apa yang mereka rasakan, seperti tidak puas dengan hasil penilaian. Mereka hanya bisa berprasangka dan tidak terlalu yakin bahwa apa yang mereka
rasakan adalah yang sebenarnya. Sedangkan karyawan golongan tinggi yang umumnya berperan sebagai penilai melihat bahwa obyektifitas penilaian
sangat lemah karena mereka merasakan sulitnya menilai secara obyektif karena kurang memadainya perangkat penilaian
Berdasarkan DepartemenBagian Pada sebagian besar departemen obyektifitas penilaian tergolong lemah.
Sedangkan untuk bagian Pelayanan dan SuratPos obyektifitasnya sangat lemah. Kondisi ini menggambarkan hampir seragamnya permasalahan yang
dihadapi oleh seluruh bagian dalam masalah obyektifitas penilaian.
5.1.5.5 Variabel Standardisasi Penilaian
Lemahnya standardisasi penilaian akan mendukung subyektifitas penilaian. Penilai yang berusaha untuk obyektif akan berangkat dari
obyektifitas menilai dari sisi pandangnya, sedangkan karyawan ternilai tidak mengetahui kapan dia akan dinilai cukup dan kurang. Obyektifitas bukan
hanya untuk karyawan dalam satu departemenbagian saja, akan tetapi untuk seluruh karyawan di perusahaan. Bobot penilaian yang berbeda antar
departemen menunjukkan lemahnya pelaksanaan penilaian prestasi kerja yang menimbulkan perasaan kurang puas.
Berdasarkan tingkat pendidikan Kondisi yang sama dengan kondisi pada variabel obyektifitas penilaian.
Karyawan dengan tingkat pendidikan SLTP, yang biasanya merupakan karyawan dengan level jabatan redah-menengah, tidak memiliki akses dan
informasi yang luas. Karyawan dengan tingkat pendidikan SLTA dan S1 umumnya mengetahui syarat minimal sistem penilaian prestasi kerja yang
baik, dimana salah satunya adalah pedoman penilaian yang jelas. Sedangkan
karyawan dengan pendidikan SLTP kurang mengetahuinya, dan bahkan mereka tidak mengetahui apa peranan mereka dalam proses penilaian,
seperti sejauh mana dampak dan efektifitas pengajuan keberatan atas penilaian prestasi kerja mereka.
Berdasarkan golongan karyawan Lemahnya kontrol dan pengetahuan karyawan dengan golongan rendah
mengakibatkan keterbatasan pengetahuan mereka sekitar sistem penilaian. Sebagai karyawan yang ternilai mereka tidak mengetahui dengan pasti
kekurangan sistem yang ada, karena peran mereka hanyalah pada pengajuan keberatan. Sedangkan karyawan dengan golongan tinggi yang umumnya
berperan sebagai penilai, mengetahui dengan pasti kesulitan yang mereka alami dalam pelaksanaan penilaian prestasi kerja.
Berdasarkan DepartemenBagian Pada sebagian besar departemen standardisasi penilaian tergolong lemah.
Sedangkan untuk bagian Keuangan dan GiroPos standardisasinya sangat lemah. Kondisi ini memperlihatkan bahwa untuk jenis pekerjaan yang lebih
bersifat operasionalpun, yang relatif lebih mudah dalam penilaiannya, tidak ada pedoman penilaian yang dapat dijadikan acuan.
5.2 PERANCANGAN PERFORMANCE APPRAISAL
Perancangan sistem penilaian prestasi kerja yang akan dilakukan adalah memperbaharui sistem penilaian berdasarkan perilaku yang sudah diterapkan,
serta merancang kembali sistem penilaian yang baru berdasarkan pencapaian sasaran. Dalam perancangan sistem perilaku digunakan pendekatan metode
BARS Behaviorally Anchored Rating Scales, sedangkan sistem penilaian
berdasarkan pencapaian sasaran dilakukan dengan pendekatan metode MBO