61
0.47 0.42
Total asam mgml 85.33
104.53 98.13
119.46 Kadar etanol
8.11 7.06
5.77 4.28
Kadar etanol gl 63.95
55.69 45.54
33.78
Jika membandingkan proses pre-treatment, total asam pada pemanasan microwave lebih tinggi dibandingkan dengan pemanasan konvensional. Hal ini
berkebalikan dengan kadar etanol yang dihasilkan oleh pemanasan microwave justru lebih kecil dari pemanasan konvensional. Ini diduga bahwa penggunaan
microwave menghasilkan senyawa inhibitor akibat radiasi gelombang mikro.
Iradiasi microwave menyebabkan terbentuknya senyawa hidroksi metil furfural HMF yang merupakan inhibitor dalam proses fermentasi etanol. Senyawa ini
terbentuk akibat degradasi lebih lanjut dari monosakarida karena reaksi menggunakan microwave terjadi pada suhu yang sangat tinggi yaitu 200
o
C Tsubaki et al. 2009. Selain itu lignin yang terlarut akibat pemanasan pada suhu
tinggi juga merupakan senyawa inhibitor dalam proses fermentasi. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh akumulasi pertambahan volume CO
2
hasil fermentasi Gambar 15. Pertambahan volume CO
2
pada pemanasan konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan pemansan microwave baik pada isolat MP maupun H.
Gambar 15 Akumulasi pertambahan volume CO
2
pada fermentasi etanol menggunakan empulur sagu. a isolat MP, b dan isolat H.
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
Isolat khamir yang berasal dari buah melon MP dan pepaya H busuk memiliki kemampuan untuk memanfaatkan substrat glukosa, serta mampu
mengkonversi hasil hidrolisis empulur sagu menjadi etanol. Perlakuan pendahuluanpretreatment menggunakan microwave tidak
memberi pengaruh yang nyata dalam menghasilkan gula sederhana, yaitu total gula 24-25 mgml dan DP 1.3. Namun perlakuan microwave mempengaruhi
struktur mikroskopik serat yang membuatnya menjadi lebih amorf. Empulur sagu mengandung pati 73 dan serat kasar 7.8 dalam
jumlah yang cukup tinggi, sehingga berpotensi digunakan sebagai bahan baku bioetanol. Pada proses likuifikasi digunakan enzim α-amilase, namun proses
sakarifikasi digunakan konsorsium enzim yang diperoleh dari isolat lokal selulase dan xilanase serta amiloglukosidase komersial pada suhu 60
o
Isolat MP mampu menghasilkan etanol lebih tinggi 7.06-8.11 dibandingkan dengan isolat H 4.28-5.77. Perlakuan microwave menyebabkan
terjadinya penurunan kadar etanol yang dihasilkan 4.28-7.06 dibandingkan pemanasan konvensional 5.77-8.11. Produksi etanol terbaik dihasilkan dari
isolat MP dengan pemanasan konvensional 8.11. C.
SARAN
Disarankan perlu dilakukan optimasi komposisi substrat dan kondisi proses fermentasi agar terlihat jelas kemampuan isolat khamir dalam
menggunakan substrat dan menghasilkan etanol, dan melakukan identifikasi serta karakterisasi terhadap isolat MP dan H.
DAFTAR PUSTAKA
Aiyer PV. 2005. Amylases and their applications. Afr J Biotechnol 413: 1525- 1529.
Akyuni D. 2004. Pemanfaatan pati sagu Metroxylon sp. untuk pembuatan sirup glukosa menggunakan α-amilase dan amiloglukosidase [skripsi]. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bonciu C, Cristiana T, Gabriela B. 2010. Yeast isolation and selection for
bioethanol production from inulin hydrolyzates. Innovat Rom Food Biotechnol 6.
Boyles D. 1984. Bio Energy-technology, Thermodynamics, and Cost. Weat Sussex: Ellis Horwood Limited.
Bustaman S. 2008. Strategi pengembangan bioetanol berbasis sagu di Maluku. Perspektif 72: 65-79.
D’Mello JPF. 2003. Food Safety. Contaminants and Toxins. Edinburg: CAB International.
Datta, AK. 2001. Fundamentals of Heat and Moisture Transport for Microwaveable Food Product and Process Development. Handbook of
Microwave Technology for Food Applications. New York: Marcel Dekker Inc.
Derosya V. 2010. Sakarifikasi empulur sagu Metroxylon sagu dengan konsorsium enzim amilolitik dan holoselulolitik [skripsi]. Bogor: Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dordick JS. 1991. Biocatalysts for industry. New York: Plenum press.
Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Colorimetric method for determination of sugars and related substances. J Anal Chem
283:350-356. Fengel D, Wegener G. 1995. Kimia Kayu, Reaksi Ultrastruktur: Terjemahan S.
Hardjono. Yogyakarta: UGM Press. Fujii S, Kishihara S, Komoto M. 1986. Studies on improvement of sago starch
quality. Di dalam: Protect mankind from hunger, and the earth from devastation. Proceeding
3rd
Glazer AN, Nikaido H. 2007. Microbial Biotechnology, Fundamentals of Applied Microbiology 2
International sago symposium; Tokyo, 20-23 Mei 1986. Jepang: The Sago Palm Society. hlm 186-192.
nd
Judoamidjojo RM, Said EG, Hartoto L. 1989. Biokonversi. Depdikbud. Dirjen Pendidikan Tinggi. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut
Pertanian Bogor. . United States of America: Cambridge University Press.
Keshwani DR. 2009. Microwave pretreatment of swichgrass for bioethanol production. [disertasi]. North Carolina: Biological and Agricultural
Engineering. Raleigh. Khan AW, Trottier TM, Patel GB, Martin SM. 1979. Nutrient requirement for
the degradation of cellulose to methane by a mixed population of anaerobes. J Gen Microbiol 112: 365-372.
Kunlan L, Lixin X, Jun L, Jun P, Guoyoing C, dan Zuwei X. 2001. Salt-assisted acid hydrolysis of starch to D-glucose under microwave irradiation.
Carbohyd Res 331: 9-12. Lathar PK, Sharma A, Thakur I. 2010. Isolation and random amplified DNA
RAPD analysis of wild yeasts species from 17 different fruits. J Yeast Fungal Res 18: 146-151.
Magara K, Konhijima T. 1990. Low level of enzymatic susceptibility of microwave pre-treated softwood. Mokuzai: 611-617.
Meryandini A, Sunarti TC, Pratiwi FMR. 2008. Using Streptomyces xylanase to produce xylooligosaccaride from corncob. Biotropia 152: 19-128.
Meryandini A, Widosari W, Maranatha B, Sunarti TC, Rachmania N, Satria H. 2009. Isolasi bakteri selulolitik dan karakterisasi enzimnya. Makara Sains
131: 33-38. Miller GL. 1959. Use of dinitrosalycilic acid reagent for determination of
Reducing Sugar. J Anal Chem 31: 426-428. Nikolic S, Mojovic L, Rakin M, Pejin D, Savic D. 2008. A microwave-assisted
liquefaction as a pretratment for bioethanol production by simultaneous saccharification and fermentation of corn meal. CI and CEQ 144: 231-
232.
Onsa GH, N. Saari, J. Selamat, J. Bakar. 2000. Latent polyphenol oxidases from sago log Metroxylon sagu; partial purification, activation, and some
properties. J Agric Food Chem 48: 5041 −5045
Palav T, Seetharaman K. 2006. Mechanism of starch gelatinization and polymer leaching during microwave heating. Carbohydr Polym 65: 364-370.
Paturau JM. 1969. By Product of the cane sugar industry: an introduction to their industrial utilization. Amsterdam: Elsevier Scientific Publ Co.
Rao RS, Bhandra B, Shivaji S. 2008. Isolation and characterization of ethanol- producing yeasts from fruits and tree barks. Appl Microbiol 471: 19-24.
Retno DE, Enny KA, Fadillah. 2009. Studi awal reaksi simultan sakarifikasi dan fermentasi tepung sorghum Sorghum bicolor L. moench dengan katalis
enzim glukoamilase dan yeast Saccharomyces cereviciae. Di dalam: Peran Teknik Kimia dalam Menjamin Ketahanan Pangan dan Energi
Nasional. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia; Bandung, 19-20 Okt 2009. Bandung: Perhimpunan Teknik Kimia Indonesia. hlm TBB13-1 –
TBB13-6.
Safitri R, Surosos L, Supitasari NS, Suyanto, Wulandari AP, Andayaningsih P, Haska N. 2009. Pengaruh berbagai konsentrasi asam sulfat dan enzim pada
hidrolisis tepung empulur batang sagu Metroxylon sagu rottb., kombinasi hidrolisis kimiawi dan enzimatis terhadap kandungan gula pereduksi. Di
dalam: Biomass Utilization for Alternative Energy and Chemicals. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia; Bandung, 23 Apr 2009.
Bandung: Perhimpunan Teknik Kimia Indonesia. hlm 314-321.
Sinaga N. 2010. Penampisan bakteri selulolitik untuk produksi prebiotik dari tongkol jagung [skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor. Sixta H. 2006. Multistage kraft pulping. Handbook of pulp. Weinheim: Wiley-
Vch Verlag Gmbh Co. Sridar V. 1998. Microwave radiation as a catalyst for chemical reactions. Curr Sci
74 5: 446-450. Standar Nasional Indonesia SNI. 1995. Pati sagu SNI 01-3729-1995. Pusat
Standarisasi Industri. Departemen Perindustrian. Taherzadeh MJ, Karimi K. 2008. Pretreatment of lignocelllulosic wastes to
improve ethanol and biogas production: A Review. Int J Mol Sci 9: 1621- 1651.
Tsubaki S, Nakauchi M, Ozaki Y, Azuma J. 2009. Microwave heating for solubilization of polysaccharide and polyphenol from soybean residue
Okara. Food Sci Technol Res 153: 307-314. Varga E, Szengyel Z, Réczey K. 2002. Chemical pretreatments of corn stover for
enhancing enzymatic digestibility. Appl Biochem Biotechnol 98: 73-88 Wibisono G. 2004. Hidrolisis enzimatis pati umbi-umbian Indonesia dengan alfa
amilase bakterial dan amilase pankreatin [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Winarno FG. 1995. Enzim pangan. Jakarta: Gramedia pustaka utama. Wong CW, Muhammad SKS, Dzulkifly MH, Saari N, Ghazali HM. 2007.
Enzymatic prodyction of linear long-chain dextrin from sago Metroxylon sagu starch. Food Chem 100: 774-780.
Xiang Q, Lee YY, Pettersson PO, Torget RW. 2003. Heterogeneous aspects of acid hydrolysis of alpha-cellulose. Appl Biochem Biotechnol 105– 108
:505–514. Yu HM, Chen ST, Suree P, Nuansri R, Wang KT. 1996. E
ffect of microwave irradiation on acid-catalyzed hydrolysis of starch. Organic Chem 61: 9608–
9609. Zhang YHP, Schell D, McMillan JD. 2006. Methodological analysis for de-
termination of enzymatic digestibility of cellulosic materials. Biotechnol Bioeng 96: 188-194.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Prosedur analisis parameter 1.
Penentuan kadar total gula Metode Phenol H
2
SO
4
− Pembuatan kurva standar total gula
, Dubois 1956
Pembuatan kurva standar total gula diperoleh dari pengukuran absorbansi campuran glukosa-xilosa 1:1 pada berbagai konsentrasi disajikan pada
Tabel di bawah. 1 ml larutan standar dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 0,5 ml larutan fenol 5 dan divortex. Setelah itu ditambahkan
2,5 ml H
2
SO
4
Konsentrasi glukosa-xilosa mgml
pekat secara cepat, divortex, dan didinginkan selama 20 menit. Setelah dingin larutan divortex dan diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 490 nm.
Absorbansi terkoreksi
0,00 0,00
0,01 0,19
0,02 0,29
0,03 0,46
0,04 0,63
0,05 0,76
− Penentuan total gula sampel
Metode pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar total gula, tetapi 1 ml larutan gula standar diganti dengan 1 ml sampel. Kadar total gula
sampel diperoleh dari persamaan kurva standar dengan y sebagai nilai absorbansi dan x sebagai total gula mgml.
2. Penentuan kadar gula pereduksi Metode Dinitrosalisilic acid, Miller
1959
− Pembuatan pereaksi Dinitrosalisilic acid DNS NaOH 10 g, K-NaTartarat 182 g, dan Na
2
SO
4
0,5 g dilarutkan dalam 1000 ml H
2
− Pembuatan kurva standar glukosa-xilosa O steril dan diaduk menggunakan stirer tanpa pemanasan. Setelah semua
bahan terlarut ditambahkan DNS 10 g sedikit demi sedikit dan dilakukan pengadukan sampai terlarut sempurna.
Pembuatan kurva standar diperoleh dari pengukuran absorbansi campuran glukosa-xilosa standar 1:1 pada berbagai konsentrasi disajikan pada Tabel di
bawah. 1 ml larutan standar dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml larutan DNS dan divortex. Setelah itu larutan dipanaskan pada suhu
100 °C selama 15 menit dan didinginkan sekitar 5 menit. Setelah dingin larutan
diukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm.
Konsentrasi glukosa-xilosa mgml
Absorbansi terkoreksi
0,00 0,00
0,05 0,06
0,08 0,14
0,10 0,20
0,15 0,33
0,20 0,46
0,25 0,62
0,30 0,77
− Pembuatan kurva standar glukosa Pembuatan kurva standar diperoleh dari pengukuran absorbansi glukosa
standar pada berbagai konsentrasi disajikan pada Tabel di bawah. 1 ml larutan standar dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml larutan
DNS dan divortex. Setelah itu larutan dipanaskan pada suhu 100 °C selama 15
menit dan didinginkan sekitar 5 menit. Setelah dingin larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm.
Konsentrasi glukosa mgml
Absorbansi terkoreksi
0,00 0,00
0,15 0,27
0,20 0,41
0,25 0,53
0,30 0,65
0,35 0,81
0,40 0,90
− Penentuan kadar gula pereduksi sampel
Metode pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar gula pereduksi, tetapi 1 ml larutan gula standar diganti dengan 1 ml sampel. Kadar gula
pereduksi diperoleh dari persamaan kurva standar dengan y sebagai nilai absorbansi dan x sebagai kadar gula pereduksi mgml.
3. Penghitungan derajat polimerisasi DP
Derajat polimerisasi menunjukkan panjang rantai polimer penyusun gula. Semakin rendah nilai DP semakin pendek rantai polimer penyusun gula, artinya
telah terjadi pemutusan polimer berantai panjang menjadi monomer berantai pendek akibat proses hidrolisis.
4. Pengamatan Mikroskopis
Pengamatan mikroskopis dilakukan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi dengan perbesaran 100x.
5. Total Asam AOAC, 1999.
Total asam ditentukan dengan cara titrasi dan dinyatakan dalam persen asam asetat. Sebanyak 10 ml sampel dipipet kedalam erlenmeyer 50 ml dan
ditambahkan 3 tetes indikator fenolftalein PP. Selanjutnya sampel dititrasi dengan NaOH 0,1 N sampai terjadi perubahan warna merah jambu.
V titer x N NaOH x FP x BM CH
3
Total Asam = COOH
V sampel x 1000
6. Kadar Etanol
Pengukuran kadar etanol sampel dilakukan menggunakan GC Gas Chromatrography dengan membandingkan waktu retensi sampel dengan waktu
retensi standar etanol. Kondisi pengujian GC adalah sebagai berikut : Instrumen
: Agilent Technologies 6890N Detektor
: Flame Ionisation Detector FID suhu 250 °C
Kolom : Kolom kapiler HP-Innowax panjang 60 m, diameter 0,25
mm, ketebalan film 0,25 µm Suhu oven
: suhu awal 40 °C ditahan selama 20 menit
Suhu injection port : 200 °C
Gas pembawa : Helium
Mode kolom : Constant flow
Volume injeksi : 0,8 mlmin
Split : 50:1
Total gula mgml Nilai DP =
Gula pereduksi mgml
Sebelum dilakukan pengukuran kadar etanol sampel terlebih dahulu dibuat kurva standar menggunakan etanol murni dengan pelarut metanol. Kadar etanol
sampel diperoleh dari persamaan kurva standar berikut : y = 2274,1x dengan R
2
dimana y adalah luas area kurva dan konsentrasi etanol vv = 0,9998
Lampiran 2 Prosedur pengujian aktivitas enzim selulase dan xilanase 1.
Diagram alir pengujian aktivitas CMC-ase pada blanko, kontrol, dan sampel
0,5 ml CMC 1
Ditambahkan 0,5 ml H
2
O steril Ditambahkan
1 ml DNS
Blanko
0,5 ml CMC 1
Ditambahkan 0,5 ml selulase
Inkubasi pada suhu 30
°C-60°C selama 60 menit
Ditambahkan 1 ml DNS
Divortex
Diinkubasi pada suhu 100
°C selama 15 menit
Diukur absorbansi pada
540 nm
Sampel
0,5 ml CMC 1
Ditambahkan 1 ml DNS
Ditambahkan 0,5 ml selulase
Kontrol
2. Diagram alir pengujian aktivitas xilanase pada blanko, kontrol, dan
sampel
3.
Penghitungan aktivitas enzim
Nilai absorban yang diperoleh digunakan untuk menghitung konsentrasi gula pereduksi X melalui persamaan kurva standar glukosa dan xilosa. Aktivitas
enzim dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
X sampel – X kontrol x FP x x 1000 Aktivitas enzim Uml =
BM gula pereduksi x waktu inkubasi x V enzim Keterangan:
BM : berat molekul FP : faktor pengenceran V : volume enzim ml
0,3 ml xilan 1
Ditambahkan 0,3 ml H
2
O steril Ditambahkan
0,6 ml DNS
Blanko Sampel
0,3 ml xilan 1
Ditambahkan 0,6 ml DNS
Ditambahkan 0,3 ml xilanase
Kontrol
0,3 ml xilan 1
Ditambahkan 0,3 ml xilanase
Inkubasi pada suhu 30
°C-80°C selama 60 menit
Ditambahkan 0,6 ml DNS
Divortex
Diinkubasi pada suhu 100
°C selama 15 menit
Diukur absorbansi pada 540 nm
Lampiran 3 Metode analisis proksimat, kandungan pati dan komponen serat
1. Kadar Air AOAC, 1999
Sampel sebanyak 2-5 g dalam cawan aluminium yang telah dikeringkan selama satu jam pada suhu 100-105
o
C dan telah diketahui bobotnya kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 100-105
o
Bobot sampel awal – Bobot sampel akhir C selama 3 jam.
Sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pemanasan dan pendinginan dilakukan kembali sampai bobot sampel konstan. Kadar air
dihitung menggunakan rumus berikut: Kadar Air = x 100
Bobot sampel awal
2. Kadar Abu AOAC, 1999
Sampel sebanyak 2-5 g dimasukkan dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya yang terlebih dahulu dibakar dalam tanur dan
didinginkan dalam desikator. Sampel kemudian diarangkan dan dilanjutkan dengan pengabuan dalam tanur pada suhu 600
o
Bobot abu C. Abu yang diperoleh
dihitung menggunakan rumus berikut: Kadar Abu = x 100
Bobot sampel
3. Kadar Lemak Kasar Metode Soxhlet AOAC, 1995
Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang A. sebanyak 5 g sampel
dibungkus dalm kertas saring kemudian dimasukkan dalam labu ekstraksi soxhlet. Kemudian dilakukan ekstraksi selama 6 jam dengan pelarut lemak
berupa heksan. Lemak yang terekstrak kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105
o
B – A C selama 1 jam. Labu bersama lemak didalamnya ditimbang
B. Kadar Lemak = x 100
Bobot sampel
4. Kadar Serat kasar AOAC, 1999
Sebanyak 2 g sampel dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml kemudian ditambahkan 100 ml H
2
SO
4
0.325 N dan dihidrolisis dalm otoklaf selama 15 menit pada suhu 105
o
C. Setelah dingin kemudian ditambahkan NaOH 1.25 N sebanyak 50 ml dan dihidrolisis kembali dalam otoklaf selama
15 menit. Dalalm keadaan panas, cairan dalam labu Erlenmeyer disaring dan dikeringkan kemudian bobotnya ditentukan. Endapan pada kertas saring
dicuci berturut-turut dengan 25 ml air panas, 25 ml H
2
SO
4
0.325 N, 25 ml air panas dan terakhir dengan etanol 95. Kertas saring dikeringkan dalm oven
105
o
Bobot kertas saring dan serat – Bobot kertas saring C selama 1 jam.
Kadar serat = x 100 Bobot sampel awal
5. Kadar Protein Kasar Metode Kjeldahl AOAC, 1995
Sampel sebanyak 0.1 g yang telah dihaluskan dimasukkan kedalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 2.5 ml H
2
SO
4
A – B pekat. Sampel didihkan selama 1-
1.5 jam atau hingga cairan berwarna jernih. Labu beserta isinya didinginkan dan isinya dipindahkan kedalam alat destilasi dan ditambahkan 15 ml NaOH
50 dan dibilas air suling. Labu Erlenmeyer yang berisi HCl 0.02 N diletakkan dibawah kondensor, sebelumnya ditambahkan 2-4 tetes indikator
didalamnya. Ujung tabung kondensor harus terendam dalam labu HCl kemudian dilakukan destilasi hingga sekitar 25 ml destilat tertampung. Ujung
kondensor dibilas dengan sedikit air suling dan ditampung dalam Erlenmeyer dan dititrasi dengan NaOH 0.02 N. Penetapan blanko dilakukan dengan cara
yang sama. N = x 100
Bobot sampel Keterangan:
A = ml NaOH titer untuk blanko B = ml NaOH titer untuk sampel
N = normalitas NaOH Kadar protein = N x 6.25
6. Kadar Karbohidrat
Kadar karbohidrat total ditentukan dengan metode carbohydrate by difference yaitu: 100 - kadar air + abu + protein + lemak + serat.
7. Kadar Pati AOAC, 1995
Sampel sebanyak 1 g dalam labu Erlenmeyer ditambahkan 200 ml HCl 3. Hidrolisis pada suhu 115
o
C selama 1 jam kemudian dinginkan. Sampel kemudian dinetralkan dengan NaOH 40 dan ditera. Pipet 10 ml sampel dan
tambahkan Luff schroll sebanyak 25 ml. Sampel didihkan dibawah pendingin tegak tepat 10 menit setelah mendidih kemudian didinginkan. Sampel
kemudian ditambahkan 20 ml larutan KI 20 dan 25 ml H
2
SO
4
. Titrasi menggunakan NaSO
4
0.9 x Pengenceran x mg monosakarida 0.1 N dengan indikator kanji. Blanko dikerjakan
dengan mengganti sampel dengan akuades. Kadar pati = x 100
Bobot sampel mg
8. Metode analisis komponen serat
a. Kadar Lignin AOAC, 1984
Sampel sebanyak 1 g ditimbang dalam labu erlenmeyer 250 ml, ditambahkan 20 ml H
2
SO
4
dan didiamkan selama 2 jam. Sampel dikocok perlahan, ditambahkan 250 ml aquades, dan dipanaskan dalam waterbath pada suhu 100
C selama 3 jam. Sampel disaring menggunakan kertas saring yang diketahui
bobotnya A. Sisa sampel pada Erlenmeyer dan corong dibilas aquades sebanyak 3 kali, sedangkan kertas saring dan residu dioven pada suhu 105
C selama 1-2 jam atau pada suhu 50
C selama 24 jam. Kertas saring didinginkan, ditimbang bobotnya B, dan diabukan dengan muffle furnace pada suhu 600
B – A – C C selama 3-4
jam. Kemudian didinginkan dan ditimbang C. Kadar lignin =
x 100 Bobot contoh
Keterangan: B = bobot kertas saring dan residu setelah dioven g
A = bobot kertas saring g
C = bobot abu g
b. Kadar NDF Van Soest, 1963
Sampel sebanyak A g dimasukkan ke dalam gelas piala 500 ml dan ditambahkan larutan NDS aquades 1 l, Na-sulfat 30 g, EDTA 18,81 g, Na-Borat
10 H
2
O 6,81 g, di-Na-HPO
4
C - B anhidrat 4,5 g dan 2-etoksi etanol murni 10 ml.
Sampel yang telah ditambahkan larutan NDS disaring menggunakan filter glass G-3 B dengan bantuan pompa vakum, dibilas air panas dan aseton, dan
dikeringkan dalam oven 105°C. Sampel dimasukkan desikator selama satu jam dan ditimbang C.
NDF = x 100
A Keterangan :
A = bobot sampel g B = bobot filter glass g
C = bobot filter glass dan sampel setelah dioven
c. Kadar ADF dan Hemiselulosa Van Soest, 1963