Growth of plantation and residual trees on the intensified indonesian selective cutting and planting. Case study in PT Gunung Meranti Forest Concession Area, Central Kalimantan Province

(1)

PERTUMBUHAN TANAMAN DAN TEGAKAN TINGGAL

PADA TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF

Studi Kasus di Areal Kerja IUPHHK-HA PT Gunung Meranti

Provinsi Kalimantan Tengah

W A H Y U D I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pertumbuhan Tanaman dan Tegakan Tingga l pada Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif, Studi Kasus di Areal Kerja IUPHHK-HA PT Gunung Meranti Provinsi Kalimantan Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2011

Wahyudi NRP. E461070011


(3)

ABSTRACT

WAHYUDI. Growth of Plantation and Residual Trees on the Intensified Indonesian Selective Cutting and Planting. Case Study in PT Gunung Meranti Forest Concession Area, Central Kalimantan Province. Under direction of ANDRY INDRAWAN, IRDIKA MANSUR and P RIJANTO PAMOENGKAS.

Low productivity of logs is one of serious prob lems in the natural production forest management. Forest productivity on PT Gunung Meranti forest concession was ranging from 22,41 to 34,56 m3 ha-1 only. Whether the Intensified Indonesian Selective Cutting and Planting (IISCP) system can improve forest productivity? The research was aimed to evaluate growth of plantation and residual trees and their productivity on the IISCP System. The research was conducted on research plots of IISCP in logged over forest of PT Gunung Meranti forest concession, Central Kalimantan Province. The research plots were involved two sub plots i.e. plantation sub plot and residual trees sub plot. Analysis of data used growth modelling for even-aged forest and all-aged forest, important value index, species diversity, richness and financial analysis. The result showed that mean annual increment of Shorea leprosula plantation at 2, 11 and 16 year old were 1,06 cm year-1; 1,22 cm year-1 and 1,31 cm year-1 in diameters, respectively. Based on even-aged forest modelling, the first cycles of Shorea leprosula plantations was 32 year in the 125,14 m3 ha-1 of logs (40 cm up of diameters), thereby these plantations could improve the natural forest productivity. Mean annual increment of residual trees was ranging from 0,21 to 0,76 cm year-1 in diameter and the best growth time at 30-40 cm of trees diameter. Based on all-aged forest modelling, the sustained first and second cycles of residual trees each were 26 year and 40 year. Structure and composition of residual trees on the logged over forest like the all-aged forest. Species diversity was moderate furthermore species richness was moderate to high. The dominant trees were Shorea spp, Diallium spp, Shorae laevis and Dipterocarpus spp. The IISCP system is applicable in the logged over forest with break-even point at 7 year in the Rp. 4,14 million of net present value. Keyword: Intensified Indonesian Selective Cutting and Planting, Shorea leprosula, residual trees, cutting c ycles.


(4)

WAHYUDI. Pertumbuhan Tanaman dan Tegakan Tinggal pada Tebang Pilih Tanam Indo nesia Intens if. Studi Kasus di Areal Kerja IUPHHK-HA PT Gunung Meranti, Provinsi Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh ANDRY INDRAWAN, IRDIKA MANSUR, da n PRIJANTO PAMOENGKAS.

Indo nesia dikenal sebagai negara dengan luas hutan tropis terluas ke-3 di dunia setelah Brasilia dan Zaire. Namun deforestasi dan degradasi hutan berjalan sangat cepat dengan kisaran 1,8 sampai 2,84 juta ha/th. Permasalahan penting lainnya adalah rendahnya produktifitas hutan, yaitu berkisar antara 0,25 sampai 1,4 m3/ha/th. Banyak sistem silvikultur yang telah diterapkan untuk mengelola hutan alam prod uksi, seperti Tebang Pilih Indonesia, Tebang Pilih Tanam Indonesia, Tebang Jalur Tanam Indonesia sampai pada Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), namun sistem-sistem tersebut belum ada yang menunjukkan hasil memuaskan. Belum pernah ada sistem yang mencapai satu siklus tebangnya namun telah diganti dengan sistem lainnya.

Harapan besar bertumpu pada sistem Tebang Pilih Tanam Indo nesia Intens if (TPTII) yang baru diterapkan secara bertahap sejak tahun 2005. Sistem ini memadukan teknik penanaman pengayaan pada sistem TPTI dan teknik penanaman dalam jalur pada sistem TPTJ sehingga regenerasi hutan dapat dimuliakan, dirawat dan diawasi secara intensif. Apaka h sistem ini mampu menjawab tantangan kelestarian hutan dan peningkatan produktifitas hutan? Untuk menjawab tantangan ini kita tidak bo leh menunggu satu siklus tebang (selama 30 tahun), sebab bila hal ini dilakukan maka dikhawatirkan kerusakan hutan akan terjadi selama puluhan tahun tanpa kita ketahui. Untuk itu diperlukan penelitian dan pemodelan dinamika tanaman dan tegakan tinggal pada sistem TPTII untuk memprediksi pertumbuhan dan hasil pada akhir daur.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan dan hasil terhadap tanaman meranti (Shorea leprosula) pada jalur tanam dan tegakan tinggal pada jalur antara sistem TPTII serta memprediksi produktifitas dan daurnya melalui mekanisme pemode lan dinamika tegakan. Untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif maka dilakukan pengukuran terhadap struktur, komposisi, keanekaragaman dan kekayaan jenis tegakan tinggal dalam jalur antara. Penelitian ini juga mengevaluasi tingkat kelayakan usaha sistem TPTII, khususnya di IUPHHK PT Gunung Meranti.

Penelitian dilakukan pada plot penelitian sistem TPTII di areal kerja IUPHHK-HA PT Gunung Meranti, Provinsi Kalimantan Tengah. Plot penelitian sistem TPTII terdiri dari sub plot penelitian tanaman pada jalur tanam da n sub plot penelitian tegakan tinggal pada jalur antara. Sub plot penelitian tanaman Shorea leprosula terdiri dari tiga jalur tanam masing- masing mempunyai lebar 3 m dan panjang 1.000 m dengan jarak tanam dalam jalur sepanjang 2,5 m, sedangkan sub plot penelitian tegakan tinggal terdiri dari dua jalur antara masing- masing mempunyai lebar 17 m dan panjang 1.000 m. Penga mbilan data primer dilakukan sejak tahun 2007 sampai 2010.


(5)

sedangkan data penunjang untuk validasi mode l dinamika tegakan tingga l diambil dari hasil pengamatan pertumbuhan tegakan tinggal pada hutan bekas tebangan selama 7 tahun (1998 s/d 2005). Data penunjang dan asumsi-asumsi yang digunakan dalam pemodelan menggunakan data hasil penelitian di areal kerja PT Gunung Meranti serta data sekunder dari hasil penelitian di areal kerja IUPHHK-HA yang telah menerapkan sistem TPTII sejak awal, seperti PT Sari Bumi Kusuma, PT Sarpatim, P T Erna Djuliawati, PT Suka Jaya Makmur dan lain- lain. Hasil penelitian tanaman pada jalur tanam menunjukkan bahwa riap diameter tahunan rata-rata (MAI) tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanam yang berumur 1, 2, 11 dan 16 tahun masing- masing sebesar 1,07 cm/th; 1,06 cm/th; 1,22 cm/th dan 1,31 cm/th. Melalui pemodelan menggunakan persamaan polinomial dapat diketahui bahwa tanaman meranti (Shorea leprosula) telah mencapai daur ke-1 pada umur 32 tahun (R2 > 95%) dengan potensi sebesar 136,72 m3/ha yang terdiri dari 125,14 m3/ha berdiameter 40 cm ke atas dan 11,58 m3/ha berdiameter 30-39 cm. Pencapaian kubikasi tanaman pada da ur ke-1 ini lebih besar dibanding kubikasi yang diperoleh dari hasil tebang penyiapan lahan sistem TPTII (limit diameter 40 cm ke atas) sebesar 22, 41 m3/ha atau dari sistem TPTI sebesar 34,56 m3/ha, sehingga hasil tanaman pada jalur tanam sistem TPTII mampu meningkatkan produktifitas hutan sebesar 458,41%.

Penyebaran diameter tanaman Shorea leprosula membentuk po la persamaan polinomial dengan grafik menyerupai lonceng (parabola terbalik). Dengan meningkatnya umur tanaman maka grafik lonceng semakin bergeser ke kanan yang menandaka n terjadi pertumbuhan namun po la penyebaran diamater masih sama seperti semula yang menyerupai pola hutan tanaman seumur (even-aged forest).

PT Gunung Meranti disarankan dapat mengembangkan jenis-jenis unggulan lain seperti Shorea parvifolia,S.johorensis da n S.platyclados supaya lebih resisten terhadap serangan hama dan penyakit, lebih fleksibel dalam memenuhi permintaan pasar yang selalu berubah, tercipta keunggulan komparatif dan meningkatkan keanekaragaman jenis tanpa mengurangi produktifitasnya.

Hasil penelitian tegakan tingga l pada jalur antara menunjukkan bahwa MAI diameter tegakan tinggal tingkat tiang dan pohon pada jalur antara berkisar antara 0,21 sampai 0,76 cm/th. Pertumbuhan tertinggi berada pada pohon-pohon berdiameter 30 sampai 40 cm. Kelompok dipterocarpaceae mempunyai pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding kelompok non dipterocarpaceae dengan tingkat nyata. Kelestarian produksi pada jalur antara sistem TPTII dapat tercapai dengan menerapkan siklus tebang ke-1 selama 26 tahun dan siklus tebang ke-2 selama 40 tahun de ngan mean absolute percentage error (MAPE) sebesar 22,6%. Distribus i diameter tegakan tinggal membentuk pola persamaan eksponensial yaitu N= 193,59.e-0,0551DBH untuk kelompok meranti, N= 90,055.e-0,0674DBH untuk kelompok dipterocarp non meranti; N=27,091.e-0,0523DBH untuk kelompok komersial lain di tebang dan N=364,07.e-0,0945DBH unt uk ko mersial lain tidak ditebang. Struktur dan kompos isi tegakan tinggal di jalur antara sistem TPTII masih menyerupai karakteristik hutan semua umur (all-aged forest) dengan tingkat keanekaragaman jenis sedang dan tingkat kekayaan jenis sedang sampai


(6)

Prediksi etat volume pada siklus ke-1 menggunakan siklus tebang 30 tahun dan 35 tahun sistem TPTII masing- masing sebesar 134.135,3 m3/th dan 160.530,3 m3/th dengan produktifitas masing- masing 128,36 m3/ha dan 179,36 m3/ha. Titik impas (break even point) kelayakan pengelolaan hutan alam produksi sistem TPTII dapat tercapai pada tahun ke-7 dengan nilai NPV Rp. 4.139.693,-/ha dan BCR 1,03. Titik impas kelayakan dapat dicapai pada tahun ke-3 apabila harga jual kayu bulat mencapai Rp. 1.500.000,- per m3. Unit manajemen yang melaksanakan pengelolaan hutan sistem TPTII selayaknya mendapat paket pinjaman dana (misalnya dari dana reboisasi) dengan bunga nol persen (0%) sampai tahun ke enam atau pinjaman dana dengan bunga 9% sampai tahun ke tujuh.

Berdasarkan hasil penelitian ini, produkt ifitas hutan pada siklus tebang ke-1 akan lebih besar apabila menggunakan siklus tebang 35 tahun dibanding siklus tebang 30 tahun dengan tingkat nyata. Dengan demikian siklus tebang sistem TPTII sebaiknya selama 35 tahun. Pada kawasan hutan produksi dengan kelerengan datar sampai landai serta pada hutan rawang dan semak belukar, jalur antara tetap difungsikan sebagai areal produksi, namun pada hutan produksi terbatas dengan kelerengan curam sampai sangat curam, jalur antara dapat dipertimbangkan untuk areal penelitian, konservasi sumber daya genetik, pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti rotan, gaharu, minyak, tengkawang, bahan obat, senyawa kimia dan bioaktif serta menjaga tata air dan kesuburan tanah.

Dengan tersedianya data perkembangan tanaman, tegakan tinggal, model dinamika tegakan hutan serta analisis finansial ini diharapka n dapat menciptakan kepastian usaha dan menumbuhkan iklim yang kondusif bagi dunia usaha kehutanan melalui pelaksanaan sistem TPTII di hutan alam produksi. Para pihak dapat menentukan potensi tanaman dan tegakan tinggal pada siklus tebang berikutnya berdasarkan riap, struktur dan komposisi tegakan tinggal masing-masing sejak dini.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Unda ng

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(8)

PADA TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF

Studi Kasus di Areal Kerja IUPHHK-HA PT Gunung Meranti

Provinsi Kalimantan Tengah

W A H Y U D I

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(9)

di Areal Kerja IUPHHK - HA PT Gunung Meranti Provinsi Kalimantan Tengah

Oleh : W a h y u d i

NRP : E461070011

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S.

Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc.

Anggota Anggota

Dr.Ir.Prijanto Pamoengkas,M.Sc.F.Trop.

Mengetahui:

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Silvikultur Tropika

Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R., M.S. Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro,M.S.


(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, M.S.

Bagian Perencanaan Hutan pada Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB

2. Dr. Ir. Basuki Wasis, M.S.

Bagian Tanah pada Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Hadi S. Pasaribu, M.Sc.

Staf ahli Menteri Kehutanan Republik Indonesia 2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S.


(11)

Penelitian berjudul Pertumbuhan Tanaman dan Tegakan Tinggal pada Teba ng Pilih Tanaman Indo nesia Intensif (TPTII), Studi Kasus di Areal Kerja IUPHHK-HA PT Gunung Meranti Provinsi Kalimantan Tengah ini dibuat untuk mengevaluasi perkembangan pelaksanaan TPTII di Indonesia sekaligus sebagai syarat dalam penyelesaian studi program doktoral pada Program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Topik ini dipilih karena TPTII masih relatif baru diterapkan dan mengandung harapan besar untuk memperbaiki pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S.

selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc. serta Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F.Trop. selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberi arahan serta bimbingan sejak awal hingga penyelesaian penelitian ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, M.S. dan Dr. Ir. Basuki Wasis, M.S. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup; Dr.Ir.Hadi S. Pasaribu, M.Sc dan Prof.Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka; Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. selaku Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, M.S. selaku Wakil Dekan Fakultas Kehutanan IPB dan Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R., M.S. selaku Ketua Program Studi Silvikultur Trop ika IPB yang tur ut memberi masuka n untuk perbaikan disertasi ini. Disamping itu, penulis menyampaikan penghargaan kepada Pemerintah Republik Indonesia yang telah memberi beasiswa studi S3 melalui program BPPS serta orang tua, isteri dan anak-anakk u yang telah memberi semangat dan dorongan belajar.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih perlu penyempurnaan. Namun demikian penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri serta para pihak yang bergerak di bidang kehutanan, khususnya para pengambil kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan alam produksi yang menggunakan sistem TPTII.

Bogor, Januari 2011


(12)

Penulis dilahirkan di Jombang pada tanggal 13 Pebruari 1968 sebagai anak dari pasangan Konder Saranggono (alm) dan Siti Alimah. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, lulus tahun 1992. Pada tahun 2004 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Program Pascasarjana Unlam dan menamatkannya tahun 2006. Kesempatan untuk melanjutka n ke program doktor pada Program Studi (mayor) Silvikultur Tropika Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor diperoleh tahun 2007. Beasiswa pendidikan program doktor ini diperoleh dari program BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidika n Nasional.

Pada tahun 1992 penulis bekerja di Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT Gunung Meranti unit hutan alam dan hutan tanaman Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Pada tahun 2001 penulis diterima sebagai dosen tetap di Jur usan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya melalui program Ikatan Dinas.

Penulis pernah mengikuti berbagai kursus, seperti bioteknologi mikorisa, biodiversitas, Achievement Motivation Training, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Stasiun Pengamat Arus Sungai, Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Pengelolaan PUP, community development, Emotion Spiritual Quotient dan lain-lain. Berbagai seminar dan sekolah tingkat nasional dan internasional pernah diikuti termasuk seminar internasional hutan tanaman, seminar internasional keanekaragaman jenis, international summer school tahun 2009 di Goettingen-Dresde n da n international summer school di Lombok tahun 2010. Organisasi yang pernah diikuti antara lain Himpunan Mahasiswa Islam, Masyarakat Peneliti Kayu Indo nesia, Persatuan Sarjana Kehutanan Indo nesia, German Alumni Forestry Network dan German Alumni Biodiversity Network.

Pada tahun 1996 penulis menikah dengan dr. Widi Utami dan dikaruniani putra bernama Muhammad Isa Mahendra yang lahir tahun 1997 dan Hana Maria Salsabila yang lahir tahun 2005.


(13)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Status Penelitian dan Kerangka Pemikiran ... 4

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Hipotesis ... 7

2 TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1 H utan Hujan Trop is ... 8

2.2 Perkembangan Sistem Silvikultur ... 13

2.2.1 Pengertian silvikultur ... 13

2.2.2 Perkembangan sistem silvikultur ... 15

2.2.3 S istem silvikultur TPTII... 18

2.3 Pertumbuhan dan Hasil ... 21

2.4 Pemodelan Dinamika Hutan... 25

2.4.1 Pengertian ... 25

2.4.2 Model pertumbuhan tegakan hutan ... 27

2.4.3 Ingrowth, upgrowth dan mortality ... 30

2.5 Analisis Fina nsial Proyek Pengusahaan Hutan ... 33

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 36

3.1 Letak dan Luas ... 36

3.2 Penataan Areal Kerja... 37

3.3 Jenis Tanah ... 37

3.4 Topografi ... 39

3.5 P enutupan Vegetasi ... 39

3.6 Iklim ... 40

3.7 Sosial Ekonomi ... 41

4 METODE PENELITIAN ... 43

4.1 Lokasi Penelitian ... 43

4.2 Pengambilan Data ... 43

4.2.1 Pengambilan data tanaman... 43

4.2.2 Pengambilan data tegakan tinggal... 44


(14)

4.3.2 Analisis tegakan tinggal ... 49

4.3.3 A nalisis sensitifitas... 54

4.3.4. Evaluasi model ... 54

4.3.5 E tat luas dan etat volume ... 55

4.4.6 Analisis finansial ... 56

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58

5.1 Tanaman Meranti dalam Jalur Tanam... 58

5.1.1 Pertumbuhan tanaman meranti... 58

5.1.2 Pemilihan jenis tanaman... 61

5.1.3 Faktor lingkungan ... 63

5.1.4 D istribusi diameter tanaman meranti ... 68

5.1.5 Luas areal efektif tanaman ... 69

5.1.6 Model pertumbuhan dan hasil tanaman meranti ... 70

5.1.7. Daur tanaman meranti pada jalur tanam ... 81

5.2 Tegakan Tinggal dalam Jalur Antara ... 83

5.2.1 Pertumbuhan tegakan tinggal ... 83

5.2.2 Faktor lingkungan ... 86

5.2.3 Distribusi diameter pohon ... 88

5.2.4 Model pertumbuhan dan hasil tegaka n tinggal ... 89

5.2.5 Respon pengelolaan hutan dengan sistem TPTII pada tegakan tinggal di jalur antara ... 98

5.2.6 Evaluasi model ... 104

5.2.7 A nalisis sensitifitas... 104

5.3 Analisis Vegetasi Tegakan Tinggal... 105

5.3.1 Analisis vegetasi tingkat semai ... 106

5.3.2 Analisis vegetasi tingkat pancang ... 108

5.3.3 Analisis vegetasi tingkat tiang... 111

5.3.4 Analisis vegetasi tingkat pohon... 113

5.3.5 Perbandingan analisis vegetasi tingkat semai, pancang, tiang da n po hon ... 116

5.3.6 Analisis vegetasi kelompok jenis ... 119

5.4 Analisis Finansial Sistem TPTII di PT Gunung Meranti ... 123

5.4.1 Etat luas ... 123

5.4.2 Etat volume ... 125

5.4.3 Analisis finansial ... 131

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 137

6.1 Kesimpulan... 137

6.2 Saran ... 137

DAFTAR PUSTAKA ... 139


(15)

1. Perbatasan areal kerja PT Gunung Meranti... 36

2. Penataan areal kerja PT Gunung Meranti ... 37

3. Daftar klasifikasi kelerengan lahan di areal PT Gunung Meranti ... 39

4. Kondisi pe nutupa n lahan di areal krja PT Gunung Meranti... 40

5. Data curah hujan di areal kerja PT Gunung Meranti ... 41

6. Luas desa da n jumlah pe nduduk d i Kecamatan Kapuas Hulu dan Sumber Barito Provinsi Kalimantan Tengah ... 42

7. Data pertumbuhan tanaman Shorea leprosula pada jalur tanam sistem TPTII di PT Gunung Meranti... 58

8. Jenis tanaman dipterocarpaceae yang disarankan untuk dikembangkan ... 62

9. Lima sub model persamaan tanaman berdasarkan riap... 75

10. Perbandinga n hasil prediksi diameter dan volume pada tiga model persamaan pertumbuhan tanaman Shorea leprosula... 77

11. Uji LSD volume tanaman pada tiga model persamaan pertumbuhan ... 78

12. Hasil prediksi diameter tanaman Shorea leprosula pada beberapa umur tanaman ... 79

13. Hasil prediksi volume tanaman Shorea leprosula pada beberapa umur tanaman ... 80

14. Sensitifitas parameter-parameter dalam model ... 83

15. MAI diameter pada empat kelompok jenis pohon di lokasi penelitian... 84

16. Sensitifitas parameter-parameter dalam model pertumbuhan tegaka n hutan... 104

17. Tiga jenis dominan tingkat semai pada hutan bekas tebangan Et+0... 107

18. Indek keanekaragaman jenis tingkat semai pada hutan bekas teba ngan Et+0... 108

19. Empa t jenis dominan tingkat pancang pada hutan bekas teba ngan Et+0 ... 109

20. Indek keanekaragaman jenis tingkat pancang pada hutan bekas teba ngan Et+0... 110

21. Tiga jenis dominan tingkat tiang pada hutan bekas teba ngan Et+0 ... 112

22. Indek keanekaragaman jenis tingkat tiang pada hutan bekas teba ngan Et+0... 112


(16)

24. Indek keanekaragaman jenis tingkat pohon pada hutan bekas

teba ngan Et+0... 116 25. Keanekaragaman jenis semai, pancang, tiang dan pohon

pada hutan bekas tebangan Et+0 ... 117 26. INP kelompok jenis pada hutan bekas tebangan Et+0 ... 120 27. Kerapatan semai, pancang, tiang dan pohon pada hutan bekas

tebangan Et+0 di lokasi penelitian dan beberapatempat lain ... 121 28. Perbandinga n etat volume siklus ke-1 dan ke-2 pada penerapan

siklus tebang 30 tahun dan 35 tahun ... 130 29. Standar biaya operasional lapangan sistem TPTII ... 131 30. Nilai NPV (Rp/ha) pada pengelolaan hutan sistem TPTII ... 133 31. Analisis sensitifitas pada harga jual ka yu bulat da n tingka t suku


(17)

1. Bagan alir perkembangan sistem silvikultur TPTII di Indonesia... 5

2. Kerangka pemikiran pengelolaan hutan dengan sistem silvikultur TPTII . 6 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan da n hasil pohon ... 21

4. Kurva pertumbuhan po hon (CAI dan MAI)... 24

5. Layout lokasi penelitian ... 44

6. Sub plot pengukuran pengukuran semai, pancang, tiang dan pohon ... 45

7. Layar densiometer (a) dan pengelompokan tingkat penutupan tajuk berdasarkan skala densiometer ... 46

8. Kurva sigmoid, M AI da n CAI po hon meranti... 61

9. Gambar tingkat penutupan tajuk dengan skor 51 berdasarkan skala densiometer ... 64

10. Dinamika struktur tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanam ... 68

11. Proporsi luas areal efektif dan tidak efektif dalam jalur tanam... 70

12. Diagram umpan balik pertumbuhan tanaman Shorea leprosula ... 72

13. Pertumbuhan diameter Shorea leprosula menggunakan pola persamaan eksponensial ... 73

14. Pertumbuhan diameter Shorea leprosula menggunakan pola persamaan polinomial ... 74

15. Prediksi volume tanaman per ha pada tiga model persamaan... 78

16. Respon pertumbuhan volume tanaman Shorea leprosula terhadap pemanenan dengan asumsi terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh siklus ke-2 ... 82

17. Pola penyebaran kecepatan pertumbuhan diameter pada empat kelompok po hon ... 85

18. Distribusi diameter empat kelompok pohon pada hutan bekas teba ngan Et+0... 88

19. Diagram umpan balik dinamika tegakan hutan ... 90

20. Model perkembangan tingkat semai setelah pemanenan ... 92

21. Model perkembangan tingkat pancang setelah pemanenan ... 92

22. Model perkembangan tingkat tiang setelah pemanenan ... 92

23. Model perkembangan tingkat pohon setelah pemanenan ... 93


(18)

PT Gunung Meranti... 100 26. Respon perkembangan kerapatan tingkat semai terhadap

pemanenan jenis komersial ditebang sistem TPTII di areal

kerja PT Gunung Meranti... 101 27. Respon perkembangan kerapatan tingkat pancang terhadap

pemanenan jenis komersial ditebang sistem TPTII di areal

kerja PT Gunung Meranti... 102 28. Respon perkembangan kerapatan tingkat tiang terhadap

pemanenan jenis komersial ditebang sistem TPTII di areal

kerja PT Gunung Meranti... 102 29. Respon perkembangan kerapatan tingkat pohon terhadap

pemanenan jenis komersial ditebang sistem TPTII di areal

kerja PT Gunung Meranti... 103 30. INP jenis dominan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon ... 117 31. Perbandingan nilai keanekaragaman jenis pada hutan bekas tebangan

Et+0 di PT Gunung Meranti, PT Ratah Timber Co dan PT Sari Bumi

Kusuma... 118 32. Perbandinga n pe nyeba ran po hon de ngan indikator kerapatan tingkat

semai, pancang, tiang dan pohon ... 122 33. Bagan alir penataan areal kerja PT Gunung Meranti ... 124 34. Model perkembangan tegakan tinggal pada jalur antara sistem

TPTII menggunakan fungsi kerapatan ... 127 35. Fluktuasi kerapa tan po hon masak tebang (N/ha) dalam kelas diameter

40-49 cm pada siklus tebang 30 tahun ... 128 36. Akumulasi kerapatan pohon masak tebang (N/ha) dalam kelas

diameter 40-49 cm pada siklus tebang 35 tahun ... 129 37. Nilai NPV (Rp/ha) pengelolaan hutan sistem TPTII pada saat harga

jual kayu bulat berdiameter 40-49 cm dan 50 cm ke atas masing- masing sebesar Rp.1,15 juta per m3 dan Rp. 1,3 juta pe r m3 dengan


(19)

Halaman

1. Daftar nama jenis pohon di areal IUPHHK PT Gunung Meranti ... 153

2. Uji beda rata-rata terhadap riap diameter dan tinggi tanaman Shorea leprosula pada kelerengan datar- landa i (0%-15%) dan kelerengan agak curam-curam (15%-30%) ... 157

3. Skor penutupan tajuk pada jalur tanam dan jalur antara ... 158

4. Prediksi volume tanaman Shorea leprosula menggunakan tiga model persamaan pertumbuhan... 159

5. Indek nilai penting tingkat semai pada hutan bekas tebangan (Et+0) pada kelerengan datar- landai dan agak curam-curam ... 160

6. Indek nilai penting tingkat pancang pada hutan bekas tebangan (Et+0) pada kelerengan datar- landai dan agak curam-curam ... 161

7. Indek nilai penting tingkat tiang pada hutan bekas tebangan (Et+0) pada kelerengan datar- landai dan agak curam-curam ... 162

8. Indek nilai penting tingkat pohon pada hutan bekas tebangan (Et+0) pada kelerengan datar- landai dan agak curam-curam ... 163

9. Hasil anova dan uji LSD terhadap riap tahunan rata-rata kelompok meranti, d ipterocarp non meranti, komersial lain ditebang dan komersial lain tidak ditebang ... 164

10. Uji beda rata-rata terhadap riap diameter dan tinggi pohon pada kelerengan datar- landai (0%-15%) dan kelerengan agak curam-curam (15%-30%) ... 165

11. Persamaan dalam pemodelan pertumbuhan tanaman dan tegakan tinggal ... ` 166

12. Validasi model pertumbuhan tegakan hutan menggunakan data PUP TPTI selama 7 tahun ... 174

13. Sifat fisik da n kimia tanah pada lokasi penelitian... 175

14. Peta lokasi areal IUPHHK PT Gunung Meranti di Provins i Kalimantan Tengah ... 176

15. Peta lokasi penelitian di PT Gunung Meranti ... 177

16. Peta tanah di areal kerja IUPHHK PT Gunung Meranti ... 178

17. Peta agroklimat wilayah Kalimantan ... 179


(20)

(21)

1.1 Latar Belakang

Indo nesia merupaka n negara yang memiliki hutan trop ika terluas di dunia setelah Brasilia di Amerika Selatan dan Zaire di Afrika sekaligus menyimpan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (Whitmore 1975; MacKinnon et al. 2000). Berdasarkan batas geografis, hutan tropika terletak antara 23½o LU sampai 23½o LS, yang dicirikan dengan lanskap yang selalu hijau, intensitas cahaya matahari merata sepanjang tahun serta curah hujan yang relatif tinggi. Namun demikian kondisi sumberdaya hutan di Indonesia cenderung mengalami penurunan, baik kuantitas (deforestation) maupun kualitasnya (forest degradation), seiring dengan perubahan lingkungan pada tingkat nasional maupun global. Laju deforestasi di Indonesia sebesar 1,8 juta ha/th (1985-1997) dan meningkat menjadi 2,84 juta ha/th (1997-2000) (Balitbanghut 2008).

Kerusakan hutan banyak disebabkan oleh meningkatkannya jumlah penduduk dan kebutuhan hasil hutan kayu (Singh et al. 1995), penebangan liar (illegal logging), pertambangan liar (illegal minning ), perladangan berpindah, okupasi masyarakat, kebakaran hutan (Indrawan 2008, Wahyudi 2009b), perambahan dan konversi hutan, pengelolaan hutan yang tidak baik (Wahjono & Anwar 2008) seperti pembalakan yang melebihi batas kemampuan hutan untuk memulihkan diri (penebangan melebihi riap hutan) dan tidak ada keseriusan untuk merehabilitasi hutan bekas tebangan (Soekotjo 2009).

Sebagai perbandingan, pada tahun 1990 jumlah produksi kayu bulat Indonesia sebesar 28 juta m3 yang berasal dari areal hutan produksi seluas 59,6 juta ha. Namun pada tahun 2007 jumlah produksi menurun menjadi 9,1 juta m3 dari areal hutan produksi seluas 27,8 juta ha (Soekotjo 2009). Penurunan produksi dan luas hutan ini akan terus terjadi di masa datang apabila tidak ada pembenahan yang signifikan terhadap sistem pengelolaan hutan produksi di Indonesia. Salah satu bentuk pe mbe nahan yang seda ng dilakuka n ada lah pe nerapa n sistem silvikultur yang sesuai dengan kondisi vegetasi dan lingkungannya sehingga mampu peningkatan produktifitas hutan.

Pada awal tahun 70-an, hutan alam Indonesia masih terjaga dengan baik. Pengelolaan hutan alam mulai dilakukan dalam kawasan hutan alam produksi dalam


(22)

bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (dulu bernama Hak Pengusahaan Hutan) sejak tahun 1972 menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI). Sistem silvikultur Teba ng Pilih Tanam Indo nesia (TPTI) diterapkan pada tahun 1989 menggantikan sistem sebelumnya. Pada tahun 1993 mulai diujicobakan sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) dalam skala penelitian. Sistem ini kemudian berubah menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi (TJTK) dan pada tahun 1997 berubah lagi menjadi sistem Hutan Tanaman Industri de ngan Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ). Pada tahun 1998 sistem HTI-TTJ berubah menjadi sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Pada tahun 2005 diterapkan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dengan teknik yang mirip dengan sistem TPTJ. Sistem TPTII mampu menggabungkan konsep penanaman/pengayaan pada sistem TPTI dengan konsep penanaman dalam jalur tanam pada sistem TPTJ sehingga kegiatan perawatan tanaman dapat lebih intensif dan mempermudah pengawasan.

Sistem TPTII yang diterapkan pada hutan bekas tebangan dan hutan rawang dipercaya dapat meningkatkan potensi hutan pada akhir daur sehingga prospek pengusahaan hutan produksi menjadi lebih menarik (Soekotjo 2009). Menurut Ditjen BPK (2005) tujuan umum teknik TPTII adalah membangun hutan tropis yang lestari dan dinamis, yang dicirikan dengan selalu meningkatnya potensi dan fungsi hutan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, dari satu rotasi tebang ke rotasi tebang berikutnya. Sedangkan tujuan khusus untuk membangun hutan sebagai transisi menuju hutan tanaman meranti dan untuk menjamin fungsi hutan yang optimal. Namun demikian penelitian tentang pertumbuhan dan hasil (growth and yield) serta analisis finansial tanaman dalam jalur bersih serta tegakan tinggal dalam jalur antara masih belum banyak dilakukan. Prediksi pertumbuhan da n hasil tanaman dalam jalur bersih serta tegakan tinggal pada jalur antara yang selalu meningkat pada sistem TPTII harus didasari pada hasil penelitian yang baik dengan memperhatikan faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pohon seperti genetik, lingkungan dan teknik silvikultur.

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, faktor kelerengan datar sampai curam tidak berpengaruh nyata terhadap riap tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanam serta tegakan tingga l dalam jalur antara sistem TPTII, sehingga analisis pertumbuhan dan hasil tanaman maupun tegakan tinggal dalam penelitian selanjutnya tidak memperhitungkan aspek kelerengan ini.


(23)

Pengelolaan hutan dengan sistem TPTII memerlukan daur (umur royek) yang relatif lama sehingga investasi dan biaya kegiatan yang ditanam dapat membengkak disebabkan akumulasi bunga selama daur. Sehubungan dengan hal tersebut, analisis finansial pada sistem TPTII sebaiknya dilakukan pula menyertai analisis tanaman dan tegakan tinggal agar para pihak (stakeholder), khususnya pihak pengusaha, dapat mengetahui tingkat kelayakan ekonomi pada usaha ini.

Perkembangan tanaman dan tegakan tinggal pada sistem silvikultur TPTII sebaiknya segera dievaluasi dengan memanfaatkan hasil- hasil penelitian yang pernah dan sedang dilakukan, khususnya pada kondisi tempat tumbuh yang relatif sama, untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih tepat dan akurat terhadap tingkat kelayakan sistem ini dalam menciptakan pengelolaan hutan lestari.

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan (Dirjen BPK) Departemen Kehutanan RI Nomor 41/VI- BPHA/2007, IUPHHK PT Gunung Meranti merupakan salah satu perusahaan yang ditetapk an unt uk menerapka n sistem TPTII di areal konsesinya sehingga penelitian untuk mengetahui perkembangan tanaman dan tegakan tinggal pada sistem TPTII dapat dilakukan di tempat ini.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang dihadapi sektor kehutanan, setidaknya pada dua dasawarsa terakhir, adalah tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan serta rendahnya produktifitas hutan alam produksi di Indo nesia. Laju deforestasi sebesar 1,8 juta ha/th pada periode 1985-1997 dan meningkat menjadi 2,84 juta ha/th pada periode 1997-2000 (Balitbanghut 2008). Sampai tahun 2003 produktifitas hutan alam di Indonesia hanya sebesar 1,1-1,4 m3/ha/th dan sampai tahun 2007 turun menjadi 0,46 m3/ha/th (Ditjen BPK 2010b). Menurut Suparna (2010) produktifitas hutan alam tahun 2009 hanya 0,25 m3/ha/th.

Rendahnya produktifitas hutan alam menyebabkan iklim usaha pengelolaan hutan alam produksi menjadi kurang menarik. Banyak pengusaha yang mengalihkan bidang usahanya di luar sektor kehutanan ini. Hutan cenderung mengalami degradasi dan kawasan hutan cenderung dikonversi (deforestasi) baik yang dilakukan secara legal maupun illegal. Kondisi semacam ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut namun harus segera dicarika n solus inya . Salah satu upa ya unt uk mengatasi masalah ini adalah memperbaiki dan menerapka n sistem silvikultur yang mampu


(24)

meningkatkan produktifitas hutan sekaligus dapat menjaga kualitas lingk ungan serta memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat.

Sistem silvikultur untuk pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia sering mengalami perubahan meskipun pelaksanaannya belum mencapai satu siklus tebang. Banyak yang meragukan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan sistem TPTI terutama dari segi produktifitas, namun sistem ini masih dipertahankan karena dipercaya mempunyai dampak lingkungan yang paling kecil, sambil menunggu munculnya sistem silvikultur alternatif yang dapat memperbaiki kekurangan pada sistem silvikultur sebelumnya dengan target utama tercapainya kelestarian hutan dengan indikator kelestarian produksi, ekologi dan sosial. Apakah sistem TPTII mampu menjawab tantangan ini?

1.3 Status Pe nelitian dan Ke rangka Pe mikiran

Menurut Mitlöhner (2009) dan Suhendang (2008) paradigma baru pengelolan hutan saat ini adalah pendekatan pada bentuk hutan alam (close to the natural forest). Coates dan Philip (1997) menambahkan bahwa penebangan hutan dalam bentuk celah (gap) lebih sesuai dengan kondisi hutan alam karena menyerupai fenomena pohon atau ke lompok po hon yang mati (robo h) da n terjadi regenerasi da lam gap tersebut. Sistem silvikultur yang sesuai dengan maksud tersebut adalah polycyclic system melalui sistem tebang pilih (selective cutting) baik dalam bentuk tebang individu seperti TPI dan TPTI atau tebang kelompok dalam bentuk rumpang atau jalur (TPTII atau TPTJ). Sistem silvikultur TPTII mampu menggabungan antara tebang individu dan tebang kelompok serta penerapan prinsip-prinsip tebang habis dengan permudaan buatan (THPB) dalam satu kesatuan pengelolaan seperti terlihat pada Gambar 1.

Kawasan hutan di Indonesia saat ini telah terfragmentasi menjadi beberapa tipe penutupan lahan, seperti hutan primer, hutan sekunder, hutan rawang (low potential forest), hutan bekas penebangan liar, hutan bekas kebakaran, semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong (Indrawan 2008; Pasaribu 2008). Lanskap hutan produksi yang berbentuk mosaik (Suhendang 2008) seperti ini sudah tidak memungkinkan diterapkan sistem silvikultur tunggal (Pasaribu 2008).

Konsep pengelolaan hutan yang mendasarkan pada asumsi stabilitas jangka panjang sudah tidak efektif lagi dalam memenuhi kebutuhan dan berawal dari


(25)

pemikiran ini maka lahirlah konsep multiple patch design yang kemudian berkembang menjadi multisistem silvikultur (Multiple Silvicultural System). Menurut Indrawan (2008) multisistem silvikultur sudah saatnya diterapkan pada hutan produksi agar setiap bagian hutan mendapatkan perlakuan silvikultur yang sesuai dengan kondisinya.

Gambar 1. Bagan alir perkembangan sistem silvikultur di Indonesia

Kerangka pemikiran (logical framework) dibangun berdasarkan sejarah pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia beserta semua input da n output yang bekerja pada sistem silvikultur TPTII dengan sasaran akhir berupa kelayakan sistem yang dicirikan melalui kelestarian produksi, ekologi dan sosial.

Fungsi Hutan

(UU No.41/1999) Hutan Hutan Hutan Konservasi Lindung Produksi

Degradasi hutan Hutan terfragmentasi Deforestasi

Hutan Hutan Hutan potensi Semak dan Padang ilalang Lahan primer sekunder rendah belukar (Imperata cylindrica) kritis

Mosaik lanskap Multisistem silvikultur

Uneven aged All-aged Polycyclic Monocyclic Even aged

forest forest System System forest

Tebang Tebang Tebang habis Tebang habis Kelompok Individu permudaan permudaan buatan

alam (THPB) (THPA)

Unit Manajemen

Penghutanan kembali Tebang habis

Tebang pilih

Melingkar Jalur TPI TPTI TPTJ

Rumpang

Tanaman dan tegakan tinggal

Perawatan, Pembebasan,

Penjarangan

Siklus berikutnya

Pemodelan

TPTII / TPTJ


(26)

Gamba r 2. Kerangka pemikiran pengelolaan hutan de ngan sistem silvikultur TPTII

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi pertumbuhan tanaman meranti (Shorea leprosula) dalam jalur tanam dan tegakan tinggal dalam jalur antara sistem TPTII serta membangun model pertumbuhan dan hasil (growth and yield) untuk memprediksi produktifitas, daur dan siklus tebangnya. Beberapa tahapan penelitian yang ingin dicapai adalah:

a. Mengeva luasi pertumbuhan tanaman meranti (Shorea leprosula) pada jalur tanam sistem TPTII da n memprediks i produktifitas dan daurnya

b. Mengeva luasi pertumbuhan tegakan tingga l pada jalur antara sistem TPTII dan memprediksi siklus tebang berikutnya

Waktu (th) 1972-1989 1989-Sek. 1993-1997 1998-2005 2005-Sek. 2035 dst Hutan Produksi TPI TPTI

Deforestasi Degradasi hutan

TPTI

TPTI

TPTJ

Riset: TJTI, TJTK, HTI-TTJ TPTII, TPTJ, Rumpang

Riset: Bina pilih dll

Riset Riset

Jalur tanam Jalur antara

Penebangan siklus berikutnya Layak Tidak layak Layak,hasil sama/meningkat Menurun Genetik Lingkungan biotik-abiotik Teknik silvikultur Iklim Tanah Aspek Ketinggi an (dpl) Lereng Fisik Kimia Biologi Pencucian Erosi Unsur hara Arsitek akar Density Pemuliaan pohon Suhu Presipitasi Cahaya Kelembaban Angin Struktur tnh Tekstur tnh Kimia air Kimia tanah Pertum buhan dan hasil Model pertumbuhan dan hasil Regenerasi Pemeliharaan Persemaian Penanaman Pupuk Sulam Bebas Jarangi Permudaan Flora Fauna Microorganisme Silin Lingkungan, genetik dan pengendalian hama terpadu TPTII/TPTJ


(27)

c. Mengeva luasi struktur, komposisi, keanekaragaman dan kekayaan jenis tegakan tinggal dalam jalur antara

d. Mengeva luasi tingkat kelayakan usaha sistem TPTII, khususnya di areal kerja IUPHHK PT Gunung Meranti.

Dengan tersedianya data perkembangan tanaman, tegakan tinggal, model dinamika tegakan hutan serta analisis finansial pada sistem TPTII diharapkan dapat mendukung kemajuan pelaksanaan sistem ini di Indo nesia. Stakeholder dapat menentukan potensi tanaman dan tegakan tinggal pada siklus tebang berikutnya berdasarkan riap, struktur dan komposisi tegakan tinggal yang ada. Penelitian juga memberi informasi tentang prospek pengusahaan hutan sehingga menciptakan kepastian usaha dan menumbuhkan iklim yang kondusif bagi dunia usaha ke hutanan.

1.5 Hipotesis

a. Tanaman dalam jalur mampu meningkatkan produktifitas hutan pada da ur pertama

b. Perkembangan tegakan tinggal ditentukan oleh struktur dan komposisinya dan mencapai kelestarian produksi pada siklus 30 tahun

c. Struktur, komposisi, keanekaragaman dan kekayaan jenis pada tegakan tinggal masih mengikuti karakteristik hutan semua umur (all-aged forest)


(28)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 H utan Hujan Tropis

Bumi merupakan salah satu dari delapan planet yang mengorbit pada matahari. Namun dari delapan planet tersebut, hanya bumi yang sangat istimewa dan menakjubkan. Planet ini dikelilingi oleh atmosfir yang berfungsi sebagai cadangan udara, pelindung dari sengatan matahari secara langsung serta menangkis benda-benda dari luar angkasa yang memasuki bumi. Bumi juga dilengkapi lapisan tanah dan air yang sangat baik untuk menopang semua kehidupan di bumi, termasuk pertumbuhan vegetasi. Ekosistem bumi terbentuk dengan sangat beragam, komplek dan sempurna. Menurut penelitian, kehidupan dibumi terbentuk sejak jaman pre cambrian-azoikum sekitar 3,2 milyar tahun yang lalu.

Salah satu komponen pe nting da lam menjaga kestabilan ekos istem di bumi adalah hutan. Hutan merupaka n hampa ran vegetasi raksasa yang berperan sebagai paru-paru (Soemarwoto 1991) karena mengeluarkan Oksigen (O2), menyerap Karbondioksida (CO2) sekaligus menimbun karbon (C) dalam bentuk bahan organik (Carbon pool). Penelitian terkini juga menyebutkan bahwa hutan dapat berperan sebagai jantung bumi yang dapat memompa udara yang mengandung uap air dari lautan ke daratan.

Hutan hujan tropis mempunyai aktifitas dan kemampuan metabolisme yang jauh lebih besar dibanding hutan di daerah sub tropis, temperate dan boreal karena memperoleh sinar matahari penuh sepanjang tahun. Namun demikian, dengan tingginya suhu da n curah hujan di daerah tropis menyebabkan proses pelapukan (weathering), perombakan (decomposition), aliran permukaan, pencucian hara dan erosi juga semakin tinggi.

Fenomena inilah menyebabka n tanah di hutan tropika sangat peka terhadap perubahan. Tanah marginal ini hanya menampung sedikit biomassa dibanding dengan lapisan tanah di hutan tempe rate da n sekitarnya. Sebagian besar (sekitar ¾) biomassa di hutan tropika terletak pada vegetasinya (MacKinnon et al. 2000). Serasah di lantai hutan yang cepat terurai akan diserap kembali oleh vegetasi untuk menjalankan metabolisme, begitu seterusnya sehingga terbe ntuklah siklus hara tertutup. Peneba ngan po hon-pohon dari hutan, seperti pada kegiatan eksploitasi hutan atau hilangnya sebagian besar vegetasi akibat pe neba ngan liar, perambahan


(29)

dan kebakaran hutan dapat membuka siklus hara tertut up dan menurunkan kandungan biomassa dari ekosistem hutan hujan tropis.

Lanskap hutan hujan tropis biasanya didominasi oleh matrik hutan diselingi alur memanjang berupa sungai (environment resources corridors) yang bercabang-cabang membentuk anak-anak sungai. Jaringan sungai dan anak sungai serta jaringan jalan yang dibuat manusia (disturbance corridors) membentuk line corridors dengan berbagai ragam fungsi di dalamnya (Forman & Gordon 1986). Pada stream corridor biasanya ditemukan vegetasi tertentu yang relatif berbeda dengan jenis vegetasi di sebelahnya. Pada pohon tumbang atau areal eksploitasi terbe ntuk disturbance patches yang rawan erosi namun cepat mengalami pemulihan (Farima 1998) . Hutan hujan tropis memiliki strata yang berlapis. Para ahli pada umumnya membagi lima strata hutan tropis (Soerianegara & Indrawan 2005) yaitu: a. Strata A merupakan lapisan paling atas sehingga tajuk pohon mendapatkan

cahaya matahari secara penuh baik dari atas atau samping. Strata ini didominasi pohon-pohon besar seperti kempas (Koompassia exelca, K.malaccensis), meranti (Shorea pinanga, S.parvifolia, S.smithiana, S.spp), keruing (Dipterocarpus louwii, D.spp), kapur (Dryobalanops aromatica, D.spp), Ulin (Eusideroxylon zwagery) dan lain- lain.

b. Strata B merupaka n lapisan ke dua dimana tajuk po hon hanya mendapa tka n sinar matahari dari atas. Pohon-pohon pengisi lapisan ini antara lain terentang (Campnospermum spp), perupuk (Lophopetalum spp), bintangur (Calophyllum inophyllum), ke ranji (Diallium sp) dan lain- lain.

c. Strata C merupakan lapisan ke tiga dimana tajuk pohon hanya mendapatkan sinar matahari dari celah-celah tajuk po hon yang lain. Pohon-pohon pengisi lapisan ini antara lain jambuan (Syzigium sp), sintuk (Cinnanomum sp) dan lain- lain. Adakalanya jenis pohon pengisi lapisan A dan B masih berada pada lapisan C dalam proses pertumbuhannya. Beberapa diantaranya berhasil lolos memasuki strata B atau A, terutama ketika terjadi suksesi (ketika pohon tua telah tumbang). Banyak d iantara po hon-pohon tersebut gagal memasuki lapisan di atasnya karena belum mendapatkan ruang tumbuh. Kondisi hutan trop is yang sangat rapat dan lebat menimbulkan efek persaingan tempat tumbuh yang tinggi.

d. Strata D merupakan lapisan ke empat dimana vegetasi hanya mendapatkan sinar matahari dari pantulan tajuk pohon lain. Pengisi lapisan ini biasanya tingkat pancang da n tiang dari berbagai jenis termasuk famili dari Dipterocarpaceae.


(30)

Adakala permudaan Dipterocarpaceae mengalami dormansi karena tidak mendapatkan ruang tumbuh, terutama sinar matahari, yang op timal untuk perkembangannya.

e. Strata E merupakan lapisan ke lima yang didominasi tumbuhan bawah, herba, perdu serta semai dari berbagai jenis.

Disamping mempunyai lima lapisan vegetasi, lantai hutan tropis masih mempunyai lapisan serasah, humus dan top soil yang kaya bahan organik. Struktur hutan tropis seperti ini telah menciptakan ekosistem yang komplek dan exclusive dengan iklim mikro dan sistem siklus hara tetutup didalamnya. Masing- masing pohon telah membentuk jaring pengaman unsur hara (nutrients safety net) untuk meningkatkan efisiensi penangkapan zat hara yang telah menjadi bentuk tersedia (Kozlowski & Pallardy 1997 ; Oliver & Larson 1990) . Hijau dan lebatnya hutan hujan tropis seakan-akan mencerminka n kesuburan tana h di sana, namun sebe narnya hanya ilus trasi yang semu (MacKinnon et al. 2000).

Berbeda dengan daerah terbuka, curah hujan yang turun di hutan akan mengalami beberapa proses (Lee 1990), yaitu:

a. Intersepsi (interception), yaitu bagian dari air hujan yang menguap kembali, baik pada saat hujan maupun setelah hujan, sebelum mencapai permukaan tanah. Air ini biasanya terdapat di tajuk po hon, da han da n ranting.

b. Tranpirasi (transpiration) yaitu air yang menguap melalui permukaan tubuh tumbuhan setelah melalui proses metabolisme. Transpirasi paling banyak terjadi pada daun yang kontak langsung dengan sinar matahari, sebagai respon untuk mempertahankan diri dari panas dan kekeringan (dehidration).

c. Evaporasi (evaporation), yaitu air yang menguap kembali dari danau, waduk, sungai atau genangan air tanah.

d. Stem flow, yaitu bagian dari air hujan yang mengalir melalui daun, ranting dan cabang pohon kemudian mengalir ke bawah melalui batang pohon. Aliran batang ini berjalan perlahan sampai ke permukaan tanah.

e. Through fall, yaitu bagian air hujan yang turun ke bawah melalui celah-celah tajuk atau da un po hon. Air hujan aka n tertahan pada tumbuhan bawah dan serasah sebelum sampai ke tanah sehingga tidak sampai merusak struktur tanah. Perakaran pohon di hutan tropis telah mengisi sebagian besar lapisan top soil. Perakaran ini telah menciptakan rongga tanah sehingga terbentuk pori-pori pada permukaan tanah yang berguna untuk aerasi udara dan proses infiltrasi. Lapisan top


(31)

soil yang berisi perakaran tumbuhan juga menciptaka n eko sistem tersendiri. Berbagai jenis mikroorganisme, cacing, serangga, rhizobium, mikor isa dan lain- lain hidup dan berkembang biak di sana.

Air hujan yang turun di hutan hujan tropis sebagian besar berubah menjadi aliran batang (stem flow) pada berbagai strata yang ada, sehingga ketika menyentuh lantai hutan tidak menimbulkan efek merusak pada tanah. Air hujan yang berada di lantai hutan akan meresap ke dalam lapisan bahan organik, serasah dan humus, kemudian, sebagian besar mengalami infiltrasi atau masuk ke dalam top soil tanah (mengisi kapasitas infiltrasi tanah). Apabila tanah telah mencapai titik jenuh, sebagian air akan berubah menjadi aliran permukaan yang relatif jernih. Dengan demikian hutan sangat berperan dalam proses hidroorologi karena dapat meminimalkan pencucian zat hara, erosi, banjir dan longsor sehingga dapat menjaga ketersediaan air dan kesuburan tanah.

Hutan hujan tropis menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Whitmore (1975), dalam hutan hujan tropis Asia Tenggara tersimpan 25-30 ribu jenis flora. Menurut MacKinnon et al. (2000), dalam hutan hujan tropis di Kalimantan terdapat 10.000-15.000 spesies berbunga, lebih dari 3.000 jenis pohon berkayu termasuk 267 spesies Dipterocarpaceae. Pulau ini sekaya benua Afrika meskipun luasnya 40 kali lebih kecil. Hutan tropis di Kalimantan mempunyai 34% jenis endemik. Menurut Ashton (1982) dalam McKinnon et al. (2000), 58% dari seluruh jenis Dipterocarpaceae di Kalimantan adalah endemik. Pulau ini juga mempunyai 2.000 jenis anggrek, 1.000 jenis pakis dan merupakan pusat jenis kantong semar (Nepenthes). Suku ende mik Kalimantan yang terkenal adalah Scyphostegiaceae (Ashton 1989 dalam MacKinnon et al. 2000).

Hutan hujan tropis di Kalimantan, Sumatera, Jawa dan Sulawesi masing- masing menyimpan 222, 196, 183 dan 127 jenis mamalia. Dari jumlah tersebut, Kalimantan mempunyai 44 jenis endemik dan Sumatera hanya 23 jenis endemik (Payne 1985 da lam MacKinnon et al. 2000). Hutan tropis Kalimantan juga mempunyai 13 jenis primata, 10 jenis celurut, 420 jenis burung tetap (37 jenis endemik), 166 jenis ular, 100 jenis amfibi, 394 jenis ikan air tawar (149 jenis endemik) dan lain- lain. Apabila hutan hujan tropis sebagai habitat flora dan fauna tersebut telah rusak maka sebagaian besar flora dan fauna tersebut juga musnah, khususnya yang endemik. Hutan huj an trop is merupaka n hamparan pertumbuhan pohon-pohon yang sangat lebat dan luas dan berinteraksi dengan lingkungannya membentuk ekosistem yang


(32)

komplek. Pohon dan vegetasi lainnya sebagai bagian dari komponen hutan merupakan tumbuhan hijau yang dapat melakukan proses fotosintesa yang menyerap karbondioksida (CO2) sehingga dapat mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di udara sebagai penyebab efek pemanasan global. Proses fotosintesa dapat dituliskan melalui persamaan reaksi sebagai berikut:

CO2 + H2O +

sinar matahari

Luas hutan di Indonesia sebelum tahun 80-an sebesar 164 juta ha atau 87,280% dari luas daratan Indo nesia (Suratmo et al. 2003). Menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) luas kawasan hutan Indo nesia tahun 1981 sebesar 144 juta ha (Hani’in 1999), namun luasan ini mengalami penurunan menjadi 126,8 juta ha pada tahun 2005 (Balitbanghut 2008) dengan komposisi hutan konservasi 23,2 juta ha, hutan lindung 32,4 juta ha, hutan produksi terbatas 21,6 juta ha, hutan produksi tetap 35,6 juta ha dan hutan produksi konversi 14,0 juta ha. Dalam kawasan hutan tersebut, luas areal yang berhutan hanya sebesar 64%, luas areal non hutan 29% dan lain- lain (data tidak lengkap) 6%. Laju kerusakan hutan sebesar 1,8 juta ha per tahun (1985-1997) dan meningkat menjadi 2,84 juta ha per tahun pada tahun 1997-2000 (Balitbanghut 2008). Pada saat ini hutan produksi telah banyak terfragmentasi (Indrawan 2008) dan membentuk mosaik lanskap berupa hutan primer, hutan sekunder, semak belukar dan tanah kosong (Pasaribu 2008, Suhendang 2008).

(C6H10O5)n + O2

kloropil

Dari persaman tersebut terlihat bahwa proses fotosintesa menyerap CO2 dan air (H2O) dengan bantuan sinar matahari dalam media yang mengandung zat hijau daun (chlorophyl) kemudian menghasilkan karbohidrat sebagai sumber energi dan cadangan karbon yang disimpan dalam tubuh tanaman dan oksigen (O2) yang dihasilkan dari proses fotofosforilasi dari air.

Menurut UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan dibagi menjadi tiga berdasarkan fungsinya, yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan ko nservasi ada lah ka wasan hut an de ngan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.


(33)

2.2 Perkembanga n Sistem Silvikultur

2.2.1 Pengertian sistem silvikultur

Silvikultur adalah seni dan ilmu membangun dan memelihara hutan dengan menerapkan ilmu silvika untuk memperoleh manfaat optimal. Menurut PP Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman dan memanen. Didalam sistem silvikultur terdapat pengaturan mengenai kelas diameter atau kelas umur, riap, kegiatan penanaman/ pengayaan (enrichment planting), pemangkasan (pruning), penjarangan (thinning), siklus tebang, rotasi tebang serta informasi silvikultur jenis (Pasaribu 2008).

Menurut Ditjen PH (1993) sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenani pengelolan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Sedangkan menurut Mattews (1992) dalam Mansur (2008) sistem silvikultur merupakan proses pemeliharaan, pemanenan dan penggantian dengan tanaman baru sehingga menghasilkan tegakan dengan bentuk yang berbeda. Pada hutan alam produksi sistem silvikultur dimulai dari kegiatan pemanenan sedangkan pada hutan tanaman dimulai dari kegiatan pembibitan dan perawatan tanaman. Dengan demikian definisi sistem silvikultur dapat berbeda-beda, namun semuanya mengandung tiga komponen utama, yaitu permudaan (regeneration), pemeliharaan (tending) dan pemanenan (harvesting/removing) (Mansur 2008).

Sistem silvikultur yang diterapkan dalam unit manajemen dapat dibedakan berdasarkan umur tegakan maupun sistem penebangan. Berdasarkan umur tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk tegakan seumur (even-aged stands) seperti THPA dan THPB, sistem silvikultur untuk tegakan beberapa umur (uneven-aged stands) dan tegaka n semua umur (all-aged stands) seperti tebang pilih individu (TPI, TPTI, Bina Pilih), kelompok melingkar (tebang rumpang) dan kelompok dalam jalur (TPTJ dan TPTII). Berdasarkan sistem penebangan pohon terdiri dari sistem silvikultur tebang pilih (selective cutting) dan sistem teba ng habis (clear cutting).

Menurut Manan (1995) dalam Indrawan (2008), sistem silvukultur dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu:


(34)

a. Polycyclic system, yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang lebih dari satu kali selama rotasi. Sistem TPI dan TPTI termasuk polycyclic system karena menggunakan dua kali siklus tebang (2x35 tahun) selama rotasi 70 tahun

b. Monocyclic system, yaitu jumlah pe nebangan (siklus teba ng) yang hanya seka li selama rotasi, seperti sistem THPA dan THPB.

Setelah berjalan lebih dari 20 tahun, banyak hutan alam produksi yang mengalami fragmentasi (Indrawan 2008). Lanskap hutan hujan tropis telah membentuk mosaik (Pasaribu 2008; Suhendang 2008) yang terdiri dari hutan primer, hutan sekunder, hutan rawang, hutan bekas penebangan liar, hutan bekas kebakaran, semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong. Pada kondisi seperti ini penerapan multi sistem silvikultur menjadi keniscayaan agar setiap bagian hutan mendapatkan perlakuan silvikultur yang sesuai dengan kondisi hutannya.

Menur ut Indrawan (2008 ) multisistem silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dua atau lebih sistem silvikultur yang diterapka n pada suatu unit manajemen dan merupakan multi usaha dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi.

Suhendang (2008) menulis bahwa sistem silvikultur menurut Society of American Forester tahun 1998 adalah rangkaian perlakuan terencana terdiri dari kegiatan pemeliharaan, pemanenan dan pembangunan kembali tegakan. Skema penerapan sistem silvikultur ada dua macam yaitu sistem silvikultur tunggal (single silvicultural system) dan sistem silvikultur jamak (multiple silvicultural system).

Teknik silvikultur adalah upaya mengintegrasikan atribut ekologi, ekonomi, sosial dan administrasi menjadi pendekatan yang bulat dalam rangka mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan akan datang tanpa mengurangi kemampuan fungsi hutan (Soekotjo 2009). Teknik silvikultur dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:

a. Teknik pengendalian struktur, komposisi, kerapatan, pertumbuhan dan rotasi serta kombinasi antara spesies (genetik), manipulasi lingkungan dan pengenda lian hama terpadu (integrated pest management). Teknik pengendalian ini diterapka n dalam TPTI Intensif.

b. Teknik perlindungan tempat tumbuh (agar permukaan tanah selalu tertutup vegetasi sehingga stabil dan terjaga kesuburannya) dan pohon (dari hama, penyakit dan kerusakan mekanis)


(35)

c. Teknik pelayanan eksploitasi, pengelolaan dan pemanfaatan.

2.2.2 P erkembanga n sistem silvikultur di Indonesia

Sejarah perjalanan sistem silvikultur di Indonesia diawali dari Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1970 (yang merupakan penjabaran dari UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri) yang menyebutkan bahwa hutan produksi dapat diusahakan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan.

Sistem silvikultur yang dipakai dalam mengelola hutan alam produksi adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI) berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Kehutanan Nomor 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972. Namun sistem ini mempunyai kelemahan pada ketidakpastian besaran limit diameter serta jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan per ha.

Pada tahun 1980, Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan melakukan revisi terhadap ketentuan limit diameter dan jumlah pohon inti menjadi Ø ≥ 25 cm sebanyak 25 pohon per ha serta menambah ketentuan yang disesuaikan dengan kondisi hutan eboni campuran dan ramin campuran. Pada tahun 1987 dibentuk tim materi diskusi penyempurnaan pedoman TPI dari Badan Litbang Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB dan Fakultas Kehutanan UGM.

Pergant ian sistem TPI menjadi Tebang Pilih Tanam Indo nesia (TPTI) dilakuka n berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts/II/1989 yang dijabarkan dalam Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Alasan pergantian ini antara lain untuk menyeimbangkan porsi kegitan pemungutan hasil (yang lebih menonjol pada sistem TPI) dengan kegiatan pembinaan hutan agar tercapai kelestarian hutan (Ditjen BPK 2005).

Pada tahun 1993 dilakukan revisi TPTI berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV- BPHH/1993 yang memisahkan organisasi pembinaan hutan dengan pemungutan hasil (produksi), alokasi anggaran kegiatan pembinaan hutan yang memadai serta pergeseran beberapa tahapan kegiatan pe mbinaan hut an.

Sistem tebang pilih (TPI maupun TPTI) masih mempunyai beberapa kelemahan antara lain sulit mengontrol hasil kegiatan pembinaan hutan, terutama hasil


(36)

penanaman/pengayaan (enrichment/planting). Sistem ini juga tidak sesuai diterapkan pada hutan alam Duabanga moluccana di Nusa Tenggara Barat dan Lophopetalum multinervium di Kalimantan Timur (Ditjen BPK 2005). Sistem TPTI dinilai kurang luwes dan bersifat kaku sehingga sangat sedikit bidang gerak bagi tenaga kehutanan di lapangan (Suhendang 2008). Menurut Santoso (2008) kelemahan sistem TPTI adalah:

a. Masih menggunakan asumsi riap 1 cm per tahun, padahal riap diameter pohon sangat bervariasi tergantung jenis pohon dan kondisi tempat tumbuh

b. Penetapan siklus tebang yang sama untuk setiap kondisi tegakan hutan, yaitu 35 tahun. Seharus nya siklus teba ng ditentukan berdasarkan riap dan dinamika strukt ur tegakan hutan

c. Penetapan etat volume berdasarkan volume tegakan tersedia (hasil survei) tanpa memperhitungkan riap tegakan. Cara seperti ini hanya dapat dilakukan hutan primer namun tidak bisa pada hutan sekunder.

Menurut Wahjono dan Anwar (2008) sistem TPTI hanya dapat diterapkan pada areal yang berhutan potensial saja, sementara pada areal lain seperti hutan muda (potensi < 20 m3 per ha), semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong tidak bisa. Padahal kondisi hutan produksi saat ini sangat bervariasi. Kelemahan lain sistem TPTI adalah rendahnya produktifitas hutan, yaitu kurang dari 1 m3 per ha per tahun (Ditjen BPK 2010b).

Menurut Santoso et al. (2008) dengan meningkatnya laju degradasi hutan, rendahnya laju pembangunan hutan tanaman, masih rendahnya perekonomian masyarakat di sekitar hutan dan meningkatnya kawasan hutan produksi yang tidak dikelola dengan baik menunjukkan bahwa kinerja pemegang IUPHHK dengan menerapkan satu sistem silvikultur TPTI belum memenuhi prinsip pengelolaan hutan lestari.

Minimnya keberhasilan penerapan pengelolaan hutan lestari menyebabkan kondisi hutan saat ini menyerupai mosaik, karena di dalam kawasan hutan alam terdapat berbagai tipe penutupan lahan berupa areal terbuka, hutan alam kurang produktif dan yang masih produktif . Upaya optimalisasi pengelolaan kawasan hutan yang berbentuk mosaik adalah penerapan multisistem silvikultur (Indrawan 2008; Santoso et al. 2008).

Menurut Pasaribu (2008) kondisi areal hutan produksi saat ini sudah tidak utuh lagi yang disebabkan penataan ruang untuk pembangunan non kehutanan, kebakaran


(37)

hutan, perubahan akibat ekses otonomi daerah serta pengaturan batas areal yang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Terfragmentasinya areal hutan produksi (Suhendang 2008), meningkatnya laju kerusakan hutan (Indrawan 2008) serta rendahnya riap hutan bekas tebangan pada sistem TPTI (Ditjen BPK 2005, 2010b) telah memicu munculnya beberapa sistem silvikultur alternatif.

Menurut Suhendang (2008) paradikma baru pengelolan hutan saat ini adalah pendekatan pada bentuk hutan alam (close to the natural forest). Menurut Mitlöhner (2009) close to nature forestry adalah upaya pengelolaan hutan alam dengan tetap mempertahankan lapisan strata hutan serta menjaga kelestarian lingkungan, seperti iklim mikro, tanah, air dan keanekaragaman jenis.

Menurut Coates dan Philip (1997) penebangan hutan dengan sistem celah (gap) lebih sesua i de ngan ko ndisi hutan alam karena menyerupa i fenomena po hon atau kelompok pohon yang mati dalam hutan lalu terbentuk regenerasi alam yang baik. Sistem gap termasuk sistem silvikultur untuk tegakan semua seumur (all-aged stands) dengan penebangan dalam kelompok pohon dalam bentuk gap melingkar (rumpang) atau memanjang (strips). Menurut Pasaribu (2008) teknik silvikultur tebang rumpang menunjukkan hasil yang baik pada kebun percobaan Badan Litbang Kehutanan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, karena dalam rumpang telah terjadi regenerasi alam dan membentuk tegakan seumur berlapis seperti tegakan primer.

Penelitian sistem gap memanjang (strips) telah dilakukan pada beberapa IUPHHK sejak tahun 1993 dengan nama sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) yang selanj utnya be ruba h menjadi Teba ng Jalur Tanam Konservasi (TJTK). Prinsip sistem ini adalah membangun hutan tanaman diantara hutan alam dalam bentuk jalur selebar 25 – 100 m. Hambatan pelaksanaan sistem ini adalah adanya PP Nomor 21 tahun 1970 dan PP Nomor 7 tahun 1990 yang melarang pembangunan hutan tanaman dalam kawasan pengelolaan hutan alam. Kendala ini mengakibatkan munculnya keinginan untuk menggabungkan kedua PP tersebut. Sistem TJTK akhi rnya beruba h menjadi sistem Hutan Tanaman Industri de ngan Teba ng Tanam Jalur (HTI-TTJ) berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 435/Kpts-II/1997 yang dijabarkan dalam pedoman teknis berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 220/Kpts/IV-BPH/1997. Dalam sistem ini jalur tanam dipersempit menjadi 3 meter namun dilakukan pembuatan jalur bebas naungan


(38)

selebar 10 meter. Interval penanaman 5 meter dan jarak antar jalur 25 meter, sehingga membentuk jarak tanam 5 m x 25 m.

Sistem Hutan Tanaman Industri- Tebang Tanam Jalur (HTI-TTJ) kemudian diganti menjadi sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 55/Kpts/IV-BPH/1998. Evaluasi sistem TPTJ menunjukka n hasil yang memuaskan, karena regenerasi terbentuk dengan baik dan tegakan tinggal serta lingkungan dapat terjaga, sehingga TPTJ dimasukkan sebagai salah satu sistem silvikultur untuk pengelolan hutan alam produksi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 309/Kpts-II/1999. Namun pada tahun 2002 keputusan ini dibatalkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10172/Kpts-II/2002 dan selanjutnya kembali pada sistem TPTI kecuali PT Sari Bumi Kusuma (Surat Keputusan Menhutbun Nomor 201/Kpts-II/1998) dan PT Erna Juliawati (Surat Keputusan Menhutbun Nomor 15/Kpts-II/1999).

Hasil yang memuaskan dari pelaksanaan TPTJ pada kedua IUPHHK tersebut telah menginspirasi para pakar di perguruan tinggi untuk menyempurnakan sistem silvikultur ini dengan menerapkan teknik silvikultur intensif (silin) melalui penggunaan bibit unggul, teknik manipulasi lingkungan dan pengendalian hama terpadu (integrated pest management). Sistem silvikultur hasil penyempurnaan tersebut adalah Tebang Pilih Tanam Indo nesia Intensif (TPTII) yang dikeluarkan tahun 2005.

2.2.3 Sistem silvikutur TPTII

Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) merupakan kombinasi sistem tebang pilih dengan limit diameter 40 cm ke atas dan tebang habis dengan penanaman buatan dalam jalur tanam selebar 3 m. Jarak tanam dalam jalur 2,5 m dengan lebar jalur antara 17 meter sehingga tanaman membentuk jarak tanam 2,5 m x 20 m (Ditjen BPK 2005).

Sistem silvikultur yang menerapkan penanaman/pengayaan dalam jalur ini pertama kali diperkenalkan oleh Aubreville di Afrika Barat dan Afrika Tengah dan disempurnakan oleh Catinot. Penanaman dalam jalur memungkinkan terbentuk regenerasi dan pertumbuhan pohon yang baik sebagai respon dari teknik silvikultur berupa pembukaan kanopi tajuk sehingga intensitas cahaya lebih banyak (Mitlöhner 2009). Sistem ini juga sesuai dengan perkembangan anakan famili Dipterocarpaceae


(39)

yang bersifat semi toleran dengan tetap menjaga kualitas tanah (Soekotjo & Subiakto 2005; Wahyudi 2009a).

Sejak tahun 2005 TPTII diujicobakan pada 6 IUPHHK berdasarkan Surat Keputusan Dirjen BPK Nomor 77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005 dan pada tahun 2007 dikembangkan pada 25 IUPHHK berdasarkan Surat Keputusan Dirjen BPK Nomor 41/VI-BPHA/2007 tanggal 10 April 2007, termasuk di dalamnya IUPHHK PT Gunung Meranti. Pedoman teknis sistem TPTII berdasarkan Keputusan Dirjen BPK Nomor SK. 226/VI-BPHA/2005 tanggal 1 September 2005. Sistem TPTII bertujuan membangun hutan tropis lestari dinamis, yang dicirikan dengan selalu meningkatnya potensi dan fungsi hutan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas dari satu rotasi tebang ke rotasi tebang berikutnya. Sedangkan tujuan khusus penerapan sistem ini adalah membangun hutan sebagai transisi menuju hutan tanaman meranti dan unt uk menjamin fungsi hutan yang optimal (Ditjen BPK 2005).

Penerapan sistem TPTII tahap ke-2 pada 25 IUPHHK model hanya dilakukan pada 10% dari luas areal pengelolaan, selebihnya masih menggunakan sistem TPTI. Dengan demikian dalam satu unit pengelolaan hutan dapat menerapka n dua sistem silvikultur, dan hal ini merupakan wujud penggunaan multisistem silvikultur. Keniscayaan ini telah diatur dalam PP Nomor 6 tahun 2007 jo. Nomor 3 tahun 2008 pasal 34 dan 38 yang menyatakan bahwa “Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi dapat dilakukan denga n satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan atau lingkungannya“. Saat ini, penerapan multisistem silvikultur pada hutan alam produksi yang telah berbentuk mosaik merupakan suatu keharusan untuk meningkatkan produktifitas serta menjaga kepastian dan keutuhan kawasan hutan produksi.

Menurut Ditjen BPK (2005) dan Soekotjo (2009) pengelolaan hutan dengan sistem TPTII dengan jumlah bibit 200 batang per hektar seluas minimal 1000 hektar per tahun selama 30 tahun akan dihasilkan luasan 30.000 hektar, dijamin dapat menjadi areal pengelolaan hutan yang lestari. Denga n asumsi diameter pohon tebang rata-rata 50 cm per 30 tahun sebanyak 160 pohon per hektar, akan dihasilkan standing stock sebanyak 400 m3 per hektar, belum termasuk tegakan sisa yang masih dapat dimanfaatkan.

Dengan meningkatnya produktifitas hutan, maka luas areal hutan alam yang dipergunakan untuk menghasilkan kayu pertukangan akan semakin kecil sehingga


(40)

alokasi areal untuk konservasi akan bertambah luas. Dengan demikian akan semakin banyak areal hutan yang dimanfaatkan sebagai kawasan perlindungan dan pengatur tata air, sumber plasma nutfah, pe nelitian dan lain- lain.

Tahapan kegiatan sistem silvikultur TPTII (Ditjen BPK 2005) adalah: 1) Penataan areal (P-3)

2) Risalah hutan (P-3)

3) Pembukaan wilayah hut an (P-2) 4) Pengadaan bibit (P-1)

5) Penyiapan lahan, yang terdiri dari tebang penyiapan lahan dan pembuatan jalur bersih (P-1)

6) Penanaman (P)

7) Pemeliharaan tanaman, yang meliputi:

- penyiangan dan pemulsaan I s/d X (P+0,1,2,3) - penyulaman I dan II (P+0 dan P+1)

- pemupukan I dan II (P+0 dan P+1)

- pembebasan vertikal I dan II (P+1 dan P+3) - penjarangan I dan II (P+5 dan P+10)

8) Perlindungan tanaman (terus menerus) 9) Penelitian dan pengembangan

10) Pemanenan ka yu (P+31 )

Tahapan kegiatan sistem silvikultur TPTJ (Ditjen BPK 2009a) adalah: 1) Penataan areal kerja

2) Inventarisasi hutan

3) Pembukaan wilayah hut an 4) Pengadaan bibit

5) Tebang naungan

6) Penyiapan dan pembuatan jalur tanam 7) Penanaman dan pemeliharaan tanaman jalur 8) Pembebasan dan penjarangan

9) Pemanenan


(41)

2.3 Pertumbuhan dan Has il

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil (growth and yield) po hon ada lah genetik (Finkeldey 1989; Hani’in 1999; Kumar & Matthias 2004; Na’iem & Pamuji 2006), lingkungan atau tempat tumbuh (Fisher & Binkley 2000; Kozlow ski & Pallardy 1997; Soekotjo 1995) dan teknik silvikultur (Coates & Philip 1997; Halle et al. 1978; Pasaribu 2008; Santoso et al. 2008). Bagan alir faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil pohon terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil po hon

Sistem silvikultur biasanya mengandung beberapa teknik silvikultur serta serangkaian perlakuan yang harus diberikan pada tanaman atau tegakan. Para praktisi dapat mengembangkan dan merekayasa teknik silvikultur dalam ruang lingkungan sistem yang masih dipe rke nanka n. Pengendalian hama da n penyakit tanaman merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari teknik silvikultur. Belakangan berkembangan teknik pengendalian hama terpadu (Integrated Pest

Sistem silvikultur Iklim A Teknik silvikultur Iklim B Pengendalian Iklim C hama terpadu Metabolisme Udara Arsitek pohon Cahaya Suhu Tekstur tanah Struktur tanah

Anakan alam KTK

Keasaman tanah Tegakan benih Mineral tanah

Iklim mikro Kebun benih Mikroorganisme

Mikoriza a bit of blood Rhizobium Tree superior Biomassa Pemuliaan pohon Genetik Lingkungan Silvikultur Iklim Tanah Arah lereng Ketinggian Kelerengan Sifat fisik Sifat kimia Biologi tanah Pencucian Erosi Unsur hara Arsitek akar Kerapatan Pertumbuhan dan Hasil Presipitasi Cahaya Suhu udara Kelembaban Angin Letak geografi Fotosintesis Air tanah Katalisator Serapan hara


(42)

Management) yang menekankan pada teknik pengendalian hama yang ramah lingkungan menggunakan predator, parasit hama dan meningkatkan kualitas (kesehatan) po hon (biocontrol).

Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil pohon adalah iklim dan tanah. Faktor iklim banyak ditent uka n oleh curah huj an, intensitas cahaya, suhu, kelembaban, kecepatan angin dan letak geografis. Sedangkan faktor tanah banyak dipengaruhi oleh sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta ketinggian, kelerengan dan arah lereng.

Faktor bawaan atau genetik po hon memegang perana n cukup pe nting da lam mengontrol pertumbuhan pohon. Penggunaan bibit unggul hasil pemuliaan tanaman diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil hingga 2-4 kali (Danida & Dephut 2001). Karakteristik genetik dalam suatu spesies berhubungan erat dengan perilaku sel, arsitektur pohon dan akar, hormon, zat pengatur tumbuh dan tingkat pembentukan serat (Kozlowski & Pallardy 1994; Landsberg 1986). Upa ya untuk meningkatkan kualitas genetik benih dan bibit tanaman hutan hingga saat ini masih mengandalkan pada tegakan benih dan kebun benih.

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.10/Menhut-II/2007 tanggal 13 Maret 2007, tegakan benih teridentifikasi adalah sumber benih dengan kualitas rata-rata yang digunakan untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat diidentifikasikan dengan tepat. Sedangkan tegakan benih terseleksi adalah sumber benih dengan pohon fenotipa bagus yang mempunyai sifat penting antara lain batang lurus, tidak cacat dan percabangan ringan.

Tegaka n benih (seed stand) adalah areal tegakan yang dipilih untuk menghasilkan benih dan bibit berkualitas tinggi melalui pohon-po hon induk yang terdapat di dalamnya. Penunjukkan tegakan benih juga didasarkan pada kemampuan berbuah pohon induk untuk dapat menyuplai benih dan bibit bagi keperluan persemaian dan penanaman. Tegakan benih dalam IUPHHK dikenal dengan nama Areal Sumber Daya Genetik (ASDG), diwajibkan dibuat seluas 100 ha dalam setiap 5 blok kerja tahunan (dulu bernama blok RKL) sehingga secara keseluruhan, setiap IUPHHK wajib mempunyai 700 ha ASDG (PT GM 2008a).

Tegakan benih yang telah dikelola dengan baik serta mempunyai sekat isolasi yang memisahkan dengan tegakan lain dapat menjadi kebun benih. Dengan program pemuliaan pohon seperti ini diharapka n kualitas tegakan hutan akan semakin meningkat melalui kegiatan penanaman dan pengayaan menggunakan bibit unggul


(43)

yang dilakukan setiap tahun. Pemilihan pohon induk dalam tegakan benih menggunakan kriteria antara lain sebagai pohon peninggi, mempunyai diameter paling besar diantara yang lain, bebas cabang yang tinggi, bentuk batang lurus dan silindris, bentuk tajuk silindris dan seimbang, riap tinggi dan bebas dari hama dan penyakit (Hani’in 1999; Soekotjo 2009).

Menurut Soekotjo (1995) variabel yang mempengaruhi riap tanaman adalah jenis, sumber benih, jenis yang dimuliakan, manipulasi atribut lingkungan, teknik silvikultur yang dipakai serta kelas diameter. Pemilihan jenis yang tepat untuk tujuan budidaya sangat berpengaruh terhadap nilai yang dihasilkan. Jenis unggul hasil pemuliaan pohon mempunyai riap yang lebih besar (inherent growth rate). Pada kelas diameter yang berbeda, meskipun pada pohon yang sama, dapat mempunyai riap yang berbeda (reit of growth). Pada lokasi yang berbeda, meskipun jenisnya sama, dapat mempunyai riap yang berbeda pula. Sebagai contoh, pe nelitian pertumbuhan meranti di hutan Semengoh (Serawak) menunjukkan bahwa Shorea stenoptera mempunyai riap 79% lebih besar dibanding Shorea pinanga pada kondisi lingkungan yang sama. Dan pe nanaman Shorea macrophylla di Kalbar menunjukkan riap yang lebih besar dibandingkan penanaman di Kalsel.

Dengan demikian, menurut Soekotjo (1995) informasi tentang riap harus dilengkapi dengan data inherent growth dan reit of growth dan infor masi da ta riap bersifat spesifik untuk setiap tempat tumbuh sehingga tidak dapat digunakan untuk memprediksi riap tanaman sejenis pada tempat yang berbeda.

Pertumbuhan atau riap (increment) adalah pertambahan tumbuh tanaman, baik pertumbuhan diameter, tinggi, volume, jumlah daun, berat bersih dan lain- lain da lam satuan waktu tertentu. Menurut Bettinger et al. (2009) dan Nyland (1996) pertumbuhan pohon dapat digambarkan sebagai riap tahunan berjalan (curren annual increment=CAI) dan riap tahunan rata-rata (mean annual increment=MAI). CAI menunjukkan pertumbuhan tanaman setiap tahun, sedangkan MAI menunjukkan pertumbuhan rata-rata da lam waktu tertentu, yang dihitung berdasarkan data terakhir dibagi dengan umur. Akumulasi pertumbuhan, CAI dan MAI digambarkan dalam bentuk grafik untuk menentukan daur tanaman. Daur tanaman sebaiknya ditentukan pada saat kurva MAI bertemu dengan CAI, setidaknya pada tahap ke-2. Pada tahap ke-3 tanaman sudah tidak memberi pertambahan pertumbuhan. Kurva pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada Gambar 4.


(44)

Gambar 4. Kurva pertumbuhan po hon (CAI dan MAI)

Menurut Ditjen BPK (2005) dan Soekotjo (2009) pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTII dengan jumlah bibit 200 batang per hektar akan dihasilka n standing stock sebanyak 400 m3/ha setelah 30 tahun dari pohon berdiameter 50. Asumsi tersebut menyatakan bahwa MAI diameter tanaman meranti (Shorea leprosula, S.johorensis, S.platyclados, S.macrophylla, S.parfivolia, S.selanica dan S.smithiana) pada jalur bersih sistem TPTII sebesar 1,67 cm/ th atau 13,33 m3 /ha/th. Sementara itu, data lain menunjukkan bahwa MAI diameter Shorea platyclados di Sumatera Utara sebesar 1,32 cm /th (Ditjen Hut 1980) dan Shorea leprosula, S. ovalis serta S. parvifolia sebesar 10 m3/ha/th (Hutan Industri 1958 dalam Manan 1995).

Soekotjo (1995) yang mengutip riap beberapa tanaman Shorea spp di komplek hutan Semengoh (Serawak) menyatakan bahwa Shorea pinanga umur 38 tahun yang ditanam dengan jarak 4,5 m x 4,5 m mempunyai diameter 31,35 cm dengan kisaran riap diameter 0,49 - 1,24 cm /th. Shorea splendica umur 35 tahun yang ditanam dengan jarak 3,6 m x 3,6 m mempunyai diameter 31,62 cm dengan kisaran riap diameter 0,53 - 1,39 cm /th. Shorea stenoptera umur 34 tahun yang ditanam dengan jarak 3,5 m x 3,6 m mempunyai kisaran riap diameter 0,53 - 1,39 cm /th. Meskipun tidak menyebutkan data kuantitatif, Soekotjo (1995) menyebutkan bahwa pertumbuhan Shorea macrophylla di Kalbar lebih tinggi dibanding di Kalsel dan seba liknya Shorea stenoptera di Kalsel tumbuh lebih baik dibanding di Kalbar.

Akumulasi pertumbuhan

CAI

Pertumbuhan

MAI

Tahap ke-1 Tahap ke-2 Tahap ke-3 Waktu


(45)

Data pertumbuhan da n hasil (growth and yield) tanaman meranti sangat bervariasi. Penelitian yang lebih mendalam terhadap faktor-faktor yang mempe ngaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman perlu dilakukan agar data riap tegakan dan prediksi hasil yang diperoleh lebih akurat, spesifik dan komprehensip dalam setiap kondisi tempat tumbuh dan teknik silvikultur. Dengan demikian riap tanaman meranti dalam jalur bersih sistem TPTII dipengaruhi oleh jenis pohon, genetik, sistem dan teknik silvikultur, rekayasa lingkungan dan pengendalian hama terpadu.

Tingkat penerapan teknik silvikultur dipengaruhi oleh kondisi tempat tumbuh atau lingkungan di sekitarnya. Salah satu faktor yang membentuk kondisi tempat tumbuh adalah kelerengan (slope) karena berkaitan erat dengan pencucian hara (leaching) dan erosi yang disebabkan aliran permukaan sehingga dapat mengurangi ketersediaan unsur hara bagi tanaman (Fisher & Dan-Bink ley 2000; Siswomartono 1989; Soemarwoto 1991). Makin tinggi tingkat kelerengan makin rendah kapasitas infiltrasi tanah karena makin tinggi aliran permukaan sehingga dapat mempengaruhi ketersediaan air tanah (Lee 1990). Kerapatan, arsitek akar dan ketahanan fisik tanaman juga dapat dipengaruhi oleh kelerengan. Diperkirakan faktor kelerengan dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan tanaman dan turut menentukan hasil yang akan diperoleh pada akhir rotasi.

2.4 P emodelan Dinamika Hutan

2.4.1 Pengertian

Menurut Soekotjo (2009) ilmu ekologi memiliki batasan ekologi sistem dan ekologi evolusioner (ekologi teoritis). Ahli ekologi sistem melakukan pemahaman dan analisis ekosistem melalui pendekatan struktur dan fungsi sedangkan ahli ekologi evolusioner melakukan pemahaman dan analisis ekos istem melalui mode l dan hipotesis.

Table pertumbuhan dan hasil hutan tidak seumur dipublikasikan pertama kali di Jerman pada tahun 1787. Saat ini, tabe l hasil meliput i tabe l tinggi , diameter, kerapatan, luas bidang dasar, riap rata-rata tahunan dan hasil volume (Vanclay 2001). Pemod elan meliputi seni dan ilmu untuk menggambarkan kondisi alam yang sebenarnya. Banyak model dibuat dengan pendekatan empiris, kalibrasi data dan mendasarkan pada teori-teori biologi yang berkembang dan semuanya dikumpulkan


(46)

untuk menyusun model hutan alam yang komplek. Tidak ada pendekatan tunggal yang optimal dalam pemodelan hutan tropika. Semua metode yang akan digunakan harus diperhitungkan kelebihan dan kekurangannya.

Model adalah suatu bentuk virtual yang dibuat unt uk meniruka n suatu proses yang terjadi pada dunia nyata (Muhammadi et al. 2001, Purnomo 2005). Kenyataan yang terjadi pada dunia nyata (real world) biasanya sangat komplek namun masih dapat dipelajari dan disederhanakan, terutama yang berkaitan dengan hubungan sebab akibat (causal loop). Pemindahan kondisi dunia nyata ke dalam bentuk dunia maya yang dilengkapi dengan sistem dan simulasinya dapat membantu kita dalam memahami suatu ekos istem secara lebih mudah.

Model adalah gambaran kondisi alam yang menunjukkan proporsi dan susunan komponen penyusun serta ekspresi nyata dari suatu teori (Ford 1977). Model sering menggunakan persamaan matematika, angka, logika yang tepat dan kode-kode komputer. Hutan tropika mengandung banyak species, variasi umur, riap dan ukuran

vegetasi, sehingga memerlukan model yang sangat komplek untuk

menggambarkannya. Suatu mode l hampir mustahil mampu menggambarkan kondisi hutan secara keseluruhan. Dinamika hutan hanya dapat digambarkan melalui beberapa variasi dan level tegaka n yang terba tas serta hanya menggun aka n unsur pendekatan.

Model pertumbuhan dan hasil dapat diprediksi melalui luas bidang dasar atau diameter pohon. Hutan tropika yang merupakan ekosistem sangat komplek menawarkan tantangan tersendiri bagi para pembuat model. Dalam satu hektar hutan dapat mengandung ratusan atau ribuan spesies dan ratusan jenis komersial. Pada hutan alam yang rapat, terdapat variasi yang besar pada jenis dan ukuran batang pohon dan nampak bahwa umur kurang berkorelasi de ngan ukuran batangny a. Nilai suatu model terletak pada kemudahan untuk digunakan, mudah disimpan dan digunakan kembali (Vanclay 1995).

Model juga dapat digunakan untuk menggambarkan dinamika hutan, perlakuan silvikultur, menentukan teknik pengelolaan, mengetahui kondisi tegakan dan memprediksi tebangan pada akhir daur atau siklus berikutnya. Model tegakan hutan dapat digambarkan melalui stok pohon (jumlah pohon), luas bidang dasar atau volume tegakan per ha untuk memprediksi pertumbuhan da n hasil tegakan. Model suksesi untuk memprediksi pertumbuhan pernah dilakukan menggunakan input cahaya, suhu, kesuburan tanah, fotosintesis dan alokasi fotosintesis untuk akar,


(47)

batang dan daun (Landsberg 1986; Sievanen & Burk 1988; McMurtrie et al. 1990). Bossel and Krieger (1991) mencari pendekatan untuk membangun model lapisan kanop i tajuk di hutan Malaysia, namun menemukan hambatan dalam pemodelan hutan trop is ya ng ko mprehensif karena keterbatasan data pendukung yang menyangkut aspek fisiologi, ekologi, tapak dan kondisi tegakan hutan.

2.4.2 Model pertumbuhan tegak an hutan

Pertumbuhan tegakan dipengaruhi oleh jenis pohon, genetik, perlakuan silvikultur, faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik, serta interaksi diantara komponen-komponen tersebut (Suhendang 1998). Dimensi tegakan yang sering dijadikan parameter adalah diameter, tinggi, luas bidang dasar, diameter tajuk, kerapatan, kelas tapak dan lain- lain. Menurut Bella (1971) data berupa luas bidang dasar memberi nilai R2 yang lebih baik dibanding data diameter, namun menurut West (1980) dan Shifley (1987) tidak ada bedanya menggunakan data luas bidang dasar atau diameter. Pembuatan model berdasarkan riap tinggi pohon tidak efektif dilakukan di hutan tropis karena pengukurannya sulit dan hasilnya tidak akurat. Sebagai gantinya dapat ditempuh menggunakan tabel volume lokal.

Kurva seba ran po hon dibuat unt uk mengetahui ke normalan sebaran tegaka n di areal penelitian (Appanah & Weinland 1993; Davis & Johnson 1987; Meyer et al. 1961; Nyland 1996; Suhendang 1998) dengan persamaan:

N=No e-kD , dimana N : kerapatan (phn/ha) No,k : konstanta

E : ekspo nensial D : kelas diameter.

Gadow dan Hui (1999) memperkenalkan tiga model pertumbuhan untuk menentukan tinggi tegakan, yaitu model Bertalanffy, model Biging and Wensel (1985) dan model Schumacher, sebagai berikut :

a. Model Bertalanffy……….

b. Model Biging and Wensel (1985)….

c. Model Schumacher………

dimana H: tinggi (m), S: kelas tapak (baik:1, b uruk:0), e: ekspo nensial da n t: waktu. Gadow dan Hui (1999) mengembangkan persamaan untuk mengetahui luas bidang dasar tegaka n Cunninghamia lanceolata di China, yaitu:

H = a(1

-e

-bx

)

c

H= a.e-b1/t H= a.Sb

.(

1-e-ct

)

d

0,601 0,601 G2 = G1N21

-0,142H 2


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Forest Fire Threaten Indonesia Forest Plantation: a Case Study in Acacia mangium Plantation

0 4 16

Integration of GIS Model and Forest Management Simulation to Minimize Loss Risk By Illegal Cutting (A Case Study of The Teak Forest in District Forest of Cepu, Central Java)

0 16 120

Study on Spatial and Temporal Changes of Forest Cover Due to Canal Establishment in Peat Land Area, Central Kalimantan

0 6 29

The potency of Intensive Sylviculture System (TPTII) to support reduced emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) (a case study in concession of PT.Sari Bumi Kusuma in Central Kalimantan)

0 20 311

The potency of Intensive Sylviculture System (TPTII) to support reduced emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) (a case study in concession of PT.Sari Bumi Kusuma in Central Kalimantan)

0 22 597

Growth of plantation and residual trees on the intensified indonesian selective cutting and planting. Case study in PT Gunung Meranti Forest Concession Area, Central Kalimantan Province

0 21 394

The Linkage Between Growth, Unemployment and Income Inequality on Poverty in Central of Java Province, 2004-2010

1 8 184

Stand structure dynamic for forest yield regulation based on number of trees : case on a logged over area of a low and dry-land of tropical rain natural forest in Kalimantan

1 16 186

The Growth of Red Meranti (Shorea leprosula Miq.) with Selective Cuttingand Line Planting in areas IUPHHK-HA PT. Sarpatim Central Kalimantan

0 3 86

Analysis of Land and Forest Fires Hazard Zonation in Spatial Planning (Case Study in Palangka Raya City, Central Kalimantan Province).

2 16 135