Saran Growth of plantation and residual trees on the intensified indonesian selective cutting and planting. Case study in PT Gunung Meranti Forest Concession Area, Central Kalimantan Province
kelerengan curam sampai sangat curam, jalur antara sebaiknya dijadikan areal konservasi yang dapat digunakan untuk penelitian, konservasi sumber daya
genetik dan pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti rotan, gaharu, minyak, tengkawang, bahan obat, senyawa kimia dan bioaktif serta menjaga tata air dan
kesuburan tanah, sedangkan pada kawasan hutan produksi dengan kelerengan datar sampai landai serta pada hutan rawang dan semak belukar jalur antara dapat
dipergunakan sebagai areal untuk memproduksi hasil hutan kayu. 2 Unit manajemen yang melaksanakan pengelolaan hutan sistem TPTII selayaknya
mendapat paket pinjaman dana misalnya dari dana reboisasi dengan bunga nol persen 0 sampai tahun ke enam atau pinjaman dana dengan bunga 9 sampai
tahun ke tujuh. 3 PT Gunung Meranti disarankan dapat mengembangkan jenis-jenis unggulan lain
seperti Shorea parvifolia, S.johorensis da n S.platyclados supaya lebih resisten terhadap serangan hama dan penyakit, lebih fleksibel dalam memenuhi
permintaan pasar serta menciptakan keunggulan komparatif dan meningkatkan keanekaragaman jenis tanpa mengurangi produktifitasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Appanah SG, Weinland, Bossel H, Krieger H. 1990. Area tropical rain forests non- renewable? An enquiry through modelling. Journal of Tropical Forest Science
24 pp 331-348. Appanah S,Weinland G. 1993. Planting Quality Timber Trees in Peninsular
Malaysia. Forest Research Institute Malaysia. Kepong. Malayan Forest Record No. 38.
[Balitbanghut] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 1993. Surat Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No.38KptsVIII-HM.31993
tentang Pedo man Pembuatan da n Pengukuran Petak Ukur Permanen untuk memantau Pertumbuhan dan Riap Hutan Alam Tanah Kering Bekas Tebangan.
Balitbanghut, Departemen Kehutanan, Bogor.
[Balitbanghut] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2008. Profil Pusat Penelitian da n Pengemba ngan Hutan dan Kons ervasi Alam. Balitbanghut,
Departemen Kehutanan, Bogor. [Balitbanghutbun] Badan Penelitian dan Pengemba ngan Kehutanan da n Perkebunan.
1998. Buku Panduan Kehut anan Indo nesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan, Departemen Kehutanan dan
Perkebunan, Jakarta.
Bella LE. 1971. A new competition model for individual trees. Forest Science 17:364-372
Bettinger P, Boston K, Siry JP, Grebner DL. 2009. Forest Management and Planning. Academic Press – Elsevier.
Bosch CA. 1971. Redwoods: a population model. Science Journal 172: 345-349. Bossel H, Krieger H. 1991. Simulation model of natural tropical forest dynamics.
Ecology Modelling 59:37-71.
Botkin DB, Janak JF, Wallis JR. 1972. Some ecological consequences of a computer model of forest growth. Journal Ecology 60:849-872.
Brown S. 1997. Estimating biomass change of tropical forest a primer. FAO Forestry Paper No.134. FAO USA.
Buongiorno J, Gilles JK. 1987. Forest Management and Economics. Mc Millan Publishing Company, New York.
Buongiorno J, Michie BR. 1980. A matrix model of uneven-aged forest management. Forest Science 264:609-625.
Buongiorno J, Peyron L, Houller F, Bruciamacchie M. 1995. Growth and management mixed species uneven-aged forest in the French Jura. Forest
Science 413.
Burkhart HE. 2003. Suggestion for choosing an appropriate level for modelling forest stand. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors. Mode lling Forest System.
CABI Publishing. Clutter JL, Fortson JC, Pienaar LV, Brister GH, Bailey RL. 1983. Timber
Management: A Quantitative Approach. Wiley, N.Y. 333p. Coates KD, Philip JB. 1997.
A gap-based approach for development of silvicultural system to address ecosystem management objectives. Journal Forest Ecology
and Management 99 1997 337-35. [Danida dan Dephut] Danish International Development Assistance dan Departemen
Kehutanan RI. 2001. Zona Benih Tanaman Hutan Kalimantan Indonesia. Indonesia Forest Seed Project. Kerjasama Departemen Kehutanan RI dengan
Danish International Development Assistance Danida Denmark, Jakarta.
Davis LS, Johnson KN. 1987. Forest Management, 3 rd ed. McGraw-Hill, NY.790 p [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indo nesia. 1989. Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No. 485KptsII1989 tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Prod uks i di Indo nesia. Departemen Kehut anan RI,
Jakarta.
[Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indo nesia. 1994. Keputusan Menteri Kehutanan No. 200Kpts-II1994 tentang Kriteria Hutan Produksi Alam yang
tidak Produktif. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutana n Republik Indo nesia. 1997a. Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No. 435Kpts-II1997 tentang Sistem Silvikultur dalam Pengelolaan Hutan Tanaman Industri. Depa rtemen Kehutanan RI, Jakarta.
[Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indo nesia. 1997b. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 707Kpts-II1997 tentang Pembagian Kelompok Jenis
Kayu Bulat sebagai Dasar Penentuan Tarif PSDH dan DR. Departemen Kehutanan RI, Jakarta.
[Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. 1999a. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.858Kpts-II1999
tentang Tarif Provisi Sumber Daya Hutan PSDH Hasil Hutan Kayu. Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI, Jakarta.
[Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. 1999b. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.941Kpts-VI1999
tentang Pembaharuan Hak Pengusahaan Hutan PT Gunung Meranti. Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI, Jakarta.
[Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indo nesia. 2002. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.4795Kpts-II2002 tentang Kriteria dan Indikator
Pengelolaan Hutan Alam Produksi pada Unit Pengelolaan. Departemen Kehutanan RI, Jakarta.
[Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.10Menhut-II2007 tentang Perbenihan Tanaman Hutan.
Departemen Kehutanan RI, Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2009. Peraturan Menteri
Kehutanan No.P.11Menhut-II2009 tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Hutan Prod uks i. Departemen
Kehutanan RI, Jakarta.
[Dept an] Departemen Pertanian Republik I ndo nesia. 1980. Kriteria Penetapan Hutan Lindung. Departemen Pertanian RI, Jakarta.
[Ditjen Hut] Direktorat Jenderal Kehutanan. 1972. Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No.35KptsDD1972 tentang Pedoman Tebang Pilih
Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-pedoman Pengawasannya. Ditjen Kehutanan, Jakarta.
[Ditjen Hut] Direktorat Jenderal Kehutanan. 1980. Pedoman Pembuatan Tanaman. Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian, Jakarta.
[Ditjen PH] Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1989. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No.564KptsIV-BPHH1989 tentang
Pedom an Tebang Pilih Tanam Indo nesia. Ditjen Pengusahaan Hutan, J akarta. [Ditjen PH] Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1993. Surat Keputusan
Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No.151KptsIV-BPHH1993 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Revisi. Ditjen Pengusahaan Hutan,
Jakarta.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Prod uks i Kehutanan. 2005. Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor SK.226VI-BPHA2005
Tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif Silin. Departemen Kehutanan, Jakarta.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2007. Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. 41VI-BPHA2007 tentang
Penunjukan Pemegang IUPHHK pada Hutan Alam sebagai Pelaksana Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII. Ditjen Bina
Produksi Kehutanan, Jakarta.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009a. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.9VIBPHH2009 tentang
Pedoman Pelaksanaan Sistem Silvikultur dalam IUPHHK Hutan Produksi. Ditjen Bina Prod uksi Kehutana n, Jakarta.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009b. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.11VI-BPHH2009 tentang
Pedoman Teknik Silvikultur Intensif. Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Jakarta.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Prod uks i Kehutanan. 2010a. Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK.31VI-BPHA2010 tentang
Penunjukan Pemegang IUPHHK pada Hutan Alam sebagai Pelaksana Silvikultur TPTJ dengan teknik Silin. Ditjen Bina Produks i Kehutanan,
Jakarta.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Prod uks i Kehut anan. 2010b. Profil Sistem Silvikultur Intensif di Unit Manajemen Mode l: Konsep dan Implementasi.
Ditjen Bina Prod uksi Kehutana n, Jakarta Djamin Z. 1993. Perencanaan dan Analisis Proyek. Edisi Ketiga. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Elias, Manan S, Rosalina U. 1997. Studi hasil penerapan pedoman Tebang Pilih
Indonesia dan Tebang Pilih Tanam Indonesia di areal HPH PT Kiani Lestari dan PT Narkata Rimba, Kalimantan Timur. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1979. Philippines Smallholder Tree. Farming Project. FAO Forestry Paper 17 Supplement, Manila.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1998a. Guidelines for the Management of Tropical Forest, The Production of Wood. FAO Forestry Paper 135.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1998b. Topsoil characterization for sustainable land management. Land and Water Development Division. Soil
Resources, Management and Conservation Service, FAO of UN, Rome. Farima Farina, A. 1998. Principles and Methods in Landscape Ecology. Chapman
and Hall, London-Weinhe im-New York-Tok yo-Melbourne-Madras. Favrichon V. 1998. Modeling the dynamics and species composition of tropical
mixed species uneven-aged natural forest. Forest Science 44 1. Favrichon V. Kim YC, 1998. Modelling the dynamics of a lowland mixed
dipterocarp forest stand: application of a density-dependent matric model. In Bertault JG, Kadir, editors. Silvicultural Research in A Lowland Mixed
Dipterocap Forest of East Kalimantan. The Contributions od STREK Project, CIRAD-Foret, FORDA and PT Inhutani I. CIRAD-Foret Publication:229-245.
Finke lde y R. 1989. An Introduction to Tropical Forest Genetic. Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding, Goettingen, Germany.
Fisher RF, Bink ley. 2000. Ecology and Management of Forest Soil. Third Edition. John Wiley Sons, Inc., New York.
Ford RFC. 1977. Terminology of Forest Science Technology Practise and Product. Society of American Foresters, Washington DC. 370 p.
Ford A. 2009. Modeling for Environment. An Introduction to System Dynamics Mode ls of Environmental Systems. Island Press, Washington D.C, Covelo,
California.
Forman RTT, Gordon M. 1986. Landscape Ecology. John Willey Sons, New York.619 pp.
Forss ED, Gadow KV, Saborowski J. 1996. Growth Models for Unthinned Acacia mangium
Plantations in Sout h Kalimantan, Indo nesia. Journal of Tropical Forest Science,
84:449-462. Friend AD, Schugart HH, Running SW. 1993. A Physiology-Based Gap Model of
Forest Dynamics. Ecology Vol.74 No.3 pp.792-797. Fyllas NM, Politi PI, Galanidis A, Dimitrakopoulo PG, Arianoutsou M. 2010.
Simulating regeneration and vegetation dyna mics in Mediterranean Coniferous Forest. Ecology Modelling Journal. 34.
Gadow KV, Hui G. 1999. Modelling Forest Development. Kluwer Academic Publishers.
Gittinger JP. 1986. Economic Analysis of Agriculture Project. The Johns Hopkins University Press.
Goldsmith FB, Harrison CM, Morton AJ. 1986. Description and analysis of vegetation. Di Dalam: Moore PD, Chapman SB. Editor. Methods in Plant
Ecology. Oxford: Blackwell Scientific Publications. Grant WE, Pedersen EK, Marin SL. 1997. Ecology and Natural Resource
Management. Systems Analysis and S imulation. John Wiley Sons, Inc. Gray C, Kadariah L, Karlina 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Gregory G, Robinson. 1971. Forest Resource Economic. John Willey Sons. New
York. USA. Gunawan HR, Wartomo. 2002. A wood anatomical structure: A new approach to
measure the trees growth. Book 3th. Competitive Award Scheme-2. Berau Forest Management Profect, European Union and Ministry of Forestry RI.
Halle F, Oldeman RAA, Tomlinson PB. 1978. Tropical Trees and Forest, An Architectural Analysis. Springer Verlag Berlin-Heidelberg-New York.
Handadari T. 2005. Ekonomi Sumber Daya Hutan. Program Pascasarjana Unlam, Banjarbaru.
Hani’in O. 1999. Pemuliaan pohon hutan Indonesia menghadapi tantangan abad 21. Dalam Hardiyanto EB, editor. Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur
1999. Peluang dan Tantangan Menuju Produktifitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang.
Wanagama I. Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.
Harrison I, Laverty M, Sterling E. 2004. Alpha, Beta, and Gamma Diversity. Connexions module: m12147. 3 pp.
Hauhs M, Knauft FJ, Lange H. 2003. Algorithmic and interactive approaches to stand growth modelling. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors. Modelling
Forest System . CABI Publishing.
Husch B, Beers TW, Kershaw JA. 2003. Forest Mensuration. John Wiley Sons, Inc. New Jersey.
Indrawan A. 2000. Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan Alam Setelah Penebangan dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Disertasi. Bogor :
Program Pascasarjana, IPB. Indrawan A. 2003a. Model sistem pengelolaan tegakan hutan alam setelah
penebangan dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI. Jurnal Manajemen Hutan Tropika.
Vol.IX No.2 Juli- Desember 2003 www.andryindrawan.blogspot.com
Indrawan A. 2003b. Verifikasi mode l sistem pengelolaan tegakan hutan alam setelah penebangan dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI. Jurnal
Manajemen Hutan Tropika. Vol.IX No.2 Juli- Desember 2003.
www.andryindrawan.blogspot.com Indrawan A. 2006. Keanekaragaman Genetis. Makalah disampaikan dalam rangka
fasilitasi penerapan Sistem Silvikultur Intensif di areal IUPHHK. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Indrawan A. 2008. Sejarah perkembangan sistem silvikultur di Indonesia. Di dalam: Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem
Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan
. Kerja sama Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Prod uks i Kehut anan. Bogor.
Jennings SB, Brown ND, Sheil S. 1999. Assessing Forest Canopies and Understory Illumination: Canopy Closure, Canopy Cover and Other Measures. Forestry,
Vol.72 No.1. Kikuchi J. 1996. The growth and mycorhiza formation on naturally regeneration
dipterocarps seedling in the logged over forest in Jambi, Sumatra. In Sabarnurdin MS, Suhardi, Okimori Y, editors. Ecological Approach for
Productifity and Sustainability of Dipterocarps Forest . Prosiding. Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan Kansai Environment Engineering Center KEEC-Kyoto. Pp:38-47.
Kimmins JP. 1997. Forest Ecology: A Foundation for Sustainable Management. Prentice-Hall. New Jersey.
Kohyama T. 1993. Size Structured Tree Population in Gap Dynamic Forest. The Forest Architecture Hypothesis for the Stable Coexistance of Species. Journal
of Ecology Vol 81 No.1. pp 131-143.
Kollert W, Zuhaidi A, Weinland G. 1994. Sustainable management of dipterocarps species: silviculture and economic. In Appanah S, Khoo KC, editors:
Proceedings of The Fifth Round-Table Conference on Dipterocarps . Chiang
Mai. November 7-10, 1994. Pp: 344-379. Kozlowski TT, Pallardy SG. 1997. Physiology of Wood y Plants. Academic Press.
Kumar S, Matthias F. 2004. Molecular Genetic and Breeding of Forest Trees. Food Product Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc. New York, London,
Oxford. Labetubun MS. 2004. Metode Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur melalui
Pendekatan Model Dinamika Sistem Tesis. Bogor: Program Pascasarjana IPB.
Lamprecht H. 1989. Silviculture in the Tropics. TZ-Verlagsgesellcshaft mbH, Postfach 1164, D-6101 RoBdorf, Federal Republic of Germany.
Landsberg JJ. 1986. Physiological Ecology of Forest Production. Academic Press, Londo n.
Lee R. 1990. Forest Hydrology. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Leuschner WA. 1990. Forest Regulation, Harvest Scheduling and Planning
Techniques. Wiley, New York. 281 p. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology. John Wiley Sons, New
York. 337 pp. MacKinnon K, Hatta G, Hakimah H, Arthur M. 2000. Ekologi Kalimantan. Seri
Ekologi Indonesia, Buku III. Canadian International Development Agency CIDA, Prenhallindo, Jakarta.
Manan S. 1995. Riap dan Masa Bera di Hutan Tanaman Industri. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, Dephut RI, Jakarta.
McMurtrie RE, Rook DA, Kelliher FM. 1990. Mode lling the Yield of Pinus radiata on a Site Limited by Water and Nitrogen. Forest Ecology Management, 30:
381-413. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Chapman and Hall.
London. 179pp. Mansur I. 2008. Sistem silvikultur untuk pengelolaan hutan alam. Di dalam:
Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan
Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan . Kerja sama Fahutan IPB
dengan Ditjen Bina Prod uks i Kehut anan, Bogor.
Mendoza GA, Gumpal EC. 1987. Growth projection of a selectively cut-over forest base on residual inventor y. For.Ecol.Manage. 20:253-263.
Mengel DL, Roise JP. 1990. A diameter-class matric model for southeastern U.S. coastal plain bottomland hardwood stand. South J.Appli. 14: 189-195.
Meyer HA, Recknagel AB, Stevenson DD, Barto RA. 1961. Forest Management. The Ronald Press Company, New York.
Mitlöhner R. 2009. Natural Resources in the Tropics.: The Concepts of Forestry. Burckhardt Institute. Department Tropical Silviculture and Forest Ecology,
University of Göttinggen, Germany. Moore PD, Chapman SB. 1986. Methods in Plant Ecology. Oxford: Blackweel
Scientific Publications. Mor i T. 2001. Rehabilitation of degraded forest in lowland forest Kutai, East
Kalimantan-Indo nesia. In Kobayasi S, Trunbul JW, Toma T, Mori T, Madjid MNNA, editors. Rehabilitation of Degraded Tropical Forest Ecosytems.
CIFOR-Bogor. Pp. 17-26.
Muller-Dombois, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley and Sons, New York.
Muhammadi, Erman A, Budhi S. 2001. Analisis Sistem Dinamis. UMJ Press, Jakarta.
Na’iem M, Raharjo P. 2006. Petunjuk Teknis Pemaparan Konservasi Ex-situ Shorea leprosula. ITTO PD 10601 Rev.1 F Fahutan UGM, Yogyakarta.
Nair PKR. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publishers. ICRAF. Dordrecht-Boston-Londo n. 22 385-408.
Nguyen N, Sist P. 1998. Phenology of Some Dipterocarp. S ilviculture Research in a Low Land Mixed Dipterocarp Forest of East Kalimantan. CIRAD-FORET.
FORDA. Numata S, Yasuda M, Okuda T, Kachi N. 2006. Canopy gap dynamics of two
different forest stand in a malaysian lowland rain forest. Journal of Tropical Forest Science
, 182 pp.109-116. Nugroho B. 2002. Ana lisis Biaya Proyek Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas
Kehutanan IPB. Nyland RD. 1996. Silviculture. Concept and Applications. The McGraw-Hill
Companies, Inc. New York-Toronto. Oliver CD, Larson BC. 1990. Forest Stand Dynamics. McGraw Hill, Inc., New
York.467p.
Pamoengkas P. 2006. Kajian Aspek Vegetasi dan Kualitas Tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur. Studi Kasus di Areal PT Sari Bumi Kusuma,
Kalimantan Tengah Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Pancel L. 1993. Tropical Forestry Handbook. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Pasaribu HS. 2008. Kebijakan Penerapan Lebih dari Satu Sistem Silvikultur pada Areal IUPHHK di Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
Di dalam: Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka
Meningkatkan Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan
. Kerja sama Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Bogor: p.13-24.
[PP] Peraturan Pemerintah. 1970. Peraturan Pemerintah Republik Indo nesia Nomor 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil
Hutan. Mensekneg RI, Jakarta. [PP] Peraturan Pemerintah. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Mensekneg RI, Jakarta.
[PP] Peraturan Pemerintah. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indo nesia Nomor 3 tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No.62007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Mensekneg RI, Jakarta.
Pielou EC. 1984. The Interpretation of Ecological Data. John Wiley and Sons. New York.
Pienaar L, Page H, Rheney JW. 1990. Yield Prediction for Mechanically Site- Prepared Slash Pine Plantations. Southern Journal of Apllied Forestry,
143:104-109. Pollet A, Nasrullah. 1994. Penggunaan Metode Statistika untuk Ilmu Hayati.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Porte A, Bartelink HH. 2001. Modelling mixed forest growth: a review of models
for forest management. Eco. Model. Journal. [PT BFI] PT Balikpapan Forest Industries. 2010. Makalah Rapat Koordinasi
Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. [PT ED] PT Erna Djuliawati. 2010. Riset Pengembangan Model Silvikultur Intensif.
Konsep dan Aplikasi. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta.
[PT GM] PT Gunung Meranti. 2007a. Rencana Karya Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti Tahun 2007. PT Gunung Meranti
Banjarmasin.
[PT GM] PT Gunung Meranti. 2007b. Rencana Karya Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti Tahun 2008. PT Gunung Meranti
Banjarmasin. [PT GM] PT Gunung Meranti. 2008a. Rencana Karya Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu RKUPHHK PT Gunung Meranti Periode 2007-2016. PT Gunung Meranti Banjarmasin.
[PT GM] PT Gunung Meranti. 2008b. Rencana Karya Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti Tahun 2009. PT Gunung Meranti
Banjarmasin. [PT GM] PT Gunung Meranti. 2009. Rencana Karya Tahunan Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti Tahun 2010. PT Gunung Meranti Banjarmasin.
[PT ITCI] PT International Timber Corporation Indonesia Kayan Hutani. 2010. Laporan Pelaksanaan TPTI Intensif. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan
Silin, Ditjen BPK, Jakarta. [PT SBK] PT Sari Bumi Kusuma. 2010. Pelaksanaan Silvikultur Intensif Meranti.
Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. [PT Sarpatim] PT Sarmiento Parakantja Timber. 2010. Pelaksanaan Silvikultur
Intensif Meranti di PT Sarpatim . Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin,
Ditjen BPK, Jakarta. [PT SJK] PT Suka Jaya makmur. 2010. Hasil-Hasil Penelitian Pelaksanaan
Silvikultur Intensif. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta.
Purnomo H. 2005. Teori Sistem Komplek, Pemodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor,
Bogor. Radonsa PJ, Koprivica MJ, Lavadinovic VS. 2003. Modelling current annual height
increment of young Douglas- fir stands at different site. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors. Modelling Forest System. CABI Publishing.
Reed KL. 1980. An ecological approach to mode lling the growth of forest tress. Forest Science
. 26:33-50. Rodriguez F, De La Rosa JA, Aunos A. 2003. Modelling the diameter at breast
height growht of Populus euramericana plantation timber in Spain. In Amaro A, Reed D, Soares P, editors. Modelling Forest System. CABI Publishing.
Rombe YL, Rahardjo S, Soedarsono, Ambarita M. 1982. Tabel Volume Pohon Berdiri untuk Provinsi Kalimantan Tenga h. Direktorat Bina Program
Kehutanan, Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian RI, Bogor. Sabogal C, Robert N. 2003. Restoring Overlogged Tropical Forest. Green Earth
Technical Notes. Un-published.
Santoso B. 2008. Kebijakan penerapan multisistem silvikultur pada hutan produksi Indonesia. Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman, Ditjen Bina
Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta. Santoso H, Syaffari K, Nina M. 2008. Tinjauan Aspek Silvikultur dalam Penerapan
Multisistem Silvikultur pada Areal Hutan Produksi. Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur Pada
Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan
. Kerja sama Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Produksi Kehutanan. Bogor.
Sheil D, Ducey M. 2002. An extreme-value approach to detect clumping and application to tropical forest gap- mosaic dynamic. Jour. of Tropical Ecology.
18: pp.671-686. Shifley SR. 1987. A Generalized System of Model Forecasting Central States
Growth. USDA Forest Service. Pap. NC-279. 10 p. Sieva nen R, Burk TE. 1988. Construction of a stand growth mode l utilizing
photosynthesis and respiration relationships in individual trees. Canada Journal Forestry
Res. 18. Singh P, Pathak PS, Roy MM. 1995. Agroforestry Sistem for Sustainable Land Use.
Science Publishers, Inc. Sist P, Bertault JG. 1998. Reduced impact logging experiment: Impact at harvesting
intensities and logging techniques at stand gamage. Silvicultural research in a low land mixed dipterocarp forest of east Kalimantan. The contribution of
STREK Project CIRAD-Forest-FORDA-PT Inhutani I Jakarta.
Sist P, Fimbel R, Sheil G, Robert N, Marie H. 2003. Towards sustainable management of mixed dipterocarp forest of South East Asia: Moving Beyond
Minimum Diameter Cutting Limits. Journal Environmental Conservation 304 pp.364-374.
Siswomartono D. 1989. Ensiklope di Konservasi Sumber Daya. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Soderquist C, Peck C, Johnston D. 1996. Getting Started with the Stella Software. A Hand-On Experience. High Performance Systems, Inc, Hanover NH 03755.
Soekotjo. 1995. Bebe rapa faktor yang mempe ngaruhi riap Hutan Tanaman Industri. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, Dephut RI, Jakarta.
Soekotjo, Subiakto A. 2005. Petunjuk Teknis Dipterocarpa. ITTO PD 4100 Rev.3 F.M Fahutan UGM, Yogyakarta.
Soekotjo. 2009. Teknik S ilvikultur Intensif Silin. Gadjah Mada University Press. Soemarwoto O. 1991. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Soerianegara I, I ndrawan A. 2005. Ekologi Hutan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Solomon DS, Hosmer RA, Hayslett HT. 1986. A two stage matrix model for
predicting growth of forest stand in the Northeast. Canadian Journal of Forest Research
. 16. Stenzel G, Walbridge TA, Pearce JK. 1985. Logging and Pulpwood Production.
John Willey Sons. New York, USA. Stuckle IC, Siregar CA, Supriyanto, Kartana J. 2001. Forest Health Monitoring to
Monitor the Sustainability of Indonesian Tropical Rain Forest. ITTO and Seameo Biotrop.
Suhenda ng E. 1985. Studi model struktur tegakan hutan alam hujan tropika dataran rendah di Bengkunat Provinsi Daerah Tingkat I Lampung Tesis. Bogor :
Program Pascasarjana IPB. Suhendang E. 1998. Pengukuran riap diameter pohon meranti Shorea sp pada
hutan alam bekas tebangan. Makalah Diskusi: Pertumbuhan dan Hasil Tegakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Suhendang E. 2008. Multisistem Silvikultur dalam Perspektif Ilmu Manajemen Hutan. Di da lam: Indrawan et al. editor. Prosiding Lokakarya Nasional
Penerapan Multisistem Silvikultur Pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktifitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan
. Kerja sama Fahutan IPB dengan Ditjen Bina Produksi Kehutanan. Bogor.
Suparna N. 2010. Makalah Rapat Koordinasi Pelaksanaan Silin, Ditjen BPK, Jakarta. Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian
Kebakaran Hutan. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Sutedjo MM, Kartasapoetra AG. 1991. Pengantar Ilmu Tanah. Penerbit Rineka
Cipta, Jakarta [UU] Undang-Undang Republik Indonesia. 1967. Undang-Undang Republik
Indo nesia No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia. 1967. Undang-Undang Republik
Indo nesia No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehut anan. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia. 1968. Undang-Undang Republik
Indo nesia No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. [UU] Undang-Undang Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Republik
Indo nesia No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Meneg Sekretaris Negara RI, Jakarta.
Vanclay, J.K., 1995. Growth models for tropical forest: A synthesis of models and methods. Royal Veterinary and Agricultural University.Thor valdsensvej 57.
DK-1871 Frederiksberg, Denmark. Vanclay JK. 2001. Mode lling Forest Growth and Yield. Applications to Mixed
Tropical Forest. CABI Publishing.
Vanclay JK. 2002. Growth modeling and yield prediction for sustainable forest management. I n Shaharudd in et al. editors. Proceedings of the Malaysian-ITTO
International Workshop on Growth and Yield of Managed Tropical Forest. Forestry Department Peninsular Malaysia, Government of Malaysia and ITTO,
Kuala Lumpur. Volin VC, Buongiorno J. 1996. Effect of alternative management regimes on forest
stand structure, species composition and income: A model for the Italian Dolomites. Forest Ecology and Management 87:107-125.
Voinov A. 2008. Systems Sceince and Mode ling for Ecological Economics. Academic Press – Elsevier.
Wahjono D, Anwar. 2008. Prospek penerapan multisistem silvikultur pada unit pengelolaan hutan produksi. Puslitbang dan Konservasi Alam, Departemen
Kehutanan, Bogor. Wahyudi. 2001. Forest biomass an unutilized potency. Di dalam: Proceedings of
seminar Environment conservation through efficiency utilization of forest biomass
. JIFPRO and Faculty of Forestry Gadjah Mada University, 2001. Wahyudi. 2008. Efisiensi reduced impact logging pada kegiatan eksploitasi hutan.
Journal Hutan Tropis II2008 . Faperta Jurusan Kehutanan, Unpar,
Palangkaraya. Wahyudi. 2009a. Selective cutting and line enrichment planting silvicultural system
development on Indonesian tropical rain forest. In: GAFORN-International Summer School
, Georg-August Universität Göttingen and Universität Dresden, Germany.
Wahyudi. 2009b. Settled cultivation versus shifting cultivation to improve social prosperity and environmental quality surrounding forest region. In: GAFORN-
International Summer School , Georg-August Universität Göttingen and
Universität Dresden, Germany. Wahyudi, Matthews P. 1996. Tabel Volume Lokal di Areal PT Gunung Meranti.
Proyek Pembentukan KPHP Wilayah Kalimantan Tengah. Kerja sama Departemen Kehutanan RI dengan Overseas Development Administration
ODA Kerajaan Inggr is.
Wasis B. 2006. Perbandingan kualitas tempat tumbuh antara daur pertama dengan daur kedua pada hutan tanaman Acacia mangium Wild. Disertasi. Bogor :
Program Pascasarjana IPB. West PW. 1980. Use of diameter and basal area increment in tree growth studies.
Canada Journal Forest 10: 71-77.
Whitmore TC. 1975. Tropical Rain Forest of the Far East. Clarendon Press, Oxford. Wood GB, Wiant Jr HV. 1993. Modern Methods of Estimating Tree and Log
Volume. West Virginia University Publications Services.
Yasman I, Natadiwirya M. 2001. Dipterocarp plantation: The strategy and the approaches of PT Inhutsni I. In Tielges B, Sastrapradja SD, Rimbawanto A,
editors. In-situ and Ex-situ Conservation of Commercial Tropical Trees. ITTO- UGM. Yogyakarta. Pp. 407-412.
Lampiran 1. Daftar nama jenis pohon di areal IUPHHK PT Gunung Meranti
Nomor Nama daerah
Nama botani Famili
1 Ampas tebu
Gironniera nervosa Olacaceae
2 Anggi, marijang
Sindora beccariana Backer
Caesalpiniaceae 3
Ara Ficus variegata
Bl. Meliaceae
4 Awang, damar siput
Shorea faguetiana Heim
Dipterocarpaceae 5
Bakil Artocarpus anisophyllus
Miq. Moraceae
6 Balau
Parashorea lucida Dipterocarpaceae
7 Bangkirai
Shorea laevis Ridley
Dipterocarpaceae 8
Banitan Monocarpia kalimantanensis
Ke βler Annonaceae
9 Bayur
Pterospermum javanicum Jungh.
Sterculiaceae 10
Bengkal Nauclea subdita
Steud. Rubiaceae
11 Binjai
Mangifera decandra Ding Hou
Anacardiaceae 12
Bintangurnyamplung Calophyllum inophyllum
L. Guttiferae
13 Binuang
Octomeles sumatrana Miq.
Datiscaceae 14
Buah Aglaia silvestris
Merr. Daphniphyllaceae
15 Buni
Antidesma leucopodum Miq.
Euphorbiaceae 16
Buno Pternandra qaleata
Ridley Melastomataceae
17 Bunyau
Shorea lamellata Foxw.
Dipterocarpaceae 18
Cemara Casuarina sumatrana
Casuarinaceae 19
Cempedak Artocarpus integer
Merr Moraceae
20 Cengal
Hopea sangal Dipterocarpaceae
21 Damar
Agathis boorneensis Warb.
Araucariaceae 22
Dungunmangkulang Heritiera elata
Ridley Sterculiaceae
23 Durian
Durio zibethinus Murray.
Bombacaceae 24
Gading Diplospora singularis
Rubiaceae 25
Gaharu Aquilaria malaccensis
Lamk. Thymelaeaceae
26 Gambir
Trigonostemon malayana H.k.f.
Euphorbiaceae 27
Geronggang Cratoxylon arborescens
Blume Hyperioceae
28 Hopea jangkar
Hopea dryobalanoides Miq.
Dipterocarpaceae 29
Hovea, mangerawan Hopea mangerawan
Miq. Dipterocarpaceae
30 Inger Burung
Ixonanthea petiolaris Blume
Linaceae 31
Jabon Anthocephalus cadamba
Rubiaceae 32
Jambuan Syzigium nigricans
King Myrtaceae
33 Jelutung rawa
Dyera polyphylla Steen.
Apocynaceae 34
Jelutung, pantung Dyera costulata
Hook.f. Apocynaceae
35 Jeunjing
Archidendron scandens Fabaceae
Lampiran 1. Sambungan
Nomor Nama daerah
Nama botani Famili
36 Jingah pasir
Buchanania arborescens Blume
Anacardiaceae 37
Kapul Baccaurea macrocarpa
Mig. Euphorbiaceae
38 Kapur bukit
Dryobalanops lanceolata Burck.
Dipterocarpaceae 39
Kapur merah Dryobalanops beccarii
Dyer Dipterocarpaceae
40 Kayu arang
Diospyros elliptifolia Merr.
Ebenaceae 41
Kayu arang gunung Diospyros forbesii
Bakh. Ebenaceae
42 Kayu arang kalimantan Diospyros borneensis Hiern
Ebenaceae 43
Kayu bawang Scorodocarpus borneensis
Becc. Olaceae
44 Kayu gading
Koilodepos bantamense Hassk.
Euphorbiaceae 45
Kayu Kikir Drypetes kikir
Airy Shaw Euphorbiaceae
46 Kayu manis
Cinnamomum zeylanicum Breyn.
Lauraceae 47
Kayu seluang Vatica venulosa
Blume Dipterocarpaceae
48 Kayu tulang
Milettia atropurpurea Benth.
Leguminoceae 49
Kelampai Elateriospermum tapos
Blume Euphorbiaceae
50 Kempas madu
Koompassia excelsa Becc.
Caesalpinaceae 51
Kempas merah Koompassia malaccensis
Maing Caesalpinaceae
52 Kenari
Canarium decumanum Gaertn.
Burseraceae 53
Kenari Santiria tomentosa
Blume Burseraceae
54 Keramok
Dacryodes regusa H.J.L
Burseraceae 55
Keranji Diallium indicum
L. Caesalpinaceae
56 Keruing
Dipterocarpus borneensis V.Sl.
Dipterocarpaceae 57
Keruing bulan Dipterocarpus gracilis
Blume Dipterocarpaceae
58 Keruing tembaga
Dipterocarpus cornutus Dyer
Dipterocarpaceae 59
Keruing, tempehes Dipterocarpus tempehes
Sloot. Dipterocarpaceae
60 Keruing, tempudau
Dipterocarpus confertus Sloot.
Dipterocarpaceae 61
Ketapang Terminalia catappa
L. Combretaceae
62 Kojeng
Xylopia malayana Hook.f.Th.
Annonaceae 63
Kolaka Prunus arborea
Kalkman Rosaceae
64 Kumpang
Myristica iners Blume
Myristicaceae 65
Laban Vitex pubescens
Vahl. Verbenaceae
66 Langsat
Aglaia agglomerata M.et.P
Meliaceae 67
Lapso, jambuan Eugenia leptostemon
Miq. Myrtaceae
68 Lentang batu
Shorea platycados V.Sl.
Dipterocarpaceae 69
Lentang besar Shorea macrobalanops
Ashton Dipterocarpaceae
70 Lentang merah
Shorea leprosula Miq.
Dipterocarpaceae
Lampiran 1. Sambungan
Nomor Nama daerah
Nama botani Famili
71 Mahang
Macaranga pruinosa Muell.Arg.
Euphorbiaceae 72
Mahang putih Macaranga hypoleuca
Muell.Arg. Euphorbiaceae
73 Mahawai
Mezettia parvifolia Becc.
Annonaceae 74
Mahusum Shorea patoiensis
Ashton Dipterocarpaceae
75 Majau
Shorea lepidota Blume.
Dipterocarpaceae 76
Mandarahan Horsfieldia grandis
Warb. Myristicaceae
77 Mandarahan
Knema pallens de Wilde
Myristicaceae 78
Mangga hutan Mangifera macrocarpa
Blume Anacardiaceae
79 Manggisan
Garcinia mangostana L.
Guttiferae 80
Marijang tampar Sindora leicocarpa
Backer Caesalpinaceae
81 Marok
Shorea ochracea Sym.
Dipterocarpaceae 82
Medang Litsea firma
H.k.f Lauraceae
83 Mempaning
Costanopsis argentea A.DC.
Fagaceae 84
Meranti kuning Shorea patoiensis
Ashton Dipterocarpaceae
85 Meranti kuningan
Shorea gibbosa Brandis
Dipterocarpaceae 86
Meranti merah Shorea ovalis
Blume Dipterocarpaceae
87 Meranti merah
Shorea parvifolia Dyer.
Dipterocarpaceae 88
Meranti merah Shorea pauciflora
King Dipterocarpaceae
89 Meranti merah
Shorea smithiana Sym.
Dipterocarpaceae 90
Meranti pakik Shorea seminis
Sloot. Dipterocarpaceae
91 Meranti pasir
Parashorea densiiflora Dipterocarpaceae
92 Meranti putih
Shorea bracteolata Dyer.
Dipterocarpaceae 93
Mersawa Anisoptera costata
Korth. Dipterocarpaceae
94 Nangkaan
Artocarpus rigidus Blume
Moraceae 95
Nyatoh Madhuca sericca
Buch. Sapotaceae
96 Nyatoh
Palaqium beccarianum van Royen
Sapotaceae 97
Nyatoh tembaga Palaquium stenophyllum
H.J.Lam Sapotaceae
98 Pala hutan
Myristica maxima Warb
Myristicaceae 99
Pani-pani Bouea oppsitifolia
Meisn. Anacardiaceae
100 Pelak, kelapis, pelepek
Shorea johorensis Foxw.
Dipterocarpaceae 101
Pelepek Dipterocarpus humeratus
Sloot. Dipterocarpaceae
102 Penaga
Mesua macrantha Kosterm.
Guttiferae 103
Penguanhuru Beilschemedia dictyoneura
Kosterm. Lauraceae
104 Perupuk
Lophopetalum beccarianum Pierre
Celastraceae 105
Petai Parkia speciosa
Leguminoceae
Lampiran 1. Sambungan
Nomor Nama daerah
Nama botani Famili
106 Petaling
Ochanostachys amentacea Mast.
Olocaceae 107
Pinang-pinangan Pentace borneensis
Pierre Tiliaceae
108 Pulai
Alstonia scholaris R.Br.
Apocynaceae 109
Puspa Schima wallichii
Korth Theaceae
110 Putat
Baringtonia curranii Merr
Lecytidaceae 111
Rahung Durio dulcis
Becc. Bombacaceae
112 Rambutan
Nephelium lappaccum Linn.
Sapindaceae 113
Randuan Ceiba pentandra
Gaertn. Bombacaceae
114 Rengas manuk
Gluta wallichii Hook.f.
Anacardiaceae 115
Rengas tembaga Gluta renghas
Linne Anacardiaceae
116 Resak
Vatica pauciflora Korth.
Dipterocarpaceae 117
Resak Vatica umbonata
Hook.f. Dipterocarpaceae
118 Resak gunung
Vatica oblongifolia Hook.f.
Dipterocarpaceae 119
Resak irian Vatica rassak
Blume Dipterocarpaceae
120 Resak tembaga
Cotylelobium melanoxylon Hook.f.
Dipterocarpaceae 121
Rumpang Castanopsis paucispina
Soepadmo Fagaceae
122 Scapiumlupi
Scapium macropodum Miq.
Sterculiaceae 123
Serua Macaranga gigantea
Muell.Arg. Euphorbiaceae
124 Sialmanahun
Pternandra aurea Burkill
Melastomataceae 125
Simpur Dillenia borneensis
Hoogl. Dilleniaceae
126 Simpur batu
Dillenia indica Linne
Dilleniaceae 127
Sintuk Cinnamomum javanicum
Blume Lauraceae
128 Sirihan
Piper bettle 129
Tarap Artocarpus elasticus
Reinw. Moraceae
130 Tebukau
Litsea oppositifolia Gibbs
Lauraceae 131
Tegelam Shorea scholaris
V.SL. Dipterocarpaceae
132 Tembesu
Fagraea ceilanica Thunb.
Loganiaceae 133
Tengkawang Shorea palembanica
Miq. Dipterocarpaceae
134 Tengkawang
Shorea pinanga Scheffer
Dipterocarpaceae 135
Tengkawang Shorea stenoptera
Burch. Dipterocarpaceae
136 Terpis
Polyalthia glauca Boerl.
Annonaceae 137
Terunyan Dysoxilum alliaceum
Blume Meliaceae
138 Ulin
Eusideroxylon zwageri T.et.B.
Lauraceae 139
Waru gunung Hibiscus
sp. Malvaceae
Lampiran 2. Uji beda rata-rata terhadap riap diameter dan tinggi tanaman Shorea leprosula
pada kelerengan datar- landa i 0-15 dan kelerengan agak curam-curam 15-30
t-Test: Paired Two Sample for Means Diameter
2,08 2,44
Mean 1,955
2,07 Variance
0,00605 0,2738
Observations 2
2 Pearson Correlation
1 Hypothesized Mean Difference
df 1
t Stat -0,365079365
PT=t one-tail 0,388577251
t Critical one-tail 6,313751514
PT=t two-tail 0,777154503
t Critical two-tail 12,70620473
t hitung=0,3651 t tab 12,7062 terima Ho tidak berbeda nyata
t-Test: Paired Two Sample for Means High
268,41 319,59
Mean 275,85
298,94 Variance
25,7762 3983,6738
Observations 2
2 Pearson Correlation
1 Hypothesized Mean Difference
df 1
t Stat -0,562621832
PT=t one-tail 0,336871912
t Critical one-tail 6,313751514
PT=t two-tail 0,673743823
t Critical two-tail 12,70620473
t hitung=0,5626 t tab 12,7062 terima Ho tidak berbeda nyata
Lampiran 3. Skor penutupan tajuk pada jalur tanam a dan jalur antara b`
Jalur
Titik Densiometer
Jalur PU
Densiometer
pengamatan
Datar-Landai
A.crm-curam Datar-Landai A.crm-curam
1 1
53 59
1 1
85 84
2 55
55 2
84 85
3 45
60 3
87 86
4 45
55 4
81 82
5 50
54 5
82 85
6 47
55 6
84 83
7 45
60 7
80 81
8 27
48 8
82 84
9 35
55 9
83 82
10 50
50 10
85 85
11 55
58 11
84 84
12 60
60 12
82 85
13 65
55 13
83 82
14 55
60 14
82 81
15 57
57 15
81 85
16 55
55 16
82 84
17 60
53 17
82 83
Rata-rata 50,5
55,8 18
83 84
2 1
60 53
19 80
86 2
57 55
20 84
81 3
50 55
21 80
80 4
50 60
Rata-rata 82,7
83,4 5
55 53
2 1
86 84
6 50
60 2
84 84
7 53
48 3
82 88
8 45
55 4
82 81
9 25
50 5
82 82
10 40
50 6
83 84
11 55
60 7
83 84
12 55
55 8
82 85
13 60
53 9
83 82
14 53
60 10
81 85
15 55
55 11
83 85
16 55
55 12
85 82
17 60
53 13
83 84
Rata-rata 51,6
54,7 14
82 82
3 1
55 60
15 85
82 2
57 55
16 81
82 3
55 55
17 83
80 4
60 53
Rata-rata 82,9
83,3 5
55 60
6 55
55 Kelompok
7 53
53 Skor
8 40
60 9
40 55
10 50
48 1
11 60
60 1-25
12 60
53 2
13 60
55 26-50
14 53
55 3
15 55
53 51-75
16 55
60 4
17 55
35 76-96
Rata-rata 54,0
54,4 Catatan: Jarak antar titik pengamatan 25 m
a. Jalur tanam interval 25 m b. Jalur antara tiap PU
Lampiran 4. Prediks i volume tanaman Shorea leprosula menggunakan tiga mode l persamaan pertumbuhan
Analisis data volume pada 3 model persamaan pertumbuhan tanaman Shorea leprosula
1 Test of homogeneity of variances
2 Anova
Blok RKT Umur Tnm
Diameter cm Volume m3ha
ke tahun
P.sigmoid P.rata 2
P.kel. P.sigmoid
P.rata 2 P.kel.
1
Nursery
2 0,51
0,37 0,00
0,00 0,00
3 1
1,54 1,22
0,02 0,01
0,07 4
2 2,59
2,13 0,08
0,05 0,28
5 3
3,65 3,10
0,20 0,13
0,70 6
4 4,72
4,13 0,38
0,27 1,35
7 5
5,81 5,22
0,65 0,49
2,26 8
6 6,91
6,37 1,01
0,82 3,46
9 7
8,02 7,57
1,48 1,28
4,95 10
8 9,16
8,84 2,09
1,91 6,75
11 9
10,3 10,17
2,82 2,73
8,88 12
10 11,46
11,55 3,70
3,78 11,34
13 11
12,64 13,00
4,76 5,11
14,13 14
12 13,84
14,50 6,01
6,77 17,27
15 13
15,05 16,06
7,45 8,80
20,76 16
14 16,28
17,69 9,11
11,26 24,59
17 15
17,53 19,37
11,01 14,21
28,79 18
16 18,8
21,11 13,17
17,71 33,34
19 17
20,08 22,91
15,59 21,85
38,26 20
18 21,39
24,77 18,33
26,69 43,54
21 19
22,72 26,69
21,39 32,31
49,20 22
20 24,07
28,67 24,80
38,81 55,23
23 21
25,44 30,71
28,57 46,27
61,65 24
22 26,83
32,81 32,75
54,81 68,45
25 23
28,25 34,96
37,37 64,52
75,65 26
24 29,69
37,18 42,45
75,53 83,26
27 25
31,15 39,46
48,00 87,95
91,28 28
26 32,65
41,79 54,15
101,91 99,72
29 27
34,17 44,19
60,84 117,54
108,60 30
28 35,71
46,64 68,12
135,00 117,94
31 29
37,29 49,15
76,11 154,43
127,73 32
30 38,9
51,73 84,81
176,00 138,01
33 31
40,53 54,36
94,22 199,87
148,80 34
32 42,2
57,05 104,48
226,21 160,10
35 33
43,91 59,80
115,67 255,22
171,94 36
34 45,65
62,61 127,78
287,09 184,36
37 35
47,42 65,48
140,86 322,02
197,36 38
36 49,24
68,41 155,13
360,22 210,99
39 37
51,09 71,40
170,50 401,92
225,26 40
38 52,99
74,45 187,22
447,36 240,22
41 39
54,93 77,56
205,29 496,77
255,90 42
40 56,91
80,72 224,78
550,40 272,33
Var Volume Sum of Squares
df Mean Square
F Sig.
Between Groups 81558,42888
2 40779,21444
3,479 0,0341 Within Groups
1371437,352 117
11721,68677 Total
1452995,781 119
Nilai Sig=0,030,05 -- Terima H1 ada satu perlakuan atau lebih yang berbeda
Var Volume df1
df2 Sig.
13,97321081 2
117 3,61605E-06
Nilai Sig=0,000,05 -- Terima H1 gabungan data merupakan data yang homogen
Lampiran 5. Indek nilai penting tingkat semai pada hutan bekas tebangan Et+0 pada kelerengan datar- landai dan agak curam-curam
Kelerengan datar-landai Kelerengan agak curam-curam
No Nama lokal
Nama latin KR
FR INP
Nama lokal Nama latin
KR FR
INP 1 Meranti merah
Shorea spp1
32,3529 14,6067 46,9597 Meranti merah
Shorea spp1
34,6491 23,6364 58,2855 2 Kayu arang
Dyospyros
11,7647 5,6180 17,3827 Kayu arang
Dyospyros
19,7368 16,3636 36,1005 3 Jambuan
Syzigium sp
4,7059 5,6180 10,3239 Keranji
Diallium
12,2807 9,0909 21,3716
4 Medang
Litsea bijuga
5,2941 4,4944 9,7885 Medang
Litsea bijuga
7,4561 5,4545 12,9107
5 Keranji
Diallium
2,9412 6,7416 9,6827 Pantung
Dyera costulata
4,8246 5,4545 10,2791
6 Hopea
Hopea sp
3,5294 5,6180 9,1474 Kumpang
Myristica
2,6316 3,6364 6,2679
7 Tengkawang
Shorea spp2
5,8824 2,2472 8,1295 Mahawai
Mizzethia
2,6316 3,6364 6,2679
8 Ampas tebu
Gironniera nervosa
2,3529 4,4944 6,8473 Scapium
Scapium
2,1930 3,6364 5,8293
9 Simpur
Dillenia
2,3529 4,4944 6,8473 Ampas tebu
Gironniera nervosa
1,7544 3,6364 5,3907
10 Mahawai
Mizzethia
1,7647 3,3708 5,1355 Bayur
Pterospermum sp
1,7544 3,6364 5,3907
11 Gading
Diplospora sp
1,7647 3,3708 5,1355 Tarap
Arthocarpus sp
2,6316 1,8182 4,4498
12 Petaling
Ochanostachys sp
1,7647 3,3708 5,1355 Banitan
Monocarpia sp
1,3158 1,8182 3,1340
13 Sirihan
Piper
1,7647 3,3708 5,1355 Kenari
Canarium
1,3158 1,8182 3,1340
14 Mahang
Macaranga
2,3529 2,2472 4,6001 Manggisan
Garcinia
0,8772 1,8182 2,6954
15 Randuan
Ceiba
2,3529 2,2472 4,6001 Sirihan
Piper
0,8772 1,8182 2,6954
16 Tapos
Elateriospermum
1,7647 2,2472 4,0119 Pelepek
Dipterocarpus lowii
0,4386 1,8182 2,2568
17 Tarap
Arthocarpus sp
1,7647 2,2472 4,0119 Resak
Vatica
0,4386 1,8182 2,2568
18 Resak
Vatica
0,5882 3,3708 3,9590 Nangkaan
Arthocarpus sp
0,4386 1,8182 2,2568
19 Kayu bawang
Scorodocarpus sp
1,1765 2,2472 3,4237 Jeunjing
Archiaenaron scandens
0,4386 1,8182 2,2568
20 Pantung
Dyera costulata
1,1765 2,2472 3,4237 Kolaka
Parinari sp
0,4386 1,8182 2,2568
21 Meranti kuning
Shorea spp3
1,7647 1,1236 2,8883 Petaling
Ochanostachys sp
0,4386 1,8182 2,2568
22 Keruing
Dipterocarpus
0,5882 2,2472 2,8354 Jambuan
Syzigium sp
0,4386 1,8182 2,2568
23 Kenari
Canarium
1,1765 1,1236 2,3001 Jumlah
100 100
200 24 Kolaka
Parinari sp
1,1765 1,1236 2,3001
25 Kumpang
Myristica
1,1765 1,1236 2,3001
26 Meranti putih
Shorea spp
0,5882 1,1236 1,7118
27 Pelepek
Dipterocarpus lowii
0,5882 1,1236 1,7118
28 Nangkaan
Arthocarpus sp
0,5882 1,1236 1,7118
29 Banitan
Monocarpia sp
0,5882 1,1236 1,7118
30 Bayur
Pterospermum sp
0,5882 1,1236 1,7118
31 Jelutung
Dyera sp
0,5882 1,1236 1,7118
32 Jeunjing
Archiaenaron scandens
0,5882 1,1236 1,7118
33 Sintuk
Cinamomum
0,5882 1,1236 1,7118
Jumlah 100
100 200
100 100
200
Lampiran 6. Indek nilai penting tingkat pancang pada hutan bekas tebangan Et+0 pada kelerengan datar- landai dan agak curam-curam
Kelerengan datar-landai Kelerengan agak curam-curam
No Nama lokal
Nama latin KR
FR INP
Nama lokal Nama latin
KR FR
INP 1 Meranti mrh Shorea spp1
34,630 16,484 51,114 Kayu arang Dyospyros
16,6667 13,6364 30,3030 2 Kayu arang
Dyospyros 10,895 9,890
20,785 Meranti mrh Shorea spp1 9,2262 19,6970 28,9232
3 Medang Litsea bijuga
8,171 8,791 16,962 Keranji
Diallium 14,2857 13,6364 27,9221
4 Keruing Dipterocarpus spp
6,226 4,396 10,621 Mahawai
Mizzethia 8,6310
7,5758 16,2067 5 Keranji
Diallium 4,280 5,495
9,775 Kumpang Myristica
7,4405 4,5455 11,9859
6 Mahang Macaranga
6,226 3,297 9,522 Keruing
Dipterocarpus spp 5,9524
3,0303 8,9827 7 Simpur
Dillenia 2,335 6,593
8,928 Mahang Macaranga hypoleuca
5,9524 3,0303 8,9827
8 Mahawai Mizzethia
2,335 5,495 7,829 Medang
Litsea bijuga 3,2738
4,5455 7,8193 9 Gading
Diplospora sp 2,724 4,396
7,119 Kenari Canarium
3,5714 3,0303 6,6017
10 Hopea Hopea sp
1,946 3,297 5,242 Bayur
Pterospermum sp 4,7619
1,5152 6,2771 11 Jambuan
Syzigium sp 1,946 3,297
5,242 Scapium Scapium
2,0833 3,0303 5,1136
12 Ampas tebu Gironniera nervosa 2,724 2,198
4,922 Tapos Elateriospermum
2,0833 3,0303 5,1136
13 Nyamplung Calophyllum 1,556 3,297
4,853 Pantung Dyera costulata
1,7857 3,0303 4,8160
14 Petai Parkia
1,556 3,297 4,853 Jeunjing
Archiaenaron scanden 3,2738
1,5152 4,7890 15 Pantung
Dyera costulata 1,946 2,198
4,143 Ampas tebu Gironniera nervosa 2,0833
1,5152 3,5985 16 Kelampai
Elateriospermum sp 2,724 1,099
3,823 Jambuan Syzigium sp
1,4881 1,5152 3,0032
17 Bayur Pterospermum sp
1,556 2,198 3,754 Binuang
Octomeles sp 1,1905
1,5152 2,7056 18 Kumpang
Myristica 1,167 2,198
3,365 Sirihan Piper
1,1905 1,5152 2,7056
19 Tarap Arthocarpus sp
1,167 2,198 3,365 Terentang
Camnosperma 1,1905
1,5152 2,7056 20 Kayu bawang Scorodocarpus sp
0,778 2,198 2,976 Hovea
Hopea multiflora 0,8929
1,5152 2,4080 21 Balau
Parashorea 0,778 1,099
1,877 Resak Vatica
0,8929 1,5152 2,4080
22 Tengkawang Shorea spp4 0,389 1,099
1,488 Petai Parkia
0,8929 1,5152 2,4080
23 Bangkirai Shorea leavis
0,389 1,099 1,488 Pelepek
Dipterocarpus lowii 0,5952
1,5152 2,1104 24 Scapium
Scapium 0,389 1,099
1,488 Petaling Ochanostachys
0,5952 1,5152 2,1104
25 Banitan Monocarpia sp
0,389 1,099 1,488
26 Bombaceae Bombaceae 0,389 1,099
1,488 27 Jeunjing
Archiaenaron scandens 0,389 1,099
1,488 Jumlah
100 100
200 Jumlah 100
100 200
Lampiran 7. Indek nilai penting tingkat tiang pada hutan bekas tebangan Et+0 pada kelerengan datar- landai dan agak curam-curam
Kelerengan datar-landai Kelerengan agak curam-curam
No Nama lokal Nama latin
KR FR
DR INP Nama lokal
Nama latin KR
FR DR
INP 1 Meranti mrh Shorea spp1
40,94 14,62 40,60 96,16 Meranti mrh Shorea spp1 51,08 23,61 52,83 127,52
2 Keranji Diallium sp
11,42 13,08 12,35 36,85 Keranji Diallium sp
12,23 13,89 11,62 37,74 3 Keruing
Dipterocarpus spp 6,69 4,62 6,96 18,26 Keruing
Dipterocarpus spp 7,19 11,11 5,93 24,24
4 Bangkirai Shorea leavis
4,33 4,62 4,88 13,83 Medang Litsea sp
3,60 5,56 3,82 12,98 5 Resak
Vatica rasak 3,94 5,38 4,35 13,67 Hovea
Hopea multiflora 2,88 5,56 3,43 11,86
6 Mandarahan Knema pallens 3,54 5,38 3,76 12,69 Scapium
Scapium podocarpum 2,16 4,17 1,96 8,29
7 Ky arang Dyospyros bornensis
2,36 4,62 2,14 9,12 Kelampai Elateriospermum sp
2,16 4,17 1,87 8,19 8 Hovea
Hopea multiflora 2,36 3,85 2,74 8,94 Mahang
Macaranga sp 2,16 2,78 2,19 7,12
9 Meranti pth Shorea spp2 2,36 3,08 1,95 7,39 Jangkang
Zingiberaceae 2,16 2,78 2,14 7,08
10 Jambuan Syzigium sp
1,97 3,08 2,18 7,22 Binuang Octomeles sp
1,44 2,78 2,17 6,39 11 Medang
Litsea sp 1,97 3,08 1,97 7,02 Meranti pth Shorea spp2
2,16 2,78 1,27 6,21 12 Meranti kng Shorea spp3
1,57 3,08 1,57 6,22 Mandarahan Knema pallens 1,44 2,78 1,51 5,73
13 Jangkang Zingiberaceae
1,57 3,08 1,57 6,22 Bangkirai Shorea leavis
1,44 2,78 1,50 5,71 14 Banitan
Monocarpia sp 1,18 2,31 1,22 4,71 Jelutung
Alstonia sp 1,44 2,78 0,90 5,12
15 Tarap Arthocarpus rigidus
1,18 2,31 1,15 4,64 Meranti kng Shorea spp3 1,44 2,78 0,90 5,11
16 Kumpang Myristica iners
1,18 2,31 0,88 4,37 Penguan Beilschmedia sp
0,72 1,39 1,25 3,36 17 Binuang
Octomeles sp 0,79 1,54 0,88 3,20 Petaian
Jacaranan chelosia 0,72 1,39 1,17 3,27
18 Bintangur Calophyllum inophyllum
0,79 1,54 0,70 3,02 Galam gunungMelaleuca sp 0,72 1,39 0,97 3,08
19 Cempedak Arthocarpus spp
0,79 1,54 0,67 3,00 Ulin Eusideroxylon zwagery
0,72 1,39 0,90 3,01 20 Kelampai
Elateriospermum sp 0,79 1,54 0,65 2,97 Banitan
Polyalthia glauca 0,72 1,39 0,58 2,69
21 Pelepek Dipterocarpus lowii
0,79 1,54 0,64 2,96 Pantung Dyera costulata
0,72 1,39 0,58 2,69 22 Nyamplung Calophyllum sp
0,79 1,54 0,48 2,80 Parashorea Parashorea sp 0,72 1,39 0,50 2,61
23 Mahusum Shorea fatoiensis
0,79 0,77 0,63 2,18 24 Manggisan Garcinia sp
0,39 0,77 0,62 1,78 25 Mahang
Macaranga hypoleuca 0,39 0,77 0,58 1,74
26 Balau Parashorea lucida
0,39 0,77 0,48 1,64 27 Petaian
Jacaranan chelosia 0,39 0,77 0,42 1,59
28 Waru Hibiscus sp
0,39 0,77 0,41 1,57 29 Nangkaan
Arthocarpus spp 0,39 0,77 0,37 1,54
30 Tapos Elateriospermum tapos
0,39 0,77 0,36 1,52 31 Penguan
Beilschmedia sp 0,39 0,77 0,29 1,46
32 Cengal Hopea sangal
0,39 0,77 0,24 1,40 33 Mersawa
Anisoptera spp 0,39 0,77 0,24 1,40
34 Parashorea Parashorea sp 0,39 0,77 0,23 1,39
35 Pantung Dyera costulata
0,39 0,77 0,23 1,39 36 Scapium
Scapium podocarpum 0,39 0,77 0,21 1,38
37 Ky bawang Scorodocarpus sp 0,39 0,77 0,21 1,38
38 Balsaan Ochroma sp
0,39 0,77 0,21 1,38 Jumlah
100 100
100 300 Jumlah
100 100
100 300
Lampiran 8. Indek nilai penting tingkat pohon pada hutan bekas tebangan Et+0 pada kelerengan datar- landai dan agak curam-curam
Kelerengan datar-landai Kelerengan agak curam-curam
No Nama lokal Nama latin
KR FR
DR INP Nama lokal
Nama latin KR
FR DR
INP 1 Meranti mrh Shorea spp1
38,54 17,24 42,46 98,24 Meranti mrh Shorea spp1 48,05 20,73 54,20 122,98
2 Keranji Diallium sp
8,29 7,76 6,83 22,88 Keranji Diallium sp
9,09 10,98 8,00 28,06 3 Bangkirai
Shorea leavis 6,83 6,03 8,29 21,16 Scapium
Scapium podocarpum 6,49 8,54 5,21 20,24
4 Keruing Dipterocarpus spp
6,34 6,03 5,03 17,40 Bangkirai Shorea leavis
4,55 7,32 7,03 18,89 5 Kempas
Koompassia malaccensis 3,41 4,31 3,27 10,99 Keruing
Dipterocarpus spp 4,55 3,66 4,20 12,41
6 Medang Litsea sp
3,41 4,31 2,35 10,07 Tengkawang Shorea pinanga 1,95 4,88 1,93 8,76
7 Tengkawang Shorea pinanga 0,98 1,72 6,83 9,53 Medang
Litsea sp 2,60 3,66 1,61 7,87
8 Scapium Scapium podocarpum
2,44 4,31 2,68 9,43 Parashorea Parashorea sp 2,60 3,66 1,37 7,63
9 Kelampai Elateriospermum sp
2,44 4,31 2,35 9,09 Meranti pth Shorea spp2 2,60 3,66 1,35 7,61
10 Mandarahan Knema pallens 1,95 3,45 0,59 5,99 Kempas
Koompassia malaccensis 1,30 2,44 3,67 7,40
11 Pelepek Dipterocarpus lowii
1,46 2,59 1,76 5,81 Mandarahan Knema pallens 1,95 2,44 1,21 5,60
12 Mahawai Mezettia parvifolia
1,46 2,59 1,09 5,14 Ky arang Dyospyros bornensis
1,30 2,44 1,00 4,74 13 Meranti pth Shorea spp2
1,46 2,59 1,05 5,10 Jangkang Zingiberaceae
1,30 2,44 1,00 4,73 14 Ulin
Eusyderoxylon zwagery 1,95 1,72 1,21 4,89 Tarap
Arthocarpus rigidus 1,30 2,44 0,86 4,60
15 Hovea Hopea multiflora
1,46 2,59 0,63 4,68 Kelampai Elateriospermum sp
1,30 2,44 0,74 4,48 16 Jambuan
Syzigium sp 0,98 1,72 1,51 4,21 Resak
Vatica rasak 1,30 2,44 0,66 4,39
17 Petaian Jacaranan chelosia
1,46 1,72 0,75 3,94 Pulai Alstonia sp
1,30 2,44 0,50 4,24 18 Ky bawang Scorodocarpus sp
0,98 1,72 1,17 3,87 Meranti kng Shorea spp3 0,65 2,44 0,22 3,31
19 Meranti kng Shorea spp3 0,98 1,72 0,88 3,58 Hovea
Hopea multiflora 0,65 1,22 1,05 2,92
20 Kumpang Myristica iners
0,98 1,72 0,75 3,45 Cempedak Arthocarpus sp 0,65 1,22 0,91 2,78
21 Kapur Dryobalanops spp
0,49 0,86 1,97 3,32 Jambuan Syzigium sp
0,65 1,22 0,91 2,78 22 Tarap
Arthocarpus rigidus 0,98 1,72 0,59 3,29 Ky bawang Scorodocarpus sp
0,65 1,22 0,58 2,45 23 Bintangur
Calophyllum inophyllum 0,98 0,86 1,42 3,26 Pelepek
Dipterocarpus lowii 0,65 1,22 0,41 2,28
24 Jangkang Zingiberaceae
0,98 1,72 0,46 3,16 Banitan Polyalthia glauca
0,65 1,22 0,41 2,28 25 Parashorea Parashorea sp
0,98 1,72 0,42 3,12 Galam gunungMelaleuca sp 0,65 1,22 0,38 2,25
26 Nyatoh Palaquium sp
0,98 1,72 0,42 3,12 Mahawai Mezettia parvifolia
0,65 1,22 0,33 2,20 27 Manggisan Garcinia sp
0,98 1,72 0,34 3,03 Pantung Dyera costulata
0,65 1,22 0,25 2,12 28 Resak
Vatica rasak 0,98 0,86 0,38 2,21
29 Marijang Sindora sp
0,49 0,86 0,54 1,89 30 Mahusum
Shorea fatoiensis 0,49 0,86 0,38 1,73
31 Tapos Elateriospermum tapos
0,49 0,86 0,29 1,64 32 Balau
Parashorea lucida 0,49 0,86 0,25 1,60
33 Mersawa Anisoptera spp
0,49 0,86 0,21 1,56 34 Binuang
Octomeles sp 0,49 0,86 0,21 1,56
35 Pantung Dyera costulata
0,49 0,86 0,21 1,56 36 Nangkaan
Arthocarpus spp 0,49 0,86 0,17 1,52
37 Ky arang Dyospyros bornensis
0,49 0,86 0,17 1,52 38 Cengal
Hopea sangal 0,49 0,86 0,13 1,48
Jumlah 100
100 100
300 Jumlah 100
100 100
300
Lampiran 9. Hasil anova da n LSD terhadap riap tahunan rata-rata kelompok meranti, dipterocarp non meranti, komersial lain ditebang dan
komersial lain tidak ditebang
Sig.=0,011 0,05 terima H1 berbeda nyata
Keterangan: 1= kelompok meranti
2= kelompok dipterocarp non meranti 3= kelompok komersial lain ditebang
4= kelompok komersial lain tidak ditebang
1 2
3 4
ANOVA VAR00002
,340 3
,113 4,599
,011 ,592
24 ,025
,933 27
Bet ween Groups Wit hin Groups
Total Sum of
Squares df
Mean Square F
Sig.
Multiple Compa risons
Dependent Variable: VA R00002 LSD
-,03320 ,08396
,696 -,2065
,1401 ,21024
,08396 ,019
,0370 ,3835
,19453 ,08396
,029 ,0212
,3678 ,03320
,08396 ,696
-,1401 ,2065
,24344 ,08396
,008 ,0702
,4167 ,22773
,08396 ,012
,0544 ,4010
-,21024 ,08396
,019 -,3835
-,0370 -,24344
,08396 ,008
-,4167 -,0702
-,01571 ,08396
,853 -,1890
,1576 -,19453
,08396 ,029
-,3678 -,0212
-,22773 ,08396
,012 -,4010
-,0544 ,01571
,08396 ,853
-,1576 ,1890
J V AR00001 2,00
3,00 4,00
1,00 3,00
4,00 1,00
2,00 4,00
1,00 2,00
3,00 I V AR00001
1,00
2,00 3,00
4,00 Mean
Difference I-J
Std. Error Sig.
Lower Bound Upper Bound
95 Confidence Interval
The mean difference is signific ant at the .05 level. .
Lampiran 10. Uji beda rata-rata terhadap riap diameter dan tinggi pohon pada kelerengan datar- landai 0-15 dan kelerengan agak curam-curam
15-30
z-Test: Two Sample for Means Diameter
1,126 1,126
Mean 1,05832
1,0793 Known Variance
0,17530 0,1751
Observations 668
554 Hypothesized Mean Difference
z -0,87282
PZ=z one-tail 0,19138
z Critical one-tail 1,64485
PZ=z two-tail 0,38276
z Critical two-tail 1,95996
VARP slope1: 0,1695; slope2:0,1751 n-1120 dan z value α2=0,025: 1,96 maka z hitungz tab = -0,92 -1,96 =Terima Ho
z-Test: Two Sample for Means High
1,5 1,4
Mean 1,72021
1,731768953 Known Variance
0,04990 0,0464
Observations 668
554 Hypothesized Mean Difference
z -0,91829
PZ=z one-tail 0,17923
z Critical one-tail 1,64485
PZ=z two-tail 0,35847
z Critical two-tail 1,95996
VARP slope1: 0,0499; slope2:0,0464 n-1120 dan z value α2=0,025: 1,96 maka z hitungz tab = -0,92 -1,96 =Terima Ho
Lampiran 11. Persamaan dalam pemodelan pertumbuhan tanaman Shorea leprosula dan tegakan tinggal sistem TPTII
a. Model persamaan pertumbuhan tanaman
Daur tanaman Vo lu me_1t = Vo lu me_1t - dt + Gro wth - Cut dtINIT Volu me_ 1 = -22.8698
INFLOWS: Growth = if t ime 32 thenKons_1time2+Kons_2time+Kons_3-Kons_1time-
12+Kons_2time -1+Kons_3 else Kons_1time2+Kons_2time+Kons_3- Kons_1time-12+Kons_2time-1+Kons_3 81 100
OUTFLOWS: Cut = if Volu me_ 1136.72 then Volu me_1 10081 else 0
Vo lu me_2t = Vo lu me_2t - dt + Cut dtINIT Vo lu me_2 = 0 INFLOWS:
Cut = if Volu me_ 1136.72 then Volu me_1 10081 else 0 Kons_1 = -0.0105
Kons_2 = 5.0447 Kons_3 = -13.952
b. Model Persamaan dinamika tegakan hutan
K_Semait = K_Semait - dt + Ingrowth - Upgro wth - Siklus_Tbg - Mati_Semai INFLOWS:
Ingrowth = Penyedia_semai Laju_ingrowth1+Penyedia_semai Laju_ingro wth1Laju_ingrowth2 OUTFLOWS:
Upgrowth = K_SemaiPeluang_semai_pindah Siklus_Tbg = if modt ime,26=0 and time27 then K_Se mai else
if modtime,66=0 and time26 then K_ Semai else 0 Mati_Semai = K_ SemaiMati_alam+K_Semai Laju_TbgEfek_Tbg
Efek_Tbg = 0.0203 Laju_ingrowth1 = 0.55
Laju_ingrowth2 = 0.33 Mati_alam = 0.1
Peluang_semai_pindah = 0.2167 Penyedia_semai = 9600
Ket:
- Satu pohon tebang berefek kematian 2,03 Sist dan Bertault 1998
- Penyedia semai 9600 batangth dengan kemat ian 55 awal tahun dan 33 setelah 10 bu lan
D_0t = D_0t - dt + Growth1 dtINIT D_0 = 0 INFLOWS:
Growth1 = if Simulation=1 then Sim25 else if Simulation=2 then Sim30 else
if Simulation=3 then Sim35 else 0 Vol_per_hat = Vol_per_hat - dt + Growth2 - M dtINIT Vol_per_ha = 100
INFLOWS: Growth2 = Vol_per_haV
OUTFLOWS: M = Vol_per_haMR
B = 0.253.140.01D_02 MR =
if time=16 then 0.3938 else 0 Sim25 = if time=24 then 0.0297time2+0.8208time+0.3728 else 0
Sim30 = if time=30 then 0.0297time2+0.8208time+0.3728 else 0 Sim35 = if time=34 then 0.0297time2+0.8208time+0.3728 else 0
Simulation = 1 V = 0.0001175D_02.56177
Lampiran 11 Sambungan
- Semai mati alami 10 Appanah 1990
- Laju upgrowth semai semai pindah 21,67 Elias et al. 1997
Ko m__K_semait = Ko m__K_semait - dt + Siklus_Tbg dtINIT Ko m__K_semai = 1 Kerapatan_Pancangt = Kerapatan_Pancangt - dt + Ingrowth_pancang - Upgrowth_pancang -
Siklus_Tbg - Mati_Pancang INFLOWS:
Ingrowth_pancang = Upgrowth__semai Laju_ingrowth OUTFLOWS:
Upgrowth_pancang = Kerapatan_PancangPeluang_pancang_pindah Siklus_Tbg = if modt ime,26=0 and time27 then Kerapatan_Pancang else
if modtime,66=0 and time 26 then Kerapatan_Pancang else 0 Mati_Pancang = Kerapatan_PancangMati_alam+Laju_TbgEfek_TbgKerapatan_Pancang
Ko m__K_pancangt = Ko m__K_pancangt - dt + Siklus_Tbg dtINIT Efek_Tbg = 0.0203
Laju_ingrowth = 0.25 Mati_alam = 0.05
Peluang_pancang_pindah = 0.175 Upgrowth__semai = 4804.42
Ket:
- Satu pohon tebang berefek kematian 2,03 Sist dan Bertault 1998
- Pancang mati alami 5 Appanah 1990
- Laju upgrowth pancang pancang pindah 17,5 Elias et al. 1997
Kerapatan_tiangt = Kerapatan_tiangt - dt + Ingrowth_tiang - Upgrowth_tiang - Siklus_Tbg - Mati_Tiang
INFLOWS: Ingrowth_tiang = Upgrowth__pancangLaju_ingrowth
OUTFLOWS: Upgrowth_tiang = Kerapatan_tiangPeluang_tiang_pindah
Siklus_Tbg = if modt ime,26=0 and time27 then Kerapatan_tiang else if modtime,66=0 and time26 then Kerapatan_tiang else 0
Mati_Tiang = Kerapatan_tiangMati_alam+Kerapatan_tiangLaju_TbgEfek_Tbg Ko m__K_tiangt = Ko m__K_t iangt - dt + Siklus_Tbg dtINIT
Efek_Tbg = 3.27 Laju_ingrowth = 0.25
Mati_alam = 0.227 Peluang_tiang_pindah = 0.25
Upgrowth__pancang = 932.07 K_Phnt = K_ Phnt - dt + Ingrowth_phn - Upgrowth_Phn - Siklus_Tbg - Mati_Phn
INFLOWS: Ingrowth_phn = Upgrowth__TiangLaju_ingrowth
OUTFLOWS: Upgrowth_Phn = K_PhnPeluang_phn_pindah
Siklus_Tbg = if modt ime,26=0 and time27 then K_Phn else if modtime,66=0 and time26 then K_ Phn else 0
Mati_Phn = K_PhnMati_alam+K_PhnLaju_TbgEfek_Tbg Efek_Tbg = 0.0203 Sist dan Bertault 1998
Mati_alam = 0.079 Appanah 1990 Peluang_phn_pindah = 0.758 Whit more 1975
Upgrowth__Tiang = 122.13 Ko m__K_Phnt = Ko m__ K_Phnt - dt + Siklus_Tbg dtINIT Ko m__K_Phn = 1
Kerapatan_MTt = Kerapatan_MTt - dt + Ingrowth - Mat i_MT - Siklus_tbg dtINIT Kerapatan_MT = 0.565611.76+3.5
INFLOWS: Ingrowth = Upgrowth
Lampiran 11 Sambungan
OUTFLOWS: Mati_MT = Kerapatan_MTMati_alamMati_efek_tebang
Siklus_tbg = if Kerapatan_MT25 then Kerapatan_MT else 0 Ko m_Phn_MTt = Ko m_Phn_MTt - dt + Siklus_tbg dtINIT Ko m_Phn_MT = 0
INFLOWS: Mati_alam = 1.2667-0.0891 45+0.0022 452-0.000018453+2.0775-
0.111145+0.00186452-0.0000091453 Mati_efek_tebang = 0.005
Upgrowth = 0.5764+0.004835-0.00066 352+0.00000736353- 0.0002334.5+0.1729+0.076535-0.0029352+0.0000273 353-0.00234.5
INFLOWS: Cut4049[Meranti] = if modtime,30=0 then St4049[Meranti] else 0
Cut4049[Dipt_Non_Meranti] = if modtime,30=0 then St4049[Dipt_Non_Meranti] else 0 Cut4049[R_ Campuran] = if modtime,30=0 then St4049[R_Campuran] else 0
Cut4049[Kayu_Indah] = if mod time,30=0 then St4049[Kayu_Indah] else 0 Cut4049[Ko mersial_ Lain ] = if modt ime,30=0 then St4049[Ko mersial_ Lain] else 0
INFLOWS: St1019[Meranti]t = St1019[Meranti]t - dt + Ingrowth[Meranti] - M 1019[Meranti] -
Up G1[Meranti] dtINIT St 1019[Meranti] = 130.59 St1019[Dipt_Non_Meranti]t = St 1019[Dipt_Non_Meranti]t - dt + Ingrowth[Dipt_Non_Meranti] -
M1019[Dipt_Non_Meranti] - Up G1[Dipt_Non_Meranti] dtINIT St1019[Dipt_Non_Meranti] = 36.08
St1019[R_ Campuran]t = St1019[R_Campuran]t - dt + Ingrowth[R_ Campuran] - M1019[R_Campu ran] - Up G1[R_Campuran] dtINIT St1019[R_Campuran] = 14.51
St1019[Kayu_Indah]t = St1019[Kayu_Indah]t - dt + Ingrowth[Kayu_Indah] - M1019[Kayu_Indah] - Up G1[Kayu_Indah] dtINIT St 1019[Kayu_Indah] = 1.57
St1019[Ko mersial_ Lain]t = St1019[Ko mersial_ Lain ]t - dt + Ingrowth[Ko mersial_ Lain] - M1019[Ko mersial_Lain] - Up G1[Ko mersial_ Lain] dtINIT St1019[Ko mersial_ Lain] = 85.49
INFLOWS: Ingrowth[Meranti] = 12.3906-0.3198N[Meranti]+0.3947 B
Ingrowth[Dipt_Non_Meranti] = 2.7261+0.0289N[Dipt_Non_Meranti]-0.1396B Ingrowth[R_ Ca mpuran] = 0.583+0.0384 N[R_ Campuran]-0.0502B
Ingrowth[Kayu_Indah] = 0.583+0.0384N[Kayu_Indah]-0.0502 B Ingrowth[Ko mersial_ Lain] = 76.2581-0.4653N[Ko mersial_ Lain]-1.6808 B
OUTFLOWS: M1019[Meranti] = if t ime=0 then St1019[Meranti]CE1019[Meranti] else
St1019[Meranti]MR1019[Meranti] M1019[Dipt_Non_Meranti] = if t ime=0 then
St1019[Dipt_Non_Meranti]CE1019[Dipt_Non_Meranti] else St1019[Dipt_Non_Meranti]MR1019[Dipt_Non_Meranti]
M1019[R_Campu ran] = if t ime=0 then St 1019[R_Campu ran]CE1019[R_ Campuran] else St1019[R_ Campuran]MR1019[R_ Campuran]
M1019[Kayu_Indah] = if time=0 then St1019[Kayu_Indah]CE1019[Kayu_Indah] else St1019[Kayu_Indah]MR1019[Kayu_Indah]
M1019[Ko mersial_Lain] = if time=0 then St1019[Ko mersial_ Lain]CE1019[Ko mersial_ Lain] else St1019[Ko mersial_ Lain]M R1019[Ko mersial_ Lain]
Up G1[Meranti] = 0.1729+0.076515-0.0029152+0.0000273153-0.002 BSt 1019[Meranti] Up G1[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004815-0.00066152+0.00000736 153-
0.00023 BSt1019[Dipt_Non_Meranti] Up G1[R_ Campuran] = 7.1901-0.432315+0.0088152-0.000059 153-
0.00075 BSt1019[R_Campuran] Up G1[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 15+0.0088152-0.000059153-
0.00075 BSt1019[Kayu_Indah]
Lampiran 11 Sambungan
Up G1[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 15+0.0088 152-0.000059153- 0.00075 BSt1019[Ko mersial_ Lain]
St2029[Meranti]t = St2029[Meranti]t - dt + Up G1[Meranti] - Up G2[Meranti] - M 2029[Meranti] dtINIT St2029[Meranti] = 47.84
St2029[Dipt_Non_Meranti]t = St 2029[Dipt_Non_Meranti]t - dt + Up G1[Dipt_Non_Meranti] - Up G2[Dipt_Non_Meranti] - M2029[Dipt_Non_Meranti] dtINIT St2029[Dipt_Non_Meranti] =
17.25 St2029[R_ Campuran]t = St2029[R_Campuran]t - dt + Up G1[R_ Campuran] -
Up G2[R_ Campuran] - M2029[R_Campuran] dtINIT St2029[R_Campuran] = 7.06 St2029[Kayu_Indah]t = St2029[Kayu_Indah]t - dt + Up G1[Kayu_Indah] - Up G2[Kayu_Indah] -
M2029[Kayu_Indah] dtINIT St2029[Kayu_Indah] = 1.96 St2029[Ko mersial_ Lain]t = St2029[Ko mersial_ Lain ]t - dt + Up G1[Ko mersial_ Lain] -
Up G2[Ko mersial_Lain] - M 2029[Ko mersial_ Lain] dtINIT St2029[Ko mersial_ Lain] = 3.53 INFLOWS:
Up G1[Meranti] = 0.1729+0.076515-0.0029152+0.0000273153-0.002 BSt 1019[Meranti] Up G1[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004815-0.00066152+0.00000736 153-
0.00023 BSt1019[Dipt_Non_Meranti] Up G1[R_ Campuran] = 7.1901-0.432315+0.0088152-0.000059 153-
0.00075 BSt1019[R_Campuran] Up G1[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 15+0.0088152-0.000059153-
0.00075 BSt1019[Kayu_Indah] Up G1[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 15+0.0088 152-0.000059153-
0.00075 BSt1019[Ko mersial_ Lain] OUTFLOWS:
Up G2[Meranti] = 0.1729+0.076525-0.0029252+0.0000273253-0.002 BSt 2029[Meranti] Up G2[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004825-0.00066252+0.00000736 253-
0.00023 BSt2029[Dipt_Non_Meranti] Up G2[R_ Campuran] = 7.1901-0.432325+0.0088252-0.000059 253-
0.00075 BSt2029[R_Campuran] Up G2[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 25+0.0088252-0.000059253-
0.00075 BSt2029[Kayu_Indah] Up G2[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 25+0.0088 252-0.000059253-
0.00075 BSt2029[Ko mersial_ Lain] M2029[Meranti] = if t ime=0 then St2029[Meranti]CE2029[Meranti] else
St2029[Meranti]MR2029[Meranti] M2029[Dipt_Non_Meranti] = if t ime=0 then
St2029[Dipt_Non_Meranti]CE2029[Dipt_Non_Meranti] else St2029[Dipt_Non_Meranti]MR2029[Dipt_Non_Meranti]
M2029[R_Campu ran] = if t ime=0 then St 2029[R_Campu ran]CE2029[R_ Campuran] else St2029[R_ Campuran]MR2029[R_ Campuran]
M2029[Kayu_Indah] = if time=0 then St2029[Kayu_Indah]CE2029[Kayu_Indah] else St2029[Kayu_Indah]MR2029[Kayu_Indah]
M2029[Ko mersial_Lain] = if time=0 then St2029[Ko mersial_ Lain]CE2029[Ko mersial_ Lain] else St2029[Ko mersial_ Lain]M R2029[Ko mersial_ Lain]
St3039[Meranti]t = St3039[Meranti]t - dt + Up G2[Meranti] - Up G3[Meranti] - M 3039[Meranti] dtINIT St3039[Meranti] = 23.92
St3039[Dipt_Non_Meranti]t = St 3039[Dipt_Non_Meranti]t - dt + Up G2[Dipt_Non_Meranti] - Up G3[Dipt_Non_Meranti] - M3039[Dipt_Non_Meranti] dtINIT St3039[Dipt_Non_Meranti] =
8.63 St3039[R_ Campuran]t = St3039[R_Campuran]t - dt + Up G2[R_ Campuran] -
Up G3[R_ Campuran] - M3039[R_Campuran] dtINIT St3039[R_Campuran] = 7.84 St3039[Kayu_Indah]t = St3039[Kayu_Indah]t - dt + Up G2[Kayu_Indah] - Up G3[Kayu_Indah] -
M3039[Kayu_Indah] dtINIT St3039[Kayu_Indah] = 0.39 St3039[Ko mersial_ Lain]t = St3039[Ko mersial_ Lain ]t - dt + Up G2[Ko mersial_ Lain] -
Up G3[Ko mersia l_Lain] - M 3039[Ko mersial_ Lain] dtINIT St3039[Ko mersial_ Lain] = 13.33
Lampiran 11 Sambungan
INFLOWS: Up G2[Meranti] = 0.1729+0.076525-0.0029252+0.0000273253-0.002 BSt 2029[Meranti]
Up G2[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004825-0.00066252+0.00000736 253- 0.00023 BSt2029[Dipt_Non_Meranti]
Up G2[R_ Campuran] = 7.1901-0.432325+0.0088252-0.000059 253- 0.00075 BSt2029[R_Campuran]
Up G2[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 25+0.0088252-0.000059253- 0.00075 BSt2029[Kayu_Indah]
Up G2[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 25+0.0088 252-0.000059253- 0.00075 BSt2029[Ko mersial_ Lain]
OUTFLOWS: Up G3[Meranti] = 0.1729+0.076535-0.0029352+0.0000273353-0.002 BSt 3039[Meranti]
Up G3[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004835-0.00066352+0.00000736 353- 0.00023 BSt3039[Dipt_Non_Meranti]
Up G3[R_ Campuran] = 7.1901-0.432335+0.0088352-0.000059 353- 0.00075 BSt3039[R_Campuran]
Up G3[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 35+0.0088352-0.000059353- 0.00075 BSt3039[Kayu_Indah]
Up G3[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 35+0.0088 352-0.000059353- 0.00075 BSt3039[Ko mersial_ Lain]
M3039[Meranti] = if t ime=0 then St3039[Meranti]CE3039[Meranti] else St3039[Meranti]MR3039[Meranti]
M3039[Dipt_Non_Meranti] = if t ime=0 then St3039[Dipt_Non_Meranti]CE3039[Dipt_Non_Meranti] else
St3039[Dipt_Non_Meranti]MR3039[Dipt_Non_Meranti] M3039[R_Campu ran] = if t ime=0 then St 3039[R_Campu ran]CE3039[R_ Campuran] else
St3039[R_ Campuran]MR3039[R_ Campuran] M3039[Kayu_Indah] = if time=0 then St3039[Kayu_Indah]CE3039[Kayu_Indah] else
St3039[Kayu_Indah]MR3039[Kayu_Indah] M3039[Ko mersial_Lain] = if time=0 then St3039[Ko mersial_ Lain]CE3039[Ko mersial_ Lain] else
St3039[Ko mersial_ Lain]M R3039[Ko mersial_ Lain] St4049[Meranti]t = St4049[Meranti]t - dt + Up G3[Meranti] - Up G4[Meranti] - M 4049[Meranti] -
Cut4049[Meranti] dtINIT St4049[Meranti] = 11.76 St4049[Dipt_Non_Meranti]t = St 4049[Dipt_Non_Meranti]t - dt + Up G3[Dipt_Non_Meranti] -
Up G4[Dipt_Non_Meranti] - M4049[Dipt_Non_Meranti] - Cut4049[Dipt_Non_Meranti] dtINIT St4049[Dipt_Non_Meranti] = 3.53
St4049[R_ Campuran]t = St4049[R_Campuran]t - dt + Up G3[R_ Campuran] - Up G4[R_ Campuran] - M4049[R_Campuran] - Cut4049[R_Campuran] dtINIT
St4049[R_ Campuran] = 1.96 St4049[Kayu_Indah]t = St4049[Kayu_Indah]t - dt + Up G3[Kayu_Indah] - Up G4[Kayu_Indah] -
M4049[Kayu_Indah] - Cut4049[Kayu_Indah] dtINIT St4049[Kayu_Indah] = 0.39 St4049[Ko mersial_ Lain]t = St4049[Ko mersial_ Lain ]t - dt + Up G3[Ko mersial_ Lain] -
Up G4[Ko mersial_Lain] - M 4049[Ko mersial_ Lain] - Cut4049[Ko mersial_ Lain] dtINIT St4049[Ko mersial_ Lain] = 7.45
INFLOWS: Up G3[Meranti] = 0.1729+0.076535-0.0029352+0.0000273353-0.002 BSt 3039[Meranti]
Up G3[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004835-0.00066352+0.00000736 353- 0.00023 BSt3039[Dipt_Non_Meranti]
Up G3[R_ Campuran] = 7.1901-0.432335+0.0088352-0.000059 353- 0.00075 BSt3039[R_Campuran]
Up G3[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 35+0.0088352-0.000059353- 0.00075 BSt3039[Kayu_Indah]
Up G3[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 35+0.0088 352-0.000059353- 0.00075 BSt3039[Ko mersial_ Lain]
Lampiran 11 Sambungan
OUTFLOWS: Up G4[Meranti] = 0.1729+0.076545-0.0029452+0.0000273453-0.002 BSt 4049[Meranti]
Up G4[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004845-0.00066452+0.00000736 453- 0.00023 BSt4049[Dipt_Non_Meranti]
Up G4[R_ Campuran] = 7.1901-0.432345+0.0088452-0.000059 453- 0.00075 BSt4049[R_Campuran]
Up G4[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 45+0.0088452-0.000059453- 0.00075 BSt4049[Kayu_Indah]
Up G4[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 45+0.0088 452-0.000059453- 0.00075 BSt4049[Ko mersial_ Lain]
M4049[Meranti] = if t ime=0 then St4049[Meranti]CE4049[Meranti] else St4049[Meranti]MR4049[Meranti]
M4049[Dipt_Non_Meranti] = if t ime=0 then St4049[Dipt_Non_Meranti]CE4049[Dipt_Non_Meranti] else
St4049[Dipt_Non_Meranti]MR4049[Dipt_Non_Meranti] M4049[R_Campu ran] = if t ime=0 then St 4049[R_Campu ran]CE4049[R_ Campuran] else
St4049[R_ Campuran]MR4049[R_ Campuran] M4049[Kayu_Indah] = if time=0 then St4049[Kayu_Indah]CE4049[Kayu_Indah] else
St4049[Kayu_Indah]MR4049[Kayu_Indah] M4049[Ko mersial_Lain] = if time=0 then St4049[Ko mersial_ La in]CE4049[Ko mersial_ Lain] else
St4049[Ko mersial_ Lain]M R4049[Ko mersial_ Lain] Cut4049[Meranti] = if modtime,30=0 then St4049[Meranti] else 0
Cut4049[Dipt_Non_Meranti] = if modtime,30=0 then St4049[Dipt_Non_Meranti] else 0 Cut4049[R_ Campuran] = if modtime,30=0 then St4049[R_Campuran] else 0
Cut4049[Kayu_Indah] = if mod time,30=0 then St4049[Kayu_Indah] else 0 Cut4049[Ko mersial_ Lain ] = if modt ime,30=0 then St4049[Ko mersial_ Lain] else 0
INFLOWS: Up G4[Meranti] = 0.1729+0.076545-0.0029452+0.0000273453-0.002 BSt 4049[Meranti]
Up G4[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004845-0.00066452+0.00000736 453- 0.00023 BSt4049[Dipt_Non_Meranti]
Up G4[R_ Campuran] = 7.1901-0.432345+0.0088452-0.000059 453- 0.00075 BSt4049[R_Campuran]
Up G4[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 45+0.0088452-0.000059453- 0.00075 BSt4049[Kayu_Indah]
Up G4[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 45+0.0088 452-0.000059453- 0.00075 BSt4049[Ko mersial_ Lain]
OUTFLOWS: Up G5[Meranti] = 0.1729+0.076555-0.0029552+0.0000273553-0.002 BSt 5059[Meranti]
Up G5[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004855-0.00066552+0.00000736 553- 0.00023 BSt5059[Dipt_Non_Meranti]
Up G5[R_ Campuran] = 7.1901-0.432355+0.0088552-0.000059 553- 0.00075 BSt5059[R_Campuran]
Up G5[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 55+0.0088552-0.000059553- 0.00075 BSt5059[Kayu_Indah]
Up G5[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 55+0.0088 552-0.000059553- 0.00075 BSt5059[Ko mersial_ Lain]
INFLOWS: Up G5[Meranti] = 0.1729+0.076555-0.0029552+0.0000273553-0.002 BSt 5059[Meranti]
Up G5[Dipt_Non_Meranti] = 0.5764+0.004855-0.00066552+0.00000736 553- 0.00023 BSt5059[Dipt_Non_Meranti]
Up G5[R_ Campuran] = 7.1901-0.432355+0.0088552-0.000059 553- 0.00075 BSt5059[R_Campuran]
Up G5[Kayu_Indah] = 7.1901-0.4323 55+0.0088552-0.000059553- 0.00075 BSt5059[Kayu_Indah]
Up G5[Ko mersial_Lain] = 7.1901-0.4323 55+0.0088 552-0.000059553- 0.00075 BSt5059[Ko mersial_ Lain]
Lampiran 11 Sambungan
B = B_DnM+B_ KI+B_ KL+B_M+B_ RC B_DnM =
St1019[Dipt_Non_Meranti]0.0177+St 2029[Dipt_Non_Meranti]0.0491+St3039[Dipt_Non_Meranti ]0.0962+St4049[Dipt_Non_Meranti]0.159+St5059[Dipt_Non_Meranti]0.2375+St60up[Dipt_Non
_Meranti]0.3317 B_KI =
St1019[Kayu_Indah]0.0177+St2029[Kayu_Indah]0.0491+St 3039[Kayu_Indah]0.0962+St4049[Ka yu_Indah]0.159+St 5059[Kayu_Indah]0.2375+St60up[Kayu_Indah]0.3317
B_KL = St1019[Ko mersial_ Lain] 0.0177+St2029[Ko mersial_ Lain]0.0491+St3039[Ko mersial_ Lain]0.0962
+St4049[Ko mersial_ Lain]0.159+St5059[Ko mersial_ Lain] 0.2375+St60up[Ko mersial_ Lain]0.3317 B_M =
St1019[Meranti]0.0177+St 2029[Meranti]0.0491+St3039[Meranti]0.0962+St4049[Meranti] 0.159 +St5059[Meranti] 0.2375+St60up[Meranti] 0.3317
B_RC = St1019[R_ Campuran]0.0177+St2029[R_Campuran ]0.0491+St3039[R_Campuran] 0.0962+St4049
[R_ Campuran]0.159+St5059[R_ Campuran]0.2375+St 60up[R_ Campuran]0.3317 MR1019[Meranti] = 1.2667-0.089115+0.0022152-0.000018 153
MR1019[Dipt_Non_Meranti] = 2.0775-0.111115+0.00186 152-0.0000091153 MR1019[R_Campuran] = 5.1179-0.2896 15+0.0057152-0.000038153
MR1019[Kayu_Indah] = 5.1179-0.2896 15+0.0057 152-0.000038153 MR1019[Ko mersial_ Lain] = 5.1179-0.289615+0.0057 152-0.000038153
MR2029[Meranti] = 1.2667-0.089125+0.0022252-0.000018 253 MR2029[Dipt_Non_Meranti] = 2.0775-0.111125+0.00186 252-0.0000091253
MR2029[R_Campuran] = 5.1179-0.2896 25+0.0057252-0.000038253 MR2029[Kayu_Indah] = 5.1179-0.2896 25+0.0057 252-0.000038253
MR2029[Ko mersial_ Lain] = 5.1179-0.289625+0.0057 252-0.000038253 MR3039[Meranti] = 1.2667-0.089135+0.0022352-0.000018 353
MR3039[Dipt_Non_Meranti] = 2.0775-0.111135+0.00186 352-0.0000091353 MR3039[R_Campuran] = 5.1179-0.2896 35+0.0057352-0.000038353
MR3039[Kayu_Indah] = 5.1179-0.2896 35+0.0057 352-0.000038353 MR3039[Ko mersial_ Lain] = 5.1179-0.289635+0.0057 352-0.000038353
MR4049[Meranti] = 1.2667-0.089145+0.0022452-0.000018 453 MR4049[Dipt_Non_Meranti] = 2.0775-0.111145+0.00186 452-0.0000091453
MR4049[R_Campuran] = 5.1179-0.2896 45+0.0057452-0.000038453 MR4049[Kayu_Indah] = 5.1179-0.2896 45+0.0057 452-0.000038453
MR4049[Ko mersial_ Lain] = 5.1179-0.289645+0.0057 452-0.000038453 N[Meranti] =
St1019[Meranti]+St2029[Meranti]+St 3039[Meranti]+St4049[Meranti]+St 5059[Meranti]+St60up[Mer anti]
N[Dipt_Non_Meranti] = St1019[Dipt_Non_Meranti]+St2029[Dipt_Non_Meranti]+St 3039[Dipt_Non_Meranti]+St4049[Dipt_
Non_Meranti]+St 5059[Dipt_Non_Meranti]+St60up[Dipt_Non_Meranti] N[R_ Campuran] =
St1019[R_ Campuran]+St2029[R_ Campuran]+St3039[R_Campuran ]+St 4049[R_ Campuran]+St5059[ R_Campu ran]+St60up[R_ Campuran]
N[Kayu_Indah] = St1019[Kayu_Indah]+St2029[Kayu_Indah]+St3039[Kayu_Indah]+St4049[Kayu_Indah]+St5059[Kay
u_Indah]+St60up[Kayu_Indah] N[Ko mersial_Lain] =
St1019[Ko mersial_ Lain]+St 2029[Ko mersial_ Lain]+St 3039[Ko mersial_Lain]+St4049[Ko mersial_Lai n]+St5059[Ko mersial_ Lain]+St60up[Ko mersial_ Lain]
TabVo l45[Meranti] = 2.0192 TabVo l45[Dipt_Non_Meranti] = 1.7352
TabVo l45[R_ Campuran] = 2.0526 TabVo l45[Kayu_Indah] = 2.0526
TabVo l45[Ko mersial_ Lain] = 2.0526 TabVo l55[Meranti] = 3.3763
Lampiran 11 Sambungan
TabVo l55[Dipt_Non_Meranti] = 2.8161 TabVo l55[R_ Campuran] = 3.4856
TabVo l55[Kayu_Indah] = 3.4856 TabVo l55[Ko mersial_ Lain] = 3.4856
TabVo l65[Meranti] = 5.1797 TabVo l65[Dipt_Non_Meranti] = 4.2143
TabVo l65[R_ Campuran] = 5.4165 TabVo l65[Kayu_Indah] = 5.4165
TabVo l65[Ko mersial_ Lain] = 5.4165 Vo l4049[Meranti] = N4049[Meranti]Tab Vo l45[Meranti]
Vo l4049[Dipt_Non_Meranti] = N4049[Dipt_Non_Meranti]Tab Vol45[Dipt_Non_Meranti] Vo l4049[R_ Campuran] = N4049[R_Campuran]Tab Vo l45[R_ Campuran]
Vo l4049[Kayu_Indah] = N4049[Kayu_Indah]TabVol45[Kayu_Indah] Vo l4049[Ko mersial_ Lain] = N4049[Ko mersial_ Lain]Tab Vo l45[Ko mersial_ Lain]
Cutting Effect CE1019[Meranti] = Total_tebang[Meranti]0.0156
CE1019[Dipt_Non_Meranti] = Total_tebang[Dipt_Non_Meranti]0.0156 CE1019[R_ Campuran] = Total_tebang[R_Campuran] 0.0156
CE1019[Kayu_Indah] = Total_tebang[Kayu_Indah]0.0156 CE1019[Ko mersial_ Lain] = Total_tebang[Komersial_ Lain] 0.0156
CE2029[Meranti] = Total_tebang[Meranti]0.0133 CE2029[Dipt_Non_Meranti] = Total_tebang[Dipt_Non_Meranti]0.0133
CE2029[R_ Campuran] = Total_tebang[R_Campuran] 0.0133 CE2029[Kayu_Indah] = Total_tebang[Kayu_Indah]0.0133
CE2029[Ko mersial_ Lain] = Total_tebang[Komersial_ Lain] 0.0133 CE3039[Meranti] = Total_tebang[Meranti]0.0132
CE3039[Dipt_Non_Meranti] = Total_tebang[Dipt_Non_Meranti]0.0132 CE3039[R_ Campuran] = Total_tebang[R_Campuran] 0.0132
CE3039[Kayu_Indah] = Total_tebang[Kayu_Indah]0.0132 CE3039[Ko mersial_ Lain] = Total_tebang[Komersial_ Lain] 0.0132
CE4049[Meranti] = Total_tebang[Meranti]0.00956 CE4049[Dipt_Non_Meranti] = Total_tebang[Dipt_Non_Meranti]0.00956
CE4049[R_ Campuran] = Total_tebang[R_Campuran] 0.00956 CE4049[Kayu_Indah] = Total_tebang[Kayu_Indah]0.00956
CE4049[Ko mersial_ Lain] = Total_tebang[Komersial_ Lain] 0.00956 N4049[Meranti]t = N4049[Meranti]t - dt + Cut4049[Meranti] dtINIT N4049[Meranti] = 0
N4049[Dipt_Non_Meranti]t = N4049[Dipt_Non_Meranti]t - dt + Cut4049[Dipt_Non_Meranti] dtINIT N4049[Dipt_Non_Meranti] = 0
N4049[R_Campuran]t = N4049[R_Campuran]t - dt + Cut4049[R_ Campuran] dtINIT N4049[R_Campuran] = 0
N4049[Kayu_Indah]t = N4049[Kayu_Indah]t - dt + Cut4049[Kayu_Indah] dtINIT N4049[Kayu_Indah] = 0
N4049[Ko mersial_ Lain]t = N4049[Ko mersial_ Lain ]t - dt + Cut4049[Ko mersial_ Lain] dtINIT N4049[Ko mersial_ Lain] = 0
Total_tebang[Meranti] = 4.138 Total_tebang[Dipt_Non_Meranti] = 4.138
Total_tebang[R_Campuran] = 4.138 Total_tebang[Kayu_Indah] = 4.138
Total_tebang[Ko mersial_ Lain] = 4.138 Total_Pohon_Tebang[Kelompok_Jen is] =
N4049[Kelo mpok_Jenis]+N5059[Kelo mpok_Jen is]+N60up[Kelo mpok_Jenis] Total_Vo lu me_Tebang[Kelo mpok_Jenis] =
Vo l4049[Kelo mpok_Jen is]+Vo l5059[Kelo mpok_Jenis]+Vo l60up[Kelo mpok_Jenis]
Lampiran 12. Validasi model pertumbuhan tegakan hutan bekas tebangan menggunakan uji Chi Kwadrat
Perbandingan data hasil pengukuran PUP dengan hasil pemodelan selama 7 tahun
Catatan: Validasi model menggunakan data kerapatan pohon per ha dari pengamatan
PUP hutan bekas tebangan blok 1997 tahun pengukuran 1998 sampai 2005
No Kelompok
Kelas Data PUP Hasil model
O-E O-E
2
O-E
2
E Jumlah
pohon diameter
O E
data 1
10-19
2,550 4,284
-1,734 3,007
0,702 1
2
20-29
1,871 0,707
1,164 1,354
1,915 2
3
Meranti 30-39
2,345 1,257
1,088 1,184
0,942 3
4
40-49
1,581 1,145
0,437 0,191
0,167 4
5
50-59
1,225 0,975
0,250 0,063
0,064 5
6
60 up
1,581 1,179
0,402 0,162
0,137 6
7
10-19
0,707 1,664
-0,957 0,916
0,551 7
8
Dipt non 20-29
0,707 0,922
-0,215 0,046
0,050 8
9
meranti 30-39
1,581 1,109
0,472 0,223
0,201 9
10
40-49
1,225 1,118
0,107 0,011
0,010 10
11
50-59
1,225 0,894
0,330 0,109
0,122 11
12
60 up
0,707 0,860
-0,153 0,023
0,027 12
13
10-19
1,225 0,707
0,518 0,268
0,379 13
14
Komersial 20-29
1,225 0,707
0,518 0,268
0,379 14
15
lain ditebang 30-39
1,581 1,304
0,277 0,077
0,059 15
16
40-49
1,225 1,225
0,000 0,000
0,000 16
17
50-59
1,225 0,707
0,518 0,268
0,379 17
18
60 up
0,707 1,661
-0,954 0,911
0,548 18
19
10-19
1,225 0,707
0,518 0,268
0,379 19
20
Komersial 20-29
1,581 1,425
0,156 0,024
0,017 20
21
lain tidak 30-39
1,581 1,510
0,071 0,005
0,003 21
22
ditebang 40-49
2,345 0,943
1,402 1,965
2,083 22
23
50-59
2,121 0,707
1,414 2,000
2,828 23
24
60 up
1,225 1,273
-0,048 0,002
0,002 24
Jumlah 11,94
Keterangan = O: Observed diamati, E: Expected diharapkan Dengan
α = 0,05 dan dk=23 maka tabel א x
2 0,95
= 35,2 Kesimpulan: Terima Ho = data pengamatan dan harapan tidak berarti = homogen
0,0 0,5
1,0 1,5
2,0 2,5
3,0 3,5
4,0 4,5
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10 11 12
13 14 15 16 17
18 19 20 21 22 23
24
Kelom pok data
Ker apat
an N
ha
Pengukuran PUP Pemodelan
Lampiran 13. S ifat fisik da n kimia tanah pada lokasi penelitian a. Sifat fisik tanah
b. Sifat kimia tanah
Lokasi Kedalaman
Warna Tekstur
Kelas tekstur Struktur
Peruntukan horison
m lembab
lempung debu pasir
lahan 1
2 3
4 5
6 7
8 9
JT A
0-25 7,5 YR 44
28,93 10,65
60,42 Geluh lempung pasiran - Gumpal dengan Tanaman dark brown
Sandy clay loam agregat kurang keras
AB 26-55
10 YR 46 64,26
15,5 20,24 Lempung clay
- Permeabilitas Tanaman yellowish brown
rendah keras
B 56-100+ 10 YR 56
72,93 12,4
14,67 Lempung clay Tanaman
yellowish brown keras
JA A
0-25 7,5 YR 58
32,06 11,14
56,8 Geluh lempung pasiran - Gumpal dengan Tanaman strong brown
Sandy clay loam agregat kurang keras
AB 26-55
10 YR 56 67
14,5 18,5 Lempung clay
- Permeabilitas Tanaman yellowish brown
rendah keras
B 56-100+ 10 YR 68
73,64 12,98
13,38 Lempung clay Tanaman
brownish yellow keras
Lokasi pH
BO N
P Zn
Cu Mn
Fe K
Na Ca
Mg KTK
H
+
Al
3+
horison H
2
O Tersedia ppm
Tersedia me100 gr
me100gr
me ppm
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
13 14
15 16
JT A
4,83 21,57 50 4,01
0,1 0,8 31,7
0,1 0,34 0,48 0,41 6,5 0,41 813,1
AB 3,88 10,32
21 2,78 0,1 0,24 0,43 0,39
6,64 1,21 B
3,36 4,05 11 0,23
0,1 0,35 0,37 0,3
4,95 0,99 JA
A 3,46 35,77
73 5,44 1,11 5,82 35,8 0,15 0,29 0,45 0,41
13,26 0,46 799
AB 3,58 15,09
36 3,95 0,14 0,19 0,39 0,49
12,46 1,14 B
3,54 4,21 21 3,67
0,1 0,21 0,27 0,32 13,11 1,01
Lampiran 14. Lokasi IUPHHK PT.Gunung Meranti di Provinsi Kalimantan Tengah
Lampiran 15. Peta loka si penelitian di IUPHHK PT Gunung Meranti
PETA LOKASI PENELITIAN DI PT GUNUNG MERANTI
PROVINSI KALIMAN TAN TENG AH
Luas: 95.265 Ha
Legenda:
: Blok Sistem TPTI : Blok Sistem TPTII
: Petak Ukur Permanen : Tegakan benih
: Plasma nutf ah : Hutan kerangas
: Hutan lindung : Jalan angkutan
: Sungai
Plot penelitian sistem TPTII PT GM
PUP Sistem TPTI Penunjang data
penelitian tegakan tinggal
Tanaman meranti tahun 1994 dan 1999
Penunjang data tanaman
Lampiran 16. Peta tanah di areal kerja IUPHHK PT Gunung Meranti
Lampiran 17. Peta agroklimat wilayah Kalimantan
Lampiran 18. Tanaman dan tegakan tinggal di plot penelitian PT Gunung Meranti
Keterangan gambar: 1. Tanaman Shorea leprosula umur 1 tahun
2. Tanaman Shorea leprosula umur 11 tahun 3. Tanaman Shorea leprosula umur 16 tahun
4. Tegakan tinggal dalam jalur antara
2 1
4 3
ABSTRACT
WAHYUDI. Growth of Plantation and Residual Trees on the Intensified Indonesian Selective Cutting and Planting. Case Study in PT Gunung Meranti
Forest Concession Area, Central Kalimantan Province. Under direction of ANDRY INDRAWAN, IRDIKA MANSUR and P RIJANTO PAMOENGKAS.
Low productivity of logs is one of serious prob lems in the natural production forest management. Forest productivity on PT Gunung Meranti forest concession
was ranging from 22,41 to 34,56 m
3
ha
-1
only. Whether the Intensified Indonesian Selective Cutting and Planting IISCP system can improve forest productivity?
The research was aimed to evaluate growth of plantation and residual trees and their productivity on the IISCP System. The research was conducted on research
plots of IISCP in logged over forest of PT Gunung Meranti forest concession, Central Kalimantan Province. The research plots were involved two sub plots i.e.
plantation sub plot and residual trees sub plot. Analysis of data used growth modelling for even-aged forest and all-aged forest, important value index, species
diversity, richness and financial analysis. The result showed that mean annual increment of Shorea leprosula plantation at 2, 11 and 16 year old were 1,06 cm
year
-1
; 1,22 cm year
-1
and 1,31 cm year
-1
in diameters, respectively. Based on even-aged forest modelling, the first cycles of Shorea leprosula plantations was
32 year in the 125,14 m
3
ha
-1
of logs 40 cm up of diameters, thereby these plantations could improve the natural forest productivity. Mean annual increment
of residual trees was ranging from 0,21 to 0,76 cm year
-1
in diameter and the best growth time at 30-40 cm of trees diameter. Based on all-aged forest modelling,
the sustained first and second cycles of residual trees each were 26 year and 40 year. Structure and composition of residual trees on the logged over forest like
the all-aged forest. Species diversity was moderate furthermore species richness was moderate to high. The dominant trees were Shorea spp, Diallium spp, Shorae
laevis and Dipterocarpus spp. The IISCP system is applicable in the logged over forest with break-even point at 7 year in the Rp. 4,14 million of net present value.
Keyword: Intensified Indonesian Selective Cutting and Planting, Shorea leprosula, residual trees, cutting c ycles.
RINGKASAN
WAHYUDI. Pertumbuhan Tanaman dan Tegakan Tinggal pada Tebang Pilih Tanam Indo nesia Intens if. Studi Kasus di Areal Kerja IUPHHK-HA PT Gunung
Meranti, Provinsi Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh ANDRY INDRAWAN, IRDIKA MANSUR, da n PRIJANTO PAMOENGKAS.
Indo nesia dikenal sebagai negara dengan luas hutan tropis terluas ke-3 di dunia setelah Brasilia dan Zaire. Namun deforestasi dan degradasi hutan berjalan sangat
cepat dengan kisaran 1,8 sampai 2,84 juta hath. Permasalahan penting lainnya adalah rendahnya produktifitas hutan, yaitu berkisar antara 0,25 sampai 1,4
m
3
hath. Banyak sistem silvikultur yang telah diterapkan untuk mengelola hutan alam prod uksi, seperti Tebang Pilih Indonesia, Tebang Pilih Tanam Indonesia,
Tebang Jalur Tanam Indonesia sampai pada Tebang Pilih Tanam Jalur TPTJ, namun sistem-sistem tersebut belum ada yang menunjukkan hasil memuaskan.
Belum pernah ada sistem yang mencapai satu siklus tebangnya namun telah diganti dengan sistem lainnya.
Harapan besar bertumpu pada sistem Tebang Pilih Tanam Indo nesia Intens if TPTII yang baru diterapkan secara bertahap sejak tahun 2005. Sistem ini
memadukan teknik penanaman pengayaan pada sistem TPTI dan teknik penanaman dalam jalur pada sistem TPTJ sehingga regenerasi hutan dapat
dimuliakan, dirawat dan diawasi secara intensif. Apaka h sistem ini mampu menjawab tantangan kelestarian hutan dan peningkatan produktifitas hutan?
Untuk menjawab tantangan ini kita tidak bo leh menunggu satu siklus tebang selama 30 tahun, sebab bila hal ini dilakukan maka dikhawatirkan kerusakan
hutan akan terjadi selama puluhan tahun tanpa kita ketahui. Untuk itu diperlukan penelitian dan pemodelan dinamika tanaman dan tegakan tinggal pada sistem
TPTII untuk memprediksi pertumbuhan dan hasil pada akhir daur. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan dan hasil terhadap
tanaman meranti Shorea leprosula pada jalur tanam dan tegakan tinggal pada jalur antara sistem TPTII serta memprediksi produktifitas dan daurnya melalui
mekanisme pemode lan dinamika tegakan. Untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif maka dilakukan pengukuran terhadap struktur, komposisi,
keanekaragaman dan kekayaan jenis tegakan tinggal dalam jalur antara. Penelitian ini juga mengevaluasi tingkat kelayakan usaha sistem TPTII,
khususnya di IUPHHK PT Gunung Meranti. Penelitian dilakukan pada plot penelitian sistem TPTII di areal kerja IUPHHK-
HA PT Gunung Meranti, Provinsi Kalimantan Tengah. Plot penelitian sistem TPTII terdiri dari sub plot penelitian tanaman pada jalur tanam da n sub plot
penelitian tegakan tinggal pada jalur antara. Sub plot penelitian tanaman Shorea leprosula terdiri dari tiga jalur tanam masing- masing mempunyai lebar 3 m dan
panjang 1.000 m dengan jarak tanam dalam jalur sepanjang 2,5 m, sedangkan sub plot penelitian tegakan tinggal terdiri dari dua jalur antara masing- masing
mempunyai lebar 17 m dan panjang 1.000 m. Penga mbilan data primer dilakukan sejak tahun 2007 sampai 2010.
Data penunjang untuk pemodelan tanaman Shorea leprosula diambil dari plot penelitian tanaman Shorea leprosula yang telah berumur 11 dan 16 tahun,
sedangkan data penunjang untuk validasi mode l dinamika tegakan tingga l diambil dari hasil pengamatan pertumbuhan tegakan tinggal pada hutan bekas tebangan
selama 7 tahun 1998 sd 2005. Data penunjang dan asumsi-asumsi yang digunakan dalam pemodelan menggunakan data hasil penelitian di areal kerja PT
Gunung Meranti serta data sekunder dari hasil penelitian di areal kerja IUPHHK- HA yang telah menerapkan sistem TPTII sejak awal, seperti PT Sari Bumi
Kusuma, PT Sarpatim, P T Erna Djuliawati, PT Suka Jaya Makmur dan lain- lain. Hasil penelitian tanaman pada jalur tanam menunjukkan bahwa riap diameter
tahunan rata-rata MAI tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanam yang berumur 1, 2, 11 dan 16 tahun masing- masing sebesar 1,07 cmth; 1,06 cmth;
1,22 cmth dan 1,31 cmth. Melalui pemodelan menggunakan persamaan polinomial dapat diketahui bahwa tanaman meranti Shorea leprosula telah
mencapai daur ke-1 pada umur 32 tahun R
2
95 dengan potensi sebesar 136,72 m
3
ha yang terdiri dari 125,14 m
3
ha berdiameter 40 cm ke atas dan 11,58 m
3
ha berdiameter 30-39 cm. Pencapaian kubikasi tanaman pada da ur ke-1 ini lebih besar dibanding kubikasi yang diperoleh dari hasil tebang penyiapan lahan
sistem TPTII limit diameter 40 cm ke atas sebesar 22, 41 m
3
ha atau dari sistem TPTI sebesar 34,56 m
3
ha, sehingga hasil tanaman pada jalur tanam sistem TPTII mampu meningkatkan produktifitas hutan sebesar 458,41.
Penyebaran diameter tanaman Shorea leprosula membentuk po la persamaan polinomial dengan grafik menyerupai lonceng parabola terbalik. Dengan
meningkatnya umur tanaman maka grafik lonceng semakin bergeser ke kanan yang menandaka n terjadi pertumbuhan namun po la penyebaran diamater masih
sama seperti semula yang menyerupai pola hutan tanaman seumur even-aged forest.
PT Gunung Meranti disarankan dapat mengembangkan jenis-jenis unggulan lain seperti Shorea parvifolia, S.johorensis da n S.platyclados supaya lebih resisten
terhadap serangan hama dan penyakit, lebih fleksibel dalam memenuhi permintaan pasar yang selalu berubah, tercipta keunggulan komparatif dan
meningkatkan keanekaragaman jenis tanpa mengurangi produktifitasnya. Hasil penelitian tegakan tingga l pada jalur antara menunjukkan bahwa MAI
diameter tegakan tinggal tingkat tiang dan pohon pada jalur antara berkisar antara 0,21 sampai 0,76 cmth. Pertumbuhan tertinggi berada pada pohon-pohon
berdiameter 30 sampai 40 cm. Kelompok dipterocarpaceae mempunyai pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding kelompok non dipterocarpaceae dengan
tingkat nyata. Kelestarian produksi pada jalur antara sistem TPTII dapat tercapai dengan menerapkan siklus tebang ke-1 selama 26 tahun dan siklus tebang ke-2
selama 40 tahun de ngan mean absolute percentage error MAPE sebesar 22,6. Distribus i diameter tegakan tinggal membentuk pola persamaan eksponensial
yaitu N= 193,59.e
-0,0551DBH
untuk kelompok meranti, N= 90,055.e
-0,0674DBH
untuk kelompok dipterocarp non meranti; N=27,091.e
-0,0523DBH
untuk kelompok komersial lain di tebang dan N=364,07.e
-0,0945DBH
unt uk ko mersial lain tidak ditebang. Struktur dan kompos isi tegakan tinggal di jalur antara sistem TPTII
masih menyerupai karakteristik hutan semua umur all-aged forest dengan tingkat keanekaragaman jenis sedang dan tingkat kekayaan jenis sedang sampai
tinggi. Jenis-jenis yang mendominasi adalah meranti Shorea spp, keranji Diallium sp, keruing Dipterocarpus spp dan kayu arang Diospyros sp.
Prediksi etat volume pada siklus ke-1 menggunakan siklus tebang 30 tahun dan 35 tahun sistem TPTII masing- masing sebesar 134.135,3 m
3
th dan 160.530,3 m
3
th dengan produktifitas masing- masing 128,36 m
3
ha dan 179,36 m
3
ha. Titik impas break even point kelayakan pengelolaan hutan alam produksi sistem
TPTII dapat tercapai pada tahun ke-7 dengan nilai NPV Rp. 4.139.693,-ha dan BCR 1,03. Titik impas kelayakan dapat dicapai pada tahun ke-3 apabila harga
jual kayu bulat mencapai Rp. 1.500.000,- per m
3
. Unit manajemen yang melaksanakan pengelolaan hutan sistem TPTII selayaknya mendapat paket
pinjaman dana misalnya dari dana reboisasi dengan bunga nol persen 0 sampai tahun ke enam atau pinjaman dana dengan bunga 9 sampai tahun ke
tujuh. Berdasarkan hasil penelitian ini, produkt ifitas hutan pada siklus tebang ke-1
akan lebih besar apabila menggunakan siklus tebang 35 tahun dibanding siklus tebang 30 tahun dengan tingkat nyata. Dengan demikian siklus tebang sistem
TPTII sebaiknya selama 35 tahun. Pada kawasan hutan produksi dengan kelerengan datar sampai landai serta pada hutan rawang dan semak belukar, jalur
antara tetap difungsikan sebagai areal produksi, namun pada hutan produksi terbatas dengan kelerengan curam sampai sangat curam, jalur antara dapat
dipertimbangkan untuk areal penelitian, konservasi sumber daya genetik, pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti rotan, gaharu, minyak, tengkawang,
bahan obat, senyawa kimia dan bioaktif serta menjaga tata air dan kesuburan tanah.
Dengan tersedianya data perkembangan tanaman, tegakan tinggal, model dinamika tegakan hutan serta analisis finansial ini diharapka n dapat menciptakan
kepastian usaha dan menumbuhkan iklim yang kondusif bagi dunia usaha kehutanan melalui pelaksanaan sistem TPTII di hutan alam produksi. Para pihak
dapat menentukan potensi tanaman dan tegakan tinggal pada siklus tebang berikutnya berdasarkan riap, struktur dan komposisi tegakan tinggal masing-
masing sejak dini.
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indo nesia merupaka n negara yang memiliki hutan trop ika terluas di dunia setelah
Brasilia di Amerika Selatan dan Zaire di Afrika sekaligus menyimpan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia Whitmore 1975; MacKinnon et al. 2000.
Berdasarkan batas geografis, hutan tropika terletak antara 23½
o
LU sampai 23½
o
LS, yang dicirikan dengan lanskap yang selalu hijau, intensitas cahaya matahari merata
sepanjang tahun serta curah hujan yang relatif tinggi. Namun demikian kondisi sumberdaya hutan di Indonesia cenderung mengalami penurunan, baik kuantitas
deforestation maupun kualitasnya forest degradation, seiring dengan perubahan
lingkungan pada tingkat nasional maupun global. Laju deforestasi di Indonesia sebesar 1,8 juta hath 1985-1997 dan meningkat menjadi 2,84 juta hath 1997-
2000 Balitbanghut 2008. Kerusakan hutan banyak disebabkan oleh meningkatkannya jumlah penduduk dan
kebutuhan hasil hutan kayu Singh et al. 1995, penebangan liar illegal logging, pertambangan liar illegal minning, perladangan berpindah, okupasi masyarakat,
kebakaran hutan Indrawan 2008, Wahyudi 2009b, perambahan dan konversi hutan, pengelolaan hutan yang tidak baik Wahjono Anwar 2008 seperti pembalakan
yang melebihi batas kemampuan hutan untuk memulihkan diri penebangan melebihi riap hutan dan tidak ada keseriusan untuk merehabilitasi hutan bekas tebangan
Soekotjo 2009. Sebagai perbandingan, pada tahun 1990 jumlah produksi kayu bulat Indonesia
sebesar 28 juta m
3
yang berasal dari areal hutan produksi seluas 59,6 juta ha. Namun pada tahun 2007 jumlah produksi menurun menjadi 9,1 juta m
3
dari areal hutan produksi seluas 27,8 juta ha Soekotjo 2009. Penurunan produksi dan luas hutan ini
akan terus terjadi di masa datang apabila tidak ada pembenahan yang signifikan terhadap sistem pengelolaan hutan produksi di Indonesia. Salah satu bentuk
pe mbe nahan yang seda ng dilakuka n ada lah pe nerapa n sistem silvikultur yang sesuai dengan kondisi vegetasi dan lingkungannya sehingga mampu peningkatan
produktifitas hutan. Pada awal tahun 70-an, hutan alam Indonesia masih terjaga dengan baik.
Pengelolaan hutan alam mulai dilakukan dalam kawasan hutan alam produksi dalam
bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dulu bernama Hak Pengusahaan Hutan sejak tahun 1972 menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia
TPI. Sistem silvikultur Teba ng Pilih Tanam Indo nesia TPTI diterapkan pada tahun 1989 menggantikan sistem sebelumnya. Pada tahun 1993 mulai diujicobakan
sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia TJTI dalam skala penelitian. Sistem ini kemudian berubah menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi TJTK dan
pada tahun 1997 berubah lagi menjadi sistem Hutan Tanaman Industri de ngan Tebang Tanam Jalur HTI-TTJ. Pada tahun 1998 sistem HTI-TTJ berubah menjadi
sistem Tebang Pilih Tanam Jalur TPTJ. Pada tahun 2005 diterapkan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII dengan teknik yang mirip dengan sistem
TPTJ. Sistem TPTII mampu menggabungkan konsep penanamanpengayaan pada sistem TPTI dengan konsep penanaman dalam jalur tanam pada sistem TPTJ
sehingga kegiatan perawatan tanaman dapat lebih intensif dan mempermudah pengawasan.
Sistem TPTII yang diterapkan pada hutan bekas tebangan dan hutan rawang dipercaya dapat meningkatkan potensi hutan pada akhir daur sehingga prospek
pengusahaan hutan produksi menjadi lebih menarik Soekotjo 2009. Menurut Ditjen BPK 2005 tujuan umum teknik TPTII adalah membangun hutan tropis yang
lestari dan dinamis, yang dicirikan dengan selalu meningkatnya potensi dan fungsi hutan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, dari satu rotasi tebang ke rotasi
tebang berikutnya. Sedangkan tujuan khusus untuk membangun hutan sebagai transisi menuju hutan tanaman meranti dan untuk menjamin fungsi hutan yang
optimal. Namun demikian penelitian tentang pertumbuhan dan hasil growth and yield
serta analisis finansial tanaman dalam jalur bersih serta tegakan tinggal dalam jalur antara masih belum banyak dilakukan. Prediksi pertumbuhan da n hasil
tanaman dalam jalur bersih serta tegakan tinggal pada jalur antara yang selalu meningkat pada sistem TPTII harus didasari pada hasil penelitian yang baik dengan
memperhatikan faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pohon seperti genetik, lingkungan dan teknik silvikultur.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, faktor kelerengan datar sampai curam tidak berpengaruh nyata terhadap riap tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanam
serta tegakan tingga l dalam jalur antara sistem TPTII, sehingga analisis pertumbuhan dan hasil tanaman maupun tegakan tinggal dalam penelitian selanjutnya tidak
memperhitungkan aspek kelerengan ini.
Pengelolaan hutan dengan sistem TPTII memerlukan daur umur royek yang relatif lama sehingga investasi dan biaya kegiatan yang ditanam dapat membengkak
disebabkan akumulasi bunga selama daur. Sehubungan dengan hal tersebut, analisis finansial pada sistem TPTII
sebaiknya dilakukan pula menyertai analisis tanaman dan tegakan tinggal agar para pihak stakeholder, khususnya pihak pengusaha, dapat
mengetahui tingkat kelayakan ekonomi pada usaha ini. Perkembangan tanaman dan tegakan tinggal pada sistem silvikultur TPTII
sebaiknya segera dievaluasi dengan memanfaatkan hasil- hasil penelitian yang pernah dan sedang dilakukan, khususnya pada kondisi tempat tumbuh yang relatif sama,
untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih tepat dan akurat terhadap tingkat kelayakan sistem ini dalam menciptakan pengelolaan hutan lestari.
Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Dirjen BPK Departemen Kehutanan RI Nomor 41VI- BPHA2007, IUPHHK PT Gunung
Meranti merupakan salah satu perusahaan yang ditetapk an unt uk menerapka n sistem TPTII di areal konsesinya sehingga penelitian untuk mengetahui perkembangan
tanaman dan tegakan tinggal pada sistem TPTII dapat dilakukan di tempat ini.