I ntensitas cahaya Hasil pengukuran tingkat penutupan tajuk menggunakan densiometer Stuckle Kesimpulan

sandy clay loam pada permukaan lapisan A dan lempung caly pada lapisan AB dan B. Sedangkan struktur tanah berbentul gumpal dengan agregat kurang stabil dan pada lapisan bawah AB dan B mempunyai permeabilitas yang rendah. Secara umum kondisi tanah di jalur antara masih lebih baik dibanding jalur tanam dengan KTK yang lebih tinggi serta kandungan beberapa unsur makro dan mikro yang lebih baik. Hal ini mudah dipahami karena kondisi tanah masih terlindungi oleh tegakan yang cukup rapat. Namun demikian tanah podsolik merah kuning di lokasi penelitian tergolong tanah marginal yang memiliki kesuburan dan pH tanah yang rendah dengan kandungan Fe and Al yang relatif tinggi sehingga keberadaan P menjadi tidak tersedia MacKinnon, 2000. Keberadaan tegakan hutan yang rapat mampu membentuk siklus hara tertutup de ngan ka ndungan serasah da n hum us yang cukup teba l unt uk mendukung kehidupa n vegetasi di atasnya. Meskipun lapisan kanopi masih rapat namun erosi pada jalur antara sistem TPTJ masih terjadi sebesar 15,75 tonhath namun masih berada dalam katagori ringan Ditjen BPK, 2010b.

5.2.3 Distribusi diameter pohon

Grafik penyebaran diameter pada 4 kelompok pohon penyusun tegakan hutan bekas tebangan Et+0 di lokasi penelitian menyerupai huruf J terbalik, seperti terlihat pada Gambar 18. Gambar 18. Distribusi diameter empat kelompok pokom pada hutan bekas tebangan Et+0 sistem TPTII di PT Gunung Meranti 20 40 60 80 100 120 140 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Diameter cm Jum la h pohon Nha Kel meranti Kel dipt non meranti Kel kom lain ditebang Kel kom lain tdk ditebang Persamaan pembentuk kurva J terbalik pada Gambar 18 adalah: Persamaan yang mendukung po la J terbalik pada keempat kelompok pohon tersebut cukup menyakinkan karena nilai koefisien determinai cukup tinggi, berkisar antara 80,23 sampai 97,79. Pola persamaan J terbalik yang terbentuk menandaka n ba hwa struktur hutan alam alleven aged stand forest dalam penelitian ini masih terjaga dengan baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Meyer et al. 1961, Davis dan Johnson 1987, Nyland 1996; Suhendang 1995 dan Bettinger et al. 2009 yang menyatakan bahwa pola penyebaran diameter pada hutan alam menyerupai J terbalik dengan persamaan q=qo.e -cDBH . Persamaan tersebut mengandung komponen negatif pada diameter DBH yang berarti semakin besar diameter pohon maka semakin sedikit pop ulasinya N. 5.2.4 Model pertumbuhan dan has il tegakan tinggal Simulasi terhadap parameter-parameter vegetasi dan lingkungan serta interaksi antara keduanya dapat dipergunakan untuk menentukan siklus tebang yang sesuai dengan kondisi hutan. Kerangka pemikiran dalam pemodelan dinamika tegakan hutan berpedoman pada aspek kelestarian, baik kelestarian hutan maupun kelestraian produksi. Siklus tebang sebaiknya ditetapkan berdasarkan aspek kelestarian yang dicirikan dengan pulihnya struktur dan komposisi tegakan serta tercapainya volume produksi seperti semula sebelum ditebang. a. Batasan model dan formulasi diagram umpan balik Sistem silvikultur TPTII mempunyai dua lokasi pengelolaan, yaitu jalur tanam dengan sistem tebang habis permudaan buatan dan jalur antara dengan sistem tebang pilih. Sistem tebang pilih selective cutting dijalanka n de ngan meneba ng po hon- pohon komersial dengan limit diameter 40 cm ke atas, kemudian membuat jalur tanam dengan lebar 3 meter melalui tebang habis clear cutting. Pada siklus ke-2, tegakan tinggal hanya berada pada areal seluas 85 =1720 x100 dari areal semula siklus ke-1 karena telah terdapat jalur tanam sebesar 15. Kel meranti : N =193,59e -0,0551DBH ……… R 2 = 0,9630 Kel dipt non meranti : N =90,055e -0,0674DBH ……… R 2 = 0,8903 Kel kom lain ditebang : N =27,091e -0,0523DBH ……… R 2 = 0,8023 Kel kom lain tidak ditebang : N =364,07e -0,0945DBH ……… R 2 = 0,9779 Pemodelan menggunakan diagram aliran stok berupa kerapatan pohon Nha yang diawali dari pohon berdiameter 10-19 cm tingkat tiang. Kerapatan tiang kelas diameter 10-19 cm mendapat input berupa ingrowth dari tingkat pancang dan tingkat pancang dari semai sedangkan output-nya berupa ke matian mortality yang disebabkan oleh efek tebangan maupun persaingan alami yang merupakan fungsi dari kerapatan semua tegakan. Makin tinggi kerapatan tegakan maka semakin rendah pertumbuhannya. Namun demikian baik ingrowth maupun upgrowth sangat ditentukan oleh pertumbuhan po hon itu sendiri. Diagram umpan balik dinamika tegakan tinggal dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19. Diagram umpan balik dinamika tegakan hutan Pertumbuhan po hon mendapa tka n input dari uns ur hara da n cahaya. Kematian pohon dapat menambah unsur hara da lam tanah. Kerapa tan po hon-pohon besar akan menaungi dan mengurangi intensitas cahaya yang diterima pohon-po hon yang lebih kecil, termasuk tingkat semai dan pancang, sehingga makin rapat tegakan hutan maka maka semakin kecil peluang terjadinya ingrowth maupun upgrowth menuju kelas diameter di atasnya yang merupakan penjelmaan dari pertumbuhan pohon itu sendiri. Kerapatan masak tebang D ≥40 cm Kerapatan pohon D:30-39 cm Kerapatan semai Kerapatan pancang Kerapatan pohon D:20-29 cm Kerapatan tiang D:10-19 cm Laju tebangan Mati alam Diameter masak tebang Riap Serasah Hara tanah Biji dan tunas Ingrowth Upgrowth Upgrowth Upgrowth Intensitas Cahaya Curah hujan + + + + + + + + - - - - - - - - - - - - + - - + + Ingrowth + Mati efek tbg - - - - - - + + - Menurut Indrawan 2000, produksi biji merupakan awal dari aliran stock yang dimulai dari tingkat semai. Biji yang dihasilkan oleh pohon berkembang menjadi semai dan semai akan menjadi pancang dan seterusnya dengan faktor pembatas berupa kelembaban, makin lembab areal makin tinggi prosentase perkecambahannya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, keberadaan permudaan ini sangat dipengaruhi oleh kerapatan tegakan itu sendiri Favrichon Kim 1998; Vanclay 1995, 2001 sehingga semakin rapat tegakan hutan semakin tinggi laju kematiannya. b. Diskripsi model pada diag ram alir Pemodelan perkembangan tegakan tinggal dapat dilakukan pada setiap tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang, pohon dan pohon masak tebang melalui skema diagram alir Indrawan 2003a, 2003b. Input data dapat menggunakan data primer hasil pengukuran pada plot penelitian maupun data sekunder hasil penelitian pihak lain da n studi pustaka. Dalam penelitian ini data primer berupa riap tingkat tiang, pohon diameter 20-39 cm dan pohon masak tebang diameter 40 cm ke atas yang diolah menjadi persamaan ingrowth, upgrowth da n mortality serta data kerapatan untuk tingkat semai dan pancang. Gambar 20 menunjukkan diagram alir perkembangan tingkat semai, dimana kerapatan semai tergantung pada semai yang masuk dan keluar. Jumlah semai yang masuk ingrowth dipengaruhi oleh jumlah semai yang berkecambah dan kondisi kelembaban. Proses perkecambahan akan berjalan normal bila berada pada kelembaban yang cukup tinggi. Semai yang keluar disebabkan proses perpindahan dari tingkat semai ke tingkat pancang upgrowth dan karena kematian, baik kematian alami maupun akibat pemanenan kayu Indrawan, 2003a. Gambar 21 menunjukkan diagram alir perkembangan tingkat pancang, dimana kerapatannya dipengaruhi oleh pancang yang masuk ingrowth dan pancang yang keluar, baik karena proses perpindahan menuju tingkat tiang upgrowth maupun kematian alami dan kematian akibat efek tebangan Indrawan 2003a. Gambar 22 menunjukkan diagram alir perkembangan tingkat tiang, dimana kerapatannya dipengaruhi oleh tiang yang masuk ingrowth da n tiang yang ke luar, baik karena proses perpindahan menuju tingkat pohon upgrowth maupun kematian alami dan kematian akibat efek tebangan Indrawan 2003a. Gambar 20. Model perkembangan tingkat semai setelah penebangan Gambar 21. Model perkembangan tingkat pancang setelah penebangan Gambar 22. Model perkembangan tingkat tiang setelah penebangan Kerapatan semai Mati semai Upgrowth semai Ingrowth semai Prosen Upgrowth semai Mati alami Prosen mati akibat logging Laju tebangan Ef ek kelembaban Kelembaban Peny edia semai Kerapatan pancang Mati pancang Upgrowth pancang Ingrowth pancang Prosen Upgrowth pancang Mati alami Prosen mati akibat logging Laju tebangan Upgrowth semai Kerapatan tiang Mati tiang Upgrowth tiang Ingrowth tiang Prosen Upgrowth tiang Mati alami Prosen mati akibat logging Laju tebangan Upgrowth pancang Gambar 23 menunjukkan diagram alir perkembangan tingkat pohon diameter 20- 39 cm, dimana kerapatannya dipengaruhi oleh pohon yang masuk ingrowth dan pohon yang keluar, baik karena proses perpindahan menuju tingkat pohon masak tebang upgrowth diameter 40 cm ke atas maupun kematian alami dan kematian akibat efek tebangan Indrawan 2003a. Gambar 23. Model perkembangan tingkat pohon setelah penebangan Gambar 24 menunjukkan diagram alir perkembangan tingkat pohon masak tebang diameter 40 cm ke atas, dimana kerapatannya dipengaruhi oleh pohon diameter 20-39 cm yang masuk dan pohon masak tebang yang keluar disebabkan kematian alami dan kematian akibat penebangan dengan adanya laju penebangan pohon masak tebang Indrawan 2003 a. Gambar 24. Model perkembangan tingkat pohon masak tebang Kerapatan pohon Mati pohon Upgrowth pohon Ingrowth pohon Peluang phn pindah Mati alami Prosen mati akibat logging Laju tebangan Upgrowth tiang Kerapatan pohon MT Mati pohon MT Laju tebangan Ingrowth pohon MT Peluang phn pindah Mati alami Prosen mati akibat logging Prosen tebangan Upgrowth pohon

c. Persamaan ingrowth, upgrowth dan mortality

1 Ingrowth Ingrowth disini adalah perpindahan tingkat pancang menuju tingkat tiang sebagai respon dari pertumbuhan tingkat pancang dan kerapatan tegakan secara keseluruhan. Persamaan ingrowth diolah melalu data hasil pengukuran sebanyak empat kali. Dalam merancang pemodelan dinamika hutan, ingrowth merupakan fungsi dari luas bidang dasar tegakan B dan kerapatan N Buongiorno Michie 1980; Coates 2002 dalam Fyllas 2010; Vancly 2001. Persamaan ingrowth yang mencerminka n perpindahan dari tingkat pancang ke dalam tingkat tiang dalam waktu satu tahun adalah seba gai berikut: Kelompok meranti……………………………. ig=12,3906-0,3198N+0,3947B R 2 = 0,5470 Kelompok dipterocarp non meranti................... ig= 2,7261+0,0289N-0,1396B R 2 = 0,2201 Kelompok komersial lain................................... ig= 76,2581-0,4653N-1,6808B R 2 = 0,7686 dimana: ig= ingrowth, N= kerapatan phnha, B= luas bidang dasar m 2 ha Pengelompokkan jenis pohon menjadi tiga kelompok seperti tersebut di atas telah banyak dilakukan para peneliti hutan alam seperti Favrichon dan Kim 1998, Rombe 1981 dan lain- lain. Mudah dipahami bahwa semakin detail pengelompokkan jenis maka semakin baik hasil yang didapatkan, namun cara ini sering kali menyulitkan dalam memperoleh konstanta yang lebih representatif. Berdasarkan persamaan ingrowth di atas, dapat diketahui bahwa fungsi ingrowth pada kelompok meranti berbanding terbalik dengan kerapatan tegakan N yang mengindikasikan ba hwa semakin rapat kondisi tegakan semakin kecil peluang terjadi ingrowth pada kelompok jenis ini. Pada penelitian ini ingrowth berupa perpindahan dari tingkat pancang ke dalam tingkat tiang dan pada fase ini kelompok jenis meranti sangat memerlukan ketersediaan cahaya yang optimal. Kelompok dipterocarp non meranti berbanding terbalik dengan aspek luas bidang dasar B karena luas bidang dasar pada dasarnya merepresentasikan kerapatan tegakan, makin tinggi kerapatan tegakan makin besar nilai luas bidang dasarnya. Fenomena yang sama juga terjadi pada kelompok rimba campuran dan kayu indah. Pada kelompok komersial lain terjadi fenomena yang lebih jelas bahwa fungsi ingrowth berbanding terbalik dengan kerapatan tegakan yang dicerminkan dalam bentuk jumlah pohon per ha N dan luas bidang dasar B dengan koefisien determinasi 76,86. Nilai koefisien determinasi, yang menunjukkan besarnya variasi kerapatan tegakan N dan luas bidang dasar B dalam menerangkan peubah ingrowth, pada penelitian ini berkisar antara 22,01 sampai 76,86. Variasi komponen lain dapat berasal dari indek kualitas tapak Vanclay 1989 dalam Vanclay 2001, indek fotosintesis McMurtrie et al. 1990, lapisan kanopi tajuk Bossel Krieger 1991 dan lain- lain. Namun sejalan dengan pendapat Vanclay 1995, bahwa hambatan dalam pemodelan hutan tropis campuran mixed tropical forest terletak pada keterbatasan data pendukung untuk menentukan kualitas tapak, aspek fisiologis, ekologis dan interaksi ekosistem yang komplek. Upaya menuangkan dinamika ekosistem hutan tropis yang komplek ke dalam sebuah model masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam dengan menggabungkan semua fungsi yang terkait. Hingga saat ini pemodelan dinamika hutan masih menggunakan beberapa komponen dasar seperti riap, kerapatan, luas bidang dasar, disturbance dan lain- lain. Hal inilah yang menyebabkan nilai koefisien determinasi pada setiap persamaan ingrowth da n juga upgrowth da n mortality selalu berada pada kisaran rendah sampai sedang. Sebagai perbandingan, nilai koefisien determinasi persamaan ingrowth yang ditemukan oleh Buongior no et al. 1995 sebesar 37-47, Volin and Buongiorno 1996 sebesar 44-53, Favrichon and Kim 1998 sebesar 4-10 dan Labetubun 2004 sebesar 17,9 -42,7 . 2 Upgrowth Definisi upgrowth dapat diberikan sebagai peluang pohon yang hidup dalam kelas diameter tertentu yang pindah ke dalam kelas diameter di atasnya dalam waktu satu tahun. Upgrowth merupakan fungsi dari nilai tengah diameter D dan luas bidang dasar B Buongiorno et al. 1995, Favrichon 1998, Favrichon Kim 1998, Fyllas et al. 2010, Vanclay 1995. Persamaan upgrowth dalam pe nelitian ini dibagi dalam tiga kelompok jenis, yaitu meranti, dipterocarp non meranti serta komersial lain, sebagai berikut: Kelompok meranti: ug= 0,1729+0,0765D-0,0029D 2 +0,0000273D 3 -0,002B R 2 = 0,5356 Kelompok dipterocarp non meranti: ug= 0,5764+0,0048D-0,00066D 2 +0,00000736D 3 -0,00023B R 2 = 0,3680 Kelompok ko mersial lain ug= 7,1901-0,4323D+0,0088D 2 -0,000059D 3 -0,00075B R 2 = 0,9231 dimana: ug=upgrowth, D= diameter cm, B=luas bidang dasar m 2 ha Berdasarkan persamaan di atas, dapat diketahui bahwa upgrowth pada semua kelompok jenis berbanding terbalik dengan fungsi luas bidang dasar B yang mengindikasikan bahwa semakin rapat kondisi tegakan maka semakin kecil peluang terjadi upgrowth pada semua jenis pohon diberbagai tingkatan. Pada penelitian ini upgrowth berupa perpindahan dari kelas diameter 20-29 cm ke 30-39 cm ke 40-49 cm ke 50-59 cm ke 60 cm up. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa semua pohon dalam tegakan hutan sangat memerlukan ruang tumbuh yang optimal untuk pertumbuhannya. Nilai koefisien determinasi, yang menunjukkan besarnya variasi diameter D dan luas bidang dasar B dalam menerangkan peubah upgrowth, pada penelitian ini berkisar antara 36,8 sampai 92,31. Sebagaimana yang terjadi pada ingrowth, variasi komponen lain dapat berasal dari indek kualitas tapak, indek fotosintesis, lapisan kanopi tajuk dan lain- lain. Belum banyak penelitian yang mengungkapkan secara lengkap aspek kualitas tapak, fisiologis, ekologis dan interaksi ekosistem yang komplek dalam hutan tropis sehingga besaran variabel fungsi yang diperlukan dalam pemodelan masih sangat terbatas. Koefisien determinasi pada kelompok komersial lain dalam penelitian ini sangat besar, yaitu 92,31 sehingga persamaan upgrowth yang terbentuk dapat menerangka n dinamika hutan tropis secara lebih baik. Beberapa penelitian upgrowth masih memberikan nilai koe fisien determinasi yang relatif kecil, seperti pada penelitian Buongiorno et al. 1995 sebesar 1,3-40; Volin and Buongiorno 1996 sebesar 6-14; Favrichon 1998 sebesar 5-22 ; Favrichon and Kim 1998 sebesar 57-71 dan Labetubun 2004 sebesar 10,7 -14,6. Menurut Suhendang 1998, rendahnya nilai koefisien determinasi di hutan alam disebabkan tidak terkendalinya pengaruh berbagai faktor lingkungan yang ada, baik bersifat hayati asosiasi berbagai jenis pohon berkayu dan non kayu serta kehidupan lain dalam hutan maupun non hayati faktor edapistapak dan klimatis serta interaksi diantara faktor- faktor tersebut. 3 Mortality Mortality adalah banyaknya pohon yang mati dalam tegakan hutan dalam satuan waktu tertentu. Dalam penelitian ini, mortality berarti jumlah pohon yang mati dalam kelompok jenis dan kelas diameter tertentu selama satu tahun. Kematian pohon dalam hutan yang dikelola dapat disebabkan faktor alam dan faktor disturbance , seperti efek penebangan, sehingga sulit mengaitkan kematian pohon dalam hutan seperti ini hanya sekedar dari faktor alam saja. Berdasarkan hasil penelitian Elias 1997 dan Sist and Bertault 1998 bahwa tingkat kerusakan tegakan tinggal, yang dapat bermuara pada kematian, sangat berkaitan dengan intensitas peneba ngan yang dilakuka n. Kematian catastropic pencurian kayu, kebakaran dll tidak diperhitungan dalam persamaan yang akan dibuat. Para peneliti hutan sering menuliskan persamaan kematian pohon hanya dari besaran pohon yang mati dalam kelompok jenis dan kelas diameter tertentu selama kurun waktu satu tahun Favr ichon 1998; Labetubun 2004. Favrichon and Kim 1998 hanya menentukan mortality berdasarkan prosentase kematian pohon dan dianggap konstan setiap tahun. Peneliti yang lain masih memasukkan komponen kerapatan hutan sebagai faktor yang mempengaruhi mortality. Perbedaan metode penent uan mortality sangat ditentuka n oleh ko ndisi hutan yang ada dengan mempertimbangkan nilai koefisien determinasinya. Metode pembuatan persamaan mortality dalam penelitian ini mengacu pada Favrichon 1998 dan Labetubun 2004 dengan hasil seba gai berikut : Kelompok meranti: m= 1,2667-0,0891D+0,0022D 2 -0,000018D 3 R 2 = 0,4577 Kelompok dipterocarp non meranti: m= 2,0775-0,1111D+0,00186D 2 -0,0000091D 3 R 2 = 0,4745 Kelompok ko mersial lain m= 5,1179-0,2896D+0,0057D 2 -0,000038D 3 R 2 = 0,4779 dimana: m=mortality, D= diameter cm Nilai koefisien determinasi dalam persamaan mortality ini berkisar antara 45,77 sampai 47,79 sehingga hanya besaran itulah yang mampu memberi informasi tingkat kematian pohon dalam hutan berdasarkan kelas diameternya. Faktor-faktor lain yang masih belum terakumulasi dalam persamaan ini, seperti hama penyakit, gulma, faktor edapis dan iklim mikro. Terdapat kecenderungan bahwa semakin besar diameter pohon maka semakin tinggi peluang untuk mati. Fenomena ini dapat membatasi keberadaan pohon sampai mencapai diameter yang tidak terbatas. Nilai koefisien determinasi pada persamaan mortality yang didapatkan beberapa peneliti lain sebesar 4-79 Favrichon 1998 dan 12,4-29,6 Labetubun 2004. Dengan metode yang agak berbeda, beberapa peneliti mendapatkan nilai koefisien determinasi sebesar 7 Buongiorno et al. 1995 dan 2-3 Volin Buongiorno 1996. 5.2.5 Respon penge lolaa n hutan denga n sistem TPTII pada tegakan tinggal di jalur antara Sistem silvikultur TPTII mempunyai dua areal pengelolaan yang berbeda namun tetap menjadi satu kesatuan ekosistem. Areal pengelolaan pertama berupa tanaman yang terdapat dalam jalur tanam selebar 3 meter dan areal pengelolaan kedua berupa tegakan tinggal dalam jalur antara jalur konservasi selebar 17 meter yang terdiri dari tingkat semai, tingkat pancang, tingkat tiang, tiang pohon dan tingkat pohon masak tebang. Pemanen kayu pada kegiatan tebang penyiapan lahan dilakukan dengan batas diameter 40 cm ke atas disusul pembuatan jalur tanam selebar 3 meter. Kegiatan tersebut telah menimbulkan dampak pada perkembangan tegakan tinggal berupa kematian akibat penebangan serta perubahan lingkungan. Dengan asumsi adanya kegiatan pemanenan kembali pada jalur antara dengan batas diameter 40 cm ke atas, maka dengan menggunakan asumsi-asumsi berdasarkan data primer hasil pengukuran pada plot penelitian serta dibantu data sekunder hasil penelitian pihak lain dan studi pustaka didapatkan respon tegakan tinggal terhadap kegiatan sistem TPTII ini. Pemodelan tegakan tinggal untuk tingkat pohon masak teba ng diameter 40 cm ke atas berguna untuk memprediksi siklus tebang yang sesuai dengan kondisi hutan atau telah pulihnya struktur dan kompos isi jenis serta kembalinya potensi hutan seperti semula, sesuai jatah tebangan tahunan annual allowable cut yang wajar, misalnya dengan berpedoman pada ketentuan jumlah pohon inti sebanyak 25 pohon per ha atau pada potensi hutan sebelum penebangan yang diperoleh dari hasil ITSP yang merupaka n cermina n kondisi hutan klimak virgin forest. Pemod elan tegakan tinggal dalam jalur antara menggunakan asumsi tidak ada kegiatan pembinaan hutan, seperti pembebasan libering, penanaman pengayaan enrichment planting dan penjarangan thinning. Tegakan tinggal tingkat semai, pancang, tiang dan pohon dalam jalur antara tumbuh secara alami melalui mekanisme suksesi. Syarat kelayakan pengelolaan hutan mengacu pada jumlah pohon masak tebang minimal yang boleh ditebang per hektar yang harus terdapat pada areal yang dikelola agar dapat memberikan keuntungan secara finansial Suhendang 1985. Salah satu indikator pengelolaan hutan alam produksi lestari adalah terciptanya tingkat pemanenan lestari untuk setiap jenis hasil hutan kayu dan nir kayu pada setiap tipe ekosistem SK Menhut Nomor 4795Kpts-II2002 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolan Hutan Alam Produksi Lestari Lestari: Kriteria 2, indikator 2.2.. Model perkembangan kerapatan pohon masak tebang pada jalur antara sistem TPTII disusun berdasarkan dinamika tegakan sebagai fungsi dari kerapatan tegakan secara keseluruhan yang dicerminkan melalui dinamika jumlah pohon per ha dan luas bidang dasar per ha, dengan asumsi makin rapat tegakan hutan maka semakin besar persaingan tempat tumbuh sehingga semakin kecil pertumbuhan pohon. Pertumbuhan pohon dapat dicerminkan melalui perpindahan diameter pohon menuju kelas diameter di atasnya upgrowth. Berdasarkan hasil simulasi menggunakan diagram alir perkembangan pohon masak tebang, diperoleh gambaran wakt u siklus tebang yang sesuai dengan kondisi hutan, dimana struktur dan komposisi pohon tebang telah kembali seperti semula. Penetapan siklus tebang yang sesuai dengan kondisi hutan dapat menciptakan kelestarian hutan dan kelestraian produksi dalam jangka panjang. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa siklus tebang tegakan hutan pada jalur antara sistem TPTII adalah 26 tahun pada siklus ke-1 dan 40 tahun pada siklus ke-2. Pada Gambar 25 terlihat bahwa penurunan grafik pada siklus ke-1 terjadi pada tahun ke-26 dan penurunan pada siklus ke-2 terjadi pada tahun ke-66. Selisih antara 66 dan 26 adalah 40 yang menunjukkan waktu siklus ke-2. Berdasarkan perbandingan data aktual dan hasil pemodelan, maka mean absolute percentage error MAPE mode l perkembangan kerapatan pohon masak tebang ini mempunyai tingkat kesalahan 22,60 . Gambar 25. Respon perkembangan kerapatan pohon masak tebang terhadap pemanenan jenis komersial ditebang sistem TPTII di areal kerja PT Gunung Meranti Penambahan waktu pada siklus tebang ke-2 selama 14 tahun dari siklus tebang ke-1 menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh yang disebabkan adanya biomassa yang diangkut keluar dari ekosistem hutan melalui kegiatan penebangan pohon. Input unsur hara dari mineral tanah, curah hujan dan hasil penguraian bahan organik di lantai hutan masih belum mampu menciptakan kelestarian produksi dalam waktu yang sama seperti sebelumnya. Etat luas PT Gunung Meranti rata-rata sebesar 1.235 hath dengan jumlah produksi kayu bulat pada 20 tahun terakhir sejak tahun 19891990 sampai 2009 rata-rata 34,56 m 3 hath atau 5,1 pohonhath. Berdasarkan data ini dapat diketahui bahwa produktifitas hutan di PT Gunung Meranti hanya 0,45 m 3 hath. Menurut Ditjen BPK 2010b, sampai tahun 2003 produktifitas hut an alam di Indo nesia hanya sebesar 1,1-1,4 m 3 hath dan sampai tahun 2007 turun menjadi 0,46 m 3 hath. Menurut Suparna 2010 produktifitas hutan alam tahun 2009 hanya 0,25 m 3 hath. Pada siklus tebang ke-2 perusahaan mendapatkan jatah teba ngan dari jalur antara dengan luas 85 dari jatah tebangan tahunan ditambah hasil produksi tanaman meranti Shorea leprosula yang berasal dari jalur tanam. Sistem TPTII merupakan upaya terkini yang dilakukan pakar kehutanan di Indonesia untuk meningkatkan produktifitas hutan alam produksi agar mampu bersaing dengan sektor usaha lainnya. Sistem tebang pilih selective cutting yang masih diadops i sistem TPTII merupakan keunggulan yang tidak dapat ditandingi oleh sektor manapun juga, karena Respon kerapatan pohon masak tebang MT Page 1 0.00 14.00 28.00 42.00 56.00 70.00 Y ears 1: 1: 1: 15 30 1: Kerapatan MT 1 1 1 1 1 didalamnya masih menyi mpa n ratusan ribu keanekaragaman hayati, flora da n fauna, serta tetap menjaga fungsi hidroorologi dan cadangan karbon yang potensial. Oleh karena itu meskipun produktifitasnya relatif rendah namun masih mempunyai keunggulan lain, baik yang dapat dirasakan langsung maupun tidak langsung. Kegiatan pemanenan kayu sistem TPTII juga berdampak pada tegakan tinggal. Berdasarkan pemodelan menggunakan data primer dan sekunder dari hasil penelitian pihak lain serta studi pustaka Appanah 1990, Elias et al. 1997, Indrawan 2000, Sist Bertault 1998 dan Whitmore 1975 diperoleh gambaran respon perkembangan tegakan tinggal tingkat semai, pancang, tiang dan pohon inti diameter 20-39 cm seperti terlihat pada Gambar 26, 27, 28 dan 29. Persamaan serta nilai yang digunakan untuk membentuk model persamaan ini dapat dilihat pada Lampiran 11. Permudaan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon diameter 20-39 cm mengalami penurunan setelah kegiatan penebangan dilakukan. Permudaan yang mati akibat penebangan akan segera diganti oleh permudaan lainnya. Permudaan yang cacat dan dalam proses kematian akibat penebangan juga masuk dalam dinamika pemodelan yang dicerminkan melalui kematian permudaan akibat penebangan dan mati alami setiap tahunnya. Tingkat kecepatan pemulihan kerapatan permudaan sangat tergantung pada intensitas penebangan serta struktur dan komposisi tegakan tinggal yang bersangkutan. Gambar 26. Respon perkembangan kerapatan tingkat semai terhadap pemanenan jenis komersial ditebang di areal kerja PT Gunung Meranti 6:52 21 Okt 2010 Respon tingkat semai terhadap pemanenan Page 1 0.00 17.50 35.00 52.50 70.00 Y ears 1: 1: 1: 15000 30000 1: K Semai 1 1 1 1 Gambar 27. Respon perkembangan kerapatan tingkat pancang terhadap pemanenan jenis komersial ditebang di areal kerja PT Gunung Meranti Model perkembangan kerapatan tingkat semai dan pancang terhadap pemanenan jenis komersial ditebang seperti terlihat pada Gambar 26 dan Gambar 27 mempunyai mean absolute percentage error MAPE masing- masing sebesar 36,60 dan 21,39. Dengan demikian model tersebut masih layak dipakai karena mempunyai keakuratan yang cukup tinggi . Gambar 28. Respon perkembangan kerapatan tingkat tiang terhadap pemanenan jenis komersial ditebang di areal kerja PT Gunung Meranti 7:40 21 Okt 2010 Respon tingkat pancang terhadap pemanenan Page 1 0.00 17.50 35.00 52.50 70.00 Y ears 1: 1: 1: 3000 6000 1: Kerapatan Pancang 1 1 1 1 8:59 21 Okt 2010 Respon tingkat tiang terhadap pemanenan Page 1 1.00 18.25 35.50 52.75 70.00 Y ears 1: 1: 1: 250 500 1: Kerapatan tiang 1 1 1 1 Gambar 29. Respon perkembangan kerapatan tingkat pohon diameter 20-39 cm terhadap pemanenan jenis komersial ditebang di areal kerja PT Gunung Meranti Model perkembangan kerapatan tingkat tiang dan pohon diameter 20-39 cm terhadap pemanenan jenis komersial ditebang seperti terlihat pada Gambar 28 dan Gambar 29 mempunyai mean absolute percentage error MAPE masing- masing sebesar 71,9 dan 43,51. Dengan demikian model tingkat tiang belum menunjukkan akurasi yang tinggi dalam memprediksi dinamika kerapatan dan model tingkat pohon masih dapat dipakai karena mempunyai keakuratan yang cukup. Tingginya tingkat kesalahan pada model tingkat tiang diduga disebabkan pendeknya rentang kelas diameter tingka t tiang, yaitu hanya 10-20 cm bila dibandingkan rentang kelas diameter tingkat pohon, dari 20-39 cm, sehingga kerapatan vegetasi penyusun tingkat tiang relatif lebih sedikit dibanding tingkat pohon apalagi bila dibandingkan tingkat semai dan pancang. Permudaan pancang besar yang telah mencapai diameter 9,9 cm atau pohon kecil berdiameter 20,1 cm sudah tidak lagi menjadi bagian dari tingkat tiang. Respon tegakan tinggal mengikuti perubahan yang terjadi akibat penebangan jenis komersial. Pada saat mencapai siklus tebang ke-1, yaitu 26 tahun, terjadi penurunan jumlah permudaan tingkat semai, pancang, tiang dan po hon namun secara bertahap akan pulih kembali. Selama tidak ada kegiatan penebangan liar atau gangguan lainnya, maka struktur dan komposisi tegakan tinggal dapat digambarkan dalam model dan berkembang sesuai dengan yang diharapkan. 9:07 21 Okt 2010 Respon tingkat pohon terhadap pemanenan Page 1 1.00 18.25 35.50 52.75 70.00 Y ears 1: 1: 1: 100 200 1: K Phn 1 1 1 1

5.2.6 Evaluasi model

Untuk mengetahui keakuratan model yang dihasilkan dilakukan evaluasi atas model dengan cara membandingkan hasil proyeksi struktur dan komposisi tegakan pada model expected dengan data dinamika struktur dan komposisi tegakan hasil pengukuran langsung di lapangan observed. Dalam penelitian ini data dinamika struktur dan komposisi tegakan hutan observed merupakan data hasil pengukuran Petak Ukur Permanen pada blok sistem TPTI selama 7 tahun, yaitu antara tahun 1998 sampai 2005. Evaluasi model dilakukan terhadap struktur dan komposisi pohon masak tebang menggunakan uji Chi Kwadrat dan menghasilkan nilai χ 2 hitung sebesar 11,94 yang lebih kecil dibanding χ 2 tabel 0,95 sebesar 35,2 terima H0 sehingga model yang dihasilkan dapat dihandalkan dapat digunakan. Perhitungan selengkapnya tersaji dalam Lampiran 12. 5.2.7 Analisis sensitifitas Berdasarkan hasil simulasi pada beberapa parameter penentu dan dengan memperhatikan grafik dan besaran hasil analisis didapatkan besaran parameter indikator. Apabila nilai parameter indikator tidak jauh berbeda dengan nilai semula, maka parameter penentu tersebut dikatakan tidak sensitif. Apabila hasil simulasi pada beberapa parameter penentu menyebabkan perubahan yang signifikans terhadap parameter indikator maka parameter penentu tersebut dikatakan sensitif. Hasil simulasi dengan beberapa parameter penentu disajikan dalam Tabel 16. Tabel 16. Sensitifitas parameter-parameter dalam model dinamika tegakan hutan Ingrowth sangat mempengaruhi kerapatan tiang diameter 10-19 cm karena stocknya tumbuh dari persamaan ingrowth yang telah dibuat. Namun pengaruh No Parameter penentu Parameter indikator KT D:10-19 KP D:20-29 KP D:30-39 KP D:40-40 KP D:50-59 KP D:60 up Siklus Tbg 1 Ingrowth s ts ts ts ts ts ts 2 Upgrowth ts ts s ts ts s 3 Mortality ts ts ts s ts ts ts 4 Riap ts ts s ts ts s 5 Kerapatan phnha s s s s s s s 6 LBD m 2 ha s s s s s s s 7 Intensitas tebang ts ts ts ts ts ts ts 8 KMT ts ts ts s ts ts s Keterangan: KT= kerapatan tiang; KP= kerapatan pohon; D= diameter; KMT: kerapatan pohon masak tebang ingrowth semakin tidak signifikans pada kerapatan pohon di atasnya. Keberadaan upgrowth ternyata tidak berpengaruh pada kerapatan pohon yang ada kecuali pada tingkat pohon berdiameter 40-49 cm serta siklus tebangnya. Mortality tidak signifikans berpengaruh kecuali pada pohon berdiameter 40-49. Riap sebagai dasar pembentukan ingrowth dan upgrowth hanya signifikans mempengaruhi kerapatan pohon berdiameter 40-49 cm dan siklus tebang. Kerapatan pohon Nha dan luas bidang dasar m 2 ha cukup berpengaruh terhadap semua parameter indikator. Karena model ini sangat menekankan aspek kerapatan untuk mengontrol dinamika hutan. Intensitas tebang membawa efek pada kematian permudaan namun keberadaannya kurang signifikans bersama dengan mortality. Kerapatan pohon masak tebang berpengaruh pada kerapatan pohon berdiameter 40- 49 cm serta siklus tebang, karena waktu siklus tebang sangat ditentukan oleh pencapaian kerapatan pohon masak tebang. Makin banyak target Nha yang ditetapkan maka semakin panjang siklus tebangnya.

5.3 Analisis Vegetasi Tegakan Tinggal

Hutan hujan tropis di Kalimantan mengandung 10.000-15.000 jenis tumbuhan berbunga dan 3.000 jenis diantaranya adalah jenis pohon termasuk 267 jenis dari famili Dipterocarpaceae McKinnon et al. 2000. Kekayaan sumber daya hutan tersebut seharusnya dapat dimanfaat untuk kesejahteraan seluruh bangsa melalui pengelolaan yang efektif, efisien dan lestari. Daftar jenis pohon yang terdapat di areal PT Gunung Meranti disajikan dalam Lampiran 1. Tegaka n tinggal residual trees adalah semua vegetasi pada areal hutan bekas teba ngan logged over forest yang senantiasa tumbuh dan berkembang sampai mendekati kondisi seperti semula hutan klimak. Pemanfaatan tegakan tinggal pada tingkat po hon seharusnya mempe rhatika n strukt ur dan komposisinya serta daya dukung lingkungan agar dapat tercipta sistem pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan kelestarian. Pada penelitian ini, data tegakan tinggal tingkat semai, pancang, tiang dan pohon yang dianalisis diambil dari areal bekas tebangan Et+0, untuk mengetahui dominansi dan keanekaragaman jenisnya.

5.3.1 Analisis vegetasi tingkat semai a. Indek nilai penting tingkat semai

Indek nilai penting INP dapat menggambarkan dominasi suatu jenis dalam suatu komunitas dan merupakan cerminan dari kerapatan, frekwensi dan dominansinya Goldsmith et al. 1986; Soerianegara Indrawan 2005. Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat semai di loka si penelitian jenis meranti merah Shorea spp mempunyai kerapatan dan frekwensi yang paling tinggi baik pada kelerengan datar- landai maupun curam-agak curam dengan INP masing- masing sebesar 46,96 dan 58,29 menyusul jenis kayu arang Dyospyros sp dengan INP masing- masing sebesar 17,38 dan 36,1. Pada kelerengan datar- landai kerapatan jenis kayu arang cukup tinggi namun frekwensinya relatif rendah yang mengindikasikan keberadaan jenis ini lebih mengelompok pada kelerengan datar- landai dibanding pada kelerengan agak curam- curam. Urutan ke tiga ditempati jenis jambuan Syzigium sp pada kelerengan datar- landai dan jenis keranji Diallium sp pada kelerengan agak curam-curam. Menurut Indrawan 2000 jenis bunyau Shorea lamellata, kayu hitam Diospyros sp, meranti merah Shorea parvifolia da n mahang Macaranga pruinosa mempunyai peluang kehadiran yang paling tinggi pada suatu komunitas hutan, baik pada hutan primer maupun sekunder. Pada penelitian ini, ketiga jenis pertama telah ditemukan namun jenis ke empat mahang belum ditemukan. Di masa datang, peluang kemunculan jenis mahang akan sangat besar sebagai respon dari pembuatan jalur tanam karena jenis ini lebih menyukai tempat-tempat yang relatif terbuka. Tiga jenis dominan tingkat semai yang terdapat di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 17 sedangkan data hasil analisis INP tingkat semai selengkapnya disajikan pada Lampiran 5. b. Keanekaragaman jenis tingkat semai Indek keanekaragaman jenis species diversity H’ dapat menunjukkan tingkat keanekaragaman vegetasi pada suatu komunitas hutan, sehingga makin tinggi nilai H’ maka semakin banyak jenis yang menyusun komunitas hutan. Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat semai diketahui bahwa keanekaragaman jenis pada lokasi penelitian, baik pada kelerengan datar-landai maupun agak curam-curam, berada pada tingkat sedang dengan nilai H’ masing- masing sebesar 2,93 dan 2,44. Tabe l 17. Tiga jenis dominan tingkat semai pada hutan bekas tebangan Et+0 Indrawan 2000 mendapatkan nilai H’ tingkat semai pada areal hutan bekas tebangan Et+0 6 bulan setelah tebangan di PT Ratah Timber Co Kaltim sebesar 3,81 keanekaragaman tinggi sedangkan Pamoengkas 2006 mendapatkan nilai H’ tingkat semai pada areal hutan bekas tebangan Et+0 1 bulan setelah tebangan di PT Sari Bumi Kusuma Kalteng sebesar 1,77 keanekaragaman sedang. Dengan demikian keanekaragaman jenis pada lokasi penelitian berada diantara kedua lokasi tersebut. Indeks kekayaan jenis richness R1 dapat mempengaruhi tingkat keanekaragaman jenis. Nilai R1 dapat menunjukkan indeks kekayaan jenis pada suatu komunitas hutan, yang keberadaannya dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah individu yang terdapat dalam komunitas tersebut. Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada lokasi penelitian, dapat diketahui bahwa pada areal dengan kelerengan datar-sedang mempunyai nilai R1 yang tinggi, yaitu sebesar 6,23 sedangkan pada kelerengan agak curam-curam mempunyai nilai R1 sedang, yaitu sebesar 4,05. Dengan demikian areal dengan kelerengan datar-sedang mempunyai jumlah jenis keragaman α yang lebih tinggi, yaitu 33 jenis, dibanding areal dengan kelerengan agak curam-curam, sebesar 22 jenis, meskipun jumlah individunya lebih besar. Jumlah individu tingkat semai sebesar 20.238 batangha pada kelerengan datar- landai dan sebesar 28.500 batangha pada kelerengan agak curam-curam. Jumlah ini telah memenuhi persyaratan minimal jumlah semai sebesar 1000 semaiha sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 200Kpts-II1994 Dephut 1994 atau 20.000 semaiha sesuai Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor 151KptsIV-BPHH1993 Ditjen PH 1993. Kelerengan datar-landai Kelerengan agak curam-curam No Nama lokal Nama latin KR FR INP Nama lokal Nama latin KR FR INP 1 Meranti merah Shorea spp 32,3529 14,6067 46,9597 Meranti merah Shorea spp 34,6491 23,6364 58,2855 2 Kayu arang Dyospyros 11,7647 5,6180 17,3827 Kayu arang Dyospyros 19,7368 16,3636 36,1005 3 Jambuan Syzigium sp 4,7059 5,6180 10,3239 Keranji Diallium 12,2807 9,0909 21,3716 Tabe l 18. Indek keanekaragaman jenis tingkat semai pada hutan bekas tebangan Et+0 Menurut Sukanda dan Tampubolon 1987 dalam Indrawan 2000 jumlah tingkat semai di areal IUPHHK PT ITCI pada tegakan nol tahun setelah penebangan Et+0 sebesar 27.550 batangha sedangkan menurut Indrawan dan Kusmana 1987 dalam Indrawan 2000 jumlah tingkat semai di areal PT Inhutani I Berau pada tegakan nol tahun setelah penebangan Et+0 sebesar 92.600 batangha. Indek kemerataan jenis evenness E juga dapat menunjukkan tingkat penyebaran jenis pada suatu komunitas, dimana semakin besar nilai E maka semakin merata komposisi penyebaran jenisnya tidak didominasi beberapa jenis saja. Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada lokasi penelitian, dapat diketahui bahwa areal dengan kelerengan datar-sedang dan kelerengan agak curam-curam mempunyai tingkat kemerataan E semai yang tinggi, masing- masing sebesar 0,84 dan 0,78 sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar vegetasi tingkat semai menyebar merata dalam komunitas hutan. Indek kesamaan komunitas index of similarity tingkat semai di areal dengan kelerengan datar- landai 0-15 dan kelerengan agak curam-curam 15-30 sebesar 76,36 sehingga komunitas di kedua areal tersebut masih relatif sama.

5.3.2 Analisis vegetasi tingkat pancang a. I ndek nilai penting t ingkat pancang

Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat pancang, jenis meranti merah Shorea spp mendominasi lokasi penelitian pada kelerengan datar- landai dengan INP sebesar 51,11 sedangkan jenis kayu arang Dyiospyros sp mendominasi pada kelerengan agak curam-curam dengan nilai INP sebesar 30,3. Urutan kedua masih ditempati kedua jenis ini dengan INP yang sedikit berbeda, yaitu jenis kayu arang pada kelerengan datar-landai dengan INP sebesar 20,79 dan meranti merah pada kelerengan agak curam-curam dengan INP 28,92. Urutan ketika ditempati oleh No Kelerengan Indek keaneka- Indek kekayaan Indek kemerata Keragaman Jumlah raman jenis H jenis R1 an jenis E α Nha 1 Datar-landai 2,93 6,23 0,84 33 20.238 2 Agak curam-curam 2,44 4,05 0,78 22 28.500 medang Litsea bijuga dan keranji Diallium sp masing- masing pada kelerengan datar- landai dan agak curam-curam. Sesuai hasil penelitian Indrawan 2000, pada tingkat pancang jenis bunyau Shorea lamellata, keruing Dipterocarpus gaertner dan meranti merah Shorea parvifolia mempunyai peluang kehadiran yang paling tinggi pada suatu komunitas hutan, baik pada hutan primer maupun sekunder. Pada penelitian ini, jenis meranti masih tetap mendominasi lokasi penelitian namun jenis keruing berada pada urutan ke-4 pada kelerengan datar- landa i dan pada urutan ke-6 pada kelerengan agak curam- curam. Pada hutan sekunder ET+0 di PT Ratah Timber Co, jenis meranti Shorea gibbosa dan Shorea parvifolia mendominasi tingkat pancang dengan INP keduanya sebesar 18,07 dan pada penelitian ini jenis meranti merah Shorea spp1 mendominasi tingkat pancang dengan INP sebesar 28,92 - 51,11. Empat jenis dominan tingkat pancang yang terdapat di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 19 sedangkan data hasil analisis INP tingkat pancang selengkapnya disajikan pada Lampiran 6. Tabel 19. Empat jenis dominan tingkat pancang pada hutan bekas tebangan Et+0 b. Keanekarag aman jenis tingkat pancang Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat pancang diketahui bahwa keanekaragaman jenis pada lokasi penelitian, baik pada kelerengan datar- landai maupun agak curam-curam, berada pada tingkat sedang dengan nilai H’ masing- masing sebesar 2,78 dan 2,77. Indrawan 2000 mendapatkan nilai H’ tingkat pancang pada areal hutan bekas tebangan Et+0 di PT Ratah Timber Co Kaltim sebesar 4,17 keanekaragaman tinggi sedangkan Pamoengkas 2006 mendapatkan nilai H’ tingkat pancang pada areal hutan bekas tebangan Et+0 di PT Sari Bumi Kusuma Kalteng sebesar 1,97 Kelerengan datar-landai Kelerengan agak curam-curam No Nama lokal Nama latin KR FR INP Nama lokal Nama latin KR FR INP 1 Meranti mrh Shorea spp 34,630 16,484 51,114 Kayu arang Dyospyros 16,6667 13,6364 30,3030 2 Kayu arang Dyospyros 10,895 9,890 20,785 Meranti mrh Shorea spp 9,2262 19,6970 28,9232 3 Medang Litsea bijuga 8,171 8,791 16,962 Keranji Diallium 14,2857 13,6364 27,9221 4 Keruing Dipterocarpus spp 6,226 4,396 10,621 Mahawai Mizzethia 8,6310 7,5758 16,2067 keanekaragaman sedang. Dengan demikian keanekaragaman jenis pada lokasi penelitian masih berada diantara kedua lokasi tersebut. Tabel 20. Indek keanekaragaman jenis tingkat pancang pada hutan bekas tebangan Et+0 Indek kekayaan jenis R1 tingkat pancang pada kelerengan datar-sedang dan agak curam-curam tergolong sedang, masing- masing sebesar 4,69 dan 3,93 dan jumlah jenis yang terdapat pada kedua areal tersebut masing- masing 27 jenis dan 24 jenis dengan jumlah individu masing- masing sebesar 4.895 batangha dan 6.720 batangha. Jumlah ini telah memenuhi persyaratan minimal jumlah pancang sebesar 240 pancangha Kepmenhut No.200Kpts-II1994 atau 1.600 pancangha SK Dirjen PH No.151KptsIV-BPHH1993. Menurut Sukanda dan Tampubolon 1987 dalam Indrawan 2000 jumlah tingkat pancang di areal IUPHHK PT ITCI pada Et+0 sebesar 2.320 batangha sedangkan menurut Indrawan dan Kusmana 1987 dalam Indrawan 2000 jumlah tingkat pancang di areal PT Inhutani I Berau pada Et+0 sebesar 1.382 batangha. Hasil analisis tingkat pancang pada nila indek kemerataan jenis E menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok. Pada areal dengan kelerengan datar- landai mempunyai indek kemerataan yang rendah dengan nilai E sebesar 0,15 sedangkan pada kelerengan agak curam-curam mempunyai indek kemerataan yang tinggi dengan nilai E sebesar 0,87. Berdasarkan hasil analisis ini dapat diketahui bahwa areal dengan kelerengan agak curam-curam mempunyai penyebaran tingkat pancang yang merata sedangkan pada kelerengan datar- landai mempunyai penyebaran tingkat pancang yang tidak merata. Indek kesamaan komunitas index of similarity tingkat pancang di areal dengan kelerengan datar- landai 0-15 dan kelerengan agak curam-curam 15-30 sebesar 59,22 sehingga komunitas di kedua areal tersebut masih relatif sama, karena masih di atas 50. Rendahnya nilai indek kesamaan komunitas pada tingkat pancang disebabkan adanya persaingan alam dari tingkat semai menuju pancang. No Kelerengan Indek keaneka- Indek kekayaan Indek kemerata Keragaman Jumlah raman jenis H jenis R1 an jenis E α Nha 1 Datar-landai 2,78 4,69 0,15 27 4.895 2 Agak curam-curam 2,77 3,95 0,87 24 6.720 Banyak jenis tingkat semai yang tidak mampu menjadi pancang karena ketatnya persaingan terutama untuk mendapatkan sinar dan ruang tumbuh yang optimum. 5.3.3 Analisis vegetasi tingkat tiang a. I ndek nilai penting t ingkat tiang Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat tiang, jenis meranti merah Shorea spp mendominasi lokasi penelitian pada kelerengan datar- landai dan agak curam- curam de ngan INP masing- masing sebesar 96,16 dan 127,52 menyusul jenis keranji Diallium sp dengan INP masing- masing sebesar 36,85 dan 37,74 dan urutan ke-3 ditempati jenis keruing Dipterocarpus spp dengan nilai INP masing- masing 18,26 dan 24,24. Keberadaan jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae mulai mendominasi pada tingkat tiang ini, seperti meranti merah Shorea spp, keruing Dipterocarpus spp, bangkirai Shorea leavis, Hopea multiflora dan resak Vatica rasak. Keberadaan jenis kayu arang Dyiospyros sp da n jambuan Syzigium sp, yang cukup mendominasi pada tingkat semai dan pancang, nampak mulai menurun. Berdasarkan hasil penelitian Indrawan 2000, pada tingkat tiang jenis bunyau Shorea lamellata, meranti putih Shorea bracteolata dan terap Arthocarpus elasticus mempunyai peluang kehadiran yang paling tinggi pada suatu komunitas hutan, baik pada hutan primer maupun sekunder. Pada penelitian ini, jenis meranti merah Shorea spp muncul pada urutan pertama pada kelerengan datar- landai dan kelerengan agak curam dan curam. Jenis tarap Arthocarpus sp muncul di urutan ke-5 pada areal dengan kelerengan datar-landai. Tiga dominan tingkat tiang yang terdapat di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 21 sedangkan hasil analisis INP tingkat tiang selengkapnya disajikan pada Lampiran 7. b. Keanekarag aman jenis tingkat tiang Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat tiang diketahui bahwa keanekaragaman jenis pada lokasi penelitian, baik pada kelerengan datar- landai maupun agak curam- curam, berada pada tingkat sedang dengan nilai H’ masing- masing sebesar 2,75 dan 2,25. Tabe l 21. Tiga jenis dominan tingkat tiang pada hutan bekas tebangan Et+0 Indrawan 2000 mendapatkan nilai H’ tingkat tiang pada areal hutan Et+0 di PT. Ratah Timber Co Kaltim sebesar 2,19 keanekaragaman sedang sedangkan Pamoengkas 2006 mendapatkan nilai H’ tingkat tiang pada areal hutan Et+0 di PT Sari Bumi Kusuma Kalteng sebesar 2,50 keanekaragaman sedang. Dengan demikian keanekaragaman jenis tingkat tiang pada lokasi penelitian masih berada dalam kisaran yang wajar, karena beberapa tempat lain juga menunjukkan besaran yang relatif sama. Tabe l 22. Indek keanekaragaman jenis tingkat tiang pada hutan bekas tebangan Et+0 Indek kekayaan jenis R1 tingkat tiang pada kelerengan datar-sedang sebesar 6,68 atau berada dalam kisaran tinggi sedangkan pada kelerengan agak curam-curam tergolong sedang, dengan nilai 4,26. Kenyataan tersebut didukung dengan jumlah jenis, jumlah individu dan luas bidang dasar yang lebih besar pada kelerengan datar- landai. Jumlah jenis keragaman αs ebesar 38 jenis, sementara itu pada kelerengan agak curam-curam hanya 22 jenis. Jumlah individu dan luas bidang dasar masing- masing sebesar 356 tiangha dan 6,06 m 2 ha yang lebih be sar dibanding pada kelerengan agak curam-curam sebesar 204 tiangha dan 3,38 m 2 ha. Namun demikian jumlah tiang pada lokasi penelitian ini masih memenuhi persyaratan minimal jumlah tiang, yaitu sebesar 75 tiangha Kepmenhut No.200Kpts-II1994 atau 200 tiangha SK Dirjen PH No.151KptsIV-BPHH1993. No Kelerengan Indek keaneka- Indek kekayaan Indek kemerata Keragaman Jumlah LBD raman jenis H jenis R1 an jenis E α Nha m2ha 1 Datar-landai 2,75 6,68 0,76 38 356 6,06 2 Agak curam-curam 2,24 4,26 0,72 22 204 3,38 Kelerengan datar-landai Kelerengan agak curam-curam No Nama lokal Nama latin KR FR DR INP Nama lokal Nama latin KR FR DR INP 1 Meranti mrh Shorea spp 40,94 14,62 40,60 96,16 Meranti mrh Shorea spp 51,08 23,61 52,83 127,52 2 Keranji Diallium sp 11,42 13,08 12,35 36,85 Keranji Diallium sp 12,23 13,89 11,62 37,74 3 Keruing Dipterocarpus spp 6,69 4,62 6,96 18,26 Keruing Dipterocarpus spp 7,19 11,11 5,93 24,24 Menur ut Sukanda dan Tampubolon 1987 dalam Indrawan 2000 jumlah tingkat tiang di areal IUPHHK PT ITCI pada Et+0 sebesar 136 batangha sedangkan menurut Indrawan dan Kusmana 1987 dalam Indrawan 2000 jumlah tingkat tiang di areal PT Inhutani I Berau pada Et+0 sebesar 136 batangha. Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat tiang, dapat diketahui bahwa pada areal dengan kelerengan datar-sedang dan kelerengan agak curam-curam mempunyai tingkat kemerataan E yang tinggi, masing- masing sebesar 0,76 dan 0,72 sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar vegetasi tingkat tiang menyebar merata dalam komunitas hutan. Indek kesamaan komunitas index of similarity tingkat tiang di areal dengan kelerengan datar- landai 0-15 dan kelerengan agak curam-curam 15-30 sebesar 63,33 sehingga komunitas di kedua areal tersebut masih relatif sama.

5.3.4 Analisis vegetasi tingkat pohon a. I ndek nilai penting t ingkat pohon

Analisis tingkat pohon melibatkan dimensi vegetasi yang lebih luas, dimulai dari vegetasi berdiameter 20 cm sampai diameter 60 cm ke atas. Pada areal konsesi, vegetasi tingkat pohon sering menjadi perhatian utama karena sudah bernilai komersial. Jadwal pengaturan hasil, perhitungan etat volume dan pengelolaan hutan produksi lestari sering kali terpusatkan pada tingkat ini, padahal dalam hutan semua umur alleven aged forest vegetasi tingkat pohon terbentuk dari vegetasi tingkat tiang dan tingkat tiang terbentuk dari tingkat pancang yang berasal dari tingkat semai. Namun demikian perhitungan yang terpusat pada vegetasi tingkat pohon juga dapat dijadikan pedoman karena kelestarian produksi kayu tingkat pohon tidak terlepas dari kelestarian vegetasi tingkat tiang, pancang dan semai itu sendiri. Berdasarka n hasil analisis vegetasi tingka t pohon, jenis meranti merah Shorea spp1 mendominasi lokasi penelitian pada kelerengan datar-landai dan agak curam- curam de ngan INP masing- masing sebesar 98,24 dan 122,98 menyusul jenis keranji Diallium sp dengan INP masing- masing sebesar 22,885 dan 28,06 dan urutan ke-3 ditempati jenis bangkirai Shorea leavis dengan INP sebesar 21,16 pada kelerengan datar- landai dan jenis Scapium podocarpum dengan INP sebesar 20,24 pada kelerengan agak curam-curam. Keberadaan jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae semakin mendominasi pada tingkat pohon, seperti meranti merah Shorea spp, keruing Dipterocarpus spp, bangkirai Shorea leavis, tengkawang Shorea pinanga, Hopea multiflora, dan resak Vatica rasak. Keberadaan jenis keranji Diallium sp mulai menyusut dengan INP yang lebih kecil dibanding pada tingkat tiang meskipun masih berada pada urutan ke-2. Jenis kayu arang Dyiospyros sp da n jambuan Syzigium sp, yang cukup mendominasi pada tingkat semai dan pancang, keberadaannya semakin mengecil, sebaliknya jenis kempas Koompassia malaccensis, Scapium podocarpum dan mandarahan Knema pallens mulai nampak mengisi tingkat pohon meskpiun pada tingkat tiang, pancang dan semai berada pada kelompok urutan paling bawah atau tidak mendominasi vegetasi pada komunitas hutan. Meskpiun tidak sangat dominan, jenis kempas Koompassia malaccensis sering ditemui pada strata paling atas di hutan hujan trop is. Menur ut McKinnon et al. 2000, dalam daftar pohon-pohon pengisi lapisan strata atas, jenis kempas memiliki dimensi tinggi pohon yang paling besar. Dalam penelitian ini jenis kempas Koompassia malaccensis mempunyai INP sebesar 10,99 pada kelerengan datar- landai dan 7,4 pada kelerengan agak curam-curam. Enam jenis dominan tingkat pohon yang terdapat di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 23 sedangkan hasil analisis INP tingkat pohon selengkapnya disajikan pada Lampiran 8. Tabe l 23. Enam jenis dominan tingkat pohon pada hutan bekas tebangan Et+0 Kelerengan datar-landai Kelerengan agak curam-curam No Nama lokal Nama latin KR FR DR INP Nama lokal Nama latin KR FR DR INP 1 Meranti mrh Shorea spp 38,54 17,24 42,46 98,24 Meranti mrh Shorea spp 48,05 20,73 54,20 122,98 2 Keranji Diallium sp 8,29 7,76 6,83 22,88 Keranji Diallium sp 9,09 10,98 8,00 28,06 3 Bangkirai Shorea leavis 6,83 6,03 8,29 21,16 Scapium Scapium podocarpum 6,49 8,54 5,21 20,24 4 Keruing Dipterocarpus spp 6,34 6,03 5,03 17,40 Bangkirai Shorea leavis 4,55 7,32 7,03 18,89 5 Kempas Koompassia malaccensis 3,41 4,31 3,27 10,99 Keruing Dipterocarpus spp 4,55 3,66 4,20 12,41 6 Medang Litsea sp 3,41 4,31 2,35 10,07 Tengkawang Shorea pinanga 1,95 4,88 1,93 8,76 Berdasarkan hasil penelitian Indrawan 2000, jenis-jenis pohon yang terdapat pada hutan primer dan sekunder adalah bunyau Shorea lamellata, keruing Dipterocarpus gaertner, meranti putih Shorea bracteolata, tengkawang Shorea macrophylla, buan Daphiniphillum sp dan terap Arthocarpus elasticus. Pada penelitian ini, jenis meranti merah Shorea spp, keruing Dipterocarpus sp, tengkawang Shorea pinanga da n Arthocarpus sp juga ditemukan pada tingkat pohon, namun jenis buan Daphiniphillum sp belum teridentifikasi Indrawan 2000 menemukan jenis ulin Eusideroxylon zwageri pada inventarisasi tingkat pohon di hutan bekas tebangan Et+0 PT Ratah Timber Co. dalam penelitian ini jenis ulin ditemukan pada areal dengan kelerengan datar- landai dengan INP sebesar 4,89. Keberadaan jenis ini semakin diperlukan karena kebutuhan masyarakat lokal pada kayu ulin semakin meningkat sementara regenerasinya masih terbatas disebabkan pertumbuhannya yang lambat. b. Keanekarag aman jenis tingkat pohon Indek keanekaragaman jenis pohon H’ menunjukkan tingkat keanekaragaman pohon pada suatu komunitas hutan. Makin tinggi nilai H’ maka semakin banyak pohon yang menyusun komunitas hutan. Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat pohon diketahui bahwa keanekaragaman jenis pohon pada lokasi penelitian, baik pada kelerengan datar- landai maupun agak curam-curam, berada pada tingkat sedang dengan nilai H’ masing- masing sebesar 2,83 dan 2,41. Indrawan 2000 mendapatkan nilai H’ tingkat pohon pada areal hutan Et+0 6 bulan setelah tebangan di PT. Ratah Timber Co Kaltim sebesar 3,37 keanekaragaman tinggi sedangkan Pamoengkas 2006 mendapatkan nilai H’ tingkat pohon pada areal hutan Et+0 1 bulan setelah tebangan di PT.Sari Bumi Kusuma Kalteng sebesar 2,73 keanekaragaman sedang. Dengan demikian keanekaragaman jenis pada lokasi penelitian masih dapat diterima karena tidak berbeda dengan lokasi lainnya. Indek kekayaan jenis pohon R1 dapat menunjukkan kekayaan jenis pada suatu komunitas hutan, yang keberadaannya dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah pohon yang terdapat dalam komunitas tersebut. Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada lokasi penelitian, dapat diketahui bahwa pada areal dengan kelerengan datar-sedang dan kelerengan agak curam-curam mempunyai indek kekayaan jenis yang tinggi, masing- masing sebesar 6,95 dan 5,16 dengan jumlah jenis masing- masing 38 jenis dan 27 jenis. Jumlah individu tingkat pohon sebesar 287 pohonha pada kelerengan datar- landai dan sebesar 226 pohonha pada kelerengan agak curam-curam. Jumlah ini telah memenuhi persyaratan minimal jumlah pohon sebesar 25 pohonha Kepmenhut No.200Kpts-II1994 dan SK Dirjen PH No.151KptsIV-BPHH1993. Tabe l 24. Indek keanekaragaman jenis tingka t po hon pada hutan bekas tebangan Et+0 Indek kemerataan jenis E dapat menunjukkan tingkat penyebaran jenis pada suatu komunitas. Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada lokasi penelitian, dapat diketahui bahwa areal dengan kelerengan datar-sedang dan kelerengan agak curam- curam mempunyai tingkat kemerataan E yang tinggi, masing- masing sebesar 0,78 dan 0,73 sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar vegetasi tingkat pohon menyebar merata dalam komunitas hutan. Indek kesamaan komunitas index of similarity tingkat pohon di areal dengan kelerengan datar- landai 0-15 dan kelerengan agak curam-curam 15-30 sebesar 73,85 sehingga komunitas di kedua areal tersebut masih relatif sama. 5.3.5 Perbandinga n anal isis ve getasi tingkat semai, pancang, t iang dan pohon Hasil analisis vegetasi tingkat semai, pancang, tiang dan pohon dilukiskan pada Gambar 30. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa jenis meranti Shorea spp mendominasi hampir disemua tingkat, menyusul jenis keranji Diallium sp pada tingkat pohon dan tiang dan jenis kayu arang Diospyros spp pada tingkat semai dan pancang. Jenis yang menonjol lainnya adalah bangkirai Shorea leavis pada tingkat pohon, keruing Dipterocarpus spp pada tingkat tiang, medang Litsea spp pada tingkat pancang da n jambuan Syzigium sp pada tingkat semai. Jenis kayu arang Diospyros spp cukup mendominasi tingkat semai dan pancang, namun populasinya menurun ketika telah mencapai tingkat tiang dan No Kelerengan Indek keaneka- Indek kekayaan Indek kemerata Keragaman Jumlah LBD raman jenis H jenis R1 an jenis E α Nha m2ha 1 Datar-landai 2,83 6,95 0,78 38 287 33,45 2 Agak curam-curam 2,41 5,16 0,73 27 226 22,13 pohon, sebaliknya jenis bangkirai Shorea leavis tidak mendominasi tingkat semai, pancang dan tiang namun cukup mendominasi setelah mencapai tingkat pohon. Gambar 30. INP jenis-jenis dominan pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon Pada Tabel 25 terlihat bahwa keanekaragaman jenis pada lokasi penelitian hutan bekas tebangan – Et+0 berkisar antara 2,24 sampai 2,93 untuk semua tingkat pertumbuhan, sekaligus menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis berada pada tingkat sedang. Nilai H’ ini sudah cukup memadai karena beberapa penelitian serupa juga menunjukkan kisaran nilai yang hampir sama. Tabe l 25. Keanekaragaman jenis tingkat semai, pancang, tiang dan pohon pada hutan bekas tebangan Et+0 Sebagai perbandingan, Indrawan 2000 menemukan keanekaragaman jenis pada hutan bekas tebangan Et+0 di PT Ratah Timber Co Kaltim untuk tingkat semai, pancang, tiang dan pohon masing- masing 3,81; 4,17; 2,19 dan 3,37 dan Pamoengkas 2006 menemukan masing- masing 1,77; 1,97; 2,50 dan 2,73 untuk hutan bekas tebangan Et+0 di PT Sari Bumi Kusuma Kalteng. Perbandingan keanekaragaman jenis pada hutan bekas tebangan Et+0-1 di empat loka si di atas disajika n da lam Gambar 31. 20 40 60 80 100 120 Semai Pancang Tiang Pohon IN P Meranti Keranji Bangkirai Keruing Kayu arang Medang Jambuan Kelerengan Keanekaragaman jenis H Semai Pancang Tiang Pohon Datar-landai 0-15 2,93 2,78 2,75 2,83 Agak curam-curam 15-30 2,44 2,77 2,24 2,41 Gambar 31. Perbandingan indek keanekaragaman jenis pada hutan kekas tebangan Et+0 pada PT Gunung Meranti, PT Ratah Timber Co dan PT Sari Bumi Kusuma Pada Gambar 31 dapat dilihat bahwa keanakeragaman jenis pada tingkat semai dan pancang adalah yang paling tinggi, menyusul tingkat pohon dan tingkat tiang berada. Hal ini disebabkan pola pertumbuhan pohon adalah berbentuk sigmoid, yaitu pada awalnya tumbuh lambat, kemudian cepat sampai akhirnya lambat kembali dan berhenti. Tingkat tiang hanya berada pada kisaran diameter yang sempit, yaitu 10-20 cm dan diperkirakan berada pada fase pertumbuhan yang cepat sehingga keberadaan tingkat tiang selalau lebih kecil, karena tiang lebih cepat mengalami perpindahan kelas diameter menuju kelas diameter di atasnya upgrowth. Gambaran keanekaragaman jenis yang lebih komprehensip diberikan oleh Indrawan 2000, yang menyebutkan bahwa indek keanekaragaman jenis pada semua tingkat pertumbuhan berkisar antara 1,87 sampai 4,21 pada hutan primer dan hutan bekas tebangan Et+0 sampai Et+25 di PT.Ratah Timber Co. Kalimantan Timur serta 2,5 sampai 4,35 pada hutan primer dan hutan bekas tebangan Et+2 sampai Et+20 di PT.Inhutani II Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Sedangkan Pamoengkas 2006 menemukan kisaran nilai indek keanekaragaman jenis pada semua tingkat pertumbuhan antara 1,77 sampai 3,2 namun mayoritas berada pada kisaran nilai 2, pada penelitian keanekaragaman jenis di hutan primer, hutan bekas tebangan Et+0 sampai Et+5 PT. Sari Bumi Kusuma Kalimantan Tengah. 1 1 2 2 3 3 4 4 5 Semai Pancang Tiang Pohon Indek K eaneka ragam an Je ni s PT.Gunung Meranti datar-landai Et+1 PT.Gunung Meranti agak curam-curam Et+1 PT Ratah Timber Co Et+0 PT.Sari Bumi Kusuma Et+1

5.3.6 Analisis vegetasi kelompok jenis a. Indek nilai penting kelompok jenis

Dalam praktek pengelolaan hutan jenis pohon sering dipisahkan menjadi beberapa kelompok, seperti kelompok meranti, dipterocarp non meranti dan komersial lain Balitbanghut 2008, Rombe 1981, Wahyudi Matthew 1996 atau kelompok komersial ditebang, komersial tidak ditebang dan jenis lain Indrawan 2000 atau kelompok dipterocarp, non dipterocarp dan non komersial Pamoengkas 2006. Dephut 1997b mengelompokan pohon berdasarkan tarif provisi sumber daya hutan PSDH dan dana reboisasi DR yang terdiri dari kelompok meranti, kelompok rimba campuran, kelompok kayu indah dan kelompok kayu ebony. Dalam penelitian ini, pohon-pohon dalam hutan dikelompokan berdasarkan sifat botani kesamaan famili serta kemudahan dalam pembayaran PSDH dan DR, yaitu kelompok meranti, dipterocarp non meranti, rimba campuran ditebang, kayu indah ditebang dan komersial lain tidak ditebang. Pada beberapa analisis yang lain, ke-5 ke lompok ini dapat dilebur menjadi 3 tiga kelompok, yaitu kelompok meranti, dipterocarp non meranti dan komersial lain. Kelompok terakhir komersial lain merupakan gabungan dari kelompok rimba campuran, kayu indah dan komersial lain. Analisis vegetasi tingka t semai, pa ncang, tiang dan po hon pada kelompok jenis meranti, dipterocarp non meranti dan komersial lain diperlukan untuk mempermudah menganalisis struktur dan komposisi vegetasi berdasarkan kelompok jenisnya. INP pada hutan bekas tebangan Et+0 sistem TPTII pada kelerengan datar- landa i dan agak curam-curam untuk ketiga kelompok jenis di atas disajikan dalam Tabel 26. Struktur dan komposisi tegakan, khususnya tingkat pohon, pada kelerengan datar- landai dan agak curam-curam masih relatif sama dan kelompok jenis meranti masih mendominasi pada kedua daerah tersebut, menyusul kelompok komersial lain, karena terdiri dari banyak jenis, dan kelompok dipterocarp non meranti. Pada tingkat semai dan pancang kelompok jenis komersial lain paling menonjol, menyusul kelompok meranti dan dipteroc arp non meranti. Tabe l 26. Indek nilai penting kelompok jenis pada hutan bekas tebangan Et+0 b Kerapatan kelompok jenis Kerapatan kelompok jenis adalah jumlah individu per ha yang terdapat dalam kelompok jenis tersebut sesuai dengan tingkat pertumbuhannya semai, pancang, tiang, pohon. Data ini diperlukan untuk mengetahui kondisi hutan produktif atau tidak produktif, layak diperkaya atau tidak dan lain- lain serta menentukan kebijakan yang aka n dilakuka n sehubungan dengan kondisi hutan tersebut. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 200Kpts-II1994 Dephut 1994 bahwa kriteria hutan produksi alam yang tidak produktif adalah: 1 Pohon int i yang berdiameter minimum 20 cm kurang dari 25 pohonha 2 Pohon induk kurang dari 10 pohonha 3 Permudaan alam kurang, yaitu: a Permudaan tingkat semai kurang dari 1.000 batangha b Permudaan tingkat pancang kurang 240 batangha c Permudaan tingkat tiang kurang dari 75 batangha. Menurut Prof. Dr. A. Indrawan wawancara, perhitungan tersebut didasarkan pada jumlah petak ukur PU per ha sesuai tingkat pertumbuhan dikalikan dengan 100, 75, 60 dan 40 masing- masing untuk tingkat pohon, tiang, pancang dan semai, sebagai berikut: Tingkat Kelompok Jenis Kelerengan datar-landai Kelerengan agak curam-curam KR FR FR INP KR FR FR INP Meranti 40,588 19,101 59,689 34,6491 23,6364 58,285 Semai Dipt.non meranti 5,294 12,360 17,654 0,8772 3,6364 4,514 Komersial lain 54,118 68,539 122,657 64,4737 72,7273 137,201 Meranti 35,019 17,582 52,602 9,226 19,697 28,923 Pancang Dipt.non meranti 9,339 9,890 19,229 8,333 7,576 15,909 Komersial lain 55,642 72,527 128,169 82,440 72,727 155,168 Meranti 45,669 21,538 44,747 111,955 56,1151 31,9444 56,4938 144,5534 Tiang Dipt.non meranti 19,685 23,077 20,738 63,500 10,7914 18,0556 9,8648 38,7118 Komersial lain 34,646 55,385 34,515 124,545 33,0935 50,0000 33,6413 116,7349 Meranti 49,268 30,172 59,883 139,323 57,792 39,024 64,732 161,549 Pohon Dipt.non meranti 12,195 16,379 10,385 38,960 9,740 12,195 7,693 29,628 Komersial lain 38,537 53,448 29,732 121,717 32,468 48,780 27,575 108,823 1 Tingkat pohon = 10.000 m 2 400 m 2 x 100 = 25 batangha 2 Tingkat tiang = 10.000 m 2 100 m 2 x 75 = 75 batangha 3 Tingkat pancang = 10.000 m 2 25 m 2 x 60 = 240 batangha 4 Tingkat semai = 10.000 m 2 4 m 2 x 40 = 1.000 batangha Berdasarkan SK Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 151KptsIV-BPHH1993 Ditjen PH 1993 bahwa areal bekas tebangan pada IUPHHK tidak perlu diperkaya enrichment planting apabila memenuhi persyarakatan sebagai berikut: 1 Mempunyai pohon inti minimal 1 batangPU 1x25 PU= 25 btgha atau 2 Mempunyai permudaan tiang minimal 2 batangPU 2x100 PU=200 btgha atau 3 Mempunyai permudaan pancang minimal 4 batangPU 4x400 PU=1600 btgha 4 Mempunyai permudaan semai minimal 8 batangPU 8x2500 PU=20.000 btgha Berdasarkan hasil analisis vegetasi seperti terlihat pada Tabel 27, dapat diketahui bahwa kerapatan pohon pada lokasi penelitian lebih dari yang dipersyaratkan, begitu pula hasil analisis vegetasi pada hutan bekas tebangan ET+0 di PT Ratah Timber Co Indrawan 2000 dan PT Sari Bumi Kusuma Pamoengkas 2006. Tabe l 27. Kerapatan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon pada hutan bekas teba ngan Et+0 di lokasi penelitian dan beberapa tempat lain. Kriteria yang dibuat Dephut 1994 untuk menentukan status hutan alam produksi yang produktif atau tidak produktif dalam rangka kelayakan untuk dikonversi menjadi hutan tanaman. Dengan demikian lokasi penelitian yang terdapat di areal PT Gunung Meranti, PT Ratah Timber Co dan PT Sari Bumi Kusuma tersebut masuk Tingkat Kelompok Jenis PT Gunung Meranti Btgha PT RTC PT SBK Kepmenhut Dirjen PH Datar-landai Ac-curam Rata-rata Btgha Btgha No.200 Btgha No.151 Btgha Meranti 8.214 9.875 Semai Dipt.non meranti 1.071 250 24.369 23.966 19.312 1000 20.000 Komersial lain 10.952 18.375 Meranti 1.714 620 Pancang Dipt.non meranti 457 560 5.808 3.546 2.260 240 1.600 Komersial lain 2.724 5.540 Meranti 116 82 Tiang Dipt.non meranti 50 16 200 193 377 75 200 Komersial lain 88 48 Meranti 101 93 Pohon Dipt.non meranti 25 16 183 126 188 25 25 Komersial lain 79 53 Keterangan Terdiri dari kelompok komersial ditebang, komersial tidak ditebang dan jenis lain Indrawan 2000 Terdiri dari kelompok dipterocarp, non dipterocarp dan non komersial Pamoengkas 2006 PT RTC : PT Ratah Timber Co; PT SBK: PT Sari Bumi Kusuma dalam kriteria hutan alam produksi yang produktif dan tidak layak dikonversi menjadi hutan tanaman Tabel 25. Kriteria yang dibuat Ditjen PH 1993 untuk menentukan apakah areal hutan alam produksi bekas tebangan harus diperka ya atau tidak dalam rangka kegiatan penanaman pe ngayaan enrichment planting sistem TPTI. Denga n demikian lokasi penelitian yang terdapat di areal PT Gunung Meranti, PT Ratah Timber Co dan PT Sari Bumi Kusuma tersebut masuk dalam kriteria hutan alam produksi bekas tebangan yang tidak perlu dilakukan kegiatan penanaman pengayaan karena tingkat kerapatan tegakan masih tergolong tinggi Tabel 25. Menurut Bettinger et al. 2009, Davis dan Johnson 1987, Meyer et al. 1961 dan Suhendang 1995 sebaran diameter tegakan hutan menyerupai J terbalik dengan pola persamaan eksponensial: q=qo.e -cDBH . Persamaan tersebut mengandung komponen negatif pada diameter DBH yang berarti semakin besar diameter pohon maka semakin sedikit populasinya N. Gambaran penyebaran diameter pohon-pohon penyusun tegakan hutan alam di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 32. Gambar 32. Perbandingan penyebaran pohon dengan indikator kerapatan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon Pada Gambar 32 nampak bahwa kerapatan tingkat semai mencerminkan pohon- pohon berdiameter paling kecil adalah yang paling tinggi menyusul kerapatan tingkat pancang mencerminkan pohon-pohon berdiameter kurang dari 10 cm, kerapatan tiang mencerminkan pohon-pohon berdiameter 10-19,9 cm dan kerapatan 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 Semai Pancang Tiang Pohon Ju m lah pohon N ha Kepmenhut No.200 Dirjen PH No.151 Datar-landai Agak curam-curam pohon mencerminkan pohon-pohon berdiameter 20 cm ke atas sehingga membentuk grafik yang menyerupai huruf J terbalik.

5.4 Analisis Finansial Sistem TPTII di IUPHHK PT Gunung Meranti

Potensi tebangan tahunan perusahaan berasal dari jatah tebangan tahunan annual allowable cut dalam jalur antara dan hasil tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanaman. Dalam perhitungan ini, jatah tebangan tahunan masih menggunakan faktor eksploitasi FE dan faktor pengaman FP sebesar 56,55 Wahyudi dan Mattews 1996 sedangkan hasil tanaman Shorea leprosula menggunakan faktor FE dan FP sebesar 0,7 Soekotjo 2009 karena tanaman mempunyai kondisi batang dan tingkat kesehatan yang lebih baik disebabkan adanya perawatan dan pengontrolan umur. Tanaman yang terlalu tua atau telah mengalamai penurunan riap tahunan berjalan CAI dan riap tahunan rata-rata MAI diperkirakan lebih rentan terserang hama dan penyakit, karena akumulasi sel-sel mati yang terdapat dalam jaringa n tua xilem Kozlowski Pallardy 1997 serta menurunnya daya tahan pohon terhadap serangan hama dan penyakit disebabka n aktifitas metabolisme yang semakin menurun. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya angka FE dan FP dalam tegakan tinggal karena banyak pohon tua dan cacat berdiameter 60 cm ke atas yang tidak ditebang pada siklus sebelumnya.

5.4.1 Etat luas Berdasarkan Rencana Karya Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam

RKUPHHK-HA PT Gunung Meranti priode 2007-2016, penataan areal pengelolaan hutan PT Gunung Meranti dengan luasan 95.265 ha dikelompokan pada kawasan produksi efektif APE seluas 77.544 ha, areal tidak efektif untuk produksi tegakan benih, PUP, sarana dan prasarana serta areal tidak berhutan seluas 3.546 ha dan kawasan lindung sempadan sungai, kawasan pelestarian plasma nutfah, buffer zone hutan lindung, hutan kerangas dan areal kelerengan40 seluas 14.175 ha. Bagan alir penataan areal kerja IUPHHK-HA PT Gunung Meranti terlihat pada Gambar 33. Gambar 33. Bagan alir penataan areal kerja IUPHHK-HA PT Gunung Meranti Areal produksi efektif dibagai menjadi areal pengelolaan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI dengan siklus tebang 35 tahun seluas 46.192 ha dan areal pengelolaan sistem Tebang Pilih Tanam Indo nesia Intensif TPTII de ngan siklus tebang 30 tahun seluas 31.352 ha. Berdasarkan penataan areal kerja, etat luas PT Gunung Meranti pada sistem TPTII sebesar 1.045 hatahun 31.352 ha30 tahun. Apabila menggunakan asumsi siklus tebang 35 tahun, maka etat luas PT Gunung Meranti sebesar 895 hath =31.352 ha35 tahun. Pada siklus tebang ke-1 dan seterusnya etat luas sebesar 85 dari etat luas asal ka rena sisanya berupa jalur tanam. Luas Pembagi Pengelolaan Kawasan lindung ha Tidak efektif produksi ha Areal Prod. berdasar SK an Hutan Hutan Lereng Semp KPPN Htn. Ke BZ Kebun PUP Sar Tidak Efektif APE IUPHHK ha ha ha 40 sungai+k Insitu rangas HL benih pras berhutan ha RKUPHHK Tahun 2007-2016 Blok 15.032 62 134 32 200 20 18 14.566 TPTI 60.697 Pengelolaan IUPHHK Tahun 2017-2041 45.665 160 1.013 700 6.350 4.573 500 400 180 163 31.626 Jumlah 60.697 222 1.147 732 6.350 4.573 500 600 200 181 46.192 Luas Areal 95.265 RKUPHHK Tahun Blok 2007-2016 TPTII 10.494 86 163 268 100 40 398 9.439 34.568 Pengelolaan IUPHHK Tahun 2017-2041 24.074 559 75 100 100 100 1227 21.913 Jumlah 34.568 645 238 268 200 100 140 1.625 31.352 Jumlah 95.265 867 1.385 1.000 6.350 4.573 700 700 340 1.806 77.544 Luas Areal I UPHHK = Kaw asan Lindung + Areal Tidak Efektif untuk Produksi + Areal Produksi Efektif 95.265 = 14.175 + 3.546 + 77.544

5.4.2 Etat volume Etat volume sistem TPTII merupakan perkalian antara etat luas dengan potensi

pohon tebang per ha. Faktor eksploitasi FE dan faktor pengaman FP pada tegakan tinggal dalam jalur antara sebesar 56,55 Wahyudi Matthews 1996 sedangkan pada tanaman dalam jalur tanam sebesar 0,7 Soekotjo 2009 dengan faktor areal FA sebesar 78,08. Faktor areal adalah angka koreksi yang menunjukkan luas areal efektif tanaman dalam jalur tanam karena selebihnya merupakan areal tidak efektif untuk tanaman berupa rawa, parit, daerah berbatu, kelerengan sangat curam dan jalan angkutan yang tidak terdata pada saat penataan areal kerja perusahaan.

a. Etat volume tegakan asal

1 Asumsi mengg unakan siklus tebang 30 tahun Dengan asumsi menggunakan siklus tebang 30 tahun, maka didapatkan etat luas sebesar 1.045 ha dan komposisi pohon yang ditebang hanya dari kelompok jenis meranti dan dipterocarp non meranti berdiameter 40 cm ke atas seperti yang dijalankan sampai saat ini maka diperoleh etat volume pada periode 2007-2036 sebesar 23.417,76 m 3 tahun yang terdiri dari 376,22 m 3 tahun berdiameter 40-49 cm dan 23.041,54 m 3 tahun berdiameter 50 cm ke atas, sedangkan hasil tanaman belum ada. 2 Asumsi mengg unakan siklus tebang 35 tahun Dengan asumsi menggunakan siklus tebang 35 tahun, didapatkan etat luas sebesar 895 ha, dan komposisi pohon yang ditebang juga dari kelompok jenis meranti dan dipterocarp non meranti berdiameter 40 cm ke atas maka diperoleh etat volume pada periode 2007-2041 sebesar 20.056,35 m 3 tahun yang terdiri dari 322,22 m 3 tahun berdiameter 40-49 cm dan 19.734,14 m 3 tahun berdiameter 50 cm ke atas, sedangkan hasil tanaman belum ada. Pada siklus tebang 35 tahun mengalami penurunan etat volume disebabkan penurunnya etat luas dari 1.045 hath menjadi hanya 895 hath, namun produktifitas masih sama yaitu 22,41 m 3 ha PT GM 2008, 2009. b. Etat volume siklus ke-1 Menurut Vanclay 1995, 2001 pemodelan perkembangan tegakan tinggal dapat dilakukan melalui pendekatan kerapatan tegakan tinggal. Dasar penyusunan model ini adalah pengaruh kerapatan Nha dan luas bidang dasar per ha Bha terhadap pertumbuhan dan perkembangan pohon-pohon dalam hutan dengan asumsi bahwa makin tinggi kerapatan tegakan maka semakin rendah pertumbuhan pohon karena efek persaingan yang berdampak pada ingrowth, upgrowth dan moratlity pada masing- masing tingkat pertumbuhan. Tingkat tiang dan pohon diperkirakan dapat menimbulkan efek persaingan tempat tumbuh yang signifikans terhadap tegakan tinggal pada semua tingkat pertumbuhan karena telah mempunyai dimensi yang besar serta jangkauan perakaran dan tajuk yang luas, dibanding tingkat pancang dan semai. Oleh karena itu efek persaingan yang disebabkan kerapatan tingkat semai dan pancang dapat diabaikan. Pada penelitian ini pengukuran diameter dan tinggi tingkat tiang dan pohon dilakukan dengan intensitas sampling 100 metode sensus sehingga perhitungan luas bidang dasar tegakan dapat dilakukan dengan keakuratan yang tinggi. Untuk memprediksi potensi pohon masak tebang jumlah dan volume per ha pada siklus tebang ke-1 dengan asumsi menggunakan siklus tebang 30 tahun dan 35 digunakan perangkat lunak Stella 9.0.2 dengan parameter ingrowth, upgrowth dan mortality yang diolah menggunakan data hasil pengukuran tegakan tinggal selama empat periode, yaitu tahun 2007, 2008, 2009 dan 2010. Pemodelan ini menggunakan fungs i kerapa tan tegaka n yang dicerminka n oleh jumlah po hon N per ha da n luas bidang dasar B per ha. Pertumbuhan tegakan tinggal dicerminkan melalui ingrowth dan upgrowth dan kematian pohon disebabkan oleh efek tebangan. Kematian alami tingkat tiang dan pohon disebabkan efek persaingan dicerminkan melalui mortality yang muncul setiap tahun. Persamaan pemodelan dinamika tegakan hutan dapat dilihat pada Lampiran 11. Pemod elan menggunakan skema diagram alir dimulai dari kelas diameter 10-19 cm tingkat tiang, 20-29 cm, 30-39 cm dan 40 cm ke atas seperti terlihat pada Gambar 34. Model yang dihasilkan mempunyai mean absolute percentage error MAPE sebesar 16,14 sehingga dapat dipergunakan. Keterangan: UpG : upgrowth M : mortality CE : efek tebang N : kerapatan pohonha B : luas bidang dasar m 2 ha Vol : volume m 3 ha Gambar 34. Model perkembangan tegakan hutan pada jalur antara sistem TPTII menggunakan fungsi kerapatan 1 Asumsi mengg unakan siklus tebang 30 tahun Hasil pemodelan menggunakan siklus tebang 30 tahun menunjukkan adanya fluktuasi potensi tegakan pada saat penebangan dan masa jeda. Setelah penebangan siklus ke-1 0 tahun, siklus ke-2 30 tahun, siklus ke-3 60 tahun dan siklus ke-4 90 tahun kerapatan pohon masak tebang Nha yang dapat ditebang menjadi kosong nol, kemudian terisi kembali secara berangsur-angsur sampai siklus tebang berikutnya. Gambar 35 menunjukkan fluktuasi kerapatan pohon masak tebang Nha untuk ke las diameter 40-49 cm. Pada Gambar 35 terlihat bahwa pada siklus ke-1 diperoleh penambahan pohon masak tebang kelompok meranti, dipterocarp non meranti, rimba campuran, kayu indah dan komersial lain berdiameter 40-49 cm masing- masing sebanyak 1,43 phnha; 2,83 phnha; 0,80 phnha; 0,81 phnha; 0,73 phnha dan untuk siklus ke-2 diperoleh penambahan masing- masing sebanyak 2,89 phnha; 2,99 phnha; 0,8 St1019 Ingrowth M1019 N St2029 UpG1 UpG2 M2029 UpG3 St3039 St40up M3039 M40up B B B B CE1019 N B N40up Cut40 Vol40up TabVol CE2029 CE3039 CE40up phnha; 0,8 phnha dan 0,73 phnha, demikian seterusnya. Total kerapatan pohon masak tebang N total ha yang dapat ditebang merupakan penjumlahan dari kelas diameter 40-49 cm, 50-59 cm dan 60 cm ke atas. Gambar 35. Fluktuasi kerapatan pohon masak tebang Nha dalam kelas diameter 40-49 cm pada siklus tebang 30 tahun Kerapatan pohon masak tebang Nha yang didapatkan dari hasil pemodelan selanjutnya dikonversi dalam bentuk volume Vha menggunakan tabel volume lokal serta dikalikan faktor eksploitasi FE dan faktor pengaman FP sebesar 0,5655 Wahyudi Matthews 1996. Etat volume didapatkan dengan mengalikan volume per ha dengan etat luasnya, dimana etat luas siklus ke-1 dan seterusnya merupakan 0,85 dari etat luas asal. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa etat volume pada siklus ke-1 2036-2065 sebesar 20.146,72 m 3 tahun yang terdiri dari 3.926,3 m 3 tahun berdiameter 40-49 cm dan 16.220,42 m 3 tahun berdiameter 50 cm ke atas. Hasil tanaman Shorea leprosula berdiameter 20 cm ke atas dari jalur tanam sebesar 113.988,6 m 3 tahun Tabel 13 sehingga jumlah seluruhnya menjadi 134.135,3 m 3 th. Berdasarkan perhitungan di atas maka produktifitas hutan pada sistem TPTII menggunakan daur 30 tahun meningkat dari 34,56 m 3 ha PT GM 2009 menjadi 128,36 m 3 ha =134.135,3 m 3 th : 1.045 hath atau mengalami peningkatan sebesar 271,41 . 1 2:0 4 1 8 A pr 2 01 P ag e 7 0 .00 2 2.7 5 4 5.5 0 6 8.2 5 9 1.0 0 Y ea rs 1 : 1 : 1 : 2 : 2 : 2 : 3 : 3 : 3 : 4 : 4 : 4 : 5 : 5 : 5 : 1 0 2 0 2 4 1 2 1 4 8 1 : S t40 4 9[M e ra n ti] 2 : S t40 4 9[… on Me ra nti ] 3 : S t40 4 9[R Ca m pu ran ] 4 : S t40 4 9[K a yu Ind a h] 5 : S t40 4 9[… ersi a l L a in ] 1 1 1 1 2 2 2 2 3 3 3 3 4 4 4 4 5 5 5 5 30 60 Apabila pemanfaatan tanaman Shorea leprosula hanya dilakukan pada pohon berdiameter 40 cm ke atas, maka diperoleh hasil tanaman sebesar 46.763,7 m 3 th, sehingga produktifitas hutan pada sistem TPTII meningkat dari 34,56 m 3 ha PT GM 2009 menjadi 64,03 m 3 ha atau mengalami peningkatan sebesar 85,27 . 2 Asumsi mengg unakan siklus tebang 35 tahun Dengan cara yang sama dengan perhitungan di atas, hasil pemodelan dinamika tegakan hutan menggunakan siklus tebang 35 tahun diperoleh prediksi etat volume pada siklus ke-1 2042-2076 dari tegakan tinggal pada jalur antara sebesar 19.621,4 m 3 tahun yang terdiri dari 3.898,4 m 3 tahun berdiameter 40-49 cm dan 15.723,0 m 3 tahun berdiameter 50 cm ke atas. Hasil tanaman Shorea leprosula berdiameter 20 cm ke atas dari jalur tanam sebesar 140.908,8 m 3 tahun Tabel 13 sehingga jumlah seluruhnya menjadi 160.530,3 m 3 th. Gambar 36 menunjukkan akumulasi jumlah pohon masak tebang Nha pada siklus ke-2 , 3 dan 4 dengan interval 35 tahun pada kelas diameter 40-49 cm, sebagai salah satu ouput pemodelan. Gambar 36. Akumulasi kerapatan pohon masak tebang Nha dalam kelas diameter 40-49 cm pada siklus 35 tahun Berdasarkan perhitungan di atas maka produktifitas hutan pada sistem TPTII menggunakan daur 35 tahun meningkat dari 34,56 m 3 ha PT GM 2009 menjadi 18:52 18 Apr 2010 Page 1 0.00 26.50 53.00 79.50 106.00 Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 4: 4: 4: 5: 5: 5: 10 20 3 5 2 3 5 10 1: N4049[Meranti] 2: N4049[…on Meranti] 3: N4049[R Campuran] 4: N4049[Kay u Indah] 5: N4049[K…rsial Lain] 1 1 1 1 2 2 2 2 3 3 3 3 4 4 4 4 5 5 5 5 35 70 179,36 m 3 ha =160.530,3 m 3 th : 895 ha atau mengalami peningkatan sebesar 418,98 . Apabila pemanfaatan tanaman Shorea leprosula hanya dilakukan pada pohon berdiameter 40 cm ke atas, maka diperoleh hasil tanaman sebesar 127.636,0 m 3 ha, sehingga produktifitas hutan pada sistem TPTII meningkat dari 34,56 m 3 ha PT GM 2009 menjadi 164,53 m 3 ha atau mengalami peningkatan sebesar 376,07 . Berdasarkan hasil uji t terhadap potensi tebangan m 3 tahun sistem TPTII pada siklus tebang 30 tahun dan 35 tahun periode siklus ke-2 diperoleh nilai t hitung sebesar -23,76 sedangkan nilai t tabel α2: 0,025 = 2,04 sehingga t hitung - t tabel, maka kedua potensi tersebut berbeda nyata terima H1, sehingga potensi pohon tebang pada siklus tebang 35 tahun berbeda nyata lebih banyak dibanding pada siklus tebang 30 tahun. Tabel 28. Perbandingan etat volume siklus ke-0 dan ke-1 pada penerapan siklus tebang 30 tahun dan 35 tahun sistem TPTII di PT Gunung Meranti Pada pemodelan dinamika tegakan tinggal untuk memperoleh siklus tebang yang lestari Gambar 28 diperoleh siklus tebang ke-1 selama 26 tahun dan siklus tebang ke-2 selama 40. Pemodelan tersebut dibuat berdasarkan komposisi dan struktur vegetasi yang mengacu pada ke lestarian prod uks i hasil hut an ka yu perusahaan. Apabila siklus ke-2 diperpanjang menjadi 35 tahun maka akan diperoleh volume produksi yang lebih banyak melalui peningkatan produktifitas hutan tanpa merusak kondisi tegakan tinggal. Kelebihan penggunakan siklus tebang 35 tahun lainnya adalah dapat memanfaatkan hasil tanaman Shorea leprosula yang telah mencapai diameter 50 cm ke atas dengan nilai jual yang lebih tinggi. Daur Jalur antara Jalur tanam Jumlah Periode Th Etat luas D:40-49 cm D:50 cm up Etat luas D:20-39 cmD:40 cm up D:50 cm up pohon hath m 3 th m 3 th hath m 3 th m 3 th m 3 th m 3 th Siklus 30 1045 376,2 23.041,5 1045 - - - 23.417,76 ke-0 35 895 322,2 19.734,4 895 - - - 20.056,62 Siklus 30 888 3.926,3 16.220,4 1045 67224,9 46763,7 0 134.135,32 ke-1 dst 35 761 3.898,4 15.723,0 895 13272,9 118748,6 8887,4 160.530,30

5.4.3 Analisis finansial a. Asumsi dan standar biaya

Analisis finansial yang dilakukan menggunakan asumsi serta sensitifitas sebagai berikut: 1. Harga jual kayu kayu bulat kelompok meranti berdiameter 40-49 cm sebesar Rp. 1.150.000,- m 3 dan berdiameter 50 cm ke atas sebesar Rp. 1.300.000,- m 3 harga rata-rata tahun 2009-2010 2 Harga jual kayu bulat dan biaya operasional tidak mengalami kenaikan sampai akhir daur 3 Harga jual ka yu bulat turun menjadi Rp. 1.100.000,- m 3 dan naik menjadi Rp. 1.500.000,- m 3 4 Suku bunga ba nk bank loan sebesar 0, 6, 9 dan 12. 5 Tarif PSDH sebesar Rp. 60.000,- m 3 untuk kelompok meranti dan Rp. 80.000,- m 3 untuk kelompok kayu indah. 6 Tarif DR sebesar USD 16 m 3 7 Iuran pihak ke-3 dulu retribusi daerah Rp. 10.000,-m 3 . Analisis finansial dalam penelitian ini menggunakan standar biaya PT.Gunung Meranti yang mengacu pada ketentuan teknis pelaksanaan TPTII, dengan komponen kegiatan teknis TPTII seperti penataan dan perisalahan hutan, pembibitan, pembuatan jalur tanam, penanaman, pemeliharaan penyulaman, penyiangan, pemulsaan, pemupukan pembebasan dan penjarangan. Standar biaya kegiatan operasional teknis pembuatan tanaman sistem TPTII di PT Gunung Meranti disajikan dalam Tabel 29. Tabel 29. Standar biaya operasional teknis lapangan sistem TPTII No Kegiatan teknis Satuan Biaya Rp Keterangan 1 Penataan areal ha 7.000 2 Risalah hutan ha 113.750 3 Pembibitan btg 700 4 Pembuatan jalur tanam dan ajir m 1.370 5 Penanaman a. Lubang tanam dan mulsa btg 1.188 b. Penanaman btg 588 6 Pemeliharaan a. Penyiangan dan pemulsaan btg 500 b. Penyulaman 20 tanaman btg 500 7 Pembebasan m 500 8 Penjarangan m 750 Sumber: PT GM 2008a Disamping biaya-biaya di atas, komponen biaya produksi langsung maupun tidak langsung lainnya meliputi biaya administrasi umum tata usaha kayu, investasi alat berat, investasi bangunan, penyusutan, gaji dan upah, insentif, pajak, kewajiban sosial, lingkungan dan biaya operasional tebang penyiapan lahan. b. Analisis finansial penge lolan hutan sistem TPTII Berdasarkan hasil analisis finansial terhadap semua komponen penerimaan yang berasal dari penjualan kayu bulat serta nilai sisa unit serta semua komponen pengeluaran dengan asumsi kegiatan ini dikerjakan unit manajemen baru, dapat diketahui bahwa pada suku bunga 9 kisaran bunga bank saat ini dan harga jual kayu bulat berdiameter 40-49 cm sebesar Rp. 1.150.000,-m 3 dan berdiameter 50 cm ke atas sebesar Rp. Rp. 1.300.000,-m 3 harga awal tahun 2010 kegiatan pengusahaan hutan sistem TPTII mencapai titik impas breakeven point atau baru menguntungkan setelah tahun ke-7, dengan nilai keuntungan sebesar Rp. 4.139.693,-ha, sedangkan pada suku bunga 0, 6 dan 12 titik impas baru dapat dicapai masing- masing pada tahun ke-6, ke-6 dan ke-7 dengan nilai keuntungan yang berbeda. Pencapaian titik impas breakeven point ke layaka n usaha ini ditandai dengan nilai BCR ≥ 1 dan nilai NPV 0. Gambaran selengkapnya tentang analisis finansial ini dapat dilihat pada Tabel 30. Berdasarkan tabel tersebut waktu pencapaian titik impas dan nilai keuntungan bersih pengelolaan hutan dalam rangka penerapan sistem TPTII sudah tercapai sebelum mencapai siklus ke-1. Gambaran lebih jelas tentang pencapaian waktu titik impas dan kelayakan usaha pengelolaan hutan sistem TPTII pada tingkat suku bunga 0, 6, 9 dan 12 dapat dilihat pada Gambar 37. Garis yang telah mencapai sumbu x axis atau berada pada posisi sumbu y ordinat sama dengan nol adalah saat pencapaian titik impas. Semakin tinggi ordinat suatu garis menunjukkan semakin besar keuntungan yang diperoleh. Tabel 30. Nilai NPV dan BCR pada pengelolaan hutan sistem TPTII Gambar 37. Nilai NPV Rpha pengelolaan hutan sistem TPTII pada saat harga kayu bulat meranti berdiameter 40-49 cm dan 50 cm ke atas masing- masing sebesar Rp. 1,15 juta per m 3 dan Rp. 1,3 juta per m 3 dengan tingkat suku bunga 0, 6, 9 dan 12. Pengelolaan hutan sistem TPTII saat ini banyak dilakukan unit manajemen yang telah berjalan dengan sistem TPTI. Kegiatan yang bersifat multisistem silvikultur ini dapat melakukan subsidi silang dari kegiatan yang satu dengan kegiatan lainnya sehingga mampu mempertinggi efisiensi. Tahun Suku bunga 0 Suku bunga 6 Suku bunga 9 Suku bunga 12 ke NPV BCR NPV BCR NPV BCR NPV BCR 1 -53.114.251 0,35 -53.114.251 0,35 -53.114.251 0,35 -53.114.251 0,35 5 -9.564.693 0,94 -10.346.571 0,93 -10.776.947 0,92 -11.220.217 0,91 6 3.390.717 1,02 108.464 1,00 -1.253.487 0,99 -2.467.484 0,98 7 13.185.257 1,07 6.701.817 1,04 4.139.693 1,03 1.923.552 1,01 10 16.328.284 1,06 9.307.157 1,04 6.394.017 1,03 3.819.509 1,02 15 41.128.712 1,10 23.086.416 1,08 16.718.882 1,07 11.572.728 1,05 20 58.730.515 1,12 29.639.858 1,10 20.802.335 1,08 14.202.557 1,07 25 56.728.857 1,15 24.096.579 1,11 16.016.178 1,10 10.535.639 1,08 30 107.046.380 1,19 37.396.643 1,14 23.297.030 1,11 14.640.183 1,09 -80.000.000 -60.000.000 -40.000.000 -20.000.000 20.000.000 40.000.000 60.000.000 80.000.000 100.000.000 120.000.000 1 5 6 7 10 15 20 25 30 Tahun N P V R p ha Suku bunga 0 Suku bunga 6 Suku bunga 9 Suku bunga 12 Unit manajemen yang telah berjalan mempunyai sarana dan prasarana serta investasi awal berupa unit operasional produksi dan bangunan pendukung perkantoran, perumahan, gudang, bengkel, dapur umum, pos jaga dan lain- lain serta ditopang oleh kegiatan yang telah berjalan sebelumnya seperti PMDH dan biaya sosial, perijinan dan tata batas, tenaga teknis, tenaga lapangan buruh dan lain- lain. Sebuah unit pengelolaan hutan baru yang menerapkan sistem TPTII tidak mungkin hanya melakukan kegiatan operasional TPTII saja, seperti tebang penyiapan lahan, pembibitan, penanaman jalur dan pemeliharaan, namun juga harus melengkapi berbagai sarana dan prasaran penunjang termasuk kegiatan lain seperti disyaratkan dalam berbagai peraturan yang ada dalam rangka memenuhi ketentuan kriteria dan indikator pengelolaan hutan produksi lestari PHPL yang meliputi aspek prasyarat, produksi, ekologi dan sosial. Inilah yang menyebabkan usaha baru di bidang pengelolaan hutan sistem TPTII tidak langsung menguntungkan, melainkan harus menunggu sampai beberapa tahun, kecuali adanya subsidi silang dari kegiatan yang telah berjalan. Lamanya waktu menunggu dipengaruhi oleh potensi kayu yang dapat dimanfaatkan, harga kayu, tingkat suku bunga serta biaya operasional. Makin tinggi potensi tegakan hutan yang diperuntukan bagi pengelolaan sistem TPTII makin pendek waktu menunggunya dan semakin jauh lokasi IUPHHK dengan industri pengolahan kayu makin tinggi biaya yang dikeluarkan. Pengelolaan hutan sistem TPTII sudah dapat memberi keuntungan selama siklus ke-0 karena memanfaatkan hasil tebang penyiapan lahan. Pengelolaan hutan sistem TPTII pada areal yang tidak memberi hasil tebang penyiapan lahan mempunyai titik impas breakeven point di atas waktu siklus tebangnya di atas 30 tahun atau 35 tahun. Secara ekonomi kondisi seperti ini sangat sulit untuk dikerjakan kecuali ada kebijakan khusus, seperti bantuan dana dari pemerintah, paket reboisasi dan penghijauan yang tidak dikenakan status IUPHHK sehingga tidak ada kewajiban seperti yang disyaratkan da lam suatu IUPHHK. Salah satu komponen yang dapat meningkatkan status kelayakan usaha pada pengelolaan hutan sistem TPTII ini adalah mengoptimalkan pemanfaatan potensi kayu yang masak tebang pada kegiatan tebang penyiapan lahan serta upaya peningkatan harga jual kayu bulat. Selama kurun waktu 20 tahun terakhir, harga kayu bulat masih dibawah harga kelayakan usaha pengelolaan hutan alam sehingga kerusakan hutan cenderung meningkat disebabkan minimnya dana pembinaan pasca penebangan Handadari 2005. Harga jual kayu bulat sebelum tahun 2005 masih di bawah Rp. 600 ribu per m3 bahkan sempat anjlok pada harga Rp. 200 ribu per m 3 . Sejak tahun 2005 harga kayu bulat mulai naik sejalan dengan makin gencarnya pemberantasan illegal logging, namun harga tersebut tidak pernah melebihi Rp. 1.500.000,- per m 3 . Tabel 31. Analisis sensitifitas harga kayu bulat dan tingkat suku bunga untuk menenetuka n titik impas dan waktu layak usaha Berdasarkan hasil analisis sensitifitas menggunakan beberapa variasi harga jual kayu bulat serta tingkat suku bunga, seperti ditunjukkan pada Tabel 31, dapat dilihat bahwa apabila harga kayu bulat sebesar Rp. 1.300.000,- per m 3 maka akan mencapai titik impas dan memberikan kelayakan usaha pada tahun ke-6 pada tingkat suku bunga 0 dan 6 dan pada tahun ke-7 pada tingkat suku bunga 9 dan 12. Sedangkan pada harga kayu bulat Rp 1.200.000,- per m 3 baru mencapai titik impas dan memberikan kelayakan usaha pada tahun ke-11 apabila tingkat suku bunga 0, pada tahun ke-16 apabila tingkat suku bunga 6, pada tahun ke-17 apabila tingkat suku bunga 9 dan pada tahun ke-26 apabila tingkat suku bunga 12. Apabila harga jual kayu bulat sebesar Rp. 1.500.000,- per m 3 dapat memberikan titik impas dan kelayakan usaha pada tahun ke-3 pada berbagai tingkat suku bunga Harga log Waktu Indikator Tingkat suku bunga per m 3 Rp layak tahun 6 9 12 11 NPV 1.000.977 BCR 1,00 16 NPV 2.064.372 1.200.000 BCR 1,00 17 NPV 354.553 BCR 1,00 26 NPV 39.723 BCR 1,00 6 NPV 3.653.587 333.290 1.300.000 BCR 1,03 1,00 7 NPV 4.409.715 2.173.940 BCR 1,03 1,02 1.500.000 3 NPV 4.965.644 2.570.707 1.501.484 506.557 BCR 1,06 1,03 1,02 1,01 yang terjadi, bahkan pada tingkat suku bunga 12 masih memberikan keuntungan sebesar Rp. 506.557,- ha pada tahun ke-3. Harga kayu bulat sebesar Rp. 1.500.000,- per m 3 atau lebih masih memungk inkan untuk dicapai dengan cara meningkatkan pemberantasan illegal logging dan mafia kehut anan, pe negaka n hukum, pe ngaturan tata usaha ka yu yang lebih baik Handadari 2005 serta penerapan reduced impact logging Wahyudi 2008. Menurut Nugroho 2002 harga jual kayu bulat di Malaysia telah mencapai USD200-USD250 per m 3 atau sekitar Rp. 1.900.000,- Rp. 2.375.000,- per m 3 kurs Rp. 9.500 per USD. Apabila harga jual kayu bulat di Indonesia dapat menyamai harga kayu bulat di Malaysia maka iklim usaha kehutanan di Indonesia akan semakin menarik dan kelestarian hutan alam produksi akan semakin cepat menjadi kenyataan karena tersedia dana yang cukup untuk pe mbinaan hutan. Apabila harga jual kayu bulat masih belum dapat beranjak dari kisaran harga Rp. 1.300.000,- per m 3 , maka berdasarkan hasil penelitian ini dapat direkomendasikan bahwa unit manajemen yang melakukan pengelolaan hutan sistem TPTII selayaknya mendapat paket pinjaman dana misalnya dari dana reboisasi dengan bunga 6 dengan bantuan biaya penanaman sampai tahun ke-6 atau pinjaman dana dengan bunga 9 dengan bantuan biaya penanaman sampai tahun ke-7 . Apabila pemerintah Dephut masih belum bersedia mengucurkan dana bantuan untuk kegiatan pengelolaan hutan sistem TPTII, pemerintah hendaknya menyakinkan dunia usaha perbankkan agar bersedia mengucurkan dana pinjaman pada proyek pengusahaan hutan ini atau dibentuk bank pertanian yang memahami dunia usaha kehutanan yang berumur panjang dan resiko relatif besar. 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1 MAI tanaman meranti Shorea leprosula dalam jalur tanam yang berumur 1, 2, 11 dan 16 tahun masing- masing sebesar 1,07 cmth; 1,06 cmth; 1,22 cmth dan 1,31 cmth. Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII mampu meningkatkan produktifitas hutan sebesar 458,41 dari tanaman dalam jalur tanam dan mencapai daur pertama pada umur 32 tahun. Riap diameter tanaman mengalami kenaikan sejalan dengan penambahan umur dan peningkatan diameternya kemudian mengalami penurunan sehingga membentuk kurva pertumbuhan sigmoid. 2 Riap tegakan tinggal tingkat tiang dan pohon berkisar antara 0,21 sampai 0,76 cmth dan pertumbuhan tertinggi terjadi pada pohon-pohon berdiameter 30 sampai 40 cm. Kelompok dipterocarpaceae mempunyai pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding kelompok non dipterocarpaceae. Kelestarian produksi pada jalur antara sistem TPTII dapat tercapai denga n menerapk an siklus tebang ke-1 selama 26 tahun dan siklus tebang ke-2 selama 40 tahun. 3 Struktur dan kompos isi tegakan tingga l di jalur antara sistem TPTII masih menyerupai karakteristik hutan semua umur all-aged forest dengan tingkat keanekaragaman jenis sedang dan tingkat kekayaan jenis sedang sampai tinggi. Jenis-jenis yang mendominasi adalah meranti Shorea spp, keranji Diallium sp, keruing Dipterocarpus spp dan kayu arang Diospyros sp. 4 Produktifitas hutan pada siklus tebang ke-1 s istem TPTII aka n lebih besar apabila menggunakan siklus tebang 35 tahun dibanding siklus tebang 30 tahun dengan tingkat nyata. Titik impas kelayakan pengelolaan hutan alam produksi sistem TPTII dapat tercapai pada tahun ke-7 dengan nilai NPV Rp. 4.139.693,-ha dan BCR 1,03. Titik impas kelayakan dapat dicapai pada tahun ke-3 apabila harga jual kayu bulat mencapai Rp. 1.500.000,- per m 3 .

6.2 Saran

1 Siklus tebang ke-1 pada sistem TPTII, khususnya di PT Gunung Meranti, sebaiknya selama 35 tahun. Pada kawasan hutan produksi terbatas dengan kelerengan curam sampai sangat curam, jalur antara sebaiknya dijadikan areal konservasi yang dapat digunakan untuk penelitian, konservasi sumber daya genetik dan pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti rotan, gaharu, minyak, tengkawang, bahan obat, senyawa kimia dan bioaktif serta menjaga tata air dan kesuburan tanah, sedangkan pada kawasan hutan produksi dengan kelerengan datar sampai landai serta pada hutan rawang dan semak belukar jalur antara dapat dipergunakan sebagai areal untuk memproduksi hasil hutan kayu. 2 Unit manajemen yang melaksanakan pengelolaan hutan sistem TPTII selayaknya mendapat paket pinjaman dana misalnya dari dana reboisasi dengan bunga nol persen 0 sampai tahun ke enam atau pinjaman dana dengan bunga 9 sampai tahun ke tujuh. 3 PT Gunung Meranti disarankan dapat mengembangkan jenis-jenis unggulan lain seperti Shorea parvifolia, S.johorensis da n S.platyclados supaya lebih resisten terhadap serangan hama dan penyakit, lebih fleksibel dalam memenuhi permintaan pasar serta menciptakan keunggulan komparatif dan meningkatkan keanekaragaman jenis tanpa mengurangi produktifitasnya.

Dokumen yang terkait

Forest Fire Threaten Indonesia Forest Plantation: a Case Study in Acacia mangium Plantation

0 4 16

Integration of GIS Model and Forest Management Simulation to Minimize Loss Risk By Illegal Cutting (A Case Study of The Teak Forest in District Forest of Cepu, Central Java)

0 16 120

Study on Spatial and Temporal Changes of Forest Cover Due to Canal Establishment in Peat Land Area, Central Kalimantan

0 6 29

Growth of plantation and residual trees on the intensified indonesian selective cutting and planting. Case study in PT Gunung Meranti Forest Concession Area, Central Kalimantan Province

0 60 209

The potency of Intensive Sylviculture System (TPTII) to support reduced emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) (a case study in concession of PT.Sari Bumi Kusuma in Central Kalimantan)

0 20 311

The potency of Intensive Sylviculture System (TPTII) to support reduced emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) (a case study in concession of PT.Sari Bumi Kusuma in Central Kalimantan)

0 22 597

The Linkage Between Growth, Unemployment and Income Inequality on Poverty in Central of Java Province, 2004-2010

1 8 184

Stand structure dynamic for forest yield regulation based on number of trees : case on a logged over area of a low and dry-land of tropical rain natural forest in Kalimantan

1 16 186

The Growth of Red Meranti (Shorea leprosula Miq.) with Selective Cuttingand Line Planting in areas IUPHHK-HA PT. Sarpatim Central Kalimantan

0 3 86

Analysis of Land and Forest Fires Hazard Zonation in Spatial Planning (Case Study in Palangka Raya City, Central Kalimantan Province).

2 16 135