Saran Growth of plantation and residual trees on the intensified indonesian selective cutting and planting. Case study in PT Gunung Meranti Forest Concession Area, Central Kalimantan Province

kelerengan curam sampai sangat curam, jalur antara sebaiknya dijadikan areal konservasi yang dapat digunakan untuk penelitian, konservasi sumber daya genetik dan pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti rotan, gaharu, minyak, tengkawang, bahan obat, senyawa kimia dan bioaktif serta menjaga tata air dan kesuburan tanah, sedangkan pada kawasan hutan produksi dengan kelerengan datar sampai landai serta pada hutan rawang dan semak belukar jalur antara dapat dipergunakan sebagai areal untuk memproduksi hasil hutan kayu. 2 Unit manajemen yang melaksanakan pengelolaan hutan sistem TPTII selayaknya mendapat paket pinjaman dana misalnya dari dana reboisasi dengan bunga nol persen 0 sampai tahun ke enam atau pinjaman dana dengan bunga 9 sampai tahun ke tujuh. 3 PT Gunung Meranti disarankan dapat mengembangkan jenis-jenis unggulan lain seperti Shorea parvifolia, S.johorensis da n S.platyclados supaya lebih resisten terhadap serangan hama dan penyakit, lebih fleksibel dalam memenuhi permintaan pasar serta menciptakan keunggulan komparatif dan meningkatkan keanekaragaman jenis tanpa mengurangi produktifitasnya. DAFTAR PUSTAKA Appanah SG, Weinland, Bossel H, Krieger H. 1990. Area tropical rain forests non- renewable? An enquiry through modelling. Journal of Tropical Forest Science 24 pp 331-348. Appanah S,Weinland G. 1993. Planting Quality Timber Trees in Peninsular Malaysia. Forest Research Institute Malaysia. Kepong. Malayan Forest Record No. 38. [Balitbanghut] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 1993. Surat Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No.38KptsVIII-HM.31993 tentang Pedo man Pembuatan da n Pengukuran Petak Ukur Permanen untuk memantau Pertumbuhan dan Riap Hutan Alam Tanah Kering Bekas Tebangan. Balitbanghut, Departemen Kehutanan, Bogor. [Balitbanghut] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2008. Profil Pusat Penelitian da n Pengemba ngan Hutan dan Kons ervasi Alam. Balitbanghut, Departemen Kehutanan, Bogor. [Balitbanghutbun] Badan Penelitian dan Pengemba ngan Kehutanan da n Perkebunan. 1998. Buku Panduan Kehut anan Indo nesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta. Bella LE. 1971. A new competition model for individual trees. Forest Science 17:364-372 Bettinger P, Boston K, Siry JP, Grebner DL. 2009. Forest Management and Planning. Academic Press – Elsevier. Bosch CA. 1971. Redwoods: a population model. Science Journal 172: 345-349. Bossel H, Krieger H. 1991. Simulation model of natural tropical forest dynamics. Ecology Modelling 59:37-71. Botkin DB, Janak JF, Wallis JR. 1972. Some ecological consequences of a computer model of forest growth. Journal Ecology 60:849-872. Brown S. 1997. Estimating biomass change of tropical forest a primer. FAO Forestry Paper No.134. FAO USA. Buongiorno J, Gilles JK. 1987. Forest Management and Economics. Mc Millan Publishing Company, New York. Buongiorno J, Michie BR. 1980. A matrix model of uneven-aged forest management. Forest Science 264:609-625. Buongiorno J, Peyron L, Houller F, Bruciamacchie M. 1995. Growth and management mixed species uneven-aged forest in the French Jura. Forest Science 413. Burkhart HE. 2003. Suggestion for choosing an appropriate level for modelling forest stand. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors. Mode lling Forest System. CABI Publishing. Clutter JL, Fortson JC, Pienaar LV, Brister GH, Bailey RL. 1983. Timber Management: A Quantitative Approach. Wiley, N.Y. 333p. Coates KD, Philip JB. 1997. A gap-based approach for development of silvicultural system to address ecosystem management objectives. Journal Forest Ecology and Management 99 1997 337-35. [Danida dan Dephut] Danish International Development Assistance dan Departemen Kehutanan RI. 2001. Zona Benih Tanaman Hutan Kalimantan Indonesia. Indonesia Forest Seed Project. Kerjasama Departemen Kehutanan RI dengan Danish International Development Assistance Danida Denmark, Jakarta. Davis LS, Johnson KN. 1987. Forest Management, 3 rd ed. McGraw-Hill, NY.790 p [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indo nesia. 1989. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 485KptsII1989 tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Prod uks i di Indo nesia. Departemen Kehut anan RI, Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indo nesia. 1994. Keputusan Menteri Kehutanan No. 200Kpts-II1994 tentang Kriteria Hutan Produksi Alam yang tidak Produktif. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutana n Republik Indo nesia. 1997a. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 435Kpts-II1997 tentang Sistem Silvikultur dalam Pengelolaan Hutan Tanaman Industri. Depa rtemen Kehutanan RI, Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indo nesia. 1997b. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 707Kpts-II1997 tentang Pembagian Kelompok Jenis Kayu Bulat sebagai Dasar Penentuan Tarif PSDH dan DR. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. [Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. 1999a. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.858Kpts-II1999 tentang Tarif Provisi Sumber Daya Hutan PSDH Hasil Hutan Kayu. Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI, Jakarta. [Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. 1999b. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.941Kpts-VI1999 tentang Pembaharuan Hak Pengusahaan Hutan PT Gunung Meranti. Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI, Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indo nesia. 2002. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.4795Kpts-II2002 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi pada Unit Pengelolaan. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.10Menhut-II2007 tentang Perbenihan Tanaman Hutan. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.11Menhut-II2009 tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Hutan Prod uks i. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. [Dept an] Departemen Pertanian Republik I ndo nesia. 1980. Kriteria Penetapan Hutan Lindung. Departemen Pertanian RI, Jakarta. [Ditjen Hut] Direktorat Jenderal Kehutanan. 1972. Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No.35KptsDD1972 tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-pedoman Pengawasannya. Ditjen Kehutanan, Jakarta. [Ditjen Hut] Direktorat Jenderal Kehutanan. 1980. Pedoman Pembuatan Tanaman. Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian, Jakarta. [Ditjen PH] Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1989. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No.564KptsIV-BPHH1989 tentang Pedom an Tebang Pilih Tanam Indo nesia. Ditjen Pengusahaan Hutan, J akarta. [Ditjen PH] Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1993. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No.151KptsIV-BPHH1993 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Revisi. Ditjen Pengusahaan Hutan, Jakarta. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Prod uks i Kehutanan. 2005. Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor SK.226VI-BPHA2005 Tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif Silin. Departemen Kehutanan, Jakarta. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2007. Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. 41VI-BPHA2007 tentang Penunjukan Pemegang IUPHHK pada Hutan Alam sebagai Pelaksana Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII. Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Jakarta. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009a. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.9VIBPHH2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Silvikultur dalam IUPHHK Hutan Produksi. Ditjen Bina Prod uksi Kehutana n, Jakarta. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009b. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.11VI-BPHH2009 tentang Pedoman Teknik Silvikultur Intensif. Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Jakarta. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Prod uks i Kehutanan. 2010a. Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK.31VI-BPHA2010 tentang Penunjukan Pemegang IUPHHK pada Hutan Alam sebagai Pelaksana Silvikultur TPTJ dengan teknik Silin. Ditjen Bina Produks i Kehutanan, Jakarta. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Prod uks i Kehut anan. 2010b. Profil Sistem Silvikultur Intensif di Unit Manajemen Mode l: Konsep dan Implementasi. Ditjen Bina Prod uksi Kehutana n, Jakarta Djamin Z. 1993. Perencanaan dan Analisis Proyek. Edisi Ketiga. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Elias, Manan S, Rosalina U. 1997. Studi hasil penerapan pedoman Tebang Pilih Indonesia dan Tebang Pilih Tanam Indonesia di areal HPH PT Kiani Lestari dan PT Narkata Rimba, Kalimantan Timur. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1979. Philippines Smallholder Tree. Farming Project. FAO Forestry Paper 17 Supplement, Manila. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1998a. Guidelines for the Management of Tropical Forest, The Production of Wood. FAO Forestry Paper 135. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1998b. Topsoil characterization for sustainable land management. Land and Water Development Division. Soil Resources, Management and Conservation Service, FAO of UN, Rome. Farima Farina, A. 1998. Principles and Methods in Landscape Ecology. Chapman and Hall, London-Weinhe im-New York-Tok yo-Melbourne-Madras. Favrichon V. 1998. Modeling the dynamics and species composition of tropical mixed species uneven-aged natural forest. Forest Science 44 1. Favrichon V. Kim YC, 1998. Modelling the dynamics of a lowland mixed dipterocarp forest stand: application of a density-dependent matric model. In Bertault JG, Kadir, editors. Silvicultural Research in A Lowland Mixed Dipterocap Forest of East Kalimantan. The Contributions od STREK Project, CIRAD-Foret, FORDA and PT Inhutani I. CIRAD-Foret Publication:229-245. Finke lde y R. 1989. An Introduction to Tropical Forest Genetic. Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding, Goettingen, Germany. Fisher RF, Bink ley. 2000. Ecology and Management of Forest Soil. Third Edition. John Wiley Sons, Inc., New York. Ford RFC. 1977. Terminology of Forest Science Technology Practise and Product. Society of American Foresters, Washington DC. 370 p. Ford A. 2009. Modeling for Environment. An Introduction to System Dynamics Mode ls of Environmental Systems. Island Press, Washington D.C, Covelo, California. Forman RTT, Gordon M. 1986. Landscape Ecology. John Willey Sons, New York.619 pp. Forss ED, Gadow KV, Saborowski J. 1996. Growth Models for Unthinned Acacia mangium Plantations in Sout h Kalimantan, Indo nesia. Journal of Tropical Forest Science, 84:449-462. Friend AD, Schugart HH, Running SW. 1993. A Physiology-Based Gap Model of Forest Dynamics. Ecology Vol.74 No.3 pp.792-797. Fyllas NM, Politi PI, Galanidis A, Dimitrakopoulo PG, Arianoutsou M. 2010. Simulating regeneration and vegetation dyna mics in Mediterranean Coniferous Forest. Ecology Modelling Journal. 34. Gadow KV, Hui G. 1999. Modelling Forest Development. Kluwer Academic Publishers. Gittinger JP. 1986. Economic Analysis of Agriculture Project. The Johns Hopkins University Press. Goldsmith FB, Harrison CM, Morton AJ. 1986. Description and analysis of vegetation. Di Dalam: Moore PD, Chapman SB. Editor. Methods in Plant Ecology. Oxford: Blackwell Scientific Publications. Grant WE, Pedersen EK, Marin SL. 1997. Ecology and Natural Resource Management. Systems Analysis and S imulation. John Wiley Sons, Inc. Gray C, Kadariah L, Karlina 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Gregory G, Robinson. 1971. Forest Resource Economic. John Willey Sons. New York. USA. Gunawan HR, Wartomo. 2002. A wood anatomical structure: A new approach to measure the trees growth. Book 3th. Competitive Award Scheme-2. Berau Forest Management Profect, European Union and Ministry of Forestry RI. Halle F, Oldeman RAA, Tomlinson PB. 1978. Tropical Trees and Forest, An Architectural Analysis. Springer Verlag Berlin-Heidelberg-New York. Handadari T. 2005. Ekonomi Sumber Daya Hutan. Program Pascasarjana Unlam, Banjarbaru. Hani’in O. 1999. Pemuliaan pohon hutan Indonesia menghadapi tantangan abad 21. Dalam Hardiyanto EB, editor. Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Peluang dan Tantangan Menuju Produktifitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Wanagama I. Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. Harrison I, Laverty M, Sterling E. 2004. Alpha, Beta, and Gamma Diversity. Connexions module: m12147. 3 pp. Hauhs M, Knauft FJ, Lange H. 2003. Algorithmic and interactive approaches to stand growth modelling. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors. Modelling Forest System . CABI Publishing. Husch B, Beers TW, Kershaw JA. 2003. Forest Mensuration. John Wiley Sons, Inc. New Jersey. Indrawan A. 2000. Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan Alam Setelah Penebangan dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Disertasi. Bogor : Program Pascasarjana, IPB. Indrawan A. 2003a. Model sistem pengelolaan tegakan hutan alam setelah penebangan dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol.IX No.2 Juli- Desember 2003 www.andryindrawan.blogspot.com Indrawan A. 2003b. Verifikasi mode l sistem pengelolaan tegakan hutan alam setelah penebangan dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol.IX No.2 Juli- Desember 2003. www.andryindrawan.blogspot.com Indrawan A. 2006. Keanekaragaman Genetis. Makalah disampaikan dalam rangka fasilitasi penerapan Sistem Silvikultur Intensif di areal IUPHHK. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta. Indrawan A. 2008. Sejarah perkembangan sistem silvikultur di Indonesia. Di dalam: Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan . Kerja sama Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Prod uks i Kehut anan. Bogor. Jennings SB, Brown ND, Sheil S. 1999. Assessing Forest Canopies and Understory Illumination: Canopy Closure, Canopy Cover and Other Measures. Forestry, Vol.72 No.1. Kikuchi J. 1996. The growth and mycorhiza formation on naturally regeneration dipterocarps seedling in the logged over forest in Jambi, Sumatra. In Sabarnurdin MS, Suhardi, Okimori Y, editors. Ecological Approach for Productifity and Sustainability of Dipterocarps Forest . Prosiding. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan Kansai Environment Engineering Center KEEC-Kyoto. Pp:38-47. Kimmins JP. 1997. Forest Ecology: A Foundation for Sustainable Management. Prentice-Hall. New Jersey. Kohyama T. 1993. Size Structured Tree Population in Gap Dynamic Forest. The Forest Architecture Hypothesis for the Stable Coexistance of Species. Journal of Ecology Vol 81 No.1. pp 131-143. Kollert W, Zuhaidi A, Weinland G. 1994. Sustainable management of dipterocarps species: silviculture and economic. In Appanah S, Khoo KC, editors: Proceedings of The Fifth Round-Table Conference on Dipterocarps . Chiang Mai. November 7-10, 1994. Pp: 344-379. Kozlowski TT, Pallardy SG. 1997. Physiology of Wood y Plants. Academic Press. Kumar S, Matthias F. 2004. Molecular Genetic and Breeding of Forest Trees. Food Product Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc. New York, London, Oxford. Labetubun MS. 2004. Metode Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur melalui Pendekatan Model Dinamika Sistem Tesis. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Lamprecht H. 1989. Silviculture in the Tropics. TZ-Verlagsgesellcshaft mbH, Postfach 1164, D-6101 RoBdorf, Federal Republic of Germany. Landsberg JJ. 1986. Physiological Ecology of Forest Production. Academic Press, Londo n. Lee R. 1990. Forest Hydrology. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Leuschner WA. 1990. Forest Regulation, Harvest Scheduling and Planning Techniques. Wiley, New York. 281 p. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology. John Wiley Sons, New York. 337 pp. MacKinnon K, Hatta G, Hakimah H, Arthur M. 2000. Ekologi Kalimantan. Seri Ekologi Indonesia, Buku III. Canadian International Development Agency CIDA, Prenhallindo, Jakarta. Manan S. 1995. Riap dan Masa Bera di Hutan Tanaman Industri. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, Dephut RI, Jakarta. McMurtrie RE, Rook DA, Kelliher FM. 1990. Mode lling the Yield of Pinus radiata on a Site Limited by Water and Nitrogen. Forest Ecology Management, 30: 381-413. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Chapman and Hall. London. 179pp. Mansur I. 2008. Sistem silvikultur untuk pengelolaan hutan alam. Di dalam: Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan . Kerja sama Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Prod uks i Kehut anan, Bogor. Mendoza GA, Gumpal EC. 1987. Growth projection of a selectively cut-over forest base on residual inventor y. For.Ecol.Manage. 20:253-263. Mengel DL, Roise JP. 1990. A diameter-class matric model for southeastern U.S. coastal plain bottomland hardwood stand. South J.Appli. 14: 189-195. Meyer HA, Recknagel AB, Stevenson DD, Barto RA. 1961. Forest Management. The Ronald Press Company, New York. Mitlöhner R. 2009. Natural Resources in the Tropics.: The Concepts of Forestry. Burckhardt Institute. Department Tropical Silviculture and Forest Ecology, University of Göttinggen, Germany. Moore PD, Chapman SB. 1986. Methods in Plant Ecology. Oxford: Blackweel Scientific Publications. Mor i T. 2001. Rehabilitation of degraded forest in lowland forest Kutai, East Kalimantan-Indo nesia. In Kobayasi S, Trunbul JW, Toma T, Mori T, Madjid MNNA, editors. Rehabilitation of Degraded Tropical Forest Ecosytems. CIFOR-Bogor. Pp. 17-26. Muller-Dombois, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley and Sons, New York. Muhammadi, Erman A, Budhi S. 2001. Analisis Sistem Dinamis. UMJ Press, Jakarta. Na’iem M, Raharjo P. 2006. Petunjuk Teknis Pemaparan Konservasi Ex-situ Shorea leprosula. ITTO PD 10601 Rev.1 F Fahutan UGM, Yogyakarta. Nair PKR. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publishers. ICRAF. Dordrecht-Boston-Londo n. 22 385-408. Nguyen N, Sist P. 1998. Phenology of Some Dipterocarp. S ilviculture Research in a Low Land Mixed Dipterocarp Forest of East Kalimantan. CIRAD-FORET. FORDA. Numata S, Yasuda M, Okuda T, Kachi N. 2006. Canopy gap dynamics of two different forest stand in a malaysian lowland rain forest. Journal of Tropical Forest Science , 182 pp.109-116. Nugroho B. 2002. Ana lisis Biaya Proyek Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Nyland RD. 1996. Silviculture. Concept and Applications. The McGraw-Hill Companies, Inc. New York-Toronto. Oliver CD, Larson BC. 1990. Forest Stand Dynamics. McGraw Hill, Inc., New York.467p. Pamoengkas P. 2006. Kajian Aspek Vegetasi dan Kualitas Tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur. Studi Kasus di Areal PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Pancel L. 1993. Tropical Forestry Handbook. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Pasaribu HS. 2008. Kebijakan Penerapan Lebih dari Satu Sistem Silvikultur pada Areal IUPHHK di Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Di dalam: Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan . Kerja sama Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Bogor: p.13-24. [PP] Peraturan Pemerintah. 1970. Peraturan Pemerintah Republik Indo nesia Nomor 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Mensekneg RI, Jakarta. [PP] Peraturan Pemerintah. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Mensekneg RI, Jakarta. [PP] Peraturan Pemerintah. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indo nesia Nomor 3 tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No.62007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Mensekneg RI, Jakarta. Pielou EC. 1984. The Interpretation of Ecological Data. John Wiley and Sons. New York. Pienaar L, Page H, Rheney JW. 1990. Yield Prediction for Mechanically Site- Prepared Slash Pine Plantations. Southern Journal of Apllied Forestry, 143:104-109. Pollet A, Nasrullah. 1994. Penggunaan Metode Statistika untuk Ilmu Hayati. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Porte A, Bartelink HH. 2001. Modelling mixed forest growth: a review of models for forest management. Eco. Model. Journal. [PT BFI] PT Balikpapan Forest Industries. 2010. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. [PT ED] PT Erna Djuliawati. 2010. Riset Pengembangan Model Silvikultur Intensif. Konsep dan Aplikasi. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. [PT GM] PT Gunung Meranti. 2007a. Rencana Karya Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti Tahun 2007. PT Gunung Meranti Banjarmasin. [PT GM] PT Gunung Meranti. 2007b. Rencana Karya Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti Tahun 2008. PT Gunung Meranti Banjarmasin. [PT GM] PT Gunung Meranti. 2008a. Rencana Karya Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu RKUPHHK PT Gunung Meranti Periode 2007-2016. PT Gunung Meranti Banjarmasin. [PT GM] PT Gunung Meranti. 2008b. Rencana Karya Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti Tahun 2009. PT Gunung Meranti Banjarmasin. [PT GM] PT Gunung Meranti. 2009. Rencana Karya Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti Tahun 2010. PT Gunung Meranti Banjarmasin. [PT ITCI] PT International Timber Corporation Indonesia Kayan Hutani. 2010. Laporan Pelaksanaan TPTI Intensif. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. [PT SBK] PT Sari Bumi Kusuma. 2010. Pelaksanaan Silvikultur Intensif Meranti. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. [PT Sarpatim] PT Sarmiento Parakantja Timber. 2010. Pelaksanaan Silvikultur Intensif Meranti di PT Sarpatim . Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. [PT SJK] PT Suka Jaya makmur. 2010. Hasil-Hasil Penelitian Pelaksanaan Silvikultur Intensif. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. Purnomo H. 2005. Teori Sistem Komplek, Pemodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Radonsa PJ, Koprivica MJ, Lavadinovic VS. 2003. Modelling current annual height increment of young Douglas- fir stands at different site. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors. Modelling Forest System. CABI Publishing. Reed KL. 1980. An ecological approach to mode lling the growth of forest tress. Forest Science . 26:33-50. Rodriguez F, De La Rosa JA, Aunos A. 2003. Modelling the diameter at breast height growht of Populus euramericana plantation timber in Spain. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors. Modelling Forest System. CABI Publishing. Rombe YL, Rahardjo S, Soedarsono, Ambarita M. 1982. Tabel Volume Pohon Berdiri untuk Provinsi Kalimantan Tenga h. Direktorat Bina Program Kehutanan, Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian RI, Bogor. Sabogal C, Robert N. 2003. Restoring Overlogged Tropical Forest. Green Earth Technical Notes. Un-published. Santoso B. 2008. Kebijakan penerapan multisistem silvikultur pada hutan produksi Indonesia. Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman, Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta. Santoso H, Syaffari K, Nina M. 2008. Tinjauan Aspek Silvikultur dalam Penerapan Multisistem Silvikultur pada Areal Hutan Produksi. Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan . Kerja sama Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Produksi Kehutanan. Bogor. Sheil D, Ducey M. 2002. An extreme-value approach to detect clumping and application to tropical forest gap- mosaic dynamic. Jour. of Tropical Ecology. 18: pp.671-686. Shifley SR. 1987. A Generalized System of Model Forecasting Central States Growth. USDA Forest Service. Pap. NC-279. 10 p. Sieva nen R, Burk TE. 1988. Construction of a stand growth mode l utilizing photosynthesis and respiration relationships in individual trees. Canada Journal Forestry Res. 18. Singh P, Pathak PS, Roy MM. 1995. Agroforestry Sistem for Sustainable Land Use. Science Publishers, Inc. Sist P, Bertault JG. 1998. Reduced impact logging experiment: Impact at harvesting intensities and logging techniques at stand gamage. Silvicultural research in a low land mixed dipterocarp forest of east Kalimantan. The contribution of STREK Project CIRAD-Forest-FORDA-PT Inhutani I Jakarta. Sist P, Fimbel R, Sheil G, Robert N, Marie H. 2003. Towards sustainable management of mixed dipterocarp forest of South East Asia: Moving Beyond Minimum Diameter Cutting Limits. Journal Environmental Conservation 304 pp.364-374. Siswomartono D. 1989. Ensiklope di Konservasi Sumber Daya. Penerbit Erlangga, Jakarta. Soderquist C, Peck C, Johnston D. 1996. Getting Started with the Stella Software. A Hand-On Experience. High Performance Systems, Inc, Hanover NH 03755. Soekotjo. 1995. Bebe rapa faktor yang mempe ngaruhi riap Hutan Tanaman Industri. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, Dephut RI, Jakarta. Soekotjo, Subiakto A. 2005. Petunjuk Teknis Dipterocarpa. ITTO PD 4100 Rev.3 F.M Fahutan UGM, Yogyakarta. Soekotjo. 2009. Teknik S ilvikultur Intensif Silin. Gadjah Mada University Press. Soemarwoto O. 1991. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Soerianegara I, I ndrawan A. 2005. Ekologi Hutan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Solomon DS, Hosmer RA, Hayslett HT. 1986. A two stage matrix model for predicting growth of forest stand in the Northeast. Canadian Journal of Forest Research . 16. Stenzel G, Walbridge TA, Pearce JK. 1985. Logging and Pulpwood Production. John Willey Sons. New York, USA. Stuckle IC, Siregar CA, Supriyanto, Kartana J. 2001. Forest Health Monitoring to Monitor the Sustainability of Indonesian Tropical Rain Forest. ITTO and Seameo Biotrop. Suhenda ng E. 1985. Studi model struktur tegakan hutan alam hujan tropika dataran rendah di Bengkunat Provinsi Daerah Tingkat I Lampung Tesis. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Suhendang E. 1998. Pengukuran riap diameter pohon meranti Shorea sp pada hutan alam bekas tebangan. Makalah Diskusi: Pertumbuhan dan Hasil Tegakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. Suhendang E. 2008. Multisistem Silvikultur dalam Perspektif Ilmu Manajemen Hutan. Di da lam: Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan . Kerja sama Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Produksi Kehutanan. Bogor. Suparna N. 2010. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Sutedjo MM, Kartasapoetra AG. 1991. Pengantar Ilmu Tanah. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta [UU] Undang-Undang Republik Indonesia. 1967. Undang-Undang Republik Indo nesia No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia. 1967. Undang-Undang Republik Indo nesia No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehut anan. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia. 1968. Undang-Undang Republik Indo nesia No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Republik Indo nesia No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Meneg Sekretaris Negara RI, Jakarta. Vanclay, J.K., 1995. Growth models for tropical forest: A synthesis of models and methods. Royal Veterinary and Agricultural University.Thor valdsensvej 57. DK-1871 Frederiksberg, Denmark. Vanclay JK. 2001. Mode lling Forest Growth and Yield. Applications to Mixed Tropical Forest. CABI Publishing. Vanclay JK. 2002. Growth modeling and yield prediction for sustainable forest management. I n Shaharudd in et al. editors. Proceedings of the Malaysian-ITTO International Workshop on Growth and Yield of Managed Tropical Forest. Forestry Department Peninsular Malaysia, Government of Malaysia and ITTO, Kuala Lumpur. Volin VC, Buongiorno J. 1996. Effect of alternative management regimes on forest stand structure, species composition and income: A model for the Italian Dolomites. Forest Ecology and Management 87:107-125. Voinov A. 2008. Systems Sceince and Mode ling for Ecological Economics. Academic Press – Elsevier. Wahjono D, Anwar. 2008. Prospek penerapan multisistem silvikultur pada unit pengelolaan hutan produksi. Puslitbang dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan, Bogor. Wahyudi. 2001. Forest biomass an unutilized potency. Di dalam: Proceedings of seminar Environment conservation through efficiency utilization of forest biomass . JIFPRO and Faculty of Forestry Gadjah Mada University, 2001. Wahyudi. 2008. Efisiensi reduced impact logging pada kegiatan eksploitasi hutan. Journal Hutan Tropis II2008 . Faperta Jurusan Kehutanan, Unpar, Palangkaraya. Wahyudi. 2009a. Selective cutting and line enrichment planting silvicultural system development on Indonesian tropical rain forest. In: GAFORN-International Summer School , Georg-August Universität Göttingen and Universität Dresden, Germany. Wahyudi. 2009b. Settled cultivation versus shifting cultivation to improve social prosperity and environmental quality surrounding forest region. In: GAFORN- International Summer School , Georg-August Universität Göttingen and Universität Dresden, Germany. Wahyudi, Matthews P. 1996. Tabel Volume Lokal di Areal PT Gunung Meranti. Proyek Pembentukan KPHP Wilayah Kalimantan Tengah. Kerja sama Departemen Kehutanan RI dengan Overseas Development Administration ODA Kerajaan Inggr is. Wasis B. 2006. Perbandingan kualitas tempat tumbuh antara daur pertama dengan daur kedua pada hutan tanaman Acacia mangium Wild. Disertasi. Bogor : Program Pascasarjana IPB. West PW. 1980. Use of diameter and basal area increment in tree growth studies. Canada Journal Forest 10: 71-77. Whitmore TC. 1975. Tropical Rain Forest of the Far East. Clarendon Press, Oxford. Wood GB, Wiant Jr HV. 1993. Modern Methods of Estimating Tree and Log Volume. West Virginia University Publications Services. Yasman I, Natadiwirya M. 2001. Dipterocarp plantation: The strategy and the approaches of PT Inhutsni I. In Tielges B, Sastrapradja SD, Rimbawanto A, editors. In-situ and Ex-situ Conservation of Commercial Tropical Trees. ITTO- UGM. Yogyakarta. Pp. 407-412. Lampiran 1. Daftar nama jenis pohon di areal IUPHHK PT Gunung Meranti Nomor Nama daerah Nama botani Famili 1 Ampas tebu Gironniera nervosa Olacaceae 2 Anggi, marijang Sindora beccariana Backer Caesalpiniaceae 3 Ara Ficus variegata Bl. Meliaceae 4 Awang, damar siput Shorea faguetiana Heim Dipterocarpaceae 5 Bakil Artocarpus anisophyllus Miq. Moraceae 6 Balau Parashorea lucida Dipterocarpaceae 7 Bangkirai Shorea laevis Ridley Dipterocarpaceae 8 Banitan Monocarpia kalimantanensis Ke βler Annonaceae 9 Bayur Pterospermum javanicum Jungh. Sterculiaceae 10 Bengkal Nauclea subdita Steud. Rubiaceae 11 Binjai Mangifera decandra Ding Hou Anacardiaceae 12 Bintangurnyamplung Calophyllum inophyllum L. Guttiferae 13 Binuang Octomeles sumatrana Miq. Datiscaceae 14 Buah Aglaia silvestris Merr. Daphniphyllaceae 15 Buni Antidesma leucopodum Miq. Euphorbiaceae 16 Buno Pternandra qaleata Ridley Melastomataceae 17 Bunyau Shorea lamellata Foxw. Dipterocarpaceae 18 Cemara Casuarina sumatrana Casuarinaceae 19 Cempedak Artocarpus integer Merr Moraceae 20 Cengal Hopea sangal Dipterocarpaceae 21 Damar Agathis boorneensis Warb. Araucariaceae 22 Dungunmangkulang Heritiera elata Ridley Sterculiaceae 23 Durian Durio zibethinus Murray. Bombacaceae 24 Gading Diplospora singularis Rubiaceae 25 Gaharu Aquilaria malaccensis Lamk. Thymelaeaceae 26 Gambir Trigonostemon malayana H.k.f. Euphorbiaceae 27 Geronggang Cratoxylon arborescens Blume Hyperioceae 28 Hopea jangkar Hopea dryobalanoides Miq. Dipterocarpaceae 29 Hovea, mangerawan Hopea mangerawan Miq. Dipterocarpaceae 30 Inger Burung Ixonanthea petiolaris Blume Linaceae 31 Jabon Anthocephalus cadamba Rubiaceae 32 Jambuan Syzigium nigricans King Myrtaceae 33 Jelutung rawa Dyera polyphylla Steen. Apocynaceae 34 Jelutung, pantung Dyera costulata Hook.f. Apocynaceae 35 Jeunjing Archidendron scandens Fabaceae Lampiran 1. Sambungan Nomor Nama daerah Nama botani Famili 36 Jingah pasir Buchanania arborescens Blume Anacardiaceae 37 Kapul Baccaurea macrocarpa Mig. Euphorbiaceae 38 Kapur bukit Dryobalanops lanceolata Burck. Dipterocarpaceae 39 Kapur merah Dryobalanops beccarii Dyer Dipterocarpaceae 40 Kayu arang Diospyros elliptifolia Merr. Ebenaceae 41 Kayu arang gunung Diospyros forbesii Bakh. Ebenaceae 42 Kayu arang kalimantan Diospyros borneensis Hiern Ebenaceae 43 Kayu bawang Scorodocarpus borneensis Becc. Olaceae 44 Kayu gading Koilodepos bantamense Hassk. Euphorbiaceae 45 Kayu Kikir Drypetes kikir Airy Shaw Euphorbiaceae 46 Kayu manis Cinnamomum zeylanicum Breyn. Lauraceae 47 Kayu seluang Vatica venulosa Blume Dipterocarpaceae 48 Kayu tulang Milettia atropurpurea Benth. Leguminoceae 49 Kelampai Elateriospermum tapos Blume Euphorbiaceae 50 Kempas madu Koompassia excelsa Becc. Caesalpinaceae 51 Kempas merah Koompassia malaccensis Maing Caesalpinaceae 52 Kenari Canarium decumanum Gaertn. Burseraceae 53 Kenari Santiria tomentosa Blume Burseraceae 54 Keramok Dacryodes regusa H.J.L Burseraceae 55 Keranji Diallium indicum L. Caesalpinaceae 56 Keruing Dipterocarpus borneensis V.Sl. Dipterocarpaceae 57 Keruing bulan Dipterocarpus gracilis Blume Dipterocarpaceae 58 Keruing tembaga Dipterocarpus cornutus Dyer Dipterocarpaceae 59 Keruing, tempehes Dipterocarpus tempehes Sloot. Dipterocarpaceae 60 Keruing, tempudau Dipterocarpus confertus Sloot. Dipterocarpaceae 61 Ketapang Terminalia catappa L. Combretaceae 62 Kojeng Xylopia malayana Hook.f.Th. Annonaceae 63 Kolaka Prunus arborea Kalkman Rosaceae 64 Kumpang Myristica iners Blume Myristicaceae 65 Laban Vitex pubescens Vahl. Verbenaceae 66 Langsat Aglaia agglomerata M.et.P Meliaceae 67 Lapso, jambuan Eugenia leptostemon Miq. Myrtaceae 68 Lentang batu Shorea platycados V.Sl. Dipterocarpaceae 69 Lentang besar Shorea macrobalanops Ashton Dipterocarpaceae 70 Lentang merah Shorea leprosula Miq. Dipterocarpaceae Lampiran 1. Sambungan Nomor Nama daerah Nama botani Famili 71 Mahang Macaranga pruinosa Muell.Arg. Euphorbiaceae 72 Mahang putih Macaranga hypoleuca Muell.Arg. Euphorbiaceae 73 Mahawai Mezettia parvifolia Becc. Annonaceae 74 Mahusum Shorea patoiensis Ashton Dipterocarpaceae 75 Majau Shorea lepidota Blume. Dipterocarpaceae 76 Mandarahan Horsfieldia grandis Warb. Myristicaceae 77 Mandarahan Knema pallens de Wilde Myristicaceae 78 Mangga hutan Mangifera macrocarpa Blume Anacardiaceae 79 Manggisan Garcinia mangostana L. Guttiferae 80 Marijang tampar Sindora leicocarpa Backer Caesalpinaceae 81 Marok Shorea ochracea Sym. Dipterocarpaceae 82 Medang Litsea firma H.k.f Lauraceae 83 Mempaning Costanopsis argentea A.DC. Fagaceae 84 Meranti kuning Shorea patoiensis Ashton Dipterocarpaceae 85 Meranti kuningan Shorea gibbosa Brandis Dipterocarpaceae 86 Meranti merah Shorea ovalis Blume Dipterocarpaceae 87 Meranti merah Shorea parvifolia Dyer. Dipterocarpaceae 88 Meranti merah Shorea pauciflora King Dipterocarpaceae 89 Meranti merah Shorea smithiana Sym. Dipterocarpaceae 90 Meranti pakik Shorea seminis Sloot. Dipterocarpaceae 91 Meranti pasir Parashorea densiiflora Dipterocarpaceae 92 Meranti putih Shorea bracteolata Dyer. Dipterocarpaceae 93 Mersawa Anisoptera costata Korth. Dipterocarpaceae 94 Nangkaan Artocarpus rigidus Blume Moraceae 95 Nyatoh Madhuca sericca Buch. Sapotaceae 96 Nyatoh Palaqium beccarianum van Royen Sapotaceae 97 Nyatoh tembaga Palaquium stenophyllum H.J.Lam Sapotaceae 98 Pala hutan Myristica maxima Warb Myristicaceae 99 Pani-pani Bouea oppsitifolia Meisn. Anacardiaceae 100 Pelak, kelapis, pelepek Shorea johorensis Foxw. Dipterocarpaceae 101 Pelepek Dipterocarpus humeratus Sloot. Dipterocarpaceae 102 Penaga Mesua macrantha Kosterm. Guttiferae 103 Penguanhuru Beilschemedia dictyoneura Kosterm. Lauraceae 104 Perupuk Lophopetalum beccarianum Pierre Celastraceae 105 Petai Parkia speciosa Leguminoceae Lampiran 1. Sambungan Nomor Nama daerah Nama botani Famili 106 Petaling Ochanostachys amentacea Mast. Olocaceae 107 Pinang-pinangan Pentace borneensis Pierre Tiliaceae 108 Pulai Alstonia scholaris R.Br. Apocynaceae 109 Puspa Schima wallichii Korth Theaceae 110 Putat Baringtonia curranii Merr Lecytidaceae 111 Rahung Durio dulcis Becc. Bombacaceae 112 Rambutan Nephelium lappaccum Linn. Sapindaceae 113 Randuan Ceiba pentandra Gaertn. Bombacaceae 114 Rengas manuk Gluta wallichii Hook.f. Anacardiaceae 115 Rengas tembaga Gluta renghas Linne Anacardiaceae 116 Resak Vatica pauciflora Korth. Dipterocarpaceae 117 Resak Vatica umbonata Hook.f. Dipterocarpaceae 118 Resak gunung Vatica oblongifolia Hook.f. Dipterocarpaceae 119 Resak irian Vatica rassak Blume Dipterocarpaceae 120 Resak tembaga Cotylelobium melanoxylon Hook.f. Dipterocarpaceae 121 Rumpang Castanopsis paucispina Soepadmo Fagaceae 122 Scapiumlupi Scapium macropodum Miq. Sterculiaceae 123 Serua Macaranga gigantea Muell.Arg. Euphorbiaceae 124 Sialmanahun Pternandra aurea Burkill Melastomataceae 125 Simpur Dillenia borneensis Hoogl. Dilleniaceae 126 Simpur batu Dillenia indica Linne Dilleniaceae 127 Sintuk Cinnamomum javanicum Blume Lauraceae 128 Sirihan Piper bettle 129 Tarap Artocarpus elasticus Reinw. Moraceae 130 Tebukau Litsea oppositifolia Gibbs Lauraceae 131 Tegelam Shorea scholaris V.SL. Dipterocarpaceae 132 Tembesu Fagraea ceilanica Thunb. Loganiaceae 133 Tengkawang Shorea palembanica Miq. Dipterocarpaceae 134 Tengkawang Shorea pinanga Scheffer Dipterocarpaceae 135 Tengkawang Shorea stenoptera Burch. Dipterocarpaceae 136 Terpis Polyalthia glauca Boerl. Annonaceae 137 Terunyan Dysoxilum alliaceum Blume Meliaceae 138 Ulin Eusideroxylon zwageri T.et.B. Lauraceae 139 Waru gunung Hibiscus sp. Malvaceae Lampiran 2. Uji beda rata-rata terhadap riap diameter dan tinggi tanaman Shorea leprosula pada kelerengan datar- landa i 0-15 dan kelerengan agak curam-curam 15-30 t-Test: Paired Two Sample for Means Diameter 2,08 2,44 Mean 1,955 2,07 Variance 0,00605 0,2738 Observations 2 2 Pearson Correlation 1 Hypothesized Mean Difference df 1 t Stat -0,365079365 PT=t one-tail 0,388577251 t Critical one-tail 6,313751514 PT=t two-tail 0,777154503 t Critical two-tail 12,70620473 t hitung=0,3651 t tab 12,7062 terima Ho tidak berbeda nyata t-Test: Paired Two Sample for Means High 268,41 319,59 Mean 275,85 298,94 Variance 25,7762 3983,6738 Observations 2 2 Pearson Correlation 1 Hypothesized Mean Difference df 1 t Stat -0,562621832 PT=t one-tail 0,336871912 t Critical one-tail 6,313751514 PT=t two-tail 0,673743823 t Critical two-tail 12,70620473 t hitung=0,5626 t tab 12,7062 terima Ho tidak berbeda nyata Lampiran 3. Skor penutupan tajuk pada jalur tanam a dan jalur antara b` Jalur Titik Densiometer Jalur PU Densiometer pengamatan Datar-Landai A.crm-curam Datar-Landai A.crm-curam 1 1 53 59 1 1 85 84 2 55 55 2 84 85 3 45 60 3 87 86 4 45 55 4 81 82 5 50 54 5 82 85 6 47 55 6 84 83 7 45 60 7 80 81 8 27 48 8 82 84 9 35 55 9 83 82 10 50 50 10 85 85 11 55 58 11 84 84 12 60 60 12 82 85 13 65 55 13 83 82 14 55 60 14 82 81 15 57 57 15 81 85 16 55 55 16 82 84 17 60 53 17 82 83 Rata-rata 50,5 55,8 18 83 84 2 1 60 53 19 80 86 2 57 55 20 84 81 3 50 55 21 80 80 4 50 60 Rata-rata 82,7 83,4 5 55 53 2 1 86 84 6 50 60 2 84 84 7 53 48 3 82 88 8 45 55 4 82 81 9 25 50 5 82 82 10 40 50 6 83 84 11 55 60 7 83 84 12 55 55 8 82 85 13 60 53 9 83 82 14 53 60 10 81 85 15 55 55 11 83 85 16 55 55 12 85 82 17 60 53 13 83 84 Rata-rata 51,6 54,7 14 82 82 3 1 55 60 15 85 82 2 57 55 16 81 82 3 55 55 17 83 80 4 60 53 Rata-rata 82,9 83,3 5 55 60 6 55 55 Kelompok 7 53 53 Skor 8 40 60 9 40 55 10 50 48 1 11 60 60 1-25 12 60 53 2 13 60 55 26-50 14 53 55 3 15 55 53 51-75 16 55 60 4 17 55 35 76-96 Rata-rata 54,0 54,4 Catatan: Jarak antar titik pengamatan 25 m a. Jalur tanam interval 25 m b. Jalur antara tiap PU Lampiran 4. Prediks i volume tanaman Shorea leprosula menggunakan tiga mode l persamaan pertumbuhan Analisis data volume pada 3 model persamaan pertumbuhan tanaman Shorea leprosula 1 Test of homogeneity of variances 2 Anova Blok RKT Umur Tnm Diameter cm Volume m3ha ke tahun P.sigmoid P.rata 2 P.kel. P.sigmoid P.rata 2 P.kel. 1 Nursery 2 0,51 0,37 0,00 0,00 0,00 3 1 1,54 1,22 0,02 0,01 0,07 4 2 2,59 2,13 0,08 0,05 0,28 5 3 3,65 3,10 0,20 0,13 0,70 6 4 4,72 4,13 0,38 0,27 1,35 7 5 5,81 5,22 0,65 0,49 2,26 8 6 6,91 6,37 1,01 0,82 3,46 9 7 8,02 7,57 1,48 1,28 4,95 10 8 9,16 8,84 2,09 1,91 6,75 11 9 10,3 10,17 2,82 2,73 8,88 12 10 11,46 11,55 3,70 3,78 11,34 13 11 12,64 13,00 4,76 5,11 14,13 14 12 13,84 14,50 6,01 6,77 17,27 15 13 15,05 16,06 7,45 8,80 20,76 16 14 16,28 17,69 9,11 11,26 24,59 17 15 17,53 19,37 11,01 14,21 28,79 18 16 18,8 21,11 13,17 17,71 33,34 19 17 20,08 22,91 15,59 21,85 38,26 20 18 21,39 24,77 18,33 26,69 43,54 21 19 22,72 26,69 21,39 32,31 49,20 22 20 24,07 28,67 24,80 38,81 55,23 23 21 25,44 30,71 28,57 46,27 61,65 24 22 26,83 32,81 32,75 54,81 68,45 25 23 28,25 34,96 37,37 64,52 75,65 26 24 29,69 37,18 42,45 75,53 83,26 27 25 31,15 39,46 48,00 87,95 91,28 28 26 32,65 41,79 54,15 101,91 99,72 29 27 34,17 44,19 60,84 117,54 108,60 30 28 35,71 46,64 68,12 135,00 117,94 31 29 37,29 49,15 76,11 154,43 127,73 32 30 38,9 51,73 84,81 176,00 138,01 33 31 40,53 54,36 94,22 199,87 148,80 34 32 42,2 57,05 104,48 226,21 160,10 35 33 43,91 59,80 115,67 255,22 171,94 36 34 45,65 62,61 127,78 287,09 184,36 37 35 47,42 65,48 140,86 322,02 197,36 38 36 49,24 68,41 155,13 360,22 210,99 39 37 51,09 71,40 170,50 401,92 225,26 40 38 52,99 74,45 187,22 447,36 240,22 41 39 54,93 77,56 205,29 496,77 255,90 42 40 56,91 80,72 224,78 550,40 272,33 Var Volume Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 81558,42888 2 40779,21444 3,479 0,0341 Within Groups 1371437,352 117 11721,68677 Total 1452995,781 119 Nilai Sig=0,030,05 -- Terima H1 ada satu perlakuan atau lebih yang berbeda Var Volume df1 df2 Sig. 13,97321081 2 117 3,61605E-06 Nilai Sig=0,000,05 -- Terima H1 gabungan data merupakan data yang homogen Lampiran 5. Indek nilai penting tingkat semai pada hutan bekas tebangan Et+0 pada kelerengan datar- landai dan agak curam-curam Kelerengan datar-landai Kelerengan agak curam-curam No Nama lokal Nama latin KR FR INP Nama lokal Nama latin KR FR INP 1 Meranti merah Shorea spp1 32,3529 14,6067 46,9597 Meranti merah Shorea spp1 34,6491 23,6364 58,2855 2 Kayu arang Dyospyros 11,7647 5,6180 17,3827 Kayu arang Dyospyros 19,7368 16,3636 36,1005 3 Jambuan Syzigium sp 4,7059 5,6180 10,3239 Keranji Diallium 12,2807 9,0909 21,3716 4 Medang Litsea bijuga 5,2941 4,4944 9,7885 Medang Litsea bijuga 7,4561 5,4545 12,9107 5 Keranji Diallium 2,9412 6,7416 9,6827 Pantung Dyera costulata 4,8246 5,4545 10,2791 6 Hopea Hopea sp 3,5294 5,6180 9,1474 Kumpang Myristica 2,6316 3,6364 6,2679 7 Tengkawang Shorea spp2 5,8824 2,2472 8,1295 Mahawai Mizzethia 2,6316 3,6364 6,2679 8 Ampas tebu Gironniera nervosa 2,3529 4,4944 6,8473 Scapium Scapium 2,1930 3,6364 5,8293 9 Simpur Dillenia 2,3529 4,4944 6,8473 Ampas tebu Gironniera nervosa 1,7544 3,6364 5,3907 10 Mahawai Mizzethia 1,7647 3,3708 5,1355 Bayur Pterospermum sp 1,7544 3,6364 5,3907 11 Gading Diplospora sp 1,7647 3,3708 5,1355 Tarap Arthocarpus sp 2,6316 1,8182 4,4498 12 Petaling Ochanostachys sp 1,7647 3,3708 5,1355 Banitan Monocarpia sp 1,3158 1,8182 3,1340 13 Sirihan Piper 1,7647 3,3708 5,1355 Kenari Canarium 1,3158 1,8182 3,1340 14 Mahang Macaranga 2,3529 2,2472 4,6001 Manggisan Garcinia 0,8772 1,8182 2,6954 15 Randuan Ceiba 2,3529 2,2472 4,6001 Sirihan Piper 0,8772 1,8182 2,6954 16 Tapos Elateriospermum 1,7647 2,2472 4,0119 Pelepek Dipterocarpus lowii 0,4386 1,8182 2,2568 17 Tarap Arthocarpus sp 1,7647 2,2472 4,0119 Resak Vatica 0,4386 1,8182 2,2568 18 Resak Vatica 0,5882 3,3708 3,9590 Nangkaan Arthocarpus sp 0,4386 1,8182 2,2568 19 Kayu bawang Scorodocarpus sp 1,1765 2,2472 3,4237 Jeunjing Archiaenaron scandens 0,4386 1,8182 2,2568 20 Pantung Dyera costulata 1,1765 2,2472 3,4237 Kolaka Parinari sp 0,4386 1,8182 2,2568 21 Meranti kuning Shorea spp3 1,7647 1,1236 2,8883 Petaling Ochanostachys sp 0,4386 1,8182 2,2568 22 Keruing Dipterocarpus 0,5882 2,2472 2,8354 Jambuan Syzigium sp 0,4386 1,8182 2,2568 23 Kenari Canarium 1,1765 1,1236 2,3001 Jumlah 100 100 200 24 Kolaka Parinari sp 1,1765 1,1236 2,3001 25 Kumpang Myristica 1,1765 1,1236 2,3001 26 Meranti putih Shorea spp 0,5882 1,1236 1,7118 27 Pelepek Dipterocarpus lowii 0,5882 1,1236 1,7118 28 Nangkaan Arthocarpus sp 0,5882 1,1236 1,7118 29 Banitan Monocarpia sp 0,5882 1,1236 1,7118 30 Bayur Pterospermum sp 0,5882 1,1236 1,7118 31 Jelutung Dyera sp 0,5882 1,1236 1,7118 32 Jeunjing Archiaenaron scandens 0,5882 1,1236 1,7118 33 Sintuk Cinamomum 0,5882 1,1236 1,7118 Jumlah 100 100 200 100 100 200 Lampiran 6. Indek nilai penting tingkat pancang pada hutan bekas tebangan Et+0 pada kelerengan datar- landai dan agak curam-curam Kelerengan datar-landai Kelerengan agak curam-curam No Nama lokal Nama latin KR FR INP Nama lokal Nama latin KR FR INP 1 Meranti mrh Shorea spp1 34,630 16,484 51,114 Kayu arang Dyospyros 16,6667 13,6364 30,3030 2 Kayu arang Dyospyros 10,895 9,890 20,785 Meranti mrh Shorea spp1 9,2262 19,6970 28,9232 3 Medang Litsea bijuga 8,171 8,791 16,962 Keranji Diallium 14,2857 13,6364 27,9221 4 Keruing Dipterocarpus spp 6,226 4,396 10,621 Mahawai Mizzethia 8,6310 7,5758 16,2067 5 Keranji Diallium 4,280 5,495 9,775 Kumpang Myristica 7,4405 4,5455 11,9859 6 Mahang Macaranga 6,226 3,297 9,522 Keruing Dipterocarpus spp 5,9524 3,0303 8,9827 7 Simpur Dillenia 2,335 6,593 8,928 Mahang Macaranga hypoleuca 5,9524 3,0303 8,9827 8 Mahawai Mizzethia 2,335 5,495 7,829 Medang Litsea bijuga 3,2738 4,5455 7,8193 9 Gading Diplospora sp 2,724 4,396 7,119 Kenari Canarium 3,5714 3,0303 6,6017 10 Hopea Hopea sp 1,946 3,297 5,242 Bayur Pterospermum sp 4,7619 1,5152 6,2771 11 Jambuan Syzigium sp 1,946 3,297 5,242 Scapium Scapium 2,0833 3,0303 5,1136 12 Ampas tebu Gironniera nervosa 2,724 2,198 4,922 Tapos Elateriospermum 2,0833 3,0303 5,1136 13 Nyamplung Calophyllum 1,556 3,297 4,853 Pantung Dyera costulata 1,7857 3,0303 4,8160 14 Petai Parkia 1,556 3,297 4,853 Jeunjing Archiaenaron scanden 3,2738 1,5152 4,7890 15 Pantung Dyera costulata 1,946 2,198 4,143 Ampas tebu Gironniera nervosa 2,0833 1,5152 3,5985 16 Kelampai Elateriospermum sp 2,724 1,099 3,823 Jambuan Syzigium sp 1,4881 1,5152 3,0032 17 Bayur Pterospermum sp 1,556 2,198 3,754 Binuang Octomeles sp 1,1905 1,5152 2,7056 18 Kumpang Myristica 1,167 2,198 3,365 Sirihan Piper 1,1905 1,5152 2,7056 19 Tarap Arthocarpus sp 1,167 2,198 3,365 Terentang Camnosperma 1,1905 1,5152 2,7056 20 Kayu bawang Scorodocarpus sp 0,778 2,198 2,976 Hovea Hopea multiflora 0,8929 1,5152 2,4080 21 Balau Parashorea 0,778 1,099 1,877 Resak Vatica 0,8929 1,5152 2,4080 22 Tengkawang Shorea spp4 0,389 1,099 1,488 Petai Parkia 0,8929 1,5152 2,4080 23 Bangkirai Shorea leavis 0,389 1,099 1,488 Pelepek Dipterocarpus lowii 0,5952 1,5152 2,1104 24 Scapium Scapium 0,389 1,099 1,488 Petaling Ochanostachys 0,5952 1,5152 2,1104 25 Banitan Monocarpia sp 0,389 1,099 1,488 26 Bombaceae Bombaceae 0,389 1,099 1,488 27 Jeunjing Archiaenaron scandens 0,389 1,099 1,488 Jumlah 100 100 200 Jumlah 100 100 200 Lampiran 7. Indek nilai penting tingkat tiang pada hutan bekas tebangan Et+0 pada kelerengan datar- landai dan agak curam-curam Kelerengan datar-landai Kelerengan agak curam-curam No Nama lokal Nama latin KR FR DR INP Nama lokal Nama latin KR FR DR INP 1 Meranti mrh Shorea spp1 40,94 14,62 40,60 96,16 Meranti mrh Shorea spp1 51,08 23,61 52,83 127,52 2 Keranji Diallium sp 11,42 13,08 12,35 36,85 Keranji Diallium sp 12,23 13,89 11,62 37,74 3 Keruing Dipterocarpus spp 6,69 4,62 6,96 18,26 Keruing Dipterocarpus spp 7,19 11,11 5,93 24,24 4 Bangkirai Shorea leavis 4,33 4,62 4,88 13,83 Medang Litsea sp 3,60 5,56 3,82 12,98 5 Resak Vatica rasak 3,94 5,38 4,35 13,67 Hovea Hopea multiflora 2,88 5,56 3,43 11,86 6 Mandarahan Knema pallens 3,54 5,38 3,76 12,69 Scapium Scapium podocarpum 2,16 4,17 1,96 8,29 7 Ky arang Dyospyros bornensis 2,36 4,62 2,14 9,12 Kelampai Elateriospermum sp 2,16 4,17 1,87 8,19 8 Hovea Hopea multiflora 2,36 3,85 2,74 8,94 Mahang Macaranga sp 2,16 2,78 2,19 7,12 9 Meranti pth Shorea spp2 2,36 3,08 1,95 7,39 Jangkang Zingiberaceae 2,16 2,78 2,14 7,08 10 Jambuan Syzigium sp 1,97 3,08 2,18 7,22 Binuang Octomeles sp 1,44 2,78 2,17 6,39 11 Medang Litsea sp 1,97 3,08 1,97 7,02 Meranti pth Shorea spp2 2,16 2,78 1,27 6,21 12 Meranti kng Shorea spp3 1,57 3,08 1,57 6,22 Mandarahan Knema pallens 1,44 2,78 1,51 5,73 13 Jangkang Zingiberaceae 1,57 3,08 1,57 6,22 Bangkirai Shorea leavis 1,44 2,78 1,50 5,71 14 Banitan Monocarpia sp 1,18 2,31 1,22 4,71 Jelutung Alstonia sp 1,44 2,78 0,90 5,12 15 Tarap Arthocarpus rigidus 1,18 2,31 1,15 4,64 Meranti kng Shorea spp3 1,44 2,78 0,90 5,11 16 Kumpang Myristica iners 1,18 2,31 0,88 4,37 Penguan Beilschmedia sp 0,72 1,39 1,25 3,36 17 Binuang Octomeles sp 0,79 1,54 0,88 3,20 Petaian Jacaranan chelosia 0,72 1,39 1,17 3,27 18 Bintangur Calophyllum inophyllum 0,79 1,54 0,70 3,02 Galam gunungMelaleuca sp 0,72 1,39 0,97 3,08 19 Cempedak Arthocarpus spp 0,79 1,54 0,67 3,00 Ulin Eusideroxylon zwagery 0,72 1,39 0,90 3,01 20 Kelampai Elateriospermum sp 0,79 1,54 0,65 2,97 Banitan Polyalthia glauca 0,72 1,39 0,58 2,69 21 Pelepek Dipterocarpus lowii 0,79 1,54 0,64 2,96 Pantung Dyera costulata 0,72 1,39 0,58 2,69 22 Nyamplung Calophyllum sp 0,79 1,54 0,48 2,80 Parashorea Parashorea sp 0,72 1,39 0,50 2,61 23 Mahusum Shorea fatoiensis 0,79 0,77 0,63 2,18 24 Manggisan Garcinia sp 0,39 0,77 0,62 1,78 25 Mahang Macaranga hypoleuca 0,39 0,77 0,58 1,74 26 Balau Parashorea lucida 0,39 0,77 0,48 1,64 27 Petaian Jacaranan chelosia 0,39 0,77 0,42 1,59 28 Waru Hibiscus sp 0,39 0,77 0,41 1,57 29 Nangkaan Arthocarpus spp 0,39 0,77 0,37 1,54 30 Tapos Elateriospermum tapos 0,39 0,77 0,36 1,52 31 Penguan Beilschmedia sp 0,39 0,77 0,29 1,46 32 Cengal Hopea sangal 0,39 0,77 0,24 1,40 33 Mersawa Anisoptera spp 0,39 0,77 0,24 1,40 34 Parashorea Parashorea sp 0,39 0,77 0,23 1,39 35 Pantung Dyera costulata 0,39 0,77 0,23 1,39 36 Scapium Scapium podocarpum 0,39 0,77 0,21 1,38 37 Ky bawang Scorodocarpus sp 0,39 0,77 0,21 1,38 38 Balsaan Ochroma sp 0,39 0,77 0,21 1,38 Jumlah 100 100 100 300 Jumlah 100 100 100 300 Lampiran 8. Indek nilai penting tingkat pohon pada hutan bekas tebangan Et+0 pada kelerengan datar- landai dan agak curam-curam Kelerengan datar-landai Kelerengan agak curam-curam No Nama lokal Nama latin KR FR DR INP Nama lokal Nama latin KR FR DR INP 1 Meranti mrh Shorea spp1 38,54 17,24 42,46 98,24 Meranti mrh Shorea spp1 48,05 20,73 54,20 122,98 2 Keranji Diallium sp 8,29 7,76 6,83 22,88 Keranji Diallium sp 9,09 10,98 8,00 28,06 3 Bangkirai Shorea leavis 6,83 6,03 8,29 21,16 Scapium Scapium podocarpum 6,49 8,54 5,21 20,24 4 Keruing Dipterocarpus spp 6,34 6,03 5,03 17,40 Bangkirai Shorea leavis 4,55 7,32 7,03 18,89 5 Kempas Koompassia malaccensis 3,41 4,31 3,27 10,99 Keruing Dipterocarpus spp 4,55 3,66 4,20 12,41 6 Medang Litsea sp 3,41 4,31 2,35 10,07 Tengkawang Shorea pinanga 1,95 4,88 1,93 8,76 7 Tengkawang Shorea pinanga 0,98 1,72 6,83 9,53 Medang Litsea sp 2,60 3,66 1,61 7,87 8 Scapium Scapium podocarpum 2,44 4,31 2,68 9,43 Parashorea Parashorea sp 2,60 3,66 1,37 7,63 9 Kelampai Elateriospermum sp 2,44 4,31 2,35 9,09 Meranti pth Shorea spp2 2,60 3,66 1,35 7,61 10 Mandarahan Knema pallens 1,95 3,45 0,59 5,99 Kempas Koompassia malaccensis 1,30 2,44 3,67 7,40 11 Pelepek Dipterocarpus lowii 1,46 2,59 1,76 5,81 Mandarahan Knema pallens 1,95 2,44 1,21 5,60 12 Mahawai Mezettia parvifolia 1,46 2,59 1,09 5,14 Ky arang Dyospyros bornensis 1,30 2,44 1,00 4,74 13 Meranti pth Shorea spp2 1,46 2,59 1,05 5,10 Jangkang Zingiberaceae 1,30 2,44 1,00 4,73 14 Ulin Eusyderoxylon zwagery 1,95 1,72 1,21 4,89 Tarap Arthocarpus rigidus 1,30 2,44 0,86 4,60 15 Hovea Hopea multiflora 1,46 2,59 0,63 4,68 Kelampai Elateriospermum sp 1,30 2,44 0,74 4,48 16 Jambuan Syzigium sp 0,98 1,72 1,51 4,21 Resak Vatica rasak 1,30 2,44 0,66 4,39 17 Petaian Jacaranan chelosia 1,46 1,72 0,75 3,94 Pulai Alstonia sp 1,30 2,44 0,50 4,24 18 Ky bawang Scorodocarpus sp 0,98 1,72 1,17 3,87 Meranti kng Shorea spp3 0,65 2,44 0,22 3,31 19 Meranti kng Shorea spp3 0,98 1,72 0,88 3,58 Hovea Hopea multiflora 0,65 1,22 1,05 2,92 20 Kumpang Myristica iners 0,98 1,72 0,75 3,45 Cempedak Arthocarpus sp 0,65 1,22 0,91 2,78 21 Kapur Dryobalanops spp 0,49 0,86 1,97 3,32 Jambuan Syzigium sp 0,65 1,22 0,91 2,78 22 Tarap Arthocarpus rigidus 0,98 1,72 0,59 3,29 Ky bawang Scorodocarpus sp 0,65 1,22 0,58 2,45 23 Bintangur Calophyllum inophyllum 0,98 0,86 1,42 3,26 Pelepek Dipterocarpus lowii 0,65 1,22 0,41 2,28 24 Jangkang Zingiberaceae 0,98 1,72 0,46 3,16 Banitan Polyalthia glauca 0,65 1,22 0,41 2,28 25 Parashorea Parashorea sp 0,98 1,72 0,42 3,12 Galam gunungMelaleuca sp 0,65 1,22 0,38 2,25 26 Nyatoh Palaquium sp 0,98 1,72 0,42 3,12 Mahawai Mezettia parvifolia 0,65 1,22 0,33 2,20 27 Manggisan Garcinia sp 0,98 1,72 0,34 3,03 Pantung Dyera costulata 0,65 1,22 0,25 2,12 28 Resak Vatica rasak 0,98 0,86 0,38 2,21 29 Marijang Sindora sp 0,49 0,86 0,54 1,89 30 Mahusum Shorea fatoiensis 0,49 0,86 0,38 1,73 31 Tapos Elateriospermum tapos 0,49 0,86 0,29 1,64 32 Balau Parashorea lucida 0,49 0,86 0,25 1,60 33 Mersawa Anisoptera spp 0,49 0,86 0,21 1,56 34 Binuang Octomeles sp 0,49 0,86 0,21 1,56 35 Pantung Dyera costulata 0,49 0,86 0,21 1,56 36 Nangkaan Arthocarpus spp 0,49 0,86 0,17 1,52 37 Ky arang Dyospyros bornensis 0,49 0,86 0,17 1,52 38 Cengal Hopea sangal 0,49 0,86 0,13 1,48 Jumlah 100 100 100 300 Jumlah 100 100 100 300 Lampiran 9. Hasil anova da n LSD terhadap riap tahunan rata-rata kelompok meranti, dipterocarp non meranti, komersial lain ditebang dan komersial lain tidak ditebang Sig.=0,011 0,05  terima H1 berbeda nyata Keterangan: 1= kelompok meranti 2= kelompok dipterocarp non meranti 3= kelompok komersial lain ditebang 4= kelompok komersial lain tidak ditebang 1 2 3 4 ANOVA VAR00002 ,340 3 ,113 4,599 ,011 ,592 24 ,025 ,933 27 Bet ween Groups Wit hin Groups Total Sum of Squares df Mean Square F Sig. Multiple Compa risons Dependent Variable: VA R00002 LSD -,03320 ,08396 ,696 -,2065 ,1401 ,21024 ,08396 ,019 ,0370 ,3835 ,19453 ,08396 ,029 ,0212 ,3678 ,03320 ,08396 ,696 -,1401 ,2065 ,24344 ,08396 ,008 ,0702 ,4167 ,22773 ,08396 ,012 ,0544 ,4010 -,21024 ,08396 ,019 -,3835 -,0370 -,24344 ,08396 ,008 -,4167 -,0702 -,01571 ,08396 ,853 -,1890 ,1576 -,19453 ,08396 ,029 -,3678 -,0212 -,22773 ,08396 ,012 -,4010 -,0544 ,01571 ,08396 ,853 -,1576 ,1890 J V AR00001 2,00 3,00 4,00 1,00 3,00 4,00 1,00 2,00 4,00 1,00 2,00 3,00 I V AR00001 1,00 2,00 3,00 4,00 Mean Difference I-J Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95 Confidence Interval The mean difference is signific ant at the .05 level. . Lampiran 10. Uji beda rata-rata terhadap riap diameter dan tinggi pohon pada kelerengan datar- landai 0-15 dan kelerengan agak curam-curam 15-30 z-Test: Two Sample for Means Diameter 1,126 1,126 Mean 1,05832 1,0793 Known Variance 0,17530 0,1751 Observations 668 554 Hypothesized Mean Difference z -0,87282 PZ=z one-tail 0,19138 z Critical one-tail 1,64485 PZ=z two-tail 0,38276 z Critical two-tail 1,95996 VARP slope1: 0,1695; slope2:0,1751 n-1120 dan z value α2=0,025: 1,96 maka z hitungz tab = -0,92 -1,96 =Terima Ho z-Test: Two Sample for Means High 1,5 1,4 Mean 1,72021 1,731768953 Known Variance 0,04990 0,0464 Observations 668 554 Hypothesized Mean Difference z -0,91829 PZ=z one-tail 0,17923 z Critical one-tail 1,64485 PZ=z two-tail 0,35847 z Critical two-tail 1,95996 VARP slope1: 0,0499; slope2:0,0464 n-1120 dan z value α2=0,025: 1,96 maka z hitungz tab = -0,92 -1,96 =Terima Ho Lampiran 11. Persamaan dalam pemodelan pertumbuhan tanaman Shorea leprosula dan tegakan tinggal sistem TPTII a. Model persamaan pertumbuhan tanaman Daur tanaman Vo lu me_1t = Vo lu me_1t - dt + Gro wth - Cut dtINIT Volu me_ 1 = -22.8698 INFLOWS: Growth = if t ime 32 thenKons_1time2+Kons_2time+Kons_3-Kons_1time- 12+Kons_2time -1+Kons_3 else Kons_1time2+Kons_2time+Kons_3- Kons_1time-12+Kons_2time-1+Kons_3 81 100 OUTFLOWS: Cut = if Volu me_ 1136.72 then Volu me_1 10081 else 0 Vo lu me_2t = Vo lu me_2t - dt + Cut dtINIT Vo lu me_2 = 0 INFLOWS: Cut = if Volu me_ 1136.72 then Volu me_1 10081 else 0 Kons_1 = -0.0105 Kons_2 = 5.0447 Kons_3 = -13.952 b. Model Persamaan dinamika tegakan hutan K_Semait = K_Semait - dt + Ingrowth - Upgro wth - Siklus_Tbg - Mati_Semai INFLOWS: Ingrowth = Penyedia_semai Laju_ingrowth1+Penyedia_semai Laju_ingro wth1Laju_ingrowth2 OUTFLOWS: Upgrowth = K_SemaiPeluang_semai_pindah Siklus_Tbg = if modt ime,26=0 and time27 then K_Se mai else if modtime,66=0 and time26 then K_ Semai else 0 Mati_Semai = K_ SemaiMati_alam+K_Semai Laju_TbgEfek_Tbg Efek_Tbg = 0.0203 Laju_ingrowth1 = 0.55 Laju_ingrowth2 = 0.33 Mati_alam = 0.1 Peluang_semai_pindah = 0.2167 Penyedia_semai = 9600 Ket: - Satu pohon tebang berefek kematian 2,03 Sist dan Bertault 1998 - Penyedia semai 9600 batangth dengan kemat ian 55 awal tahun dan 33 setelah 10 bu lan D_0t = D_0t - dt + Growth1 dtINIT D_0 = 0 INFLOWS: Growth1 = if Simulation=1 then Sim25 else if Simulation=2 then Sim30 else if Simulation=3 then Sim35 else 0 Vol_per_hat = Vol_per_hat - dt + Growth2 - M dtINIT Vol_per_ha = 100 INFLOWS: Growth2 = Vol_per_haV OUTFLOWS: M = Vol_per_haMR B = 0.253.140.01D_02 MR = if time=16 then 0.3938 else 0 Sim25 = if time=24 then 0.0297time2+0.8208time+0.3728 else 0 Sim30 = if time=30 then 0.0297time2+0.8208time+0.3728 else 0 Sim35 = if time=34 then 0.0297time2+0.8208time+0.3728 else 0 Simulation = 1 V = 0.0001175D_02.56177 Lampiran 11 Sambungan - Semai mati alami 10 Appanah 1990 - Laju upgrowth semai semai pindah 21,67 Elias et al. 1997 Ko m__K_semait = Ko m__K_semait - dt + Siklus_Tbg dtINIT Ko m__K_semai = 1 Kerapatan_Pancangt = Kerapatan_Pancangt - dt + Ingrowth_pancang - Upgrowth_pancang - Siklus_Tbg - Mati_Pancang INFLOWS: Ingrowth_pancang = Upgrowth__semai Laju_ingrowth OUTFLOWS: Upgrowth_pancang = Kerapatan_PancangPeluang_pancang_pindah Siklus_Tbg = if modt ime,26=0 and time27 then Kerapatan_Pancang else if modtime,66=0 and time 26 then Kerapatan_Pancang else 0 Mati_Pancang = Kerapatan_PancangMati_alam+Laju_TbgEfek_TbgKerapatan_Pancang Ko m__K_pancangt = Ko m__K_pancangt - dt + Siklus_Tbg dtINIT Efek_Tbg = 0.0203 Laju_ingrowth = 0.25 Mati_alam = 0.05 Peluang_pancang_pindah = 0.175 Upgrowth__semai = 4804.42 Ket: - Satu pohon tebang berefek kematian 2,03 Sist dan Bertault 1998 - Pancang mati alami 5 Appanah 1990 - Laju upgrowth pancang pancang pindah 17,5 Elias et al. 1997 Kerapatan_tiangt = Kerapatan_tiangt - dt + Ingrowth_tiang - Upgrowth_tiang - Siklus_Tbg - Mati_Tiang INFLOWS: Ingrowth_tiang = Upgrowth__pancangLaju_ingrowth OUTFLOWS: Upgrowth_tiang = Kerapatan_tiangPeluang_tiang_pindah Siklus_Tbg = if modt ime,26=0 and time27 then Kerapatan_tiang else if modtime,66=0 and time26 then Kerapatan_tiang else 0 Mati_Tiang = Kerapatan_tiangMati_alam+Kerapatan_tiangLaju_TbgEfek_Tbg Ko m__K_tiangt = Ko m__K_t iangt - dt + Siklus_Tbg dtINIT Efek_Tbg = 3.27 Laju_ingrowth = 0.25 Mati_alam = 0.227 Peluang_tiang_pindah = 0.25 Upgrowth__pancang = 932.07 K_Phnt = K_ Phnt - dt + Ingrowth_phn - Upgrowth_Phn - Siklus_Tbg - Mati_Phn INFLOWS: Ingrowth_phn = Upgrowth__TiangLaju_ingrowth OUTFLOWS: Upgrowth_Phn = K_PhnPeluang_phn_pindah Siklus_Tbg = if modt ime,26=0 and time27 then K_Phn else if modtime,66=0 and time26 then K_ Phn else 0 Mati_Phn = K_PhnMati_alam+K_PhnLaju_TbgEfek_Tbg Efek_Tbg = 0.0203 Sist dan Bertault 1998 Mati_alam = 0.079 Appanah 1990 Peluang_phn_pindah = 0.758 Whit more 1975 Upgrowth__Tiang = 122.13 Ko m__K_Phnt = Ko m__ K_Phnt - dt + Siklus_Tbg dtINIT Ko m__K_Phn = 1 Kerapatan_MTt = Kerapatan_MTt - dt + Ingrowth - Mat i_MT - Siklus_tbg dtINIT Kerapatan_MT = 0.565611.76+3.5 INFLOWS: Ingrowth = Upgrowth Lampiran 11 Sambungan OUTFLOWS: Mati_MT = Kerapatan_MTMati_alamMati_efek_tebang Siklus_tbg = if Kerapatan_MT25 then Kerapatan_MT else 0 Ko m_Phn_MTt = Ko m_Phn_MTt - dt + Siklus_tbg dtINIT Ko m_Phn_MT = 0 INFLOWS: Mati_alam = 1.2667-0.0891 45+0.0022 452-0.000018453+2.0775- 0.111145+0.00186452-0.0000091453 Mati_efek_tebang = 0.005 Upgrowth = 0.5764+0.004835-0.00066 352+0.00000736353- 0.0002334.5+0.1729+0.076535-0.0029352+0.0000273 353-0.00234.5 INFLOWS: Cut4049[Meranti] = if modtime,30=0 then St4049[Meranti] else 0 Cut4049[Dipt_Non_Meranti] = if modtime,30=0 then St4049[Dipt_Non_Meranti] else 0 Cut4049[R_ Campuran] = if modtime,30=0 then St4049[R_Campuran] else 0 Cut4049[Kayu_Indah] = if mod time,30=0 then St4049[Kayu_Indah] else 0 Cut4049[Ko mersial_ Lain ] = if modt ime,30=0 then St4049[Ko mersial_ Lain] else 0 INFLOWS: St1019[Meranti]t = St1019[Meranti]t - dt + Ingrowth[Meranti] - M 1019[Meranti] - Up G1[Meranti] dtINIT St 1019[Meranti] = 130.59 St1019[Dipt_Non_Meranti]t = St 1019[Dipt_Non_Meranti]t - dt + Ingrowth[Dipt_Non_Meranti] - M1019[Dipt_Non_Meranti] - Up G1[Dipt_Non_Meranti] dtINIT St1019[Dipt_Non_Meranti] = 36.08 St1019[R_ Campuran]t = St1019[R_Campuran]t - dt + Ingrowth[R_ Campuran] - M1019[R_Campu ran] - Up G1[R_Campuran] dtINIT St1019[R_Campuran] = 14.51 St1019[Kayu_Indah]t = St1019[Kayu_Indah]t - dt + Ingrowth[Kayu_Indah] - M1019[Kayu_Indah] - Up G1[Kayu_Indah] dtINIT St 1019[Kayu_Indah] = 1.57 St1019[Ko mersial_ Lain]t = St1019[Ko mersial_ Lain ]t - dt + Ingrowth[Ko mersial_ Lain] - M1019[Ko mersial_Lain] - Up G1[Ko mersial_ Lain] dtINIT St1019[Ko mersial_ Lain] = 85.49 INFLOWS: Ingrowth[Meranti] = 12.3906-0.3198N[Meranti]+0.3947 B Ingrowth[Dipt_Non_Meranti] = 2.7261+0.0289N[Dipt_Non_Meranti]-0.1396B Ingrowth[R_ Ca mpuran] = 0.583+0.0384 N[R_ Campuran]-0.0502B Ingrowth[Kayu_Indah] = 0.583+0.0384N[Kayu_Indah]-0.0502 B Ingrowth[Ko mersial_ Lain] = 76.2581-0.4653N[Ko mersial_ Lain]-1.6808 B OUTFLOWS: M1019[Meranti] = if t ime=0 then St1019[Meranti]CE1019[Meranti] else St1019[Meranti]MR1019[Meranti] M1019[Dipt_Non_Meranti] = if t ime=0 then St1019[Dipt_Non_Meranti]CE1019[Dipt_Non_Meranti] else St1019[Dipt_Non_Meranti]MR1019[Dipt_Non_Meranti] M1019[R_Campu ran] = if t ime=0 then St 1019[R_Campu ran]CE1019[R_ Campuran] else St1019[R_ Campuran]MR1019[R_ Campuran] M1019[Kayu_Indah] = if time=0 then St1019[Kayu_Indah]CE1019[Kayu_Indah] else St1019[Kayu_Indah]MR1019[Kayu_Indah] M1019[Ko mersial_Lain] = if time=0 then St1019[Ko mersial_ Lain]CE1019[Ko mersial_ Lain] else St1019[Ko mersial_ Lain]M R1019[Ko mersial_ Lain] Up G1[Meranti] = 0.1729+0.076515-0.0029152+0.0000273153-0.002 BSt 1019[Meranti] Up G1[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004815-0.00066152+0.00000736 153- 0.00023 BSt1019[Dipt_Non_Meranti] Up G1[R_ Campuran] = 7.1901-0.432315+0.0088152-0.000059 153- 0.00075 BSt1019[R_Campuran] Up G1[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 15+0.0088152-0.000059153- 0.00075 BSt1019[Kayu_Indah] Lampiran 11 Sambungan Up G1[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 15+0.0088 152-0.000059153- 0.00075 BSt1019[Ko mersial_ Lain] St2029[Meranti]t = St2029[Meranti]t - dt + Up G1[Meranti] - Up G2[Meranti] - M 2029[Meranti] dtINIT St2029[Meranti] = 47.84 St2029[Dipt_Non_Meranti]t = St 2029[Dipt_Non_Meranti]t - dt + Up G1[Dipt_Non_Meranti] - Up G2[Dipt_Non_Meranti] - M2029[Dipt_Non_Meranti] dtINIT St2029[Dipt_Non_Meranti] = 17.25 St2029[R_ Campuran]t = St2029[R_Campuran]t - dt + Up G1[R_ Campuran] - Up G2[R_ Campuran] - M2029[R_Campuran] dtINIT St2029[R_Campuran] = 7.06 St2029[Kayu_Indah]t = St2029[Kayu_Indah]t - dt + Up G1[Kayu_Indah] - Up G2[Kayu_Indah] - M2029[Kayu_Indah] dtINIT St2029[Kayu_Indah] = 1.96 St2029[Ko mersial_ Lain]t = St2029[Ko mersial_ Lain ]t - dt + Up G1[Ko mersial_ Lain] - Up G2[Ko mersial_Lain] - M 2029[Ko mersial_ Lain] dtINIT St2029[Ko mersial_ Lain] = 3.53 INFLOWS: Up G1[Meranti] = 0.1729+0.076515-0.0029152+0.0000273153-0.002 BSt 1019[Meranti] Up G1[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004815-0.00066152+0.00000736 153- 0.00023 BSt1019[Dipt_Non_Meranti] Up G1[R_ Campuran] = 7.1901-0.432315+0.0088152-0.000059 153- 0.00075 BSt1019[R_Campuran] Up G1[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 15+0.0088152-0.000059153- 0.00075 BSt1019[Kayu_Indah] Up G1[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 15+0.0088 152-0.000059153- 0.00075 BSt1019[Ko mersial_ Lain] OUTFLOWS: Up G2[Meranti] = 0.1729+0.076525-0.0029252+0.0000273253-0.002 BSt 2029[Meranti] Up G2[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004825-0.00066252+0.00000736 253- 0.00023 BSt2029[Dipt_Non_Meranti] Up G2[R_ Campuran] = 7.1901-0.432325+0.0088252-0.000059 253- 0.00075 BSt2029[R_Campuran] Up G2[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 25+0.0088252-0.000059253- 0.00075 BSt2029[Kayu_Indah] Up G2[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 25+0.0088 252-0.000059253- 0.00075 BSt2029[Ko mersial_ Lain] M2029[Meranti] = if t ime=0 then St2029[Meranti]CE2029[Meranti] else St2029[Meranti]MR2029[Meranti] M2029[Dipt_Non_Meranti] = if t ime=0 then St2029[Dipt_Non_Meranti]CE2029[Dipt_Non_Meranti] else St2029[Dipt_Non_Meranti]MR2029[Dipt_Non_Meranti] M2029[R_Campu ran] = if t ime=0 then St 2029[R_Campu ran]CE2029[R_ Campuran] else St2029[R_ Campuran]MR2029[R_ Campuran] M2029[Kayu_Indah] = if time=0 then St2029[Kayu_Indah]CE2029[Kayu_Indah] else St2029[Kayu_Indah]MR2029[Kayu_Indah] M2029[Ko mersial_Lain] = if time=0 then St2029[Ko mersial_ Lain]CE2029[Ko mersial_ Lain] else St2029[Ko mersial_ Lain]M R2029[Ko mersial_ Lain] St3039[Meranti]t = St3039[Meranti]t - dt + Up G2[Meranti] - Up G3[Meranti] - M 3039[Meranti] dtINIT St3039[Meranti] = 23.92 St3039[Dipt_Non_Meranti]t = St 3039[Dipt_Non_Meranti]t - dt + Up G2[Dipt_Non_Meranti] - Up G3[Dipt_Non_Meranti] - M3039[Dipt_Non_Meranti] dtINIT St3039[Dipt_Non_Meranti] = 8.63 St3039[R_ Campuran]t = St3039[R_Campuran]t - dt + Up G2[R_ Campuran] - Up G3[R_ Campuran] - M3039[R_Campuran] dtINIT St3039[R_Campuran] = 7.84 St3039[Kayu_Indah]t = St3039[Kayu_Indah]t - dt + Up G2[Kayu_Indah] - Up G3[Kayu_Indah] - M3039[Kayu_Indah] dtINIT St3039[Kayu_Indah] = 0.39 St3039[Ko mersial_ Lain]t = St3039[Ko mersial_ Lain ]t - dt + Up G2[Ko mersial_ Lain] - Up G3[Ko mersia l_Lain] - M 3039[Ko mersial_ Lain] dtINIT St3039[Ko mersial_ Lain] = 13.33 Lampiran 11 Sambungan INFLOWS: Up G2[Meranti] = 0.1729+0.076525-0.0029252+0.0000273253-0.002 BSt 2029[Meranti] Up G2[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004825-0.00066252+0.00000736 253- 0.00023 BSt2029[Dipt_Non_Meranti] Up G2[R_ Campuran] = 7.1901-0.432325+0.0088252-0.000059 253- 0.00075 BSt2029[R_Campuran] Up G2[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 25+0.0088252-0.000059253- 0.00075 BSt2029[Kayu_Indah] Up G2[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 25+0.0088 252-0.000059253- 0.00075 BSt2029[Ko mersial_ Lain] OUTFLOWS: Up G3[Meranti] = 0.1729+0.076535-0.0029352+0.0000273353-0.002 BSt 3039[Meranti] Up G3[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004835-0.00066352+0.00000736 353- 0.00023 BSt3039[Dipt_Non_Meranti] Up G3[R_ Campuran] = 7.1901-0.432335+0.0088352-0.000059 353- 0.00075 BSt3039[R_Campuran] Up G3[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 35+0.0088352-0.000059353- 0.00075 BSt3039[Kayu_Indah] Up G3[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 35+0.0088 352-0.000059353- 0.00075 BSt3039[Ko mersial_ Lain] M3039[Meranti] = if t ime=0 then St3039[Meranti]CE3039[Meranti] else St3039[Meranti]MR3039[Meranti] M3039[Dipt_Non_Meranti] = if t ime=0 then St3039[Dipt_Non_Meranti]CE3039[Dipt_Non_Meranti] else St3039[Dipt_Non_Meranti]MR3039[Dipt_Non_Meranti] M3039[R_Campu ran] = if t ime=0 then St 3039[R_Campu ran]CE3039[R_ Campuran] else St3039[R_ Campuran]MR3039[R_ Campuran] M3039[Kayu_Indah] = if time=0 then St3039[Kayu_Indah]CE3039[Kayu_Indah] else St3039[Kayu_Indah]MR3039[Kayu_Indah] M3039[Ko mersial_Lain] = if time=0 then St3039[Ko mersial_ Lain]CE3039[Ko mersial_ Lain] else St3039[Ko mersial_ Lain]M R3039[Ko mersial_ Lain] St4049[Meranti]t = St4049[Meranti]t - dt + Up G3[Meranti] - Up G4[Meranti] - M 4049[Meranti] - Cut4049[Meranti] dtINIT St4049[Meranti] = 11.76 St4049[Dipt_Non_Meranti]t = St 4049[Dipt_Non_Meranti]t - dt + Up G3[Dipt_Non_Meranti] - Up G4[Dipt_Non_Meranti] - M4049[Dipt_Non_Meranti] - Cut4049[Dipt_Non_Meranti] dtINIT St4049[Dipt_Non_Meranti] = 3.53 St4049[R_ Campuran]t = St4049[R_Campuran]t - dt + Up G3[R_ Campuran] - Up G4[R_ Campuran] - M4049[R_Campuran] - Cut4049[R_Campuran] dtINIT St4049[R_ Campuran] = 1.96 St4049[Kayu_Indah]t = St4049[Kayu_Indah]t - dt + Up G3[Kayu_Indah] - Up G4[Kayu_Indah] - M4049[Kayu_Indah] - Cut4049[Kayu_Indah] dtINIT St4049[Kayu_Indah] = 0.39 St4049[Ko mersial_ Lain]t = St4049[Ko mersial_ Lain ]t - dt + Up G3[Ko mersial_ Lain] - Up G4[Ko mersial_Lain] - M 4049[Ko mersial_ Lain] - Cut4049[Ko mersial_ Lain] dtINIT St4049[Ko mersial_ Lain] = 7.45 INFLOWS: Up G3[Meranti] = 0.1729+0.076535-0.0029352+0.0000273353-0.002 BSt 3039[Meranti] Up G3[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004835-0.00066352+0.00000736 353- 0.00023 BSt3039[Dipt_Non_Meranti] Up G3[R_ Campuran] = 7.1901-0.432335+0.0088352-0.000059 353- 0.00075 BSt3039[R_Campuran] Up G3[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 35+0.0088352-0.000059353- 0.00075 BSt3039[Kayu_Indah] Up G3[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 35+0.0088 352-0.000059353- 0.00075 BSt3039[Ko mersial_ Lain] Lampiran 11 Sambungan OUTFLOWS: Up G4[Meranti] = 0.1729+0.076545-0.0029452+0.0000273453-0.002 BSt 4049[Meranti] Up G4[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004845-0.00066452+0.00000736 453- 0.00023 BSt4049[Dipt_Non_Meranti] Up G4[R_ Campuran] = 7.1901-0.432345+0.0088452-0.000059 453- 0.00075 BSt4049[R_Campuran] Up G4[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 45+0.0088452-0.000059453- 0.00075 BSt4049[Kayu_Indah] Up G4[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 45+0.0088 452-0.000059453- 0.00075 BSt4049[Ko mersial_ Lain] M4049[Meranti] = if t ime=0 then St4049[Meranti]CE4049[Meranti] else St4049[Meranti]MR4049[Meranti] M4049[Dipt_Non_Meranti] = if t ime=0 then St4049[Dipt_Non_Meranti]CE4049[Dipt_Non_Meranti] else St4049[Dipt_Non_Meranti]MR4049[Dipt_Non_Meranti] M4049[R_Campu ran] = if t ime=0 then St 4049[R_Campu ran]CE4049[R_ Campuran] else St4049[R_ Campuran]MR4049[R_ Campuran] M4049[Kayu_Indah] = if time=0 then St4049[Kayu_Indah]CE4049[Kayu_Indah] else St4049[Kayu_Indah]MR4049[Kayu_Indah] M4049[Ko mersial_Lain] = if time=0 then St4049[Ko mersial_ La in]CE4049[Ko mersial_ Lain] else St4049[Ko mersial_ Lain]M R4049[Ko mersial_ Lain] Cut4049[Meranti] = if modtime,30=0 then St4049[Meranti] else 0 Cut4049[Dipt_Non_Meranti] = if modtime,30=0 then St4049[Dipt_Non_Meranti] else 0 Cut4049[R_ Campuran] = if modtime,30=0 then St4049[R_Campuran] else 0 Cut4049[Kayu_Indah] = if mod time,30=0 then St4049[Kayu_Indah] else 0 Cut4049[Ko mersial_ Lain ] = if modt ime,30=0 then St4049[Ko mersial_ Lain] else 0 INFLOWS: Up G4[Meranti] = 0.1729+0.076545-0.0029452+0.0000273453-0.002 BSt 4049[Meranti] Up G4[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004845-0.00066452+0.00000736 453- 0.00023 BSt4049[Dipt_Non_Meranti] Up G4[R_ Campuran] = 7.1901-0.432345+0.0088452-0.000059 453- 0.00075 BSt4049[R_Campuran] Up G4[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 45+0.0088452-0.000059453- 0.00075 BSt4049[Kayu_Indah] Up G4[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 45+0.0088 452-0.000059453- 0.00075 BSt4049[Ko mersial_ Lain] OUTFLOWS: Up G5[Meranti] = 0.1729+0.076555-0.0029552+0.0000273553-0.002 BSt 5059[Meranti] Up G5[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004855-0.00066552+0.00000736 553- 0.00023 BSt5059[Dipt_Non_Meranti] Up G5[R_ Campuran] = 7.1901-0.432355+0.0088552-0.000059 553- 0.00075 BSt5059[R_Campuran] Up G5[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 55+0.0088552-0.000059553- 0.00075 BSt5059[Kayu_Indah] Up G5[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 55+0.0088 552-0.000059553- 0.00075 BSt5059[Ko mersial_ Lain] INFLOWS: Up G5[Meranti] = 0.1729+0.076555-0.0029552+0.0000273553-0.002 BSt 5059[Meranti] Up G5[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004855-0.00066552+0.00000736 553- 0.00023 BSt5059[Dipt_Non_Meranti] Up G5[R_ Campuran] = 7.1901-0.432355+0.0088552-0.000059 553- 0.00075 BSt5059[R_Campuran] Up G5[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 55+0.0088552-0.000059553- 0.00075 BSt5059[Kayu_Indah] Up G5[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 55+0.0088 552-0.000059553- 0.00075 BSt5059[Ko mersial_ Lain] Lampiran 11 Sambungan B = B_DnM+B_ KI+B_ KL+B_M+B_ RC B_DnM = St1019[Dipt_Non_Meranti]0.0177+St 2029[Dipt_Non_Meranti]0.0491+St3039[Dipt_Non_Meranti ]0.0962+St4049[Dipt_Non_Meranti]0.159+St5059[Dipt_Non_Meranti]0.2375+St60up[Dipt_Non _Meranti]0.3317 B_KI = St1019[Kayu_Indah]0.0177+St2029[Kayu_Indah]0.0491+St 3039[Kayu_Indah]0.0962+St4049[Ka yu_Indah]0.159+St 5059[Kayu_Indah]0.2375+St60up[Kayu_Indah]0.3317 B_KL = St1019[Ko mersial_ Lain] 0.0177+St2029[Ko mersial_ Lain]0.0491+St3039[Ko mersial_ Lain]0.0962 +St4049[Ko mersial_ Lain]0.159+St5059[Ko mersial_ Lain] 0.2375+St60up[Ko mersial_ Lain]0.3317 B_M = St1019[Meranti]0.0177+St 2029[Meranti]0.0491+St3039[Meranti]0.0962+St4049[Meranti] 0.159 +St5059[Meranti] 0.2375+St60up[Meranti] 0.3317 B_RC = St1019[R_ Campuran]0.0177+St2029[R_Campuran ]0.0491+St3039[R_Campuran] 0.0962+St4049 [R_ Campuran]0.159+St5059[R_ Campuran]0.2375+St 60up[R_ Campuran]0.3317 MR1019[Meranti] = 1.2667-0.089115+0.0022152-0.000018 153 MR1019[Dipt_Non_Meranti] = 2.0775-0.111115+0.00186 152-0.0000091153 MR1019[R_Campuran] = 5.1179-0.2896 15+0.0057152-0.000038153 MR1019[Kayu_Indah] = 5.1179-0.2896 15+0.0057 152-0.000038153 MR1019[Ko mersial_ Lain] = 5.1179-0.289615+0.0057 152-0.000038153 MR2029[Meranti] = 1.2667-0.089125+0.0022252-0.000018 253 MR2029[Dipt_Non_Meranti] = 2.0775-0.111125+0.00186 252-0.0000091253 MR2029[R_Campuran] = 5.1179-0.2896 25+0.0057252-0.000038253 MR2029[Kayu_Indah] = 5.1179-0.2896 25+0.0057 252-0.000038253 MR2029[Ko mersial_ Lain] = 5.1179-0.289625+0.0057 252-0.000038253 MR3039[Meranti] = 1.2667-0.089135+0.0022352-0.000018 353 MR3039[Dipt_Non_Meranti] = 2.0775-0.111135+0.00186 352-0.0000091353 MR3039[R_Campuran] = 5.1179-0.2896 35+0.0057352-0.000038353 MR3039[Kayu_Indah] = 5.1179-0.2896 35+0.0057 352-0.000038353 MR3039[Ko mersial_ Lain] = 5.1179-0.289635+0.0057 352-0.000038353 MR4049[Meranti] = 1.2667-0.089145+0.0022452-0.000018 453 MR4049[Dipt_Non_Meranti] = 2.0775-0.111145+0.00186 452-0.0000091453 MR4049[R_Campuran] = 5.1179-0.2896 45+0.0057452-0.000038453 MR4049[Kayu_Indah] = 5.1179-0.2896 45+0.0057 452-0.000038453 MR4049[Ko mersial_ Lain] = 5.1179-0.289645+0.0057 452-0.000038453 N[Meranti] = St1019[Meranti]+St2029[Meranti]+St 3039[Meranti]+St4049[Meranti]+St 5059[Meranti]+St60up[Mer anti] N[Dipt_Non_Meranti] = St1019[Dipt_Non_Meranti]+St2029[Dipt_Non_Meranti]+St 3039[Dipt_Non_Meranti]+St4049[Dipt_ Non_Meranti]+St 5059[Dipt_Non_Meranti]+St60up[Dipt_Non_Meranti] N[R_ Campuran] = St1019[R_ Campuran]+St2029[R_ Campuran]+St3039[R_Campuran ]+St 4049[R_ Campuran]+St5059[ R_Campu ran]+St60up[R_ Campuran] N[Kayu_Indah] = St1019[Kayu_Indah]+St2029[Kayu_Indah]+St3039[Kayu_Indah]+St4049[Kayu_Indah]+St5059[Kay u_Indah]+St60up[Kayu_Indah] N[Ko mersial_Lain] = St1019[Ko mersial_ Lain]+St 2029[Ko mersial_ Lain]+St 3039[Ko mersial_Lain]+St4049[Ko mersial_Lai n]+St5059[Ko mersial_ Lain]+St60up[Ko mersial_ Lain] TabVo l45[Meranti] = 2.0192 TabVo l45[Dipt_Non_Meranti] = 1.7352 TabVo l45[R_ Campuran] = 2.0526 TabVo l45[Kayu_Indah] = 2.0526 TabVo l45[Ko mersial_ Lain] = 2.0526 TabVo l55[Meranti] = 3.3763 Lampiran 11 Sambungan TabVo l55[Dipt_Non_Meranti] = 2.8161 TabVo l55[R_ Campuran] = 3.4856 TabVo l55[Kayu_Indah] = 3.4856 TabVo l55[Ko mersial_ Lain] = 3.4856 TabVo l65[Meranti] = 5.1797 TabVo l65[Dipt_Non_Meranti] = 4.2143 TabVo l65[R_ Campuran] = 5.4165 TabVo l65[Kayu_Indah] = 5.4165 TabVo l65[Ko mersial_ Lain] = 5.4165 Vo l4049[Meranti] = N4049[Meranti]Tab Vo l45[Meranti] Vo l4049[Dipt_Non_Meranti] = N4049[Dipt_Non_Meranti]Tab Vol45[Dipt_Non_Meranti] Vo l4049[R_ Campuran] = N4049[R_Campuran]Tab Vo l45[R_ Campuran] Vo l4049[Kayu_Indah] = N4049[Kayu_Indah]TabVol45[Kayu_Indah] Vo l4049[Ko mersial_ Lain] = N4049[Ko mersial_ Lain]Tab Vo l45[Ko mersial_ Lain] Cutting Effect CE1019[Meranti] = Total_tebang[Meranti]0.0156 CE1019[Dipt_Non_Meranti] = Total_tebang[Dipt_Non_Meranti]0.0156 CE1019[R_ Campuran] = Total_tebang[R_Campuran] 0.0156 CE1019[Kayu_Indah] = Total_tebang[Kayu_Indah]0.0156 CE1019[Ko mersial_ Lain] = Total_tebang[Komersial_ Lain] 0.0156 CE2029[Meranti] = Total_tebang[Meranti]0.0133 CE2029[Dipt_Non_Meranti] = Total_tebang[Dipt_Non_Meranti]0.0133 CE2029[R_ Campuran] = Total_tebang[R_Campuran] 0.0133 CE2029[Kayu_Indah] = Total_tebang[Kayu_Indah]0.0133 CE2029[Ko mersial_ Lain] = Total_tebang[Komersial_ Lain] 0.0133 CE3039[Meranti] = Total_tebang[Meranti]0.0132 CE3039[Dipt_Non_Meranti] = Total_tebang[Dipt_Non_Meranti]0.0132 CE3039[R_ Campuran] = Total_tebang[R_Campuran] 0.0132 CE3039[Kayu_Indah] = Total_tebang[Kayu_Indah]0.0132 CE3039[Ko mersial_ Lain] = Total_tebang[Komersial_ Lain] 0.0132 CE4049[Meranti] = Total_tebang[Meranti]0.00956 CE4049[Dipt_Non_Meranti] = Total_tebang[Dipt_Non_Meranti]0.00956 CE4049[R_ Campuran] = Total_tebang[R_Campuran] 0.00956 CE4049[Kayu_Indah] = Total_tebang[Kayu_Indah]0.00956 CE4049[Ko mersial_ Lain] = Total_tebang[Komersial_ Lain] 0.00956 N4049[Meranti]t = N4049[Meranti]t - dt + Cut4049[Meranti] dtINIT N4049[Meranti] = 0 N4049[Dipt_Non_Meranti]t = N4049[Dipt_Non_Meranti]t - dt + Cut4049[Dipt_Non_Meranti] dtINIT N4049[Dipt_Non_Meranti] = 0 N4049[R_Campuran]t = N4049[R_Campuran]t - dt + Cut4049[R_ Campuran] dtINIT N4049[R_Campuran] = 0 N4049[Kayu_Indah]t = N4049[Kayu_Indah]t - dt + Cut4049[Kayu_Indah] dtINIT N4049[Kayu_Indah] = 0 N4049[Ko mersial_ Lain]t = N4049[Ko mersial_ Lain ]t - dt + Cut4049[Ko mersial_ Lain] dtINIT N4049[Ko mersial_ Lain] = 0 Total_tebang[Meranti] = 4.138 Total_tebang[Dipt_Non_Meranti] = 4.138 Total_tebang[R_Campuran] = 4.138 Total_tebang[Kayu_Indah] = 4.138 Total_tebang[Ko mersial_ Lain] = 4.138 Total_Pohon_Tebang[Kelompok_Jen is] = N4049[Kelo mpok_Jenis]+N5059[Kelo mpok_Jen is]+N60up[Kelo mpok_Jenis] Total_Vo lu me_Tebang[Kelo mpok_Jenis] = Vo l4049[Kelo mpok_Jen is]+Vo l5059[Kelo mpok_Jenis]+Vo l60up[Kelo mpok_Jenis] Lampiran 12. Validasi model pertumbuhan tegakan hutan bekas tebangan menggunakan uji Chi Kwadrat Perbandingan data hasil pengukuran PUP dengan hasil pemodelan selama 7 tahun Catatan: Validasi model menggunakan data kerapatan pohon per ha dari pengamatan PUP hutan bekas tebangan blok 1997 tahun pengukuran 1998 sampai 2005 No Kelompok Kelas Data PUP Hasil model O-E O-E 2 O-E 2 E Jumlah pohon diameter O E data 1 10-19 2,550 4,284 -1,734 3,007 0,702 1 2 20-29 1,871 0,707 1,164 1,354 1,915 2 3 Meranti 30-39 2,345 1,257 1,088 1,184 0,942 3 4 40-49 1,581 1,145 0,437 0,191 0,167 4 5 50-59 1,225 0,975 0,250 0,063 0,064 5 6 60 up 1,581 1,179 0,402 0,162 0,137 6 7 10-19 0,707 1,664 -0,957 0,916 0,551 7 8 Dipt non 20-29 0,707 0,922 -0,215 0,046 0,050 8 9 meranti 30-39 1,581 1,109 0,472 0,223 0,201 9 10 40-49 1,225 1,118 0,107 0,011 0,010 10 11 50-59 1,225 0,894 0,330 0,109 0,122 11 12 60 up 0,707 0,860 -0,153 0,023 0,027 12 13 10-19 1,225 0,707 0,518 0,268 0,379 13 14 Komersial 20-29 1,225 0,707 0,518 0,268 0,379 14 15 lain ditebang 30-39 1,581 1,304 0,277 0,077 0,059 15 16 40-49 1,225 1,225 0,000 0,000 0,000 16 17 50-59 1,225 0,707 0,518 0,268 0,379 17 18 60 up 0,707 1,661 -0,954 0,911 0,548 18 19 10-19 1,225 0,707 0,518 0,268 0,379 19 20 Komersial 20-29 1,581 1,425 0,156 0,024 0,017 20 21 lain tidak 30-39 1,581 1,510 0,071 0,005 0,003 21 22 ditebang 40-49 2,345 0,943 1,402 1,965 2,083 22 23 50-59 2,121 0,707 1,414 2,000 2,828 23 24 60 up 1,225 1,273 -0,048 0,002 0,002 24 Jumlah 11,94 Keterangan = O: Observed diamati, E: Expected diharapkan Dengan α = 0,05 dan dk=23 maka tabel א x 2 0,95 = 35,2 Kesimpulan: Terima Ho = data pengamatan dan harapan tidak berarti = homogen 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Kelom pok data Ker apat an N ha Pengukuran PUP Pemodelan Lampiran 13. S ifat fisik da n kimia tanah pada lokasi penelitian a. Sifat fisik tanah b. Sifat kimia tanah Lokasi Kedalaman Warna Tekstur Kelas tekstur Struktur Peruntukan horison m lembab lempung debu pasir lahan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 JT A 0-25 7,5 YR 44 28,93 10,65 60,42 Geluh lempung pasiran - Gumpal dengan Tanaman dark brown Sandy clay loam agregat kurang keras AB 26-55 10 YR 46 64,26 15,5 20,24 Lempung clay - Permeabilitas Tanaman yellowish brown rendah keras B 56-100+ 10 YR 56 72,93 12,4 14,67 Lempung clay Tanaman yellowish brown keras JA A 0-25 7,5 YR 58 32,06 11,14 56,8 Geluh lempung pasiran - Gumpal dengan Tanaman strong brown Sandy clay loam agregat kurang keras AB 26-55 10 YR 56 67 14,5 18,5 Lempung clay - Permeabilitas Tanaman yellowish brown rendah keras B 56-100+ 10 YR 68 73,64 12,98 13,38 Lempung clay Tanaman brownish yellow keras Lokasi pH BO N P Zn Cu Mn Fe K Na Ca Mg KTK H + Al 3+ horison H 2 O Tersedia ppm Tersedia me100 gr me100gr me ppm 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 JT A 4,83 21,57 50 4,01 0,1 0,8 31,7 0,1 0,34 0,48 0,41 6,5 0,41 813,1 AB 3,88 10,32 21 2,78 0,1 0,24 0,43 0,39 6,64 1,21 B 3,36 4,05 11 0,23 0,1 0,35 0,37 0,3 4,95 0,99 JA A 3,46 35,77 73 5,44 1,11 5,82 35,8 0,15 0,29 0,45 0,41 13,26 0,46 799 AB 3,58 15,09 36 3,95 0,14 0,19 0,39 0,49 12,46 1,14 B 3,54 4,21 21 3,67 0,1 0,21 0,27 0,32 13,11 1,01 Lampiran 14. Lokasi IUPHHK PT.Gunung Meranti di Provinsi Kalimantan Tengah Lampiran 15. Peta loka si penelitian di IUPHHK PT Gunung Meranti PETA LOKASI PENELITIAN DI PT GUNUNG MERANTI PROVINSI KALIMAN TAN TENG AH Luas: 95.265 Ha Legenda: : Blok Sistem TPTI : Blok Sistem TPTII : Petak Ukur Permanen : Tegakan benih : Plasma nutf ah : Hutan kerangas : Hutan lindung : Jalan angkutan : Sungai Plot penelitian sistem TPTII PT GM PUP Sistem TPTI Penunjang data penelitian tegakan tinggal Tanaman meranti tahun 1994 dan 1999 Penunjang data tanaman Lampiran 16. Peta tanah di areal kerja IUPHHK PT Gunung Meranti Lampiran 17. Peta agroklimat wilayah Kalimantan Lampiran 18. Tanaman dan tegakan tinggal di plot penelitian PT Gunung Meranti Keterangan gambar: 1. Tanaman Shorea leprosula umur 1 tahun 2. Tanaman Shorea leprosula umur 11 tahun 3. Tanaman Shorea leprosula umur 16 tahun 4. Tegakan tinggal dalam jalur antara 2 1 4 3 ABSTRACT WAHYUDI. Growth of Plantation and Residual Trees on the Intensified Indonesian Selective Cutting and Planting. Case Study in PT Gunung Meranti Forest Concession Area, Central Kalimantan Province. Under direction of ANDRY INDRAWAN, IRDIKA MANSUR and P RIJANTO PAMOENGKAS. Low productivity of logs is one of serious prob lems in the natural production forest management. Forest productivity on PT Gunung Meranti forest concession was ranging from 22,41 to 34,56 m 3 ha -1 only. Whether the Intensified Indonesian Selective Cutting and Planting IISCP system can improve forest productivity? The research was aimed to evaluate growth of plantation and residual trees and their productivity on the IISCP System. The research was conducted on research plots of IISCP in logged over forest of PT Gunung Meranti forest concession, Central Kalimantan Province. The research plots were involved two sub plots i.e. plantation sub plot and residual trees sub plot. Analysis of data used growth modelling for even-aged forest and all-aged forest, important value index, species diversity, richness and financial analysis. The result showed that mean annual increment of Shorea leprosula plantation at 2, 11 and 16 year old were 1,06 cm year -1 ; 1,22 cm year -1 and 1,31 cm year -1 in diameters, respectively. Based on even-aged forest modelling, the first cycles of Shorea leprosula plantations was 32 year in the 125,14 m 3 ha -1 of logs 40 cm up of diameters, thereby these plantations could improve the natural forest productivity. Mean annual increment of residual trees was ranging from 0,21 to 0,76 cm year -1 in diameter and the best growth time at 30-40 cm of trees diameter. Based on all-aged forest modelling, the sustained first and second cycles of residual trees each were 26 year and 40 year. Structure and composition of residual trees on the logged over forest like the all-aged forest. Species diversity was moderate furthermore species richness was moderate to high. The dominant trees were Shorea spp, Diallium spp, Shorae laevis and Dipterocarpus spp. The IISCP system is applicable in the logged over forest with break-even point at 7 year in the Rp. 4,14 million of net present value. Keyword: Intensified Indonesian Selective Cutting and Planting, Shorea leprosula, residual trees, cutting c ycles. RINGKASAN WAHYUDI. Pertumbuhan Tanaman dan Tegakan Tinggal pada Tebang Pilih Tanam Indo nesia Intens if. Studi Kasus di Areal Kerja IUPHHK-HA PT Gunung Meranti, Provinsi Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh ANDRY INDRAWAN, IRDIKA MANSUR, da n PRIJANTO PAMOENGKAS. Indo nesia dikenal sebagai negara dengan luas hutan tropis terluas ke-3 di dunia setelah Brasilia dan Zaire. Namun deforestasi dan degradasi hutan berjalan sangat cepat dengan kisaran 1,8 sampai 2,84 juta hath. Permasalahan penting lainnya adalah rendahnya produktifitas hutan, yaitu berkisar antara 0,25 sampai 1,4 m 3 hath. Banyak sistem silvikultur yang telah diterapkan untuk mengelola hutan alam prod uksi, seperti Tebang Pilih Indonesia, Tebang Pilih Tanam Indonesia, Tebang Jalur Tanam Indonesia sampai pada Tebang Pilih Tanam Jalur TPTJ, namun sistem-sistem tersebut belum ada yang menunjukkan hasil memuaskan. Belum pernah ada sistem yang mencapai satu siklus tebangnya namun telah diganti dengan sistem lainnya. Harapan besar bertumpu pada sistem Tebang Pilih Tanam Indo nesia Intens if TPTII yang baru diterapkan secara bertahap sejak tahun 2005. Sistem ini memadukan teknik penanaman pengayaan pada sistem TPTI dan teknik penanaman dalam jalur pada sistem TPTJ sehingga regenerasi hutan dapat dimuliakan, dirawat dan diawasi secara intensif. Apaka h sistem ini mampu menjawab tantangan kelestarian hutan dan peningkatan produktifitas hutan? Untuk menjawab tantangan ini kita tidak bo leh menunggu satu siklus tebang selama 30 tahun, sebab bila hal ini dilakukan maka dikhawatirkan kerusakan hutan akan terjadi selama puluhan tahun tanpa kita ketahui. Untuk itu diperlukan penelitian dan pemodelan dinamika tanaman dan tegakan tinggal pada sistem TPTII untuk memprediksi pertumbuhan dan hasil pada akhir daur. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan dan hasil terhadap tanaman meranti Shorea leprosula pada jalur tanam dan tegakan tinggal pada jalur antara sistem TPTII serta memprediksi produktifitas dan daurnya melalui mekanisme pemode lan dinamika tegakan. Untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif maka dilakukan pengukuran terhadap struktur, komposisi, keanekaragaman dan kekayaan jenis tegakan tinggal dalam jalur antara. Penelitian ini juga mengevaluasi tingkat kelayakan usaha sistem TPTII, khususnya di IUPHHK PT Gunung Meranti. Penelitian dilakukan pada plot penelitian sistem TPTII di areal kerja IUPHHK- HA PT Gunung Meranti, Provinsi Kalimantan Tengah. Plot penelitian sistem TPTII terdiri dari sub plot penelitian tanaman pada jalur tanam da n sub plot penelitian tegakan tinggal pada jalur antara. Sub plot penelitian tanaman Shorea leprosula terdiri dari tiga jalur tanam masing- masing mempunyai lebar 3 m dan panjang 1.000 m dengan jarak tanam dalam jalur sepanjang 2,5 m, sedangkan sub plot penelitian tegakan tinggal terdiri dari dua jalur antara masing- masing mempunyai lebar 17 m dan panjang 1.000 m. Penga mbilan data primer dilakukan sejak tahun 2007 sampai 2010. Data penunjang untuk pemodelan tanaman Shorea leprosula diambil dari plot penelitian tanaman Shorea leprosula yang telah berumur 11 dan 16 tahun, sedangkan data penunjang untuk validasi mode l dinamika tegakan tingga l diambil dari hasil pengamatan pertumbuhan tegakan tinggal pada hutan bekas tebangan selama 7 tahun 1998 sd 2005. Data penunjang dan asumsi-asumsi yang digunakan dalam pemodelan menggunakan data hasil penelitian di areal kerja PT Gunung Meranti serta data sekunder dari hasil penelitian di areal kerja IUPHHK- HA yang telah menerapkan sistem TPTII sejak awal, seperti PT Sari Bumi Kusuma, PT Sarpatim, P T Erna Djuliawati, PT Suka Jaya Makmur dan lain- lain. Hasil penelitian tanaman pada jalur tanam menunjukkan bahwa riap diameter tahunan rata-rata MAI tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanam yang berumur 1, 2, 11 dan 16 tahun masing- masing sebesar 1,07 cmth; 1,06 cmth; 1,22 cmth dan 1,31 cmth. Melalui pemodelan menggunakan persamaan polinomial dapat diketahui bahwa tanaman meranti Shorea leprosula telah mencapai daur ke-1 pada umur 32 tahun R 2 95 dengan potensi sebesar 136,72 m 3 ha yang terdiri dari 125,14 m 3 ha berdiameter 40 cm ke atas dan 11,58 m 3 ha berdiameter 30-39 cm. Pencapaian kubikasi tanaman pada da ur ke-1 ini lebih besar dibanding kubikasi yang diperoleh dari hasil tebang penyiapan lahan sistem TPTII limit diameter 40 cm ke atas sebesar 22, 41 m 3 ha atau dari sistem TPTI sebesar 34,56 m 3 ha, sehingga hasil tanaman pada jalur tanam sistem TPTII mampu meningkatkan produktifitas hutan sebesar 458,41. Penyebaran diameter tanaman Shorea leprosula membentuk po la persamaan polinomial dengan grafik menyerupai lonceng parabola terbalik. Dengan meningkatnya umur tanaman maka grafik lonceng semakin bergeser ke kanan yang menandaka n terjadi pertumbuhan namun po la penyebaran diamater masih sama seperti semula yang menyerupai pola hutan tanaman seumur even-aged forest. PT Gunung Meranti disarankan dapat mengembangkan jenis-jenis unggulan lain seperti Shorea parvifolia, S.johorensis da n S.platyclados supaya lebih resisten terhadap serangan hama dan penyakit, lebih fleksibel dalam memenuhi permintaan pasar yang selalu berubah, tercipta keunggulan komparatif dan meningkatkan keanekaragaman jenis tanpa mengurangi produktifitasnya. Hasil penelitian tegakan tingga l pada jalur antara menunjukkan bahwa MAI diameter tegakan tinggal tingkat tiang dan pohon pada jalur antara berkisar antara 0,21 sampai 0,76 cmth. Pertumbuhan tertinggi berada pada pohon-pohon berdiameter 30 sampai 40 cm. Kelompok dipterocarpaceae mempunyai pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding kelompok non dipterocarpaceae dengan tingkat nyata. Kelestarian produksi pada jalur antara sistem TPTII dapat tercapai dengan menerapkan siklus tebang ke-1 selama 26 tahun dan siklus tebang ke-2 selama 40 tahun de ngan mean absolute percentage error MAPE sebesar 22,6. Distribus i diameter tegakan tinggal membentuk pola persamaan eksponensial yaitu N= 193,59.e -0,0551DBH untuk kelompok meranti, N= 90,055.e -0,0674DBH untuk kelompok dipterocarp non meranti; N=27,091.e -0,0523DBH untuk kelompok komersial lain di tebang dan N=364,07.e -0,0945DBH unt uk ko mersial lain tidak ditebang. Struktur dan kompos isi tegakan tinggal di jalur antara sistem TPTII masih menyerupai karakteristik hutan semua umur all-aged forest dengan tingkat keanekaragaman jenis sedang dan tingkat kekayaan jenis sedang sampai tinggi. Jenis-jenis yang mendominasi adalah meranti Shorea spp, keranji Diallium sp, keruing Dipterocarpus spp dan kayu arang Diospyros sp. Prediksi etat volume pada siklus ke-1 menggunakan siklus tebang 30 tahun dan 35 tahun sistem TPTII masing- masing sebesar 134.135,3 m 3 th dan 160.530,3 m 3 th dengan produktifitas masing- masing 128,36 m 3 ha dan 179,36 m 3 ha. Titik impas break even point kelayakan pengelolaan hutan alam produksi sistem TPTII dapat tercapai pada tahun ke-7 dengan nilai NPV Rp. 4.139.693,-ha dan BCR 1,03. Titik impas kelayakan dapat dicapai pada tahun ke-3 apabila harga jual kayu bulat mencapai Rp. 1.500.000,- per m 3 . Unit manajemen yang melaksanakan pengelolaan hutan sistem TPTII selayaknya mendapat paket pinjaman dana misalnya dari dana reboisasi dengan bunga nol persen 0 sampai tahun ke enam atau pinjaman dana dengan bunga 9 sampai tahun ke tujuh. Berdasarkan hasil penelitian ini, produkt ifitas hutan pada siklus tebang ke-1 akan lebih besar apabila menggunakan siklus tebang 35 tahun dibanding siklus tebang 30 tahun dengan tingkat nyata. Dengan demikian siklus tebang sistem TPTII sebaiknya selama 35 tahun. Pada kawasan hutan produksi dengan kelerengan datar sampai landai serta pada hutan rawang dan semak belukar, jalur antara tetap difungsikan sebagai areal produksi, namun pada hutan produksi terbatas dengan kelerengan curam sampai sangat curam, jalur antara dapat dipertimbangkan untuk areal penelitian, konservasi sumber daya genetik, pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti rotan, gaharu, minyak, tengkawang, bahan obat, senyawa kimia dan bioaktif serta menjaga tata air dan kesuburan tanah. Dengan tersedianya data perkembangan tanaman, tegakan tinggal, model dinamika tegakan hutan serta analisis finansial ini diharapka n dapat menciptakan kepastian usaha dan menumbuhkan iklim yang kondusif bagi dunia usaha kehutanan melalui pelaksanaan sistem TPTII di hutan alam produksi. Para pihak dapat menentukan potensi tanaman dan tegakan tinggal pada siklus tebang berikutnya berdasarkan riap, struktur dan komposisi tegakan tinggal masing- masing sejak dini. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indo nesia merupaka n negara yang memiliki hutan trop ika terluas di dunia setelah Brasilia di Amerika Selatan dan Zaire di Afrika sekaligus menyimpan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia Whitmore 1975; MacKinnon et al. 2000. Berdasarkan batas geografis, hutan tropika terletak antara 23½ o LU sampai 23½ o LS, yang dicirikan dengan lanskap yang selalu hijau, intensitas cahaya matahari merata sepanjang tahun serta curah hujan yang relatif tinggi. Namun demikian kondisi sumberdaya hutan di Indonesia cenderung mengalami penurunan, baik kuantitas deforestation maupun kualitasnya forest degradation, seiring dengan perubahan lingkungan pada tingkat nasional maupun global. Laju deforestasi di Indonesia sebesar 1,8 juta hath 1985-1997 dan meningkat menjadi 2,84 juta hath 1997- 2000 Balitbanghut 2008. Kerusakan hutan banyak disebabkan oleh meningkatkannya jumlah penduduk dan kebutuhan hasil hutan kayu Singh et al. 1995, penebangan liar illegal logging, pertambangan liar illegal minning, perladangan berpindah, okupasi masyarakat, kebakaran hutan Indrawan 2008, Wahyudi 2009b, perambahan dan konversi hutan, pengelolaan hutan yang tidak baik Wahjono Anwar 2008 seperti pembalakan yang melebihi batas kemampuan hutan untuk memulihkan diri penebangan melebihi riap hutan dan tidak ada keseriusan untuk merehabilitasi hutan bekas tebangan Soekotjo 2009. Sebagai perbandingan, pada tahun 1990 jumlah produksi kayu bulat Indonesia sebesar 28 juta m 3 yang berasal dari areal hutan produksi seluas 59,6 juta ha. Namun pada tahun 2007 jumlah produksi menurun menjadi 9,1 juta m 3 dari areal hutan produksi seluas 27,8 juta ha Soekotjo 2009. Penurunan produksi dan luas hutan ini akan terus terjadi di masa datang apabila tidak ada pembenahan yang signifikan terhadap sistem pengelolaan hutan produksi di Indonesia. Salah satu bentuk pe mbe nahan yang seda ng dilakuka n ada lah pe nerapa n sistem silvikultur yang sesuai dengan kondisi vegetasi dan lingkungannya sehingga mampu peningkatan produktifitas hutan. Pada awal tahun 70-an, hutan alam Indonesia masih terjaga dengan baik. Pengelolaan hutan alam mulai dilakukan dalam kawasan hutan alam produksi dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dulu bernama Hak Pengusahaan Hutan sejak tahun 1972 menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia TPI. Sistem silvikultur Teba ng Pilih Tanam Indo nesia TPTI diterapkan pada tahun 1989 menggantikan sistem sebelumnya. Pada tahun 1993 mulai diujicobakan sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia TJTI dalam skala penelitian. Sistem ini kemudian berubah menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi TJTK dan pada tahun 1997 berubah lagi menjadi sistem Hutan Tanaman Industri de ngan Tebang Tanam Jalur HTI-TTJ. Pada tahun 1998 sistem HTI-TTJ berubah menjadi sistem Tebang Pilih Tanam Jalur TPTJ. Pada tahun 2005 diterapkan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII dengan teknik yang mirip dengan sistem TPTJ. Sistem TPTII mampu menggabungkan konsep penanamanpengayaan pada sistem TPTI dengan konsep penanaman dalam jalur tanam pada sistem TPTJ sehingga kegiatan perawatan tanaman dapat lebih intensif dan mempermudah pengawasan. Sistem TPTII yang diterapkan pada hutan bekas tebangan dan hutan rawang dipercaya dapat meningkatkan potensi hutan pada akhir daur sehingga prospek pengusahaan hutan produksi menjadi lebih menarik Soekotjo 2009. Menurut Ditjen BPK 2005 tujuan umum teknik TPTII adalah membangun hutan tropis yang lestari dan dinamis, yang dicirikan dengan selalu meningkatnya potensi dan fungsi hutan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, dari satu rotasi tebang ke rotasi tebang berikutnya. Sedangkan tujuan khusus untuk membangun hutan sebagai transisi menuju hutan tanaman meranti dan untuk menjamin fungsi hutan yang optimal. Namun demikian penelitian tentang pertumbuhan dan hasil growth and yield serta analisis finansial tanaman dalam jalur bersih serta tegakan tinggal dalam jalur antara masih belum banyak dilakukan. Prediksi pertumbuhan da n hasil tanaman dalam jalur bersih serta tegakan tinggal pada jalur antara yang selalu meningkat pada sistem TPTII harus didasari pada hasil penelitian yang baik dengan memperhatikan faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pohon seperti genetik, lingkungan dan teknik silvikultur. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, faktor kelerengan datar sampai curam tidak berpengaruh nyata terhadap riap tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanam serta tegakan tingga l dalam jalur antara sistem TPTII, sehingga analisis pertumbuhan dan hasil tanaman maupun tegakan tinggal dalam penelitian selanjutnya tidak memperhitungkan aspek kelerengan ini. Pengelolaan hutan dengan sistem TPTII memerlukan daur umur royek yang relatif lama sehingga investasi dan biaya kegiatan yang ditanam dapat membengkak disebabkan akumulasi bunga selama daur. Sehubungan dengan hal tersebut, analisis finansial pada sistem TPTII sebaiknya dilakukan pula menyertai analisis tanaman dan tegakan tinggal agar para pihak stakeholder, khususnya pihak pengusaha, dapat mengetahui tingkat kelayakan ekonomi pada usaha ini. Perkembangan tanaman dan tegakan tinggal pada sistem silvikultur TPTII sebaiknya segera dievaluasi dengan memanfaatkan hasil- hasil penelitian yang pernah dan sedang dilakukan, khususnya pada kondisi tempat tumbuh yang relatif sama, untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih tepat dan akurat terhadap tingkat kelayakan sistem ini dalam menciptakan pengelolaan hutan lestari. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Dirjen BPK Departemen Kehutanan RI Nomor 41VI- BPHA2007, IUPHHK PT Gunung Meranti merupakan salah satu perusahaan yang ditetapk an unt uk menerapka n sistem TPTII di areal konsesinya sehingga penelitian untuk mengetahui perkembangan tanaman dan tegakan tinggal pada sistem TPTII dapat dilakukan di tempat ini.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang dihadapi sektor kehutanan, setidaknya pada dua dasawarsa terakhir, adalah tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan serta rendahnya produktifitas hutan alam produksi di Indo nesia. Laju deforestasi sebesar 1,8 juta hath pada periode 1985-1997 dan meningkat menjadi 2,84 juta hath pada periode 1997-2000 Balitbanghut 2008. Sampai tahun 2003 produktifitas hutan alam di Indonesia hanya sebesar 1,1-1,4 m 3 hath dan sampai tahun 2007 turun menjadi 0,46 m 3 hath Ditjen BPK 2010b. Menurut Suparna 2010 produktifitas hutan alam tahun 2009 hanya 0,25 m 3 hath. Rendahnya produktifitas hutan alam menyebabkan iklim usaha pengelolaan hutan alam produksi menjadi kurang menarik. Banyak pengusaha yang mengalihkan bidang usahanya di luar sektor kehutanan ini. Hutan cenderung mengalami degradasi dan kawasan hutan cenderung dikonversi deforestasi baik yang dilakukan secara legal maupun illegal. Kondisi semacam ini tidak boleh dibiarkan berlarut- larut namun harus segera dicarika n solus inya . Salah satu upa ya unt uk mengatasi masalah ini adalah memperbaiki dan menerapka n sistem silvikultur yang mampu meningkatkan produktifitas hutan sekaligus dapat menjaga kualitas lingk ungan serta memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat. Sistem silvikultur untuk pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia sering mengalami perubahan meskipun pelaksanaannya belum mencapai satu siklus tebang. Banyak yang meragukan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan sistem TPTI terutama dari segi produktifitas, namun sistem ini masih dipertahankan karena dipercaya mempunyai dampak lingkungan yang paling kecil, sambil menunggu munculnya sistem silvikultur alternatif yang dapat memperbaiki kekurangan pada sistem silvikultur sebelumnya dengan target utama tercapainya kelestarian hutan dengan indikator kelestarian produksi, ekologi dan sosial. Apakah sistem TPTII mampu menjawab tantangan ini?

1.3 Status Pe nelitian dan Ke rangka Pe mikiran

Menurut Mitlöhner 2009 dan Suhendang 2008 paradigma baru pengelolan hutan saat ini adalah pendekatan pada bentuk hutan alam close to the natural forest. Coates dan Philip 1997 menambahkan bahwa penebangan hutan dalam bentuk celah gap lebih sesuai dengan kondisi hutan alam karena menyerupai fenomena pohon atau ke lompok po hon yang mati robo h da n terjadi regenerasi da lam gap tersebut. Sistem silvikultur yang sesuai dengan maksud tersebut adalah polycyclic system melalui sistem tebang pilih selective cutting baik dalam bentuk tebang individu seperti TPI dan TPTI atau tebang kelompok dalam bentuk rumpang atau jalur TPTII atau TPTJ. Sistem silvikultur TPTII mampu menggabungan antara tebang individu dan tebang kelompok serta penerapan prinsip-prinsip tebang habis dengan permudaan buatan THPB dalam satu kesatuan pengelolaan seperti terlihat pada Gambar 1. Kawasan hutan di Indonesia saat ini telah terfragmentasi menjadi beberapa tipe penutupan lahan, seperti hutan primer, hutan sekunder, hutan rawang low potential forest , hutan bekas penebangan liar, hutan bekas kebakaran, semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong Indrawan 2008; Pasaribu 2008. Lanskap hutan produksi yang berbentuk mosaik Suhendang 2008 seperti ini sudah tidak memungkinkan diterapkan sistem silvikultur tunggal Pasaribu 2008. Konsep pengelolaan hutan yang mendasarkan pada asumsi stabilitas jangka panjang sudah tidak efektif lagi dalam memenuhi kebutuhan dan berawal dari pemikiran ini maka lahirlah konsep multiple patch design yang kemudian berkembang menjadi multisistem silvikultur Multiple Silvicultural System. Menurut Indrawan 2008 multisistem silvikultur sudah saatnya diterapkan pada hutan produksi agar setiap bagian hutan mendapatkan perlakuan silvikultur yang sesuai dengan kondisinya. Gambar 1. Bagan alir perkembangan sistem silvikultur di Indonesia Kerangka pemikiran logical framework dibangun berdasarkan sejarah pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia beserta semua input da n output yang bekerja pada sistem silvikultur TPTII dengan sasaran akhir berupa kelayakan sistem yang dicirikan melalui kelestarian produksi, ekologi dan sosial. Fungsi Hutan UU No.411999 Hutan Hutan Hutan Konservasi Lindung Produksi Degradasi hutan Hutan terfragmentasi Deforestasi Hutan Hutan Hutan potensi Semak dan Padang ilalang Lahan primer sekunder rendah belukar Imperata cylindrica kritis Mosaik lanskap Multisistem silvikultur Uneven aged All-aged Polycyclic Monocyclic Even aged forest forest System System forest Tebang Tebang Tebang habis Tebang habis Kelompok Individu permudaan permudaan buatan alam THPB THPA Unit Manajemen Penghutanan kembali Tebang habis Tebang pilih Melingkar Jalur TPI TPTI TPTJ Rumpang Tanaman dan tegakan tinggal Perawatan, Pembebasan, Penjarangan Siklus berikutnya Pemodelan TPTII TPTJ Gamba r 2. Kerangka pemikiran pengelolaan hutan de ngan sistem silvikultur TPTII

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi pertumbuhan tanaman meranti Shorea leprosula dalam jalur tanam dan tegakan tinggal dalam jalur antara sistem TPTII serta membangun model pertumbuhan dan hasil growth and yield untuk memprediksi produktifitas, daur dan siklus tebangnya. Beberapa tahapan penelitian yang ingin dicapai adalah: a. Mengeva luasi pertumbuhan tanaman meranti Shorea leprosula pada jalur tanam sistem TPTII da n memprediks i produktifitas dan daurnya b. Mengeva luasi pertumbuhan tegakan tingga l pada jalur antara sistem TPTII dan memprediksi siklus tebang berikutnya Waktu th 1972-1989 1989-Sek. 1993-1997 1998-2005 2005-Sek. 2035 dst Hutan Produksi TPI TPTI Deforestasi Degradasi hutan TPTI TPTI TPTJ Riset: TJTI, TJTK, HTI-TTJ TPTII, TPTJ, Rumpang Riset: Bina pilih dll Riset Riset Jalur tanam Jalur antara Penebangan siklus berikutnya Layak Tidak layak Layak,hasil samameningkat Menurun Genetik Lingkungan biotik-abiotik Teknik silvikultur Iklim Tanah Aspek Ketinggi an dpl Lereng Fisik Kimia Biologi Pencucian Erosi Unsur hara Arsitek akar Density Pemuliaan pohon Suhu Presipitasi Cahaya Kelembaban Angin Struktur tnh Tekstur tnh Kimia air Kimia tanah Pertum buhan dan hasil Model pertumbuhan dan hasil Regenerasi Pemeliharaan Persemaian Penanaman Pupuk Sulam Bebas Jarangi Permudaan Flora Fauna Microorganisme Silin Lingkungan, genetik dan pengendalian hama terpadu TPTIITPTJ c. Mengeva luasi struktur, komposisi, keanekaragaman dan kekayaan jenis tegakan tinggal dalam jalur antara d. Mengeva luasi tingkat kelayakan usaha sistem TPTII, khususnya di areal kerja IUPHHK PT Gunung Meranti. Dengan tersedianya data perkembangan tanaman, tegakan tinggal, model dinamika tegakan hutan serta analisis finansial pada sistem TPTII diharapkan dapat mendukung kemajuan pelaksanaan sistem ini di Indo nesia. Stakeholder dapat menentukan potensi tanaman dan tegakan tinggal pada siklus tebang berikutnya berdasarkan riap, struktur dan komposisi tegakan tinggal yang ada. Penelitian juga memberi informasi tentang prospek pengusahaan hutan sehingga menciptakan kepastian usaha dan menumbuhkan iklim yang kondusif bagi dunia usaha ke hutanan.

1.5 Hipotesis

a. Tanaman dalam jalur mampu meningkatkan produktifitas hutan pada da ur pertama b. Perkembangan tegakan tinggal ditentukan oleh struktur dan komposisinya dan mencapai kelestarian produksi pada siklus 30 tahun c. Struktur, komposisi, keanekaragaman dan kekayaan jenis pada tegakan tinggal masih mengikuti karakteristik hutan semua umur all-aged forest d. Sistem TPTII layak diterapkan pada hutan alam produksi bekas tebangan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 H utan Hujan Tropis Bumi merupakan salah satu dari delapan planet yang mengorbit pada matahari. Namun dari delapan planet tersebut, hanya bumi yang sangat istimewa dan menakjubkan. Planet ini dikelilingi oleh atmosfir yang berfungsi sebagai cadangan udara, pelindung dari sengatan matahari secara langsung serta menangkis benda- benda dari luar angkasa yang memasuki bumi. Bumi juga dilengkapi lapisan tanah dan air yang sangat baik untuk menopang semua kehidupan di bumi, termasuk pertumbuhan vegetasi. Ekosistem bumi terbentuk dengan sangat beragam, komplek dan sempurna. Menurut penelitian, kehidupan dibumi terbentuk sejak jaman pre cambrian-azoikum sekitar 3,2 milyar tahun yang lalu. Salah satu komponen pe nting da lam menjaga kestabilan ekos istem di bumi adalah hutan. Hutan merupaka n hampa ran vegetasi raksasa yang berperan sebagai paru- paru Soemarwoto 1991 karena mengeluarkan Oksigen O 2 , menyerap Karbondioksida CO 2 sekaligus menimbun karbon C dalam bentuk bahan organik Carbon pool . Penelitian terkini juga menyebutkan bahwa hutan dapat berperan sebagai jantung bumi yang dapat memompa udara yang mengandung uap air dari lautan ke daratan. Hutan hujan tropis mempunyai aktifitas dan kemampuan metabolisme yang jauh lebih besar dibanding hutan di daerah sub tropis, temperate dan boreal karena memperoleh sinar matahari penuh sepanjang tahun. Namun demikian, dengan tingginya suhu da n curah hujan di daerah tropis menyebabkan proses pelapukan weathering , perombakan decomposition, aliran permukaan, pencucian hara dan erosi juga semakin tinggi. Fenomena inilah menyebabka n tanah di hutan tropika sangat peka terhadap perubahan. Tanah marginal ini hanya menampung sedikit biomassa dibanding dengan lapisan tanah di hutan tempe rate da n sekitarnya. Sebagian besar sekitar ¾ biomassa di hutan tropika terletak pada vegetasinya MacKinnon et al. 2000. Serasah di lantai hutan yang cepat terurai akan diserap kembali oleh vegetasi untuk menjalankan metabolisme, begitu seterusnya sehingga terbe ntuklah siklus hara tertutup. Peneba ngan po hon-pohon dari hutan, seperti pada kegiatan eksploitasi hutan atau hilangnya sebagian besar vegetasi akibat pe neba ngan liar, perambahan dan kebakaran hutan dapat membuka siklus hara tertut up dan menurunkan kandungan biomassa dari ekosistem hutan hujan tropis. Lanskap hutan hujan tropis biasanya didominasi oleh matrik hutan diselingi alur memanjang berupa sungai environment resources corridors yang bercabang- cabang membentuk anak-anak sungai. Jaringan sungai dan anak sungai serta jaringan jalan yang dibuat manusia disturbance corridors membentuk line corridors dengan berbagai ragam fungsi di dalamnya Forman Gordon 1986. Pada stream corridor biasanya ditemukan vegetasi tertentu yang relatif berbeda dengan jenis vegetasi di sebelahnya. Pada pohon tumbang atau areal eksploitasi terbe ntuk disturbance patches yang rawan erosi namun cepat mengalami pemulihan Farima 1998 . Hutan hujan tropis memiliki strata yang berlapis. Para ahli pada umumnya membagi lima strata hutan tropis Soerianegara Indrawan 2005 yaitu: a. Strata A merupakan lapisan paling atas sehingga tajuk pohon mendapatkan cahaya matahari secara penuh baik dari atas atau samping. Strata ini didominasi pohon-pohon besar seperti kempas Koompassia exelca, K.malaccensis, meranti Shorea pinanga, S.parvifolia, S.smithiana, S.spp, keruing Dipterocarpus louwii , D.spp, kapur Dryobalanops aromatica, D.spp, Ulin Eusideroxylon zwagery dan lain- lain. b. Strata B merupaka n lapisan ke dua dimana tajuk po hon hanya mendapa tka n sinar matahari dari atas. Pohon-pohon pengisi lapisan ini antara lain terentang Campnospermum spp, perupuk Lophopetalum spp, bintangur Calophyllum inophyllum , ke ranji Diallium sp dan lain- lain. c. Strata C merupakan lapisan ke tiga dimana tajuk pohon hanya mendapatkan sinar matahari dari celah-celah tajuk po hon yang lain. Pohon-pohon pengisi lapisan ini antara lain jambuan Syzigium sp, sintuk Cinnanomum sp dan lain- lain. Adakalanya jenis pohon pengisi lapisan A dan B masih berada pada lapisan C dalam proses pertumbuhannya. Beberapa diantaranya berhasil lolos memasuki strata B atau A, terutama ketika terjadi suksesi ketika pohon tua telah tumbang. Banyak d iantara po hon-pohon tersebut gagal memasuki lapisan di atasnya karena belum mendapatkan ruang tumbuh. Kondisi hutan trop is yang sangat rapat dan lebat menimbulkan efek persaingan tempat tumbuh yang tinggi. d. Strata D merupakan lapisan ke empat dimana vegetasi hanya mendapatkan sinar matahari dari pantulan tajuk pohon lain. Pengisi lapisan ini biasanya tingkat pancang da n tiang dari berbagai jenis termasuk famili dari Dipterocarpaceae. Adakala permudaan Dipterocarpaceae mengalami dormansi karena tidak mendapatkan ruang tumbuh, terutama sinar matahari, yang op timal untuk perkembangannya. e. Strata E merupakan lapisan ke lima yang didominasi tumbuhan bawah, herba, perdu serta semai dari berbagai jenis. Disamping mempunyai lima lapisan vegetasi, lantai hutan tropis masih mempunyai lapisan serasah, humus dan top soil yang kaya bahan organik. Struktur hutan tropis seperti ini telah menciptakan ekosistem yang komplek dan exclusive dengan iklim mikro dan sistem siklus hara tetutup didalamnya. Masing- masing pohon telah membentuk jaring pengaman unsur hara nutrients safety net untuk meningkatkan efisiensi penangkapan zat hara yang telah menjadi bentuk tersedia Kozlowski Pallardy 1997 ; Oliver Larson 1990 . Hijau dan lebatnya hutan hujan tropis seakan-akan mencerminka n kesuburan tana h di sana, namun sebe narnya hanya ilus trasi yang semu MacKinnon et al. 2000. Berbeda dengan daerah terbuka, curah hujan yang turun di hutan akan mengalami beberapa proses Lee 1990, yaitu: a. Intersepsi interception, yaitu bagian dari air hujan yang menguap kembali, baik pada saat hujan maupun setelah hujan, sebelum mencapai permukaan tanah. Air ini biasanya terdapat di tajuk po hon, da han da n ranting. b. Tranpirasi transpiration yaitu air yang menguap melalui permukaan tubuh tumbuhan setelah melalui proses metabolisme. Transpirasi paling banyak terjadi pada daun yang kontak langsung dengan sinar matahari, sebagai respon untuk mempertahankan diri dari panas dan kekeringan dehidration. c. Evaporasi evaporation, yaitu air yang menguap kembali dari danau, waduk, sungai atau genangan air tanah. d. Stem flow, yaitu bagian dari air hujan yang mengalir melalui daun, ranting dan cabang pohon kemudian mengalir ke bawah melalui batang pohon. Aliran batang ini berjalan perlahan sampai ke permukaan tanah. e. Through fall, yaitu bagian air hujan yang turun ke bawah melalui celah-celah tajuk atau da un po hon. Air hujan aka n tertahan pada tumbuhan bawah dan serasah sebelum sampai ke tanah sehingga tidak sampai merusak struktur tanah. Perakaran pohon di hutan tropis telah mengisi sebagian besar lapisan top soil. Perakaran ini telah menciptakan rongga tanah sehingga terbentuk pori-pori pada permukaan tanah yang berguna untuk aerasi udara dan proses infiltrasi. Lapisan top soil yang berisi perakaran tumbuhan juga menciptaka n eko sistem tersendiri. Berbagai jenis mikroorganisme, cacing, serangga, rhizobium, mikor isa dan lain- lain hidup dan berkembang biak di sana. Air hujan yang turun di hutan hujan tropis sebagian besar berubah menjadi aliran batang stem flow pada berbagai strata yang ada, sehingga ketika menyentuh lantai hutan tidak menimbulkan efek merusak pada tanah. Air hujan yang berada di lantai hutan akan meresap ke dalam lapisan bahan organik, serasah dan humus, kemudian, sebagian besar mengalami infiltrasi atau masuk ke dalam top soil tanah mengisi kapasitas infiltrasi tanah. Apabila tanah telah mencapai titik jenuh, sebagian air akan berubah menjadi aliran permukaan yang relatif jernih. Dengan demikian hutan sangat berperan dalam proses hidroorologi karena dapat meminimalkan pencucian zat hara, erosi, banjir dan longsor sehingga dapat menjaga ketersediaan air dan kesuburan tanah. Hutan hujan tropis menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Whitmore 1975, dalam hutan hujan tropis Asia Tenggara tersimpan 25-30 ribu jenis flora. Menurut MacKinnon et al. 2000, dalam hutan hujan tropis di Kalimantan terdapat 10.000-15.000 spesies berbunga, lebih dari 3.000 jenis pohon berkayu termasuk 267 spesies Dipterocarpaceae. Pulau ini sekaya benua Afrika meskipun luasnya 40 kali lebih kecil. Hutan tropis di Kalimantan mempunyai 34 jenis endemik. Menurut Ashton 1982 dalam McKinnon et al. 2000, 58 dari seluruh jenis Dipterocarpaceae di Kalimantan adalah endemik. Pulau ini juga mempunyai 2.000 jenis anggrek, 1.000 jenis pakis dan merupakan pusat jenis kantong semar Nepenthes. Suku ende mik Kalimantan yang terkenal adalah Scyphostegiaceae Ashton 1989 dalam MacKinnon et al. 2000. Hutan hujan tropis di Kalimantan, Sumatera, Jawa dan Sulawesi masing- masing menyimpan 222, 196, 183 dan 127 jenis mamalia. Dari jumlah tersebut, Kalimantan mempunyai 44 jenis endemik dan Sumatera hanya 23 jenis endemik Payne 1985 da lam MacKinnon et al. 2000. Hutan tropis Kalimantan juga mempunyai 13 jenis primata, 10 jenis celurut, 420 jenis burung tetap 37 jenis endemik, 166 jenis ular, 100 jenis amfibi, 394 jenis ikan air tawar 149 jenis endemik dan lain- lain. Apabila hutan hujan tropis sebagai habitat flora dan fauna tersebut telah rusak maka sebagaian besar flora dan fauna tersebut juga musnah, khususnya yang endemik. Hutan huj an trop is merupaka n hamparan pertumbuhan pohon-pohon yang sangat lebat dan luas dan berinteraksi dengan lingkungannya membentuk ekosistem yang komplek. Pohon dan vegetasi lainnya sebagai bagian dari komponen hutan merupakan tumbuhan hijau yang dapat melakukan proses fotosintesa yang menyerap karbondioksida CO 2 sehingga dapat mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di udara sebagai penyebab efek pemanasan global. Proses fotosintesa dapat dituliskan melalui persamaan reaksi sebagai berikut: CO 2 + H 2 O + sinar matahari Luas hutan di Indonesia sebelum tahun 80-an sebesar 164 juta ha atau 87,280 dari luas daratan Indo nesia Suratmo et al. 2003. Menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK luas kawasan hutan Indo nesia tahun 1981 sebesar 144 juta ha Hani’in 1999, namun luasan ini mengalami penurunan menjadi 126,8 juta ha pada tahun 2005 Balitbanghut 2008 dengan komposisi hutan konservasi 23,2 juta ha, hutan lindung 32,4 juta ha, hutan produksi terbatas 21,6 juta ha, hutan produksi tetap 35,6 juta ha dan hutan produksi konversi 14,0 juta ha. Dalam kawasan hutan tersebut, luas areal yang berhutan hanya sebesar 64, luas areal non hutan 29 dan lain- lain data tidak lengkap 6. Laju kerusakan hutan sebesar 1,8 juta ha per tahun 1985-1997 dan meningkat menjadi 2,84 juta ha per tahun pada tahun 1997-2000 Balitbanghut 2008. Pada saat ini hutan produksi telah banyak terfragmentasi Indrawan 2008 dan membentuk mosaik lanskap berupa hutan primer, hutan sekunder, semak belukar dan tanah kosong Pasaribu 2008, Suhendang 2008. C 6 H 10 O 5 n + O 2 kloropil Dari persaman tersebut terlihat bahwa proses fotosintesa menyerap CO 2 dan air H 2 O dengan bantuan sinar matahari dalam media yang mengandung zat hijau daun chlorophyl kemudian menghasilkan karbohidrat sebagai sumber energi dan cadangan karbon yang disimpan dalam tubuh tanaman dan oksigen O 2 yang dihasilkan dari proses fotofosforilasi dari air. Menurut UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan dibagi menjadi tiga berdasarkan fungsinya, yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan ko nservasi ada lah ka wasan hut an de ngan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

2.2 Perkembangan Sistem Silvikultur

2.2.1 Pengertian sistem silvikultur Silvikultur adalah seni dan ilmu membangun dan memelihara hutan dengan menerapkan ilmu silvika untuk memperoleh manfaat optimal. Menurut PP Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman dan memanen. Didalam sistem silvikultur terdapat pengaturan mengenai kelas diameter atau kelas umur, riap, kegiatan penanaman pengayaan enrichment planting, pemangkasan pruning , penjarangan thinning, siklus tebang, rotasi tebang serta informasi silvikultur jenis Pasaribu 2008. Menurut Ditjen PH 1993 sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenani pengelolan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Sedangkan menurut Mattews 1992 dalam Mansur 2008 sistem silvikultur merupakan proses pemeliharaan, pemanenan dan penggantian dengan tanaman baru sehingga menghasilkan tegakan dengan bentuk yang berbeda. Pada hutan alam produksi sistem silvikultur dimulai dari kegiatan pemanenan sedangkan pada hutan tanaman dimulai dari kegiatan pembibitan dan perawatan tanaman. Dengan demikian definisi sistem silvikultur dapat berbeda-beda, namun semuanya mengandung tiga komponen utama, yaitu permudaan regeneration, pemeliharaan tending dan pemanenan harvestingremoving Mansur 2008. Sistem silvikultur yang diterapkan dalam unit manajemen dapat dibedakan berdasarkan umur tegakan maupun sistem penebangan. Berdasarkan umur tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk tegakan seumur even-aged stands seperti THPA dan THPB, sistem silvikultur untuk tegakan beberapa umur uneven-aged stands dan tegaka n semua umur all-aged stands seperti tebang pilih individu TPI, TPTI, Bina Pilih, kelompok melingkar tebang rumpang dan kelompok dalam jalur TPTJ dan TPTII. Berdasarkan sistem penebangan pohon terdiri dari sistem silvikultur tebang pilih selective cutting dan sistem teba ng habis clear cutting. Menurut Manan 1995 dalam Indrawan 2008, sistem silvukultur dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu:

Dokumen yang terkait

Forest Fire Threaten Indonesia Forest Plantation: a Case Study in Acacia mangium Plantation

0 4 16

Integration of GIS Model and Forest Management Simulation to Minimize Loss Risk By Illegal Cutting (A Case Study of The Teak Forest in District Forest of Cepu, Central Java)

0 16 120

Study on Spatial and Temporal Changes of Forest Cover Due to Canal Establishment in Peat Land Area, Central Kalimantan

0 6 29

Growth of plantation and residual trees on the intensified indonesian selective cutting and planting. Case study in PT Gunung Meranti Forest Concession Area, Central Kalimantan Province

0 60 209

The potency of Intensive Sylviculture System (TPTII) to support reduced emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) (a case study in concession of PT.Sari Bumi Kusuma in Central Kalimantan)

0 20 311

The potency of Intensive Sylviculture System (TPTII) to support reduced emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) (a case study in concession of PT.Sari Bumi Kusuma in Central Kalimantan)

0 22 597

The Linkage Between Growth, Unemployment and Income Inequality on Poverty in Central of Java Province, 2004-2010

1 8 184

Stand structure dynamic for forest yield regulation based on number of trees : case on a logged over area of a low and dry-land of tropical rain natural forest in Kalimantan

1 16 186

The Growth of Red Meranti (Shorea leprosula Miq.) with Selective Cuttingand Line Planting in areas IUPHHK-HA PT. Sarpatim Central Kalimantan

0 3 86

Analysis of Land and Forest Fires Hazard Zonation in Spatial Planning (Case Study in Palangka Raya City, Central Kalimantan Province).

2 16 135